• Tidak ada hasil yang ditemukan

Substitusi Nukleofilik Asil (SNA) merupakan reaksi yang terjadi pada pembentukan arilamida-3 antara 3,4,5-trimetoksianilin dan 3-bromopropionil klorida dengan piridin sebagai katalisator. Reaksi substitusi merupakan reaksi kimia yang melibatkan penggantian gugus pergi dari suatu senyawa dengan gugus fungsi yang lain (Smith and March 2007). Pada reaksi SNA ini, yang berperan sebagai gugus pergi adalah gugus klorida (-Cl) dari 3-bromopropionil klorida, sedangkan gugus pengganti adalah NH dari 3,4,5-trimetoksianilin (Koltunov et al.,

2016). Gugus klorida (-Cl) pada 3-bromopropionil klorida merupakan gugus pergi yang baik tetapi Cl yang berkarakter elektronegatif relatif masih terikat kuat dengan -CO- karbonil apabila tidak dipercepat dengan katalisator (Zhang et al., 2009). Nukleofil yang akan menyerang 3-bromopropionil klorida adalah 3,4,5-trimetoksianilin yang merupakan suatu nukleofil yang baik karena memiliki amina primer yang pada atom N memiliki pasangan elektron bebas dan dapat bereaksi dengan turunan asam karboksilat untuk membentuk suatu amida (Kahl et al., 2012). Mekanisme reaksi disajikan pada Lampiran 2.

Produk awal hasil reaksi (crude product) berupa serbuk berwarna putih, kemudian produk dibilas dengan aquadest dan dibiarkan mengering seperti terlihat pada Lampiran 3. Pencucian dengan aquadest bertujuan untuk menghilangkan sisa piridin dan HCl yang terbentuk sebagai produk sampingan karena dikhawatirkan HCl akan menghidrolisis produk yang berupa amida.

Uji pendahuluan hasil sintesis arilamida-3 ditegakkan dengan uji organoleptis, kelarutan, DAB-HCl, KLT, dan titik lebur. Pada uji organoleptis terlihat senyawa hasil sintesis berupa serbuk berwarna putih. Warna senyawa hasil sintesis berbeda dengan senyawa awal yang memiliki warna sedikit kekuningan

seperti terlihat pada Lampiran 4. Perbedaan warna antara senyawa awal dan senyawa hasil sintesis menunjukkan bahwa senyawa hasil sintesis berbeda dengan senyawa awal. Pada uji kelarutan, senyawa arilamida-3 larut dalam kloroform, aseton, etil asetat, dan DMSO sehingga arilamida-3 bersifat semi polar. Hasil uji kelarutan disajikan pada Lampiran 5.

Pada uji DAB-HCl, senyawa yang memiliki gugus amina primer akan bereaksi dengan DAB-HCl dan membentuk basa Schiff yang berwarna jingga, sedangkan senyawa yang tidak memiliki amina primer tidak akan bereaksi dengan DAB-HCl dan tidak menghasilkan warna jingga (Adegoke, 2011). Arilamida-3 tidak bereaksi dengan DAB-HCl dan tidak membentuk warna jingga karena pada arilamida-3 gugus amina primer sudah mengalami substitusi dengan 3-bromopropionil klorida. Mekanisme reaksi DAB-HCl dengan 3,4,5-trimetoksianilin disajikan pada Lampiran 6, sedangkan hasil uji pendahuluan yang membedakan antara bahan baku dengan hasil sintesis disajikan pada Lampiran 7. Pada uji KLT, sistem fase gerak yang dipilih adalah n-heksana:etil asetat 2:2 karena perbedaan Rf antara bahan baku dan arilamida-3 lebih besar dibandingkan dengan

n-heksana:etil asetat 1:3 dan 3:1. Pada fase gerak n-heksana:etil asetat 2:2, arilamida-3 memiliki faktor retensi (Rf) sebesar 0,55 dan bahan baku (3,4,5-trimetoksianilin) sebesar 0,38. Perbedaan Rf ini menunjukkan bahwa produk hasil sintesis merupakan senyawa yang berbeda dengan bahan baku atau dengan kata lain telah berhasil disintesis. Profil KLT arilamida-3 dibandingkan dengan bahan baku disajikan pada Lampiran 8.

Produk hasil sintesis dinyatakan murni secara KLT sehingga tidak diperlukan pemurnian dengan kromatografi kolom. Uji yang dilakukan selanjutnya yaitu uji titik lebur untuk mengetahui perbedaan jarak lebur antara senyawa hasil sintesis dengan bahan baku. Apabila terjadi perbedaan yang signifikan antara bahan baku dengan senyawa hasil sintesis maka prediksi bahwa arilamida-3 sudah terbentuk semakin kuat. Selain itu, jarak lebur mengindikasikan kemurnian suatu

senyawa yang apabila berjarak kurang dari ≤1,5°C maka dinyatakan murni secara titik lebur. Hasil percobaan menunjukkan bahwa senyawa hasil sintesis memiliki titik lebur 115,7-120,1°C yang berbeda dengan bahan baku yaitu

3,4,5-trimetoksianilin yang memiliki jarak lebur 111-114°C (Oakwood Products, 2018). Jarak lebur yang lebih dari 1,5°C berarti mengindikasikan senyawa belum murni 100% karena jarak lebur yang lebar menunjukkan masih terdapat pelarut atau reagen yang masih belum terbilas atau teruapkan. Pemurnian senyawa dapat dilakukan dengan rekristalisasi atau kromatografi kolom agar mendapatkan jarak lebur yang sesuai dengan syarat kemurnian.

Rendemen produk yang didapatkan sebanyak 23,5%. Rendemen ini masih jauh dari kriteria ideal (100%) sehingga masih memerlukan optimasi terkait mol bahan, suhu, katalisator, atau lama pengadukan pada prosedur sintesis dan pemurniannya. Perhitungan rendemen disajikan pada Lampiran 9.

Elusidasi Struktur

Kerangka hidrokarbon senyawa hasil sintesis ditentukan dengan spektroskopi NMR yang terdiri dari proton-1 (1H) dan karbon-13 (13C). Spektrum 1H-NMR disajikan pada Gambar 4 yang menunjukkan sinyal-sinyal sebagai berikut: sinyal pada pergeseran 2,809 ppm dan 2,935 ppm adalah proton etilen (B) sedangkan sinyal pada pergeseran 3,716 ppm dan 3,890 ppm adalah proton etilen (A). Kedua set proton ini menegaskan bahwa senyawa hasil sintesis sudah terbentuk. Pola splitting sinyal kedua set tersebut adalah triplet. Hal ini karena kedua set proton saling bertetangga dengan jumlah proton tetangga yang tidak ekivalen sebanyak 2. Normalnya kedua set proton ini muncul sebagai 2 sinyal triplet, namun hasil percobaan menunjukkan munculnya 4 sinyal triplet pada jarak yang saling berdekatan. Hal ini mungkin disebabkan 2 proton pada C yang sama bisa merasakan 2 kali lingkungan magnetik dari proton tetangganya. Hal ini ditegaskan dengan jumlah integrasi sebanyak 2 untuk 2 sinyal triplet yang saling berdekatan. J-coupling constant untuk kedua sinyal triplet = 7 Hz yang mengindikasikan bahwa kedua set proton bertetangga secara langsung. Proton etilen (A) berada pada geseran kimia yang lebih deshielded dibandingkan dengan proton etilen (B) karena proton (A) terikat langsung dengan atom Br yang memiliki elektronegatifitas tinggi (Fessenden, 1986, Pavia et al., 2015).

Proton selanjutnya adalah metoksi yang muncul pada geseran 3,853 ppm dan 3,817 ppm. Sinyal pada geseran 3,853 ppm adalah metoksi (D) sedangkan

sinyal pada geseran 3,817 ppm adalah metoksi (E). Hal ini karena metoksi (D) lebih dekat dengan gugus amida yang merupakan Electron Withdrawing Group (EWG) sehingga kurang terlindungi dibandingkan dengan metoksi (E) yang berada pada posisi para (Pavia et al., 2015). Selain itu, berdasarkan integrasinya proton (D) dihitung sejumlah 6 sedangkan proton (E) dihitung sejumlah 3 sehingga sesuai dengan prediksi strukturnya. Penegasan selanjutnya kedua sinyal bentuknya singlet. Hal ini juga sesuai karena ketiga proton tidak mempunya tetangga yang tidak ekivalen. Perbesaran spektrum 1H-NMR pada geseran 2,6-4,1 ppm disajikan pada Lampiran 10.

Proton selanjutnya adalah proton pada benzena (C) yang muncul pada geseran 6,841 ppm. Integrasi proton (C) dihitung sejumlah 2. Hal ini sesuai dengan prediksi karena proton pada benzena (C) berada pada lingkungan yang sama atau ekivalen sehingga muncul sebagai singlet dengan integrasi 2. Perbesaran spektrum 1H-NMR pada geseran 6,1-7,9 ppm disajikan pada Lampiran 11.

Proton Geseran (ppm)

Splitting Integrasi J-coupling constant (Hz) A 3,716 dan 3,890 Triplet of triplet 2 7 B 2,809 dan 2,935 Triplet of triplet 2 7 C 6,841 Singlet 2 D 3,853 Singlet 6 E 3,817 singlet 3

Gambar 4. Spektrum 1H-NMR senyawa arilamida-3 dengan ditandakannya masing-masing sinyal A, B, C, D, dan E beserta karakteristik masing-masing-masing-masing sinyal

Pada spektrum 13C-NMR, terdapat 9 sinyal yang diindikasi sebagai karbon pada senyawa hasil sintesis. Karbon etilen (A) dan (B) muncul pada geseran 39,81 ppm dan 26,96 ppm. Karbon metoksi (I) dan (J) muncul pada geseran 60,98 ppm dan 56,14 ppm. Karbon pada benzena (G), (F), (E), dan (D) muncul pada geseran 97,65 ppm, 133,54 ppm, 134,94 ppm, dan 153,37 ppm. Karbon karbonil (C) muncul pada geseran 167,83 ppm. Hal ini sesuai dengan prediksi geseran kimia 13C-NMR yang disajikan pada Gambar 5. Sebagai catatan bahwa 13C-NMR hanya dapat

diindikasi lewat geseran kimia dengan mengabaikan pola splitting, integrasi, serta J-coupling constant. Hal ini karena 13C mempunyai momen magnetik yang rendah sebesar 67,28 radians/Tesla dibandingkan dengan 1H yang mempunyai momen magnetik sebesar 267,53 radians/Tesla. Selain itu, kelimpahan 13C di alam kecil yaitu 1,08% yang menyebabkan tidak spesifiknya pola splitting serta integrasi (Pavia et al., 2015). Proton Geseran (ppm) A 39,81 B 26,96 C 167,83 D 153,37 E 134,94 F 133,54 G 97,65 I 60,98 J 56,14

masing-Metode elusidasi selanjutnya adalah FTIR yang bertujuan untuk mengetahui gugus fungsional yang terdapat pada arilamida-3. Suatu molekul akan menyerap radiasi inframerah yang menyebabkan molekul tersebut berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi kemudian energi yang terserap akan dibuang dalam bentuk panas apabila molekul kembali ke keadaan dasar. Energi yang terserap akan menyebabkan ikatan bervibrasi ulur (stretching vibration) atau tekuk (bending vibration). Molekul yang dapat menyerap radiasi inframerah secara baik adalah molekul yang memiliki momen dipol yang tinggi (Fessenden, 1986, Pavia et al., 2015).

Berdasarkan spektrum inframerah, terdapat pita pada daerah sekitar bilangan gelombang (ῡ) 1658,78 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C karbonil (C=O) dan pita yang melebar pada daerah sekitar bilangan gelombang 3448,72 cm -1 yang menunjukkan adanya gugus NH (-NH-). Adanya gugus C karbonil dan NH ini menandakan pada arilamida-3 terdapat gugus amida (-CONH-). Pada daerah 500-1500 cm-1 atau daerah sidik jari dapat dilihat pita-pita yang berbeda polanya dengan senyawa awal. Spektrum inframerah senyawa awal disajikan pada Lampiran 12 (Pubchem, 2019). Spektrium inframerah arilamida-3 disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Spektrum inframerah senyawa arilamida-3

Metode elusidasi selanjutnya adalah dengan GC-MS yang bertujuan untuk mengetahui bobot molekul dari arilamida-3. Senyawa dipisahkan terlebih dahulu dari impurities dengan menggunakan GC dan senyawa dianalisis bobot

molekulnya. Puncak F merupakan puncak tertinggi yang menunjukkan puncak tersebut adalah senyawa arilamida-3 karena terdapat dalam konsentrasi yang paling tinggi. Kromatogram GC arilamida-3 disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Kromatogram GC arilamida-3 dengan ditandakannya masing-masing puncak A, B, C, D, dan E

Puncak tertinggi pada kromatogram memiliki m/z sebesar 317 yang terbaca pada spektrum MS. Hal ini mendukung kebenaran hasil sintesis arilamida-3 yang memiliki bobot molekul sebesar 317,03 g/mol. Selain itu, senyawa arilamida-3 memiliki atom brom (Br) yang pada spektra MS memiliki ciri khas bentuk spektra kembar dengan nilai m/z M+2 (ion molekul plus 2 satuan massa) dan intensitas kedua peak sama. Hal ini dikarenakan Br yang terdapat pada alam terdiri dari campuran 50,5% 79Br dan 49,5% 81Br (Zhai and Zhang, 2009, Pavia et al., 2015). Pada spektrum MS senyawa arilamida-3 yang disajikan pada Gambar 8, terdapat peak kembar pada 317 m/z yang menunjukkan adanya atom Br pada senyawa arilamida-3.

Gambar 8. Spektrum MS senyawa arilamida-3

Kristalografi x-ray merupakan metode penentuan struktur yang paling sahih dan tidak meragukan. Suatu kristal tunggal yang terkena sinar X akan

merefleksikan inti dari struktur senyawa tersebut seperti yang disajikan pada Gambar 9. Secara keseluruhan, struktur arilamida-3 dipastikan kebenarannya mulai dari 1H-NMR, 13C-NMR, FTIR, MS, dan kristalografi sinar X sehingga disimpulkan bahwa senyawa hasil sintesis terbentuk sesuai dengan hipotesisnya.

Gambar 9. Struktur 3D kristalografi sinar X senyawa arilamida-3 Uji Aktivitas In Vitro

Senyawa arilamida-3 kemudian dilakukan uji aktivitas penghambatan enzim MMP-9 in vitro. MMP-9 yang merupakan enzim protease dan memiliki aktivitas proteolitik akan memotong ikatan peptida pada substratnya. Substrat dalam pengujian ini mengikat gugus fluorofor sehingga ketika terpotong oleh MMP-9, gugus fluorofor terlepas dan terbaca fluoresensinya oleh spektrofluorometri pada panjang gelombang (λ) eksitasi325 nm dan emisi 393 nm. Fluoresensi yang tinggi menunjukkan aktivitas enzim sebanyak 100%, sedangkan fluoresensi yang rendah menunjukkan adanya penghambatan pada aktivitas enzim. Senyawa arilamida-3 memiliki persen penghambatan sebesar 5% pada konsentrasi 200 µg/mL yang disajikan pada Tabel 1. Perhitungan IC50 tidak dapat dilakukan karena persen penghambatan yang didapat dibawah 50%. Berdasarkan persen penghambatan, senyawa arilamida-3 termasuk dalam kategori low active

(Aderogba, 2013). Penambahan gugus metoksi sebagai EDG pada bagian para dan

meta gugus arilamida pada senyawa arilamida-3 ternyata menurunkan nilai persen penghambatan dibandingkan dengan senyawa milik Adhipandito dan Ludji yang memiliki penambahan gugus EWG. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

penambahan gugus EWG dalam senyawa penghambat aktivitas enzim MMP-9 lebih baik dibandingkan dengan gugus EDG.

Tabel 1. Perhitungan persen penghambatan senyawa arilamida-3 terhadap MMP-9 Fluoresens Rata-rata Aktivitas inhibitor (%) Penghambatan enzim (%) ± SD R1 R2 R3 Blanko (bufer) 9683 9349 9217 9416 - - Kontrol negatif (tanpa inhibitor) 32989 33687 30321 32332 100 0 Kontrol positif (inhibitor NNGH) 5946 5946 7898 6597 0 100 ± 4,92 Senyawa arilamida-3 29954 31102 32431 31162 95 5 ± 5,41

Aktivitas inhibitor = rata-rata/32332 x 100%; Penghambatan enzim = 100% - aktivitas inhibitor

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa arilamida-3 dapat disintesis dari 3,4,5-trimetoksianilin dan 3-bromopropionil klorida dengan katalisator piridin melalui mekanisme reaksi SNA dengan produk hasil sintesis berupa serbuk berwarna putih yang larut dalam kloroform dan memiliki titik lebur 115,7-120,1°C. Senyawa arilamida-3 dapat menghambat aktivitas MMP-9 sebesar 5% pada konsentrasi 200 µg/mL yang berasosiasi pada aktivitas yang rendah.

SARAN

Berdasarkan nilai persen penghambatan senyawa arilamida-3 terhadap aktivitas enzim MMP-9 in vitro yang didapatkan sebesar 5% pada konsentrasi 200 µg/mL, penelitian ini dapat menjadi informasi tambahan bahwa dengan adanya

gugus EDG akan mengurangi nilai persen penghambatan aktivitas enzim MMP-9 sehingga disarankan untuk penelitian selanjutnya tidak mempertimbangkan gugus EDG dalam modifikasi struktur suatu senyawa yang bertujuan untuk menghambat enzim MMP-9.

Dokumen terkait