• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyerutan (Planing)

Berdasarkan Tabel 4 berikut ini dapat diketahui bahwa kayu mangga menunjukkan kualitas penyerutan sangat baik (kelas I) dengan persentase rata-rata permukaan bebas cacat sebesar 91 %.

Tabel 4. Persentase Rata-rata Permukaan Bebas Cacat pada Proses Penyerutan

Jenis Cacat Permukaan Kayu (%) Permukaan Sifat Pemesinan Kayu Serat Bulu Tanda bebas cacat

terserpi halus serpih (%)

Mangga 6 1 2 91 Sangat baik

Cacat yang teramati pada hasil uji penyerutan yang disajikan pada Lampiran 2 adalah serat terserpih (chip grain), bulu halus (fuzzy grain), dan tanda serpih (chip mark). Cacat yang paling banyak muncul adalah serat terserpih yaitu 6 %, diikuti tanda serpih dan bulu halus masing-masing 2 % dan 1 %. Adha (2005), menyatakan cacat yang teramati akibat uji pembentukan adalah serat terserpih (chip grain), bulu halus (fuzzy grain), dan tanda serpih (chip mark).

Pada proses penyerutan banyak timbul serat yang terlepas dan bentuk lekukan-lekukan pada permukaan kayu seperti pada Gambar 3. Khususnya cacat serat terserpih hampir merata terdapat pada semua permukaan kayu contoh uji penyerutan, cacat ini terbentuk diduga karena tebalnya serat-serat kayu (tatal) kayu mangga. Menurut Koch (1964), serat yang tebal kekuatan lenturnya (bending) lebih tinggi dari tatal tipis. Oleh sebab itu, tatal tebal akan cenderung terbelah (splitting), sehingga pada permukaan papan akan terbentuk cacat akibat belahan tadi. Cacat yang terbentuk ini biasanya disebut serat terserpih.

Mandang dan Pandit (1997) menjelaskan bahwa adanya serat terpadu dan miring serat pada kayu disebabkan kerena arah letak serat longitudinal pada suatu lapisan kayu berbeda dengan arah sel-sel pada lapisan kayu berikutnya. Kayu mangga diduga memiliki serat terpadu dan miring serat, dimana serat tepadu dan miring serat dapat menyebabkan serat pada permukaan kayu saat proses pengerjaan tidak terpotong dengan sempurna sehingga dapat merangsang timbulnya cacat yaitu serat terserpih. Menurut Darmawan (1997), adanya serat berpadu dan miring serat cenderung merangsang timbulnya cacat penyerutan yang disebut cacat serat tersepih.

Pada papan contoh uji penyerutan terdapat cacat bulu halus seperti pada Gambar 4 dengan persentase permukaan bebas cacatnya sebesar 1 %. Cacat bulu halus banyak ditemukan pada bagian pinggir permukaan kayu dan perbatasan antara kayu gubal dan kayu teras. Koch (1964) mengemukakan bahwa kayu gubal dan kayu teras memiliki sifat fisik yang berbeda, yaitu kayu gubal memiliki berat jenis rendah dan lunak sedangkan kayu teras memliki berat jenis tinggi dan keras, dimana kayu yang memiliki berat jenis rendah mengandung kadar air yang tinggi dan sebaliknya kayu yang memiliki berat jenis tinggi akan mengandung kadar air rendah. Perbedaan kadar air kayu gubal dan kayu teras pada permukaan kayu mangga diduga menyebabkan timbulnya cacat bulu halus pada saat pengerjaan. Menurut siswanto (2002), Perbedaan kadar air kayu gubal dan kayu teras menyebabkan pemotongan serat yang tidak sempurna pada daerah tersebut dan mengakibatkan timbulnya cacat bulu halus.

Laju pengumpanan dan tebal ketaman yang tidak konsisten serta laju pengumpanan pada saat pengujian yang terlalu rendah dan tebal penyerutan terlalu tipis dalam proses penyerutan diduga juga memicu timbulnya serat berbulu halus. Menurut Darmawan (1997), penyerutan dengan laju penyerutan rendah dan tebal serutan tipis akan terjadi pergeseran serat-serat kayu oleh pisau penyerutan, ini berarti serat-serat kayu tersebut tidak terpotong sempurna oleh mata pisau, melainkan terjadi kerusakan serat-serat kayu sehingga timbul cacat serat berbulu halus pada permukaan kayu.

