• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saga merupakan pohon yang memiliki biji kecil berwarna merah dengan. Pohon Saga dapat hidup dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Saga merupakan pohon yang memiliki biji kecil berwarna merah dengan. Pohon Saga dapat hidup dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pohon Saga (Adenanthera pavonina Linn) 1. Habitat Pohon Saga

Saga merupakan pohon yang memiliki biji kecil berwarna merah dengan batang pohon yang tinggi, dan daun yang lebih kecil. Pohon Saga merupakan pohon yang memiliki banyak fungsi jika dimanfaatkan bagian dari pohon tersebut misalnya kayunya digunakan untuk bahan kayu bakar oleh ibu rumah tangga, daunnya digunakan sebagai bahan pupuk dan bijinya dapat dibuat menjadi bahan kerajinan tangan.

Pohon Saga dapat hidup dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan terkena sinar matahari secara langsung baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, yakni pada ketinggian 1 - 600 m di atas permukaan laut. Perawatan tanaman saga tidak terlalu sulit. Untuk mendapatkan tanaman yang tumbuh dengan baik dan sehat, media tanam atau lahan yang akan ditanami harus subur, gembur, dan drainase diatur dengan baik (Juniarti, dkk, 2009).

Tanaman saga mulai berbuah pada umur lima tahun dan berproduksi tiga kali setahun sampai berumur 25-30 tahun. Dari saat berbunga sampai polong buahnya tua diperlukan waktu kira-kira 3.5-4 bulan. Produksi biji kering per pohon per tahun 1-150 kilogram (Lukman, 1982)

2. Kulit Biji Saga

Pohon Saga merupakan tanaman yang termasuk famili kacang-kacangan (leguminoceae) yang berbentuk pohon. Tanaman menghasilkan biji merah yang

(2)

Kandungan yang bermanfaat pada biji saga dapat dimanfaatkan secara benar-benar dengan mengolahnya menjadi sebuah makanan sehingga biji Pohon Saga ini tidak terbuang-buang di lingkungan sekitar tempat dimana saga pohon ini tumbuh (Nio, dkk, 2009).

Senyawa antinutrisi yang dianalisa dalam kulit biji saga adalah antitripsin (metode Smith, dkk, 1980), antikhimotripsin (Kakade, dkk, 1970), dan saponin dengan metode spektrophotometri (Muchtadi, 1982). Daunnya majemuk, berbentuk bulat telur serta berukuran kecil-kecil. Daun Saga bersirip ganjil. Saga mempunyai buah polong berisi biji-biji yang berwarna merah dan licin. Kulit biji saga yang terdapat pada bagian luar sangat keras sehingga biji tersebut tahan terhadap kondisi lingkungan dalam masa sebagai bibit tanaman (peregenerasian).

Gambar 1. Biji dan kulit biji saga

Pigmen kulit biji saga melarut dalam pelarut lemak dan menghasilkan warna kuning muda. Sifat-sifat kelarutan pigmen kulit biji saga dalam pelarut lemak memperlihatkan kesamaan dengan sifat-sifat kelarutan pigmen klofofil dan karetonoid, sedangkan kelarutan dalam pelarut air menunjukkan kesamaan dengan sifat-sifat kelarutan pigmen antosianin dan antoxantin (Theresia, 1986).

(3)

3. Kimia Kulit Biji Saga

Biji saga pohon berbeda dengan biji saga manis baik dalam bentuknya maupun ukurannya. Biji saga pohon berbentuk segitiga tumpul berwarna merah tua polos. Garis tengah biji 5-6 mm, kedua sisinya berbentuk cembung dan berat satu butir biji kira-kira 0.267 g. Diduga biji saga pohon mengandung flavogloid, alkaloid, antitripsin, saponin, hemaglutinin dan faktor goitrogenik yang menyebabkan racun (Lukman, 1982).

