• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik CaO

Proses kalsinasi pada cangkang kerang darah bertujuan untuk mengambil komponen kalsium dan membuang komponen lain yang tidak diperlukan dalam sintesis β-TCP. Cangkang kerang darah yang dipanaskan pada suhu 1000 0C selama 7 jam menghasilkan senyawa kalsium hidroksida Ca(OH)2 dan kalsium oksida (CaO). Pola spektrum CaO yang terbentuk dianalisis dengan mencocokan hasil dengan data JCPDS (Lampiran 1). Pola hasil difraksi XRD pada Gambar 3 menunjukkan bahwa masih terbentuknya fasa Ca(OH)2. Hal tersebut kemungkinan karena tidak sempurnanya proses perubahan fasa, saat proses kalsinasi. Suhu yang kurang lama atau temperatur yang kurang tinggi selama kalsinasi cangkang juga mengindikasikan tidak berubahnya CaCO3 seluruhnya menjadi CaO tetapi bertranformasi menjadi Ca(OH)2. Fasa CaO yang terbentuk merupakan proses yang sempurna pada saat pemanasan dengan berubahnya senyawa awal dari cangkang kerang CaCO3 melepaskan karbon dioksida. Pola difraksi dengan tiga intensitas tinggi pada nilai 2θ: 34.125o Ca(OH)2; 17.987o, 37.364o CaO. Sedangkan munculnya fasa Ca(OH)2 karena pada proses pemanasan kemungkinan masih adanya gugus OH yang terikat dengan Ca. Persamaan reaksi terbentuknya CaO dari calcite dapat dituliskan reaksinya sebagai berikut:

CaCO3→CaO+CO2

Gambar 3 Pola difraksi XRD hasil kalsinasi cangkang kerang darah pada suhu 1000°C selama 7 jam

Dasar pemikiran penambahan waktu sintering adalah cangkang kerang mempunyai lapisan tebal yang terdiri dari kristal-kristal CaCO3 sehingga

14

membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan CaO dibandingkan dengan cangkang telur (Mumtanah 2011). Derajat kristalinitas dari CaO berdasarkan hasil karakterisasi XRD menunjukan bahwa kristalinitas dari sampel sebesar 80.6%, manandakan bahwa spektra CaO sudah terbentuk.

Karakteristik Hidroksiapatit

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berupa serbuk HA yang disintesa dengan metode presipitasi wise drop. Proses presipitasi HA, secara kimiawi diinisiasi oleh pembentukan fasa kalsium fosfat amorf. Kemampuan kalsium fosfat amorf untuk mengabsorbsi ion-ion Ca2+ dan HPO42- mengarah ke pembentukan defektif apatit. Perubahan terjadi terus dengan bertambahnya kandungan ion OH yanyang mengakibatkan terjadinya pembentukan fasa intermediat dikalsium fosfat anhidrat/monetite dengan Ca/P=1,00 meningkat terus sampai terbentuk HA dengan Ca/P=1,67 (Blumenthal NC et al 1981; Brown, et

al.1979). Fasa kalsium fosfat berbeda dalam hal komposisi dan struktur kristal yang menentukan properti fisikokemikal. Berdasarkan komposisi dan struktur senyawa kalsium fosfat. HA bersifat paling stabil. Gambar 4 menunjukkan pola spektrum XRD hasil karakterisasi serbuk HA cangkang kerang darah. Serbuk HA hasil presipitasi wise drop mengidentifikasi fasa yang terbentuk, identifikasi fasa sampel dilakukan dengan membandingkan pola difraksinya dengan database

JCPDS nomor 09-0432 tentang calcium phosphate hydroxide.

Pola difraksi sinar-x yang mengindikasikan fasa HA pada database JCPDS ditunjukkan oleh adanya puncak-puncak yang tinggi pada sudut 2θ: 25.86º, 31.78º, 32.17º, 32.91, dan 49.45º. Hasil pencirian terhadap sampel yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa pola difraksi sinar-x yang terbentuk hampir sama dengan pola difraksi sinar-x untuk fasa HA pada database JCPDS (Lampiran 3). Gambar 4 menunjukkan pola difraksi sinar-x untuk sampel HA hasil sintesis. Analisis dengan mengunakan Match! (COD-Inorg REV129424 2015.01.07) juga memberi informasi mengenai sistem kristal. Pada HA dimungkinkan terjadinya berbagai substitusi, namun struktur kristalografinya tidak mengalami perubahan (Legeros, 1980; Young, 1975). Pada struktur HA, ion OH- dan ion PO43- dapat disubstitusi oleh ion CO32-(karbonat). Substitusi juga terjadi pada OH- oleh ion CO3 2- menghasilkan HA karbonasi tipe A, sedangkan substitusi ion PO4 3- menghasilkan HA karbonasi tipe B (de Campos DDP, Bertran CA, 2009; Doi et al ,1982). Kedua tipe substitusi dapat juga terjadi bersamaan, menghasilkan HA karbonasi tipe A sekaligus tipe B (Lafon P, Champione E, Bernache A, 2008).

