• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Buah Manggis

Salah satu buah yang kulitnya tergolong ke dalam limbah adalah manggis, walaupun kulit buah manggis memiliki khasiat bagi kesehatan. Kulit buah manggis yang digunakan dalam penelitian ini, diproses menjadi tepung dan diekstrak untuk dilakukan lebih lanjut. Analisis proksimat tepung kulit manggis perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristiknya. Hasil analisis proksimat yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis proksimat tepung kulit manggis (%bk) Jenis Analisis Metode Tepung Garcinia

forbesii

Tepung Garcinia mangostana Kadar air Gravimetri 10.49±0.223 10.26±0.134 Kadar abu Gravimetri 4.16±0.033 4.23±0.040

Lemak Soxhlet 11.82±0.130 9.40±0.210

Protein Kjedahl 3.81±0.030 2.83±0.060

Karbohidrat By Different 69.27 73.28

Keterangan : Data merupakan nilai rata-rata±SD (n=2) basis kering, huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf signifikan 0.05

Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa kadar air dalam Garcinia forbesii dan Garcinia mangostana sebesar 10.49% dan 10.26% yang telah mengalami proses pengeringan dengan cabinet dryer dan penggilingan menjadi tepung dengan ukuran 40 mesh. Tujuan diperolehnya kadar air yang rendah adalah untuk memperpanjang umur simpan tepung kulit manggis, agar dapat disimpan dan digunakan pada tahapan penelitian. Kadar abu pada tepung Garcinia forbesii lebih rendah dibandingkan dengan Garcinia mangostana, hal ini menunjukkan zat mineral yang terkandung dalam sampel Garcinia forbesii mengadung zat mineral yang lebih rendah dibandingkan dengan Garcinia mangostana. Kandungan mineral termasuk dalam zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan bagi tubuh. Kadar lemak dan protein tepung Garcinia forbesii lebih besar dibandingkan dengan tepung Garcinia mangostana. Lemak termasuk komponen zat gizi yang penting bagi tubuh. Kandungan protein dalam tepung kulit manggis selain merupakan zat gizi juga dapat bertindak sebagai zat gizi yang memiliki aktivitas antioksidan. Sampel tepung kulit manggis merah Garcinia forbesii mengandung sejumlah kadar air, lemak, dan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan Garcinia mangostana. Kandungan air yang lebih tinggi pada kulit Garcinia forbesii memberikan pH yang asam karena kandungan asam organik yang sangat kuat seperti asam malat, asam tartarat, asam sitrat, asam askorbat, dan asam asetat (Randy M 2014). Kandungan asam yang tinggi tersebut sangat berperan dalam mempengaruhi nilai aktivitas antioksidannya

13 karena kandungan asam organik yang lebih tinggi pada Garcinia forbesii dibandingkan dengan Garcinia mangostana memiliki nilai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi pula (Randy M 2014). Selain itu, tingginya kandungkan karbohidrat pada tepung Garcinia mangostana dan Garcinia forbesii mengindikasikan bahwa tepung kulit manggis tersebut dapat larut dengan baik di air dan dapat dimanfaatkan dalam industri minuman, seperti jus dan minuman instan.

Ekstraksi Kulit Manggis

Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah. Zat-zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat yang non polar hanya larut di dalam pelarut non polar. Tingkat kepolaran pelarut yang digunakan sangat menentukan jumlah zat

aktif karena pada proses ekstraksi berlaku prinsip “like dissolve like” dimana zat hanya akan terlarut dengan baik dan terekstrak apabila pelarut yang digunakan memiliki tingkat kepolaran yang sama. Prinsip ekstraksi suatu bahan berdasarkan prinsip kesetimbangan massa, yaitu yang melibatkan dua fasa yang berbeda, kemudian solut atau komponen tersebut ditransfer ke salah satu fasa yang lain sehingga interaksi akibat tingkat kepolaran yang sama mengakibatkan proses ekstraksi dapat terjadi secara terus menerus sampai diperoleh suatu kesetimbangan massa antara fasa satu dengan yang lain (Wijaya LA 2010). Metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain perkolasi, maserasi, soklet, refluks, dan kromatografi. Cara ekstraksi dengan maserasi (metode dingin) dan refluks (metode panas) sering digunakan karena lebih mudah dan praktis. Pada proses ekstraksi dalam penelitian ini digunakan metode maserasi dan refluks yang diikuti dengan penyaringan.

Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi bergantung pada sifat kepolaran dari zat aktif kulit manggis yang akan diekstrak. Jenis pelarut ada yang bersifat polar, semi polar, dan non polar. Pelarut yang sering digunakan untuk ekstraksi mulai dari yang polar sampai non polar antara lain air, metanol, etanol, etil asetat, aseton dan heksan. Senyawa aktif khhususnya yang bersifat fenolik dalam kulit buah manggis seperti xanthon, tanin, antosianin, asam fenolat, dan senyawa fenolik lainnya bersifat semi polar. Pada umumnya, kulit buah manggis diekstrak menggunakan pelaru air, namun pelarut air dapat menyebabkan terlarutnya senyawa polisakarida yang dapat menimbulkan beberapa kendala dalam aplikasi maupun analisis, sehingga perlu dilakukan perlakuan untuk mengurangi kadar tersebut. Menurut Wijaya LA (2010), salah satu proses pengendapan senyawa polisakarida dapat menggunakan pelarut etanol. Menurut penelitian Wijaya LA (2010), ekstraksi kulit manggis dengan maserasi yaitu mengekstrak komponen xanton dapat menggunakan pelarut aseton 72% atau 90%. Namun, senyawa antosianin, tanin, dan senyawa fenolik lainnya dalam kulit manggis terekstrak dengan baik menggunakan pelarut polar, seperti etanol 70% atau air. Sementara itu, penelitian yang dilakukan Dewandari et al. (2013) adalah ekstraksi senyawa aktif sirih merah menggunakan metode maserasi dan refluks untuk mendapatkan hasil ekstrak yang terbaik, digunakan pelarut etanol karena menurut Wijaya LA (2010) dan Prasad et al. (2009) memberikan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut air dan etil asetat. Senyawa fenolik sirih merah memiliki sifat kepolaran yang mirip dengan senyawa fenolik pada Garcinia mangostana dan

14

Garcinia forbesii. Dengan demikian, metode ekstraksi yang dilakukan mengacu pada penelitian Wijaya LA (2010) dan Dewandari et al. (2013) menggunakan dua metode, yaitu maserasi dan refluks dengan pelarut etanol 70%. Pelarut etanol 70% digunakan karena selain merupakan pelarut yang universal digunakan, dasar pemilihan lainnya adalah memiliki tingkat toksisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pelarut semi polar lainnya, dan juga memiliki aktivitas antimikroba. Hasil ekstraksi tepung Garcinia forbesii dan tepung Garcinia mangostana pada metode maserasi dan refluks dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil eksraksi tepung kulit manggis

Parameter Sampel Maserasi Refluks

6 jam 24 jam 1 jam 3 jam

GF 31.34 ± 32.43 ± 41.60 ± 42.00 ± Rendemen (%bk) 1.161 a 3.070 a 1.780b 1.413 b GM 38.54 ± 40.38 ± 41.67. ± 41.53 ± 0.544 c 1.001 c 0.248 d 1.512 d Aktivitas GF 2550.00 ± 5550.00 ± 13425.00 ± 13100.00 ± antioksidan 122.474 a 223.607 b 82.916 c 165.831 d AEAC μg/mL GM 2375.00 ± 4975.00 ± 12425.00 ± 10200.00 ± 268.095 e 277.263 f 86.603 g 82.916 h GF 291.85 ± 370.65 ± 785.87 ± 861.41 ± Total fenol 2.372 a 3.439 b 4.612 c 3.214d GAE μg/mL GM 4078.80 ± 4546.00 ± 5105.98 ± 5793.48 ± 27.747 e 11.532 f 218.120 g 24.906 h pH GF 2.65 2.69 2.51 2.85 GM 2.92 2.74 3.14 3.22 Keterangan :