Biji saga mengandung saponin pada kulit bijinya yang berwarna merah. Saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Sumber utama saponin adalah biji-bijian selain pada biji saga juga terdapat pada kedelai. Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Saponin merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah atau hemolisis pada darah. Saponin bersifat racun bagi hewan berdarah dingin dan diantaranya digunakan sebagai racun ikan. Saponin yang bersifat keras atau racun biasa disebut Sapotoksin (Muehtrrdiu, dkk, 2002).

Saponin adalah suatu glikosida yang mungkin ada pada banyak tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu dan dipengaruhi oleh varietas tanaman serta tahap pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui, mungkin sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan. Kemungkinan lain adalah sebagai pelindung terhadap serangan serangga. Dua

(4)

jenis saponin yang dikenal yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid (Robinson, 1995).

Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Saponin yang terdapat dalam simplisia mengandung turunan terpena dan sebagian kecil steroid. Beberapa saponin bersifat asam, karena kehadiran gugus karboksil pada aglikon dan atau gugus gula (Harborne, 1996).

Hemaglutinin terutama terdapat dalam kacang-kacangan dan kacang polong famili legumeninose dan euphorbiaceae. Zat aktif ini berupa protein yang akan menggumpalkan dan hemolisis butir darah. Wujud toksiknya juga berupa adanya hambatan terhadap aneka ragam enzim protease (Lukman, 1982).

4. Keawetan Biji Saga

Biji tersusun oleh adanya kulit, kotiledon, dan hipokotil. Kulit merupakan bagian yang lebih besar yaitu sebesar 52,13% dengan kisaran 51,8-52,5%, sedangkan kotiledon dan hipokotil sebesar 47,87% dengan kisaran 46,2–48,91%. Tanda-tanda tua biji saga adalah adanya polong pecah dan terbelah dan tangkupan kulit polong membentuk susunan spiral, biji sangat keras, kulit biji berwarna merah cemerlang, serta keping biji berwarna kuning kecoklatan (Theresia, 1986).

Kandungan ekstraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu. Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstraksi biasanya membutuhkan serangkaian ekstraksi yang biasanya memberikan ciri awal komposisinya. Variasi

(5)

komposisi ini dapat sangat besar bahkan di dalam kayu satu genus (Fengel dan Wegener, 1995).

Ekstraktif-ekstraktif menempati tempat-tempat morfologi tertentu dalam struktur kayu. Sebagai contoh asam–asam resin terdapat dalam saluran resin, sedangkan lemak dan lilin terdapat dalam sel parenkim jari-jari. Ekstraktif– ekstraktif fenol terdapat terutama dalam kayu teras dan dalam kulit (Sjớstrớm, 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara air, metanol, etanol, dan propanol yang mampu melarutkan zat warna yang paling banyak adalah metanol. Kemampuan pelarutan dari masing-masing pelarut secara berurutan adalah metanol > air > etanol > propanol (Rahmana, dkk, 2010).

Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan atau jaringan tanaman. Menurut Markham (1975), proses awal ekstraksi komponen-komponen aktif dari suatu jaringan tanaman adalah dengan menghaluskan jaringan tanaman tersebut. Hal ini bertujuan untuk memperbesar peluang terlarutnya komponen-komponen metabolit yang diinginkan. Tetapi sebelum diekstraksi, jaringan tanaman dikeringkan untuk mempertahankan kandungan metabolit dalam tanaman yang telah dipotong sehingga proses metabolism terhenti (Mursito, 2002).

Terdapat berbagai macam metode ekstraksi seperti maserasi, refluks dan sokletasi. Metode ekstraksi yang digunakan untuk proses ekstraksi dalam penelitian ini adalah maserasi. Prinsip dari metode ini adalah proses difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang ada

(6)

dalam tanaman tersebut. Biasanya maserasi digunakan untuk mengekstrak senyawa yang kurang tahan panas, dan digunakan untuk sampel yang belum diketahui karakteristik senyawanya sedangkan kelemahan metode ini adalah waktu ekstraksi yang relatif lama (Yulanda, 2007).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstraksi atau penyarian merupakan proses perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel setelah mengalami pembasahan oleh cairan penyari, zat aktif yang terlarut pada cairan penyari akan keluar dari dinding sel. Metode ekstraksi maserasi merupakan cara penyarian sederhana, yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam ronga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar (Kartikasari, 2008).

