• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sentra Mandiri terletak di jalan R.P. Soeroso no 2-4 Jakarta. Loan Factory Credit Card merupakan salah satu bagian dari struktur kerja Bank Mandiri yang di dalamnya terdiri dari empat tim kerja, yaitu Operator Scanner-Batch manager, ICR validasi, Admin Entry Data, Pre Screener. Jumlah karyawan di Loan Factory

secara keseluruhan yaitu 107 orang karyawan dengan didominasi oleh karyawan wanita (69.2%). Hari kerja yaitu Senin sampai Jumat mulai pukul 07.30 sampai dengan pukul 16.30 WIB, dengan waktu istirahat dari pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.00.

Sindrom Pramenstruasi

Menstruasi merupakan suatu proses yang normal terjadi pada wanita dan dapat dijadikan suatu indikator penting dari kesehatan wanita (Mc Pherson & Korfine 2004). Siklus menstruasi normal terdiri atas fase folikuler, ovulasi dan fase luteal. Fase folikuler terjadi pada hari ke 5 sampai dengan 14 pada siklus

setelah menstruasi. Fase ini ditandai dengan berkembangnya beberapa folikel yang dipengaruhi oleh follicle stimulating hormone (FSH) yang meningkat. FSH yang meningkat disebabkan oleh regresi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Perkembangan folikel menyebabkan produksi estrogen meningkat. Estrogen memicu pertambahan pasokan darah ke dalam uterus sehingga dinding uterus menebal dan terbentuk, sehingga siap untuk menerima telur yang sudah dibuahi. Ketika folikel sudah benar-benar matang, kelenjar pituitari mengeluarkan hormon lain, yaitu LH (Luteinizing Hormone) untuk melepaskan folikel tersebut dan memicu ovum untuk turun ke tabung fallopi menuju uterus. Inilah yang disebut sebagai fase ovulasi dan terjadi pada hari ke 14 pada siklus menstruasi (Wirakusumah 2003). Folikel yang kosong mengeluarkan hormon yang disebut progesteron yang berperan dalam mempersiapkan kehamilan. Tetapi, apabila telur tidak dibuahi setelah kira-kira tujuh hari sesudah ovulasi, folikel akan diserap tubuh. Hal ini akan menyebabkan turunnya kadar hormon progesteron sekaligus dengan turunnya hormon estrogen, sehingga akan akan menyebabkan pelepasan lapisan uterus dalam bentuk aliran darah yang disebut menstruasi (Wirakusumah 2003).

Menjelang mentruasi sebagian besar wanita sering mengalami gejala yang disebut sindrom pramenstruasi atau lebih dikenal dengan istilah premenstrual syndrome (PMS). Premenstrual Syndrome (PMS)adalah sekumpulan keluhan dan gejala fisik, emosional, dan prilaku yang dialami oleh sebagian besar wanita selama akhir fase luteal dari setiap siklus menstruasi yaitu 7-14 hari sebelum menstruasi (Brahmbhatt et al. 2013). Keluhan fisik seperti payudara terasa sakit atau membengkak, perut kembung, sakit kepala, sakit sendi, sakit punggung, mual, muntah, diare atau sembelit, dan tumbuhnya masalah kulit seperti jerawat. Keluhan psikis meliputi depresi, sensitif, lekas marah, gangguan tidur, kelelahan, lemah, dan kadang-kadang perubahan suasana hati yang sangat cepat (Devi 2009). Hal ini disebabkan karena pada fase luteal kadar estrogen yang tinggi sedangkan kadar progestreron menurun. Ketidakseimbangan ini yang diduga menyebabkan sindrom pramenstruasi. Meningkatnya kadar estrogen dalam darah ini akan menyebabkan gejala depresi, karena hormon estrogen yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya proses kimia tubuh (Brunner & Suddarth 2001).

Berdasarkan frekuensi PMS yang dialami, sebagian besar subjek (60%) mengalami PMS dengan frekuensi kadang-kadang, namun masih terdapat subjek yang mengalami PMS dengan frekuensi sering (40%). PMS yang dialami dikategorikan berdasarkan tingkatan keluhannya. Tingkat keluhan PMS atau status PMS diperoleh dari hasil penjumlahan dari masing-masing jenis keluhan. Menurut Mason (2007), terdapat lebih dari 300 jenis keluhan premenstrual syndrome. Namun, dalam penelitian ini hanya menggunakan 10 jenis keluhan menstruasi yang sering dialami. Skor dan kategori keluhan PMS dapat dilihat pada analisis dan pengolahan data (halaman 7). Tabel 5 merupakan sebaran subjek berdasarkan status PMS yang dialami.

Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan status PMS

Status PMS n % Ringan 15 33.3 Sedang 26 57.8

Berat 4 8.9

Berdasarkan hasil pengkategorian jenis keluhan PMS yang dialami (Tabel 5), sebagian besar subjek (57.8%) memiliki status PMS sedang, sedangkan status PMS ringan dialami oleh 33.3% subjek dan status PMS berat dialami oleh 8.9% subjek. Rata-rata subjek mengalami 3-4 jenis keluhan. Berdasarkan urutan jenis keluhan yang paling banyak dialami subjek, diantaranya keram di bawah perut (71.1%), emosional (64.4%), sakit pinggang (53.3%), jerawat (51.1%), sakit pada payudara (37.7%), lesu (17.7%), sakit kepala (15.5%), mual (11.1%) dan muntah (2.2%). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pujiastuti (2007) mengenai sindrom pramenstruasi pada pekerja pabrik korek api, bahwa sebagian besar keluhan yang dialami subjek adalah nyeri di bawah perut. Prostaglandin diproduksi oleh tubuh secara berlebihan bersama hormon lainnya seperti estrogen dan progesteron pada saat keadaan stres. Nyeri di bawah perut disebabkan oleh ketidakseimbangan prostaglandin yang dihasilkan oleh tubuh. Selain itu, hormon estrogen dapat menyebabkan peningkatan kontraksi uterus secara berlebihan sehingga menyebabkan rasa nyeri (Mulyono et al. 2001).

Karakteristik Subjek

Karakteristik subjek pada penelitian ini meliputi usia, status, pendapatan, pengetahuan gizi dan menstruasi. Selengkapnya, karakteristik subjek dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik dan status PMS

Karakteristik Subjek

Status PMS

p Ringan Sedang Berat Total

n % n % n % n % Usia (tahun) 0.261 19-29 13 86.7 26 100 4 100 43 95.6 30-49 2 13.3 0 0 0 0 2 4.4 Total 15 100 26 100 4 100 45 100 Status 0.383 Menikah 5 33.3 6 23.1 0 0 11 24.4 Belum Menikah 10 66.7 20 76.9 4 100 34 75.6 Total 15 100 26 100 4 100 45 100 Pendapatan 0.308 Cukup 0 0 1 3.8 0 0 1 2.2 Tinggi 14 93.3 21 80.8 3 75 38 84.4 Sangat tinggi 1 6.7 4 15.4 1 25 6 13.3 Total 15 100 26 100 4 100 45 100 Pengetahuan gizi dan menstruasi

Sedang 7 46.7 7 26.9 0 0 14 31.1

0.644 Baik 8 53.3 19 73.1 4 100 31 68.9

Total 15 100 26 100 4 100 45 100

Usia. Menurut Depkes (2001), usia produktif berkisar antara 15- 45 tahun. Sebagian besar subjek (95.6%) berada pada rentang usia 19-29 tahun (Tabel 6). Hasil uji Kruskal Wallis, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara usia subjek dengan status PMS (p>0.05). Hal ini tidak sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Cornforth (2000), bahwa Premenstrual Syndrome

semakin mengganggu dengan semakin bertambahnya usia, terutama antara usia 30-45 tahun. Faktor risiko yang paling berhubungan dengan PMS adalah faktor peningkatan umur. Penelitian menemukan bahwa sebagian besar wanita yang mencari pengobatan PMS adalah mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Walaupun ada fakta yang mengungkapkan bahwa sebagian remaja mengalami gejala-gejala yang sama dan kekuatan PMS yang sama dengan yang dialami oleh wanita yang lebih tua (Freemen 2007). Namun, pada penelitian Wittchen et al.

2002 menyatakan bahwa meskipun gejala pramenstruasi dijelaskan pada wanita dari menarche sampai menopause tidak jelas bahwa gejala akan tetap stabil atau meningkat seiring dengan meningkatnya usia.

