• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu yang Berpotensi Secara Ekonomi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap responden di Desa Marancar Godang, Kecamatan Maranca jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu.

No Jenis HHBK

Nama Latin Manfaat Jumlah

Responden

Cinnamomun verum Batang Kulit : Mengontrol gula

darah

10 15,38

4 Coklat Theobroma cacao L. Buah : Menurunkan tekanan darah

14 21,54

5 Pinang Areca catechu Buah : Sakit pinggang

15 23,08

6 Jengkol Pithecollobium jiringa Buah : Mencegah anemia

16 24,62

7 Kemiri Aleuritus moluccanus Buah : Minyak rambut

16 24,62

Total 130 200

Secara ekonomi, hutan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan dan menjual hasil hutan bukan kayu.

Ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan terhadap keberadaan sumberdaya hutan terlihat dari banyaknya masyarakat yang menjadikan hutan sebagai sumber pekerjaan dan pendapatan. Salah satu bentuk pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Marancar Godang, Kecamatan Maranca adalah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Hasil hutan non-kayu (HHBK) adalah sumber daya penting untuk mempertahankan mata pencaharian banyak komunitas pedesaan. Sejumlah besar HHBK dijual di daerah, pasar nasional dan

internasional, dengan keuntungan tahunan dari miliaran dolar AS (Broad et al., 2014)

Hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sangat beragam ada yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (kebutuhan sehari-hari) dan ada juga yang dijual untuk menambah pendapatan rumah tangga mereka.

Pemungutan hasil hutan non kayu pada umumnya merupakan kegiatan tradisional dari masyarakat yang berada disekitar hutan, bahkan di beberapa tempat, kegiatan pemungutan hasil hutan non kayu merupakan kegiatan utama sebagai sumber kehidupan masyarakat sehari-hari. Disampaikan oleh Rostiwanti (2013), pengelolaan HHBK merupakan usaha yang sangat mendukung kepada upaya pengelolaan hutan yang lestari karena pada umumnya sistem pemanenan jenis-jenis tanaman HHBK ini tidak bersifat merusak.

Jenis hasil hutan yang paling banyak dimanfaatkan responden adalah karet. Sebanyak 32 orang atau 49,23 % dari total responden pada desa penelitian menyatakan mengambil karet untuk dimanfaatkan. Jenis Hasil hutan kedua yang paling banyak digunakan responden adalah aren, yaitu sebanyak 27 orang atau 41,54 %, dan hasil hutan berikutnya yang dimanfaatkan oleh masyarakat berturut-turut yaitu jengkol dan kemiri sebanyak 16 orang (24,62 %), pinang sebanyak 15 orang (23,08%), coklat sebanyak 14 orang (21,54%), dan kulit manis sebanyak 10 orang (15,38%).

Hastari dan Yulianti (2018) mengatakan bahwa semakin banyak jumlah masyarakat yang memanfaatkan jenis hasil hutan nilai arti penting jenis tersebut juga semakin rendah terhadap kebutuhan masyarakat, dan sebaliknya semakin sedikit jumlah masyarakat yang memanfaatkan jenis hasil hutan maka nilai arti penting jenis tersebut juga semakin rendah terhadap kebutuhan masyarakat.

Sebaran Tanaman Hasil Hutan Bukan Kayu

Sebaran tanaman HHBK dilakukan untuk mengetahui koordinat tanaman HHBK di Desa Marancar Gondang yang didokumentasikan dalam bentuk peta.

Menurut Nopelina (2006) ditinjau dari peranannya, peta adalah bentuk penyajian informasi spasial tentang permukaan bumi untuk dapat dipakai dalam pengambilan keputusan.

Hasil inventarisasi tanaman HHBK disajikan dalam bentuk peta dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi Geografis atau Geographic Information Sistem (GIS) merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Sistem ini

merekam, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi.