Campuran bahan padat maupun cair (biasanya bahan alami) seringkali tidak dapat atau sulit dipisahkan dengan metode pemisah mekanik, misalnya karena komponennya bercampur secara homogen. Campuran bahan yang tidak dapat atau sukar dipisahkan dengan metode pemisahan mekanik adalah dengan metode ekstraksi (Tohir, 2010).

Proses pemisahan ekstraksi cair-cair menggunakan pelarut n-heksana. Pada saat pencampuran antara ekstrak pekat dengan n-heksana terjadi perpindahan massa yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertama (media pembawa) dan masuk kedalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini,

(7)

bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut atau bercampur agar terjadi perpindahan massa yang baik. Penambahan pelarut n-heksana yang baik adalah yang mana ekstrak yang dihasilkan sebanding dengan pelarut n-heksana (Bernasconi, 1995).

Biji saga yang diekstrak dengan air atau aseton dapat bersifat sebagai racun perut bagi serangga, sedangkan tepung bijinya yang diaplikasikan pada tepung terigu dengan konsentrasi 5% mampu mengendalikan hama gudang Sitophilus sp. selama tiga bulan (Iskandar dan Kardinan 1995).

Uji toksisitas dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu uji toksisitas tidak khas dan uji toksisitas khas. Uji toksisitas tidak khas adalah uji yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa. Uji toksisitas khas adalah uji yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa. Kematian merupakan salah satu diantara beberapa kriteria toksisitas. Salah satu caranya dengan menggunakan senyawa dosis maksimal, kemudian kematian hewan percobaan dicatat. Angka kematian hewan percobaan dihitung sebagai harga median lethal dose (LD50) atau median lethal concentration (LC50) (Donatus, 1990).

Biotermitisida Alamiah

Pestisida alami adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman atau tumbuhan. Pestisida nabati bisa dibuat secara sederhana yaitu dengan menggunakan hasil perasan, ekstrak, rendaman atau rebusan bagian tanaman baik berupa daun, batang, akar, umbi, biji ataupun buah misalnya ekstrak kulit kayu Accacia auricoliformis A (Yanti, dkk, 2008), ekstrak daun mimba (Priadi, 2007),

(8)

ekstrak antiaris (Prianto, dkk, 2006) dan lain-lain. Biotermitisida sangat diperlukan dalam pengendalian hama rayap sesuai dengan dosis yang dianjurkan.

Penolakan serangga atau binatang untuk memakan tumbuhan tersebut dapat disebabkan karena tumbuhan memiliki kandungan senyawa kimia yang sifatnya

sebagai allomone, yakni memberi efek negatif terhadap perkembangan serangga.

Senyawa-senyawa kima tersebut dikenal dengan istilah metabolit sekunder, yang

bersifat sebagai senyawa bioaktif. Senyawa bioaktif yang terkandung tersebut

diduga memiliki peranan yang sangat besar dalam meningkatkan sifat anti rayap dalam mematikan rayap. Senyawa-senyawa bioaktif tersebut juga dapat merusak sistem saraf rayap menyebabkan sistem saraf tidak berfungsi dan pada akhirnya dapat mematikan rayap (Nasir dan lasmini, 2008).

Menurut Sastrodihardjo (1999), pengaruh zat ekstraktif terhadap kematian rayap dan serangga lainnya adalah sebagai penghambat sintesis protein, khususnya dari kelompok tanin, stilbena, alkaloid dan resin sedangkan kelompok terpenoid dapat merusak fungsi sel rayap yang pada akhirnya menghambat proses ganti kulit rayap.