Status. Sebagian besar subjek (75.6%) berstatus belum menikah (Tabel 6). Subjek dengan status belum maupun yang sudah menikah sebagian besar mengalami PMS status sedang. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara status pernikahan dengan status PMS yang dialami. Hal ini tidak sejalan dengan Yuliarti (2009) yang menyatakan bahwa wanita yang sudah menikah lebih banyak mengalami PMS dibandingkan dengan yang belum menikah, selain itu keluhan PMS semakin berat dirasakan oleh wanita yang sudah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan komplikasi seperti toksimia.

Pendapatan. Martianto dan Ariani (2004) menjelaskan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sebagian besar pendapatan subjek (84.4%) dikategorikan ke dalam kategori pendapatan tinggi (Tabel 6). Berdasarkan hasil uji beda Kruskal Wallis dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pendapatan dengan status PMS subjek (p>0.05). Tingkat pendapatan sangat menentukan bahan makanan yang akan dibeli. Pendapatan merupakan faktor penting untuk menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga erat hubungannya dengan gizi (Suhardjo 2005). Namun hasil ini sejalan dengan penelitian Rizk et al. (2010) yang menunjukkan bahwa pendapatan keluarga tidak berpengaruh terhadap kejadian sindrom premenstruasi.

Pengetahuan Gizi dan Menstruasi. Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan penyakit (Notoatmojo 2003). Pengetahuan gizi dapat dijadikan landasan yang dapat menentukan konsumsi pangan (Khomsan 2000). Pengetahuan gizi dan menstruasi merupakan sekumpulan pertanyaan yang secara umum terkait dengan gizi dan menstruasi. Terdapat 8 butir pertanyaan yang terkait dengan pengetahuan gizi dan menstruasi (Lampiran 1). Berdasarkan hasil yang diperoleh, sebagian besar subjek (68.9%) memiliki pengetahuan gizi dan menstruasi baik (Tabel 6). Uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pengetahuan gizi dan menstruasi dengan status PMS (p>0.05). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Atmarita dan Fallah (2004), bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Namun, hasil dari penelitian ini sejalan dengan Suhardjo (1989), bahwa pengetahuan gizi saja belum mampu membuat seseorang mengubah perilakunya, untuk itu masih

dibutuhkan motivasi dan perhatian agar individu mau mengubah pola hidupnya dan pemilihan bahan makanan.

Karakteristik Menstruasi

Karakteristik menstruasi terdiri dari usia menarche, lama siklus menstruasi, dan lama menstruasi. Sebaran subjek berdasarkan karakteristik menstruasi disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik menstruasi dan status PMS

Karakteristik Menstruasi

Status PMS

p Ringan Sedang Berat Total

n % n % n % n % Usia Menarche (tahun)

0.189 <10,5 1 6.7 0 0 0 0 1 2.2 10,5-11,9 0 0 2 7.7 1 25 3 6.7 12-13,3 10 66.6 13 50 3 75 26 57.8 >13,3 4 26.7 11 42.3 0 0 15 33.3 Total 15 100 26 100 4 100 45 100 Lama siklus menstruasi (hari)

0.535 <25 8 53.3 7 26.9 1 25 16 35.6

25-30 4 26.7 15 57.7 3 75 22 48.9 >30 3 20 4 15.4 0 0 7 15.5 Total 15 100 26 100 4 100 45 100 Lama Menstruasi (hari)

0.300 3-9 13 86.7 25 96.2 3 75 41 91.1

>9 2 13.3 1 3.8 1 25 4 8.9 Total 15 100 26 100 4 100 45 100

Usia Menarche. Menarche adalah suatu periode menstruasi pertama yang merupakan indikator berkembangnya sistem reproduksi sekaligus biomarker yang kritis untuk kehidupan reproduksi seseorang (Al-Sahab, Hamadeh & Tamim 2010). Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa 37.5% rata-rata usia

