• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Data

Secara umum, wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur, sedangkan luas Kepulauan Madura hanya sekitar 10%. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur yang mencapai 46.428 km2

Penelitian ini menggunakan delapan faktor sebagai peubah penjelas yang mempengaruhi jumlah penderita gizi buruk sebagai peubah respon. Namun hanya digunakan lima peubah penjelas yang tidak saling multikolinearitas yaitu: jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan , jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dalam setahun terakhir , jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan , dan jumlah pendapatan domestik regional bruto per kapita ( . Hasil korelasi antar peubah penjelas dapat dilihat secara terperinci pada Tabel 1 .

terbagi menjadi 38 Kabupaten/Kota yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 9 Kota. Selain itu, Jawa Timur memiliki sistem transportasi darat, laut, dan udara, sehingga memudahkan hubugan antar satu daerah dengan daerah lainnya.

Tabel 1 Nilai korelasi antar peubah penjelas

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X2 -0.234 0.158 Nilai-p X3 -0.105 0.529 Nilai-p 0.043 0.800 X4 0.102 0.544 Nilai-p 0.764 0.000 0.257 0.119 X5 0.240 Nilai-p 0.146 0.769 0.000 0.080 0.635 0.885 0.000 X6 0.030 Nilai-p 0.860 0.561 0.000 -0.104 0.535 0.347 0.033 0.539 0.000 X7 0.461 Nilai-p 0.004 0.571 0.000 0.101 0.545 0.849 0.000 0.936 0.000 0.428 0.007 X8 0.231 Nilai-p 0.163 -0.312 0.057 -0.173 0.300 -0.241 0.144 -0.124 0.458 -0.120 0.473 -0.071 0.673

Untuk melihat deskripsi dari setiap peubah digunakan diagram kotak garis sebagai berikut: pe ub ah p en je la s da n pe ub ah re sp on i h g f e d c b a 6 5 4 3 2 1 0 -1 -2 K. Sur abay a K. Malang

Sumenep Pamek asan Boj onegor o Jember Malang Bangk alan Gr esik Lamongan Tuban Boj onegor o Pacitan Jember Malang Jember K. Sur abay a Jember Malang K. Sur abay a K. Malang K. Kedir i Gr esik Sidoar j o K. Sur abay a

nilai peubah bebas dan peubah respon yang dibakukan

Gambar 3 Diagram kotak garis untuk peubah penjelas dan peubah respon yang dibakukan

Keterangan:

a: Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh b: Jumlah keluarga yang anggotanya menjadi buruh tani

c: Luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan d: Jumlah sarana pendidikan tingkat SD dan SMP sederajat e: Jumlah posyandu

f: Jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dalam setahun terakhir g: Jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan

h: Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas dasar Harga Berlaku i: Jumlah penderita gizi buruk pada tiap kota/kabupaten di Jawa Timur

Pencilan pada peubah terdapat pada Kota Surabaya, Kota Malang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Bojonegoro yang memiliki jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh paling banyak dibandingkan dengan daerah lainnya. Pencilan pada peubah terdapat pada Kabupaten Jember dan Kabupaten Malang yang memiliki jumlah keluarga terbanyak yang anggotanya menjadi buruh tani. Pencilan pada peubah terdapat pada Kabupaten Pacitan, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Gresik yang

mempunyai luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan paling luas dibandingkan dengan daerah lainnya. Sedangkan untuk peubah tidak memiliki pencilan.

Pencilan pada peubah terdapat pada Kabupaten Jember dan Kabupaten Malang yang memiliki jumlah posyandu terbanyak dibandingkan dengan daerah lainnya. Pencilan pada peubah terdapat pada Kota Jember yang memiliki jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin terbanyak dibandingkan dengan daerah lainnya. Pencilan pada peubah terdapat pada Kota Surabaya, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Jember yang memiliki jumlah tenaga kesehatan yang paling banyak dibandingkan dengan daerah lainnya. Pencilan pada peubah terdapat pada Kota Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kabupaten Sidoarjo yang memiliki jumlah PDRB per kapitanya lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Pencilan pada peubah y terdapat pada Kota Surabaya yang mempunyai jumlah penderita gizi buruk terbesar dibandingkan daerah lainnya. Analisis Model Regresi Poisson

Analisis regresi dapat digunakan untuk melihat hubungan antara jumlah penderita gizi buruk dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Persentase rata- rata jumlah penderita gizi buruk di wilayah setiap Kabupaten/Kota di Jawa Timur sekitar 4.8%. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kejadian warga menderita gizi buruk di setiap Kabupaten/Kota di Jawa Timur merupakan kejadian yang jarang terjadi, sehingga kejadian warga menderita gizi buruk mengikuti kejadian Poisson. Meskipun kejadian warga menderita gizi buruk termasuk kejadian yang jarang, tetapi gizi buruk merupakan masalah yang memerlukan penanganan serius karena berakibat terhadap penurunan kualitas sumberdaya. Dalam upaya mengatasi banyaknya jumlah penderita gizi buruk, diperlukan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk. Salah satu model regresi yang dapat digunakan adalah model regresi Poisson.

