• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Fenotipik Ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo Kabupaten Bogor Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Fenotipik Ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo Kabupaten Bogor Jawa Barat"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI FENOTIPIK AYAM MERAWANG DI PETERNAKAN

ANEKA TANAMAN TERNAK TERJALIN (AT3) SAKLAT

KECAMATAN TENJO KABUPATEN BOGOR

JAWA BARAT

SKRIPSI

Maanawia Sangadji

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

Ringkasan

Maanawia Sangadji. D01499903. Studi Fenotipik Ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo Kabupaten Bogor Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Ternak, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. R. Bambang Pangestu, MSi Pembimbing Anggota : Ir. Sri Darwati, MSi

Ayam Merawang merupakan salah satu ayam lokal dari pulau Bangka yang dapat dipelihara seperti halnya ayam Kampung, Pelung, Kedu dan Nunukan yang dibudidayakan di beberapa daerah, salah satunya di daerah Bogor. Informasi mengenai fenotipik ayam Merawang di daerah Bogor perlu diketahui. Fenotipe merupakan penampakan sifat-sifat eksternal yang dapat diamati. Adanya perbedaan fenotipik menunjukkan adanya pengaruh lingkungan, genetik dan interaksi antara lingkungan dan genetik.

Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian bulan Pebruari sampai dengan April 2002. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari fenotipik ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi petani peternak dan dapat digunakan sebagai informasi bagi pihak-pihak terkait untuk meningkatkan produktivitas ayam Merawang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat-sifat eksternal yang diamati pada ayam Merawang di Peternakan AT3 hampir mendekati seragam. Hal ini disebabkan ayam Merawang di Peternakan AT3 rata-rata memiliki warna bulu coklat keemasan, coklat kemerahan, bentuk jengger tunggal dan warna shank kuning. Frekuensi gen berwarna (i) 99,65%; putih (I) 0,35%. Tipe liar ( e+) 92,54%; hitam (E) 6,87% dan columbian (e) 0,59%. Frekuensi gen single comb sebesar 99,76%, ros 0,12% dan kapri 0,12%.

Puncak produksi telur ayam Merawang di peternakan AT3 adalah pada minggu ke-5 yaitu 336,14+30,10 butir/ minggu dengan persentase hen-housed 61,34%. Koefisien keragaman produksi telur ayam Merawang menunjukkan variasi. Variasi koefisien keragaman disebabkana karena faktor lingkungan (suhu kandang). Pengaruh suhu kandang menyebabkan produksi telur menurun dan ukuran telur menjadi kecil, sehingga seleksi terhadap induk dewasa harus dilakukan yaitu memilih induk yang berproduksi tinggi sehingga dapat meningkatkan produksi.

Mortalitas ayam Merawang di peternakan AT3 selama penelitian terjadi pada DOC dengan persentase tertinggi 12,00% (60 ekor). Mortalitas yang terjadi sebanyak 8,00% (40 ekor) disebabkan oleh faktor kecelakaan seperti dimakan tikus 5,00% (25 ekor); burung 1,00% (5 ekor); tidak diketahui 2,52% (10 ekor).

(3)

yang disebabkan oleh faktor manajemen, kecelakaan 0,69% (5 ekor) dan penyakit 0,55% (4 ekor). Tingkat mortalitas ayam Merawang fase bertelur (laying) di Peternakan AT3 selama penelitian mencapai 2,55% (14 ekor). Penyebab mortalitas pada fase bertelur yaitu faktor manajemen 1,09% (6 ekor); kecelakaan 0,91% (5 ekor) dan penyakit 0,54% (3 ekor).

(4)

ABSTRACT

Study of fenotipic Merawang Chicken in Multifarious Ranch of Crop Livestock Intertwin ( CLI ) Saklat District of Tenjo Sub-Province of Bogor West Java

Sangadji, M., R. Pangestu dan S. Darwati

Merawang Chicken represent one of the local chicken at Bangka island. Rearing system of Merawang chickens to rearing of Kampong, Pelung, Kedu and Nunukan chickens. Phenotypic differences is influenced by genetic factor and environmental factor. The objective of this reserach is to study phenotypic characteristics at AT3 ranch. This study was conducting to study of laying hen at AT3 ranch.

The most feather colors of Merawang chickens are colored infuenced by i gene with a frequency of 99,65%; white (I) 0,35%; wild type (e+) 92,545; black (E) 0,59% and colombian 6,87%. High frequency of comb are single 99,76%, rose comb 0,12% and pea is only 0,12%.

Mortality rate of chickens at CLI ranch are was 60 heads (12,00%), 40 head were by accident factors such as eaten by mouse (8,00%), 5 head were eaten by bird (1,00%) and management factor 15 heads (3,00%). Mortality of chickens at starter 40 head (6,29%) caused by accident 10 head (1,57%), management factor 20 heads (3,14%) and disease 3 head (1,57%).

(5)

STUDI FENOTIPIK AYAM MERAWANG DI PETERNAKAN ANEKA TANAMAN TERNAK TERJALIN (AT3) SAKLAT

KECAMATAN TENJO KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Maanawia Sangadji

D.01499903

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

STUDI FENOTIPIK AYAM MERAWANG DI PETERNAKAN ANEKA TANAMAN TERNAK TERJALIN (AT3) SAKLAT

KECAMATAN TENJO KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Oleh

Maanawia Sangadji

D.01499903

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan komisi ujian lisan pada tanggal 05 Maret 2007

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. R. Bambang Pangestu, M.Si Ir. Sri Darwati, M.Si NIP. 130 682 672 NIP. 131 849 383

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Juli 1979 di Desa Rohomoni Kecamatan

Pulau Haruku Kabupaten Dati II Maluku Tengah, Ambon. Penulis merupakan anak

keenam dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Yauman Sangadji dan Ibunda

Sitti Sangadji Wasahua

Penulis menempuh pendidikan pada Sekolah Dasar Inpres I Rohomoni dan

tamat tahun 1990. Penulis tamat dari SMP Negeri 2 Pelau Kariu Kecamatan Pulau

Haruku tahun 1993. Pada tahun yang sama Penulis melanjutkan pendididkan di SMA

PGRI Suli Salahutu Kecamatan Salahutu Kabupaten Dati II Maluku Tengah dan

tamat tahun 1996. Selanjutnya Penulis diterima di Universitas Pattimura Ambon

pada Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan melalui jalur UMPTN pada tahun 1996.

Akibat konflik berkepanjangan yang melanda Kota Ambon dan sekitarnya yang

mengakibatkan kemacetan pendidikan, maka Penulis tidak dapat menyelesaikan studi

pada Universitas Pattimura Ambon. Tahun 1999 Penulis diterima di Institut

Pertanian Bogor sebagai mahasiswa peralihan dan terdaftar pada Fakultas

Peternakan, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Program Studi Teknologi Produksi

Ternak.

Selama mengikuti pendidikan Penulis aktif di organisasi FKM3 ( Forum

Komunikasi Mahasiswa Muslim Maluku). Penulis juga aktif pada organisasi

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan dan

karunianya kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi

dengan judul Studi Fenotipik Ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman

Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo Kabupaten Bogor.

Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian di Peternakan Aneka Tanaman

Ternak Ternak (AT3) Saklat. Sifat karakteristik dari seekor hewan perlu diketahui

dengan jelas sehingga memudahkan dalam program pemuliaan. Salah satu usaha

meningkatkan produksi adalah dengan melakukan seleksi. Seleksi adalah memilih

hewan yang produktivitasnya tinggi dan mengafkir hewan yang produktivitasnya

rendah.

Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumber ilmu yang bermanfaat bagi

mahasiswa maupun masyarakat luas dan dapat memberikan kontribusi terhadap

peternakan ayam.

Selama menjalani proses penyelesaian skripsi, penulis banyak berinteraksi

dengan banyak pihak, berbagai sarana dan prasarana baik dilingkungan IPB maupun

diluar IPB dengan harapan dapat menghasilkan sebuah karya tulis yang baik.

Bogor, Maret 2007

(9)

DAFTAR ISI

Warna Bulu, Pola Warna Bulu, Corak Bulu dan Kerlip Bulu ... 14

Warna Shank ... 16

Bentuk Jengger ... 17

(10)

Genotipe dan Fenotipe Ayam Merawang di Peternakan

Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) ... 20

Sifat Kuantitatif ... 20

Produksi Telur ... 21

Mortalitas ... 24

Mortalitas DOC dan Fase Starter ... 24

Mortalitas Fase Grower dan Fase Laying ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

Kesimpulan ... 29

Saran ... 30

UCAPAN TERIMA KASIH ... 31

(11)

STUDI FENOTIPIK AYAM MERAWANG DI PETERNAKAN

ANEKA TANAMAN TERNAK TERJALIN (AT3) SAKLAT

KECAMATAN TENJO KABUPATEN BOGOR

JAWA BARAT

SKRIPSI

Maanawia Sangadji

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(12)

Ringkasan

Maanawia Sangadji. D01499903. Studi Fenotipik Ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo Kabupaten Bogor Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Ternak, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. R. Bambang Pangestu, MSi Pembimbing Anggota : Ir. Sri Darwati, MSi

Ayam Merawang merupakan salah satu ayam lokal dari pulau Bangka yang dapat dipelihara seperti halnya ayam Kampung, Pelung, Kedu dan Nunukan yang dibudidayakan di beberapa daerah, salah satunya di daerah Bogor. Informasi mengenai fenotipik ayam Merawang di daerah Bogor perlu diketahui. Fenotipe merupakan penampakan sifat-sifat eksternal yang dapat diamati. Adanya perbedaan fenotipik menunjukkan adanya pengaruh lingkungan, genetik dan interaksi antara lingkungan dan genetik.

Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian bulan Pebruari sampai dengan April 2002. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari fenotipik ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi petani peternak dan dapat digunakan sebagai informasi bagi pihak-pihak terkait untuk meningkatkan produktivitas ayam Merawang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat-sifat eksternal yang diamati pada ayam Merawang di Peternakan AT3 hampir mendekati seragam. Hal ini disebabkan ayam Merawang di Peternakan AT3 rata-rata memiliki warna bulu coklat keemasan, coklat kemerahan, bentuk jengger tunggal dan warna shank kuning. Frekuensi gen berwarna (i) 99,65%; putih (I) 0,35%. Tipe liar ( e+) 92,54%; hitam (E) 6,87% dan columbian (e) 0,59%. Frekuensi gen single comb sebesar 99,76%, ros 0,12% dan kapri 0,12%.

Puncak produksi telur ayam Merawang di peternakan AT3 adalah pada minggu ke-5 yaitu 336,14+30,10 butir/ minggu dengan persentase hen-housed 61,34%. Koefisien keragaman produksi telur ayam Merawang menunjukkan variasi. Variasi koefisien keragaman disebabkana karena faktor lingkungan (suhu kandang). Pengaruh suhu kandang menyebabkan produksi telur menurun dan ukuran telur menjadi kecil, sehingga seleksi terhadap induk dewasa harus dilakukan yaitu memilih induk yang berproduksi tinggi sehingga dapat meningkatkan produksi.

Mortalitas ayam Merawang di peternakan AT3 selama penelitian terjadi pada DOC dengan persentase tertinggi 12,00% (60 ekor). Mortalitas yang terjadi sebanyak 8,00% (40 ekor) disebabkan oleh faktor kecelakaan seperti dimakan tikus 5,00% (25 ekor); burung 1,00% (5 ekor); tidak diketahui 2,52% (10 ekor).

(13)

yang disebabkan oleh faktor manajemen, kecelakaan 0,69% (5 ekor) dan penyakit 0,55% (4 ekor). Tingkat mortalitas ayam Merawang fase bertelur (laying) di Peternakan AT3 selama penelitian mencapai 2,55% (14 ekor). Penyebab mortalitas pada fase bertelur yaitu faktor manajemen 1,09% (6 ekor); kecelakaan 0,91% (5 ekor) dan penyakit 0,54% (3 ekor).

(14)

ABSTRACT

Study of fenotipic Merawang Chicken in Multifarious Ranch of Crop Livestock Intertwin ( CLI ) Saklat District of Tenjo Sub-Province of Bogor West Java

Sangadji, M., R. Pangestu dan S. Darwati

Merawang Chicken represent one of the local chicken at Bangka island. Rearing system of Merawang chickens to rearing of Kampong, Pelung, Kedu and Nunukan chickens. Phenotypic differences is influenced by genetic factor and environmental factor. The objective of this reserach is to study phenotypic characteristics at AT3 ranch. This study was conducting to study of laying hen at AT3 ranch.

The most feather colors of Merawang chickens are colored infuenced by i gene with a frequency of 99,65%; white (I) 0,35%; wild type (e+) 92,545; black (E) 0,59% and colombian 6,87%. High frequency of comb are single 99,76%, rose comb 0,12% and pea is only 0,12%.

Mortality rate of chickens at CLI ranch are was 60 heads (12,00%), 40 head were by accident factors such as eaten by mouse (8,00%), 5 head were eaten by bird (1,00%) and management factor 15 heads (3,00%). Mortality of chickens at starter 40 head (6,29%) caused by accident 10 head (1,57%), management factor 20 heads (3,14%) and disease 3 head (1,57%).

(15)

STUDI FENOTIPIK AYAM MERAWANG DI PETERNAKAN ANEKA TANAMAN TERNAK TERJALIN (AT3) SAKLAT

KECAMATAN TENJO KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Maanawia Sangadji

D.01499903

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(16)

STUDI FENOTIPIK AYAM MERAWANG DI PETERNAKAN ANEKA TANAMAN TERNAK TERJALIN (AT3) SAKLAT

KECAMATAN TENJO KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Oleh

Maanawia Sangadji

D.01499903

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan komisi ujian lisan pada tanggal 05 Maret 2007

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. R. Bambang Pangestu, M.Si Ir. Sri Darwati, M.Si NIP. 130 682 672 NIP. 131 849 383

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Juli 1979 di Desa Rohomoni Kecamatan

Pulau Haruku Kabupaten Dati II Maluku Tengah, Ambon. Penulis merupakan anak

keenam dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Yauman Sangadji dan Ibunda

Sitti Sangadji Wasahua

Penulis menempuh pendidikan pada Sekolah Dasar Inpres I Rohomoni dan

tamat tahun 1990. Penulis tamat dari SMP Negeri 2 Pelau Kariu Kecamatan Pulau

Haruku tahun 1993. Pada tahun yang sama Penulis melanjutkan pendididkan di SMA

PGRI Suli Salahutu Kecamatan Salahutu Kabupaten Dati II Maluku Tengah dan

tamat tahun 1996. Selanjutnya Penulis diterima di Universitas Pattimura Ambon

pada Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan melalui jalur UMPTN pada tahun 1996.

Akibat konflik berkepanjangan yang melanda Kota Ambon dan sekitarnya yang

mengakibatkan kemacetan pendidikan, maka Penulis tidak dapat menyelesaikan studi

pada Universitas Pattimura Ambon. Tahun 1999 Penulis diterima di Institut

Pertanian Bogor sebagai mahasiswa peralihan dan terdaftar pada Fakultas

Peternakan, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Program Studi Teknologi Produksi

Ternak.

Selama mengikuti pendidikan Penulis aktif di organisasi FKM3 ( Forum

Komunikasi Mahasiswa Muslim Maluku). Penulis juga aktif pada organisasi

(18)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan dan

karunianya kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi

dengan judul Studi Fenotipik Ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman

Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo Kabupaten Bogor.

Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian di Peternakan Aneka Tanaman

Ternak Ternak (AT3) Saklat. Sifat karakteristik dari seekor hewan perlu diketahui

dengan jelas sehingga memudahkan dalam program pemuliaan. Salah satu usaha

meningkatkan produksi adalah dengan melakukan seleksi. Seleksi adalah memilih

hewan yang produktivitasnya tinggi dan mengafkir hewan yang produktivitasnya

rendah.

Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumber ilmu yang bermanfaat bagi

mahasiswa maupun masyarakat luas dan dapat memberikan kontribusi terhadap

peternakan ayam.

Selama menjalani proses penyelesaian skripsi, penulis banyak berinteraksi

dengan banyak pihak, berbagai sarana dan prasarana baik dilingkungan IPB maupun

diluar IPB dengan harapan dapat menghasilkan sebuah karya tulis yang baik.

Bogor, Maret 2007

(19)

DAFTAR ISI

Warna Bulu, Pola Warna Bulu, Corak Bulu dan Kerlip Bulu ... 14

Warna Shank ... 16

Bentuk Jengger ... 17

(20)

Genotipe dan Fenotipe Ayam Merawang di Peternakan

Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) ... 20

Sifat Kuantitatif ... 20

Produksi Telur ... 21

Mortalitas ... 24

Mortalitas DOC dan Fase Starter ... 24

Mortalitas Fase Grower dan Fase Laying ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

Kesimpulan ... 29

Saran ... 30

UCAPAN TERIMA KASIH ... 31

(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Data-data Sifat Eksternal Ayam Merawang yang Dikumpulkan Selama Penelitian ... 12

2. Karakteristik Genetik Ayam Merawang ... 13

3. Frekuensi Fenotipe Warna Bulu, Pola Bulu, Kerlip Bulu dan

Corak Bulu Ayam Merawang di Peternakan AT3 ... 14

4. Frekuensi Fenotipe Warna Shank dan Bentuk Jengger

Ayam Merawang di Peternakan AT3 ... 16

5. Frekuensi Gen Warna Bulu, Pola Bulu, Corak Bulu, Kerlip Bulu, Ayam Merawang

di Peternakan AT3... 18

6. Frekuensi Gen Bentuk Jengger dan Warna Shank

di Peternakan AT3 ... 19

7. Kemungkinan Genotipe dan Fenotipe Ayam Merawang

di Peternakan AT3 Sakla t... 20

8. Rataan dan Koefisien Keragaman Produksi Telur

(hen- housed) Ayam Merawang di Peternakan AT3... 21

9. Produksi Telur (Hen-housed) dari Beberapa Peneliti... 22

10. Persentase dan Rataan Mortalitas Ayam Merawang

DOC dan Fase Starter di Peternakan AT3... 24

11. Persentase dan Rataan Mortalitas Ayam Merawang

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ayam Merawang merupakan salah satu ayam lokal dari Pulau Bangka yang

dapat dipelihara seperti halnya ayam Kampung, Pelung, Kedu, Nunukan dan dapat

dibudidayakan di beberapa daerah, salah satunya adalah di daerah Bogor. Ayam

Merawang mempunyai potensi yang cukup baik dan dapat bersaing dengan ayam

Kampung untuk dikembangkan sebagai ternak berproduktivitas tinggi dalam hal

produksi telur dan daging. Ayam Merawang merupakan komoditas yang tepat dan

diyakini mampu bertahan dalam terpaan badai krisis dewasa ini karena

kemampuannya memanfaatkan sumber daya lokal termasuk pendayagunaan limbah

pertanian dan rumah tangga.