GF : Garcinia forbesii (Kulit manggis merah)

GM : Garcinia mangostana (Kulit manggis mangostana)

Data merupakan nilai rata-rata±SD (n=2), huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf signifikan 0.05

Perhitungan rendemen dilakukan untuk megetahui efisiensi proses ekstraksi. Rendemen diperoleh dengan membandingkan berat ekstrak (bk) dengan berat bahan kering dikali 100%. Rendemen tertinggi yang diperoleh Garcinia forbesii sebesar 42.00% menggunakan metode refluks 3 jam dan Garcinia mangostana 41.67% menggunakan metode refluks 1 jam, namun nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai rendemen pada masing-masing metode refluks, sehingga untuk efisiensi waktu dipilih metode refluks 1 jam yang menghasilkan rendemen yang optimal. Ekstraksi dengan metode maserasi memberikan rendemen yang lebih kecil dibandingkan dengan refluks. Tingkat polaritas pelarut etanol yang sama dengan zat aktif dalam kulit manggis juga sangat mempengaruhi jumlah zat aktif yang terekstrak. Selain itu, menurut Susanti (2008) panas yang digunakan pada metode refluks dapat menyebabkan degradasi pada dinding sel sehingga memudahkan senyawa fenol keluar dan terekstrak serta pemanasan juga dapat menginaktivasi enzim polifenol oksidase sehingga dapat menurunkan kerusakan fenol, meningkatkan rendemen, dan meningkatkan stabilitas fenolnya. Melalui metode ekstraksi dengan refluks (metode panas) dapat meningkatkan jumlah rendemen

15 karena suhu panas yang dibutuhkan oleh pelarut etanol 70% untuk mencapai titik didih yang dapat malarutkan komponen zat aktif yang tidak terekstrak pada metode maserasi (metode tanpa panas) (Dewandari 20013).

Aktivitas antioksidan merupakan nilai yang menunjukkan kemampuan senyawa dalam sampel dalam menangkal radikal bebas dan mencegah terjadinya oksidasi. Nilai aktivitas antioksidan diukur berdasarkan perhitungan dengan standar asam askorbat. Hasil pengukuran aktivitas antioksidan ekstrak Garcinia forbesii dengan metode refluks 1 jam dan 3 jam serta maserasi 6 jam dan 24 jam berturut-turut adalah 13425(μg/mL), 13100(μg/mL), 2550(μg/mL), dan 5550(μg/mL). Sementara itu, hasil pengukuran aktivitas antioksidan ekstrak Garcinia mangostana dengan metode refluks 1 jam dan 3 jam serta maserasi 6 jam dan 24 jam berturut-turut adalah 12425(μg/mL), 10200 (μg/mL), 2375(μg/mL), dan 4975(μg/mL). Hal ini menunjukkan nilai aktivitas antioksidan tertinggi pada Garcinia forbesii serta Garcinia mangostana diperoleh menggunakan metode refluks 1 jam lebih baik dibandingkan dengan metode refluks 3 jam maupun maserasi. Hasil aktivitas antioksidan dengan metode refluks lebih tinggi dibandingkan maserasi karena dengan refluks (metode panas) dapat meningkatkan jumlah rendemen karena suhu panas yang dibutuhkan oleh pelarut etanol 70% untuk mencapai titik didih yang dapat malarutkan komponen zat aktif yang tidak terekstrak pada metode maserasi (metode tanpa panas) (Dewandari 2013). Selain itu, nilai aktivitas antioksidan pada metode refluks 3 jam lebih rendah dibandingkan dengan metode refluks 1 jam, hal ini dapat disebabkan walaupun panas dan pelarut etanol yang digunakan dapat mengoptimalkan ektraksi senyawa aktif, namun semakin lama waktu dan panas yang digunakan dalam ekstraksi dapat merusak antioksidan senyawa aktifnya. Salah satu antioksidan dalam kulit manggis yaitu flavonoid yang merupakan golongan fenol memiliki sistem konjugasi dapat mudah rusak pada suhu tinggi yang terlalu lama.

