• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Habitat Bekantan Komponen Fisik

Habitat bekantan di SMKL dibentuk oleh formasi hutan mangrove riparian yang didominasi oleh jenis Avicennia alba dan Sonneratia caseolaris. Habitat bekantan di SMKL tidak berupa satu hamparan utuh, tetapi berupa tapak-tapak yang dipisahkan oleh sungai dengan lebar antara 28-30 m. Adanya pemisahan oleh sungai ini mempengaruhi pemilihan tapak (preferensi) oleh kawanan bekantan. Namun demikian, jarak antar tapak yang relatif dekat (<100 m) tidak berpengaruh terhadap perbedaan keadaan komponen fisik habitat. Kondisi suhu (baik udara, tanah dan perairan) dan kelembaban relatif udara tidak berbeda. Suhu harian berkisar antara 28-29°C dan kelembaban udara relatif 76.75% (Tabel 3). Tabel 3 Perbandingan komponen fisik habitat pada tapak referensi, tapak model 1

dan tapak model 2

Parameter Tapak Referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2 1. Udara - Suhu udara 28.7°C 28.75°C 29.45°C - Kelembaban udara 76.75 % 76.75 % 76.25 % 2. Tanah - Suhu tanah 29.20°C 29.27°C 29.37°C - pH tanah 5 5 5

- Kelembaban tanah WET WET WET

- Intensitas cahaya LOW LOW LOW

- Substrat berlumpur berlumpur, lumpur berpasir di bagian pantai

berlumpur, lumpur berpasir di bagian pantai 3. Perairan (sungai)

- Suhu perairan 29.60°C 29.50°C 29.57°C

- pH 5.52 5.45 5.48

- Salinitas 0 0 0

Jenis tanah di SMKL merupakan tanah berlumpur hingga lumpur berpasir di bagian tepi pantai dengan kondisi tanah dalam yang selalu basah. Hamparan tanah yang tertutup oleh tumbuhan merambat jenis Derris trifoliata menyebabkan intensitas cahaya rendah sepanjang waktu dengan kisaran pH antara 4.5-6.0.

Perairan di SMKL mengalami kondisi pasang surut secara periodik setiap hari. Kondisi pasang terjadi mulai pukul 11:00 yang berlangsung hingga sore hari dan mulai surut pada pukul 16:00. Hari berikutnya kondisi pasang berlangsung sampai pagi menjelang siang, kemudian mulai surut pada pukul 11:00 hingga sore hari dan akan mulai pasang kembali sekitar pukul 16:00. Meski dipengaruhi oleh pasang surut air laut, perairan di habitat referensi bekantan adalah perairan tawar (salinitas 0%) dengan pH berkisar antara 5.0-6.5 dan cenderung lebih asam di pagi hari pada kondisi air surut. Perubahan salinitas pada areal mangrove dipengaruhi oleh durasi pasang surut air laut. Selama periode pengamatan antara Februari-Maret 2015, yang termasuk periode musim hujan, tidak terjadi penggenangan pada saat kondisi pasang tertinggi. Pasang surut air laut mempengaruhi formasi komunitas flora mangrove. Lamanya penggenangan berpengaruh terhadap tingkat

17 salinitas. Selain mempengaruhi komposisi mangrove, salinitas berpengaruh meningkatkan kadar tanin (El-Lamey 2012). S. caseolaris memiliki adaptasi yang tinggi terhadap tingkat salinitas yang rendah (Zan et al. 2003, Aziz et al. 2012), sedangkan A. alba dapat beradaptasi pada tingkat salinitas yang lebih tinggi.

S. caseolaris dapat tumbuh pada tanah yang memiliki salinitas mendekati air tawar yakni <0.1% salinitas air laut (0.1% salinitas air laut ekivalen dengan 0.00034% kandungan garam atau 0.34 gram/liter) (Giesen et al. 2006).