Tumpulnya mata pisau pada proses penyerutan juga mempengaruhi hasil penyerutan. Terbukti ketika dilakukan proses penyerutan pertama pada contoh uji

penyerutan menyebabkan hasilnya kurang baik, tetapi setelah dilakukan penajaman mata pisau hasil penyerutan yang diperoleh menjadi lebih baik.

Gambar 4. Cacat Bulu Halus pada Proses Penyerutan

Pada papan contoh uji penyerutan terdapat cacat tanda serpih seperti pada Gambar 5 dengan persentase permukaan bebas cacatnya sebesar 2 %. Tanda serpih merupakan lekukan dangkal pada permukaan kayu yang disebabkan oleh adanya kayu yang menempel pada ujung pisau. Bisa juga disebabkan karena kadar resin kayu tinggi. Cacat tanda serpih yang ditemukan pada permukaan kayu diduga karena kayu mangga termasuk ke dalam kekerasan yang rendah (kayu lunak) sehingga pisau serut mudah menempel pada kayu. Menurut Darmawan (1997), cacat tanda serpih terbentuk akibat rendahnya kekerasan kayu, sehingga serat-serat kayu akan sangat mudah dilekukkan pada permukaan papan yang telah diserut oleh mata pisau.

Gambar 5. Cacat Tanda Serpih pada Proses Penyerutan

Pembentukan (Shaping)

Berdasarkan Tabel 5 berikut ini dapat diketahui bahwa kayu mangga menunjukkan kualitas pembentukan sangat baik (kelas I) dengan persentase rata-rata permukaan bebas cacat sebesar 86 %.

Tabel 5. Persentase rata-rata permukaan bebas cacat pada proses Pembentukan

Jenis Cacat Permukaan Kayu (%) Permukaan Sifat Pemesinan Kayu Serat Bulu Tanda bebas cacat

terangkat halus serpih (%)

Cacat yang muncul pada hasil uji pembentukan yang disajikan pada Lampiran 3 adalah serat terangkat, bulu halus dan tanda serpih. Cacat yang paling banyak muncul adalah serat terangkat yaitu sebesar 8 %, diikuti bulu halus dan tanda serpih yang besarnya sama 3 %. Adha (2005), menyatakan cacat yang teramati akibat uji pembentukan adalah serat terangkat, bulu halus dan tanda serpih.

Cacat serat terangkat banyak muncul diduga karena terangkatnya kayu akhir sehingga lebih tinggi daripada kayu awal dan kayu akhir lebih keras daripada kayu awal. Menurut Darmawan (1997), penyebab serat terangkat adalah kayu akhir lebih keras daripada kayu awal.

Tanda serpih yang muncul pada proses pembentukan ditandai dengan adanya lekukan dangkal pada kayu. Kayu mangga yang memiliki kandungan getah diduga membuat mata pisau mudah menempel pada permukaan kayu. Darmawan (1997) menyatakan bahwa tanda serpih dapat muncul ditentukan oleh kandungan getah dan resin kayu tinggi dan karakteristik kayu itu sendiri.

Proses pembentukan yang dilakukan pada sisi panjang kayu yang membentuk sudut 900 atau tegak lurus diduga menyebabkan bulu halus timbul. Adha (2005), menyatakan bahwa proses pembentukan menyebabkan sudut potong pisau dengan arah pisau dan arah serat kayu menjadi tegak lurus sehingga serat-serat kayu yang tidak terpotong dengan sempurna akan berdiri dan membentuk bulu-bulu halus.

