• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis Surfaktan APG

Sintesis surfaktan APG dilakukan melalui proses butanolisis, transasetalisasi, netralisasi dan diakhiri dengan proses distilasi menggunakan reaktor berpengaduk dengan kapasitas 2 liter terbuat dari stainless steel yang dilengkapi dengan thermoset digital untuk mengatur suhu dengan memanaskan silicon oil sebagai media pemanas, thermocoupel untuk mengetahui suhu di dalam reaktor serta indikator tekanan. Pengaduk dalam reaktor menggunakan pengaduk jenis propeller (baling-baling) dan pada bagian dinding dalam reaktor dilengkapi dengan baffle. Tutup reaktor dilengkapi dengan kran yang dihubungkan dengan barometer tekanan tinggi dan barometer vakum dan pendingin. Seal antara penutup reaktor dengan reaktor menggunakan seal silicon yang tahan sampai suhu 200 oC. Reaktor yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Reaktor yang digunakan pada penelitian : (A) reaktor, (B) thermoset digital, (C) thermocopel, (D) pengaduk, (E) erlenmeyer distilat, (F) erlenmeyer silika gel, (G) pompa vakum

Proses butanolisis

Tahap butanolisis merupakan reaksi antara monosakarida dan butanol dengan menggunakan katalis asam untuk membentuk produk butil glikosida. Pemilihan katalis pada proses sintesa APG sangat menentukan keberhasilan terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesa berlangsung. Katalis MESA merupakan senyawa antara yang dihasilkan dalam produksi surfaktan metil ester sulfonat (MES). Reaksi sulfonasi dari metil ester menghasilkan methyl ester sulfonic acid yang berwarna gelap dan bersifat asam.

A B D C G E F

Proses butanolisis dilakukan dengan perlakuan penambahan katalis MESA sebesar 1,5; 2; dan 2,5% pada suhu 130-150 oC. Katalis pada proses sintesis APG, bertujuan untuk mempercepat proses sintesis APG.

Menurut Luders (2000), semakin rendah suhu maka proses reaksi akan berjalan semakin lambat. Semakin tinggi suhu sintesis yang digunakan maka reaksi akan berjalan lebih cepat, namun proses harus dijaga untuk meminimalkan pembentukan by-product yang tidak diinginkan pada penggunaan suhu yang tinggi. Selain itu diperlukan ion H+ yang cukup dari katalis asam untuk membantu reaksi antara gula dan butanol. Proses ini berlangsung selama 30 menit dengan kondisi tekanan 3-5 bar dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Tahap butanolisis akan menghasilkan larutan yang berwarna coklat muda terdiri dari butil glikosida, kelebihan butanol dan residu.

Proses transasetalisasi

Produk dari tahap butanolisis yaitu butil glikosida kemudian direaksikan dengan alkohol lemak C12 dan C16 menggunakan katalis MESA sebanyak 50% dari jumlah katalis awal. Proses transasetalisasi berlangsung pada suhu 120-130

o

C selama 2 jam dengan kecepatan pengadukan 200 rpm dan dalam keadaan vakum. Selama proses transasetalisasi berlangsung, sisa butanol dan air yang dihasilkan pada proses butanolisis akan keluar melalui proses distilasi vakum. Pada tahap ini dihasilkan APG yang masih bercampur dengan alkohol lemak.

Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan hidrofobik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan didalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon. Pada penelitian ini digunakan alkohol lemak dengan panjang rantai C12 dan C16 yang berasal dari minyak sawit.

Kondisi asam dan suhu tinggi selama sintesis alkil poliglikosida menghasilkan produk sekunder seperti polidekstrosa, dan warna gelap. Dengan menggunakan suhu yang lebih rendah (<100 oC) pada proses asetalisasi menghasilkan produk sekunder yang rendah, namun waktu reaksi yang dibutuhkan lebih lama. Pada penggunaan suhu tinggi (>120 oC) dapat mempercepat pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat.

Alkohol lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang bersifat hidrofobik. Semakin panjang rantai gugus alkil, sifat non polar akan semakin tinggi. Pada proses transasetalisasi, butil glikosida bereaksi dengan alkohol lemak yang dilakukan pada kondisi vakum untuk menurunkan titik didih dari alkohol lemak sehingga gugus OH akan menjadi lebih reaktif untuk menggantikan rantai pendek alkohol (butil) oleh rantai panjang alkohol membentuk senyawa surfaktan alkil poliglikosida (APG). Setelah proses transasetalisasi didapatkan hasil berupa cairan berwarna coklat muda. Derajat keasaman larutan yang dihasilkan yaitu antara pH 2–4. McCurry (1994), menyatakan bahwa larutan hasil proses transasetalisasi terdiri dari dodecil

poliglikosida, alkohol lemak berlebih, polidekstrosa dan sebagian kecil gula yang tidak ikut bereaksi dengan alkohol lemak.

