• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spatial Autoregressive Poisson Model for Detecting Influential Factors on the Number of patients with Malnutrition in the Province of East Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spatial Autoregressive Poisson Model for Detecting Influential Factors on the Number of patients with Malnutrition in the Province of East Java"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

PROVINSI JAWA TIMUR

SITI ROHMAH ROHIMAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Spasial Otoregresif Poisson untuk Mendeteksi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Jumlah Penderita Gizi Buruk di Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Siti Rohmah Rohimah G151090091

(3)

Model for Detecting Influential Factors on the Number of patients

with Malnut rition in the Province of East Java. Supervised by MUHAMMAD

NUR AIDI and ANIK DJURAIDAH.

One indicator of poverty can be seen from the large of people with

malnut rition. Genesis residents suffer from malnutrition in the Province of East

Java is a rare occurrence, so the incidence of people suffering from malnutrition can be assumed to follow a Poisson distribution. Although the incidence of people suffering from malnut rition including a rare occurrence, but malnutrition is a serious problem that requires special handling because it has led to the decline in resource quality. For that use spatial autoregressive Poisson models to detect factors that influence the number of people with malnutrition. Based on the results of this study was obtained that the factors that influence the number of people with malnut rition are spatial and non-spatial. Spatial factor that predispose to a particular location is the location of the neighbors. This means that the number of people with malnutrition in a region or a nearby location will affect the number of malnourished people in the surrounding locations. While non-spatial factors that influence the number of people with malnut rition are the number of families residing in the slums, the area of land use structure is not enough irrigation, the number of health workers living in rural or village, and the number of per capita gross regional domestic product. The coefficient of determination for the SAR Poisson model was 0.57. Based on the scan statistic method obtained four clusters of hotspot areas.

(4)

Mendeteksi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Jumlah Penderita Gizi

Buruk di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing Oleh MUHAMMAD NUR AIDI

dan ANIK DJURAIDAH

Gizi buruk adalah keadaan kurang zat gizi tingkat berat yang disebabkan

oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam waktu cukup lama yang ditandai dengan tidak sesuainya berat badan dengan umur (BPS 2008). Gizi buruk secara langsung disebabkan oleh kurangnya asupan makanan dan penyakit infeksi, sedangkan secara tidak langsung disebabkan oleh ketersediaan pangan, sanitasi, pelayanan kesehatan, pola asuh, kemampuan daya beli keluarga, pendidikan, dan pengetahuan. Masalah gizi buruk membutuhkan penanganan yang tepat, karena konsekuensinya dapat menimbulkan penurunan kualitas sumber daya manusia.

.

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki jumlah penderita gizi buruk terbanyak di Indonesia. Dalam upaya menangani banyaknya jumlah penderita gizi buruk diperlukan upaya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya baik spasial maupun nonspasial. Jumlah warga yang menderita

gizi buruk merupakan data cacahan (count data) dan kejadian warga menderita

gizi buruk merupakan kejadian yang jarang terjadi, sehingga dalam penelitian ini

menggunakan model Spatial Autoregressive Poisson (SAR Poisson).

Penggunaan model SAR Poisson diharapkan dapat menentukan faktor-faktor yang berpengaruh baik secara spasial maupun nonspasial terhadap banyaknya jumlah penderita gizi buruk. Selain itu, pemberantasan kerawanan penderita gizi buruk merupakan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia, sehingga diperlukan penanganan yang tepat sasaran untuk menanganinya. Teknik Geoinformatika dapat digunakan untuk mengetahui daerah

kritis (hotspot) yang sangat penting untuk menentukan upaya strategis dalam

menangani masalah gizi buruk. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan metode

Scan statistic untuk mendeteksi wilayah hotspot kerawanan penderita gizi buruk. Penelitian ini menggunakan data Podes 2008 dan data BPS 2008 yang telah dipublikasikan oleh BPS. Peubah respon yang digunakan adalah jumlah penderita gizi buruk. Sedangkan peubah penjelas yang diamati antara lain: jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh, luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan, jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin, jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa atau kelurahan, dan jumlah Produk Domestik Regional Bruto per Kapita.

Hasil penelitian ini diperoleh korelasi spasial yang signifikan yang berarti bahwa jumlah penderita gizi buruk pada suatu wilayah atau lokasi yang berdekatan akan berpengaruh terhadap jumlah penderita gizi buruk pada lokasi di sekitarnya. Selain itu, semakin meningkatnya jumlah keluarga yang bertempat

tinggal di permukiman kumuh dan jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di

desa atau kelurahan akan meningkatkan jumlah penderita gizi buruk.

Sedangkan semakin meningkatnya luas struktur penggunaan lahan tidak

berpengairan serta jumlah produk domestik regional bruto per kapita

dapat menurunkan jumlah penderita gizi buruk. Uji kebaikan modelnya

(5)

hotspot. Tingkat kerawanan gizi buruk tertinggi adalah Hotspot 1 terdiri dari

Bangkalan dan Kota Surabaya dengan resiko relatif sebesar 2.19. Hotspot 2 terdiri

dari Magetan, Kota Madiun, Ngawi, Ponorogo, Madiun, Pacitan, Trenggalek, dan

Nganjuk dengan nilai resiko relatif sebesar 1.69. Daerah Hotspot 3 adalah

Probolinggo dengan resiko relatif sebesar 1.73. Hotspot 4 terdiri dari Bondowoso

dan Situbondo dengan resiko relatif sebesar 1.23.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

TERHADAP JUMLAH PENDERITA GIZI BURUK DI

PROVINSI JAWA TIMUR

SITI ROHMAH ROHIMAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Statistika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Provinsi Jawa Timur

Nama : Siti Rohmah Rohimah

NIM : G151090091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Muhammad Nur Aidi, M.S. Dr. Ir. Anik Djuraidah, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Statistika

Dr. Ir. Erfiani, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(10)

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah model spasial, dengan judul “Model Spasial Otoregresif Poisson untuk Mendeteksi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Jumlah Penderita Gizi Buruk di Provinsi Jawa Timur”. Penelitian yang dilakukan penulis merupakan bagian dari payung Hibah Penelitian Pascasarjana Departemen Statistika, Institut Pertanian Bogor yang didanai Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Nur Aidi MS, dan Ibu Dr. Ir. Anik Djuraidah MS, selaku pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, kesabaran dan waktunya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc. selaku penguji luar dan Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc. sebagai Ketua Tim Peneliti Hibah Pascasarjana tahun 2010-2011 dengan topik “Pengembangan dan Aplikasi Geoinformatika Bayesian pada Data Kemiskinan di Indonesia (Studi Kasus di Jawa Timur)”, atas segala motivasi dan masukannya, serta izin yang diberikan kepada penulis untuk turut terlibat di dalam hibah penelitian ini.

Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada orang tua dan seluruh keluarga atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada teman-teman Statistika angkatan 2009 dan keluarga besar Statistika dan semua pihak terkait atas bantuan, waktu dan kebersamaannya. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, September 2011

(11)

anak dari pasangan Bapak Sukarna dan Ibu Alwisah. Penulis merupakan putri bungsu dari enam bersaudara.