Dengan adanya peta, ketika melakukan tinjauan ke lapangan, masyarakat lebih mudah menemukan tanaman HHBK di Desa Marancar Gondang. Peta persebaran seluruh tanaman HHBK dapat dilihat pada Gambar 2. Persebaran HHBK untuk setiap jenisnya di Desa Marancar Godang tersebar secara tidak merata karena jenis yang paling banyak ditemukan pada setiap lokasi penelitian berbeda.

Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor biotik maupun faktor abiotik, serta kemampuan adaptasi jenis tersebut di habitatnya.

Sebaran HHBK untuk setiap jenisnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Dimana tanaman aren tumbuh secara menyebar hampir diseluruh desa. Untuk tanaman jenis jengkol banyak terdapat di bagian sebelah selatan Desa Marancar Gondang. Tanaman kakao tumbuh mengumpul disebelah timur yang berbatasan dengan Desa Simanggir. Pada tanaman karet banyak tumbuh merata dan menyebar hampir di seluruh desa. Lain hal nya dengan tanaman kemiri tumbuh menyebar ke arah timur Desa Marancar Gondang. Tanaman kulit manis tumbuh dibagian barat Desa Marancar Gondang dengan jumlah yang sedikit atau jarang, Sedangkan tanaman pinang tumbuh secara mengelompok di bagian tengah Desa Marancar Gondang.

Gambar 2. Peta Persebaran HHBK di Marancar Godang

Nilai Ekonomi Hasil Hutan Bukan Kayu

Menurut Heubes, et al., (2012) Hasil Hutan Nontimber (HHBK) memainkan peran penting dan perputaran dalam meningkatkan perekonomian sebagian besar penduduk dunia khususnya pada saat ini. Nilai ekonomi HHBK diperoleh dari perkalian total pengambilan perjenis pertahun dengan harga hasil hutan perjenis.

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan kepada 65 orang responden dari masyarakat Desa Marancar Godang, Kecamatan Maranca, diperoleh bahwa nilai ekonomi dari pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang ada di Desa Marancar Godang sebesar Rp. 2.441.416.000,-/tahun. Nilai ekonomi setiap jenis HHBK dalam satu tahun dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Nilai Ekonomi Hasil Hutan Bukan Kayu

(1) (2) (3) (4)

Nilai ekonomi terbesar dari pemanfaatan HHBK adalah aren dengan total persentase yaitu sebesar 19.52,% dan untuk nilai ekonomi terkecil adalah Kulit manis dengan persentase 1,15% dari seluruh komoditi HHBK yang dimanfaatkan.

Komersialisasi HHBK memainkan peran penting dalam mengurangi kemiskinan pemanen dan pengolah lokal, tetapi juga bisa memperkaya tengkulak dengan mengorbankan yang utama pemanen dan pengolah lokal. Setiap HHBK yang dikomersialkan memiliki produksi untuk konsumsi rute atau rantai nilai, yang menghubungkan ekonomi pemanenan, pemrosesan dan pengiriman produk ke konsumen akhir. Masyarakat yang terlibat berkisar dari individu pemanen dan kaki tangan ke tengkulak dan pasar (Belcher and Schreckenberg, 2007).

Ketika permintaan untuk HHBK meningkat pesat, pedesaan masyarakat sering didorong untuk mengeksploitasi mereka secara berlebihan karena

oportunisme, ketidakamanan ekonomi, dan kurangnya aturan manajemen atau mengamankan hak properti. Karena itu, praktik pemanenan dapat memiliki ekologi negatif dampak. Populasi seluruh spesies dapat terancam punah sambil menangkap dan merusak hasil panen teknik dapat menyebabkan dinamika populasi target yang tidak stabil, ketidakseimbangan ekosistem dan perusakan habitat. Komersialisasi HHBK seharusnya tidak fokus hanya pada akses pasar, nilai tambah, pengentasan kemiskinan, atau rantai produsen ke konsumen tetapi juga pada yang negatif dampak ekologis dan populasi yang dapat dihasilkan dari praktik pemanenan berlebihan atau merusak (Toledo et al., 2014).