Senyawa fenolik juga memiliki aktivitas antioksidan karena memiliki gugus hidroksil fenolik yang mempu mereduksi senyawa radikal, namun tidak semua senyawa yang memiliki nilai aktivitas antioksidan merupakan senyawa fenolik. Senyawa lain yang memiliki aktivitas antioksidan selain senyawa fenolik, yaitu vitamin C, vitamin B, protein, dan lainnya. Nilai total fenol menunjukkan seberapa banyak kandungan senyawa fenolik dalam sampel yang diukur berdasarkan peritungan dengan standar asam galat. Hasil pengukuran total fenol ekstrak Garcinia forbesii dengan metode refluks 1 jam dan 3 jam serta maserasi 6 jam dan 24 jam berturut-turut adalah 785.87(μg/mL), 861.41(μg/mL), 291.85(μg/mL), dan 370.65(μg/mL). Hal ini menjukkan bahwa ekstraksi dengan metode refluks 3 jam memiliki nilai total fenol yang lebih tinggi dibandingakan dengan metode maserasi. Sementara itu, nilai total fenol ekstrak Garcinia mangostana dengan metode refluks 1 jam dan 3 jam serta maserasi 6 jam dan 24 jam berturut-turut adalah 5105.98(μg/mL), 5793.48(μg/mL), 4078.80(μg/mL), dan 4546.20(μg/mL). Hal ini juga menunjukkan bahwa ekstraksi dengan metode refluks 3 jam memiliki nilai total fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode maserasi. Menurut Susanti (2008), panas yang digunakan pada metode refluks dapat menyebabkan degradasi pada dinding sel sehingga memudahkan senyawa fenol keluar dan terekstrak serta pemanasan juga dapat menginaktivasi enzim polifenol oksidase sehingga dapat menurunkan kerusakan fenol, meningkatkan rendemen, dan meningkatkan stabilitas fenolnya. Selain itu, nilai total fenol ekstrak Garcinia

16

forbesii yang lebih rendah dari Garcinia mangostana, memberikan nilai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dan tidak terlalu berbeda dengan nilai aktivitas antioksidan Garcinia mangostana. Menurut Randy (2014), kandungan air yang lebih tinggi pada kulit manggis merah Garcinia forbesii memberikan pH yang asam yang lebih tinggi karena kandungan asam organik yang sangat kuat seperti asam malat, asam tartarat, asam sitrat, dan asam asetat. Kandungan asam yang tinggi tersebut sangat berperan dalan mempengaruhi nilai aktivitas antioksidannya karena kandungan asam organik yang lebih tinggi pada Garcinia forbesii dibandingkan dengan Garcinia mangostana, sehingga Garcinia forbesii memiliki nilai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi (Randy M 2014).

Tabel 4. Hasil chromameter ekstrak kulit manggis dari berbagai metode

Parameter Sampel Maserasi Refluks

6 jam 24 jam 1 jam 3 jam

L GF 30.83 ± 0.000a 30.93 ± 0.054a 31.19 ± 0.042b 25.12 ± 0.029c GM 49.87 ± 0.021d 52.13 ± 0.022e 45.80 ± 0.049f 43.78 ± 0.017g a GF 33.42 ± 0.029a 32.84 ± 0.074b 28.34 ± 0.028c 16.00 ± 0.068d GM 5.05 ± 0.008e -0.06 ± 0.025f 3.63 ± 0.017g 2.22 ± 0.012h b GF 12.98 ± 0.009a 13.03 ± 0.019b 12.69 ± 0.012c 5.20 ± 0.017d GM 19.60 ± 0.012e 14.92 ± 0.034f 16.23 ± 0.016g 9.31 ± 0.016h Hue (h o) GM GF 21.22 75.16 21.64 89.77 24.12 77.39 18.00 76.59

