• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Restorasi Habitat Bekantan Di Suaka Margasatwa Kuala Lupak Berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Restorasi Habitat Bekantan Di Suaka Margasatwa Kuala Lupak Berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI RESTORASI HABITAT BEKANTAN DI SUAKA

MARGASATWA KUALA LUPAK BERDASARKAN

KARAKTERISTIK HABITAT REFERENSI

MILA RABIATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Saya dengan ini menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Restorasi Habitat Bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Saya dengan ini melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Mila Rabiati

(4)

RINGKASAN

MILA RABIATI. Strategi Restorasi Habitat Bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan BURHANUDDIN MASY’UD.

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi restorasi habitat bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak (SMKL) berdasarkan hasil identifikasi kondisi habitat dan populasi bekantan di habitat referensi serta persepsi masyarakat aktor konversi lahan terhadap pelestarian bekantan.

Penelitian dilaksanakan di SMKL, Kalimantan Selatan pada Februari-April 2015. Areal penelitian adalah habitat bekantan pada formasi Sonneratia-Avicennia

di hutan mangrove Blok Hutan Tanjung Pedada Tua seluas ±195 ha. Pengumpulan data dilaksanakan di tiga lokasi, yakni: 1) areal bervegetasi baik dan disukai bekantan seluas ±72.77 ha sebagai tapak referensi, 2) areal bervegetasi dan kurang disukai bekantan seluas ±33.96 ha sebagai areal model 1, dan 3) areal bervegetasi terganggu yang terletak dekat dengan pemukiman seluas ±19.71 ha sebagai areal model 2.

Peubah komponen fisik habitat yang diamati meliputi kondisi iklim mikro, tanah serta perairan sungai. Data komponen biotik habitat bekantan meliputi komposisi dan struktur vegetasi, pohon tidur dan jenis satwa kompetitor. Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan menerapkan metode jalur berpetak. Pengamatan dan penghitungan jumlah populasi dilakukan dengan metode terkonsentrasi dengan kriteria kelas umur bekantan mengikuti kriteria dari Yeager (1990), Murai (2004), Murai (2006) dan Stark et al. (2012).

Data persepsi masyarakat diperoleh dengan mewawancarai 33 responden yang merupakan pelaku konversi lahan. Persepsi masyarakat yang digali meliputi: 1) Pengetahuan, terdiri atas: (a) pengetahuan tentang keberadaan bekantan termasuk jenis tumbuhan yang menjadi pakan bekantan, pohon yang dipilih sebagai pohon tidur serta anggapan terhadap bekantan sebagai sumber gangguan, (b) pengetahuan tentang status perlindungan bekantan, dan (c) pengetahuan tentang status kawasan SMKL, serta pengetahuan responden tentang konsekuensi hukum bagi aktivitas menggarap lahan di SMKL; 2) Sikap, meliputi: (a) sikap penerimaan terhadap kegiatan rehabilitasi yang sudah dilaksanakan sebelumnya dan (b) sikap dukungan atau kesediaan untuk terlibat dalam program/kegiatan restorasi yang akan dilaksanakan selanjutnya.

(5)

merupakan indikator ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan. Dugaan populasi bekantan di SMKL adalah 139±43 individu dengan kepadatan 81 individu/km2 dan nisbah kelamin dewasa 1:3.09. Struktur populasi bekantan

menunjukkan jumlah populasi yang terkonsentrasi pada kelompok usia menengah-dewasa.

Pengetahuan masyarakat tentang keberadaan bekantan dan status perlindungannya cukup tinggi (>50%), tetapi sikap penerimaan dan dukungan terhadap kegiatan restorasi masih rendah (<50%). Perbedaan persepsi masyarakat ditunjukkan oleh faktor domisili responden dan status kepemilikan lahan.

Strategi restorasi habitat bekantan yang direkomendasikan meliputi: (a) penanaman jenis S. caseolaris dan jenis tumbuhan pakan lainnya (b) pengendalian tumbuhan bawah D. trifoliata, (c) penyuluhan, penyadartahuan masyarakat dan sosialiasi serta (d). Program penanaman untuk restorasi SMKL dalam jangka menengah diarahkan untuk membangun koridor bagi bekantan. Selain itu peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelesaian konflik lahan terus diupayakan dengan tujuan mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya restorasi ekosistem mangrove di SM Kuala Lupak. Kata kunci: habitat referensi, hambatan regenerasi alami, populasi bekantan,

(6)

SUMMARY

MILA RABIATI. Proboscis Monkey’s Habitat Restoration Strategy at Kuala Lupak Wildlife Sanctuary based Reference Habitat Characteristics. Supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and BURHANUDDIN MASY’UD.

This study has main objective to formulate the habitat restoration strategy of proboscis monkey at Kuala Lupak Wildlife Sanctuary (KLWS). It based on the identification of the reference habitat condition and it characteristic, proboscis monkey population and community perception about proboscis monkey conservation.

This study was conducted at KLWS, South Borneo from February to April 2015 at proboscis monkey habitat on formation of Sonneratia-Avicennia at Tanjung Pedada Tua mangrove forest as wide as ± 195 ha. Data collection carried out in three areas: 1) good vegetation and preferably proboscis monkeys area as wide as ± 72.77 ha as reference site, 2) vegetated but less favored proboscis area as wide as ± 33.96 ha as model 1 site, and 3) disturbed vegetation area, where near from settlement as wide as ±19.71 ha as model 2 site.

Abiotic component of habitat were obtained by measured micro-climate, soil and the river. Biotic component habitat including the composition and structure vegetation, sleeping trees and competitor. Observation of vegetation applied strip transect sampling method and proboscis population by concentration count method. The classification by Yeager (1990), Murai (2004), Murai (2006) and Stark et al. (2012) was used to identified the proboscis age classification

Community perception data were collected by interviewed 33 respondents who were actors of land conversion. The community perception that observed: 1) Knowledge, (a) the knowledge of the existence of proboscis, food, sleeping

tree, and whether proboscis monkey is considered as disturbance or not, (b) proboscis conservation status and (c) Kuala Lupak’s status, and also whether

the respondent understanding the legal consequences of land conversion 2) Attitude: (a) the acceptance attitude towards the rehabilitation activities that

have done before and (b) the willingness to support the restoration programmein the future.

This study showed that proboscis monkey inhabited mangrove forest

Sonneratia-Avicennia formation which was dominated by Sonneratia caseolaris

(7)

The community’s knowledge of the existence of proboscis monkey and its conservation status are quite high (>50%), but the acceptance attitude and the willingness to support the restoration program are low (<50%).

The habitat restoration strategy that must do comprise: (a) the cultivation of

Sonneratia caseolaris and other vegetation food, (b) controlling Derris trifoliata,

(c) education, awareness and socialization programme, (d) in medium period, restoration proggrame at KLWS must be directed to build up corridor of proboscis monkey. In addition, the improvement the habitat management and land conflict resolution must be pursued in order to get the support and participation from the community to restorate the mangrove ecosystem in Kuala Lupak Wildlife Sanctuary.

Keyword: reference habitat, regenerative natural barrier, proboscis monkeys population, community perception, restoration strategy

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

STRATEGI RESTORASI HABITAT BEKANTAN DI SUAKA

MARGASATWA KUALA LUPAK BERDASARKAN

KARAKTERISTIK HABITAT REFERENSI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan April 2015 ini ialah penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove di Suaka Margasatwa Kuala Lupak yang merupakan habitat bekantan, dengan judul Strategi Restorasi Habitat Bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi dan Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS selaku pembimbing, atas arahan dan bimbingan selama proses penyelesaian karya ilmiah ini, serta Bapak Dr Ir Nyoto Santoso, MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran terutama pada aspek strategi. Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Bapak Ir. Ridwan (Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai KSDA Kalimantan Selatan), Bapak Suriadi beserta staf Resort KSDA Kuala Lupak, Sdr. Usman, S.Hut dan Bapak Indra Kusuma Wijaya yang telah memfasilitasi dan membantu selama pengumpulan data, Bapak Sofwan Hidayat yang membantu selama masa perkuliahan di program studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya, serta teman-teman KVT 2013 atas dukungan semangat dan kerjasama.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 METODE 7

Lokasi dan Waktu Penelitian 7

Peralatan dan Bahan 7

Jenis Data 8

Prosedur Pengumpulan Data 9

Pengolahan dan Analisis Data 13

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Karakteritik Habitat Bekantan 16

Struktur dan Komposisi Vegetasi 20

Populasi Bekantan 24

Persepsi Masyarakat terhadap Konservasi Bekantan di SMKL 29

Strategi Restorasi Habitat Bekantan 40

4 SIMPULAN DAN SARAN 48

Simpulan 48

Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49

LAMPIRAN 55

(15)