(12)

Halaman

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Pemilihan Peubah Gizi Buruk ... 5

Regresi Poisson ... 7

Matriks Pembobot Spasial ... 7

Model SAR ... 9

Model SAR Poisson ... 10

Hotspot ... 14

DATA DAN METODE ... 17

Data ... 17

Metode Analisis ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Deskripsi Data ... 19

Analisis Model Regresi Poisson ... 21

Analisis Model SAR Poisson ... 22

Analisis Wilayah Hotspot ... 26

SIMPULAN DAN SARAN ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(13)

Halaman

1 Nilai korelasi antar peubah penjelas ... 19

2 Nilai dugaan parameter model regresi Poisson ... 22

3 Nilai dugaan parameter model spasial otoregresif Poisson ... 23

4 Kelompok wilayah hotspot kerawanan penderita gizi buruk di Provinsi Jawa

(14)

Halaman

1. Ilustrasi contoh konfigurasi lokasi yang berdekatan ... 8

2. Peta administratif wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur ... 17

3. Diagram kotak garis untuk peubah penjelas dan peubah respon yang

dibakukan ... 20

4. Peta kelompok wilayah hotspot kerawanan gizi buruk di Provinsi Jawa

(15)

Halaman

1 Penurunan fungsi log kemungkinan maksimum fungsi massa peluang

Poisson ...35

2 Matriks pembobot berdasarkan tetangga terdekat yang sudah

dinormalkan ...40

3 Hasil setiap iterasi penduga parameter SAR Poisson dengan metode

Newton-Raphson ...43

4 Diagram garis untuk setiap iterasi penduga parameter SAR Poisson ...44

5 Program pendugaan parameter regresi Poisson dan SAR Poisson dengan

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap warga masyarakat agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator meliputi indikator angka harapan hidup, angka kematian, angka kesakitan, dan status gizi masyarakat (Depkes 2009). Selain itu, indikator untuk menganalisis standar kesehatan suatu rumah tangga meliputi status gizi, status penyakit (kematian bayi dan anak, tingkat morbiditas yang berkaitan dengan penyakit tertentu seperti malaria, infeksi saluran pernafasan, diare, dan polio), ketersediaan pelayanan kesehatan, dan penggunaan pelayanan kesehatan tersebut oleh rumah tangga miskin dan tidak miskin (WBI 2002).

Hasil Riset kesehatan dasar 2010 menunjukkan 40.6% penduduk mengonsumsi makanan di bawah kebutuhan minimal yaitu kurang dari 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan kelompok umur ditemukan 24.4% Balita, 41.2% anak usia sekolah, 54.5% remaja, 40.2% dewasa, serta 44.2% ibu hamil mengonsumsi makanan di bawah kebutuhan minimal.

Status gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang atau tinggi badan. Indikator status gizi yang digunakan adalah: Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Untuk menilai status gizi balita digunakan Standar Antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau yang disebut dengan standar WHO 2005. Dalam Millenium Development Goals (MDGs), indikator status gizi yang dipakai adalah BB/U dan angka prevalensi status underweight (gizi kurang dan buruk) dijadikan dasar untuk menilai pencapaian MDGs.

(17)

langsung disebabkan oleh kurangnya asupan makanan dan penyakit infeksi, sedangkan secara tidak langsung disebabkan oleh ketersediaan pangan, sanitasi, pelayanan kesehatan, pola asuh, kamampuan daya beli keluarga, pendidikan, dan pengetahuan (DBGM 2008). Masalah gizi buruk membutuhkan penanganan yang tepat, karena konsekuensinya dapat menimbulkan penurunan kualitas sumberdaya manusia. Gizi buruk secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan tingkat kecerdasan anak, terhambatnya pertumbuhan, perkembangan anak, serta menurunkan produktivitas.

Angka penderita gizi buruk di Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 2010, jumlahnya mencapai 17.9%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar diperoleh bahwa tingkat prevalensi gizi buruk yang berada di atas rata-rata nasional (5.4%) ditemukan pada 21 provinsi dan 216 kabupaten/kota. Berdasarkan data Direktorat Bina Gizi Kementerian Kesehatan pada 2010 tercatat 43.616 anak balita gizi buruk. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2009 yang berjumlah 56.941 anak. Namun, angka penderita gizi buruk pada tahun 2010 masih lebih tinggi dibandingkan 2008 yang berjumlah 41.290 anak. Berdasarkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, beberapa provinsi tercatat memiliki jumlah penderita gizi buruk yang cukup tinggi. Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama dengan jumlah kasus sebanyak 14.720 dan tingkat prevalensi gizi buruk tertinggi sebesar 4.8% di Pulau Jawa (BPPK 2008).

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi telah banyak dilakukan antara lain, Hayati (2009) mengklasifikasikan status gizi berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk balita di Jawa Timur dengan menggunakan analisis diskriminan, Ernawati (2006) menjelaskan hubungan faktor sosial ekonomi, hygiene, sanitasi lingkungan, tingkat konsumsi, dan infeksi dengan status gizi anak usia 2-5 tahun di Kabupaten Semarang tahun 2003, Rizal (2008) mengemukakan bahwa ada hubungan antara pemanfaatan lahan pertanian, jarak fasilitas kesehatan pendidikan, dan pekerjaan orang tua balita dengan kasus gizi buruk dan gizi kurang di Kecamatan Mapat Tunggul Tahun 2007.

(18)

mengenai faktor-faktor kemiskinan di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan model model otoregresi simultan dan otoregresi bersyarat. Hasil penelitiannya diperoleh bahwa kedua model sama baiknya dalam menentukan faktor-faktor kemiskinan di Provinsi Jawa Timur.

Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh (Tobler dalam Anselin 1988). Adanya efek spasial merupakan hal yang lazim terjadi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Model yang dapat menjelaskan hubungan antara suatu wilayah dengan wilayah sekitarnya adalah model spasial. Penderita gizi buruk dari satu wilayah diduga dapat dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya dan menyebar Poisson. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan model

spatial autoregressive Poisson (SAR Poisson). Penggunaan model SAR Poisson diharapkan dapat menentukan faktor-faktor yang berpengaruh baik secara spasial maupun nonspasial terhadap banyaknya jumlah penderita gizi buruk, sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam program pengentasan kemiskinan.

Selain itu, pemberantasan kerawanan penderita gizi buruk merupakan masalah yang sangat penting di Indonesia, sehingga diperlukan penanganan yang tepat sasaran. Teknik Geoinformatika dapat digunakan untuk mengetahui daerah kritis (hotspot) yang sangat penting untuk menentukan upaya strategis dalam menangani masalah gizi buruk. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan metode

Scan statistic untuk mendeteksi wilayah hotspot kerawanan penderita gizi buruk.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara spasial dan nonspasial terhadap jumlah penderita gizi buruk dengan menggunakan model SAR Poisson di Provinsi Jawa Timur.

(19)
(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Pemilihan Peubah Gizi Buruk

Gizi buruk adalah keadaan kurang zat gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam waktu cukup lama yang ditandai dengan tidak sesuainya berat badan dengan umur (BPS 2008). Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah penderita gizi buruk di antaranya yaitu: faktor spasial dan nonspasial. Faktor spasial yang mempengaruhi jumlah penderita gizi buruk di lokasi tersebut adalah jumlah penderita gizi buruk pada tetangganya.

Adapun peubah penjelas atau faktor nonspasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh

Permukiman kumuh adalah wilayah permukiman dengan bangunan yang padat dan tidak layak huni, sanitasi lingkungan yang buruk, dan padat penduduk (BPS 2008). Ciri-ciri permukiman kumuh antara lain: banyak rumah yang tidak layak huni, banyak saluran pembuangan limbah yang macet, penduduk atau bangunan sangat padat, banyak penduduk yang buang air besar tidak di jamban, dan biasanya berada di areal marginal (di tepi sungai, pinggir rel kereta api, atau lainnya).

2. Jumlah keluarga yang anggotanya menjadi buruh tani

Buruh tani adalah seseorang yang bekerja di sektor pertanian pada satu atau lebih majikan atau institusi yang tidak tetap, dalam sebulan terakhir di usaha rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima upah atau imbalan berupa uang maupun barang, dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan (BPS 2008).

3. Luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan

(21)

sungai yang pengairannya berasal dari reklamasi rawa lebak (bukan pasang surut). Lahan rawa adalah lahan yang merupakan rembesan-rembesan rawa yang biasanya ditanami padi.

4. Jumlah sarana pendidikan tingkat SD dan SMP sederajat

Pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi tentang gizi masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi baru di bidang Gizi (Suharjo dalam Ernawati). Semakin banyak jumlah sarana pendidikan akan semakin mudah mengakses informasi yang diterima termasuk pendidikan dan informasi gizi.

5. Jumlah posyandu

Posyandu adalah salah satu wadah peran serta masyarakat yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan dasar (BPS 2008).

6. Jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dalam setahun terakhir Kartu Askeskin atau Kartu Peserta Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin adalah kartu yang menunjukkan bahwa keluarga tersebut menjadi peserta Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (BPS 2008). Dengan kartu tersebut seluruh anggota keluarga miskin berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis di fasilitas kesehatan pemerintah. Wujudnya bisa berupa kartu Askeskin yang diterbitkan oleh PT Askes atau kartu lain yang diterbitkan oleh Pemda setempat. Jumlah keluarga yang dicatat di sini adalah jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin baik yang sudah digunakan maupun belum. 7. Jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang memiliki pengetahuan atau keterampilan bidang kesehatan dan melakukan upaya kesehatan untuk masyarakat umum baik secara langsung maupun tidak langsung, meliputi dokter, dokter gigi, bidan, perawat, mantri kesehatan, dukun bayi, dan sebagainya (BPS 2008).

8. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas dasar Harga Berlaku

(22)

ukur yang relevan yang bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Salah satu alat ukur yang dianggap paling relevan adalah Statistik Pendapatan Regional yang berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Produk Domestik Regional Bruto adalah total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu biasanya dalam satu tahun. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita adalah PDRB dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal di wilayah itu.

Regresi Poisson

Regresi Poisson merupakan suatu fungsi regresi dengan peubah respon (Y) yang mempunyai sebaran peluang Poisson, misalkan peubah cacah Y menyatakan banyaknya kejadian yang terjadi dalam suatu periode waktu atau wilayah tertentu. Sebaran Poisson ditentukan oleh fungsi peluang (Fleiss et al. 2003):

, untuk (1)

Misalkan merupakan contoh acak dari sebaran peluang Poisson dengan rata-rata . Fungsi massa peluang dinyatakan sebagai berikut:

(2)

Misalkan merupakan komponen sistematik yang merupakan fungsi linear dari peubah penjelas X dan parameter yang tidak diketahui. dihubungkan dengan melalui fungsi penghubung dengan . Sehingga model regresi Poisson berganda dapat dituliskan sebagai berikut:

(3) dengan merupakan peubah penjelas ke-k pada pengamatan ke-i dan

(Cameron dan Trivedi 1998).

Matriks Pembobot Spasial

(23)

pembobot berukuran , dengan merupakan jumlah semua pengamatan. Matriks pembobot yang digunakan berdasarkan tetangga terdekat (Fotheringham dan Rogerson 2009), yang didefinisikan sebagai berikut:

Sebagai ilustrasi, Gambar 1 merupakan contoh konfigurasi lokasi yang berdekatan.

Gambar 1 Ilustrasi contoh konfigurasi lokasi yang berdekatan Matriks pembobot untuk wilayah pada Gambar 1 di atas adalah:

Baris pada matrik ketergantungan spasial menunjukkan hubungan spasial suatu daerah dengan daerah lain, sehingga jumlah nilai pada baris ke-i merupakan jumlah tetangga yang dimiliki oleh daerah i yang dinotasikan:

dengan merupakan jumlah pembobot seluruh baris ke-i dan nilai pembobot pada baris ke-i dan kolom ke-j. Untuk melihat pengaruh masing-masing tetangga terhadap suatu daerah dapat dihitung dari rasio antara nilai pada daerah tertentu

R1

R2

R3

(24)

dengan total nilai daerah tetangganya. Nilai pembobot ini menunjukkan kekuatan interaksi antar daerah tersebut. Nilai pembobotan ( ) sesuai persamaan berikut:

(

) =

nilai ini adalah elemen matriks yang sudah dinormalkan sehingga jumlah setiap baris sama dengan 1.

Model SAR (Spatial Autoregressive Model)

Bentuk persamaan model SAR (Fotheringham dan Rogerson 2009) dapat ditulis sebagai berikut:

, (4)

dengan merupakan koefisien spasial otoregresif, merupakan matriks pembobot spasial yang sudah dibakukan pada daerah ke-i dan tetangga ke-j, serta

galat acak yang bebas stokastik identik.

Jika model SAR ditulis dalam bentuk matriks sebagai berikut:

(5)

dengan merupakan matriks pembobot spasial dengan ukuran

merupakan vektor peubah respon berukuran , X merupakan matriks peubah penjelas berukuran , menyatakan vektor parameter yang akan diduga berukuran , dan adalah vektor galat model berukuran .

Bentuk reduksi SAR menjadi persamaan berikut:

(6)

dengan , merupakan matriks balikan A dan .

dapat dinyatakan sebagai dengan merupakan vektor

(25)

Model SAR Poisson

Penggunaan spasial pada model otoregresif untuk data cacah (Lambert et al.

2010) adalah:

(7)

dengan merupakan vektor baris pada daerah ke-i yang berukuran (1 x n). Pada model SAR Poisson, nilai harapan pada daerah atau lokasi ke-i merupakan fungsi dari daerah tetangganya atau lokasi ke-j. Selain itu model SAR Poisson juga digunakan untuk data pada peubah respon yang berbentuk cacahan (count data). Fungsi massa peluang dari model SAR Poisson adalah:

(8)

dengan .

Fungsi kemungkinannya adalah:

Fungsi log kemungkinannya adalah:

(9)

Pendugaan parameter dan menggunakan metode kemungkinan maksimum. Pendugaan fungsi log kemungkinan maksimum dapat dilihat secara lengkapnya pada Lampiran 1. Fungsi massa peluang dari sebaran Poisson adalah:

(10)

dengan , fungsi log kemungkinan maksimum adalah:

(26)

Untuk memperoleh penduga parameter dari dan maka fungsi log kemungkinan maksimum diturunkan terhadap parameternya. Turunan pertamanya adalah:

(12)

dan (13)

dengan

Turunan keduanya adalah:

dengan ,

(14)

(15)

(16)

Pendugaan parameter dan pada model SAR Poisson menggunakan iterasi dengan metode Newton-Raphson. Tahapan dari metode Newton-Raphson terdiri dari:

1. Menentukan , dengan , iterasi pada saat t = 0. 2. Membentuk vektor gradien , dengan t menyatakan

nomor iterasi.

(27)

4. Memasukkan nilai ke dalam elemen-elemen vektor dan matriks H sehingga diperoleh vektor dan .

5. Melakukan iterasi mulai dari t = 0 pada persamaan: , nilai merupakan sekumpulan penduga parameter yang konvergen pada iterasi ke-t.

6. Jika belum mencapai penduga parameter yang konvergen, maka pada langkah ke-2 dilakukan kembali sampai mencapai kekonvergenan. Kriteria konvergen diperoleh ketika akar ciri dari matriks informasi Fisher bernilai positif.

Untuk menguji signifikansi dari koefisien korelasi spasial ( ) dan digunakan uji Wald (Lambert et al. 2010). Pengujian hipotesis untuk adalah:

(tidak ada korelasi spasial) (ada korelasi spasial)

statistik akan mengikuti sebaran dengan derajat bebas 1. Kriteria keputusan yang diambil yaitu menolak , jika

Hipotesis untuk parameter koefisien (Fleiss et al. 2003) adalah :

Dengan statistik uji Wald :

statistik akan mengikuti sebaran dengan derajat bebas 1. Kriteria keputusan yang diambil yaitu menolak jika Galat baku diperoleh menggunakan matriks informasi Fisher (McCulloch dan Searle 2001),

(28)

ragam dari , sehingga galat baku = .

Setelah dilakukan penaksiran parameter dan uji signifikansi setiap penduga parameter, diperlukan ukuran koefisien determinasi yang dapat menggambarkan hubungan keeratan antara peubah respon dengan peubah penjelas. Koefisien determinasi atau R2 merupakan ukuran proporsi keragaman peubah respon yang dapat diterangkan oleh peubah penjelas. Terdapat beberapa R2 yang telah dikembangkan oleh (Cameron danWindmeijer 1995) yang didasarkan pada sisaan devians , koreksi terhadap menggunakan derajat bebas ), R2

Rumus untuk :

terkoreksi , dan berdasarkan jumlah kuadrat .