GF Merah Merah Merah Merah

Warna GM Kuning Kuning Kuning Kuning

kemerahan kemerahan kemerahan kemerahan

Data merupakan nilai rata-rata±SD (n=2), huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf signifikan 0.05

Gambar 3. Ekstrak Garcinia forbesii (atas) dan Garcinia mangostana (bawah) Maserasi 6 jam Maserasi 24 jam Refluks 1 jam Refluks 3 jam

17 Secara visual, hasil ekstraksi dengan metode maserasi dan refluks menghasilkan tingkat warna dan kekentalan yang berbeda. Terlihat pada gambar bahwa Garcinia forbesii menghasilkan warna merah gelap. Namun, pada ekstrak Garcinia mangostana yang dihasilkan lebih berwarna kuning kemerahan. Pada hasil Garcinia mangostana dengan metode refluks 3 jam menghasilkan warna yang lebih gelap dan lebih pekat dibandingkan dengan metode refluks 1 jam, begitu pula dengan metode maserasi. Sementara itu, pada kulit manggis merah dengan metode refluks dan maserasi menghasilkan ekstrak Garcinia forbesii yang berwarna merah tua. Namun pada metode refluks ekstrak Garcinia forbesii lebih pekat dibandingkan dengan maserasi. Berdasarkan hasil analisis rendemen, aktivitas antioksidan, total fenol, dan warna maka dipilih metode refluks 1 jam untuk digunakan pada tahap selanjutnya yaitu sintesis nanopartikel ekstrak Garcinia forbesii dan Garcinia mangostana.

Sintesis Nanopartikel Kulit Manggis

Nanopartikel merupakan salah satu formulasi suatu partikel yang terdispersi pada ukuran nanometer. Kitosan merupakan polimer yang cukup populer sering digunakan dalam sistem nanopartikel. Kitosan lebih banyak dipilih karena memiliki sifat yang khas dibandingkan polimer yang lain. Kitosan dilaporkan memiliki kemampuan untuk membuka kait antar sel (tight junction) pada membran usus secara sementara (Bhardwaj dan Kumar 2004; Martien et al. 2008) sehingga sangat potensial dikembangkan sebagai bahan untuk pembuatan nanopartikel dalam aplikasi penghantar terkontrol suatu zat aktif. Selain itu, kitosan yang memiliki muatan positif pada gugus amonium dapat berinteraksi ionik dengan asam sialat pada membran intestinal saluran cerna (Vllasaliu et al. 2010). Kitosan juga bersifat biodegradable dan biokompatibel karena kitosan merupakan polimer yang diperoleh dari hidrolisis polimer kitin yang berasal dari sumber alam pada cangkang hewan laut, bersifat food grade, memiliki toksisitas yang rendah, dan metode preparasi yang sederhana (Tiyaboonchai 2003). Kemampuan kitosan dalam pembuatan nanopartikel sudah banyak diteliti, diantaranya nanopartikel paclitaxel suatu obat antikanker dengan ukuran 116 nm (Li et al. 2012), ampisilin trihidrat (Saha et al. 2010); kombinasi 5-fluorourasil dan leucovorin suatu obat anti kanker

Gambar 4. Interaksi kitosan dengan TPP (a) deprotonasi, (b) ikatan silang ionik (Bhunkar dan Pokhakar 2006)

18

kolon dengan ukuran partikel 40.73-78.53 nm (Li et al. 2012), deksametason, natrium fosfat suatu obat antiinflamasi dengan ukuran partikel 250-350 nm (Dustgani et al. 2008).