Tegakan S. caseolaris pada habitat bekantan di SMKL diduga memiliki kadar tanin yang rendah karena pengaruh tingkat salinitas yang rendah. Oleh karena itu bekantan di SMKL memilih S. caseolaris sebagai sumber pakan utama dan bertahan di habitat referensi yang didominasi oleh S. caseolaris dan A. alba.

Komponen Biotik

Komposisi Vegetasi. Hutan mangrove habitat bekantan di SMKL termasuk miskin jenis tumbuhan. Di lokasi ini ditemukan tujuh jenis tumbuhan habitus pohon yakni: A. alba , Excoecaria agallocha, Hibiscus tiliaceus dan S. caseolaris,

Nypa fruticans dan Cerbera manghas dan Thespesia populnea (L). Jenis nipah (N. fruticans) dijumpai dalam jumlah terbatas, C. manghas dan T. populnea bahkan hanya dijumpai satu individu di tapak model 1. Kehadiran C. manghas

dan T. Populnea pada ±200 m dari pantai, diduga berasal dari lokasi lain akibat pemencaran oleh arus laut. Tingkat pertumbuhan pancang hanya diisi oleh A. alba E. agallocha, sedangkan jenis. Lantai hutan ditumbuhi oleh jenis-jenis mangrove ikutan seperti D. trifoliata, Acanthus ilicifolius, dan Acrostichum speciosum. Total jenis tumbuhan yang ditemukan adalah 17 jenis dari 16 marga dan 15 suku (Tabel 4).

Tabel 4 Komposisi jenis dan suku pada setiap habitus vegetasi di habitat bekantan Suaka Margasatwa Kuala Lupak

Habitus dan Nama lokal Genus/spesies Suku (Famili) Pohon:

Api-api Avicennia alba Bl. Avicenniaeae

Buta-buta Excoecaria agallocha L. Euphorbiceae Rambai, pidada Sonneratia caseolaris (L) Engl. Sonneratiaceae

Waru laut Hibiscus tiliaceus L. Malvaceae

Waru pantai* Thespesia populnea (L) Malvaceae

Bintaro* Cerbera manghas L. Apocynaceae

Nipah Nypa fruticans Wurmb. Arecaceae

Tumbuhan bawah:

Karepotan / tuba laut Derris trifoliata Lour. Leguminosae

Jeruju Acanthus ilicifolius L Acanthaceae

Piai Acrostichum aureum Lin. Pteridaceae

Lambai-lambai Cayratia trifolia (L.) Domin Vitaceae Dadap laut* Clerodendrum inerme Gaertn. Verbenaceae Keladi payau Cryptocoryne ciliata (Roxb.) Schott Araceae

Bakung Crinum asiaticum L. Amaryllidaceae

? Cyperus stoloniferus Retz. Cyperaceae

Serunai laut Widelia biflora Asteraceae

Beluntas* Pluchea indica (L.) Less Asteraceae

Teratai kecil Nymphaea sp Nymphaeaceae

18

Habitat bekantan di SMKL dibandingkan dengan hasil penelitian di lokasi lainnya di Kalimantan, keanekaragaman vegetasinya tergolong paling rendah. Sebagai pembanding, habitat bekantan di Delta Mahakam Kalimantan Timur tersusun oleh 46 jenis tumbuhan dari 44 marga dan 31 Suku (Atmoko & Sidiyasa 2008), dan di Kuala Samboja meliputi 79 jenis tumbuhan dari 71 marga dan 45 suku (Atmoko et al. 2014). Komunitas tumbuhan di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kondisi tanah, cahaya matahari, air dan curah hujan. Selain itu, di mangrove jenis-jenis penyusun komunitas juga dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hal ini karena tidak semua jenis tumbuhan mampu beradaptasi dengan tingkat salinitas. Gangguan dari luar seperti kegiatan budidaya ikan tambak juga dapat mempengaruhi komunitas mangrove.

Vegetasi Sumber Pakan. Jenis vegetasi sumber pakan bekantan yang ditemukan di SMKL sebanyak tujuh jenis (Tabel 5). Jumlah jenis sumber pakan tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan di Delta Mahakam Kalimantan Timur yang ditemukan sebanyak 10 jenis (Atmoko & Sidiyasa 2008), di Nipah Panjang Kalimantan Barat sebanyak 15 jenis (Kartono et al. 2008), dan di Menanggul River Sabah Malaysia sebanyak 188 jenis (Matsuda et al. 2009). Tabel 5 Jenis vegetasi sumber pakan bekantan di Suaka Margasatwa Kuala

Lupak

Nama lokal Genus/Spesies Family Bagian dimakan Rambai, pedada Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae Daun, buah, kelopak buah Api-api Avicennia alba Avicinneaceae Daun muda

Waru laut Hibiscus tiliaceus Malvaceae Daun,terutama yang muda Buta-buta Excoecaria agallocha Euphorbiceae Daun

Nipah Nypa fruticans Arecaceae Umbut, daun muda Karepotan Derris trifoliata Leguminosae Daun

Piai Acrostichum aureum Pteridaceae Daun

Bekantan cenderung lebih memilih jenis S. caseolaris sebagai sumber pakan

utama, sedangkan sebagai sumber pakan tambahan adalah jenis-jenis A. alba,

H. tiliaceus dan D. trifoliata. Bagian tumbuhan S. caseolaris yang dikonsumsi

bekantan terutama daun muda, serta buah dan kelopak buah. Pemilihan

S. caseolaris sebagai sumber pakan utama juga ditemukan di Delta Mahakam (Alikodra & Mustari 1994, Atmoko et al. 2007), Sungai Sepaku dan Sungai Semoi Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2012).

Jenis liana D. trifoliata yang melimpah keberadaannya di habitat bekantan SMKL juga dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Atmoko (2012) bahwa bekantan di Kuala Samboja memanfaatkan D. trifoliata, A. ilicifolius, Rhaphidophora sp., Flagellaria sp., dan

Oxyceros longiflora sebagai sumber pakan. Pemilihan jenis tumbuhan

D. trifoliata oleh bekantan sebagai sumber pakan diduga berkaitan dengan hal-hal berikut: (a) keterbatasan jenis sumber pakan yang ada mendorong bekantan beradaptasi untuk mengoptimalkan sumber daya pakan yang tersedia, yakni dengan memakan jenis D. trifoliata yang tersedia secara melimpah. Adaptasi ini merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh bekantan untuk bertahan hidup

di habitat yang terisolasi dan terfragmentasi (Suwarto 2015); (b) jenis

19 bekantan. Menurut Gupta & Chivers (2004) yang diacu oleh Atmoko (2012), beberapa jenis tumbuhan dari suku Leguminosae sering dipilih primata karena banyak mengandung N, P dan abu, sejauh tidak menghambat pencernaan. Pemilihan jenis-jenis Leguminosae sebagai sumber pakan oleh subfamili Colobine telah dilaporkan oleh Maisels et al. (1994) dan Chapman et al. (2002).

Daun D. trifoliata memiliki kandungan tanin sebesar 9.5% (Orwa et al. 2009). Kandungan tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan kandungan tanin dari 12 jenis tumbuhan di hutan mangrove yang dilaporkan oleh Bismark (2009), yakni berkisar antara 1.52-4.09%. Kedua belas tumbuhan tersebut adalah

Aglaia cuculata, Allapphyllus cobbe, Ardisia humilis, Avicennia officinalis,

Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, B. parviflora, Ceriops tagal, Ficus sp.,

F. binnendykii, Lumnitzera littorea, Rhizophora apiculata, dan Sonneratia apiculata. Soendjoto et al. (2006) menyatakan bahwa tumbuhan pakan bekantan di habitat hutan karet berupa daun tiwadak banyu (Artocarpus teysmanii), karet (Hevea brassiliensis) dan kujamas (Syzygium stapfiana) mempunyai kadar tanin yang rendah 0.0004-0.0122%. Menurut Alikodra (1997), bekantan tidak menyukai jenis pakan yang mempunyai kadar tanin tinggi. Kadar tanin yang tinggi dapat bersifat toksik, pada tahapan lanjut pada hewan dapat menghalangi kerja enzim, mengurangi kemampuan mencerna dan mengakibatkan hilangnya nafsu makan (El-Lamey 2012). Primata dari sub famili Colobine menetralisir kandungan toksik tanin dengan bantuan bakteri dalam sistem pencernaanya, atau dengan memakan tanah. Kandungan protein, serat dan tanin berhubungan erat dengan seleksi pakan oleh primata termasuk bekantan (Bismark 2009). Variasi jenis pakan pada satwa ruminansia menurut Boonratana (2000) selain untuk memenuhi kebutuhan mineral, merupakan strategi untuk menghindari keracunan yang dapat ditimbulkan oleh senyawa sekunder dalam tumbuhan tersebut. Bekantan pada periode tertentu mengkonsumsi buah yang masih mentah dan biji karena buah yang mentah mengandung lebih sedikit toksin dibanding daun muda (Matsuda 2009).

Jenis Pohon Tempat Tidur. Selain sebagai sumber pakan utama,

S. caseolaris juga dipilih sebagai pohon tidur utama oleh bekantan. Tidak hanya pohon yang masih hidup, tapi beberapa diantaranya adalah pohon yang sudah mati (dicirikan oleh daun yang meranggas). Satu pohon tidur dapat ditempati oleh 4-17 ekor bekantan. Pemilihan S. caseolaris sebagai pohon tidur diduga karena beberapa alasan, antara lain: jenis ini memiliki diameter lebih besar (≥34 cm),

lebih tinggi dan percabangan yang lebih banyak dibanding jenis A. alba,

E. agallocha, dan H. tiliaceus. Pohon yang dipilih sebagai pohon tidur bekantan memiliki kisaran tinggi 15-25 m. Profil S. caseolaris sebagai pohon tidur ini sesuai dengan Bernard et al. (2011) yang menyatakan bahwa struktur fisik dari pohon merupakan faktor penting dalam pemilihan pohon tidur oleh bekantan yang menyukai pohon tidur yang tinggi, serta dahan dan percabangan yang besar. Pohon yang besar memungkinkan semua anggota kelompok untuk tidur di satu pohon yang sama, memudahkan komunikasi dan interaksi sosial anggota kelompok (Anderson 1998, Di Bitetti et al. 2000).

Keberadaan jenis S. caseolaris pada kisaran jarak 0-250 m dari tepi sungai juga menjadi faktor dipilihnya jenis ini sebagai pohon tidur. Bekantan menempati pohon tidur pada kisaran jarak 10-150 m dari tepi sungai. Di Sabah Malaysia,

20

(paling banyak 5-35 m) yang merupakan jarak terdekat dengan sungai sebagai salah satu strategi anti predator (Bernard et al. 2011). Berbeda dengan hasil penelitian Bernard et al. (2011), di SMKL pohon-pohon yang berada di tepi sungai (0–1 m) justru tidak dipilih sebagai pohon tidur. Hal ini diduga karena bekantan sensitif dengan kehadiran manusia sehingga merasa terganggu dengan frekuensi lalu lintas kelotok yang melewati sungai pada saat kondisi air pasang. Lalu lintas manusia ini akan semakin meningkat, terutama pada musim tanam maupun musim panen sawah masyarakat. Keberadaan jenis pohon besar di tepi sungai dimanfaatkan oleh bekantan untuk menyeberang sungai, terutama sebagai pohon tumpuan untuk melompat.

Pemanfaatan jenis S. caseolaris sebagai sumber pakan dan pohon tidur utama memberikan kemudahan bagi bekantan mengakses pakan, baik di saat pagi hari ataupun sebelum beristirahat pada sore harinya. Pemilihan S. caseolaris

sebagai sumber pakan, pohon tidur dan tempat beraktivitas oleh bekantan di Kuala Samboja telah dilaporkan oleh Alikodra (1997), akan tetapi hasil penelitian Saidah

et al. (2002) di kawasan mangrove Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan menunjukkan hal berbeda, yakni S. caseolaris tidak dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan dan tempat beraktivitas. Kedekatan dengan sumber pakan menjadi faktor penting dalam pemilihan pohon tidur (Matsuda et al. 2010). Bekantan cenderung tetap mencari makan di habitat tepi sungai (dekat pohon tidur) sepanjang pakan tersedia. Hal ini berkaitan dengan strategi untuk menghemat energi (cost of travelling) jika harus menjelajah untuk mencari makan di tempat lain, serta untuk menghindari predator (Matsuda et al. 2011).

Satwa Kompetitor dan Predator. Bekantan berbagi sumber daya dengan hirangan atau lutung (Trachypithecus cristatus Raffles, 1821) yang juga termasuk primata dari sub famili Colobine. Populasi hirangan diperkirakan sebanyak setengah dari populasi bekantan, di tapak habitat yang sama Hirangan juga menggunakan S. caseolaris sebagai pohon tidur. Kedua jenis tersebut bersimpatrik dan memanfaatkan ruang yang sama dengan wilayah jelajah yang tumpang tindih. Kedua jenis diduga memanfaatkan vegetasi pakan yang sama karena terbatasnya jenis vegetasi di SMKL.

Satwa pemangsa bekantan seperti buaya muara (Crocodylus porosus

Schneider, 1801) tidak ditemukan di habitat bekantan di SMKL, tetapi jenis biawak (Varanus salvator Laurenti, 1768) dijumpai di areal dekat tambak. Selama penelitian tidak dijumpai terjadinya peristiwa pemangsaan (predation) bekantan.

Struktur dan Komposisi Vegetasi

Dominansi dan Indeks Keanekaragaman. Hasil analisis vegetasi (Tabel 6) menunjukkan bahwa di areal bervegetasi dan disukai bekantan (tapak referensi), A. alba mendominasi pada tingkat pertumbuhan pohon (INP=189.01%), tingkat pancang (INP=179.92%) dan anakan (INP=2.08%), dengan kerapatan masing-masing tingkat pertumbuhan pohon sebanyak 55.33 individu/ha, tingkat pancang sebanyak 18.67 individu/ha dan tingkat anakan sebanyak 83.33 individu/ha. S. caseolaris menempati urutan kedua dengan INP sebesar 96.09% dan kerapatan 16 pohon/ha, namun tidak dijumpai pada tingkatan pancang dan anakan.

21 Tabel 6 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting empat jenis mangrove tertinggi

pada habitat bekantan di Tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2

Jenis

Tapak Referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2 K (ind/ha) INP (%) H’ K (ind/ha) INP (%) H’ K (ind/ha) INP (%) H’ Pohon A. alba 55.33 189.01 0.20 50.62 107.28 0.35 4.00 26.02 189.00 E. agallocha 0 0 0 2.47 4.86 0.09 0 0 0 H. tiliaceus 0.67 14.89 0.04 0 0 0 0 0 0 S. caseolaris 16.00 96.09 0.33 49.38 187.86 0.35 28.00 273.98 0.12 Jumlah 72.00 0.57 102.47 0.79 32.00 0.38 Pancang A. alba 18.67 179.92 0.35 23.53 67.11 0.27 5.33 198.92 0.35 E. agallocha 13.33 87.67 0.37 155.29 232.89 0.12 0 0 0 H. tiliaceus 5.33 32.41 0.28 0 0 0 0 0 0 S. caseolaris 0 0 0 0 0 0 5.33 101.08 0.35 Jumlah 37.33 1.00 178.82 0.39 10.66 0.70 Semai A. alba 83.33 2.08 0.03 216.05 4.18 0.09 0 0 0 E. agallocha 116.67 1.84 0.04 0 0 0 0 0 0 H. tiliaceus 133.33 2.94 0.05 61.73 2.18 0.07 0 0 0 S. caseolaris 0 0 0 216.05 2.46 0.04 66.67 1.78 0.03 Jumlah 333.33 0.12 493.83 0.20 66.67 0.03

Areal bervegetasi baik yang kurang disukai bekantan (tapak model 1) pada tingkat pohon didominasi oleh S. caseolaris (INP=187.86%) dan A. Alba

(INP=107.28%), namun dilihat dari kerapatannya jumlah individu pohon jenis

A. alba (50.62 individu/ha) lebih tinggi dibanding dengan S. caseolaris (49.38 individu/ha). Excoecaria agallocha (INP=232.89%) mendominasi tingkat pancang dengan kerapatan 63.64 individu/ha, disusul oleh A. alba (INP= 67.11%) dengan kerapatan 23.53 individu/ha. S. caseolaris juga tidak dijumpai pada tingkat pancang di tapak model 1 ini. A. alba dan S. caseolaris memiliki kerapatan yang sama di tingkat anakan, yakni sebesar 216.05 individu/ha dengan INP masing-masing 4.18% dan 2.46%. Areal terganggu dekat permukiman (tapak model 2) didominasi oleh S. caseolaris di tingkat pertumbuhan pohon dengan kerapatan 28 individu/ha dan INP 273.98%. A. alba mendominasi pada tingkat pancang dengan kerapatan 5.33 individu/ha dan INP 198.92%.

Indeks Nilai Penting (INP) suatu jenis menggambarkan tingkat dominansinya terhadap jenis-jenis lainnya dalam suatu komunitas. Jenis dengan INP tinggi memiliki peluang lebih besar untuk dapat mempertahankan pertumbuhan dan kelestarian jenisnya. Dominansi suatu jenis mengindikasikan bahwa jenis tersebut memanfaatkan lingkungan secara efisien dibanding jenis lain dalam tempat yang sama sehingga keberadaan jenis tersebut lebih stabil dari sisi ketahanan jenis dan pertumbuhannya (Mawazin & Subiakto 2013).

Kerapatan jenis pada masing-masing tingkat pertumbuhan dapat digunakan untuk menentukan status regenerasi suatu jenis (Shankar 2001). Berdasarkan klasifikasi Shankar (2001), maka status regenerasi keempat jenis mangrove tertinggi tersaji pada Tabel 7. S. caseolaris mengalami hambatan regenerasi alami, yakni tidak terdapat permudaan semai dan pancang di tapak referensi dan di tapak

22

model 1, namun menunjukkan regenerasi yang cukup di tapak model 2, yakni terdapat permudaan tingkat pancang (5.33 individu/ha) dan tingkat semai (66.67 individu/ha). Fenomena ini diduga karena tapak model 2 jarang dikunjungi kawanan bekantan, sehingga anakan S. caseolaris memiliki kesempatan untuk tumbuh, dan resiko mati terinjak ataupun dimakan oleh kawanan bekantan lebih kecil. Jenis S. caseolaris yang mengalami hambatan sistem permudaan alami juga terjadi di habitat bekantan di Kuala Samboja, Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2014), yakni kerapatan tingkat semai (1,500 individu/ha) lebih rendah dari tingkat pancang (3,520 individu/ha). Rendahnya kerapatan tingkat semai tersebut menurut Atmoko et al. (2014) diduga disebabkan oleh rapatnya tumbuhan bawah

Acrostichum aureum yang menyebabkan semai tertekan dan banyak mati.

Tabel 7 Status regenerasi empat jenis mangrove tertinggi di SMKL berdasarkan kriteria Shankar (2001)

Jenis Kriteria dan Status Regenerasi Jenis

Tapak referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2

S. caseolaris Po>Pc = S=0 Tidak ada regenerasi

Po>Pc=S=0

Tidak ada regenerasi

S>Po>Pc Regenerasi Cukup A. alba S>Po>Pc Regenerasi Cukup S>Po>Pc Regenerasi Cukup Pc>Po> S=0 Regenerasi Rendah E. agallocha S>Pc>Po=0 Baru beregenerasi Pc>Po>A=0 Regenerasi Rendah -- H. tiliaceus S>Pc>Po Regenerasi baik S>Pc>Po=0 Baru beregenerasi --

Keterangan : S= semai, Pc = pancang, Po= pohon

A. alba memiliki regenerasi yang cukup di tapak referensi dan tapak model 1 (jumlah semai>pohon), namun mengalami gangguan regenerasi (regenerasi rendah) pada tingkat pancang (jumlah pancang<pohon) di tapak model 2.

E. agallocha menunjukkan status baru beregenerasi karena jumlah semai> pancang, namun tidak dijumpai tingkat pertumbuhan pohon di tapak referensi, dan regenerasi yang cukup di tapak model 2 (jumlah pancang>pohon, tidak terdapat semai). Struktur vegetasi normal hanya ditunjukkan oleh H. tiliaceus di tapak referensi (jumlah semai>pancang>pohon). Struktur tegakan normal akan menyerupai bentuk huruf “j terbalik” yakni jumlah individu semai> pancang> pohon. Struktur tegakan berbentuk “j terbalik” akan terbentuk apabila regenerasi alami berjalan baik (Whitmore 1990), sehingga kelestarian populasi suatu jenis akan tercapai (Indriyanto 2006).

Tingkat kerapatan pohon berpengaruh pada perilaku satwa arboreal seperti bekantan. Bekantan melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya untuk menghindarkan diri dari gangguan satwa predator atau manusia. Bekantan juga melompat untuk mendapatkan pakan (pucuk daun atau bunga) yang diinginkannya pada waktu mencari makan dalam kondisi normal. Ketika kawanan bekantan menuju ke pohon tidur di sore hari, mereka bergerak dari cabang ke cabang pohon sambil memtik dan memakan pucuk-pucuk daun. Kerapatan vegetasi di habitat sangat menentukan keberhasilan melompat. Jarak antar kanopi pohon yang melebihi lima meter, seringkali menyebabkan kegagalan dalam

23 melompat, bekantan tidak sampai mencapai pohon tujuan dan terjatuh ke lantai hutan (Alikodra & Srimulyaningsih (2015).

Derris trifoliata mendominansi tumbuhan bawah di semua tapak dengan kerapatan masing-masing pada tapak referensi sebanyak 10,733 individu/ha, tapak model 1 sebanyak 10,277 individu/ha dan tapak model 2 sebanyak 3,233 individu/ha (Tabel 8). D. trifoliata merupakan jenis tumbuhan liana yang membelit, dengan panjang antara 2–15 meter dan tumbuh dengan ketinggian mencapai paha sampai pinggang orang dewasa. Akibatnya regenerasi dari jenis-jenis mangrove A. alba, S. caseolaris dan E. agallocha menjadi terhambat, karena anakannya kalah bersaing memperebutkan ruang dan cahaya dengan D. trifoliata.

Rendahnya tingkat keanekaragaman jenis vegetasi habitat bekantan di SMKL ditunjukkan oleh nilai indeks keanekaragaman H’<1 baik untuk tingkat pohon, pancang maupun tingkat semai (Tabel 6) dan tumbuhan bawah (Tabel 8). Indeks keanekaragaman menunjukkan tingkat kestabilan komunitas. Semakin tinggi nilai H’, maka komunitas vegetasi hutan tersebut semakin tinggi tingkat kestabilan keanekaragaman jenisnya (Mawazin & Subiakto 2013). Keragaman jenis tumbuhan pada habitat satwa menentukan potensi jenis pakan serta perilaku makan yang akhirnya menentukan populasi satwa tersebut di alam (Bismark et al. 2003).

Tabel 8 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting tumbuhan bawah pada habitat bekantan di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2

Jenis

Tapak Referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2 K (ind/ha) INP (%) H’ K (ind/ha) INP (%) H’ K (ind/ha) INP (%) H’ A. ilicifolius 1,450.00 27.81 0.24 1,728.39 31.75 0.32 0 0 0 A. aureum 183.33 6.24 0.06 92.59 3.27 0.09 200.00 6.65 0.06 C. trifolia 33.33 0.73 0.01 0 0 0 266.67 4.53 0.08 C. ciliata 33.33 0.73 0.01 432.09 0.09 0.09 0 0 0 C. asiaticum 0 0 0 61.73 0.07 0.07 0 0 0 C. stoloniferus 0 0 0 216.05 0.07 0.07 0 0 0 D. trifoliata 10,733.33 149.75 0.18 10,277.78 0.28 0.28 13,233.33 187.03 0.04 Nymphaea sp. 250.00 2.34 0.07 0 0 0 0 0 0 W. biflora 483.33 5.53 0.12 216.05 0.07 0.07 0 0 0 Jumlah 131,66.65 0.69 130,24.68 0.99 13,700.00 0.18

Kesamaan komunitas antar tapak. Nilai indeks kesamaan komunitas memberikan gambaran tingkat kesamaan struktur dan komposisi jenis dari komunitas yang dibandingkan. Antara kisaran 0-100%, semakin tinggi nilai indeks kesamaan jenis menunjukkan tingkat kemiripan jenis yang semakin tinggi diantara dua komunitas (Odum 1996).

Tapak referensi dan tapak model 1 memiliki kesamaan komunitas yang paling dekat. Kesamaan komunitas tingkat pohon sebesar 77.01%, tingkat pancang sebesar 29.62% dan tingkat tumbuhan bawah sebesar 90.42%. Tapak referensi dan tapak model 2 memiliki kesamaan komunitas yang lebih rendah dengan nilai indeks kesamaan tingkat pohon sebesar 38.46%, tingkat pancang sebesar 21.28%, dan tumbuhan bawah sebesar 77.29%. Tapak model 1 dan tapak model 2 memiliki tingkat kesamaan komunitas tingkat pohon sebesar 47.76%, tingkat pancang sebesar 5.29% dan tumbuhan bawah sebesar 78.06%. Tapak

24

referensi dan tapak model 1 memiliki keempat jenis vegetasi utama yakni

S. caseolaris, A. alba, E. agallocha dan H. tiliaceus, sedangkan di tapak model 2 hanya terdapat S. caseolaris dan A. alba . Jenis tumbuhan bawah yang terdapat di tapak referensi dan tapak model 1 adalah Acanthus ilicifolius L, Acrostichum aureum, Cryptocoryne ciliata, D. trifoliata dan Widelia biflora, sedangkan jenis yang sama yang terdapat di tapak model 2 hanya tiga jenis yakni A. Aureum,

A. Ilicifolius dan D. trifoliata. Berdasarkan faktor komponen fisik habitat yang diukur tidak terdapat perbedaan antara ketiga tapak, yang membedakan adalah bahwa tapak model 2 lebih dekat dengan gangguan (permukiman) dibandingkan dengan tapak referensi dan tapak model 1.

Faktor kesamaan komunitas yang lebih dekat antara tapak referensi dan tapak model 1 ini diduga merupakan penyebab populasi bekantan di SMKL lebih banyak terkonsentrasi di tapak tapak model 1 dan sebagian di tapak referensi. Hasil observasi awal (Juli 2013 dan Agustus 2014, bekantan terkonsentrasi di tapak referensi. Akan tetapi saat penelitian berlangsung kawanan bekantan yang semula berada di tapak referensi sebagian besar berpindah ke lokasi tapak model 1 yang sebelumnya diduga kurang disukai oleh bekantan. Adanya gangguan pembukaan areal untuk sawah baru oleh masyarakat di dekat lokasi tidur bekantan di tapak referensi diduga menjadi penyebab perpindahan sebagian kelompok bekantan tersebut. Selain tapak model 1 memiliki kesamaan komunitas yang lebih dekat dengan tapak referensi, jarak yang lebih dekat (menyeberangi sungai ±30m) diduga menjadi pertimbangan bekantan. Bekantan harus menyeberang sungai sebanyak 2 kali, dengan jarak sungai yang lebih lebar (40-50m) untuk mencapai lokasi tapak model 2. Walaupun ada laporan bahwa bekantan pernah terlihat di

Dokumen terkait