Rumus untuk :

Rumus untuk :

Rumus untuk

dengan adalah logaritma bilangan asli (ln) dari fungsi kemungkinan maksimum ketika semua parameter

tidak disertakan dalam model, adalah nilai pengamatan dari peubah respon; adalah logaritma bilangan asli dari fungsi kemungkinan maksimum ketika semua parameter disertakan dalam model, adalah nilai dugaan untuk pengamatan ke-i;

(29)

Hotspot

Hotspot didefinisikan sebagai lokasi atau wilayah tempat terjadinya suatu kejadian yang tidak biasa atau kejadian yang luar biasa, anomali, menyimpang, atau disebut juga daerah kritis (Patil dan Taillie 2004). Selain itu hotspot juga dapat diartikan sebagai lokasi atau wilayah yang konsisten memiliki tingkat tinggi untuk terjangkit suatu penyakit dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah sekelilingnya (Haran et al. 2006).

Wilayah hotspot sangat penting diketahui, untuk mengetahui wilayah yang memerlukan perhatian khusus dalam upaya untuk menangani masalah yang berkaitan dengan banyaknya jumlah penderita gizi buruk. Satscan adalah alat geoinformatika yang banyak digunakan untuk mendeteksi hotspot. Scan statistics

(Satscan) merupakan metode statistika yang dapat digunakan untuk mendeteksi

hotspot mengenai kejadian tertentu. Berdasarkan Kulldorff (1997), misalkan Y merupakan banyaknya seluruh kejadian dalam ruang G, dan Y(A) merupakan banyaknya kejadian A dengan A G. Jendela yang mengelilingi wilayah kajian menentukan suatu kumpulan dari wilayah Z G. Ada suatu wilayah Z G

sehingga

Jika dalam model, ada suatu wilayah Z G sehingga tiap individu dalam wilayah hotspot memiliki peluang kejadian p, sedangkan peluang untuk individu di luar wilayah hotspot adalah q. Hipotesis nolnya adalah , sedangkan hipotesis alternatifnya adalah Apabila diterima maka,

(30)

Peluang dari setiap wilayah yang diamati adalah:

=

Adapun fungsi kemungkinan maksimumnya adalah:

(17)

Sedangkan fungsi kemungkinan maksimum ketika hipotesis nol benar yaitu:

(18)

Untuk pembilang diambil supremum untuk semua p dan q untuk Z yang telah ditetapkan. Menurut Kulldorff (1997), fungsi kemungkinan pada persamaan (17) akan maksimum ketika dan , sehingga

(31)

Setelah memperoleh statistik uji , kemudian menghitung resiko relatif. Resiko relatif adalah peluang kejadian di suatu wilayah hotspot dibandingkan dengan wilayah di luar hotspot. Nilai resiko relatif dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: .

Untuk menentukan nilai statistik uji, diperlukan cara untuk menghitung nilai uji nisbah kemungkinan dengan memaksimumkan kumpulan wilayah (Z) pada hipotesis alternatif. Tahap-tahap pengujian hipotesis pada simulasi Monte Carlo adalah sebagai berikut:

1. Menghitung nilai statistik uji dari data yang digunakan.

2. Membangun data ketika kondisi hipotesis nol diterima sebanyak x kali, dengan x adalah bilangan acak yang cukup besar.

3. Menghitung nilai statistik uji untuk setiap replikasi.

(32)

DATA DAN METODE

Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari data Podes 2008 dan data BPS 2008 pada 38 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur. Berikut ini disajikan Peta Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur:

Gambar 2 Peta Administratif Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur Keterangan: kode wilayah 38 kabupaten/kota di Jawa Timur: 01. Pacitan 14. Pasuruan 27. Sampang 02. Ponorogo 15. Sidoarjo 28. Pamekasan 03. Trenggalek 16. Mojokerto 29. Sumenep 04. Tulungagung 17. Jombang 71. Kota Kediri 05. Blitar 18. Nganjuk 72. Kota Blitar 06. Kediri 19. Madiun 73. Kota Malang 07. Malang 20. Magetan 74. Kota Probolinggo 08. Lumajang 21. Ngawi 75. Kota Pasuruan 09. Jember 22. Bojonegoro 76. Kota Mojokerto 10. Banyuwangi 23. Tuban 77. Kota Madiun 11. Bondowoso 24. Lamongan 78. Kota Surabaya 12. Situbondo 25. Gresik 79. Kota Batu 13. Probolinggo 26. Bangkalan

(33)

yang mempengaruhi jumlah penderita gizi buruk yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh 2. Jumlah keluarga yang anggotanya menjadi buruh tani

3. Luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan 4. Jumlah sarana pendidikan tingkat SD dan SMP sederajat 5. Jumlah posyandu

6. Jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dalam setahun terakhir 7. Jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan

8. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas dasar Harga Berlaku

Metode Analisis

Tahapan analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Menentukan peubah penjelas

Menghitung korelasi antar peubah penjelas, kemudian dipilih peubah penjelas yang tidak multikolinearitas.

2. Menentukan matriks pembobot spasial .

3. Menduga parameter dengan metode Newton-Raphson. 4. Menguji signifikansi parameter dengan menggunakan uji Wald. 5. Menguji kebaikan model dengan menghitung koefisien determinansi

berdasarkan devians ( ), menggunakan yang terkoreksi derajat bebas ), R2

6. Menentukan wilayah hotspot menggunakan metode Scan statistic.

terkoreksi , dan berdasarkan jumlah kuadrat .

7. Menarik Kesimpulan

Analisis dilakukan dengan menggunakan software R.2.10.1 dan Satscan

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Data

Secara umum, wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur, sedangkan luas Kepulauan Madura hanya sekitar 10%. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur yang mencapai 46.428 km2

Penelitian ini menggunakan delapan faktor sebagai peubah penjelas yang mempengaruhi jumlah penderita gizi buruk sebagai peubah respon. Namun hanya digunakan lima peubah penjelas yang tidak saling multikolinearitas yaitu: jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan , jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dalam setahun terakhir , jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan , dan jumlah pendapatan domestik regional bruto per kapita ( . Hasil korelasi antar peubah penjelas dapat dilihat secara terperinci pada Tabel 1 .

terbagi menjadi 38 Kabupaten/Kota yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 9 Kota. Selain itu, Jawa Timur memiliki sistem transportasi darat, laut, dan udara, sehingga memudahkan hubugan antar satu daerah dengan daerah lainnya.

Tabel 1 Nilai korelasi antar peubah penjelas

(35)

Untuk melihat deskripsi dari setiap peubah digunakan diagram kotak garis

nilai peubah bebas dan peubah respon yang dibakukan

Gambar 3 Diagram kotak garis untuk peubah penjelas dan peubah respon yang dibakukan

Keterangan:

a: Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh b: Jumlah keluarga yang anggotanya menjadi buruh tani

c: Luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan d: Jumlah sarana pendidikan tingkat SD dan SMP sederajat e: Jumlah posyandu

f: Jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dalam setahun terakhir g: Jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan

h: Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas dasar Harga Berlaku i: Jumlah penderita gizi buruk pada tiap kota/kabupaten di Jawa Timur

(36)

mempunyai luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan paling luas dibandingkan dengan daerah lainnya. Sedangkan untuk peubah tidak memiliki pencilan.

Pencilan pada peubah terdapat pada Kabupaten Jember dan Kabupaten Malang yang memiliki jumlah posyandu terbanyak dibandingkan dengan daerah lainnya. Pencilan pada peubah terdapat pada Kota Jember yang memiliki jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin terbanyak dibandingkan dengan daerah lainnya. Pencilan pada peubah terdapat pada Kota Surabaya, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Jember yang memiliki jumlah tenaga kesehatan yang paling banyak dibandingkan dengan daerah lainnya. Pencilan pada peubah terdapat pada Kota Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kabupaten Sidoarjo yang memiliki jumlah PDRB per kapitanya lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Pencilan pada peubah y terdapat pada Kota Surabaya yang mempunyai jumlah penderita gizi buruk terbesar dibandingkan daerah lainnya.