15

Gambar 4. Pola difraksi serbuk HA dengan HA data base menunjukkan punca didominasi oleh HA dengan derajat kristalinitas sebesar 85.1%.

Derajat kristalinitas dihitung menggunakan parameter FWHM (Full Width at Half Maximum). Fraksi luas kristal atau amorf dihitung dengan mengkalikan FWHM dengan intensitas, dengan memasukan fraksi luas kristal dan amorf kedalam persamaan didapat derajat kristalinitas sebesar 85,1 %. Ukuran kristal HA kerang darah yang diperoleh antara 25.84 sampai dengan 47.98 (nm). Sedangkan untuk parameter kisi HA diperoleh hasil pengukuran parameter kisi sampel hidroksiapatit yang memiliki struktur heksagonal dengan a = b = 9.432 Å dan c = 6,881 Å dibandingkan dengan data JCPDS diperoleh ketepatan data sebesar 99,7 % hal ini sesuai dengan data pencocokan puncak-puncak maksimal sampel dengan data JCPDS yang menunjukan bahwa sampel didominasi oleh kristal apatit yang hadir dalam bentuk hidroksiapatit, meskipun masih ada fasa lain yng teridentifikasi yaitu fasa TCP tetapi persentasinya sangat kecil dan tidak menjadi kendala karena TCP juga masih merupakan senyawa kalsium fosfat yang aman untuk substitusi tulang karena tidak beracun.

Karakteristik β-Trikalsium Fosfat

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berupa serbuk β-TCP yang disintesa dengan metode presipitasi wise drop. Gambar 5 menunjukkan pola spektrum XRD hasil karakterisasi serbuk β-TCP cangkang kerang darah dengan menggunakan software Match! (COD-Inorg REV129424 2015.01.07). Hasil

16

analisis XRD menunjukkan fasa yang terbentuk mayoritas adalah β-TCP dengan tiga puncak tertinggi 2θ: 31.03o; 34.35ο; 27.79o dengan parameter kisi a=b= 10.4352 Å c= 37.4029 Å.

Berdasarkan hasil perbandingan puncak yang terindentifikasi dengan puncak keseluruhan yang sesuai dengan β-TCP, maka dapat disimpulkan bahwa besarnya puncak terindentifikasi sebagai β-TCP mempunyai fraksi volume sebesar 87.4 %. Fasa lain yang teridentifikasi adalah β- calcium diphosphate

12.6%, fasa ini terjadi karena tidak sempurnanya perubahan β- Calcium

diphosphate menjadi β-TCP pada tahapan suhu dibawah 1000 oC sehingga fasa

tersebut tetap ada meskipun telah dilakukan proses sintering suhu 1000 oC. Sedangkan untuk derajat kristalinitas dari sampel β-TCP teridentifikasi dengan membandingkan luas puncak fasa β-TCP dengan luas total puncak difraksi yang terbentuk sehingga diperoleh derajat kristalinitas β-TCP sebesar 81.4 %.

Gambar 5 Pola XRD untuk sampel β-TCP masih terdapatnya senyawa lain yaitu β-Ca2P2O7 mengindikasikan bahwa proses tranformasi fasa tidak sempurna.