Gambar 7. Cacat Serat Terangkat pada Proses Pembentukan

Menurut Bakar (2003), proses pembentukan ini merupakan proses peripheral milling, yakni suatu proses pemotongan dimana bagian bidang kerja dipotong menjadi tatal-tatal oleh beberapa mata pisau yang berputar terus-menerus, sehingga akan terbentuk tatal-tatal pendek. Menurut Darmawan (1997), bahwa tatal-tatal yang pendek memiliki kekuatan lentur yang rendah sehingga tatal-tatal ini mudah tergeser oleh mata piasu, karena adanya gaya geser yang bekerja maka serat-serat kayu tidak terpotong sempurna dan terbentuk serat bebulu halus. Koch (1964) menyatakan bahwa untuk memperoleh hasil pembentukan yang lebih baik dapat dicapai dengan mengunakan proses down milling dari pada konvensional up milling. Pada proses down milling arah putar pisau sejajar dengan arah gerak bidang kerja, sedangkan pada proses up milling arah putar mata pisau berlawanan arah dengan arah gerak bidang kerja.

Pengeboran (Boring)

Berdasarkan Tabel 6 berikut ini dapat diketahui bahwa kayu mangga menunjukkan kualitas pengeboran sangat baik (kelas I) dengan persentase rata-rata permukaan bebas cacat sebesar 86 %.

Tabel 6. Persentase Rata-rata Permukaan Bebas Cacat pada Proses Pengeboran

Jenis Cacat Permukaan Kayu (%) Permukaan Sifat Pemesinan Kayu Serat Serat Bebas Cacat

Terhancur Tersobek (%)

Mangga 6 8 86 Sangat baik

Gambar 8. Hasil Proses Pengeboran Kayu Mangga.

Gambar 8 menunjukkan hasil permukaan kayu mangga setelah dilakukan pengeboran dimana bagian kayu yang sobek dan hancur akibat proses pengeboran dapat terlihat dengan jelas. Cacat yang paling banyak muncul pada hasil uji pengeboran adalah serat tersobek yaitu sebesar 8 %, diikuti serat terhancur sebesar 6 %. Adha (2005), menyatakan cacat yang teramati akibat uji pengeboran adalah serat tersobek dan terhancur.

Kecepatan putar bor mempengaruhi hasil yang diperoleh, semakin cepat putarannya akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan bor yang putarannya lebih lambat. Selain itu proses pengeboran yang dilakukan dengan kecepatan lambat dapat menyebabkan kegiatan pengeboran menjadi lebih sulit dan lebih mudah menimbulkan cacat pada permukaan lubang bor. Meskipun kecepatan putar bor cepat, pada contoh uji yang diamati masih terdapat cacat pemesinan, diantaranya serat terhancur dan serat tersobek. Menurut Davis (1962) dalam Siswanto (2002), salah satu kriteria dari hasil pengeboran yang bagus yaitu permukaan yang bersih dan halus dengan sedikit serat terhancur dan serat yang tersobek.

Berat jenis diduga juga mempengaruhi kualitas hasil pengeboran, dimana kayu mangga memiliki berat jenis 0.60-0.75 dan termasuk ke dalam kelas sedang. Semakin tinggi berat jenis kayu maka kekerasan kayu juga tinggi dan kayu yang memiliki kekerasan tinggi lebih mudah untuk dilakukan pengeboran serta hasilnya juga bagus dibandingkan dengan berat jenis kayu rendah yang memiliki kekerasan rendah. Menurut Davis (1962) dalam Siswanto (2002), secara umum kayu yang memiliki berat jenis sedang sampai tinggi menghasilkan permukaan pengeboran yang lebih halus dibandingkan dengan kayu yang memiliki berat jenis rendah.

Proses pengerjaan kayu yang kurang sempurna juga mempengaruhi timbulnya cacat. Adha (2005) menyatakan ketika mata bor ditarik ke atas dari lubang kayu ada sebagian serat di bagian pingir lubang ikut tertarik sehingga menyebakan timbulnya serat terhancur atau serat tersobek. Siswanto (2002) menambahkan bahwa proses pengeboran yang kurang sempurna menyebakan serat kayu terangkat dan tersobek pada ujung atau pinggir papan.

Gambar 9. Cacat Serat Terhancur pada Proses Pengeboran

Gambar 10. Cacat Serat Tersobek pada Peoses Pengeboran

Pembutan alur (Routing)

Berdasarkan Tabel 7 berikut ini dapat diketahui bahwa kayu mangga menunjukkan kualitas pembuatan alur sangat baik (kelas I) dengan persentase rata-rata permukaan bebas cacat sebesar 91 %.