Analisis Model Regresi Poisson

Analisis regresi dapat digunakan untuk melihat hubungan antara jumlah penderita gizi buruk dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Persentase rata-rata jumlah penderita gizi buruk di wilayah setiap Kabupaten/Kota di Jawa Timur sekitar 4.8%. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kejadian warga menderita gizi buruk di setiap Kabupaten/Kota di Jawa Timur merupakan kejadian yang jarang terjadi, sehingga kejadian warga menderita gizi buruk mengikuti kejadian Poisson. Meskipun kejadian warga menderita gizi buruk termasuk kejadian yang jarang, tetapi gizi buruk merupakan masalah yang memerlukan penanganan serius karena berakibat terhadap penurunan kualitas sumberdaya. Dalam upaya mengatasi banyaknya jumlah penderita gizi buruk, diperlukan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk. Salah satu model regresi yang dapat digunakan adalah model regresi Poisson.

(37)

tidak berpengairan jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dan jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan akan meningkatkan jumlah penderita gizi buruk. Sedangkan semakin meningkatnya jumlah produk domestik regional bruto per kapita dapat menurunkan jumlah penderita gizi buruk. Kemudian hasil penduga parameter dari regresi Poisson digunakan sebagai nilai awal untuk memperoleh penduga parameter pada model SAR Poisson.

Tabel 2 Nilai dugaan parameter model regresi Poisson Parameter Nilai dugaan Galat baku Nilai G

5.163 2.207 x 10-2 54734.942*

3.841 (pem. kumuh) 1.411 x 10-4 8.374 x 10-6 284.057*

1.730 x 10-6 7.055 x 10-7 6.012* (askeskin) 8.186 x 10-7 1.326 x 10-7 38.118* (kesehatan) 7.559 x 10-4 1.402 x 10-5 2905.965* (PDRB) -1.664 x 10-5 1.151 x 10-6 208.831* Keterangan: * nyata pada taraf alpha 5 %

Analisis Model SAR Poisson

Berdasarkan hukum Tobler bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh. Pada penelitian ini jumlah penderita gizi buruk dapat diasumsikan menyebar Poisson dan untuk melihat pengaruh spasial antar lokasi di setiap kabupaten/kota maka analisis yang digunakan adalah spasial otoregresif Poisson.

Pendugaan parameter koefisien model spasial otoregresif Poisson (SAR Poisson) dilakukan dengan menggunakan metode pendugaan kemungkinan maksimum. Model SAR Poisson termasuk model nonlinear dan bentuknya tidak

closed form, sehingga proses pendugaan parameter koefisien regresinya

(38)

Tabel 3 Nilai dugaan parameter model spasial otoregresif Poisson Parameter Nilai dugaan Galat baku Nilai G (spasial) 0.1 9.472 x 10-8 1.115 x 10 Keterangan: * : nyata pada taraf alpha 5%

TN: tidak nyata pada taraf alpha 5%

Analisis model SAR Poisson di Provinsi Jawa Timur dengan melibatkan seluruh wilayah administratif memperlihatkan bahwa jumlah penderita gizi buruk dipengaruhi oleh kedekatan wilayah dan beberapa peubah penjelas yang signifikan. Pada Tabel 3 menunjukkan uji signifikansi setiap penduga parameter menggunakan Uji Wald. Hasil uji Wald memperlihatkan bahwa nilai korelasi spasial signifikan. Hasilnya diperoleh nilai korelasi spasial = 0.1dengan nilai = 1.115 x 1012

Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin rendah jumlah pendapatan domestik regional bruto per kapita luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan , dan jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin akan meningkatkan jumlah penderita gizi buruk. Berbeda dengan peningkatan jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh serta semakin banyak jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan akan meningkatkan jumlah penderita gizi buruk. Selain itu, uji kebaikan model dapat dilihat dari besarnya R

, dan nilai . Hal ini menunjukkan korelasi spasial pada model nyata pada taraf α = 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jumlah penderita gizi buruk pada suatu wilayah atau lokasi yang berdekatan akan berpengaruh terhadap jumlah penderita gizi buruk pada lokasi di sekitarnya. Uji signifikansi untuk setiap penduga parameter diperoleh nilai . Hal ini menunjukkan bahwa yang dimasukkan dalam model adalah signifikan sedangkan untuk tidak signifikan.

2

(39)

, 50% berdasarkan R2 devians yang telah dikoreksi oleh derajat bebas dan 67% berdasarkan R2

Model SAR Poisson yang diperoleh dapat ditulis sebagai berikut: jumlah kuadrat ( .

dengan dan

Berdasarkan model yang diperoleh menunjukkan bahwa setiap penambahan satu orang dari jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh

akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar exp( = 1.0003 kali dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Artinya, setiap penambahan 10.000 orang jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh akan meningkatkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk sebanyak 10.003 orang dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Pada umumnya, penduduk yang tinggal di permukiman kumuh tidak terjamin kondisi sanitasi lingkungannya. Sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak lebih mudah terserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat mempengaruhi status gizi. Sehingga jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh diduga dapat meningkatkan jumlah penderita gizi buruk.

(40)

pertanian dapat meningkatkan cadangan makanan bagi masyarakat. Oleh karena itu, jika luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan semakin menurun diduga dapat mengurangi cadangan makanan bagi masyarakat, sehingga meningkatkan jumlah penderita gizi buruk.

Setiap penurunan satu jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dalam setahun terakhir akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar exp( ) = 1 kali dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Artinya, Setiap penurunan 10.000 jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin akan meningkatkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk sebanyak 10.000 orang dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Program Askeskin merupakan salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Pada pelaksanaannya masih banyak masyarakat miskin yang belum mendapatkan pelayanan yang optimal. Selain itu diduga bahwa kriteria warga yang mendapatkan Askeskin sudah dijelaskan oleh faktor lainnya terkait dengan faktor PDRB dan jumlah keluarga yang tinggal di permukiman kumuh. Sehingga faktor jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin tidak signifikan.

(41)

Setiap penurunan seribu rupiah jumlah pendapatan domestik regional bruto per kapita akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar exp( ) = 0.99997 kali dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Artinya, Setiap penurunan 10.000 jumlah pendapatan domestik regional bruto akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar 10 orang dengan asumsi bahwa faktor lainnya dalam model tetap. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang paling miskin di Indonesia. Masalah pokok penduduk miskin pada umumnya sangat tergantung pada pendapatan per hari yang biasanya tidak dapat mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan tubuh. Penduduk miskin cenderung tidak mempunyai cadangan pangan karena daya belinya rendah. Ketidakmampuan penduduk dalam memenuhi standar gizi dapat menimbulkan kondisi gizi buruk. Kondisi penurunan jumlah PDRB diduga dapat meningkatkan jumlah penderita gizi buruk.

Analisis Wilayah Hotspot

Berdasarkan hasil keluaran dari Satscan diperoleh empat kelompok wilayah

(42)

Gambar 4 Peta kelompok wilayah hotspot kerawanan gizi buruk di Provinsi Jawa Timur tahun 2008

Keterangan:

: wilayah hotspot 1 ( Bangkalan dan Kota Surabaya )

: wilayah hotspot 2 ( Magetan, Kota Madiun, Ngawi, Ponorogo, Madiun, Pacitan, Trenggalek, dan Nganjuk )

: wilayah hotspot 3 ( Probolinggo )

: wilayah hotspot 4 ( Bondowoso dan Situbondo )

Pada wilayah hotspot 1 atau dapat disebut juga most likely cluster

memiliki nilai uji nisbah log kemungkinan (LLR) terbesar yaitu 750.594. Nilai resiko relatif (RR) pada hotspot 1 sebesar 2.19 artinya peluang untuk kejadian warga menderita gizi buruk di Bangkalan dan Kota Surabaya sebesar 2.19 kali dari warga yang tinggal di luar wilayah hotspot 1. Urutan kedua dari LLR terbesar adalah hotspot 2 yaitu sebesar 415.707. Sedangkan untuk nilai resiko relatif (RR) sebesar 1.69, artinya peluang untuk kejadian warga menderita gizi buruk di Magetan, Kota Madiun, Ngawi, Ponorogo, Madiun, Pacitan, Trenggalek, dan Nganjuk 1.69 kali dari warga di luar wilayah hotspot 2.