Pengembangan ayam Merawang di pedesaan ditentukan oleh beberapa faktor

yaitu sumber pakan dan ketersediaan yang kontinyu, letak geografis daerah dan

potensinya, mudah tidaknya akses terhadap pasar dan ada tidaknya permintaan

terhadap produksi yang dihasilkan. Tiga faktor yang memegang peranan penting

dalam mengembangkan usaha peternakan adalah pakan, pemuliaan dan tatalakasana.

Program pemuliaan seperti seleksi perlu dilakukan untuk menghasilkan ternak yang

berproduktivitas tinggi sebagai bibit unggul.

Informasi mengenai fenotipe ayam Merawang di daerah Bogor perlu

diketahui. Fenotipe ayam Merawang merupakan penampakan sifat-sifat eksternal

yang dapat diamati. Adanya perbedaan fenotipik menunjukkan adanya pengaruh

genetik, lingkungan dan interaksi antara genetik dan lingkungan.

Pada umumnya ayam Merawang memiliki keragaman produksi telur dan

produksi daging. Telur dan daging mempunyai peranan penting sebagai penyedia

sumber gizi manusia. Ayam Merawang dapat digunakan sebagai penghasil telur dan

daging, maka perlu diupayakan peningkatan produksinya dengan seleksi untuk

meningkatkan mutu genetiknya. Seleksi untuk meningkatkan produksi bisa dilakukan

pada sifat kualitatif maupun sifat kuantitatif. Oleh karenanya untuk meningkatkan

produksi ayam Merawang diperlukan informasi fenotipik ayam Merawang.

(23)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fenotipik ayam Merawang di

Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) Saklat Kecamatan Tenjo,

Kabupaten Bogor Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

petani peternak dan dapat digunakan sebagai informasi bagi pihak yang

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Asal Usul Ayam Merawang

Ayam Merawang merupakan salah satu Ayam lokal Indonesia yang

dikembangkan di Pulau Bangka dan masih banyak dipelihara secara tradisional oleh

peternak. Asal usul ayam Merawang berasal dari daratan China yang dibawa oleh

orang Tionghoa penambang timah di Pulau Bangka kurang lebih 300 tahun yang lalu

dan ayam Merawang ini mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan

sebagai ayam petelur dan pedaging (Departemen Pertanian, 1999).

Karakteristik Ayam Merawang

Nataamijaya et al. (1994) melaporkan, bahwa ayam Merawang termasuk ayam

berukuran sedang. Bentuk badannya tidak berbeda dengan ayam Kampung,

punggung agak panjang mendatar, bentuk dada lurus mengikuti garis leher, ukuran

sayap sedang. Bulu ekor jantan melengkung dan cukup panjang, perut agak dalam

dan lebar. Bentuk kepala agak lonjong dan berukuran sedang, paruh cukup panjang,

melengkung dan kuat. Jengger jantan berukuran besar, berbentuk tunggal tegak dan

bergerigi pada bagian atasnya. Kaki berukuran sedang dan tidak berbulu, shank ada

yang berwarna kuning atau putih. Bobot badan betina dewasa berkisar 1,25-2,00 kg

sedangkan bobot badan jantan berkisar antara 1,75-2,79 kg.

Menurut Nataamijaya (2002), bahwa ayam Merawang mempunyai warna

bulu coklat kemerahan (Merawang) atau coklat keemasan (Merawas). Ayam jantan

Merawang atau Merawas memiliki jengger tunggal (single comb) dan pial berwarna

merah. Ayam Merawang betina dikenal sebagai penghasil telur yang cukup baik.

Departemen Pertanian (1999) melaporkan, bahwa ayam Merawang

mempunyai warna bulu yang seragam yaitu coklat kemerahan atau coklat keemasan,

warna shank kuning, bentuk jengger tunggal (single comb ) dan pial berwarna merah.

Ayam Merawang memiliki warna kerabang telur coklat dan putih, produksi telur

125 butir/ekor/tahun, berat telur 38-45g, berat DOC 25-30g dan pertumbuhan bulu

(25)

Sifat Kualitatif

Warwick et al. (1995) menyatakan bahwa sifat kualitatif merupakan suatu

sifat yang dapat dibeda-bedakan dengan jelas seperti warna bulu, warna shank, ada

tidaknya tanduk dan adanya kelainan-kelainan pada seekor hewan (cacad). Hutt

(1949) menyatakan bahwa sifat kualitatif ditentukan oleh satu sampai dua pasang

gen, sifat ini banyak ditentukan oleh genotipe, sedangkan faktor lingkungan kecil

sekali peranannya. Setiap bangsa ayam mempunyai karakteristik yang khas dari segi

genetik dan morfologi. Di dalam kelompok dari satu bangsa ayam masih ada

perbedaan dan variasi warna dan corak bulu serta bentuk jengger.

Hutt (1994) dan Jull (1951) mengemukakan ciri-ciri kegenetikaan eksternal

dapat dijadikan patokan untuk penentuan suatu bangsa ayam. Ciri-ciri eksternal

ditentukan oleh gen- gen yang terdapat pada autosom maupun kromosom kelamin.

Beberapa sifat kualitatif penting yang merupakan ciri-ciri khas untuk penentuan

suatu bangsa ayam diantaranya adalah warna bulu, warna kerabang telur, warna

shank dan bentuk jengger yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Mansjoer (1985)

menyatakan, bahwa keragaman sifat-sifat kualitatif ayam Kampung antara lain corak

dan warna bulu, warna shank dan bentuk jengger. Warna dan corak bulu ayam

Kampung yang dominan adalah warna bulu tipe liar dan pola columbian, serta

terdapat bulu putih, lurik dan perak.

Keragaman Fenotipik

Keragaman fenotipik suatu sifat pada suatu kelompok ternak merupakan

petunjuk keragaman genotipik ternak serta merupakan ekspresi adanya interaksi

antara genotipik dan lingkungan dalam kelompok ternak tersebut dan dapat dijadikan

patokan untuk memperbaiki mutu genetik atau seleksi lebih lanjut (Mansjoer, 1985).

Sifat-sifat kualitatif dapat dijadikan sebagai gambaran keragaman genetik ( Mansjoer

et al. , 1989)

Karakteristik Warna Bulu dan Pola Bulu

Hutt (1994) menyatakan bahwa gen warna bulu bersifat dominan (I)

ditentukan pada bangsa ayam White Leghorn, Pile games dan La-Baesse yang

secara genetik merupakan karakteristik yang diwariskan menyimpang dari hukum

Mendel. Karakteristik ini menurut Hadley (1913) yang dikemukakan oleh Hutt

(26)

merupakan sifat dominan tidak lengkap pada keadaan heterozigot (Ii) (Hutt, 1949).

Gen I (heterozigot) akan memunculkan sedikit warna hitam pada bulu jika individu

tersebut mempunyai gen CC atau Cc, tetapi akan berwarna putih jika terdapat gen cc

Hutt (1949).

Hutt (1949) menyatakan bahwa warna hitam polos dengan simbol gen E

diekspresikan pada penampilan bulu hitam di seluruh bagian bulu dan biasa terlihat

pada permukaan bulu yang dibatasi pada bulu leher, bulu besar sayap dan bulu ekor.

Ayam mempunyai warna bulu, warna shank dan bentuk jengger yang bervariasi.

Warna bulu ada yang hitam (E), pola warna bulu tipe liar (e+), pola warna tipe

columbian (ee), bulu putih (I atau cc) serta corak bulu lurik (B). Warna shank ada

yang putih/kuning (Id), hitam (id) atau kehijauan. Begitu juga bentuk jengger ada

yang tunggal (single comb) (rrpp), ros (R_pp)atau bentuk kapri (rrP-) (Mansjoer,

1989).

Karakteristik Bentuk Jengger

Gillespie (1990) mengemukakan secara umum setiap varietas ayam yang

berbeda mempunyai bentuk jengger yang berbeda pula. Bentuk jengger yang biasa

ditemukan adalah kapri, ros, tunggal (single comb), chusion, buttercup, strawberry

dan v-shaped. Darwati (1995) melaporkan bahwa bentuk jengger yang ditemukan

pada ayam Kampung dengan frekuensi 0,8272, 0,1180 dan 0,0550 untuk

masing-masing bentuk single comb (rrpp), ros (R-pp) dan pea (rrP-).

Mansjoer (1985) melaporkan bahwa gen bentuk jengger ros (R) bersifat

dominan terhadap gen single comb (r), jika gen R dan bentuk jengger Kapri (P) yang

dimiliki seekor ayam maka ayam tersebut mempunyai jengger yang berbentuk buah

arbei (strawberry). Hal ini menunjukkan sifat kodominansi antara gen R dan P, yang

banyak ditemukan pada ayam-ayam asli Malaysia.