Gambar 3 Proses sintesis APG dua tahap (Hill 2000) : (I) Reaksi butanolisis (II) Reaksi transasetalisasi

Proses netralisasi

Proses netralisasi dilakukan pada suhu 80-90 oC dan dilakukan pada tekanan normal. Tahapan netralisasi ini bertujuan untuk menetralisir asam methyl ester sulfonic acid dengan menambahkan basa NaOH 50 % hingga tercapai suasana basa yaitu pada pH sekitar 8-10. Penambahan NaOH menciptakan suasana basa dalam larutan karena gugus ether yang terbentuk dari ikatan asetal antara aldehid dan alkohol lebih stabil dalam kondisi basa (Noerdin 2008). Penggunaan larutan natrium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan karena tidak bereaksi terhadap alkohol atau produk. Selain itu penggunaan natrium hidroksida lebih luas, dengan biaya rendah dan memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan basa lainnya meskipun dengan konsentrasi rendah (Hargreaves 2003).

Basa kuat biasa digunakan karena dapat memberikan kondisi pH yang tinggi meskipun dalam jumlah yang kecil. Natrium hidroksida (NaOH) merupakan senyawa basa kuat. NaOH akan terionisasi sempurna saat dilarutkan dan menjadi sumber ion OH-, sehingga memberikan kondisi alkali ketika ditambahkan pada proses netralisasi. NaOH berbentuk lempengan atau padatan tipis-tipis (flake). Sebelum direaksikan, flake tersebut harus dilarutkan dengan air. NaOH sebagai larutan 50%, merupakan cairan yang tidak berbau dan tidak berwarna. Pada semua bentuk, sangat korosif dan reaktif.

Pada proses netralisasi, konsentrasi katalis MESA yang digunakan akan berpengaruh pada jumlah basa yang digunakan karena katalis MESA bersifat asam semakin banyak jumlah katalis MESA yang digunakan maka semakin banyak pula basa yang ditambahkan pada proses netralisasi.

Reaksi penetralan (netralisasi) didefinisikan sebagai reaksi antara asam dan basa yang masing-masing dalam kuantitas yang ekuivalen secara kimiawi. Suatu larutan akan benarbenar netral jika asam dan basa sama kuat. Bila tidak, maka yang akan diperoleh adalah asam lemah atau basa lemah. Suatu larutan dikatakan bersifat netral bila konsentrasi H+ sama dengan konsentrasi OH-. Pada umumnya dengan penetralan semua proton yang tersedia dari asamnya dan semua ion hidroksida dari basanya akan bereaksi membentuk sejumlah air. Oleh karena

itu pada akhir proses netralisasi dilakukan pada kondisi suhu 80-90 °C untuk menguapkan sejumlah air yang terbentuk selama proses netralisasi.

Menurut penelitian Andriandi (2006), katalis MESA ini ketika dinetralisasi tidak akan membentuk disalt (disodium karboksi sulfonat) tetapi akan membentuk surfaktan MES dengan reaksi seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Reaksi Netralisasi

Proses distilasi

Proses distilasi pada sintesa APG adalah untuk memisahkan butanol dan alkohol lemak yang tidak bereaksi dari APG, perbedaan titik didih akan memisahkan komponen tersebut dari APG. Proses distilasi memerlukan suhu tinggi dan tekanan rendah untuk memisahkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses distilasi ini dapat dilakukan pada suhu sekitar 160-180 oC dengan tekanan vakum. Hasil akhir proses destilasi akan diperoleh APG kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat kehitaman yang akan segera mengeras pada suhu ruang. Glukosa terhidrasi pada suhu dan tekanan yang tinggi dan akan menghasilkan senyawa furfural yang menyebabkan produk menjadi gelap (Aida et al. 2007). Struktur alkil poliglikosida (APG) dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Struktur kimia Alkil Poliglikosida (APG)

Pada tahapan distilasi diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak sekecil mungkin pada produk APG yaitu kurang dari 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi efektifitas kerja dari surfaktan APG. Untuk itu, pada saat proses distilasi berlangsung dilakukan pengecekan setiap saat selama proses distilasi berlangsung untuk memperoleh produk dengan kandungan alkohol lemak serendah mungkin dan terhindar dari kerusakan (kering) jika waktu destilasi terlalu lama atau kandungan alkohol lemak masih terlalu banyak jika waktu reaksi terlalu singkat.

APG hasil sintesis berbentuk padatan sedangkan APG komersial bersifat cairan kental berwarna keruh transparan. Hal ini disebabkan karena APG komersial mengkombinasikan alkohol lemak C8, C10, C12 dan C14. Menurut Ware et al. (2007) sintesis APG menggunakan alkohol lemak C8 dan C10 akan menghasilkan APG yang bersifat cairan kental, sedangkan menggunakan alkohol

lemak dengan jumlah C yang lebih tinggi, APG yang dihasilkan akan berbentuk padat pada suhu kamar. Surfaktan APG yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Gambar 6 Sample surfaktan APG yang dihasilkan dari berbagai perlakuan : (a) APG C12 katalis MESA 1,5% (b) APG C12 katalis MESA 2 % (c) APG C12 katalis MESA 2,5% (d) APG C16 katalis MESA 1,5% (e) APG C16 katalis MESA 2% (f) APG C16 katalis MESA 2,5%

Sifat Fisiko Kimia dan Kinerja Surfaktan APG

Densitas

Analisis densitas larutan surfaktan diukur dengan menggunakan density meter pada suhu 30 oC disajikan pada Tabel 4 dan Lampiran 2. Larutan surfaktan APG dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 0,5; 1; 1,5; 2 dan 2,5%. Hasil analisis densitas berbagai konsentrasi larutan surfaktan APG yang diamati menunjukkan variasi rata-rata antara 0,9966 – 1,001 kg/m3.

Berdasarkan hasil analisis ragam (α = 0,05) jenis alkohol lemak, konsentrasi katalis dan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap nilai densitas surfaktan APG. Hal ini dapat disebabkan pada tiap-tiap sampel hasil sintesis, terkandung komponen utama yang sama. Dengan demikian, nilai densitas masing-masing sampel tidak terlalu berbeda jauh satu sama lain. Densitas surfaktan APG ditentukan oleh densitas komponen-komponen penyusunnya.

Tabel 4 Rata-rata densitas surfaktan APG hasil sintesis Kombinasi Perlakuan Densitas (kg/m3) 0,5% 1% 1,5% 2% 2,5% A1B1 0,9966 ± 0,0000 0,9972 ± 0,0001 0,9981 ± 0,0004 0,9987 ± 0,0009 1,0004 ± 0,0002 A1B2 0,9967 ± 0,0001 0,9976 ± 0,0000 0,9985 ± 0,0002 0,9992 ± 0,0001 1,0001 ± 0,0004 A1B3 0,9969 ± 0,0001 0,9977 ± 0,0000 0,9985 ± 0,0001 0,9993 ± 0,0004 1,0002 ± 0,0000 A2B1 0,9965 ± 0,0000 0,9972 ± 0,0003 0,9980 ± 0,0004 0,9989 ± 0,0005 0,9996 ± 0,0011 A2B2 0,9965 ± 0,0002 0,9973 ± 0,0005 0,9982 ± 0,0007 0,9989 ± 0,0010 0,9996 ± 0,0012 A2B3 0,9965 ± 0,0003 0,9973 ± 0,0004 0,9981 ± 0,0006 0,9991 ± 0,0004 0,9995 ± 0,0011

Salah satu hal yang mempengaruhi perubahan densitas adalah konsentrasi bahan yang dilarutkan dalam air. Bahan yang dimaksud adalah surfaktan APG yang terlarut dalam air. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan APG maka semakin tinggi nilai densitas. Menurut Gaman dan Sherington (1990) kebanyakan bahan-bahan seperti gula dan garam menyebabkan peningkatan densitas, tetapi kadang-kadang densitas dapat pula turun jika terdapat lemak atau ethanol dalam larutan. Dalam pustaka tersebut bahan yang dapat meningkatkan densitas larutan adalah jenis bahan yang memiliki densitas yang lebih tinggi dari air (gula dan garam) dan sebaliknya jenis bahan yang berdensitas lebih rendah dari air (lemak dan ethanol) dapat menurunkan densitas larutan.

pH

Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran tingkat keasaman suatu larutan. Nilai pH dapat menentukan suatu larutan bersifat asam atau basa. Pengukuran pH menggunakan alat pH meter. Pengujian dilakukan dengan melarutkan APG yang berupa padatan dalam air dengan konsentrasi 1% (b/v). Data hasil analisis pH surfaktan APG disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 3.

Tabel 5 Rata-rata pH surfaktan APG hasil sintesis

Kombinasi Perlakuan pH A1B1 7,57 ± 0,07 A1B2 7,52 ± 0,14 A1B3 7,66 ± 0,26 A2B1 7,72 ± 0,29 A2B2 7,73 ± 0,13 A2B3 7,69 ± 0,17

Hasil pengamatan menunjukkan APG yang dihasilkan memiliki pH rata-rata 7,5 – 7,8. Kondisi basa pada APG diperoleh pada proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50%. APG merupakan suatu asetal, dimana asetal akan lebih stabil pada kondisi netral dan lebih baik lagi dalam kondisi basa. Berdasarkan hasil analisis ragam (α = 0,05), jenis alkohol lemak, konsentrasi katalis dan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap pH surfaktan APG.

Nilai pH berkaitan dengan konsentrasi ion hidrogen sebagai bagian komponen keasaman dan konsentrasi ion hidroksil sebagai bagian komponen kebasaan. Pada kondisi pH netral maka konsentrasi kedua ion menjadi seimbang, namun jika konsentrasi ion hidrogen lebih besar dari ion hidroksil maka pH akan cenderung rendah (asam) (Rondinini et al. 2001). Nilai pH suatu surfaktan perlu diketahui untuk aplikasi lebih lanjut. Umumnya surfaktan yang bersifat netral lebih disukai daripada surfaktan yang bersifat asam atau basa.

Kinerja Surfaktan APG Tegangan Permukaan

Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut, kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan. Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase (Myers 2006). Nilai tegangan permukaan surfaktan APG yang dihasilkan diukur dengan menggunakan spinning drop interfacial tensiometer TX500C.

Tegangan permukaan suatu cairan merupakan fenomena dari adanya ketidakseimbangan antara gaya-gaya yang dialami oleh molekul-molekul yang berada di permukaan seperti pada Gambar 7. Akibat dari ketidakseimbangan gaya tersebut maka molekul pada permukaan cenderung meninggalkan permukaan (masuk ke dalam cairan) sehingga permukaan cenderung menyusut. Apabila molekul dalam cairan akan pindah ke permukaan untuk memperluas permukaan, maka dibutuhkan usaha untuk mengatasi gaya tarik menarik antar molekul tersebut.

Gambar 7 Molekul air ditarik oleh molekul air yang lain dengan kekuatan yang sama (Hargreaves 2003)

Perhitungan nilai tegangan permukaan air, dilakukan pada konsentrasi surfaktan APG 0,5; 1; 1,5; 2 dan 2,5% yang disajikan pada Gambar 9. Dengan

berbagai konsentrasi tersebut akan dilihat kecenderungan penurunan dari kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan. Dari hasil pengamatan dilihat semakin tinggi konsentrasi APG yang ditambahkan maka tegangan permukaan cairan akan semakin rendah.

Tegangan permukaan air sebelum ditambahkan surfaktan APG adalah sebesar 72,40 dyne/cm. Hasil dari uji kemampuan menurunkan tegangan permukaan air dari APG yang dihasilkan menunjukkan kinerja yang baik. Dari perhitungan dengan konsentrasi APG 1%, nilai tegangan permukaan bervariasi antara 22,73-28,81 dyne/cm dengan persentase kemampuan menurunkan tegangan permukaan air antara 60,37-68.24%. Data hasil analisis tegangan permukaan air dengan beberapa konsentrasi surfaktan APG pada masing-masing perlakuan disajikan pada Lampiran 4.

Tegangan permukaan air berkurang dengan meningkatnya konsentrasi APG di dalam larutan hingga konsentrasi tertentu. Diluar konsentrasi ini tidak ada penurunan tegangan permukaan lagi ketika surfaktan mencapai konsentrasi tertentu yang disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Pada konsentrasi rendah, molekul surfaktan dalam larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air. Jika ditambahkan konsentrasi surfaktan, maka surfaktan akan teradsorpsi pada permukaan hingga mencapai kejenuhan dan tegangan permukaan menjadi konstan. Jika surfaktan terus ditambahkan ke dalam larutan tersebut, maka molekul surfaktan berada dalam larutan namun bagian hidrofobik dari surfaktan tetap menolak air sehingga molekul-molekul surfaktan membentuk bulatan yang dikenal micelles seperti terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Pembentukan micelles (Hicks 2007)

Nilai CMC yang diperoleh untuk APG C12 dan APG C16 adalah 2% dan 1%. Perbedaan ini dapat terjadi karena panjang rantai hidrokarbon pada setiap jenis alkohol lemak berbeda-beda. Semakin panjang rantai alkil maka semakin kecil nilai CMC karena jumlah molekul yang diperlukan untuk mencapai kejenuhan pada permukaan dengan luas permukaan yang sama semakin sedikit.

Hasil analisis ragam (α = 0,05) menunjukkan bahwa jenis alkohol lemak, konsentrasi katalis dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap rata-rata kemampuan surfaktan APG dalam menurunkan tegangan permukaan air. Uji lanjut Duncan kombinasi perlakuan alkohol lemak C12 konsentrasi katalis 2% (A1B2) tidak berbeda nyata dengan perlakuan alkohol lemak C12 konsentrasi katalis 2,5% (A1B3) dan keduanya berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan alkohol lemak C12 konsentrasi katalis 1,5% (A1B1), alkohol lemak C16

konsentrasi katalis 1,5% (A2B1), alkohol lemak C16 konsentrasi katalis 2% (A2B2) dan alkohol lemak C16 konsentrasi katalis 2,5% A2B3.

Jenis alkohol lemak (A); A1 = dodekanol (C12); A2 = heksadekanol (C16) Konsentrasi katalis MESA(B); B1 = 1,5%; B2 = 2%; B3 = 2,5%

Gambar 9 Rata-rata nilai tegangan permukaan APG hasil sintesis

Secara umum ada dua kekuatan yang mempengaruhi molekul surfaktan dalam air yaitu 1) gaya tolak-menolak antara bagian hidrofobik dari molekul surfaktan dan 2) gaya tarik-menarik antara air dari molekul surfaktan. Semakin panjang rantai atom karbon maka semakin besar kekuatan tolak-menolak molekul karena perbedaan polaritas sehingga meningkatkan kemampuan menurunkan tegangan permukaan.

Tegangan Antarmuka

Perhitungan kemampuan menurunkan tegangan antar muka dilakukan pada larutan yang tidak saling bercampur yaitu air dan xylene. Menurut Georgia et al. (1992), surfaktan tersusun atas gugus hidrofilik dan hidrofobik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada bagian antar muka antara dua fasa yang berbeda polaritasnya, atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fasa. Pembentukan film tersebut mengakibatkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan yang berbeda fasa tersebut, sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antarmuka.

Menurut Suryani et al. (2000), penurunan tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antarmolekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antarmolekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang tidak sejenis. Gaya tolak-menolak bersifat menstabilkan emulsi karena gaya ini mempertahankan butiran droplet agar tetap terpisah.

Tegangan antar muka air dan xylene yaitu 42 dyne/cm. Konsentrasi penambahan APG hasil sintesis pada campuran air dan xylene yaitu 1%. APG hasil sintesis dengan konsentrasi 1% memiliki nilai penurunan tegangan antar

0 10 20 30 40 0.5 1 1.5 2 2.5 Tegan g an Pe rm u kaan (d y n e /c m )

Konsentrasi surfaktan APG (%)

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3

muka antara 0,74-1,72 dyne/cm atau memiliki nilai kemampuan penurunan tegangan antar muka 95,9-98,3%. Data hasil analisis tegangan antarmuka surfaktan APG pada masing-masing perlakuan disajikan pada Lampiran 5.

Gambar 10 Rata-rata nilai tegangan antarmuka APG hasil sintesis

Berdasarkan hasil analisis ragam (α = 0,05) menunjukkan bahwa jenis alkohol lemak yang digunakan berpengaruh nyata terhadap kemampuan menurunkan tegangan antarmuka surfaktan APG yang dihasilkan. Sedangkan konsentrasi katalis MESA dan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap nilai tegangan antarmuka. Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa semakin panjang rantai atom karbon maka semakin besar kemampuan menurunkan tegangan antarmukanya. Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sebanding dengan kemampuan menurunkan tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama. Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka tertinggi dihasilkan oleh surfaktan APG dengan kombinasi perlakuan alkohol lemak C16

dan katalis MESA 2,5% (A2B3) sebesar 98,3%. Sifat kepolaran dari surfaktan APG mempengaruhi kinerja dari surfaktan APG tersebut. Semakin tinggi gugus hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan, maka akan semakin tinggi pula kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka.

Pada surfaktan APG C16 terdapat kenaikan nilai tegangan antarmuka seiring dengan bertambahnya jumlah katalis MESA. semakin tinggi konsentrasi katalis MESA (methyl ester sulfonic acid) maka kemampuan APG dalam menurunkan tegangan antarmuka air-xylene menjadi lebih kuat. Hal ini diperkirakan karena katalis yang digunakan merupakan surfaktan. Pada APG C12 penambahan konsentrasi katalis MESA mengakibatkan penurunan nilai tegangan antarmuka karena diperkirakan penambahan katalis telah mencapai kejenuhan.

Stabilitas Emulsi

Suatu sistem emulsi, pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak

0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400 1.600 1.800 1.5 2 2.5 Tegan g an An tar m u ka (d y n e /c m )

Konsentrasi Katalis MESA (%)

APG C12 APG C16

membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna dan konsistensi tetap. Stabilitas emulsi merupakan salah satu karakter penting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al. 2000). Penghitungan kestabilan emulsi dilakukan dengan menambahkan APG 1%, 3% dan 5% pada laruran air dan xylene kemudian dikocok dengan menggunakan vortex dan didiamkan selama 300 menit, tinggi emulsi yang terbentuk kemudian diukur untuk melihat kestabilan emulsinya. Kestabilan emulsi dipengaruhi oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh APG. Pada pegujian ini digunakan air sebagai bahan polar dan xylene sebagai bahan non polar, penambahan APG diharapkan dapat membentuk emulsi antara air dan xilena.

Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa stabilitas emulsi dari masing-masing perlakuan memiliki tingkat kestabilan yang beragam. Hasil sintesis surfaktan APG diperoleh rata-rata stabilitas emulsi antara air dan xylene dengan penambahan konsentrasi surfaktan APG sebesar 1% pada pengamatan 300 menit berkisar antara 50- 56%. Sedangkan pada konsentrasi APG 3% berkisar antara 51– 60% dan pada konsentrasi APG 5% berkisar antara 48– 64%. Data hasil analisis stabilitas emulsi dengan beberapa konsentrasi surfaktan APG pada masing-masing perlakuan disajikan pada Lampiran 6.

Jenis alkohol lemak (A); A1 = dodekanol (C12); A2 = heksadekanol (C16) Konsentrasi katalis MESA (B); B1 = 1,5%; B2 = 2%; B3 = 2,5%

Gambar 11 Rata-rata stabilitas emulsi surfaktan APG hasil sintesis

Berdasarkan hasil analisis ragam, pada konsentrasi surfaktan APG 1% jenis alkohol lemak dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata terhadap stabilitas emulsi sedangkan konsentrasi katalis MESA tidak berpengaruh nyata terhadap nilai stabilitas emulsi. Sedangkan pada konsentrasi surfaktan APG 3% dan 5% jenis alkohol lemak, konsentrasi katalis dan interaksi kedua faktor berpengaruh terhadap stabilitas emulsi (α = 0,05). Surfaktan dari jenis alkohol lemak C16 memiliki kemampuan meningkatkan stabilitas emulsi yang lebih tinggi

0 10 20 30 40 50 60 70 1 3 5 S tab il itas E m u lsi (% )

Konsentrasi Surfaktan APG (%)

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3

dibandingkan dengan alkohol lemak C12.Kombinasi perlakuan alkohol lemak C16 dan konsentrasi katalis 2,5% menghasilkan stabilitas emulsi yang paling tinggi yaitu 64%. Kombinasi perlakuan alkohol lemak C12 dan konsentrasi katalis 2,5% menghasilkan stabilitas emulsi yang paling rendah. Semakin panjang gugus hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan APG, maka kelarutan surfaktan dalam larutan nonpolar akan lebih stabil.

Persentase Busa

Busa adalah buih-buih yang saling berdekatan membentuk dinding-dinding polihedral yang saling membagi sudut menjadi 120o. Formasi tersebut mirip dengan struktur sarang lebah. Kestabilan busa diperoleh dari adanya zat pembusa (surfaktan). Zat pembusa ini teradsorpsi ke daerah antar fase dan mengikat gelembung-gelembung gas sehingga diperoleh suatu kestabilan. Penghitungan tinggi busa dilakukan dengan konsentrasi APG 0,5 % menggunakan aquades sebagai campuran.

Busa merupakan sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Fase terdispersi gas biasanya berupa udara atau CO2. Busa diperoleh dari adanya surfaktan. Surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan

Dokumen terkait