Urutan ketiga dari LLR terbesar adalah hotspot 3 yaitu sebesar 105.960. Sedangkan nilai resiko relatif (RR) untuk hotspot 3 sebesar 1.73, artinya peluang untuk kejadian warga menderita gizi buruk di Probolinggo sebesar 1.73 kali dari

110 112 114 116 118

(43)

-warga di luar wilayah hotspot 3. Urutan keempat dari LLR terbesar adalah hotspot

4 yaitu sebesar 15.884 adalah Bondowoso dan Situbondo. Sedangkan nilai resiko relatif (RR) untuk hotspot 4 sebesar 1.23, artinya peluang untuk kejadian warga menderita gizi buruk di Bondowoso dan Situbondo sebesar 1.23 kali warga di luar wilayah hotspot 4. Apabila dilihat dari keempat nilai resiko relatif tiap kelompok wilayah hotspot Kabupaten Bangkalan dan Kota Surabaya memiliki peluang terbesar untuk warganya terkena gizi buruk dibandingkan dengan warga lainnya di luar wilayah tersebut. Informasi selengkapnya tentang nilai uji nisbah kemungkinan (LLR) dan resiko relatif dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kelompok wilayah hotspot kerawanan penderita gizi buruk pada Kelompok Wilayah

hotspot

Unit Nama kabupaten/kota Hotspot 1 2 Kabupaten Bangkalan, Kota Surabaya

Hotspot 2 8 Kabupaten Magetan, Kota Madiun, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Nganjuk Hotspot 3 1 Kabupaten Probolinggo

Hotspot 4 2 Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo

Tabel 4 Kelompok wilayah hotspot kerawanan penderita gizi buruk pada (lanjutan)

LLR Nilai-p RR

(44)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penderita gizi buruk di Provinsi Jawa Timur berdasarkan model spasial otoregresif Poisson adalah faktor spasial dan nonspasial. Faktor spasialnya yang mempengaruhi untuk lokasi tertentu adalah lokasi pada tetangganya. Sedangkan faktor nonspasial yang mempengaruhi jumlah penderita gizi buruk adalah jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh, luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan, jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan, dan jumlah pendapatan domestik regional bruto per kapita. Pemodelan jumlah penderita gizi buruk menggunakan SAR Poisson diperoleh R2

2. Berdasarkan metode Scan statistic diperoleh empat kelompok wilayah

hotspot. Tingkat kerawanan tertinggi adalah hotspot 1 terdiri dari Bangkalan dan Kota Surabaya dengan resiko relatif sebesar 2.19. Hotspot 2 terdiri dari Magetan, Kota Madiun, Ngawi, Ponorogo, Madiun, Pacitan, Trenggalek, dan Nganjuk dengan nilai resiko relatif sebesar 1.69. Daerah hotspot 3 adalah Probolinggo dengan resiko relatif sebesar 1.73. Hotspot 4 terdiri dari Bondowoso dan Situbondo dengan resiko relatif sebesar 1.23.

devians sebesar 57%.

Saran

(45)
(46)

DAFTAR PUSTAKA

Anselin L. 1988. Spatial Economics: Methods and Models. Dordrecht: Academic Publishers.

Arisanti, R. 2011. Model Regresi Spasial untuk Deteksi Faktor-Faktor Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur, Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[BPPK] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Laporan Hasil

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional. Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Pedoman Pencacah. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Cameron AC, Trivedi PK. 1998. Regression Analysis of Count Data. New York: Cambridge University.

Cameron AC, Windmeijer FAG. 1995. R-squared Measures for Count Data Regession Models with Applications to Health Care Utilization. Journal of Business and Economics Statistics (1995).

[DBGM] Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2008. Pedoman Respon Cepat

Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ernawati A. 2006. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Hygiene Sanitasi Lingkungan,Tingkat Konsumsi dan Infeksi dengan Status gizi Anak Usia 2-5 Tahun di Kabupaten Semarang Tahun 2003, Surabaya [tesis]. Surabaya: Program Pascasarjana, Institut Teknologi Surabaya.

Fleiss JL, Levin B, Paik MC. 2003. Statistical Methods for Rates and Proportions. Ed ke-3. USA: Columbia University.

Fotheringham AS, Rogerson PA. 2009. Handbook of Spatial analysis. London: Sage Publications Ltd.

Haran M, Molineros J, Patil, GP. 2006. Large Scale Plant Disease Forecasting: Case Study of Fusarium Head Blight. DGO 2006 Conference.

(47)

Kulldorff M. 1997. A Spatial Scan Statistic. Communications in statistics: Theory and Methods 26: 1481-1496. [link].

Lambert DM, Brown JP, Florax RJGM. 2010. A Two-Step Estimator for a Spatial Lag Model of Counts: Theory, Small Sample Performance and application. USA: Dept. of Agricultural Economics Purdue University.

Lee J, Wong DWS. 2001. Statistic for Spatial Data. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Kleinbaum DG, Kupper LL, Muller KE. 1988. Apllied Regression Analysis and Other Multivariable Methods. Boston: PWS-KENT Publishing Company. McCullagh P, Nelder JA. 1989. Generalized Linear Models. London::

Chapman&Hall.

McCulloch CE, Searle SR. 2001. Generalized Linear and Mixed Models. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Meilisa, M. 2011. Model Otoregresi Simultan dan Otoregresi Bersyarat untuk Analisis Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur, Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Patil GP, Taillie, C. 2004. Upper Level Set Scan Statistic for Detecting Arbitrarily Shaped Hotspots. Environmental and Ecological Statistics 11:183-197. Rizal, Y. 2008. Distribusi spasial kasus gizi buruk dan gizi kurang pada Balita di

Kecamatan Mapat Tunggul Kabupaten Pasaman tahun 2007, Yogyakarta [tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada.

(48)

Lampiran 1 Penurunan fungsi log kemungkinan maksimum fungsi massa peluang Poisson

Fungsi massa peluang dari model SAR Poisson adalah:

(1)

dengan .

Fungsi kemungkinannya adalah:

Fungsi log kemungkinannya adalah:

(2)

Pendugaan Parameter SAR Poisson

Pendugaan parameter dan menggunakan metode kemungkinan maksimum. Fungsi massa peluang dari sebaran Poisson adalah:

(3)

dengan ,

fungsi kemungkinan maksimumnya adalah:

(4)

(49)

Turunan pertamanya adalah:

=

(5)

dan

= (6)

dengan .

Turunan keduanya adalah:

(50)

(7) dengan ,

dan

=

=

=

m

=

(51)

(8) dan

=

(52)
(53)
(54)
(55)
(56)

Lampiran 3 Hasil setiap iterasi penduga parameter SAR Poisson dengan metode Newton-Raphson

Penduga parameter iterasi 0 iterasi 1 iterasi2

0.1 0.09999838 0.09999803 0.0001411 0.0002301904 0.0002702177 0.00000173 -0.000003866335 -0.000006114782 0.0000008186 0.0000002562037 -0.00000003016687 0.0007559 0.0005996124 0.0005683216 -0.00001664 -0.00002633955 -0.00003276933 Lampiran 3 Hasil setiap iterasi penduga parameter SAR Poisson dengan metode

Newton-Raphson (lanjutan)

iterasi3 iterasi4 iterasi5 iterasi6

0.09999802 0.09999802 0.09999802 0.09999802 0.000275705 0.0002757889 0.0002757889 0.0002757889 -0.000006373197 -0.00000637576 -0.00000637576 -0.00000637576 -0.0000000637043 -0.00000006390449 -0.00000006390447 -0.00000006390447 0.0005687695 0.0005688319 0.0005688319 0.0005688319 -0.00003395231 -0.00003397487 -0.00003397487 -0.00003397487 Lampiran 3 Hasil setiap iterasi penduga parameter SAR Poisson dengan metode

Newton-Raphson (lanjutan)

iterasi7 iterasi8 iterasi9 iterasi10

(57)
(58)
(59)

Lampiran 5 Program pendugaan parameter regresi Poisson dan SAR Poisson dengan metode Newton-Raphson