DAFTAR TABEL

1 Jenis data yang dikumpulkan 8

2 Penentuan rentang kelas umur bekantan 15

3 Perbandingan komponen fisik habitat pada tapak referensi, tapak

model 1 dan tapak model 2 16

4 Komposisi jenis dan suku pada setiap tingkatan vegetasi di habitat

bekantan SM Kuala Lupak 17

5 Jenis vegetasi sumber pakan bekantan di Tanjung Pedada Tua 18 6 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting empat jenis mangrove tertinggi

pada habitat bekantan di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak

model 2 21

7 Status regenerasi jenis mangrove di Tanjung Pedada Tua berdasarkan

kriteria Shankar (2001) 22

8 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting tumbuhan bawah pada habitat bekantan di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 23 9 Rekapitulasi struktur dan ukuran kelompok bekantan 26

10 Jumlah populasi beantan menurut kelas umur 28

11 Karakteristik responden 30

12 Persepsi masyarakat tentang konservasi bekantan dan SM Kuala Lupak 32

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka pikir 6

2 Peta lokasi penelitian di Blok Hutan Tanjung Pedada Tua SMKL 7

3 Bentuk dan ukuran jalur pengamatan vegetasi 11

4 Salah satu kelompok bekantan jantan (AMG) di SMKL 27 5 Salah satu kelompok bekantan OMG di SMKL

6 Struktur populasi bekantan menurut kelas umur 29 7 Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT) 31 8 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang

keberadaan bekantan 33

9 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang

status perlindungan bekantan 34

10 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi 36 11 Distribusi responden berdasarkan sikap penerimaan masyarakat

terhadap program restorasi 37

12 Distribusi responden berdasarkan kesediaan masyarakat dalam

mendukung program restorasi 38

13 Silvofishery model empang parit (Bengen 2000) 43

14 Silvofishery model empang parit yang disempurnakan (Bengen 2000) 44

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data hasil pengukuran komponen fisik habitat 56

2 Daftar pemilik tambak di SMKL 57

3 Hasil identifikasi kondisi eksisting dan saran strategi aspek habitat 62 4 Hasil identifikasi kondisi eksisting dan saran strategi aspek populasi

bekantan 63

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) merupakan jenis satwa primata endemik Borneo, yang sebarannya meliputi tiga negara yakni: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Jenis ini telah dinyatakan sebagai salah satu jenis dilindungi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; termasuk kategori endangered species menurut Red List IUCN 2008, dan tercantum dalam CITES Appendix I. Selain itu, sejak tahun 1990 bekantan ditetapkan sebagai fauna maskot Provinsi Kalimantan Selatan (Saidah et al. 2002).

Bekantan dapat hidup di berbagai tipe habitat seperti hutan mangrove, hutan rawa gambut, hutan tepi sungai (Salter et al. 1985, Matsuda et al. 2010), hutan Dipterocarpaceae, hutan kerangas (Salter et al. 1985), hutan rawa gelam, hutan karet dan hutan bukit kapur/karst (Soendjoto et al. 2006a, Soendjoto 2006b). Luas habitat bekantan terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu, yakni dari 29,500 km2 telah berkurang sebanyak 40% menjadi sekitar 17,700 km2 (McNelly

et al. 1990). Habitat bekantan yang berada di kawasan konservasi hanya sekitar 4.1%. Tahun 1995 terjadi penurunan luas habitat berkisar antara 20-88% di enam tipe ekosistem (Meijaard & Nijman 2000). Laju penurunan luas habitat bekantan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan adalah 2% per tahun (Manansang

et al. 2005). Tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan bahkan meningkat menjadi 3.49% per tahun (Bismark 2009).

Selain kerusakan dan/atau perubahan kondisi habitat, populasi bekantan juga diketahui terus mengalami penurunan secara drastis dan terancam punah akibat menurunnya kualitas dan kuantitas habitatnya. MacKinnon (1987) menduga populasi bekantan di Indonesia pada tahun 1987 berjumlah 260,950 individu dengan kepadatan 25 individu/km2 dan selama kurun waktu 10 tahun menurun menjadi 114,000 individu (Bismark & Iskandar 2002). Di antara jumlah populasi tersebut diduga sebanyak 25,625 individu berada di dalam kawasan konservasi (BEBCI 2007 dalam Kartono et al. 2008) namun berdasarkan simposium Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) bekantan tahun 2004, populasi bekantan ditaksir tinggal 25,000 individu dan sekitar 5,000 individu hidup di dalam kawasan konservasi (Ditjen PHKA 2012). Stark et al. (2012) bahkan memperkirakan populasi bekantan di Kalimantan akan terus mengalami penurunan sampai lebih dari setengah populasi yang ada saat ini, dan menuju kepunahan dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun jika tidak ada upaya peningkatan pengelolaan habitat.

(18)

2

alaminya dan sisanya menempati areal habitat yang sempit di blok Hutan Tanjung Pedada Tua, SM Kuala Lupak.