Metode pembuatan nanopartikel kitosan sederhana, yaitu dengan metode gelasi ionik. Gelasi ionik merupakan sifat interaksi kation kitosan dengan polianion khusus. Kitosan memiliki gugus asam amino dengan pKa 6.2-7 yang bersifat basa (Kumar 2000). Kitosan dapat larut dalam pH asam dibawah pH 6, seperti asam asetat, asam format, dan asam laktat. Kitosan yang dilarutkan dalam pH asam mengubah gugus amin (-NH2) menjadi (-NH3+). Gugus yang terionisasi positif tersebut dapat berinteraksi secara ionik dengan zat yang bermuatan negatif (Bhumkar dan Pokharkar 2006). Gugus amonium yang bebas akan saling tolak menolak sehingga dapat melemahkan kompleks nanopartikel yang terbentuk. Sehingga, diperlukan adanya pengikat silang (crosslinker) yang mampu menstabilkan muatan positif tersebut. Pengikat silang yang diperlukan harus berupa polianion, sehingga dapat membentuk interaksi ionik. Sodium Tripolifosfat (STPP) merupakan salah satu poliaion yang banyak digunakan, dimana larut dalam air mengion membentuk ion hidroksil dan ion tripolifosfat (Bhumkar dan Pokharkar 2006; Kafshgari et al. 2011). Reaksi sambung silang secara ionik terjadi antara ion tripolifosfat (polianion) dan gugus amin -NH3+ (kation) (Ko et al. 2010; Bhumkar dan Pokharkar 2006). (Gambar 3). Semakin banyak terjadi reaksi sambung silang ionik antara kitosan dan STPP, maka semakin banyak molekul nanopartikel zat aktif yang terbentuk dan terjerap. Pada penelitian Yu Sin Lin et al. (2008) melaporkan bahwa STPP sebagai polianion berinteraksi membentuk ikatan silang dengan kitosan yang bersifat kation akan membentuk nanopartikel yang lebih stabil dan memiliki penembusan membran yang lebih baik.

Nanopartikel ekstrak Garcinia forbesii dan Garcinia mangostana disintesis menggunakan metode gelasi ionik dengan magnetik strirrer tanpa panas. Hasil pengujian nanopartikel Garcinia forbesii dan Garcinia mangostana terhadap karakteristik sifat fisik dan fungsional pada beberapa formula konsentrasi kitosan dan STPP dapat dilihat pada Tabel 5. Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 16. Table 5. Hasil analisis karakterisasi nanopartikel

Formula Ukuran Partikel (nm) Indeks Polidispersitas Aktivitas Antioksidan AEAC (μg/mL) Total Fenol GAE (μg/mL) F1 GF 478.60±17.978a 0.45±0.013a 4854.17±287.729a 1736.41 ± 10.870a F2 GF 214.40±3.505b 0.36±0.026b 5729.17±198.742b 1714.67 ± 16.304a F3 GF 928.50±69.259c 0.52±0.021c 5104.17±313.887c 1714.67 ± 5.435a F4 GF 806.80±35.847d 0.60±0.054d 4104.17±90.810d 1725.54 ± 5.435a F1 GM 6897.00±252.033a 1.00±0.000a 4416.67±544.859a 2766.30 ± 19.022a F2 GM 285.20±5.990b 0.46±0.019b 4562.50±198.737a 2711.96 ± 13.587a F3 GM 764.80±65.088c 0.62±0.033c 3791.67±131.757b 2875.00 ± 8.152a F4 GM 1655.00±780.100d 0.88±0.086d 3020.83±108.250b 2828.80 ± 10.870a Keterangan : Data merupakan nilai rata-rata±SD (n=2), huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf signifikan 0.05. GF: Garcinia forbesii, GM: Garcinia mangostana, F1: 0.2% kitosan dan 0.2% STPP,