1. Program regresi Poisson

data<-read.table(file="D:/MY THESIS/DATA/data20.txt",header=TRUE)

d_sat=sum(dsat*log(dsat)-dsat) ## Menghitung ln L(y) d_0=sum(y*log(y_bar)-y_bar) ## Menghitung ln L(y bar)

d_b=sum(y*log(mu_topi)- mu_topi) ## Menghitung ln L(mu topi) bawah=d_sat-d_0 ## ln L(y) – ln L(y bar)

atas=d_sat-d_b ## ln L(y) – ln L(mu topi)

R2_DEV=1-atas/bawah ## Menghitung nilai R2 DEV

R2_DEVdb=1-(atas/(38-5-1))/(bawah/(38-1)) ## Menghitung nilai R2 DEV,db R2_adj=1-(atas+5/2)/bawah ## Menghitung nilai R2 DEV,adj

R2_DEV R2_DEVdb R2_adj

2. Program SAR Poisson #ITERASI 1#

n<-38 rho1<-0.1

(60)

library('MASS')

(61)

xb2<-X%*%b2

(62)

{

for (j in 1:n) {

D3[i,j]<-(ifelse (i==j, mu3[i,], 0)) }

D4[i,j]<-(ifelse (i==j, mu4[i,], 0)) }

}

p14<-t(X)%*%M4%*%(y-mu4)

(63)

(64)

H5<-rbind(h15,h25)

(65)

#ITERASI 7#

(66)

xb8<-X%*%b8

(67)

for (i in 1:n) {

for (j in 1:n) {

D9[i,j]<-(ifelse (i==j, mu9[i,], 0)) }

D10[i,j]<-(ifelse (i==j, mu10[i,], 0)) }

(68)

p110<-t(X)%*%M10%*%(y-mu10)

#iterasi11 untuk mencari mu_topi# A11<-I-b110[1]*W

#Mengeluarkan penduga parameter dan selisih setiap iterasi# pend<-cbind(b11,b12,b13,b14,b15,b16,b17,b18,b19,b110)

d_sat=sum(dsat*log(dsat)-dsat) ## Menghitung ln L(y) d_0=sum(y*log(y_bar)-y_bar) ## Menghitung ln L(y bar)

d_b=sum(y*log(mu_topi)- mu_topi) ## Menghitung ln L(mu topi) bawah=d_sat-d_0 ## ln L(y) – ln L(y bar)

atas=d_sat-d_b ## ln L(y) – ln L(mu topi)

(69)

R2_DEVdb=1-(atas/(38-5-1))/(bawah/(38-1)) ## Menghitung nilai R2 DEV,db R2_adj=1-(atas+5/2)/bawah ## Menghitung nilai R2 DEV,adj

R2_DEV R2_DEVdb R2_adj

#Menghitung R2 JK# h<-sum((y-mu11)^2) s<-sum((y-y_bar)^2) R2_JK<-1-(h/s) R2_JK

#Menghitung matriks informasi Fisher# IF<--H10

#Menghitung invers matriks informasi Fisher# IIF<-ginv(IF)

#Menghitung nilai eigen# ne<-eigen(IIF)$values

#Menghitung ragam (diperoleh dari diagonal matriks informasi Fisher)# ragam<-diag(IIF)

(70)

Model for Detecting Influential Factors on the Number of patients with Malnut rition in the Province of East Java. Supervised by MUHAMMAD

NUR AIDI and ANIK DJURAIDAH.

One indicator of poverty can be seen from the large of people with malnut rition. Genesis residents suffer from malnutrition in the Province of East Java is a rare occurrence, so the incidence of people suffering from malnutrition can be assumed to follow a Poisson distribution. Although the incidence of people suffering from malnut rition including a rare occurrence, but malnutrition is a serious problem that requires special handling because it has led to the decline in resource quality. For that use spatial autoregressive Poisson models to detect factors that influence the number of people with malnutrition. Based on the results of this study was obtained that the factors that influence the number of people with malnut rition are spatial and non-spatial. Spatial factor that predispose to a particular location is the location of the neighbors. This means that the number of people with malnutrition in a region or a nearby location will affect the number of malnourished people in the surrounding locations. While non-spatial factors that influence the number of people with malnut rition are the number of families residing in the slums, the area of land use structure is not enough irrigation, the number of health workers living in rural or village, and the number of per capita gross regional domestic product. The coefficient of determination for the SAR Poisson model was 0.57. Based on the scan statistic method obtained four clusters of hotspot areas.

(71)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap warga masyarakat agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator meliputi indikator angka harapan hidup, angka kematian, angka kesakitan, dan status gizi masyarakat (Depkes 2009). Selain itu, indikator untuk menganalisis standar kesehatan suatu rumah tangga meliputi status gizi, status penyakit (kematian bayi dan anak, tingkat morbiditas yang berkaitan dengan penyakit tertentu seperti malaria, infeksi saluran pernafasan, diare, dan polio), ketersediaan pelayanan kesehatan, dan penggunaan pelayanan kesehatan tersebut oleh rumah tangga miskin dan tidak miskin (WBI 2002).

Hasil Riset kesehatan dasar 2010 menunjukkan 40.6% penduduk mengonsumsi makanan di bawah kebutuhan minimal yaitu kurang dari 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan kelompok umur ditemukan 24.4% Balita, 41.2% anak usia sekolah, 54.5% remaja, 40.2% dewasa, serta 44.2% ibu hamil mengonsumsi makanan di bawah kebutuhan minimal.

Status gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang atau tinggi badan. Indikator status gizi yang digunakan adalah: Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Untuk menilai status gizi balita digunakan Standar Antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau yang disebut dengan standar WHO 2005. Dalam Millenium Development Goals (MDGs), indikator status gizi yang dipakai adalah BB/U dan angka prevalensi status underweight (gizi kurang dan buruk) dijadikan dasar untuk menilai pencapaian MDGs.

(72)

langsung disebabkan oleh kurangnya asupan makanan dan penyakit infeksi, sedangkan secara tidak langsung disebabkan oleh ketersediaan pangan, sanitasi, pelayanan kesehatan, pola asuh, kamampuan daya beli keluarga, pendidikan, dan pengetahuan (DBGM 2008). Masalah gizi buruk membutuhkan penanganan yang tepat, karena konsekuensinya dapat menimbulkan penurunan kualitas sumberdaya manusia. Gizi buruk secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan tingkat kecerdasan anak, terhambatnya pertumbuhan, perkembangan anak, serta menurunkan produktivitas.

Angka penderita gizi buruk di Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 2010, jumlahnya mencapai 17.9%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar diperoleh bahwa tingkat prevalensi gizi buruk yang berada di atas rata-rata nasional (5.4%) ditemukan pada 21 provinsi dan 216 kabupaten/kota. Berdasarkan data Direktorat Bina Gizi Kementerian Kesehatan pada 2010 tercatat 43.616 anak balita gizi buruk. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2009 yang berjumlah 56.941 anak. Namun, angka penderita gizi buruk pada tahun 2010 masih lebih tinggi dibandingkan 2008 yang berjumlah 41.290 anak. Berdasarkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, beberapa provinsi tercatat memiliki jumlah penderita gizi buruk yang cukup tinggi. Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama dengan jumlah kasus sebanyak 14.720 dan tingkat prevalensi gizi buruk tertinggi sebesar 4.8% di Pulau Jawa (BPPK 2008).

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi telah banyak dilakukan antara lain, Hayati (2009) mengklasifikasikan status gizi berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk balita di Jawa Timur dengan menggunakan analisis diskriminan, Ernawati (2006) menjelaskan hubungan faktor sosial ekonomi, hygiene, sanitasi lingkungan, tingkat konsumsi, dan infeksi dengan status gizi anak usia 2-5 tahun di Kabupaten Semarang tahun 2003, Rizal (2008) mengemukakan bahwa ada hubungan antara pemanfaatan lahan pertanian, jarak fasilitas kesehatan pendidikan, dan pekerjaan orang tua balita dengan kasus gizi buruk dan gizi kurang di Kecamatan Mapat Tunggul Tahun 2007.