Tabel 7. Persentase Rata-rata Permukaan Bebas Cacat pada Proses Pembuatan Alur

Jenis Cacat Permukaan Kayu (%) Permukaan Sifat Pemesinan Kayu Serat Bulu Bebas Cacat (%)

Terangkat Halus

Mangga 6 3 91 Sangat baik

Gambar 11. Hasil Proses Pembuatan Alur

Cacat yang muncul pada hasil uji pembuatan alur yang disajikan pada lampiran 5 adalah serat terangkat dan bulu halus. Cacat yang paling banyak muncul adalah serat terangkat sebesar 6 % dan diikuti bulu halus sebesar 3 %. Adha (2005), menyatakan cacat yang teramati akibat uji pembuatan alur adalah serat terangkat dan bulu halus. Cacat serat terangkat yang timbul akibat pembuatan alur seperti yang terlihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Cacat Serat Terangkat pada Proses Pembuatan Alur

Proses pembuatan alur yang dikerjakan secara sejajar dan berlawanan arah serat dengan mata pisau R6 diduga menyebabkan timbulnya cacat serat terangkat dan bulu halus. Serat terangkat yang timbul diduga karena adanya serat berpadu pada permukaan kayu. Hal ini disebabkan karena cacat serat terangkat lebih banyak ditemukan pada bagian serat berpadu dari dari pada serat lurus. Menurut Davis (1965) dalam Siswanto (2002) pembuatan alur dengan menggunakan proses peripheral milling cenderung akan menimbulkan cacat, baik up milling (arah putar pisau berlawanan arah dengan arah bidang gerak kerja) maupun down milling (arah putar pisau sejajar dengan arah gerak bidang kerja).

Pengampelasan (sanding)

Berdasarkan Tabel 8 berikut ini dapat diketahui bahwa kayu mangga menunjukkan kualitas pengampelasan sangat baik (kelas I) dengan persentase rata-rata permukaan bebas cacat sebesar 88 %.

Tabel 8. Persentase Rata-rata Permukaan Bebas Cacat pada Proses Pengampelasan

Jenis Cacat Permukaan Kayu (%) Permukaan Sifat Pemesinan Kayu Bulu Bebas Cacat (%)

Halus

Mangga 12 88 Sangat baik

Gambar 13. Hasil Proses Pengampelasan

Jenis cacat yang teramati pada hasil uji pengampelasan yang disajikan pada Tabel 8 hanya cacat bulu halus yaitu sebesar 12 %. Adha (2005) menyatakan cacat yang teramati akibat uji pengampelasan adalah bulu halus. Jenis cacat ini umum terdapat pada hasil proses pengampelasan dimana cacat ini ditandai dengan berdirinya serat-serat kayu yang ditemukan hampir pada semua permukaaan kayu yang tersebar secara tidak merata. Menurut Davis (1965) dalam Siswanto (2002) cacat bulu halus lebih sering muncul pada proses pengampelasan daripada penyerutan, karena serat-serat kayu pada saat diampelas tersobek ke atas sehingga muncul bulu-bulu halus.

Gambar 14. Cacat Bulu Halus pada Proses Pengampelasan

Bagian kayu yang lunak pada permukaan kayu banyak ditemukan cacat bulu halus. Koch (1964) menyatakan bahwa jenis kayu yang keras mempunyai kecenderungan cacat bulu halus lebih sedikit dibandingkan kayu yang lunak pada proses pengampelasan.

Karakteristik kayu kadang mempengaruhi munculnya cacat bulu halus, selain itu ukuran grit ampelas yang dipakai dan arah pengumpanan kayu saat diampelas juga berpengaruh. Apabila arah pengumpanan berlawanan dengan arah serat kemungkinan terjadinya cacat bulu halus akan semakin besar, karena pada saat proses pengampelasan serat yang tidak terpotong sempurna akan berdiri oleh gesekan ampelas (Koch, 1964).

Dokumen terkait