Getah Karet

Gambar 3. Lahan Milik Saktiawan Gambar 4. Getah Karet

Getah karet merupakan hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan masyarakat Desa Marancar Godang, Kecamatan Maranca. Getah karet yang diambil masyarakat merupakan hasil dari kebun yang telah dimiliki dan diwariskan keluarga turun temurun. Sebanyak 49,23 % responden penelitian ini memanfaatkan getah karet. Namun, saat ini harga getah karet kurang menguntungkan sehingga permintaan getah karet menurun. Harga getah karet per kg saat ini (di lokasi penelitian) sebesar Rp 7.000,-/ kg. Rendahnya harga getah karet menyebabkan penyadap tidak lagi antusias untuk memanfaatkan getah karet, namun masih ada responden yang tetap melakukan kegiatan rutin menyadap karet.

Getah karet yang telah disadap oleh responden biasanya akan dijual ke “pengepul”

yaitu orang yang akan menampung hasil sadapan karet masyarakat.

Rata-rata penyadapan getah karet dilakukan oleh responden selama 3-6 hari kerja. Saat penyadapan relatif mudah sehingga penyadap tidak menemukan

kesulitan, tidak ada perbedaan aktivitas maupun hasil saat musim kemarau maupun hujan. Hasil satu kali menyadap mencapai 15-30 kg sehingga setiap minggunya responden dapat menghasilkan getah karet sadapan sebanyak 60-120 kg/bulan. Jika harga getah karet sebesar Rp. 7.000,-/kg maka nilai manfaat getah karet yang dimanfaatkan masyarakat responden per tahun mencapai Rp.

463.680.000,-

Pengelolaan getah karet ini berkaitan dengan siklus perkebunan karet mulai dari penanaman, perawatan, pemanenan, pengolahan, hingga pemasaran.

Saat ini sangat minim sekali upaya penanaman, perawatan, pemanenan sehingga produktivitas lahan semakin menurun dari tahun ke tahun. Kondisi pohon karet juga kurang terawat oleh masyarakat sekitar. (Nurhayadi et al., 2016) Jika karet dikembangkan sebagai produk unggulan, sarana dan prasarana pendukung kegiatan perkebunan karet rakyat ini juga sangat terbatas. Sarana dan prasarana pendukung kegiatan perkebunan karet diantaranya untuk produksi karet dan pemasaran karet. Petani tidak memiliki modal besar dalam menjalankan dan mengelola perkebunan karet. Itulah sebabnya pengolahan hanya dapat menghasilkan bal karet kualitas rendah.

Aren

Gambar 5. Pemanenan aren Gambar 6. Pembuatan Gula aren

Aren secara ekonomis mempunyai nilai cukup tinggi karena hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan dan produknya beragam. Gula aren atau yang biasa disebut gula merah dihasilkan dari nira pohon enau atau pohon aren (Arenga pinnata). Nira ini diperoleh dari bunga jantan pohon enau dan diolah secara tradisional oleh sebagian masyarakat Desa Marancar Godang menjadi gula aren atau gula merah. Dalam 1 (satu) tahun produksi, jumlah bulan yang efektif untuk proses pembuatan gula aren berkisar antara 9 bulan sampai dengan 11 bulan. Hal ini disebabkan oleh mayang pohon aren tidak berproduksi sepanjang tahun. Tiap mayang pohon aren dapat berproduksi kira – kira sampai tiga bulan.

Responden biasanya memanfaatkan pohon aren lebih dari 1 pohon untuk memperbanyak produksi. Selain itu Bunga betina dari tumbuhan aren yang masih muda dapat diolah menjadi kolang-kaling. Dan bagian lain aren yaitu daun bisa dimanfaatkan untuk di jadikan ijuk. Kontribusi aren merupakan kontribusi paling tinggi bila dibandingkan dengan jenis HHBK yang lain, dimana nilai ekonomi aren mencapai 476.784.000,- dengan persentasi sebesar 19,52% .

Kulit manis

Gambar 7. Penjemuran Kulit manis

Pemanfaatan kulit manis menjadi komoditi yang paling sedikit memiliki nilai ekonomi terkecil. Produk kulit kayu manis merupakan hasil utama dari kayu

kayu manis sangat sederhana, yaitu cukup dengan penjemuran. Sebelum dijemur, kulit dikikis atau dibersihkan dari kulit luar, lalu dibelah-belah menjadi berukuran lebar 3-4 cm. selanjutnya kulit yang sudah bersih ini dijemur dibawah terik matahari selama 2-3 hari, kulit dinyatakan kering kalau bobotnya sudah hilang sekitar 50% artinya kalau bobot sbelum dijemur sekitar 1 kg maka kayu manis harus berbobot 0,5 kg.

Bagi masyarakat Desa Marancar Godang, kulit manis dimanfaatkan oleh responden untuk dijual kembali dan sebagian di pakai sendiri. Jumlah responden yang memanfaatkan kulit manis adalah sebanyak 10 KK. Pemanfaatan kulit manis oleh responden pertahun mencapai 740 kg. Dengan harga jual Rp 38.000,-/kg maka nilai yang didapat dari hasil pemanfaatan kayu manis oleh responden adalah Rp 385.920.000,-.

Coklat

Gambar 8. Pohon coklat

Tanaman coklat ini berasal dari Amerika Selatan yang kemudian menyebar luas ke daerah – daerah beriklim tropis termasuk ke Indonesia. Tanaman coklat ini merupakan satu-satunya diantara 22 jenis marga Theobroma, suku sterculiaceae, yang diusahakan secara komersil. Tanaman coklat ini di daerah asalnya yaitu Amerika Selatan, merupakan tanaman kecil yang hidup di kawasan hutan hujan tropis, dan juga tumbuhnya selalu dilindungi oleh pohon – pohon besar. Di kawasan hutan hujan tropis ini merupakan ekologi yang cocok untuk pertumbuhan Tanaman coklat. Tanaman coklat dapat tumbuh sampai ketinggian 8-10 m, namun ada kecenderungan tumbuh lebih pendek bila ditanam tanpa pohon peneduh.

Tanaman yang diperbanyak dengan biji, mula-mula akan tumbuh membentuk

batang yang lurus sebelum menumbuhkan cabang primer. Tempat tumbuhnya cabang primer disebut jorquette, biasanya terletak pada ketinggian 1 - 2 m.

dengan ketinggian jorquette yang ideal adalah 1,2 - 1,5 m.

Buah yang siap dipanen atau dipetik adalah buah-buahan yang masak optimal. Kriteria buah masak umumnya berdasarkan warna luarnya. Warna ini dipengaruhi oleh jenis atau varietas tanaman coklat. Buah yang siap dipanen atau dipetik adalah buah-buahan yang masak optimal. Kriteria buah masak umumnya berdasarkan warna luarnya. Warna ini dipengaruhi oleh jenis atau varietas tanaman coklat. Manfaat buah coklat bahan dasar pembuat coklat, menurunkan tekanan darah tinggi, memperbaiki mood, dan anti aging.

Bagi masyarakat Desa Marancar Godang, coklat dimanfaatkan oleh responden untuk dijual kembali dan sebagian di pakai sendiri. Jumlah responden yang memanfaatkan coklat adalah sebanyak 14 KK. Pemanfaatan coklat oleh responden pertahun mencapai 23.520 kg. Dengan harga jual Rp 20.000,-/kg maka nilai yang didapat dari hasil pemanfaatan coklat oleh responden adalah Rp 470.400.000,-.

