• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan oleh Pusat dan Pengembangan Biologi, LIPI Bogor hasilnya disebutkan tumbuhan yang digunakan adalah tumbuhan sirih merah (Piper porphyrophyllum N.E.Br.) suku Piperaceae. Hasilnya dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 45. Gambar tumbuhan pada lampiran 2 halaman 46, gambar simplisia pada lampiran 3 halaman 47.

Hasil pemeriksaan makroskopik sirih merah segar adalah helaian daun berbentuk bulat telur, pada bagian pangkal berbentuk jantung, permukaan daun seperti baldu dengan warna merah, pada bagian bawah daun dan warna putih keabuan pada bagian atas daun, mempunyai rasa yang sedikit pahit. Hasil pemeriksaan mikroskopik sirih merah menunjukkan adanya kutikula, epidermis, hipodermis, sel minyak, palisade, bunga karang, epidermis bawah, rambut kelenjar, berkas pembuluh, rambut penutup, kolenkim, stomata, saluran sizogen. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia adalah simplisia berwarna cokelat dan rapuh. Hasil pemeriksaan mikroskopik simplisia menunjukkan adanya permukaan daun bagian bawah, permukaan daun bagian atas, mesofil, epidermis bawah, pembuluh kayu, epidermis bawah, sel minyak.

Pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia untuk daun sirih sebagai standard digunakan daun sirih merah (Piper porphyrophyllum N.E.Br.) menurut (Materia Medika Indonesia (MMI), 1980) diperoleh kadar air sebesar 8,600%, ini menunjukkan bahwa serbuk simplisia telah memenuhi persyaratan penetapan kadar air yaitu tidak boleh lebih dari 10%. Kadar sari yang larut dalam air sebesar

11,866%, ternyata jika dibandingkan dengan kadar sari pada sirih (Piper betle L.) tidak sama yaitu (14%), ini kemungkinan pada sirih merah tumbuhan memiliki kandungan senyawa non polar yang lebih besar. Kadar sari yang larut dalam etanol sebesar 11,533% ini menunjukkan serbuk simplisia memenuhi persyaratan penetapan kadar sari yang larut dalam etanol. Kadar abu total sebesar 1,361% menunjukkan bahwa serbuk simplisia memenuhi persyaratan penetapan kadar abu total dan kadar abu yang tidak larut dalam asam sebesar 0,756% menunjukkan bahwa serbuk simplisia memenuhi persyaratan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam. Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia sirih merah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia sirih merah

No Penetapan Hasil (%) Persyaratan (%) menurut MMI IV

1 Penetapan kadar air 8,600 Tidak lebih dari 10 2 Penetapan kadar sari yang larut

dalam air 11,866 Tidak kurang dari 14

3 Penetapan kadar sari yang larut

dalam etanol 11,533 Tidak kurang dari 4,5

4 Penetapan kadar abu total 1,361 Tidak lebih dari 14 5 Penetapan kadar abu yang tidak

larut dalam asam 0,756 Tidak lebih dari 7

Hasil pemeriksaan skrining fitokimia daun sirih merah (Piper porphyrophyllum N.E.Br.) menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid/steroid. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 2. Pada serbuk simplisia sirih merah yang ditambahkan dengan pereaksi Dragendorff memberikan endapan yang berwarna coklat kemerahan, dengan pereaksi Bouchardat memberikan endapan yang berwarna jingga keruh, dan dengan pereaksi Mayer memberikan endapan putih kekuningan, kemudian

dilakukan uji selanjutnya yaitu reaksi asam basa dengan penambahan amonia pekat yang dilanjutkan dengan pengocokan menggunakan eter-kloroform (3:1) dimana lapisan kloroform tersebut diasamkan dengan asam klorida 2 N dan masing-masing ditambahkan dengan pereaksi Dragendorff, Bouchardat dan Mayer. Hasil yang diperoleh ternyata sama dengan hasil sebelumnya yang menunjukkan adanya alkaloid. Penambahan serbuk zinkum dan asam klorida pekat memberikan warna merah kecoklatan, sedangkan penambahan serbuk magnesium dan asam klorida pekat memberikan warna merah, menunjukkan adanya senyawa flavonoid.

Skrining glikosida ditunjukkan dengan penambahan Molish dan asam sulfat pekat dimana terbentuk cincin ungu kebiruan. Skrining saponin

menghasilkan busa yang stabil dan tidak hilang dengan penambahan asam klorida 2 N. Skrining tanin dengan penambahan besi (III) klorida 1%

memberikan warna biru kehitaman menunjukkan tanin dan untuk senyawa triterpenoid/steroid dengan penambahan pereaksi Liebermann-Burchard memberikan warna biru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia sirih merah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia sirih merah

No Pemeriksaan Hasil 1 Alkaloid + 2 Flavonoid + 3 Glikosida + 4 Glikosida antrakinon - 5 Saponin + 6 Tanin + 7 Triterpenoid/steroid +

Keterangan: + = mengandung golongan senyawa - = tidak mengandung golongan senyawa

Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 80%, diharapkan senyawa-senyawa yang bersifat polar dan nonpolar dapat tersari dengan sempurna. Hasil maserasi dari 500 g simplisia daun sirih merah dengan etanol 80% diperoleh ekstrak kental 55,95 g. Terhadap ekstrak etanol dilakukan metode ekstraksi cair-cair menggunakan pelarut n-heksan : air (1:1) dimana senyawa-senyawa yang bersifat nonpolar berada pada lapisan n-heksan dan senyawa polar berada pada lapisan air. Kemudian dilanjutkan dengan pelarut kloroform : air (1:1), dimana senyawa-senyawa yang bersifat semipolar berada pada lapisan kloroform dan senyawa polar berada pada lapisan air dan dilanjutkan kembali dengan pelarut etilasetat : air (1:1).

Analisis Kromatografi kertas terhadap fraksi etilasetat digunakan lima fase gerak yaitu BAA, Forestal, asam asetat 50%, asam asetat 15%, dan asam klorida 1%. Sebagai fase diam kertas Whatmann No.1 dengan penampak bercak uap ammonia, aluminium klorida 5%, dan besi (III) klorida 1%, kemudian diamati dibawah sinar ultraviolet pada panjang gelombang 366 nm. Pemisahan noda yang baik untuk fraksi etilasetat adalah fase gerak asam asetat 50%. Hasil analisis yang diperoleh ternyata fase gerak yang paling baik adalah asam asetat 50% karena memberikan noda yang terbanyak yaitu lima bercak dilihat dibawah sinar lampu ultraviolet pada panjang gelombang 366 nm, disemprot dengan Aluminium klorida 5% dan Aluminium klorida 5%/UV, diperoleh Rf 0,15 (biru lemah), 0,52 (merah ungu), 0,65 (biru), 0,77 (ungu), 0,91 (kuning) pada sinar lampu UV.

Terhadap fraksi etilasetat dilakukan kromatografi kertas (KKt) preparatif dengan fase gerak asam asetat 50%, fase diam kertas Whatmann No.3, selanjutnya pemisahan dilakukan dibawah sinar lampu UV, dan hasilnya kemudian digunting

berupa potongan-potongan kecil, selanjutnya direndam dalam metanol selama 24 jam, sekali-sekali dikocok, lalu disaring. Maserasi diulangi hingga filtrat jernih, kemudian masing-masing fraksi dikumpulkan menjadi satu dan dipekatkan, hasilnya diperoleh, isolat F1 (biru lemah), F2 (merah ungu), F3 (biru), F4 (ungu) dan F5(kuning). Terhadap kelima isolat tersebut diuji kemurnian dengan KKt satu arah, dengan fase gerak BAA, Forestal, asam asetat 50%, asam asetat 15%, asam klorida 1%, hasilnya tetap menunjukkan satu noda dengan sinar lampu UV, Aluminium klorida 5% dan Aluminium klorida 5%/UV, hasilnya dapat dilihat pada lampiran 50 halaman 86, sedangkan KKt dua arah dengan fase gerak I BAA, fase gerak II asam asetat 50%, menggunakan penampak noda Aluminium klorida 5%, hasilnya tetap menunjukkan satu noda. Penafsiran spektrum ultraviolet dilakukan terhadap isolat F1, F2, F3, F4, dan F5 dengan merujuk pada Mabry (1970) dan Markham (1988).

Penafsiran spektrum ultraviolet untuk F1 adalah sebagai berikut:

(i). Hasil spektrum F1 dalam metanol memberikan dua pita absorpsi maksimum yaitu 364 nm (pita I) absorbsi pada cincin B (sinamoil) dan 274 nm (pita II) absorpsi pada cincin A (benzoil). Menurut Markham (1988) diduga senyawa flavonol dengan 3-OH dimana absorpsi pita I pada 352-385 nm dan pita II pada 240-280 nm.

(ii). Hasil spektrum F1 dalam metanol dengan penambahan natrium hidroksida 2 N menunjukkan adanya pergeseran batokromik sebanyak 1 nm pada pita I yaitu dari 364 nm menjadi 365 nm, dan 4 nm pada pita II yaitu dari 274 nm menjadi 278 nm. Dengan penambahan natrium hidroksida 2 N dibandingkan dengan spektrum yang diukur setelah lima menit terlihat terjadi pergeseran batokromik

pada pita I dari 365 nm menjadi 366 nm dan pergeseran hipsokromik pada pita II dari 278 nm menjadi 275 nm, dan ini menunjukkan terjadi peningkatan intensitas. Menurut Markham (1988), ini menunjukkan bahwa pada senyawa flavonol ini tidak dijumpai adanya gugus 3,4’-diOH atau orto-diOH pada cincin A atau 3 gugus hidroksil yang berdampingan pada cincin B.

(iii). Hasil spektrum F1 dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5% dan asam klorida 6 N terjadi pergeseran batokromik sebesar 1 nm pada pita I dengan penurunan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Menurut Markham (1988) hal ini menunjukkan tidak dijumpai adanya gugus 5-OH bebas, dimana seharusnya terjadi pergeseran sebesar 17-20 nm pada pita I. Hasil spektrum dalam F1 dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5% dan asam klorida 6 N terjadi pergeseran hipsokromik pada pita I sebanyak 1 nm bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5% yang menunjukkan tidak adanya 3 gugus hidroksil yang berdampingan pada cincin B. Menurut Markham (1988) dimana seharusnya terjadi pergeseran sebesar 20 nm, maka diduga tidak adanya gugus hidroksil yang berdampinagn pada cincin B.

(iv). Hasil spektrum F1 dalam metanol dengan penambahan natrium asetat terjadi pergeseran batokromik sebesar 4 nm pada pita II dengan kenaikan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Ini menunjukka n bahwa pada senyawa flavonol ini tidak dijumpai adanya gugus 7-OH bebas, dimana seharusnya terjadi pergeseran sebesar 5-20 nm pada pita II. Setelah lima menit sampel diukur kembali ternyata tidak terjadi pergeseran pada pita II tersebut, serta

tidak terjadi penurunan maupun kenaikan intensitas. Hal ini menunjukkan tidak menunjukkan adanya gugus 5,6,7-triOH atau 5,7,8-triOH atau 3,3’,4’-triOH. (v). Hasil spektrum dalam metanol dengan penambahan natrium asetat dan asam borat terjadi pergeseran batokromik pada pita l sebanyak 3 nm dan tidak terjadi penurunan maupun kenaikan intensitas. Menurut Markham (1988) ini menunjukkan terjadi pergeseran yang kecil, hal ini menunjukkan adanya gugus orto-diOH pada cincin A (6,7 atau 7,8) sehingga diduga adanya orto-diOH.

Berdasarkan hasil spektrum diatas, menurut Markham (1988) menunjukkan bahwa hasil spektrum yang diperoleh adalah golongan flavonol dengan 3-OH bebas dan orto-diOH pada cincin A.

Penafsiran spektrum ultraviolet untuk isolat F2 adalah sebagai berikut: (i). Hasil spektrum F2 dalam metanol memberikan pita absorpsi yaitu pita I sebesar 350 nm absorpsi pada cincin B (sinamoil) dan pita II sebesar 269 nm absorpsi pada cincin A (benzoil). Menurut Markham (1988) isolat F2 ini dapat diduga dalam empat senyawa yaitu:

(a) flavon dimana pita I pada 310-350 nm dan pita II pada 250-280 nm, (b) flavonol (3-OH tersubstitusi) dimana pita I pada 330-360 nm dan pita II pada 250-280 nm,

(c) flavonol (3-OH bebas) dimana pita I berada pada 350-385 nm, dan (d) kalkon dimana pita l berada pada 340-390 nm dan pita II 230-270 nm.

(ii). Hasil spektrum F2 dalam metanol dengan penambahan natrium hidroksida 2 N menunjukkan tidak tampak pergeseran pada pita I maupun pita II, namun terjadi kenaikan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Setelah lima menit sampel diukur kembali, ternyata tidak tampak adanya

perubahan. Menurut Markham (1988) ini menunjukkan tidak dijumpainya adanya gugus 3,4’-diOH atau orto-diOH pada cincin A atau 3 gugus hidroksil yang berdampingan.