F2: 0.2% kitosan dan 0.1% STPP, F3: 1% kitosan dan 0.2% STPP, F4: 1% kitosan dan 0.1% STPP

19 Hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan formula F2 yaitu konsentrasi kitosan 0.2% dan STPP 0.1% memiliki ukuran partikel terbaik karena paling kecil dibandingkan formula lainnya baik pada Garcinia forbesii maupun Garcinia mangostana. Pada konsentrasi kitosan yang berbeda (0.2% dan 1%) dengan konsentrasi STPP yang sama menunjukkan semakin tinggi konsentrasi kitosan terjadi peningkatan ukuran partikel. Menurut (Wahyono 2010) semakin tinggi konsentrasi kitosan dengan jumlah STPP yang sama menyebabkan peningkatan ukuran partikel disebabkan aglomerasi pada molekul kitosan, karena partikel yang terbentuk karena interaksi kitosan dan STPP lebih banyak dan semakin padat, sehingga partikel cenderung bergerombol dan beraglomerasi membentuk agregat menjadi partikel yang lebih besar berukuran mikro. Peningkatan ukuran partikel juga bisa dipengaruhi oleh kondisi pH, volume, dan kecepatan pengadukkan stirrer. Variasi pH akan mempengaruhi ionisasi kitosan yang akan mempengaruhi pada kekuatan ikatan pada kompleks nanopartikel yang terbentuk (Lopez-Leon et al. 2005). Pada pH rendah tripolifosfat banyak terionisasi ke dalam bentuk ion tripolifosfat dibandingkan dengan ion hidroksil, sedangkan pada pH basa sebaliknya, sehingga pada pH basa terbentukknya ikatan silang semakin rendah dan menyebabkan ukuran partikel menjadi lebih besar. Ukuran partikel nanopartikel yang disepakati secara umum memiliki ukuran di bawah 1 mikron (Tiyaboonchai 2003; Buzea et al. 2007), namun ukuran dibawah 500 nm memiliki karakteristik yang lebih baik. Berdasarkan nilai ukuran partikel dipilih formula F2 dengan konsentrasi kitosan 0.2% dan STPP 0.1%.

Nilai indeks polidispersitas menunjukkan keseragaman ukuran partikel. Menurut Yuan et al. (2008), semakin kecil nilai indeks polidispersitas maka ukuran partikel semakin homogen. Menurut Avadi et al. (2010), nilai indeks polidispersitas lebih besar dari 0.5 menunjukkan heterogenitas yang tinggi, dan sebaliknya jika mendekati nilai 0 menunjukkan ukuran partikel yang seragam. Hasil pengujian indeks polidispersitas formula terpilih F2 pada Garcinia forbesii maupun Garcinia mangostana memiliki nilai indeks polidispersitas kurang dari 0.5, hal ini menunjukkan ukuran partikel nanopartikel sampel formula F2 tersebut masih seragam. Ukuran partikel yang tidak seragam dapat disebabkan karena kecenderungan partikel untuk beraglomerasi membentuk agregat partikel yang lebih besar. Faktor yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi diantaranya adalah formula kombinasi kitosan dan STPP, pH larutan, kecepatan pengadukan stirrer, volume saat pengadukan dengan strirrer.

F1 F2 F3 F4

F1 F2 F3 F4

(A) (B)

Gambar 5. Larutan nanopartikel ekstrak (GF) (Garcinia forbesii) (A) dan (GM) (Garcinia mangostana) (B)

20

Pengukuran aktivitas antioksidan dan total fenol diperlukan untuk mengetahui pengaruh proses sintesis nanopartikel terhadap perubahan sifat fungsionalnya. Aktivitas antioksidan yang terukur dapat diartikan sebagai kemampuan sampel yang mengandung zat aktif yang memiliki aktivitas antioksidan dalam menahan atau memperlambat reaksi oksidasi dengan mereduksi seyawa radikal bebas yang dipengaruhi oleh banyaknya kandungan zat antioksidan yang terkandung didalamnya. Pengukuran aktivitas antioksidan diukur dengan menggunakan metode DPPH. Prinsipnya adalah senyawa DPPH sebagai senyawa radikal akan tereduksi oleh senyawa antioksidan yang ditunjukkan oleh perubahan warna larutan reaksi yang semakin pudar. Semakin tinggi kandungan zat antioksidan dalam sampel, maka semakin besar nilai aktivitas antioksidannya. Nilai total fenol menunjukkan seberapa banyak kandungan senyawa fenolik dalam sampel. Senyawa fenolik juga memiliki aktivitas antioksidan karena memiliki gugus hidroksil fenolik yang mempu mereduksi senyawa radikal, namun tidak semua senyawa yang memiliki nilai aktivitas antioksidan merupakan senyawa fenolik. Senyawa lain yang memiliki aktivitas antioksidan selain senyawa fenolik, yaitu vitamin C, vitamin B, protein, dan lainnya. Nilai aktivitas antioksidan dihitung berdasarkan jumlah asam askorbat sebagai standar, sedangkan nilai total fenol dihitung berdasarkan jumlah asam galat sebagai standar.

Hasil analisis sifat fungsional tersebut dilakukan berdasarkan jumlah ekstrak sebesar 10% dari total larutan nanopartikel karena merupakan jumlah optimal dalam penerapan zat aktif dalam nanopartikel kulit manggis (Rismana et al. 2003). Hasil pengujian aktivitas antioksidan, menunjukkan formula F2 (konsentrasi kitosan 0.2% dan STPP 0.1%) baik pada sampel nanopartikel GF dan GM memberikan nilai aktivitas antioksidan tertinggi, yaitu 5729.17±198.742 AEAC

μg/mL dan 4562.50±198.737 AEAC μg/mL. Hasil analisis total fenol juga menunjukkan nilai yang tinggi, yaitu sebesar 1714.67±16.304 GAE μg/mL dan 2711.96±13.587 GAE μg/mL. Berdasarkan jumlah ekstrak dalam larutan nanopartikel, nilai sifat fungsional nanopartikel mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa sintesis nanopartikel yang membuat ukuran partikel semakin kecil (berukuran nanometer) akan meningkatkan luas permukaan partikel sehingga permeabilitasnya meningkat, hal ini mengakibatkan aktivitas antioksidannya juga meningkat. Selain itu, semakin tinggi kandungan senyawa fenolik dalam sampel juga meningkatkan aktivitas antioksidannya karena kamampuan senyawa fenolik dalam mereduksi senyawa radikal bebas berkorelasi dalam memiliki sifat aktivitas antioksidan.

Stabilitas nanopartikel dinyatakan dalam nilai zata potensial. Zeta potensial merupakan nilai muatan pada permukaan partikel yang dapat mempengaruhi kestabilan partikel dalam larutan berdasarkan gaya elektrostatik antara partikel atau gaya tolak menolak antar partikel (Qi et al. 2004). Suatu partikel dinyatakan stabil bila memiliki nilai zeta potensial di atas 30 mV (Mardliyati et al. 2012). Dalam penelitian Mohanraj dan Chen (2006) melaporkan nanopartikel dengan nilai zeta potensial lebih dari 30 mV terbukti stabil dalam suspensi untuk mencegah agregasi. Hasil analisis zeta potensial menunjukkan bahwa nilai zeta potensial nanopartikel GF sebesar 15.40±0.432 dengan pH larutan sebesar 3.12, sementara nanopartikel GM sebesar 33.40±0,732.Menurut Li et al. (2012), pengaruh konsentrasi kitosan variasi pH menyebabkan NH3 mengion tidak sempurna (ternetralkan) pada

21 permukaan sehingga kekuatan elestrostatik antar partikel semakin kuat menimbulkan ketidakstabilan. Menurut Alishashi et al. (2011) nilai positif pada

Dokumen terkait