Karakteristik Warna Shank

Somes (1988) mengemukakan bahwa karakteristik warna shank kuning/putih

(id) disebabkan oleh kurangnya kandungan melanin pada jaringan kulit (dermis).

Kandungan melanin dalam lapisan dermis dikontrol oleh gen resesif yang terekspresi

dalam keadaan homosigot. Darwati (1995) melaporkan bahwa warna shank yang

(27)

Selanjutnya Wallance (1997) juga melaporkan bahwa shank hijau terjadi karena

adanya warna hitam di dalam jaringan kulit dan warna kuning di permukaan kulit.

Karakteristik Genetik

Menurut Hutt (1994), Jull (1951) dan Lasley (1978), ayam domestiksi

mempunyai 78 kromosom yang terdiri dari 38 pasang kromosom autosom

(kromosom tubuh) dan sepasang kromosom kelamin (jantan ZZ dan betina ZW).

Setiap bangsa ayam mempunyai ciri genetik dan morfologi yang khas. Mansjoer et

al. (1989) menyatakan, bahwa di dalam kelompok dari suatu bangsa ayam masih ada

perbedaan dan variasi warna dan corak bulu serta bentuk jengger.

Produksi Telur Ayam Merawang

Produksi telur dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, umur bertelur

pertama kali (umur dewasa kelamin), intensitas bertelur, sifat mengeram, masa

istirahat dan persistensi bertelur (Jull, 1951).

Putrisiswitomo (2002) melaporkan produksi telur(Hen-day production) ayam

Merawang sebesar 33,43 + 4,28% ( n=120 ekor) dengan rataan produksi telur per

ekor selama penelitian (10 minggu) adalah sebesar 24,79 butir dan rataan produksi

telur ayam Merawang per tahun sebesar 128,90/butir/ekor/tahun. Produksi telur

dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingk ungan, umur bertelur pertama kali (umur

dewasa kelamin), intensitas bertelur, sifat mengeram, masa istirahat dan persistensi

bertelur (Jull, 1951).

Mansjoer (1985) menyatakan, bahwa karakteristik sifat-sifat kuantitatif ayam

Kampung pada pemeliharaan tradisional antara lain produksi telur sebesar 11

butir/periode bertelur, rerata umur pada saat bertelur pertama 6,4 bulan, rerata bobot

telur 41,6g, daya tetas telur sebesar 84,6% serta jarak antara periode bertelur sekitar

tiga bulan. Hardjosubroto (1994) menyatakan, bahwa ayam Kampung bertelur

pertama pada umur 250 hari, rerata produksi telur 95 butir/tahun pada pemeliharaan

ekstensif dan 151 butir pada pemeliharaan intensif dengan rerata bobot telur 43g.

Dinas Peternakan (1998) melaporkan, bahwa produksi telur yang rendah

disebabkan karena adanya sifat-sifat alami yaitu masa bertelur 20 hari, masa

mengeram 21 hari, masa mengasuh anak 65 hari. Menurut Prasetyo et al. (1985),

(28)

pedesaan antara lain adanya sifat mengeram, lamanya mengasuh anak, istirahat

bertelur dan lambatnya dewasa kelamin.

Sinurat et al. (1992) menyatakan bahwa kemampuan produksi telur dapat

ditingkatkan melalui perbaikan pakan, mutu genetik dan pengelolaan. Mansjoer

(1985) menyatakan bahwa produksi telur ayam Kampung dapat ditingkatkan dengan

cara perbaikan kualitas pakan dan manajemen pemeliharaan yang baik

Mortalitas

Widayanti (1994) menyatakan bahwa ayam Kampung, Kedu dan Pelung yang

dipelihara secara intensif di laboratorium pada umur 20-30 minggu menunjukkan

mortalitas masing- masing ayam Kedu 0%, ayam Kampung 3,75% dan ayam Pelung

3,79%. Lulusno (1991) melaporkan bahwa mortalitas anak ayam umur empat

minggu yang dipelihara secara ekstensif umumnya disebabkan oleh predator, kucing,

musang (35%), kelemahan fisik (19,69%), masuk kolam (15,15%), tidak diketahui

(10,61%) dan dipatuk induk ayam (9,09%).

Abidin (2002) menyatakan bahwa mortalitas terjadi pada ayam petelur

disebabkan beberapa faktor seperti pengaruh suhu, kanibalisme, sistem pemeliharaan

dan penyakit. Rasyaf (2000) menyatakan bahwa mortalitas pada DOC disebabkan

(29)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Aneka tanaman ternak terjalin

(AT3) Saklat Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Pelaksanaan

penelitian pada bulan Pebruari sampai dengan April 2002.

Materi

Ternak Percobaan

Ternak yang diteliti dalam penelitian ini adalah ayam Merawang. Jumlah

ternak DOC 500 ekor dan fase starter 636 ekor. Jumlah ternak yang digunakan

dalam penelitian ini adalah 1.272 ekor untuk pengamatan sifat-sifat eksternal yang

terdiri dari fase grower 724 ekor dan fase bertelur (laying) sebanyak 548 ekor.

Pakan

Pakan yang diberikan selama penelitian mengandung protein 15,80 %, energi

metabolis 2.500 kkal/kg ransum, abu 10,73 %, P 0,82 % dan Ca 1,29 % ( Balai

Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor, 2002)

Kandang

Kandang yang digunakan adalah kandang sistem baterai (individual cage).

Kandang sistem baterai digunakan untuk ayam fase grower dan fase laying. Kandang

berbentuk segi empat trapesium disusun bertingkat yang terbuat dari bambu dengan

ukuran, panjang 35 cm, lebar 23-24 cm dan tinggi 40 cm. Tempat pakan terbuat dari

paralon berdiameter 13 cm yang dipotong 1/3 bagian atasnya dan tempat air minum

dari paralon berdiameter 8,5 cm yang dipotong ½ bagian atasnya.

Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera foto dan borang

untuk membedakan sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Borang berisi kolom-kolom

untuk data warna bulu, pola bulu, corak bulu, kerlip bulu, bentuk jengger dan warna

shank, sedangkan untuk sifat kuantitatif pada penelitian ini juga memakai borang

yang berisi kolom-kolom untuk data produksi telur dan jumlah ayam yang mati

selama penelitian. Alat bantu yang digunakan adalah botol penyemprot untuk

(30)

menyemprot selokan-selokan kandang, sehingga kandang terbebas dari lalat,

sedangkan untuk pembersihan kotoran ayam digunakan sekop dan sapu lidi.

Rancangan

Data sifat kualitatif yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif

1). Perhitungan frekuensi fenotipik untuk data warna bulu, pola warna bulu, bentuk

jengger dan warna shank didasarkan pada jumlah fenotip (jenis sifat) yang

muncul dibagi dengan jumlah individu ternak yang diamati dikalikan dengan

100% (dalam fraksi atau %).

2). Data penampilan sifat-sifat genetis atau sifat kualitatif dilaporkan secara

deskriptif dan dianalisis dengan menggunakan perhitungan frekuensi gen dengan

formula menurut Hardy-Weinberg dengan persamaan menurut Stansfield (1991)

sebagai berikut:

( p + q ) 2 = (p2 + 2pq + +q2 = 1 Keterangan :

p2 = jumlah individu yang homosigot dominan, 2pq = jumlah individu yang heterosigot,

q2 = jumlah individu yang homosigot resesif,

p = frekuensi gen dominan, dan

q = frekuensi gen resesif,

Perhitungan frekuensi gen dominan (p) dan gen resesif (q) untuk sifat warna bulu

dan bentuk jengger yang merupakan gen autosomal dapat dicari dengan

menggunakan rumus menurut Stansfield (1991) sebagai berikut :

p2 + 2pq + q2 = 1 Keterangan :

Jumlah individu homosigot resesif

q = Jumlah individu seluruhnya dalam kelompok

(31)

3). Frekuensi gen resesif dan gen dominan untuk sifat pola warna bulu (alel ganda)

mempunyai urutan dominansi E>e+>e dihitung berdasarkan rumus Stansfield (1991) sebagai berikut:

(p + q + r)2 = p2 + 2pq+2pr + q2 + 2qr + r2 = 1

Penghitungan frekuensi alel E (p), alel e+ (q) dan alel e (r) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

4). Untuk pendugaan frekuensi gen resesif dan gen dominan untuk pewarisan sifat

corak bulu, kerlip bulu dan warna shank pada individu betina dapat dihitung

dengan penentuan gen autosomal. Individu betina memiliki satu kromosom Z

sehingga untuk menentukan frekuensi gen dominan (q) menurut Noor (1996)

sebagai berikut:

5). Hen-housed production dari ayam betina dewasa (dalam %), dihitung dengan

formula menurut Sarwono (1989) sebagai berikut :

Jumlah produksi telur hari itu

Hen – housed production = x 100 %

(32)

6). Mortalitas dari ayam Merawang yang dibedakan atas umur (dalam %) yang

dihitung berdasarkan formula menurut Sarwono (1989), sebagai berikut :

Jumlah ayam yang mati

Mortalitas = x 100% Jumlah ayam mula- mula

Prosedur

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

metode survey serta pengamatan langsung di lapangan. Pengambilan data dan

pengamatan sifat-sifat eksternal ayam Merawang selama penelitian dilakukan

beberapa kali selama penelitian.

