• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan ekstrak metanol daun rinu dilakukan dengan metode maserasi. Maserasi merupakan metode umum yang digunakan untuk mengekstraksi tumbuhan, selain itu juga cocok untuk komponen tumbuhan yang tidak tahan panas (Ncube, Afolayan, and Okoh, 2008). Proses maserasi dilakukan menggunakan pelarut metanol yang merupakan pelarut bersifat polar dibandingkan dengan etanol dan air, selain itu juga dapat melarutkan beberapa kandungan metabolit sekunder seperti alkaloid, terpenoid, tanin, flavonoid, dan polifenol (Tiwari et al., 2011). Setelah maserasi dan penyaringan, selanjutnya adalah pemekatan hasil ekstrak dengan rotary evaporator. Hasil yang diperoleh berupa ekstrak kental berwarna hijau pekat sebanyak 0,8519 g dengan rendemen sebesar 8,4766 % ekstrak inilah yang digunakan untuk skrining fitokimia, uji total fenolik, dan uji antioksidan. Hasil uji menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun rinu mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, tanin dan polifenol, saponin, steroid dan terpenoid.

Tabel I. Hasil skrining fitokimia pada ekstrak metanol daun rinu

No Uji Fitokimia Hasil Kesimpulan

1. Alkaloid terbentuk endapan putih + terbentuk warna orange + 2. Flavonoid terbentuk endapan kuning dibagian tengah

tabung +

3. Tanin dan polifenol

terbentuk warna hitam kehijauan pada

tabung uji dibanding kontrol + terbentuk endapan putih pada dasar tabung + 4. Saponin terbentuk busa setinggi 1-10 cm + 5.

Steroid dan terpenoid

terbentuk warna merah kecoklatan pada lapisan bawah dan warna hijau

pekat pada lapisan atas + Keterangan (+) : ada ; (-) : tidak ada

Dalam skrining fitokimia, prinsip yang digunakan pada uji alkaloid yaitu reaksi pengendapan yang terjadi karena adanya penggantian logam. Atom nitrogen yang memiliki pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion logam (McMurry and Fay,

8

2004). Tujuan penambahan HCl adalah karena alkaloid bersifat basa sehingga biasanya dilarutkan dengan pelarut yang mengandung asam (Harborne, 1996). Hasil positif alkaloid pada uji Mayer ditandai dengan terbentuknya endapan putih. Diperkirakan endapan tersebut adalah kompleks kalium-alkaloid. Diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat(II) (pereaksi Mayer) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Perkiraan yang terjadi ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Reaksi uji Mayer (McMurry and Fay, 2004).

Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff, nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam. Perkiraan yang terjadi uji Dragendorff ditunjukkan pada Gambar 2 (McMurry and Fay, 2004).

Gambar 2. Reaksi uji Dragendorff (McMurry and Fay, 2004).

Flavonoid, fenolik dan tanin merupakan senyawa-senyawa fenol yang memiliki gugus –OH yang terikat pada karbon cincin aromatik. Kemampuan flavonoid sangat potensi untuk antioksidan karena struktur molekul dan posisi dari gugus hidroksilnya (Rajanandh and Kavitha, 2010). Pada ekstrak metanol daun rinu positif mengandung flavonoid dengan adanya terbentuk endapan warna kuning pada sampel yang direaksikan dengan larutan tembaga asetat. Hal ini dikarenakan flavonoid memiliki cincin benzena yang memiliki gugus hidroksi.

9

Pengujian tanin dilakukan dengan melakukan penambahan FeCl3 yang bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada tanin. Fungsi FeCl3 adalah menghidrolisis golongan tanin sehingga akan menghasilkan perubahan warna biru kehitaman dan tanin terkondensasi yang menghasilkan warna hijau kehitaman pada Gambar 3 (Sangi dkk., 2008).

Gambar 3. Reaksi antara tanin dan FeCl3

Pada pengujian saponin, saponin mengandung gugus glikosil yang berperan sebagai gugus polar serta gugus steroid dan triterpenoid yang berfungsi sebagai gugus nonpolar akan bersifat aktif permukaan sehingga saat dikocok dengan air saponin dapat membentuk misel, dimana struktur polar akan menghadap ke luar sedangkan gugus nonpolar akan menghadap ke dalam. Pada kondisi ini akan terbentuk saponin berbentuk seperti busa (Sangi dkk., 2008). Reaksi hidrolisis saponin dengan air sepeti pada Gambar 4.

Gambar 4. Reaksi hidrolisis saponin dengan air

Identifikasi terpenoid dan steroid pada ekstrak rinu memberikan hasil positif dengan terbentuknya cincin coklat pada batas antara kloroform dan H2SO4, selain itu ketika ditambahkan 2 mL asam sulfat terlihat warna hijau menjadi hijau yang lebih pekat. Perubahan warna tersebut dikarenakan adanya oksidasi pada

10

golongan senyawa terpenoid/steroid melalui pembentukan ikatan rangkap terkonjugasi. Prinsip reaksi dalam uji terpenoid adalah kondensasi atau pelepasan H2O dan penggabungan karbokation dan menyebabkan adisi elektrofilik diikuti dengan pelepasan hidrogen. Gugus hidrogen beserta elektronnya dilepas sehingga mengalami perpanjangan konjugasi yang memperlihatkan adanya cincin coklat (Siadi, 2012).

Hasil uji kandungan fenolik total

Metode yang digunakan untuk uji kandungan fenolik total adalah metode Folin-Ciocalteu dengan reagen Folin Ciocalteu. Reaksi antara reagen dan sampel terjadi dalam keadaan alkali (basa) oleh natrium karbonat (Na2CO3). Intensitas warna biru dapat menentukan kandungan fenolik yang mana dapat diukur dengan spektrofotometer (Conforti et al., 2006). Absorbansi yang terbentuk akibat molybdeum blue sebanding dengan jumlah senyawa fenolik yang terdapat dalam sampel, sehingga dapat diketahui seberapa besar jumlah kandungan senyawa dengan gugus fenol dalam suatu sampel tanaman yang dinyatakan dengan ekuivalen asam galat (Cindric et al., 2011). Asam galat merupakan senyawa analog dari senyawa-senyawa fenolik dan memiliki aktivitas antioksidan yang memiliki 3 gugus hidroksi fenolat yang membentuk kompleks molybdeum blue (Fiuza, 2004).

Sebelum pengujian sampel,dilakukan uji pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui adanya kandungan fenolik dalam ekstrak metanol daun rinu yang dilakukan secara kualitatif selain itu juga diperlukan penentuan, maks, dan kurva baku. Penentuan OT bertujuan untuk mendapatkan waktu reaksi antara sampel dengan reagen yang ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang stabil. Pada saat awal terjadi reaksi, absorbansi senyawa berwarna akan meningkat sampai waktu tertentu hingga diperoleh absorbansi yang stabil tetapi semakin lama waktu pengukuran, ada kemungkinan senyawa berwarna akan mengalami kerusakan sehingga menyebabkan intensitas warnanya menurun dan absorbansinya juga menurun (Gandjar dan Rohman, 2007).

Penentuan OT dilakukan pada 3 konsentrasi yang berbeda, yakni 40 g/mL, 60 g/mL, dan 80 g/mL. Setiap konsentrasi akan memberikan nilai

11

absorbansi yang berbeda pada panjang gelombang maksimum teoritis (750 nm), sehingga ketiga konsentrasi tersebut akan merepresentasikan OT pada masing-masing konsentrasi. Absorbansi yang stabil terjadi pada menit ke 30. Penentuan maks. bertujuan untuk menentukan panjang gelombang yang dapat memberikan absorbansi maksimum dari hasil reaksi reagen Folin – Ciocalteu dengan asam galat. Konsentrasi yang digunakan adalah sama seperti konsentrasi penentuan OT. Pembacaan maks dilakukan pada rentang panjang gelombang 600 – 800 nm. Panjang gelombang teoritis asam galat adalah 750 nm tetapi diperoleh maks yang digunakan 735 nm, karena digunakan konsentrasi yang berbeda dan hasil pembacaan menunjukkan terdapat 2 konsentrasi yang absorbansinya terserap pada panjang gelombang yang ini, hal ini berbeda dengan teoritis dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti jenis pelarut yang digunakan, pH larutan, konsentrasi yang digunakan tinggi, dan zat-zat pengganggun (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kadar fenolik diperoleh dengan memasukkan absorbansi sebagai Y dalam kurva baku asam galat, sehingga diketahui kandungan fenolik total dalam ekstrak uji (X). Dari percobaan, didapatkan persamaan regresi y = 0,0066x + 0,0974 ; r = 0,9924 (Gambar 5) dengan menggunakan konsentrasi 40 g/mL;50

g/mL;60 g/mL;70 g/mL;80 g/mL.

Gambar 5. Kurva baku yang digunakan perhitungan fenolik total

Hasil uji pendahuluan secara kualitatif menunjukkan hasil positif pada tabung larutan uji yang berubah warna menjadi biru yang menandakan terdapat fenol pada ekstrak. Percobaan pada sampel ekstrak metanol daun rinu (Tabel II) menunjukkan bahwa dengan konsentrasi 202 g/mL (konsentrasi berubah

y = 0,0066x + 0,0974 R² = 0,9848 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 30 40 50 60 70 80 90 A bs o rba ns i Konsentrasi (μg/mL)

Kurva Baku Absorbansi vs Konsentrasi Asam Galat (Replikasi 3)

12

dikarenakan kurang telitinya saat penimbangan) yang dilakukan 3 kali replikasi memiliki nilai kandungan fenolik total rata-rata sebesar 149,964 ± 3,545 mg ekivalen asam galat (GAE) per gram ekstrak metanol daun rinu.

Tabel II. Kandungan fenolik total pada ekstrak metanol daun rinu

Konsentrasi

( g/mL ) Absorbansi fenolik total Kandungan

Rata-rata ± SD % CV Rep. 1 202 0,301 152,715 149,964 ± 3,545 2,36% Rep. 2 202 0,299 151,214 Rep. 3 202 0,292 145,964

Kandungan fenolik total dalam sampel dinyatakan dalam ekivalen asam galat, yaitu jumlah kesetaraan miligram asam galat dalam 1 gram sampel. Saraswaty dkk (2013) ,melaporkan bahwa ekstrak daun sirih merah memiliki kandungan fenolik total sebesar 207,01 ± 0,09 GAE. Dapat disimpulkan ekstrak daun rinu menunjukkan kandungan fenolik lebih kecil dibandingkan dengan ekstrak daun sirih merah.

Hasil uji aktivitas antioksidan

Pengujian aktivitas antioksidan ekstrak metanol daun rinu dilakukan dengan metode FTC dan TBA, dimana metode tersebut merupakan cara pengukuran aktivitas antioksidan berdasarkan penghambatan terhadap reaksi peroksidasi lemak. Menurut Halliwell and Gutteridge (1984), peroksidasi lemak adalah reaksi yang terjadi akibat serangan radikal bebas terhadap asam lemak tak jenuh majemuk ( Poly Unsaturated Fatty Acid, PUFA). Reaksi peroksidasi lemak diawali dengan pengambilan sebuah atom hidrogen dari gugus metilen (-CH2-) pada PUFA yang disebabkan oleh radikal bebas. Pembentukan radikal bebas karbon (-*CH-) disebabkan penghilangan satu atom pada -CH2-. Ikatan rangkap pada asam lemak dapat melemahkan ikatan antar atom C dan H yang berdekatan dengan ikatan rangkap, sehingga atom H mudah diambil oleh radikal bebas. Tahap selanjutnya berupa penstabilan radikal bebas karbon melalui penataan ulang ikatan rangkap, sehingga terbentuk diena terkonjugasi. Apabila diena terkonjugasi bereaksi dengan O2 akan terbentuk radikal lipid peroksida (ROO*).

13

Metode FTC digunakan untuk mengukur jumlah peroksida awal dari peroksidasi lemak. Dalam penelitian ini digunakan sumber peroksida atau asam lemak yaitu asam linoleat. Asam linoleat mengandung dua ikatan rangkap terkonjugasi. Menurut Halliwell and Gutteridge (1984), peroksida yang terbentuk bereaksi dengan FeCl2, dimana besi kompleks (Fe2+) membentuk oksidasi besi kompleks (Fe3+) yang bereaksi lebih lambat untuk menghasilkan radikal peroksil. Mekanisme reaksi pembentukan oksidasi besi kompleks (Fe3+) (Gambar 6.)

RH  R* + H*

R + O2  ROO*

ROO* + RH  ROOH + R*

Fe2+ + ROOH  RO* + OH- + Fe3+ Fe3+ ROOH  RO2* + H+ + Fe2+ Fe2+ + H2O2  [Fe(II) H2O2]  Fe3+ + HO- + HO

Gambar 6. Pembentukan oksidasi besi kompleks (Fe3+)

Menurut Huda-Faujan et al,, (2009) , ion Fe3+ akan menghasilkan Fe3+(ferric) tiosianat apabila dikombinasi dengan amonium tiosianat sehingga diperoleh warna merah. Merah pekat menunjukkan tingginya absorbansi dan rendahnya aktivitas antioksidan. Sehingga efek penghambatan terbentuknya ion Fe3+ dievaluasi dengan melihat pembentukkan kompleks ferri tiosianat dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 488,5 nm.

Sebelum dilakukan pengujian sampel, dilakukan optimasi untuk mengetahui profil absorbansi percobaan. Profil absorbansi percobaan digunakan untuk mengetahui profil absorbansi maksimal dan penurunan absorbansi. Asam lemak yang digunakan adalah asam linoleat dan kontrol positif adalah BHT sedangkan kontrol negatif adalah emulsi asam lemak tanpa menggunakan senyawa antioksidan. Pada Gambar 7. menunjukkan absorbansi tertinggi terjadi pada hari keenam dan turun pada hari ketujuh, begitu juga absorbansi tertinggi pada sampel terjadi pada hari keenam dan turun pada hari ketujuh.

14

Gambar 7. Profil absorbansi kontrol negatif, kontrol positif, dan sampel selama 7 hari dengan metode FTC, Replikasi 1,2,3 : sampel ekstrak daun

rinu

Dari analisis FTC, nilai absorbansi kontrol positif dan sampel pada hari pertama menunjukkan absorbansi terendah yakni 1,450 dan 1,479, sedangkan absorbansi tertinggi pada hari ke enam adalah 1,957 dan 1,982. Absorbansi tersebut akan meningkat dengan seiringnya waktu inkubasi. Pengukuran dengan FTC dihentikan pada hari ke tujuh sebab pada hari ke enam nilai absorbansi kontrol negatif menunjukkan paling tinggi sehingga dapat diindikasikan peroksidasi paling maksimal. Dilakukan hingga hari ke tujuh untuk melihat profil kenaikan absorbansi kontrol negatif dan pada hari ke tujuh nilai absorbansi turun. Pada hari ke delapan dilanjutkan dengan pengukuran TBA.

Dilakukan perhitungan persen inhibisi pada hari keenam karena kontrol negatif menunjukkan absorbansi maksimum dan warna merah larutan akibat pembentukkan kompleks ferri tiosianat terlihat semakin pekat. Besarnya persen inhibisi menunjukkan besarnya aktivitas antioksidan (Emynur et al., 2012). Hal tersebut menandakan bahwa proses peroksidasi lemak asam linoleat sudah berjalan secara maksimal. Persen inhibisi kontrol positif yang berisi BHT menunjukkan nilai persen inhibisi yang lebih besar dibandingkan ekstrak metanol daun rinu, yaitu sebesar 10,746 % ± 0,277 , sementara ekstrak metanol daun rinu memiliki nilai persen inhibisi sebesar 9,606 % ± 0,263. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun rinu kurang mampu menghambat peroksidasi lemak yang terbentuk dibandingkan BHT yang merupakan antioksidan sinstetis.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 1 2 3 4 5 6 7 A b so rb a n si Hari ke-

Profil kenaikan rata-rata absorbansi kontrol negatif, kontrol positif, dan sampel ekstrak

Kontrol negatif Kontrol positif Sampel

15

Metode TBA digunakan untuk mengukur jumlah peroksida pada tahap kedua peroksidasi lemak dan mengukur radikal bebas yang ada setelah oksidasi peroksida. Pada tahap kedua peroksidasi lemak, asam lemak yang sudah banyak terbentuk menjadi radikal akan terdekomposisi menjadi senyawa yang lebih sederhana dan relatif stabil, yaitu MDA (malonaldehida). Uji aktivitas antioksidan dilakukan setelah pengukuran hidroperoksida yang merupakan produk primer oksidasi asam linoleat dengan metode diena terkonjugasi. Pengukuran potensi antioksidan dengan metode TBA lebih baik dilakukan setelah satu atau beberapa hari dari puncak absorbansi asam linoleat. Harapannya, semua hidroperoksida yang dihasilkan telah mengalami dekomposisi membentuk malonaldehida (Kikuzaki dan Nakatani, 1993). Prinsip dari metode TBA yaitu pengukuran serapan dengan menggunakan spektrofotometer dari reaksi MDA dengan TBA dan TCA yang akan membentuk banyaknya MDA pada panjang gelombang 532 nm.

Tabel III. Aktivitas antioksidan sampel dengan metode TBA

Absorbansi % inhibisi Kontrol negatif 1,001 ± 0,004 0

BHT 0,168 ± 0,009 83,217 ± 0,888

Ekstrak metanol daun

rinu 0,091 ± 0,008 90,942± 0,750

n= 3 replikasi

Pada Tabel III. menunjukkan bahwa nilai persen inhibisi ekstrak metanol daun rinu terhadap pembentukkan MDA dihambat 90,942 %. Menurut Saraswaty dkk (2013) ekstrak daun sirih merah dapat menghambat pembentukkan MDA sebesar 81,780%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun rinu lebih besar menghambat pembentukkan MDA dibandingkan ekstrak daun sirih merah. Pada penelitian, % inhibisi ekstrak daun rinu pada metode TBA lebih besar dibandingkan FTC. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tahap kedua peroksidasi lemak, aktivitas penghambatan radikal oleh ekstrak metanol daun rinu lebih besar dibandingkan pada tahap pertama peroksidasi lemak.

16

Dokumen terkait