Selain pencirian menggunakan XRD, serbuk β-TCP juga dilakukan pencirian menggunakan spektrometer FTIR, untuk mengidentifikasi gugus fungsi dengan cara meninjau serapan radiasi inframerah yang dilewatkan pada sampel. Penyerapan radiasi inframerah oleh sampel menyebabkan perubahan energi pada tingkat-tingkat vibrasi molekulnya. Gugus fungsi dengan puncak tertinggi yaitu PO4 3- yang terdapat pada bilangan gelombang 457.73 cm-1 ; 602.9 cm-1 ; 962.35 cm-1 ; 962.35 cm-1 ; 1045.58 cm-1 ; dan 1091.14cm-1 menunjukkan sampel adalah

17

β-TCP. Khusus untuk gugus fungsi dengan bilangan gelombang 962.35 cm-1 ; 1045.58 cm-1 disebut sebagai gugus fungsi PO43- khas β-TCP.Gugus fungsi yang cukup tajam dan tidak berkaitan dengan fasa β-TCP adalah gugus P2O7 4- yang terletak pada bilangan gelombang 712.91 cm-1. Apabila hasil tersebut dibandingkan dengan hasil analisis XRD maka dapat diketahui bahwa gugus fungsi P2O7 4- berkaitan dengan senyawa β-Ca2P2O7 yang diketahui akan tersublimasi apabila dilakukan pemanasan diatas suhu 11000C.

Gambar 6 Spektrum FTIR β-TCP mengindikasikan gugus fungsi yang mewakili senyawa TCP

Karakteristik Matriks Na-alginat

Hasil analisis XRD alginat menunjukan bahwa pola difraksi alginat Gambar 7 puncak-puncaknya dan pada pola difraktogram sinar-X alginat terdapat indeks kristal yang sangat rendah. Difraktogram sinar-X kristal menghasilkan puncak-puncak yang tajam, sedangkan polimer amorf cenderung menghasilkan puncak-puncak yang melebar seperti yang terjadi pada alginat. Spektra yang terdeteksi sesuai dengan data base alginate.

18

Spektra FTIR hasil identifikasi gugus fungsi senyawa alginat ditunjukkan pada Gambar 8. Puncak serapan gugus C-O terdeteksi pada bilangan gelombang 1119.49 cm-1, gugus C-H stretching teridentifikasi pada bilangan gelombang 2343.07 cm-1 dan bending teridentifikasi pada bilangan gelombang 617.57 cm-1, gugus COO- pada bilangan gelombang 1636.37 cm-1 dan bilangan gelombang 1423.35 cm-1, dan gugus OH pada bilangan gelombang 3505.03 cm-1 gugus hidroksil (OH) menunjukkan bahwa terdapatnya air pada sampel. Dengan ditemukannya gugus-gugus karboksilat (COO-) dan eter (C-O-C) yang terdeteksi pada regio sidik jari dapat dipastikan bahwa senyawa yang dikarakterisasi adalah alginat.

Gambar 8. Spektrum FTIR hasil identifikasi gugus fungsi matriks Na-alginat menunjukkan gugus khas alginate diantaranya gugus karbonil dan karboksil pada bilangan gelombang 1591 dan 1413 cm-1(Sartori 1997)

Karakteristik Scaffoldβ-TCP/alginat

Hasil analisis XRD komposit β-TCP/alginat menunjukkan fasa pola difraksi yang terbentuk mencirikan dua karakter material yang berbeda yaitu β-TCP dan alginat, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9 pola difraksi sinar-x menunjukkan karakter alginat dengan adanya puncak pada 2θ di sekitar 13.210 sedangkan karakter β-TCP ditunjukkan oleh adanya puncak yang tinggi pada rentang 2θ: 31-34o. Setelah dilakukan analisa menggunakan software MATCH!. Hasil analisa menunjukkan bahwa tidak ada indikasi terbentuknya fasa kristal baru yang terbentuk akibat adanya penambahan alginat. Scaffold berpori masih terdiri dari β-TCP dengan sedikit impuritas β calcium diphosphate, senyawa tersebut juga terdapat pada β-TCP sebelum dibuat komposit dengan alginat.

19

Komposit β-TCP /alginat yang dihasilkan pada penelitian ini diidentifikasi gugus fungsi senyawanya menggunakan spektrometer FTIR. Proses identifikasi ini dilakukan untuk melihat perubahan serapan gugus fungsi senyawa β-TCP dan senyawa alginat. Berdasarkan hasil analisis gugus fungsi β-TCP dengan menggunakan FTIR seperti ditunjukan gambar 5, pada sampel β-TCP dari cangkang kerang menunjukan bahwa gugus fungsi yang terjadi adalah: PO4- , P2O7- dan OH-. Hasil pencirian tersebut menandakan, meskipun β-TCP sudah dibuat komposit dengan alginat tidak menyebabkan terbentuknya fasa baru yang mencirikan fasa kristal alginat. Scaffold tetap terbentuk terdiri dari β-TCP dan impuritas lain yaitu calsium diphosphate β sama seperti saat karakterisasi XRD serbuk β-TCP.

Gambar 9. Pola difraksi XRD komposit β-TCP/alginat: (a) komposisi TKA 60/40 (b) komposisi TKA 70/30 (c) komposisi TKA 80/20

20

Spektra FTIR dari gugus-gugus fungsi pada sampel komposit TKA yang ada terlihat pada gambar bahwa terdapat puncak-puncak pada bilangan gelombang

(wave number) 1045.58 cm-1 yang merupakan kharakteristik streching mode

gugus fosfat, sedangkan serapan pada bilangan gelombang 602, 49 cm-1 dan 572.11 cm-1 memperlihatkan bending mode gugus fosfat (PO43-); serapan pada bilangan gelombang 1458.21 cm-1 yang merupakan gugus karbonat (COO-); dan bilangan gelombang 3643.81 cm-1 yang merupakan gugushidroksil (OH) menunjukan bahwa terdapatnya air pada sampel.

Puncak yang mengindikasikan terdapat alginat dalam scaffold terdapat pada bilangan gelombang 1472.62 cm-1 dan 1627.92 cm-1 hal tersebut mengindikasikan gugus fungsi COO- yang berhubungan dengan garam karboksilat. Pada penambahan CaCl2 sebagai crosslink agent, alginat dapat bertransformasi melalu reaksi pertukaran ion yang terlihat dari perubahan sol menjadi gel. Kation bergabung dengan gugus karboksil pada alginat membentuk garam yang tidak larut.

Gambar 10.Karakterisasi scaffoldβ-TCP / alginat perbandingan massa : (a) 60/40 (b) 70/30 (c) 80/20 mengindikasikan terdapatnya gugus alginat pada bilangan gelombang 1472.62 cm-1 dan 1627.92 cm-1 dan gugus PO4 3-pada bilangan gelombang 1041 cm-1 yang merupakan gugus β-TCP merupakan pembentuk dasar dari scaffoldβ-TCP alginat.

21

Analisis morfologi komposit β-TCP/alginat dilakukan dengan menggunakan SEM. Analisis morfologi difokuskan pada identifikasi ukuran pori dan struktur porositas. Hasil menunjukkan bahwa struktur porositas yang terlihat cukup teratur dengan ukuran pori yang hampir seragam, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 11. Berdasarkan Gambar 11 pada perbesaran 50x beberapa skala ukuran diameter pori yang terbentuk, rentang ukuran diameter pori yang terbentuk adalah antara 46.35 μm hingga 880.65 μm untuk perbandingan β-TCP/alginat TKA 60/40, 46.35 μm hingga 1019.7 μm untuk perbandingan β-TCP/alginat 70/30, dan 46.35 μm hingga 556.2 μm untuk perbandingan β-TCP/alginat 80/20. Hasil tersebut bisa dilihat dari Tabel 3 untuk rata rata ukuran pori.

Gambar 11. Struktur marfologi β-TCP/alginat dengan perbandingan massa (A)TKA 60/40 (B)TKA 70/30 (C) TKA 80/20

22

Tabel 4. Ukuran pori dan porositas komposit β-TCP/Alginat

β-TCP Alginat Pori (µm) Porositas(%)

60 40 132.89 66.7

70 30 155.83 67.29

80 20 62.38 57.28

Berdasarkan hasil tersebut diperoleh ukuran pori rata – rata yang memenuhi standar ukuran sel agar sel tulang dapat tumbuh dengan baik 100-300 μm, meskipun ukuran pori tidak mempunyai ukuran yang merata, akan tetapi sebaran pori yang terjadi (porositas) dengan persentasi 66.77 % untuk TKA 60/40 67.29 % untuk TKA 70/30, 57.28 % untuk TKA 80/20 menandakan bahwa pori sudah tersebar merata di seluruh permukaan sampel Scaffold yang dipreparasi dengan rasio β-TCP lebih besar cenderung menghasilkan ukuran poros yang lebih kecil, bahkan menghasilkan penutupan poros. Morfologi ini serupa dengan morfologi poros pada scaffold hasil studi Turco et al. (2008) yang menggunakan metode preparasi scaffold yang sama. Berdasarkan hasil Micro-CT scan diperoleh bahwa ukuran pori dan sebaran pori terbaik berada pada komposisi massa TCP/Alginat 70/30 dengan berdasarkan pada standar ukuran pori seharusnya yaitu berada antara 100 – 300 μm (Turco 2008)

Dokumen terkait