Pemberian pakan dan air minum pada ayam Merawang selama penelitian

diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari sekitar jam 06.00 dan sore hari sekitar

jam 17.00. Selama penelitian pengambilan telur dilakukan sekali dalam sehari yaitu

pada sore hari sekitar jam 17.00. Tujuan pengambilan telur sekali dalam sehari

adalah untuk mencegah stres pada ayam.

Selama penelitian ayam diberi obat dengan merk Therapi untuk mengatasi

berak hijau, berak kapur dan ngorok. Vitamin yang diberikan adalah Vita stres.

Vitamin ini diberikan pada ayam untuk mengatasi penurunan produksi telur atau

stres karena cuaca buruk. Vaksin yang diberikan selama penelitian adalah vaksin ND

La sota untuk pencegahan dari serangan penyakit tetelo.

Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi dua aspek yaitu sifat

kualitatif (sifat-sifat eksternal) dan sifat kuantitatif. Sifat kualitatif yang diamati

meliputi warna bulu, corak bulu, kerlip bulu, bentuk jengger dan warna shank

seperti disajikan pada Tabel 1. Sifat kualitatif diamati pada ayam Merawang

beberapa kali selama penelitian

Sifat kuantitatif yang diamati meliputi produksi telur (hen-housed production)

dan mortalitas ayam Merawang berdasarkan kelompok umur yaitu DOC umur sehari,

fase Starter umur sehari sampai 4 minggu, fase Grower 4 minggu sampai 20 minggu

(33)

Tabel 1. Sifat Eksternal Ayam Merawang

Warna Hitam terpaut pada Bulu leher, sayap dan ekor

Warna Bulu Bergaris hitam atau Putih memanjang di Tengah

Kerlip Bulu

Perak

Emas

Warna putih Mengkilap pada Bulu Leher dan Kepala

Warna Kuning Keemasan pada Bulu Leher dan Kepala

Warna Shank

Hitam/abu-abu

Kuning/Putih

Warna Shank Hitam keabu-abuan

Warna Shank antara Kuning dan Putih

Bentuk Jengger

Ros

Kapri

Tunggal

Jengger Berbentuk Buah Anggur

Jengger Berpilah Tiga

(34)
(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Kualitatif

Warna Bulu, Pola Warna, Corak dan Kerlip Bulu

Sifat-sifat eksternal yang diamati pada penelitian ini meliputi warna bulu,

pola bulu, corak bulu, kerlip bulu, bentuk jengger dan warna shank. Frekuensi warna

bulu, pola warna bulu, corak bulu, kerlip bulu, warna shank dan bentuk jengger

disajikan pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Frekuensi Fenotipe Warna Bulu, Pola Bulu, Corak Bulu, Kerlip Bulu, di Peternakan AT3

Sifat Jumlah Ayam Frekuensi

Ayam Merawang memiliki bulu berwarna. Warna bulu pada ayam Merawang

terdapat tiga macam yaitu coklat, coklat keemasan dan coklat kemerahan. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa warna bulu pada penelitian ini hampir mendekati

seragam. Tabel 3 menunjukkan frekuensi fenotipe warna bulu yaitu berwarna

sebesar 99,29% (1.263 ekor), terdiri dari warna coklat dengan frekeunsi fenotipe

23,58% (300 ekor), coklat keemasan dengan frekuensi fenotipe 55,03% (700 ekor)

(36)

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sesmira (2002) yang

melaporkan bahwa frekuensi fenotipe warna bulu ayam Merawang sebesar 87,67%

berwarna, 10,00% putih dan hitam 3,33%. Berbeda pula dengan hasil penelitian

Sulistyowati (2002) bahwa frekuensi fenotipe warna bulu ayam Merawang sebesar

50,00% coklat kemerahan, 22,22% coklat keemasan, 20,37% coklat, 5,56% hitam

dan 1,85% putih.

Ekspresi berwarna pada bulu dipengaruhi oleh gen (i). Ekspresi gen (i)

Ayam Merawang diekspresikan dengan warna coklat dengan variasi warna yaitu

coklat kemerahan dan coklat keemasan. Hal ini sama dengan ayam Kampung seperti

yang dikemukakan Nishida et al. (1980) bahwa konsistensi gen pengontrol

karakteristik eksternal pada ayam Kampung untuk bulu adalah berwarna (i).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sembilan ekor berwarna putih

dengan frekuensi fenotipe sebesar 0,70%. Warna putih pada unggas disebabkan oleh

adanya gen penghambat warna (I) juga disebabkan karena tidak adanya gen warna

sehingga tidak ada pigmentasi pada bulu atau tidak memiliki gen warna (C). Hal ini

juga dipertegas oleh Hutt (1949) bahwa gen putih bersifat resesif terhadap gen bulu

berwarna.

Ayam Merawang memiliki tiga macam pola warna bulu yaitu hitam (E-),

tipe liar (e+-) dan colombian (e -). Gen E, e+ dan e mempengaruhi ekspresi pola

warna bulu. Gen tersebut terdapat pada alel yang sama (satu lokus yang sama). Pada

ayam Merawang didominasi pola warna tipe liar dengan genotipe (e+-).

Ayam Merawang memiliki frekuensi fenotipe pola bulu pada penelitian ini

hampir mendekati seragam (Tabel 3). Frekuensi fenotipe pola bulu ayam Merawang

berurutan yaitu liar, hitam dan colombian. Frekuensi fenotipe sekitar 98,43% tipe

liar, sedangkan hitam 1,17% dan colombian 0,47%. Hasil penelitian ini hampir

mendekati seragam seperti yang dilaporkan Sulistyowati (2002) bahwa persentase

fenotipe untuk pola bulu dengan persentase terbesar tipe liar 97,15%, hitam 1,69%

dan colombian 0,46%. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Sesmira

(2002) yang melaporkan pada ayam Merawang memiliki pola bulu dengan

persentase tertinggi liar 33,33%, hitam 3,33% dan Colombian 33,33%.

Frekuensi fenotipe tertinggi untuk corak bulu polos 99,29% dan lurik 0,70%.

(37)

Sulistyowati (2002) yang melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki corak bulu

polos 100%. Sesmira (2002) melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki corak

bulu polos 96% dan lurik 3,33%. Corak bulu lurik ayam Merawang pada penelitian

ini adalah warna coklat lurik putih dan hitam lurik.

Frekuensi fenotipe kerlip bulu ayam Merawang pada penelitian ini hampir

mendekati seragam. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 3 yaitu frekuensi fenotipe kerlip

bulu keemasan 95,44% dan perak 4,55%. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil

penelitian Sulistyowati (2002) yang melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki

kerlip bulu emas dan perak dengan frekuensi fenotipe 79,63% dan 20,37%. Hasil

penelitian ini berbeda dengan penelitian Sesmira (2002) yang melaporkan bahwa

ayam Merawang memiliki kerlip bulu keperakan dengan frekuensi fenotipe sebesar

76,92% dan kerlip bulu keemasan dengan frekuensi fenotipe 23,08%.

Warna Shank

Keseragaman warna shank dapat dilihat dari frekuensi fenotipenya. Ayam

Merawang memiliki shank berwarna kuning/putih sebesar 98,34%. Tabel 4

menunjukkan bahwa warna shank yang dijumpai pada ayam Merawang di

Peternakan AT3 hampir mendekati seragam.

Tabel 4. Frekuensi Fenotipe Warna Shank dan Jengger Ayam Merawang di Peternakan AT3

Karakteristik Jumlah Ayam Fenotipe

Warna Shank

Hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Sesmira (2002) yang

melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki warna shank yang seragam dengan

frekuensi fenotipe 100% shank kuning. Sulistyowati (2002) juga melaporkan bahwa

frekuensi warna shank pada ayam Merawang pada penelitiannya adalah seragam

(38)

Warna kuning pada shank ayam Merawang disebabkan ekspresi gen dominan

Id yang menghambat deposisi melanin pada dermis kulit shank. Hal ini juga

dipertegas oleh Jull (1951) yang menyatakan bahwa ayam yang memiliki warna

shank kuning atau putih berarti tidak mempunyai pigmen melanin dalam dermis

karena mengandung gen Id yang mencegah penyimpanan melanin pada epidermis.

Hutt (1949) menyatakan bahwa selain alel Id ada ale l lain yang mempengaruhi warna

kulit dan warna shank, alel tersebut adalah alel W yang membawa sifat pigmentasi

carotenoid berupa xanthophyll. Ayam yang memiliki warna shank kuning

kemungkinan juga memiliki warna kulit kuning, oleh karena itu diduga ayam yang

warna shank kuning seperti ayam Merawang memiliki genotipe e+e+wwIdId.

Hasil penelitian menunjukkan ternyata pada ayam Merawang masih

ditemukan warna shank hitam dengan frekuensi fenotipe 1,65%. Shank yang

berwarna hitam disebabkan oleh adanya pigmen melanin pada epidermis.

Warna shank hitam pada ayam Merawang dipengaruhi oleh gen bulu

tertentu. Gen bulu tersebut adalah gen (E). Ayam Merawang yang memiliki shank

berwarna hitam bergenotipe id dan memiliki gen E. Hal ini dilaporkan Jull (1951)

bahwa gen warna bulu tersebut adalah gen (E) yang condong untuk memperluas

pigmentasi melanin pada shank.

Bentuk Jengger

Bentuk jengger ayam Merawang di Peternakan AT3 hampir mendekati

seragam. Hal ini tampak pada persentase fenotipe untuk bentuk jengger tunggal

adalah 99,52%, diikuti 0,23% dan 0,23% untuk bentuk jengger ros dan kapri

(Tabel 4). Hal ini mendukung hasil penelitian Sesmira (2002) dan Sulistyowati

(2002) yang melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki bentuk jengger tunggal

dengan frekuensi fenotipe 100%.

Keseragaman bentuk jengger ayam Merawang dapat digunakan untuk

pemurnian ayam Merawang, sehingga bisa menghasilkan calon bibit yang seragam

bentuk jenggernya. Untuk meningkatkan keseragaman bentuk jengger ayam

Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Ternak terjalin (AT3) maka perlu

dikeluarkan ayam Merawang yang memiliki bentuk jengger rose dan kapri dari

peternakan. Bentuk jengger rose dan kapri memiliki gen dominan yaitu R_pp dan

(39)

Frekuensi Gen

Frekuensi gen dipakai untuk mengetahui frekuensi gen yang dimaksud

terhadap jumlah gen seluruhnya dalam suatu populasi. Frekuensi gen dapat

digunakan untuk menunjukkan keragaman genetis. Frekuensi gen warna bulu, pola

bulu, corak bulu, kerlip bulu, warna shank dan bentuk jengger ayam Merawang di

Peternakan AT3 disajikan pada Tabel 5 dan 6.

Tabel 5. Frekuensi Gen Warna Bulu, Pola Bulu, Corak Bulu, Kerlip Bulu, Ayam Merawang di Peternakan AT3

Sifat Gen Frekuensi Gen

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada penelitian ini ternyata warna bulu, pola

warna bulu, corak bulu tipe liar, kerlip bulu emas, warna shank dan bentuk jengger

pada ayam Merawang lebih mudah untuk dijadikan standar pemurnian. Hal ini

diduga didaerah penelitian telah terjadi proses seleksi, sehingga banyak diternakkan

ayam-ayam yang berwarna coklat kemerahan atau coklat keemasan, warna shank

kuning dan bentuk jengger single comb.

Frekuensi gen tertinggi warna bulu adalah gen berwarna (i) sebesar 99,65%;

putih (I) 0,35%. Pola warna tipe liar (e+) paling banyak dengan frekuensi gen (e+)

(40)

yang paling sedikit dengan frekuensi gen (E) 0,59% dan (e) 6,87%. Menurut Hutt

(1949) warna colombian merupakan pola warna yang diwariskan secara resesif.

Hasil penelitian ini berbeda dengan karakteristik ayam Merawang pada penelitian

Sesmira (2002) yang melaporkan bahwa frekuensi gen berwarna (i) 0,95%, gen

tidak berwarna (I) 0,05%, corak bulu polos dengan frekuensi gen lurik (b) 1,00%,

kerlip bulu keperakan dan keemasan dengan frekuensi gen (S) 0,75% dan (s) 0,24%,

warna shank kuning dengan frekuensi gen (Id) 1,00% dan bentuk jengger tunggal

(p) 1,00%.

Corak bulu yang paling banyak pada ayam Merawang, adalah corak bulu

polos dengan frekuensi gen (b)99,62% dan gen (B) 0,38%. Kerlip bulu ayam

Merawang pada penelitian ini paling banyak adalah kerlip bulu keemasan dengan

frekuensi gen (s) 97,16% dan kerlip bulu keperakan gen (S) paling sedikit yaitu

2,84%. Gen kerlip bulu keperakan (S) dan keemasan(s) merupakan gen terkait

kelamin (Stutervan, 1912 dalam Hutt, 1994). Melalui persilangan berulang kali

antara Brown Leghorn dan Colombian Wyandotte, gen hitam dan putih dapat

mempengaruhi gen keperakan dan keemasan yang dapat dibedakan melalui uji

perkawinan (Hutt, 1949). Frekuensi gen warna shank dan bentuk jengger ayam

Merawang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Frekuensi Gen Warna Shank dan Bentuk Jengger Ayam Merawang di Peternakan AT3

Tabel 6 menunjukkan bahwa warna cakar atau shank kuning/putih (id) pada

ayam Merawang di Peternakan AT3 lebih besar dari shank hitam (Id) dengan

frekuensi gen masing- masing 99,05% dan 0,95%. Frekuensi gen untuk warna shank

dan bentuk jengger pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian Sulistyowati

(41)

bentuk jengger ayam Merawang yaitu gen (Id) 100% dan gen (id) 1,00%. Bentuk

jengger ayam Merawang di Peternakan AT3 dalam penelitian ini hampir mendekati

seragam dengan frekuensi gen tertinggi pada single comb sebesar 0,9976, ros 0,0012

dan kapri 0,0012.

Sifat Kualitatif

Genotipe dan Fenotipe Ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin

Karakteristik eksternal ayam Merawang di Peternakan AT3 untuk warna

bulu, pola warna bulu, corak bulu, kerlip bulu, bentuk jengger dan warna shank

hampir mendekati seragam. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi fenotipe dan

frekuensi gennya. Pada lokasi penelitian banyak dipelihara ayam Merawang warna

coklat, dengan variasi coklat kemerahan dan coklat keemasan (bulu berwarna),

bentuk jengger tunggal (single comb) dan warna shank kuning. Bentuk jengger ros

dan kapri serta warna shank hitam ditemukan pada ayam Merawang pada lokasi

penelitian. Hal ini disebabkan di lokasi penelitian terdapat ayam Kampung yang

dipelihara secara bersama-sama, sehingga ada kemungkinan perkawinan antara ayam

Kampung dengan ayam Merawang, sehingga kemungkinan genotipe dan fenotipe

ayam Merawang di Peternakan AT3 seperti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kemungkinan Genotipe dan Fenotipe Ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Teranak Terjalin (AT3) Saklat

Fenotipe E_B_C_ ii Id_rrpp Berwarna Polos Lurik Kuning Tunggal E_bbC_ ii Id_rrpp Berwarna Polos Polos Kuning Tunggal e+_bbC_ ii Id_rrpp Berwarna Tipe Liar Polos Kuning Tunggal eeB_C_ii Id_rrpp Berwarna Columbian Lurik Kuning Tunggal eebbc_ ii Id_rrpp Berwarna Columbian Polos Kuning Tunggal ccii_ Id_rrpp Putih Polos Polos Kuning Tunggal

Warna bulu ayam Merawang paling banyak pada penelitian ini adalah

berwarna dengan frekuensi gen 99,65%. Pola warna bulu ayam Merawang paling

banyak adalah adalah tipe liar dengan frekuensi fenotipe 98,34% dan frekuensi

genotipe 92,54%. Corak bulu ayam Merawang paling banyak adalah polos dengan

(42)

memiliki kerlip bulu paling banyak di Peternakan AT3 adalah kerlip keemasan

dengan frekuensi fenotipe 95,44%dan frekuensi genotipe 97,16%. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa di lokasi penelitian banyak ditemukan ayam Merawang

memiliki bentuk jengger tunggal (single comb) dengan frekuensi fenotipe 99,52%

dan frekuensi genotipe 99,76%. Warna shank yang ditemukan pada ayam merawang

di Peternakan AT3 yang paling banyak adalah warna shank kuning/putih dengan

frekuensi fenotipe 98,34% dan frekuensi genotipe 99,05%.

Sifat Kuantitatif

Sifat kuantitatif dari seekor ternak sangat penting untuk diketahui sehingga

memudahkan dalam menduga produktivitas dari seekor ternak. Sifat kuantitatif

dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetik, terutama ketersediaan pakan dan sistem

pemeliharaan. Mansjoer (1985) menyatakan dalam bidang peternakan unggas,

sifat-sifat kuantitatif yang penting adalah yang berhubungan dengan produksi,

misalnya produksi telur dan umur bertelur pertama, bobot tetas dan bobot badan.

Sifat-sifat kuantitatif selain dipengaruhi oleh genotipenya juga dipengaruhi oleh

lingkungan, serta interaksi antara genotip e dan lingkungan.

Produksi Telur (Hen-Housed Production)

Produksi telur merupakan parameter utama yang digunakan sebagai kriteria

pemilihan bibit ayam Merawang petelur ya itu dengan menghitung jumlah telur yang

dihasilkan oleh ayam Merawang. Hen-housed sering dijadikan patokan untuk

mengetahui produksi telur harian. Jika produksi telur pada hari tersebut banyak,

maka persentase hen-housed akan meningkat. Adanya kematian pada ayam yang

sedang berproduksi akan mempengaruhi hen-housed. Ayam betina yang tidak

berproduksi telur juga mempengaruhi hen-housed. Produksi telur (hen- housed)

ayam Merawang di Peternakan AT3 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 menunjukkan produksi telur ayam Merawang di Peternakan AT3

selama 10 minggu penelitian sangat rendah. Rendahnya produksi telur ayam

Merawang selama penelitian disebabkan umur ayam tidak seragam (kisaran umur

1-1,5 tahun), sebagian betina tidak berproduksi, adanya sifat mengeram, kualitas pakan

yang diberikan pada saat penelitian kurang baik, mortalitas dan pengaruh suhu. Hal

(43)

satu periode disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pengaruh suhu lingkungan, sistem

pemeliharaan, umur, mortalitas, kesehatan dan seleksi.

Tabel 8. Rataan dan Koefisien Keragaman Produksi Telur (hen- housed) Ayam Merawang per Minggu di Peternakan AT3 Selama Penelitian.

Minggu Produksi Telur (hen-housed)

X + sb Koefisien Keragaman

Ayam Merawang mencapai puncak produksi pada minggu kelima sekitar

336,14+30,10 butir/hari dengan persentase hen-housed 1,34% (n=548 ekor).

Menurunnya persentase hen-housed selama penelitian disebabkan umur ayam tidak

seragam, adanya betina yang mati karena terserang berak hijau dan putih (penyakit)

yang mengakibatkan jumlah betina berkurang, sehingga produksi telur harian selama

penelitian menurun. Pada minggu ke-10 produksi telur meningkat walaupun tidak

setinggi pada minggu ke-5, hal ini disebabkan karena pemberian Therapi dan Vita

Stres sehingga ind ikasi kotoran ayam berwarna hijau maupun putih dan stres pada

ayam mulai menurun.

Prasetyo et al. (1985) menyatakan bahwa masa produksi telur pada ayam

Kampung sangat bervariasi sehingga mengakibatkan produksi telur pada

periode-periode tertentu bervariasi, hal ini sangat tergantung pada sistem pemeliharaan.

Hen-housed ayam Merawang secara keseluruhan selama 10 minggu adalah

50,98%. Produksi hen-housed ayam Merawang per minggu selama 10 minggu

penelitian di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) secara berturut-turut

(44)

Koefisien keragaman produksi telur ayam Merawang pada Tabel 8

menunjukkan variasi. Variasi koefisien keragaman disebabkana karena faktor

lingkungan (suhu kandang). Pengaruh suhu kandang menyebabkan produksi telur

menurun dan ukuran telur menjadi kecil. Selama penelitian rataan suhu kandang

pada pagi hari 24,71oC, siang hari 31,97oC dan malam hari 26,41oC. Selama penelitian perubahan suhu harian selalu berubah-ubah dengan kisaran 4-50C.

Perubahan suhu harian ini menyebabkan produksi telur rendah. Suhu kandang pada

siang hari bisa mencapai 32oC sehingga produksi telur harian menurun. Creswell dan Hardjosworo (1979) melaporkan bahwa Indonesia terletak di bagian yang lembab

dari daerah tropis (60 Lintang Utara- 110 Lintang Selatan) sehingga selalu mengalami suhu dan kelembaban yang tinggi. Farrell (1979) melaporkan bahwa pada suhu

32 oC atau lebih dapat menurunkan produksi telur dan ukuran telur menjadi kecil.

Perubahan suhu kandang selama penelitian menyebabkan produksi telur tidak stabil.

Menurut Creswell dan Hardjosworo (1979) di daerah tropis seperti Indonesia,

produksi telur dari ayam-ayam petelur dapat dipertahankan normal sampai 30oC dengan meningkatkan kadar gizi (terutama protein) dalam ransum. Suhu lingkungan

diatas 30 oC menyebabkan produksi telur menurun

Nilai koefisien keragaman terbesar pada minggu ke-7 (39,08%) kemudian

diikuti minggu ke-3 (26,90%), minggu ke-1 (24,88%), minggu ke-6 (24,53%),

minggu ke-10 (24,23%), minggu ke-2 (23,02%), minggu ke-9 (16,17%), minggu-8

(16,01), minggu ke ke-4 (15,23%) dan minggu ke-5 (8,95%). Berdasarkan nilai

koefisien keragaman tersebut berarti produksi telur ayam Merawang masih beragam.

Oleh karenanya untuk meningkatkan produksi telur dapat dilakukan seleksi terhadap

induk dewasa sehingga diperoleh calon bibit yang produksinya tinggi.

Mortalitas

Mortalitas merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan efisiensi

produksi suatu usaha beternak unggas. Mortalitas disebabkan oleh beberapa faktor

seperti sanitasi dan makanan yang kurang memenuhi standar. Mortalitas ayam

(45)

Mortalitas DOC dan Fase Starter

Mortalitas ayam Merawang pada DOC dan fase starter di Peternakan AT3

disajikan pada Tabel 9. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingginya tingkat

mortalitas DOC di Peternakan AT3 selama penelitian mencapai 12,00% (60 ekor).

Tingkat mortalitas yang terjadi sebanyak 8,00% (40 ekor) disebabkan oleh

faktor kecelakaan seperti dimakan tikus 5,00% (25 ekor); burung 1,00% (5 ekor);

tidak diketahui 2,00% (10 ekor). Hasil Penelitian ini lebih baik dari yang dilaporkan

Lulusno (1991) yang menyatakan bahwa mortalitas anak ayam umur 0-4 minggu

yang dipelihara secara ekstensif kematiannya disebabkan dimangsa kucing, tikus,

musang (13,8%); kelemahan fisik (19,7%); masuk kolam (15,2); sakit mata (3,6%);

tidak diketahui (10,6%) dan dipatuk induk ayam (9,1%)

Tabel 9. Persentase dan Rataan Mortalitas ayam Merawang DOC dan

Starter di Peternakan AT3 Selama penelitian Fase

Sifat DOC Starter

Mortalitas Persentase Mortalitas Persentase

Faktor Penyebab :

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat mortalitas yang terjadi

pada ayam Merawang DOC disebabkan oleh faktor manajemen 3,00% (15 ekor) dan

yang disebabkan oleh penyakit adalah 1,00% (5 ekor).

Tingginya angka kematian anak ayam DOC di Peternakan AT3 selama

penelitian disebabkan karena manajemen pemberian pakan tidak diperhatikan,

kebersihan kandang kurang dijaga dan penggunaan kandang indukan tidak memadai.

Hal ini dipertegas Abidin (2002) bahwa mortalitas DOC dan fase starter pada ayam

petelur merupakan periode kritis, penanganan yang baik dapat menekan angka

kematian 10%. Angka kematian diatas 10% dapat menyebabkan kerugian pada usaha

peternakan. Mortalitas pada unggas sangat rawan pada fase- fase awal, termasuk

ayam Kampung yang merupakan hewan berdarah dingin yakni suhu tubuhnya sangat

(46)

ayam belum memiliki bulu yang berfungsi untuk mengontrol suhu tubuh. Menurut

Subiharta et al. (1992) kematian aya m Kampung pada saat menetas sampai umur tiga

bulan dapat diturunkan dengan penggunaan kandang indukan dan vaksinasi ND.

Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat mortalitas fase starter di Peternakan

AT3 selama penelitian sebanyak 6,29% (40 ekor).Tingkat mortalitas terjadi sebanyak

3,14% (20 ekor) disebabkan oleh faktor manajemen seperti kanibalisme 2,34%

(15 ekor), tidak diketahui 0,78% (5 ekor). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

mortalitas ayam Merawang fase starter disebabkan oleh faktor kecelakaan 1,57%

(10 ekor) dan penyakit 1,57% (10 ekor). Kanibalisme terjadi pada umur empat

minggu. Hal tersebut disebabkan karena pertumbuhan bulu ayam Merawang lambat.

Pada saat ayam sedang tumbuh bulu akan menarik perhatian aya m-ayam lainnya

yang menyebabkan bulu tersebut dipatuk sehingga mengeluarkan darah. Pendarahan

dari bulu tersebut merangsang ayam yang lain untuk mematuk sehingga

mengakibatkan kematian

Berdasarkan hasil analisis pemeriksaan Laboratorium Patologis Unggas,

Jurusan Parasitologi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Bogor penyakit yang menyerang ayam Merawang DOC dan fase starter adalah

penyakit Tetelo (ND). Hal ini dilihat dengan tanda-tanda yang tampak dilapang

adalah na fsu makan kurang, anak ayam lesu dan pada tahap permulaan kotoran ayam

berwarna putih seperti kapur. Selanjutnya menurut Samosir dan Sudaryani (2001)

gejala- gejala umum yang ditimbulkan yaitu jengger dan kepala membiru, sayap

terkulai, ayam tampak lesu, nafsu makan menurun, kotoran memerah dan encer serta

otot dan tubuh lesu.

Pencegahan penyakit yang dilakukan selama penelitian adalah pemberian

vaksin ND dan Gumboro, cara pemberian vaksin ND dan Gumboro adalah lewat

tetes mata, melakukan sanitasi dan pembersihan kandang induknya yang ketat

sehingga tingkat mortalitas dapat ditekan. Pemberian vaksinasi lewat tetes mata

biasanya dilaksanakan pada ayam berumur dua sampai tiga minggu. Hal ini juga

dipertegas oleh Rasyaf (1996) bahwa pemberian vaksinasi lewat tetes mata paling

efektif dilaksanakan pada saat ayam berumur dua sampai empat minggu. Pemberian

di atas umur empat minggu kurang efektif. Samosir dan Sudaryani (2001)

(47)

menyebabkan tingkat kematian dalam waktu yang singkat dan tingkat kematian

dapat mencapai 70-90%.

Mortalitas Fase Growing dan Fase Laying

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat mortalitas tertinggi ayam

Merawang fase Grower di Peternakan AT3 selama penelitian mencapai 4,00%

(29 ekor). Mortalitas yang terjadi sekitar 2,76 % (20 ekor) disebabkan oleh faktor

manajemen, kecelakaan 0,69% (5 ekor) dan penyakit 0,55% (4 ekor).