Jengkol

Gambar 9. Buah Jengkol Gambar 10. Pemanenan Buah Jengkol Jengkol yang memiliki nama latin Pithecollobium jiringa atau Pithecollobium labatum, merupakan buah yang terkenal dengan aromanya yang khas dan banyak dihindari sebagian masyarakat, namun tidak sedikit juga yang menyukai buah ini, karena di Indonesia sendiri jengkol sudah menjadi makanan khas. Jengkol termasuk suku polong-polongan (Fabaceae). Buahnya berupa polong dan bentuknya gepeng berbelit membentuk spiral, berwarna lembayung tua. Biji buah berkulit ari tipis dengan warna coklat mengilap. Jengkol dapat

menimbulkan bau tidak sedap pada urin setelah diolah dan diproses oleh pencernaan, terutama bila dimakan segar sebagai lalap. Jengkol diketahui memiliki manfaat untuk mencegah diabetes dan bersifat diuretik dan baik untuk kesehatan jantung.

Sebanyak 15 KK memanfaatkan jengkol untuk dikonsumsi sendiri dan ada juga yang dijual kembali. Pemanfaatan jengkol oleh responden pertahun mencapai 18.912 kg. Dengan harga jual Rp 10.000,-/kg maka nilai yang didapat dari hasil pemanfaatan jengkol oleh responden adalah Rp 189.120.000,-.

Kemiri

Gambar 11. Buah Kemiri

Buah kemiri berasal dari pohon kemiri yang ketinggiannya mencapai 10 sampai 40 meter. Tumbuhan yang berasal dari Maluku ini kadang ditemukan tumbuh liar pada ketinggian 150 sampai 1200 meter dari permukaan laut. Kemiri sebetulnya tergolong bumbu dapur. Bijinya yang berwarna putih kekuningan selain digunakan untuk menggurihkan masakan juga dalam perkembangan modern ini kebanyakan diambil untuk memperoleh minyaknya. Dalam setiap penanaman, masing – masing pohon dapat menghasilkan sekitar 30 – 80 kg kacang kemiri, dan sekitar 15 – 20 persen dari berat tersebut dapat menghasilkan minyak (Istriyani, 2011).

Seorang petani kemiri akan menjual kemirinya dengan kondisi dikupas dan tidak dikupas. Kemiri yang dikupas dijual lebih mahal dari kemiri yang belum dikupas. Untuk kemiri yang tidak dikupas, biasanya dibeli oleh pihak lain untuk kemudian dikupas agar harga jualnya lebih tinggi dari harga belinya. Bagi masyarakat Desa Marancar Godang, kemiri dimanfaatkan oleh responden untuk

dijual kembali dan sebagian di manfaatkan sendiri. Jumlah responden yang memanfaatkan kemiri adalah sebanyak 16 KK. Pemanfaatan kemiri oleh responden pertahun mencapai 12.864 kg. Dengan harga jual Rp 30.000,-/kg maka nilai yang didapat dari hasil pemanfaatan kayu manis oleh responden adalah Rp 28.120.000,-.

Pinang

Gambar 12. Buah Pinang

Tumbuhan pinang memiliki banyak manfaat, penggunaan pinang paling popular pada masyarakat adalah kegiatan menyirih dengan bahan campuran biji pinang, daun sirih dan kapur. Sedangkan air rebusan biji pinang digunakan untuk mengatasi penyakit seperti haid dengan darah berlebihan, mimisan, koreng, mencret dan bisul (Agoes, 2010). Sebanyak 15 responden memanfaatkan pinang untuk dikonsumsi sendiri dan ada juga yang dijual kembali. Dalam 1 tahun masyarakat yang bisa menghasilkan 30.528 kg/tahun. Dan dijual sebesar Rp.

14.000,-/kg, sehingga nilai yang didapat dari hasil pemanfaatan kayu manis oleh responden adalah 427.392.000,-.