Pada sisi lain, faktor-faktor perusak harus dilihat sebagai komponen yang muncul sebagai hasil interaksi antara kayu dengan lingkungan penggunaannya, baik lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik. Lingkungan biotik dapat mempengaruhi ketahanan kayu karena organisme perusak berinteraksi dengan kayu dalam bentuk menjadikannya sebagai bahan makanan atau tempat perlindungan. Sedangkan lingkungan abiotik mampu mempengaruhi ketahanan kayu karena adanya interaksi fisik, mekanis maupun kimia yang dapat merombak atau merubah komposisi kimia dan bentuk kayu (Utami, 2010).

(9)

Rayap Tanah

1. Rayap sebagai Perusak Kayu

Rayap selalu hidup dalam satu kelompok yang disebut koloni dengan pola hidup sosial. Seketurunan rayap selalu hidup dalam kelompok yang disebut koloni. Satu koloni terbentuk dari sepasang laron (alates) betina dan jantan yang melakukan kopulasi dan mampu memperoleh habitat yang cocok yaitu bahan berselulosa untuk membentuk sarang utama. Koloni rayap dapat juga terbentuk dari fragmen koloni yang terpisah dari koloni utama karena sesuatu bencana yang menimpa koloni utama itu. Individu betina pertama yang disebut ratu meletakkan beribu-ribu telur yang kemudian menetas dan berkembang menjadi individu-individu yang polimorfis, subkelompok yang berbeda bentuk yaitu kasta pekerja, kasta prajurit dan neoten, di samping itu terdapat juga individu-individu muda (pradewasa) yang biasa disebut nimfa atau larva (Prianto, dkk, 2006).

Dalam hidupnya rayap mempunyai beberapa sifat yang penting untuk diperhatikan yaitu:

1. Sifat Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan pertukaran bahan makanan.

2. Sifat Cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana mereka selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya (terang).

3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan.

(10)

4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya. Setiap koloni rayap terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya masing-masing diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif (reprodukif primer dan reproduktif suplementer) (Tambunan dan Nandika, 1989; Tarumingkeng, 2004).

Menurut Nandika, dkk, (2003), rayap merusak bangunan tanpa memperdulikan kepentingan manusia. Rayap mampu merusak bangunan gedung, bahkan juga menyerang dan merusak buku-buku, kabel listrik dan telepon, serta barang-barang yang disimpan. Rayap untuk mencapai sasaran dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa sentimeter (cm), menghancurkan plastik, kabel penghalang fisik lainnya. Apapun bentuk konstruksi bangunan gedung (slab, basement atau cawal space) rayap dapat menembus lubang terbuka atau celah pada slab, disekitar celah kayu atau pipa ledeng, celah antara pondasi dan tembok maupun pada atap kuda-kuda.

Di Indonesia rayap tegolong kedalam kelompok serangga perusak kayu (Tarumingkeng, 2000). Kerusakan akibat serangan rayap tidak kecil. Binatang kecil yang tergolong kedalam binatang sosial ini, mampu menghancurkan bangunan yang berukuran besar dan menyebabkan kerugian yang besar pula. Serangan rayap tanah ini dapat ditandai dengan adanya :

1. Tanda awal adalah pemunculan swarmer atau sayap yang tersebar dalam jumlah banyak.

2. Adanya liang kembara (shelter tube) yang dibangun rayap di atas pondasi dinding, dalam celah antara sejumlah struktur atau pada kayu yang terserang.

(11)

3. Kerusakan dalam kayu (internal damage) kadang dideteksi dengan alat tajam atau dipukul permukaan untuk mendeteksi perbedaan suara (bergema) (Kadarsah, 2005).

2. Rayap Tanah (Coptotermes sp)

Rayap Coptotermes curvignathus merupakan rayap perusak yang menimbulkan tingkat serangan yang paling ganas. Telur rayap Coptotermes curvignathus menetas setelah berumur 8-11 hari, namun beberapa rayap jenis lain memiliki kisaran masa penetasan telur antara 20-70 hari. Rayap mampu menyerang hingga ke lantai atas suatu banguanan bertingkat. Rayap ini akan masuk ke dalam kayu sampai bagian tengah yang memanjang searah dengan serat kayu melalui lubang kecil yang ada di permukaan kayu. Ada perilaku unik yang dilakukan rayap ini ketika menyerang kayu yaitu bagian luar kayu yang diserang tidak rusak (Prasetiyo dan Yusuf 2005).

Rayap tanah memiliki pola hidup yaitu umum terdapat di daerah tropis, khususnya tropical rain forest sebagai pengurai, dan daerah kering. Koloni ditemukan pada kayu yang terkubur dalam tanah, tetapi kebanyakan spesies juga membangun sarang di pohon atau di atas tiang kayu. Sarang dibangun di atas tanah yang dihubungkan ke sarang utama di dalam tanah dengan saluran pelindung (shelter tube) yang melindungi dari proses pengeringan (Hunt and Garrat, 1986 dalam Tambunan dan Nandika,1989).

Ciri-ciri rayap Coptotermes sp adalah kepala berwarna kuning, antena, lambrum, dan pronotum kuning pucat. Bentuk kepala bulat ukuran panjang sedikit lebih besar daripada lebarnya, memiliki fontanel yang lebar. Antena terdiri

(12)

dari 15 segmen, segmen kedua dan segmen keempat sama panjangnya. Capit berbentuk seperti arit dan melengkung diujungnya. Batas antara sebelah dalam dari capit kanan sama sekali rata. Panjang kepala dengan capit 2.46-2.66 mm, panjang kepala tanpa capit 1.56-1.68 mm. lebar kepala 1.40-1.44 mm dengan lebar pronotum 1.00-1.03 mm dan panjangnya 0.56 mm. panjang badan 5.5-6 mm. bagian perut belakang ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Perut abdomen berwarna putih kekuning-kuningan (Nandika, dkk, 2003).

Nandika dan Husaeni (1991), menyatakan bahwa kasta pekerja rayap jenis Coptotermes curvignathus yang mewarna putih pucat mampu membentuk saluran-saluran yang ditutupi oleh tanah yang melekat pada tembok maupun kayu. Disamping sebagai tempat perlindungan dari predator dan sinar matahari juga tanah tersebut berfungsi untuk mempertahankan kelembaban dan suhu sehingga keadaan seperti habitat aslinya yang jauh di dalam tanah dapat tetap terkendali. Pada kepala kasta prajurit yang berbentuk oval dan berwarna kuning terdapat fontanel yang dapat mengeluarkan aksudat seperti susu yang berguna untuk melumpuhkan musuhnya.

Gambar

Gambar 1. Biji dan kulit biji saga

Referensi

Dokumen terkait

Padang: Program pendidikan profesi konselor Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan dan Universitas Muria Kudus.. Purnamasari, Lilis

kendaraan meningkat maka kemampuan pengereman CBS ditambah rem cakram (modifikasi) semakin baik dibandingkan dengan rem terpisah dan masih menggunakan rem

Adapun panas yang dihasilkan dari Gas Buang Pembakaran Ketel uap sebesar 250 ˚C – 300 ˚C, dimana gas buang yang berasal d ari Ketel Uap tersebut dialirkan ke alat

[r]

Meskipun terdapat perbedaan rataan tersebut namun bila ditinjau dari kriteria sifat kimia tanah yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanah Bogor (2005), masing-masing

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sabar yang signifikan pada tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.. Maka, dapat disimpulkan bahwa

Dengan nama Allah aku ucapkan ke atas diriku, ke atas agamaku, ahli keluargaku, anakanakku, hartaku, sahabat-sahabatku, agama mereka dan ke atas harta benda mereka seribu "la haula

Oleh karena itu diharapkan pada pihak sekolah untuk memberikan kesempatan bagi para guru PAUD untuk mengikuti pelatihan tentang bagaimana mengembangkan RPPH berbasis