(iii). Hasil spektrum F2 dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5% dan asam klorida 6 N terjadi pergeseran batokromik sebesar 4 nm pada pita I dengan kenaikan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Hasil spektrum F2 dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5% dan asam klorida 6 N tidak tampak pergeseran dibandingkan dengan spektrum dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5%. Menurut Mabry (1970) hal ini menunjukkan tidak adanya 3 gugus hidroksil yang berdampingan pada cincin B, dimana seharusnya terjadi pergeseran hipsokromik sebesar 20 nm pada pita I. (iv). Hasil spektrum F2 dalam metanol dengan penambahan natrium asetat terjadi pergeseran batokromik sebesar 4 nm pada pita II dengan kenaikan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Menurut Mabry (1970) ini menunjukkan bahwa merupakan senyawa flavon pada himenoksin dimana terjadi pergeseran 4 nm, sehingga diduga adanyagugus 5,7-diOH pada cincin A.

(v). Hasil spektrum F2 natrium dalam metanol dengan penambahan natrium asetat dan asam borat terjadi pergeseran batokromik sebesar 22 nm pada pita I dan terjadi kenaikan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol.

Berdasarkan hasil diatas, menurut Mabry (1970) dan Markham (1988) menunjukkan bahwa hasil spektrum yang diperoleh adalah golongan flavon yang diduga adanya gugus 5,7-diOH pada cincin A.

Penafsiran spektrum ultraviolet untuk isolat F3 adalah sebagai berikut: (i). Hasil spektrum F3 dalam metanol memberikan pita absorpsi yaitu pita I sebesar 319 nm absorpsi pada cincin B (sinamoil), dan pita II sebesar 271 nm absorpsi pada cincin A (benzoil). Menurut Mabry (1970) pita I 304-350 nm dan pita II sebesar 250-275 nm sehingga diduga F3 adalah senyawa flavon.

(ii). Hasil spektrum F3 dalam metanol dengan penambahan natrium hidroksida 2 N menunjukkan tidak tampak pergeseran pada pita I namun terjadi kenaikan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum metanol. Setelah lima menit sampel diukur kembali ternyata tidak tampak penguraian pada pita I. Hal tersebut menunjukkan tidak dijumpai 3-OH atau 4-OH bebas pada cincin B.

(iii). Hasil spektrum F3 dalam metanol penambahan aluminium klorida 5% dan asam klorida 6 N terjadi pergeseran batokromik sebesar 21 nm pada pita II dengan kenaikan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol, yaitu menunjukkan tidak adanya orto-diOH pada ring B dimana seharusnya terjadi pergeseran sekitar 30-40 nm. Hasil spektrum F3 dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5% dan asam klorida 6 N terjadi pergeseran batokromik sebesar 1 nm dibandingkan dengan spektrum methanol dengan penambahan aluminium klorida 5% dan terjadi kenaikan intensitas. Menurut Markham (1988) diduga menunjukkan tidak adanya gugus orto-diOH.

(iv). Hasil spektrum F3 dalam metanol dengan penambahan natrium asetat terjadi pergeseran batokromik sebesar 6 nm pada pita II dengan kenaikan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Setelah lima menit diukur kembali ternyata tidak terjadi penguraian. Ini menunjukkan bahwa adanya 7-OH bebas pada cincin A dimana terjadi pergeseran sebesar 6 nm.

(v). Hasil spektrum F3 dibandingkan dengan spektrum dalam metanol dengan penambahan natrium asetat dan asam borat tidak tampak pergeseran pada pita II dengan peningkatan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum metanol yang menunjukkan tidak adanya gugus orto-diOH pada cincin B.

Berdasarkan hasil spektrum diatas, menurut Mabry (1970) dan Markham (1970) menunjukkan bahwa hasil spektrum yang diperoleh adalah golongan flavon dengan 7-OH bebas pada cincin A.

Penafsiran spektrum ultraviolet untuk isolat F4 adalah sebagai berikut: (i). Hasil spektrum F4 dalam metanol memberikan hanya satu pita absorpsi maksimum yaitu 262 nm (pita II) absorbsi pada cincin B (sinamoil). Absorpsi maksimum pada pita II, spektrum sesuai untuk isoflavon yaitu 245-275 nm, sehingga diduga isolat F4 adalah senyawa isoflavon dengan nama 5,7,3’,4’- tetraOH isoflavon.

(ii). Hasil spektrum F4 dalam metanol dengan penambahan natrium hidroksida 2 N menunjukkan adanya pergeseran batokromik sebesar 4 nm pada pita II dengan peningkatan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum metanol. Setelah lima menit sampel diukur kembali ternyata tidak tampak adanya pergeseran pada pita II. Menurut Mabry (1970) menunjukkan bahwa pada senyawa isoflavon ini dijumpai adanya gugus OH pada cincin A sehingga diduga adanya gugus OH pada cincin A namun tidak dijumpai gugus 3’,4’-diOH pada senyawa isoflavon tersebut.

(iii). Hasil spektrum F4 dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5% dan asam klorida 6 N terjadi pergeseran batokromik sebesar 4 nm pada pita II dengan kenaikan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol.

Hasil spektrum F4 dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5% dan asam klorida 6 N terjadi pergeseran batokromik sebesar 14 nm pada pita I dan hipsokromik sebesar 11 nm pada pita II dengan terjadi peningkatan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5%. Menurut Mabry (1970) menunjukkan dijumpai adanya gugus 5,7-diOH isoflavon, sehingga diduga adanya gugus 5,7-5,7-diOH pada cincin A.

(iv). Hasil spektrum F4 dalam metanol dengan penambahan natrium asetat terjadi pergeseran batokromik sebesar 16 nm dengan peningkatan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Setelah lima menit sampel diukur kembali ternyata tidak terjadi penguraian pada pita II. Menurut Mabry (1970) ini menunjukkan adanya 7-OH pada cincin A, sehingga diduga adanya gugus 7-OH pada cincin A.

(v). Hasil spektrum F4 dalam metanol dengan penambahan natrium asetat dan asam borat terjadi pergeseran batokromik 6 nm pada pita II dengan peningkatan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Menurut Markham (1970) menunjukkan adanya 6,7-diOH pada cincin A, sehingga diduga adanya 6,7-diOH pada cincin A.

Berdasarkan hasil diatas spektrum diatas, menurut Mabry (1970) dan Markham (1988) menunjukkan bahwa hasil spektrum yang diperoleh adalah golongan isoflavon diduga adanya gugus 5,6,7-triOH pada cincin A.

Penafsiran spektrum ultraviolet untuk isolat F5 adalah sebagai berikut: (i). Hasil spektrum F5 dalam metanol memberikan 1 pita absorpsi maksimum yaitu 268 nm (pita II) dan absorpsi pada cincin B (sinamoil). Menurut Mabry

(1970) absorpsi maksimum pada pita II, sesuai dengan senyawa isoflavon yaitu 245-275 nm ini menunjukkan bahwa isolat tersebut adalah senyawa isoflavon.

(ii). Hasil spektrum F5 dalam metanol dengan penambahan natrium hidroksida 2 N menunjukkan adanya pergeseran batokromik 73 nm pada pita II dengan penurunan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Setelah lima menit sampel diukur kembali ternyata tidak terjadi penguraian pada pita II. Menurut Mabry (1970) menunjukkan bahwa pada senyawa isoflavon ini tidak adanya gugus 3’,4’-diOH, sehingga diduga tidak adanya gugus 3’,4’-diOH.

(iii). Hasil spektrum F5 dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5% dan asam klorida 6 N terjadi pergeseran hipsokromik sebesar 10 nm pada pita II, dengan penurunan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol, yang menunjukkan tidak dijumpai adanya gugus 5-OH bebas. Hasil spektrum F5 dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5% dan asam klorida 6 N terjadi pergeseran batokromik sebesar 3 nm pada pita II dengan penurunan inetnsitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol dengan penambahan aluminium klorida 5%. Menurut Mabry (1970) menunjukkan bahwa pada senyawa isoflavon ini tidak adanya gugus 5-OH bebas, sehingga diduga tidak adanya gugus 5-OH bebas.

(iv). Hasil spektrum F5 dalam metanol dengan penambahan natrium asetat terjadi pergeseran batokromik sebasar 9 nm pada pita II dengan penurunan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Ini menunjukkan adannya 7-OH. Setelah lima menit sampel diukur kembali, terjadi penguraian pada pita II. Menurut Markham (1988) menunjukkan adanya gugus 6,7-diOH atau 7,8-diOH

atau mungkin terdapat 3,4’-diOH, sehingga diduga adanya gugus 6,7-diOH atau 7,8-diOH atau mungkin terdapat 3,4’-diOH.

(v). Hasil spektrum F5 dalam metanol dengan penambahan natrium asetat dan asam borat tidak terjadi pergeseran pada pita II dengan penurunan intensitas bila dibandingkan dengan spektrum dalam metanol. Menurut Mabry (1970) menunjukkan bahwa pada isoflavon ini tidak dijumpai adanya gugus 6,7-diOH pada cincin A, dimana seharusnya terjadi pergeseran batokromik sebesar 10-15 nm pada pita II.

Berdasarkan hasil spektum diatas, menurut Mabry dan Markham (1988) dari hasil spektrum diatas, diduga bahwa senyawa tersebut adalah golongan isoflavon dengan gugus 7,8-diOH pada cincin A.

BAB V

Dokumen terkait