Model regresi Poisson yang dibentuk menggunakan lima peubah penjelas secara bersamaan. Nilai dugaan parameter dari model ini tertera pada Tabel 2. Model ini menunjukkan bahwa semakin meningkatnya jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh luas struktur penggunaan lahan

tidak berpengairan jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dan jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan akan meningkatkan jumlah penderita gizi buruk. Sedangkan semakin meningkatnya jumlah produk domestik regional bruto per kapita dapat menurunkan jumlah penderita gizi buruk. Kemudian hasil penduga parameter dari regresi Poisson digunakan sebagai nilai awal untuk memperoleh penduga parameter pada model SAR Poisson.

Tabel 2 Nilai dugaan parameter model regresi Poisson Parameter Nilai dugaan Galat baku Nilai G

5.163 2.207 x 10-2 54734.942* 3.841 (pem. kumuh) 1.411 x 10-4 8.374 x 10-6 284.057* 1.730 x 10-6 7.055 x 10-7 6.012* (askeskin) 8.186 x 10-7 1.326 x 10-7 38.118* (kesehatan) 7.559 x 10-4 1.402 x 10-5 2905.965* (PDRB) -1.664 x 10-5 1.151 x 10-6 208.831* Keterangan: * nyata pada taraf alpha 5 %

Analisis Model SAR Poisson

Berdasarkan hukum Tobler bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh. Pada penelitian ini jumlah penderita gizi buruk dapat diasumsikan menyebar Poisson dan untuk melihat pengaruh spasial antar lokasi di setiap kabupaten/kota maka analisis yang digunakan adalah spasial otoregresif Poisson.

Pendugaan parameter koefisien model spasial otoregresif Poisson (SAR Poisson) dilakukan dengan menggunakan metode pendugaan kemungkinan maksimum. Model SAR Poisson termasuk model nonlinear dan bentuknya tidak

closed form, sehingga proses pendugaan parameter koefisien regresinya

menggunakan iterasi dengan metode Newton-Raphson. Pada Lampiran 3 dapat dilihat nilai awal pada iterasi ke-0 dan hasil dari setiap proses iterasi. Nilai konvergen ditentukan ketika selisih dari . Ketika iterasi ke- 10 nilai koefisien untuk penduga parameter sudah mencapai konvergen.

Tabel 3 Nilai dugaan parameter model spasial otoregresif Poisson Parameter Nilai dugaan Galat baku Nilai G (spasial) 0.1 9.472 x 10-8 1.115 x 10 3.841 12* 5.163 3.929 x 10-9 1.727 x 10 (pem. kumuh) 18* 2.758 x 10-4 7.444 x 10-6 1372.812* -6.376 x 10-6 6.392 x 10-7 99.497* (askeskin) -6.39 x 10-8 1.262 x 10 0.257 -7 (kesehatan) TN 5.688 x 10-4 1.222 x 10-5 2165.032* (PDRB) -3.397 x 10-5 1.197 x 10-6 806.239* Keterangan: * : nyata pada taraf alpha 5%

TN: tidak nyata pada taraf alpha 5%

Analisis model SAR Poisson di Provinsi Jawa Timur dengan melibatkan seluruh wilayah administratif memperlihatkan bahwa jumlah penderita gizi buruk dipengaruhi oleh kedekatan wilayah dan beberapa peubah penjelas yang signifikan. Pada Tabel 3 menunjukkan uji signifikansi setiap penduga parameter menggunakan Uji Wald. Hasil uji Wald memperlihatkan bahwa nilai korelasi spasial signifikan. Hasilnya diperoleh nilai korelasi spasial = 0.1dengan nilai = 1.115 x 1012

Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin rendah jumlah pendapatan domestik regional bruto per kapita luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan , dan jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin akan meningkatkan jumlah penderita gizi buruk. Berbeda dengan peningkatan jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh serta semakin banyak jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan akan meningkatkan jumlah penderita gizi buruk. Selain itu, uji kebaikan model dapat dilihat dari besarnya R

, dan nilai . Hal ini menunjukkan korelasi spasial pada model nyata pada taraf α = 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jumlah penderita gizi buruk pada suatu wilayah atau lokasi yang berdekatan akan berpengaruh terhadap jumlah penderita gizi buruk pada lokasi di sekitarnya. Uji signifikansi untuk setiap penduga parameter diperoleh nilai . Hal ini menunjukkan bahwa yang dimasukkan dalam model adalah signifikan sedangkan untuk tidak signifikan.