menarche pada anak Indonesia adalah 13-14 tahun dengan kejadian lebih awal pada usia kurang dari 9 tahun dan terjadi secara terlambat sampai 20 tahun. Seiring dengan perubahan pola hidup saat ini ada kecenderungan anak perempuan mendapatkan menstruasi yang pertama kali usianya makin lebih muda. Rentang usia menarche subjek berkisar antara 10-15 tahun. Usia menarche subjek termasuk ke dalam kategori normal. Berdasarkan Tabel 7, sebagian besar subjek (57.8%) mengalami menarche pada rentang usia 12 sampai 13.3 tahun. Rata-rata usia menarche subjek yaitu 12.98 + 1.2 tahun. Hasil uji beda Kruskal Wallis

menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara usia menarche dengan status PMS (p> 0.05). Hasil ini didukung oleh penelitian Woods, Most & Dery (1982) bahwa gejala premenstruasi tidak berhubungan dengan usia haid pertama (menarche). Usia menarche dapat merefleksikan beberapa aspek kehidupan dalam suatu populasi termasuk diantaranya kesehatan umum, kematangan seksual, kondisi lingkungan, status nutrisi dan pertumbuhan, serta tingkat kesejahteraan (Batubara, Soesanti & Waal 2010).

Lama Siklus Menstruasi. Siklus menstruasi terdiri atas perubahan-perubahan di dalam ovarium (indung telur) dan uterus (rahim). Endometrium disiapkan untuk kedatangan ovum yang dibuahi pada kira-kira hari ke-21 siklus menstruasi. Endometrium akan runtuh pada hari ke-28 siklus menstruasi apabila hanya ovum yang tidak dibuahi yang tiba dalam uterus sehingga menstruasi terjadi dan siklus di ulang sekali lagi (Pearce 2000). Panjang siklus menstruasi ialah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang lalu dengan mulainya menstruasi berikutnya. Hari dimulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus (Sarwono 2000). Lama siklus menstruasi sebagian besar wanita pertengahan usia reproduktif yaitu terjadi setiap 25-35 hari dengan median panjang siklus adalah 28 hari (Hanafi 2002). Sebagian besar subjek (48.9%) memiliki siklus menstruasi yang normal yaitu berkisar antara 25-30 hari (Tabel 7). Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara lama siklus menstruasi yang dialami dengan status PMS. Siklus haid (menstruasi) tergantung dari perubahan-perubahan estrogen, maka segala keadaan yang menghambat kadar estrogen akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal (Wiknojosastro 2009).

Lama Menstruasi. Sebagian besar subjek (91.1%) mengalami menstruasi selama 3-9 hari (Tabel 7). Lama menstruasi subjek termasuk ke dalam kategori yang normal. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara lama menstruasi dengan status PMS (p>0.05). Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Woods, Most dan Dery (1982) bahwa wanita yang mengalami durasi haid yang panjang, lebih banyak melaporkan kram/nyeri premenstrual, mudah marah dan depresi premenstrual. Hal ini dipengaruhi oleh estrogen dan hubungan ini merupakan konsekuensi sintesis prostaglandin yang distimulasi oleh estrogen.

Aktivitas Fisik dan PMS

Menurut Mahardikawati dan Roosita (2008), akvitas fisik yaitu suatu rangkaian gerak tubuh yang menggunakan tenaga atau energi. Olahraga merupakan salah satu jenis aktivitas fisik. Aktivitas fisik subjek terdiri dari berbagai macam kegiatan yang diamati pada hari kerja dan hari libur, termasuk didalamnya durasi setiap kegiatan yang dilakukan dengan dikalikan rasio setiap kegiatan berdasarkan PAR (Physical Activity Ratio) dan dibagi 24 jam. Hasil pengkategorian aktivitas fisik berdasarkan pada PAL (Physical Activity Level)

ditabulasikan dengan status PMS yang dialami dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan kategori aktivitas fisik dan status PMS