Tabel 10 menunjukkan bahwa tingkat mortalitas ayam Merawang fase

bertelur (laying) di Peternakan AT3 selama penelitian mencapai 2,55% (14 ekor).

Mortalitas terjadi sekitar 1,09% (6 ekor) disebabkan oleh manajemen, kecelakaan

0,91% (5 ekor) dan penyakit 0,54% (3 ekor).

Mortalitas yang terjadi pada ayam fase Grower dan bertelur (laying) di

Peternakan AT3 selama penelitian sangat rendah. Hal ini dipertegas Abidin (2002)

bahwa mortalitas pada fase growing dan fase laying pada ayam petelur dapat

ditekan dengan manajemen pemberian pakan yang baik dan pemeliharaan

diperhatikan. Manajemen pemberian pakan dan pemeliharaan yang baik dapat

menekan angka mortalitas 5%.

Tabel 10. Persentase dan Rataan Mortalitas Ayam Merawang Fase Grower

dan Fase Bertelur (laying) di Peternakan AT3 Selama Penelitian Fase

Sifat Growing Laying

Mortalitas Persentase Mortalitas Persentase

Faktor Penyebab :

Hal ini disebabkan pada umur- umur tersebut manajemen pemeliharaan lebih

baik terutama kebersihan lingkungan kandang serta kualitas dan kuantitas pakan

ditingkatkan. Sistem pemeliharaan ayam Merawang fase growing dan laying di

Peternakan AT3 secara intensif dipelihara dalam kandang selama 24 jam dan

(48)

yang menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ayam secara intensif dapat menekan

angka mortalitas sampai 75%.

Hasil pemeriksaan di Laboratorium Patologi Unggas, Jurusan Parasitologi

dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor penyakit yang

menyerang ayam Merawang fase Growing adalah Gumboro. Gambaran umum

anatomi patologi dapat dilihat yaitu adanya pembesaran bursa fabricius dan

kadang-kadang sering terjadi oedemateus dan hemorrhagik akan semakin kecil. Biasanya

hemorrhagik menyerang Gumboro yang akut.

Jenis penyakit yang menyerang ayam Merawang fase bertelur (laying) adalah

penyakit saluran pernafasan (infectious bronchitis) dan jenis penyakit ini menyerang

ayam pada minggu terakhir penelitian. Samosir dan Sudaryani (2001) menyatakan

bahwa penyakit saluran pernapasan (infectious bronchitis) merupakan penyakit

menular yang disebabkan oleh virus tarpela pulli dan jenis penyakit ini dapat

menyerang semua jenis umur.

Tiga ekor yang mati disebabkan oleh penyakit saluran pernapasan dan

gangguan pada ovarium. Hal ini terjadi akibat sanitasi yang kurang baik yaitu adanya

timbunan kotoran ayam di sekitar kandang, sehingga amoniak yang ditimbulkan

mengganggu kesehatan ayam. Hal ini sesuai dengan hasil analisis di Laboratorium

Patologi Unggas, Jurusan Parasitologi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor.

Gejala umum yang tampak di lapang adalah ayam susah bernapas, batuk,

bersin dan ayam banyak bertengger. Hal ini dipertegas oleh Samosir dan Sudaryani

(2001) bahwa gejala-gejala umum yang ditimbulkan adalah perna fasan susah, batuk,

bersin dengan na fas yang berbunyi, terjadi pembengkakan pada sinus-sinus kepala,

mata sering berair, pertumbuhan lambat, bentuk telur abnormal dan

kerusakan-kerusakan oviduct.

Sistem pencegahan penyakit yang dilakukan selama penelitian adalah

pemberian vaksin aktif La Sota produksi PT. Medion. Pemberian vaksin aktif

La Sota adalah untuk mencegah penyakit ND dan Gumboro. Dosis untuk vaksinasi

ND adalah melarutkan vaksinasi ND sebanyak 1g dalam 2 liter air, kemudian

dilanjutkan dengan pemberian air minum berenergi dengan melarutkan gula

(49)

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Fenotipik ayam Merawang di Peternakan AT3 hampir mendekati seragam.

Warna bulu yang paling banyak ditemui adalah warna coklat dengan variasi coklat

kemerahan dan coklat keemasan. Pola warna bulu yang paling banyak ditemukan

pada ayam Merawang adalah tipe liar dengan frekuensi fenotipe 98,34% dan

frekuensi gen 92,54%. Corak bulu yang paling banyak adalah polos dengan frekuensi

fenotipe 99,29% dan frekuensi gen 99,62%, sedangkan kerlip bulu yang paling

banyak ditemukan adalah kerlip keemasan dengan frekuensi fenotipe 95,44% dan

frekuensi gen 97,16%. Warna shank yang paling banyak adalah warna shank

kuning/putih dengan frekuensi fenotipe 98,34% dan frekuensi gen 99,05%. Bentuk

jengger yang ditemukan pada ayam Merawang adalah bentuk jengger tunggal dengan

frekuensi fenotipe 99,52% dan frekuensi gen 99,76%.

Puncak produksi telur ayam Merawang di Peternakan AT3 adalah pada

minggu ke-5 sekitar 336,14±30,10 butir/hari dengan persentase hen-housed 61,34%. Pada minggu ke-10 produksi telur meningkat walaupun tidak setinggi pada minggu

ke-5, hal ini disebabkan karena pemberian Therapi dan Vita Stres sehingga indikasi

kotoran ayam berwarna hijau maupun putih dan stres pada ayam mulai menurun.

Persentase hen-housed selama 10 minggu penelitian adalah 50,98%.

Mortalitas ayam Merawang di peternakan AT3 selama penelitian terjadi pada

DOC dengan persentase tertinggi 16,26%. Mortalitas pada DOC di Peternakan AT3,

karena kandang indukan kurang, dinding kandang mengalami kerusakan, sehingga

memudahkan keluar masuknya tikus kedalam kandang, pengaturan alat pemanas

terlalu panas. Kematian ayam Merawang fase starter di peternakan AT3 disebabkan

manajemen pemeliharaan tidak diperhatikan, sehingga menyebabkan kanibalisme

yang terjadi pada umur 12 minggu. Penyakit yang menyerang ayam Merawang fase

DOC dan fase starter adalah penyakit Tetelo (ND).

Mortalitas fase growing di Peternakan AT3 selama penelitian mencapai

4,00%. Mortalitas yang terjadi sekitar 2,72% disebabkan oleh faktor manajemen,

kecelakaan 0,69% dan penyakit 0,55%. Mortalitas ayam Merawang fase bertelur

(laying) di Peternakan AT3 selama penelitian mencapai 2,55%. Mortalitas terjadi

(50)

Penyakit yang menyerang ayam Merawang fase growing dan fase bertelur (laying)

adalah Gumboro dan penyakit saluran pernafasan (infectious bronchitis) dan jenis

penyakit ini menyerang ayam pada minggu terakhir penelitian.

Saran

Untuk memperoleh produktivitas ayam Merawang yang memiliki sifat-sifat

unggul sebaiknya dilakukan seleksi dalam pemurnian ayam Merawang. Sistem

pencatatan dalam usaha peternakan baik skala kecil maupun skala besar harus

dilaksanakan setiap saat untuk mengetahui kemajuan suatu usaha. Manajemen

pemeliharaan, perkandangan, pemberian rans um dan pengontrolan terhadap penyakit

Gambar

Tabel 2. Karakteristik Genetik Eksternal.
Tabel 3.  Frekuensi Fenotipe Warna Bulu, Pola Bulu, Corak Bulu, Kerlip   Bulu, di Peternakan AT3
Tabel 4. Frekuensi Fenotipe  Warna Shank dan Jengger Ayam Merawang di    Peternakan AT3
Tabel 5 menunjukkan bahwa pada penelitian ini ternyata warna bulu, pola
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kegiatan mengamati gambar sambil berdiskusi, siswa dapat memilih sikap-sikap yang baik yang ditunjukkan pada gambar.. Dengan melakukan kegiatan pengurangan bersama guru,

Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningtyas (2012), dimana di dapat hasil rata-rata tekanan darah sistolik penderita hipertensi adalah

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa, (1) Ada pengaruh antara kepribadian guru terhadap prestasi siswa mata pelajaran PAI di SMPN 1 Mlarak Ponorogo Tahun Ajaran 2017/2018

Dimana Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) Kec. Lintong Nihuta dapat membaur dengan peserta penyuluhan. Pendekatan Kelompok adalah suatu pendekatan dengan daya jangkau

Mengajar yang dilandasi oleh persepsi yang positif akan memperoleh hasil yang baik karena dengan adanya persepsi terhadap mata pelajaran yang baik dalam diri guru (khusunya

Flat Slab biasanya ekonomis untuk bangunan gedung, parkir dan pabrik dan bangunan sejenis dimana drop panel atau kepala kolom yang terbuka diizinkan.Pelat

Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa performa sapi kuantan jantan unggul dapat dilihat dari klasifikasi kriteria ukuran testis yang berkolerasi positif kadar hormon

Korosi retak tegang (Stress Corrosion Cracking) adalah istilah yang diberikan untuk peretakan intergranular atau transgranular pada logam akibat kegiatan gabungan antara