2

. Berdasarkan koefisien determinasi diperoleh bahwa jumlah keragaman dari jumlah penderita gizi buruk dapat dijelaskan oleh peubah penjelasnya sebesar 57% berdasarkan R2 devians dan R2 terkoreksi

, 50% berdasarkan R2 devians yang telah dikoreksi oleh derajat bebas dan 67% berdasarkan R2

Model SAR Poisson yang diperoleh dapat ditulis sebagai berikut: jumlah kuadrat ( .

dengan dan

Berdasarkan model yang diperoleh menunjukkan bahwa setiap penambahan satu orang dari jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh

akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar exp( = 1.0003 kali dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Artinya, setiap penambahan 10.000 orang jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh akan meningkatkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk sebanyak 10.003 orang dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Pada umumnya, penduduk yang tinggal di permukiman kumuh tidak terjamin kondisi sanitasi lingkungannya. Sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak lebih mudah terserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat mempengaruhi status gizi. Sehingga jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh diduga dapat meningkatkan jumlah penderita gizi buruk.

Setiap penurunan satu ha luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar exp( ) = 0.99999 kali dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Artinya, Setiap penurunan 10.000 ha luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan akan meningkatkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk sebanyak 10.000 orang dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Lahan tidak berpengairan terdiri atas: lahan sawah tadah hujan, lahan sawah pasang surut, lahan polder, lahan lebak , dan lahan rawa yang pengairannya tergantung pada air hujan, pasang surutnya air laut, air sungai, reklamasi rawa lebak, dan rembesan rawa. Jika hasil pertaniannya dapat diandalkan seperti pada penggunaan lahan berpengairan, maka kemungkinan hasil

pertanian dapat meningkatkan cadangan makanan bagi masyarakat. Oleh karena itu, jika luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan semakin menurun diduga dapat mengurangi cadangan makanan bagi masyarakat, sehingga meningkatkan jumlah penderita gizi buruk.

Setiap penurunan satu jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dalam setahun terakhir akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar exp( ) = 1 kali dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Artinya, Setiap penurunan 10.000 jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin akan meningkatkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk sebanyak 10.000 orang dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Program Askeskin merupakan salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Pada pelaksanaannya masih banyak masyarakat miskin yang belum mendapatkan pelayanan yang optimal. Selain itu diduga bahwa kriteria warga yang mendapatkan Askeskin sudah dijelaskan oleh faktor lainnya terkait dengan faktor PDRB dan jumlah keluarga yang tinggal di permukiman kumuh. Sehingga faktor jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin tidak signifikan.

Setiap peningkatan satu orang jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar exp( ) = 1.0006 kali dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Artinya, Setiap kenaikan 10.000 orang jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar 10.006 orang dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan membantu memberikan informasi tentang pentingnya gizi dan memberikan pelayanan kesehatan. Dengan demikian masyarakat dapat mudah mengakses informasi sehingga banyak warga yang sadar akan pengetahuan tentang gizi serta mau mendaftarkan ke pusat pelayanan kesehatan terdekat. Selain itu semakin banyak tenaga kesehatan akan mempermudah untuk mendeteksi penderita gizi buruk yang ada di masyarakat Jawa Timur. Kondisi peningkatan jumlah tenaga kesehatan diduga dapat meningkatkan jumlah penderita gizi buruk.

Setiap penurunan seribu rupiah jumlah pendapatan domestik regional bruto per kapita akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar exp( ) = 0.99997 kali dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Artinya, Setiap penurunan 10.000 jumlah pendapatan domestik regional bruto akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar 10 orang dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang paling miskin di Indonesia. Masalah pokok penduduk miskin pada umumnya sangat tergantung pada pendapatan per hari yang biasanya tidak dapat mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan tubuh. Penduduk miskin cenderung tidak mempunyai cadangan pangan karena daya belinya rendah. Ketidakmampuan penduduk dalam memenuhi standar gizi dapat menimbulkan kondisi gizi buruk. Kondisi penurunan jumlah PDRB diduga dapat meningkatkan jumlah penderita gizi buruk.