(73)

mengenai faktor-faktor kemiskinan di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan model model otoregresi simultan dan otoregresi bersyarat. Hasil penelitiannya diperoleh bahwa kedua model sama baiknya dalam menentukan faktor-faktor kemiskinan di Provinsi Jawa Timur.

Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh (Tobler dalam Anselin 1988). Adanya efek spasial merupakan hal yang lazim terjadi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Model yang dapat menjelaskan hubungan antara suatu wilayah dengan wilayah sekitarnya adalah model spasial. Penderita gizi buruk dari satu wilayah diduga dapat dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya dan menyebar Poisson. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan model

spatial autoregressive Poisson (SAR Poisson). Penggunaan model SAR Poisson diharapkan dapat menentukan faktor-faktor yang berpengaruh baik secara spasial maupun nonspasial terhadap banyaknya jumlah penderita gizi buruk, sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam program pengentasan kemiskinan.

Selain itu, pemberantasan kerawanan penderita gizi buruk merupakan masalah yang sangat penting di Indonesia, sehingga diperlukan penanganan yang tepat sasaran. Teknik Geoinformatika dapat digunakan untuk mengetahui daerah kritis (hotspot) yang sangat penting untuk menentukan upaya strategis dalam menangani masalah gizi buruk. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan metode

Scan statistic untuk mendeteksi wilayah hotspot kerawanan penderita gizi buruk.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara spasial dan nonspasial terhadap jumlah penderita gizi buruk dengan menggunakan model SAR Poisson di Provinsi Jawa Timur.

(74)

TINJAUAN PUSTAKA

Pemilihan Peubah Gizi Buruk

Gizi buruk adalah keadaan kurang zat gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam waktu cukup lama yang ditandai dengan tidak sesuainya berat badan dengan umur (BPS 2008). Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah penderita gizi buruk di antaranya yaitu: faktor spasial dan nonspasial. Faktor spasial yang mempengaruhi jumlah penderita gizi buruk di lokasi tersebut adalah jumlah penderita gizi buruk pada tetangganya.

Adapun peubah penjelas atau faktor nonspasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh

Permukiman kumuh adalah wilayah permukiman dengan bangunan yang padat dan tidak layak huni, sanitasi lingkungan yang buruk, dan padat penduduk (BPS 2008). Ciri-ciri permukiman kumuh antara lain: banyak rumah yang tidak layak huni, banyak saluran pembuangan limbah yang macet, penduduk atau bangunan sangat padat, banyak penduduk yang buang air besar tidak di jamban, dan biasanya berada di areal marginal (di tepi sungai, pinggir rel kereta api, atau lainnya).

2. Jumlah keluarga yang anggotanya menjadi buruh tani

Buruh tani adalah seseorang yang bekerja di sektor pertanian pada satu atau lebih majikan atau institusi yang tidak tetap, dalam sebulan terakhir di usaha rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima upah atau imbalan berupa uang maupun barang, dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan (BPS 2008).

3. Luas struktur penggunaan lahan tidak berpengairan

(75)

sungai yang pengairannya berasal dari reklamasi rawa lebak (bukan pasang surut). Lahan rawa adalah lahan yang merupakan rembesan-rembesan rawa yang biasanya ditanami padi.

4. Jumlah sarana pendidikan tingkat SD dan SMP sederajat

Pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi tentang gizi masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi baru di bidang Gizi (Suharjo dalam Ernawati). Semakin banyak jumlah sarana pendidikan akan semakin mudah mengakses informasi yang diterima termasuk pendidikan dan informasi gizi.

5. Jumlah posyandu

Posyandu adalah salah satu wadah peran serta masyarakat yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan dasar (BPS 2008).

6. Jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin dalam setahun terakhir Kartu Askeskin atau Kartu Peserta Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin adalah kartu yang menunjukkan bahwa keluarga tersebut menjadi peserta Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (BPS 2008). Dengan kartu tersebut seluruh anggota keluarga miskin berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis di fasilitas kesehatan pemerintah. Wujudnya bisa berupa kartu Askeskin yang diterbitkan oleh PT Askes atau kartu lain yang diterbitkan oleh Pemda setempat. Jumlah keluarga yang dicatat di sini adalah jumlah keluarga yang menerima kartu Askeskin baik yang sudah digunakan maupun belum. 7. Jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang memiliki pengetahuan atau keterampilan bidang kesehatan dan melakukan upaya kesehatan untuk masyarakat umum baik secara langsung maupun tidak langsung, meliputi dokter, dokter gigi, bidan, perawat, mantri kesehatan, dukun bayi, dan sebagainya (BPS 2008).

8. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas dasar Harga Berlaku

(76)

ukur yang relevan yang bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Salah satu alat ukur yang dianggap paling relevan adalah Statistik Pendapatan Regional yang berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Produk Domestik Regional Bruto adalah total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu biasanya dalam satu tahun. ProdukDomestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita adalah PDRB dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal di wilayah itu.

Regresi Poisson

Regresi Poisson merupakan suatu fungsi regresi dengan peubah respon (Y) yang mempunyai sebaran peluang Poisson, misalkan peubah cacah Y menyatakan banyaknya kejadian yang terjadi dalam suatu periode waktu atau wilayah tertentu. Sebaran Poisson ditentukan oleh fungsi peluang (Fleiss et al. 2003):

, untuk (1)

Misalkan merupakan contoh acak dari sebaran peluang Poisson dengan rata-rata . Fungsi massa peluang dinyatakan sebagai berikut:

(2)

Misalkan merupakan komponen sistematik yang merupakan fungsi linear dari peubah penjelas X dan parameter yang tidak diketahui. dihubungkan dengan melalui fungsi penghubung dengan . Sehingga model regresi Poisson berganda dapat dituliskan sebagai berikut:

(3) dengan merupakan peubah penjelas ke-k pada pengamatan ke-i dan

(Cameron dan Trivedi 1998).

Matriks Pembobot Spasial

(77)

pembobot berukuran , dengan merupakan jumlah semua pengamatan. Matriks pembobot yang digunakan berdasarkan tetangga terdekat (Fotheringham dan Rogerson 2009), yang didefinisikan sebagai berikut:

Sebagai ilustrasi, Gambar 1 merupakan contoh konfigurasi lokasi yang berdekatan.

Gambar 1 Ilustrasi contoh konfigurasi lokasi yang berdekatan Matriks pembobot untuk wilayah pada Gambar 1 di atas adalah:

Baris pada matrik ketergantungan spasial menunjukkan hubungan spasial suatu daerah dengan daerah lain, sehingga jumlah nilai pada baris ke-i merupakan jumlah tetangga yang dimiliki oleh daerah i yang dinotasikan:

dengan merupakan jumlah pembobot seluruh baris ke-i dan nilai pembobot pada baris ke-i dan kolom ke-j. Untuk melihat pengaruh masing-masing tetangga terhadap suatu daerah dapat dihitung dari rasio antara nilai pada daerah tertentu

R1

R2

R3

Gambar

Gambar 1 Ilustrasi contoh konfigurasi lokasi yang berdekatan
Gambar 2  Peta Administratif Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur
Tabel 1 .
Gambar 3 Diagram kotak garis untuk peubah penjelas dan peubah   respon yang dibakukan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan sikap pencegahan kekambuhan hipertensi dari hasil penelitian terhadap 42 responden, didapatkan bahwa sebagian besar responden masuk pada kategori sikap cukup yaitu

Pohon Saga merupakan pohon yang memiliki banyak fungsi jika dimanfaatkan bagian dari pohon tersebut misalnya kayunya digunakan untuk bahan kayu bakar oleh ibu rumah tangga,

Monoetilen Glycol, dihasilkan dari reaksi etilen oksida dengan air, merupakan agen antibeku yang digunakan pada mesin-mesin, Juga digunakan untuk bahan baku

[r]

Oleh karenanya, Armstrong menambahkan bahwa Khomeini, termasuk H{asan al-Bannâ, dan Ali Syariati dianggap sama- sama membawa kaum Muslim ke modernitas dalam sebuah

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “KEABSAHAN AKTA HIBAH

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum terhadap retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme