• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Desa Batuah memiliki luas keseluruhan 84,7 km2 yang terdiri dari tanah datar dan perbukitan dengan ketinggian rata-rata 500 m diatas permukaan laut. Secara administrasi, wilayah sebelah Utara Desa Batuah berbatasan dengan Desa Purwajaya dan Desa Tani Bakti, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Karya Merdeka Kecamatan Samboja, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tani Harapan dan Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Muara Jawa dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Loa Duri Ilir.

Berdasarkan fungsi penggunaan lahan, Desa Batuah dipergunakan dan diperuntukkan untuk pengembangan pertanian dengan luasan 60 % dari luasan desa. Peruntukan lahan secara rinci ditampilkan pada tabel 1.

Tabel 1 . Potensi Pertanian Desa Batuah

No Komoditas Luas (Ha) Persentase (%)

1 Perkebunan Lada 3.851,97 14,99

2 Perkebunan Sawit 834,00 3,25

3 Perkebunan Karet 66,00 0,25

4 Perkebunan Hortikultura 600,00 2,34

5 Sawah 100,00 0,39

6 Peternakan Ayam Ras 200,00 0,78

7 Peternakan Sapi 7,90 0,03

8 Sayur 25,00 0,10

9 Perikan Air Tawar 3,00 0,01

10 Lain-lain 166,31 0,65

11 Belum dikelola 19.837,80 77,21

Jumlah 25,691,98 100,00

Sumber : Monografi Desa Batuah 2009

Jumlah penduduk Desa Batuah yang tercatat hingga tahun 2009 adalah 8338 jiwa, terdiri atas laki-laki sebanyak 4224 orang dan perempuan sebanyak 4114 orang, dengan jumlah KK 2466. Sementara itu jumlah penduduk menurut golongan usia di Desa Batuan dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu usia kurang dari 5 tahun, usia 16 – 60 tahun, dan usia 60 keatas (Tabel 2). Berdasarkan tingkat pendidikannya, pada umumnya Masyarakat Desa Batuah hanya

mengenyam pendidikan SD atau sederajat. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2 . Komposisi Penduduk Desa Batuah menurut Golongan Usia

No Usia Jumlah Persentase (%)

1 < 5 tahun 1231 14,76

2 16 – 60 tahun 6550 78,56

3 > 60 tahun 557 6,68

Jumlah 8338 100,00

Sumber : Monografi Desa Batuah 2009

Tabel 3 . Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Batuah

No Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SD 3487 41,82 2 SLTP 1533 18,39 3 SLTA 980 11,75 4 Sarjana 225 2,70 5 Tidak tamat SD 2113 25,34 Jumlah 8338 100,00

Sumber : Monografi Desa Batuah 2009

Sebagian besar penduduk Desa Batuah bermata pencarian sebagai petani. Selain petani ada juga yang menjadi pegawai swasta, pegawai negeri/honorer, PTT, wiraswasta/pedagang, TNI/Polri, dan jasa medis (Tabel 4).

Tabel 4 . Mata Pencarian Pokok Penduduk Desa Batuah

No Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

1 Petani 2388 62,01 2 Pegawai swasta 338 8,78 3 PNS/Honorer 150 3,90 4 PTT 102 2,65 5 Wiraswasta /Pedagang 837 21,73 6 TNI/Polri 15 0,39 7 Jasa medis 21 0,54 Jumlah 3851 100,00

Sumber : Monografi Desa Batuah 2009

4.2. Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus BDK Secara geografis kawasan Hutan Balai Diklat Kehutanan (BDK) Samarinda terletak antara 00°40’00” - 00°47’00” (Lintang Selatan) dan 116°7’00” - 117°01’00 (Bujur Timur), berada di sebelah Barat jalan poros

Samarinda-Balikpapan. Secara administrasi, terletak dalam wilayah Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara sistem pengelolaan KHDTK Balai Pendidikan Kehutanan bersifat menyeluruh dan terpadu guna meningkatkan peran kawasan dan sumberdaya alam hayati bagi peningkatan kualitas lingkungan. Pengelolaan kawasan hutan tersebut adalah untuk mendukung pengembangan sumberdaya manusia kehutanan dalam rangka membangun hutan secara lestari. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 8815/Kpts-II/2002, Balai Diklat Kehutanan Samarinda telah memiliki Hutan Diklat seluas 4.310 hektar.

KHDTK BDK ini telah dilengkapi dengan sarana bangunan sebagai fasilitas pelatihan baik berupa asrama, ruang kelas dan sarana bangunan pendukung lainnya. Sarana ini dibangun di lahan seluas 1 hektar terletak pada batas hutan paling timur di tepi Sungai Miak. KHDTK BDK dapat dicapai melalui jalan poros Samarinda – Balikpapan, yaitu masuk dari Km 47 dan Km 39. Melalui Km 47 ke lokasi harus menempuh jarak + 4 km sampai batas hutan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 3 km sampai di Kampus Sungai Miak (KSM). Sedangkan dari Km 39 melewati jalan kampung sepanjang + 11 km sampai di KSM. Jenis-jenis pohon yang ada di KHDTK BDK hanya di dominasi oleh Jenis-jenis-Jenis-jenis Terap (Arthocarpus sp), Jabon (Arthocepalus cadamba), Jambu-jambuan (Syzgium sp), Simpur (Dillenia sp) serta Ulin (Eusideroxylon zwageri). Sedangkan jenis pohon yang masih ditemukan tapi tidak terlalu berapa adalah Benuang (Duabanga

molucana), Keruing (Dipterocarpus sp), Meranti (Shorea sp) dan Kapur

(Dryobalanops sp).

Pada saat ini, penyebaran lahan yang digarap masyarakat di dalam KHDTK BDK sudah hampir merata di seluruh kawasan. Lahan yang sampai saat ini masih digarap luasnya sangat bervariasi, mulai dari 2 hektar hingga 22 hektar. Para peladang umumnya menanam lada, palawija, buah-buahan serta beberapa jenis pohon komersil seperti Jati dan Sengon. Sedangkan areal yang hanya ditumbuhi alang-alang dan perdu adalah lahan garapan masyarakat yang telah ditinggalkan selama 1 sampai 5 tahun tanpa ditanami pohon atau buah-buahan. Lahan seperti ini banyak ditemui dengan areal yang sangat luas membentang di sepanjang Sungai Loa Haur, Sungai Miak, Sungai Sepiak, Sungai Bentuhung dan Sungai

Betung serta di sepanjang jalan hutan yang ada di perbatasan kawasan Hutan Diklat sisi timur.

Sebagai bagian dari pembangunan kehutanan, pengembangan potensi sosial-ekonomi kawasan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, dilaksanakan dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi distribusi potensi kawasan. Potensi kawasan mencakup hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan (potensi rekreasi atau ekowisata) yang memungkinkan pemanfaatannya secara lestari serta pengembangan usaha-usaha ekonomi masyarakat melalui budidaya (Social Forestry) ataupun aktifitas perekonomian lainnya. Kegiatan ini dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan dan pengetahuan aparat kehutanan dalam pemberdayaan masyarakat serta sebagai laboratorium pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat.

Pengembangan partisipasi masyarakat dan kolaborasi para pihak merupakan kunci bagi keberhasilan dalam pengelolaan KHDTK BDK ke depan. Upaya ini dilakukan dengan mengikut sertakan para pihak terkait secara aktif, melalui pengelolaan hutan kolaboratif dengan kelompok tani yang ada (Social Forestry) dalam proses penyusunan perencanaan pengelolaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi implementasi rencana. Selain itu, dapat juga dilakukan manajemen kolaboratif dengan perusahaan-perusahaan tambang di sekitar kawasan selama tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Maka untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan di KHDTK BDK perlu dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi yang berasal dari faktor internal dan eksternal masyarakat yang mempengaruhinya.

4.3. Hubungan antara Faktor Internal dan Faktor Eksternal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat

Hubungan antara faktor internal dan eksternal responden dengan tingkat pemberdayaan masyarakat memberikan gambaran tentang bagaimana peranan tiap-tiap faktor terhadap tingkat pemberdayaan masyarakat. Dalam melihat hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan tingkat pemberdayaan masyarakat dalam rangka rehabilitasi hutan Tahura Bukit Soeharto di Dusun Tanijaya pada

setiap tahapan kegiatan perencanaan dan pelaksanaan digunakan uji korelasi Rank

Spearman.