Harga jual setiap komoditi didapatkan dari rata-rata harga yang disebutkan responden pada saat wawancara. Pengambilan harga setiap komoditi tidak disamakan dengan harga di lokasi lain karena akan menyebabkan perbedaan harga yang cukup berpengaruh. Penetapan harga jual berdasarkan rata-rata harga yang

disebutkan responden dinilai lebih tepat karena harga tersebut merupakan harga yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Pemanfaatan HHBK oleh masyarakat memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp 37.560.000/kk dalam setiap tahunnya berdasarkan asumsi nilai ekonomi (Tabel 2). Hasil ini menunjukkan bahwa pemanfaatan HHBK memberikan kontribusi pada pendapatan setiap masyarakat di Desa Maracar Godang. Nilai ekonomi hasil hutan tinggi jika hutan tersebut mudah diakses dan sebaliknya nilai yang rendah atau bahkan bisa mencapai nol jika hutan tersebut susah untuk diakses sehingga biaya aksesnya tinggi dan ditambah dengan biaya pengolahan.

Kilozo (2009) mengatakan bahwa jarak dari rumah ke hutan meningkat Dapat menghalangi laju pengumpulan HHBK jumlah HHBK yang dikumpulkan berkurang dengan meningkatnya jarak. Ini berarti bahwa biaya peluang waktu tenaga kerja dihabiskan untuk koleksi bertambah dengan jarak, menyiratkan bahwa orang tinggal lebih dekat ke hutan lebih tergantung pada HHBK meskipun diberlakukan pembatasan.

Kontribusi Nilai Ekonomi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

HHNK berkontribusi signifikan terhadap ekonomi manfaat rumah tangga pedesaan di negara berkembang dalam tiga cara utama: pertama, menyediakan subsistensi domestik dan persyaratan konsumsi untuk peningkatan disposable pendapatan untuk rumah tangga. kedua, melayani segera jaring pengaman terhadap dampak buruk perubahan iklim yang dialami, merupakan bagian penting dari kapasitas adaptif. dan, ketiga, berkontribusi untuk mengarahkan manfaat moneter melalui perdagangan (Sumukwo et al., 2013)

Masyarakat Desa Marancar Godang memiliki berbagai macam profesi, sehingga mereka tidak hanya mengandalkan pendapatan hanya dari HHBK saja, namun masyarakat juga mengandalkan pendapatan dari pekerjaan lain seperti dari buruh tani, wirausaha, peternakan, dan PNS yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 4. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun diluar Hasil Hutan Bukan Kayu No Pekerjaan Jumlah Responden Jumlah (Rp/tahun) Presentasi

1. PNS 8 366.000.000,- 16,93%

2. Wirausaha 14 540.000.000,- 24,98%

3. Petani 32 894.000.000,- 41,36%

4. Peternak 11 361.200.000,- 16,71%

Total 65 2.161.200.000,- 100%

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa sumber pendapatan terbesar selain HHBK di Desa Marancar Godang adalah berasal dari pekerjaan petani yakni sebesar Rp. 894.000.000,-/tahun atau dengan persentase 41,36% dan sumber pendapatan terendah berasal dari Peternak sebesar Rp. 361.200.000,- /tahun atau dengan persentase 16,71%. Nilai ekonomi pendapatan dari luar pemanfaatan HHBK sebesar Rp.2.161.200.000,-/tahun, bersumber dari pendapatan pertanian, wirausaha, peternakan, dan PNS.

Pengumpulan HHBK masyarakat Desa Marancar Godang adalah aktifitas ekonomi tradisional yang diduga bahwa faktor yang mempengaruhi intensitas pengambilan HHBK dipengaruhi oleh kebiasaan turun temurun. Semakin besar kemungkinan untuk pemungutan HHBK sebagai alternatif pemenuhan ekonomi.

Peluang-peluang ekonomi yang ada juga mempengaruhi pemungutan HHBK, karena makin tinggi permintaan akan hasil HHBK makin tinggi juga eksploitasi terhadap HHBK itu sendiri.