Aktivitas Fisik

Status PMS

p Ringan Sedang Berat Total

n % n % n % n % Sangat Ringan 6 40 11 42.3 2 50 19 42.2

0.945 Ringan 9 60 15 57.7 2 50 26 57.8

Berdasarkan Tabel 8, sebagian besar subjek (57.8%) memiliki aktivitas fisik yang ringan (Tabel 8). Rata-rata PAL yang dimiliki subjek yaitu 1.43. Seseorang dikatakan beraktivitas ringan (sedentary) bila tidak banyak melakukan kerja fisik, tidak berjalan jauh, umumnya menggunakan alat transportasi, tidak latihan atau berolahraga secara teratur, menghabiskan waktu senggangnya dengan duduk dan berdiri dengan sedikit bergerak (FAO/WHO/UNU 2001). Aktivitas olahraga yang terdiri dari jenis, lama dan frekuensi olahraga diketahui melalui hasil pengisian kuesioner (Lampiran 1). Rata-rata frekuensi olahraga yang dilakukan subjek yaitu 1 kali perminggu dengan rata-rata durasi olahraga yaitu sekitar 18.8 menit. Olahraga yang sering dilakukan subjek yaitu jogging atau lari (48.9%). Frekuensi dan durasi olahraga subjek masih kurang memenuhi syarat aktivitas olahraga yang dianjurkan. Menurut Wirakusumah (2003) frekuensi olahraga sebaiknya 3-4 kali perminggu, dengan durasi 30 sampai dengan 45 menit setiap kali berolahraga. Seorang pekerja kantor memiliki jumlah hari kerja dan waktu kerja yang lama dibandingkan waktu libur dan istirahat, sehingga memungkinkan untuk sedikit melakukan aktivitas fisik terutama olahraga.

Kategori aktivitas fisik sangat ringan dan ringan paling banyak mengalami PMS dengan status sedang. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) antara kategori aktivitas fisik dengan status PMS yang dialami. Aktivitas fisik yang ringan disebabkan karena sebagian besar subjek melakukan kegiatan sedentary dan karena kesibukan membuat subjek untuk jarang berolahraga. Hasil penelitian menunjukkan peluang terjadinya PMS lebih besar pada wanita yang tidak melakukan olahraga rutin dari pada wanita yang sering melakukan olahraga. Dampak positif berolahraga yang dilakukan secara teratur dapat menurunkan kadar estrogen menjelang menstruasi sehingga dapat membantu menurunkan berbagai keluhan PMS (Kroll 2010). Efek dari penurunan kadar estrogen ini juga mempengaruhi beberapa neurotransmitter utama yang mengatur suasana hati dan perilaku yaitu serotonin (Halbreich 2003). Aktivitas fisik berupa olahraga juga dapat merangsang hormon endorfin keluar dan menimbulkan perasaan tenang saat sindrom pramenstruasi terjadi (Tambing 2012).

Tingkat Stres dan PMS

Stres diartikan sebagai suatu tekanan dan ketegangan yang mempengaruhi seseorang dalam kehidupan. Pengaruh yang timbul dapat bersifat wajar ataupun tidak, tergantung dari reaksi terhadap ketegangan tersebut (Gunarsa & Gunarsa 2004). Pemicu dari stres disebut stressor. Ada beberapa stressor pada pekerja, diantaranya kebutuhan waktu, jadwal kerja, dan struktur pekerjaan. Setiap pekerjaan memiliki karakteristiknya masing-masing. Hal yang dapat memicu stres adalah pekerjaan dimana terlalu banyak hal yang dilakukan, tekanan waktu,

deadline dan berulang. Stres seringkali menjadi pemicu terjadinya PMS. Beberapa penelitian menghubungkannya dengan masalah otot, terutama otot-otot tangan pada pekerja kantor yang sering menggunakan keyboard komputer. Rasa cemas, depresi, dan ketidakpuasan adalah masalah mental yang dapat timbul (Yuliarti 2009).

Kategori tingkat stres diperoleh melalui penilaian kuesioner yang berisi 14 pertanyaan yang diadaptasi dari kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42

(DASS 42) yang telah dimodifikasi (Lampiran 1). Penilaiannya tingkat sres menurut Nursalam (2008) tersaji dalam sub bab pengolahan dan analisis data (halaman 9). Subjek berdasarkan tingkat stres dan status PMS dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan kategori tingkat stres dan status PMS