4.3.1. Hubungan Faktor Internal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat

Karakteristik internal yang disajikan dalam penelitian ini adalah umur responden, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, penetuan jenis tanaman, jumlah tenaga kerja, luas lahan garapan, kedekatan dengan BDK, tingkat pendapatan, pengetahuan mengenai rehabilitasi pola agroforestri, kekosmopolitan, pekerjaan sampingan, persepsi, motivasi intrinsik, dan motivasi ekstrinsik. Hasil penelitian menunjukkan nilai yang berbeda dari setiap faktor internal dalam kaitannya dengan tingkat pemberdayaan masyarakat, sebagaimana disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Koefisien Korelasi antar Faktor Internal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam rangka Rehabilitasi Hutan TAHURA Bukit Soeharto

Partisipasi Masyarakat No Faktor Intenal Perencanaan

(Y1)

Pelaksanaan (Y2)

1 Umur responden 0,000 -0,010

2 Tingkat pendidikan -0,082 -0,247*

3 Jumlah anggota keluarga 0,187 0,062 4 Penentuan jenis tanaman 0,060 -0,032

5 Jumlah tenaga kerja 0,116 0,055

6 Luas lahan garapan 0,241* 0,190

7 Kedekatan dengan BDK -0,264* -0,278*

8 Tingkat pendapatan 0,361** 0,272*

9 Pengetahuan mengenai rehabilitasi pola agroforestri 0,200 0,132

10 Kesmopolitan 0,041 0,072

11 Pekerjaan sampingan -0,007 -0,096

12 Persepsi tentang kegiatan rehabilitasi 0,118 -0,105

13 Motivasi intrinsik 0,248* 0,239*

14 Motivasi ekstrinsik -0,309** -0,304*

Keterangan :

** Berpengaruh nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05 Sumber : Data hasil analisis, 2010

a) Hubungan antara umur dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Nilai korelasi menunjukkan tidak ada hubungan keterkaitan atau lemah pada tahapan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa umur dari anggota masyarakat yang melakukan kegiatan di tempat tersebut baik dari kelompok usia produktif maupun non produktif bisa menerima adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh sebagian besar responden masyarakat Tanijaya (94,3%) berada pada umur produktif/usia tenaga kerja (15-55 tahun). Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Muis (2007) di Kelurahan Layana Sulawesi Tengah bahwasanya hubungan faktor umur dan tingkat partisipasi menunjukkan hasil nilai uji korelasi hubungan yang tidak nyata dengan tingkat partisipasi pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, karena mayoritas masyarakatnya juga berada pada usia produktif (>90%). Menurut Lembaga Demografi UI, (2004) tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalam usia kerja, dalam pustaka biasanya adalah seluruh penduduk berusia 15-64 tahun.

b) Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Tingkat pendidikan responden memiliki hubungan yang nyata negatif dengan tingkat partisipasi masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap pelaksanaan. Hal ini berarti bahwa semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tinggi tingkat partisipasi responden dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilititasi dengan pola agroforestri. Hal ini lebih dipengaruhi oleh faktor karakteristik masyarakat, yang pada umumnya merupakan masyarakat pendatang yang lebih terbuka dengan informasi atau pengetahuan baru yang datang dari luar, berbeda dengan penduduk asli yang cenderung tertutup. Sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu ± 88% hanya menamatkan pendidikan dasar. Selain itu masyarakat yang berpendidikan tinggi pada umumnya sulit untuk diajak bekerja sama, hal ini berhubungan dengan karakter masyarakat yang memiliki pendirian yang kuat mengingat mereka memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Namun dalam kegiatan perencanaan tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat

partisipasi masyarakat hal ini disebabkan karena pada tahap perencanaan masyarakat tidak dilibatkan secara langsung, secara keseluruhan dalam tahap ini sepenuhnya dilakukan oleh pihak BDK sebagai pembuat dan pelaksana teknis kegiatan.

c) Hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Nilai-nilai koefisien korelasi dari variabel jumlah anggota keluarga responden tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Muis (2007) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan. Di Dusun Tanijaya, kegiatan pola agroforestri dipengaruhi oleh faktor keeratan hubungan kekeluargaan ditengah-tengah masyarakat sehingga setiap kegiatan yang terkait dengan pengolahan lahan selalu dilakukan dengan sistem gotong royong. Selain itu, masyarakat yang terlibat dalam kegiatan gotong royong pada umumnya adalah orangtua sedangkan anak anak membantu sewaktu waktu. Hal ini mengindikasikan bahwa berapapun jumlah anggota keluarga tidak mempengaruhi tingkat partisipasi, karena partisipasi dilihat dari keluarga (sebagai unit terkecil).

d) Hubungan antara penentuan jenis tanaman dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel penentuan jenis tanaman tidak ada hubungan keterkaitan atau lemah serta bersifat negatif pada kegiatan pelaksanaan terhadap pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri. Hal tersebut menunjukkan bahwa apapun jenis tanaman yang direncanakan akan ditanam maupun dalam pelaksanaan penanaman, tidak mendapatkan penolakan karena pada dasarnya mereka yakin bahwa pemerintah pasti akan memberikan tanaman yang menguntungkan bagi mereka dan tidak mungkin diberikan tanaman yang membuat permasalahan yang menyulitkan bagi mereka.

e) Hubungan antara jumlah tenaga kerja dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel jumlah tenaga kerja tidak ada hubungan keterkaitan atau lemah dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pola agroforestri bisa juga dilakukan secara bersama-sama dengan prinsip gotong royong antar kelompok penggarap dan dilakukan dengan cara bertahap sehingga tidak membutuhkan tenaga kerja dalam keluarga. Disisi lain bisa juga masyarakat beranggapan bahwa pola agroforestry merupakan suatu pekerjaan yang lebih mudah untuk dilakukan sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Trison (2005) yang menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap partisipasi masyarakat. Dalam penelitian Trison (2005), pelaksanaan kegiatan oleh masyarakat Desa Hegarmanah memerlukan tenaga lebih diri 2 orang untuk setiap pelaksanaan pekerjaan mereka.

f) Hubungan antara luas lahan garapan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri.

Tabel 5 menunjukkan bahwa variabel luas pengelolaan lahan memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap pelaksanaan. Semakin luas pengelolaan lahan maka akan semakin rendah partisipasi hal tersebut berkaitan dengan anggapan bahwa pada tahap perencanaan mereka akan memperoleh luas lahan yang lebih kecil dibandingkan dengan luas lahan yang telah mereka olah sebelumnya sebab sebagian besar masyarakat menguasai lahan olahan yang cukup besar 2-10 ha. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Trison (2005) dan Muis (2007) menyimpulkan bahwa luas lahan garapan tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini dikarenakan setiap masyarakat menguasai luas lahan sebesar 0,5-2,5 ha. Luas lahan garapan yang dimiliki berpengaruh terhadap pilihan sikap seseorang dalam memutuskan untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk ditanami pohon-pohon. Lahan yang sempit lebih cenderung digunakan untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan dari pada pohon-pohonan (Suharjito et al, 2003).

g) Hubungan antara kedekatan BDK dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri.

Kedekatan dengan BDK berkorelasi positif (nyata) dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Menurut Kairan (2010) kedekatan pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam melakukan pendampingan, karena dalam pembinaan masyarakat pedesaan yang pada umumnya gagal karena petugas hanya berkunjung beberapa saat saja bila ada kepentingan kemudian meninggalkan desa dan masyarakat. Kurangnya pendekatan dari Balai Diklat Kehutanan terhadap masyarakat Dusun Tanijaya bisa mengakibatkan sulit terlaksananya kegiatan pemberdayaan masyarakat karena pada prinsipnya tanpa mengenal terlebih dahulu, orang akan bersikap apatis dan tidak ada kepedulian terhadapnya.

h) Hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Tingkat pendapatan berkorelasi positif sangat nyata pada perencanaan dan pelaksanaan dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi pendapatan maka partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi akan meningkat, sebab tingkat pendapatan erat kaitannya dengan kedudukan sosial seseorang. Slamet (1989) menyatakan bahwa status sosial dipengaruhi salah satunya oleh tingkat pendapatan. Lapisan penduduk yang berstatus sosial lebih tinggi, lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Muis (2007) yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan dan tingkat partisipasi masyarakat memiliki hubungan yang nyata pada tahap perencanaan dimana semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi pula tingkat partsipasi masyarakat dalam perencanaan. Dalam penelitian Muis (2007), tingkat pendapatan masyarakat Lambara yang lebih tinggi telah memposisikan mereka pada kedudukan sosial yang lebih tinggi dan terhormat.

i) Hubungan antara pengetahuan mengenai rehabilitasi pola agroforestri dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Pengetahuan mengenai rehabilitasi pola agroforestri tidak memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap pelaksanaan dan perencanaan kegiatan, hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai rehabilitasi di tingkat masyarakat bukan merupakan sesuatu yang utama dalam menunjang kegiatan rehabilitasi, sebab pada prinsipnya kegiatan rehabilitasi merupakan program pembinaan masyarakat dengan berbagai bentuk kegiatan diantaranya pelaksanaan simulasi terkait pola penanaman, penentuan jenis tanaman, pertemuan kelompok tani hingga pelaksanaan berbagai bentuk pelatihan terkait kegiatan rehabilitasi di tingkat petani/masyarakat, sehingga secara langsung masyarakat akan mengetahui dengan sendirinya berbagai informasi atau pengetahuan mengenai rehabilitasi dengan mengikuti serangkayan kegiatan tersebut. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi kedepannya perlu diupayakan pembentukan berbagai jenis, bentuk, format atau tampilan yang menunjang penambahan informasi atau pengetahuan seputar kegiatan rehabilitasi yang dapat meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam mengikuti kegiatan rehabilitasi dengan pola agroforesti.

j) Hubungan antara kosmopolitan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Variabel kosmopolitan di Dusun Tanijaya tidak memiliki korelasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Kondisi ini tercermin dari tingkat pendidikan masyarakat yang pada umumnya relatif rendah (±88% masyarakat menamatkan pendidikan dasar), sehingga memberi kecenderungan masyarakat memiliki keinginan yang rendah dalam mencari informasi dan pengetahuan khususnya mengenai kegiatan rehabilitasi atau dengan kata lain masyarakat akan cenderung hanya menerima atau menunggu informasi yang datang (pasif). Berbeda dengan hasil penelitian Muis (2007) yang mengungkapkan bahwa faktor kosmopolitan berkorelasi positif dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh adanya perbedaan karakteristik dan kondisi masyarakat khususnya di Dusun Tanijaya yang cenderung bersifat pasif tersebut, oleh karena itu perlu diupayakan dari berbagai pihak seperti tokoh masyarakat,

pendamping, petugas lapangan serta pelaksana teknis dalam menyampaikan informasi terkait proses adopsi inovasi dan proses difusi kepada masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi tersebut.

k) Hubungan antara pekerjaan sampingan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Pekerjaan sampingan tidak ada hubungan keterkaitan atau lemah serta bersifat negatif pada kegiatan perencanaan dan pelaksanaan terhadap pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri. Hal tersebut menunjukkan bahwa apapun pekerjaan sampingan dari masyarakat Dusun Tanijaya tidak akan mempengaruhi kegiatan pemberdayaan masyarakat karena mereka bisa mengatur strategi untuk dapat melaksanakan kegiatan baik pekerjaan sampingan maupun kegiatan rehabilitasi itu sendiri. Selain itu pekerjaan sampingan masyarakat Dusun Tanijaya bersifat sampingan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitan Muis (2007) bahwa pekerjaan sampingan tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi, karena sebagian besar masyarakat memiliki pekerjaan sampingan yang sifatnya tidak tetap/musiman sehingga mereka tetap memiliki waktu luang untuk dapat terlibat dalam kegiatan.