Tabel 5. Kontribusi Nilai Ekonomi Hasil Hutan Bukan Kayu/Tahun Pendapatan diluar

HHBK/KK

Pendapatan HHBK/KK

Total Pendapatan Kontribusi HHBK Rp. 2.161.200.000 Rp. 2.441.416.000 Rp. 4.602.616.000 53,04%

Pendapatan total responden diluar HHBK pada penelitian ini adalah sebesar Rp 2.161.200.000,-/tahun dengan rata-rata pendapatan setiap responden adalah sebesar Rp 2.770.000,-/bulan. Pendapatan total dari HHBK responden pada penelitian ini adalah sebesar Rp 2.441.416.000,-/tahun dengan rata-rata pendapatan setiap responden adalah sebesar Rp 3.130.000,-/bulan. Berdasarkan uraian tersebut maka total pendapatan masyarakat Desa Marancar Godang adalah sebesar Rp 5.900.000,-/bulan/kk dengan kontribusi HHBK yang dimanfaatkan sebesar 53,04 %. Kontribusi pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) terhadap pendapatan masyarakat Desa Marancar Godang tergolong sedang.

HHBK memberikan kontribusi sebesar 53,04% dan memberikan penambahan pendapatan yang sedang terhadap masyarakat Desa Marancar Godang.

Berdasarkan Rensis Likert dalam Usman dan Purnomo (2010) kontribusi pendapatan HHBK termasuk ke dalam kontribusi pendapatan sedang yaitu

41%-Berdasarkan hal tersebut, maka pihak terkait yaitu pihak pemerintah maupun pengelola sudah seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap sektor pemanfaatan HHBK agar nantinya dapat memberikan kontribusi yang lebih besar, serta perlu dilakukan pelatihan tentang teknik pemanfaatan dan budidaya agar masyarakat dapat merasakan manfaat dari kelestarian HHBK yang ada. Namun sayangnya keberadaan HHBK ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal, kalaupun pemanfaatan HHBK dilakukan secara maksimal itu hanya terjadi pada jenis-jenis tertentu saja oleh karena itu HHBK ini sifatnya masih lokal seperti yang dinyatakan oleh Diniyati dan Budiman (2015)

Keberadaan HHBK diyakini sepenuhnya paling bersinggungan dengan kepentingan masyarakat di sekitar hutan. HHBK terbukti menjadi penopang kelangsungan hidup masyarakat secara lintas generasi, sekaligus memberi dampak pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan. Masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar hutan memanfaatkan sumber daya hutan berupa hasil hutan bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lain-lain. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang dipungut maupun dibudidayakan merupakan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat sekitar hutan baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan. Pemanfaatan HHBK oleh masyarakat yang tidak diikuti dengan pengelolaan secara berkelanjutan juga akan mempengaruhi ketersediaan HHBK yang ada. Pengurangan hasil hutan yang disebabkan oleh kegiatan tersebut tentu akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih mengandalkan HHBK sebagai sumber pendapatannya.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pemanfaatan hasil hutan pada Desa Marancar Godang memberikan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat.

Hal ini berarti, keberadaan hutan masih menjadi penopang kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi. Pendapatan utama masyarakat berasal dari pertanian.

Pendapatan dari pertanian juga tidak dapat disamakan setiap waktu. Karena, sering terjadi gagal panen ataupun hasil panen yang tidak dapat mengembalikan modal ladang. Selama wawancara terhadap responden, alasan yang menyebabkan suatu pekerjaan dijadikan sebagai pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan adalah besar kecilnya kontribusi pekerjaan tersebut terhadap pendapatan rumah

Pendapatan dari pertanian juga tidak dapat disamakan setiap waktu. Karena, sering terjadi gagal panen ataupun hasil panen yang tidak dapat mengembalikan modal ladang. Selama wawancara terhadap responden, alasan yang menyebabkan suatu pekerjaan dijadikan sebagai pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan adalah besar kecilnya kontribusi pekerjaan tersebut terhadap pendapatan rumah

Dokumen terkait