Tingkat stres

Status PMS

p Ringan Sedang Berat Total

n % n % n % n % Ringan 14 93.3 25 96.2 4 100 43 95.6

0.594 Sedang 1 6.7 1 3.8 0 0 2 4.4

Total 15 100 26 100 4 100 45 100

Sebagian besar subjek (95.6%) mengalami stres ringan (Tabel 9). Hal ini diduga karena pada saat pengisian kuesioner terjadinya bias atau subjek memang menganggap hal yang terkait dengan gejala stres tersebut biasa dialami dan mereka menanggapi hal itu biasa dan jarang dialami. Berdasarkan skor tingkat stres, skor paling tinggi yaitu 64 dan paling rendah yaitu 7. Gejala yang sangat sering dialami oleh subjek yaitu mudah panik atau gelisah dalam menanggapi suatu masalah dalam kesehariannya. Berdasarkan PMS yang dialami, sebagian besar subjek dengan tingkat stres ringan dan sedang memiliki status PMS sedang. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis yaitu tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat stres dengan status PMS (p>0.05). Menurut Thu, Diaz dan Sawhsarkapaw (2006), wanita dengan gaya hidup stres, lebih mungkin untuk depresi dan mengalami perubahan suasana hati selama fase pramenstruasi dibandingkan dengan yang tidak mengalami stres. Mulyono et al. (2001) menambahkan bahwa stres memainkan peran dalam tingkat kehebatan gejala

premenstrual syndrome. Saat stres, tubuh akan memproduksi hormon adrenalin, estrogen, progesteron serta prostaglandin yang berlebihan. Estrogen dapat menyebabkan peningkatan kontraksi uterus secara berlebihan, sedangkan progesteron bersifat menghambat kontraksi. Peningkatan kontraksi secara berlebihan ini menyebabkan rasa nyeri.

Frekuensi Konsumsi Makanan dan PMS

Frekuensi konsumsi makanan diukur dengan menggunakan metode FFQ atau Food Frequency Questionnaire, yaitu metode pengukuran konsumsi makanan dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh data mengenai frekuensi seseorang dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi dapat dilakukan selama periode tertentu, misalnya harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. Kuesioner terdiri dari daftar bahan makanan dan minuman (Supariasa 2011). Frekuensi konsumsi makanan yang dianalisis dalam penelitian ini diantaranya frekuensi konsumsi olahan kacang-kacangan, buah dan sayuran sumber isoflavon (fitoestrogen), susu, gula dan fast food. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai frekuensi dari masing-masing sumber makanan tersebut.

Frekuensi Konsumsi Olahan Kacang-kacangan Sumber Isoflavon

Fitoestrogen merupakan senyawa kimia yang berasal dari hormon tumbuhan yang memiliki struktur kimia menyerupai hormon estrogen tubuh manusia, juga dikenal dengan istilah isoflavon. Fitoestrogen dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu isoflavon, coumestan dan lignan. Isoflavon merupakan fitoestrogen yang sering digunakan di masyarakat (Rishi 2002). Sumber tanaman kaya fitoestrogen yang biasanya digunakan adalah kedelai. Berbagai produk olahan berbahan dasar kedelai seperti tahu, tempe dan kecap telah lama dihasilkan oleh masyarakat Indonesia (Martadisoebrata, Sastrawinata & Saifuddin 2005). Thompson et al.

(2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa makanan yang mengandung lebih tinggi fitoestrogen terdapat pada jenis kedelai dibandingkan fitoestrogen yang ada pada sayuran dan buah-buahan. Frekuensi sumber isoflavon yang diamati konsumsinya yaitu tempe, tahu dan susu kedelai, karena ketiganya memiliki kadar isoflavon yang cukup tinggi, dengan kadar isoflavon masing-masingnya yaitu 18.307 µg, 27.150 µg, dan 2.957 µg (Thompson et al. 2006). Sebaran subjek berdasarkan kategori frekuensi konsumsi olahan kacang-kacangan sumber isoflavon serta status PMS yang dialami disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi olahan kacang-kacangan sumber isoflavon

Frekuensi

Status PMS

p Ringan Sedang Berat Total

n % n % n % n % Setiap hari 3 20 3 11.5 0 0 6 13 0.659 Sering 10 66.7 19 73.1 2 50 31 68.9 Jarang 1 6.7 4 15.4 1 25 6 13.3 Tidak pernah 1 6.7 0 0 1 25 2 4.4 Total 15 100 26 100 4 100 45 100

Sebagian besar subjek (68.9%) mengonsumsi olahan kacang-kacangan dengan kategori sering (Tabel 10). Rata-rata subjek mengonsumsi olahan kacang-kacangan yaitu 4.2 kali/minggu. Olahan kacang-kacang-kacangan yang dominan dikonsumsi oleh subjek yaitu susu kedelai. Berdasarkan hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara frekuensi konsumsi olahan kacang-kacangan sumber isoflavon dengan status PMS. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ishiwata, Uesugi dan Uehara (2003), asupan isoflavon sebanyak 40 mg/hari dapat menurunkan gejala PMS. Konsumsi makanan sumber isoflavon terutama pada produk-produk kedelai dan turunannya (kacang kedelai, tempe, tahu, oncom, tahu, dll) dianggap dapat menurunkan gejala PMS karena struktur dan sifat isoflavon yang menyerupai estrogen memiliki sifat antioksidan, menghambat angiogenesis, memfasilitasi aksi neurobehavioural, serta mempunyai sifat ganda yaitu

estrogenic (saat kadar estrogen alami tubuh dalam keadaan yang terbatas) dan

anti-estrogenic effects (saat kadar estrogen didalam tubuh tinggi). Hal tersebut yang memungkinkan isoflavon sebagai fitoestrogen dapat mengurangi PMS dengan menstabilkan siklus alami estrogen (Bryant et al. 2005).

Frekuensi Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan Sumber Isoflavon

Sayuran dan buah-buahan juga merupakan salah satu sumber isoflavon. Sayuran yang memiliki kadar isoflavon tertinggi dibandingkan sayuran lain yaitu bayam, wortel, kol, brokoli, dan buncis dengan masing-masing kadar isoflavonnya yaitu 4.2 µg, 3.8 µg, 80.0 µg, 94.1 µg dan 16.6 µg. Sedangkan buah-buahan yang memiliki kadar isoflavon yang tinggi diantaranya apel, pisang, jeruk dan strawberi dengan masing-masing kadar isoflavonnya yaitu 4.9 µg, 2.6 µg, 19.0 µg, dan 51.6 µg (Thompson et al. 2006). Tabel 11 merupakan sebaran subjek berdasarkan kategori frekuensi konsumsi sayuran dan buah-buahan sumber isoflavon serta status PMS yang dialami.

Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran sumber isoflavon dan status PMS

Konsumsi Sayuran

Frekuensi

Status PMS

p Ringan Sedang Berat Total

n % n % n % n % Setiap hari 5 33.3 8 30.8 1 25 14 31.1 0.656 Sering 9 60.0 15 57.7 2 50 26 57.8 Jarang 1 3 3 11.5 1 25 5 11.1 Total 15 100 26 100 4 100 45 100 Konsumsi Buah-buahan Setiap hari 5 33.3 5 19.2 0 0 10 22.2 0.692 Sering 9 60.0 20 76.9 4 100 33 73.3 Jarang 1 3 1 3.8 0 0 2 4.4 Total 15 100 26 100 4 100 45 100

Sebagian besar subjek mengonsumsi sayuran (57.8%) dan buah (73.3%) dalam kategori sering. Rata-rata konsumsi sayuran subjek yaitu 6.4 kali/minggu dan konsumsi buah subjek yaitu 5.6 kali/minggu. Frekuensi konsumsi sayuran dan buah subjek termasuk dalam kategori cukup. Berdasarkan status PMS yang dialami, sebagian besar subjek mengalami PMS status sedang baik itu secara keseluruhan dari kategori frekuensi konsumsi sayuran maupun buah. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) antara frekuensi konsumsi sayuran dan buah subjek dengan tingat keluhan PMS. Isoflavon memiliki sifat dan struktur yang menyerupai estrogen memiliki sifat antioksidan, menghambat angiogenesis, memfasilitasi aksi neurobehavioural, serta mempunyai sifat ganda yaitu estrogenic dan anti-estrogenic effects. Hal tersebut yang memungkinkan isoflavon sebagai fitoestrogen dapat mengurangi PMS dengan menstabilkan siklus alami estrogen (Bryant et al. 2005).

Frekuensi Konsumsi Susu

Mann dan Truswell (2002) menyatakan bahwa susu merupakan sumber kalsium yang paling tinggi dan merupakan penyumbang kalsium terbesar dari konsumsi kalsium harian. Wiseman (2002) menyatakan bahwa apabila susu dan produk susu tidak dikonsumsi maka akan sulit untuk mendapatkan asupan kalsium

Dokumen terkait