l) Hubungan antara persepsi tentang kegiatan rehabilitasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Persepsi tentang kegiatan rehabilitasi tidak ada hubungan keterkaitan pada tingkat partisipasi pada kegiatan perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini dikarenakan ± 80% masyarakat tidak mengetahui mengenai kegiatan rehabilitasi pola agroforestry tersebut. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Muis (2007) di Kelurahan Layana di Sulawesi Tengah menunjukkan persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat berkorelasi sangat nyata pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Maka dalam kegiatan yang akan datang bisa berhasil bila adanya intensitas sosialisasi yang dilakukan oleh pihak pelaksana, efektifitas pendampingan, pelatihan dan penyuluhan sehingga dapat meningkatkan persepsi kegiatan tersebut.

m) Hubungan antara motivasi intrinsik dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Variabel intrinsik di Dusun Tanijaya memiliki korelasi yang nyata dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini menunjukkan bahwa dorongan dari dalam sangat berpengaruh terhadap perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan pola agroforestri karena walau bagaimanapun tanpa kemauan atau keinginan yang tinggi maka kegiatan tidak akan pernah bisa terlaksana, bahwa hasil renponden menunjukkan sebesar 42,8% motivasi masyarakat mau mengikuti kegiatan rehabilitasi dilatar belangkangi oleh keinginan meningkatkan setatus sosilal. Trison (2005) mengatakan faktor internal pada motivasi intrinsik menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan dan pelaksanaan menunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi responden maka semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat.

n) Hubungan antara motivasi ekstrinsik dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Motivasi ekstrinsik berpengaruh nyata dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestry pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya motivator dari luar agar pemberdayaan masyarakat bisa tercapai dengan baik. Muis (2007) menyatakan bahwa tingkat motivasi ekstrinsik dengan tingkat partisipasi masyarakat memiliki hubungan yang sangat nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan hal ini disebabkan karena motivasi masyarakat dalam kegiatan lebih dikarenakan ajakan dari keluarga, teman, atau tenaga.

4.3.2. Hubungan Faktor Eksternal Responden dengan Tingkat partisipasi Masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Faktor-faktor eksternal responden yang dikaji dalam penelitian ini adalah intensitas sosial, kejelasan hak dan kewajiban, jarak lahan, kesuburan tanah, pola tanam, umur dan produktifitas tanaman, dukungan pemerintah, daya tarik kerjasama, dan kesediaan saprodi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya tingkat keragaman dalam nilai hubungan antar faktor eksternal dengan tingkat

pemberdayaan masyarakat yang meliputi perencanaan dan pelaksaaan. Selengkapnya nilai hubungan tersebut disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Koefisien Korelasi antar Faktor Eksternal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam rangka Rehabilitasi Hutan TAHURA Bukit Soeharto

Partisipasi Masyarakat No Faktor Eksternal Perencanaan

(Y1)

Pelaksanaan (Y2)

1 Intensitas sosialisasi 0,077 0,014

2 Kejelasan hak dan kewajiban 0,314** 0,424**

3 Jarak lahan 0,380** 0,296*

4 Kesuburan tanah -0,003 0,093

5 Pola Tanam 0,164 0,105

6 Umur dan produktivitas tanaman -0,333** -0,330*

7 Dukungan pemerintah 0,288* 0,341**

8 Daya tarik kerjasama 0,320** 0,335**

9 Kesediaan saprodi 0,216 0,349**

Keterangan :

** Berpengaruh nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05

Sumber : Data hasil analisis, 2010

a) Hubungan antara intensitas sosialisasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri

Intensitas sosialisasi merupakan salah satu variabel yang sangat penting dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Melalui kegiatan sosialisasi responden akan mengetahui dan memahami eksistensi kegiatan rehabilitasi pola agroforestri secara baik. Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara variabel intensitas sosialisasi dengan tingkat partisipasi masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, karena dalam 6 tahun terakhir kegiatan sosialisasi sudah sering dilaksanakan namun jumlah masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan belum sejalan dengan apa yang diharapkan. Hasil penelitian Muis (2007) menunjukkan korelasi positif pada tahap perencanaan dan

Dokumen terkait