Analisis Wilayah Hotspot

Berdasarkan hasil keluaran dari Satscan diperoleh empat kelompok wilayah

hotspot kerawanan jumlah penderita gizi buruk. Hasil keluaran Satscan secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 4. Pada Tabel 4 menunjukkan ada empat wilayah hotspot yang signifikan pada . Tingkat signifikansi yang digunakan sebesar . Setelah diperoleh wilayah hotspot yang signifikan, selanjutnya dilihat nilai resiko relatif (RR) untuk setiap wilayah hotspot. Ketika hipotesis nol ditolak, dapat diartikan bahwa ada resiko warga terkena gizi buruk meningkat pada wilayah hotspot apabila dibandingkan dengan wilayah di luar hotspot. Gambaran yang lebih jelas mengenai kelompok wilayah hotspot disajikan dalam bentuk peta. Hotspot 1 digambarkan dengan tampilan warna jingga tua. Kemudian wilayah hotspot 2, wilayah hotspot 3, wilayah hotspot 4 digambarkan dengan tampilan warna jingga yang semakin pudar. Penyebaran keempat kelompok wilayah hotspot dapat dilihat secara terperinci pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta kelompok wilayah hotspot kerawanan gizi buruk di Provinsi Jawa Timur tahun 2008

Keterangan:

: wilayah hotspot 1 ( Bangkalan dan Kota Surabaya )

: wilayah hotspot 2 ( Magetan, Kota Madiun, Ngawi, Ponorogo, Madiun, Pacitan, Trenggalek, dan Nganjuk )

: wilayah hotspot 3 ( Probolinggo )

: wilayah hotspot 4 ( Bondowoso dan Situbondo )

Pada wilayah hotspot 1 atau dapat disebut juga most likely cluster

memiliki nilai uji nisbah log kemungkinan (LLR) terbesar yaitu 750.594. Nilai resiko relatif (RR) pada hotspot 1 sebesar 2.19 artinya peluang untuk kejadian warga menderita gizi buruk di Bangkalan dan Kota Surabaya sebesar 2.19 kali dari warga yang tinggal di luar wilayah hotspot 1. Urutan kedua dari LLR terbesar adalah hotspot 2 yaitu sebesar 415.707. Sedangkan untuk nilai resiko relatif (RR) sebesar 1.69, artinya peluang untuk kejadian warga menderita gizi buruk di Magetan, Kota Madiun, Ngawi, Ponorogo, Madiun, Pacitan, Trenggalek, dan Nganjuk 1.69 kali dari warga di luar wilayah hotspot 2.

Urutan ketiga dari LLR terbesar adalah hotspot 3 yaitu sebesar 105.960. Sedangkan nilai resiko relatif (RR) untuk hotspot 3 sebesar 1.73, artinya peluang untuk kejadian warga menderita gizi buruk di Probolinggo sebesar 1.73 kali dari

110 112 114 116 118 - 8 .5 - 8 .0 - 7 .5 - 7 .0 - 6 .5 - 6 .0 - 5 .5

warga di luar wilayah hotspot 3. Urutan keempat dari LLR terbesar adalah hotspot

4 yaitu sebesar 15.884 adalah Bondowoso dan Situbondo. Sedangkan nilai resiko relatif (RR) untuk hotspot 4 sebesar 1.23, artinya peluang untuk kejadian warga menderita gizi buruk di Bondowoso dan Situbondo sebesar 1.23 kali warga di luar wilayah hotspot 4. Apabila dilihat dari keempat nilai resiko relatif tiap kelompok wilayah hotspot Kabupaten Bangkalan dan Kota Surabaya memiliki peluang terbesar untuk warganya terkena gizi buruk dibandingkan dengan warga lainnya di luar wilayah tersebut. Informasi selengkapnya tentang nilai uji nisbah kemungkinan (LLR) dan resiko relatif dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kelompok wilayah hotspot kerawanan penderita gizi buruk pada Kelompok Wilayah

hotspot

Unit Nama kabupaten/kota Hotspot 1 2 Kabupaten Bangkalan, Kota Surabaya

Hotspot 2 8 Kabupaten Magetan, Kota Madiun, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Nganjuk Hotspot 3 1 Kabupaten Probolinggo

Hotspot 4 2 Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo

Tabel 4 Kelompok wilayah hotspot kerawanan penderita gizi buruk pada (lanjutan) LLR Nilai-p RR 750.594 < 0.0000 2.19 415.707 < 0.0000 1.69 105.960 <0.0000 1.73 15.884 0.0000 1.23

Dokumen terkait