Keberadaan bekantan di SMKL merupakan salah satu indikator kondisi ekosistem mangrove di wilayah ini. Hal ini karena bekantan Kerusakan dan hilangnya habitat mangrove yang berganti menjadi areal tambak dan persawahan masyarakat telah mengubah struktur, fungsi, keanekaragaman serta dinamika ekosistem mangrove. Selain mempengaruhi kehidupan bekantan, fungsi kawasan mangrove sebagai tempat mencari ikan, udang dan kepiting bagi masyarakat desa sekitar SMKL juga berkurang. Air sungai yang mengandung sedimen lumpur tinggi dan juga sampah rumah tangga telah menyebabkan gangguan fisik seperti pendangkalan pantai dan pencemaran. Gangguan lingkungan fisik hutan mangrove akan berpengaruh terhadap produktivitas, sebaran, kerapatan dan biodiversitas tumbuhan (Bismark 2009). Kondisi ini menurut Bismark (2009) akan menentukan kuantitas dan kualitas nutrisi sumber pakan bekantan. Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan suatu upaya pembinaan habitat melalui kegiatan restorasi ekosistem untuk mengembalikan fungsi SMKL sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan habitat bagi hidupan liar di dalamnya termasuk biota perairan.

Restorasi ekosistem atau pemulihan ekologi (ecological restoration) adalah proses untuk membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi, rusak atau hancur dengan tujuannya untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman serta dinamika dari ekosistem tersebut (SER Internasional 2004). Beberapa praktek restorasi ekosistem didasarkan pada pendekatan kesesuaian habitat spesies kunci, yakni kegiatan penanaman jenis-jenis pohon asli yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan pakan, cover dan ruang pergerakan satwa di habitat aslinya. Contoh keberhasilan restorasi dengan pendekatan kesesuaian habitat spesies kunci telah dilakukan pada habitat gajah di Kinabatangan River, Sabah Malaysia, yaitu restorasi habitat yang menghubungkan area terpilih dengan habitat populasi gajah (Keenelyside et al. 2012). Restorasi ekosistem mangrove di SMKL memerlukan lokasi acuan (reference site) yang dapat memberikan gambaran kondisi ekosistem yang belum terdegradasi. Habitat referensi bekantan dipilih sebagai lokasi acuan atau referensi bagi restorasi SMKL karena bekantan merupakan spesies kunci yang harus dipertahankan keberadaannya di wilayah ini. Habitat referensi dipilih berdasarkan observasi awal, terdapat tiga karakteristik tipe tapak habitat bekantan yang ada di SMKL. Pertama, habitat bervegetasi baik banyak dijumpai bekantan, kedua habitat bervegetasi yang kurang disukai bekantan dan ketiga habitat bervegetasi dekat dengan gangguan (permukiman dan areal budidaya).

(19)

3 masyarakat aktor konversi lahan kawasan yang menjadi faktor ancaman terhadap kelestarian bekantan dibutuhkan untuk menjaring data pendukung dalam merumuskan strategi pemulihan ekosistem SMKL.

Perumusan Masalah

Habitat adalah sejumlah sumber daya dan kondisi spesifik yang dibutuhkan oleh suatu spesies untuk hidup, serta dapat memberikan tempat hidup termasuk survival dan reproduksi. Oleh karena itu habitat merupakan kombinasi komunitas biotik dan lingkungan abiotik yang mencakup serangkaian kondisi yang menentukan suatu spesies dapat hidup dan bereproduksi (Sinclair et al. 2006). Pemilihan habitat oleh bekantan dipengaruhi oleh distribusi, ukuran dan ketersediaan sumber pakan (Boonratana 1999), sedangkan distribusi dan reproduksi suatu spesies dipengaruhi kondisi lingkungan abiotik seperti suhu dan curah hujan (Sinclair et al. 2006). Akibatnya kondisi populasi yang menempati suatu habitat bergantung pada kondisi habitat. Ketersediaan pakan, cover, air dan komponen habitat dibutuhkan untuk memelihara fungsi fisiologi dasar satwa untuk bertahan hidup dan bereproduksi sampai menghasilkan keturunan yang menjadi anggota populasi (Patton 2011).

Kerusakan dan hilangnya habitat saat ini merupakan faktor utama yang mengancam kelestarian bekantan di SMKL. Saat ini, kawasan yang masih berhutan di SMKL hanya tersisa ±726.30 ha atau sekitar 22% dari total luas kawasan (BKSDA Kalsel 2014a). Luas wilayah yang telah berubah peruntukan menjadi tambak adalah seluas ± 1,550.64 ha dan persawahan seluas ±443.10 ha (BKSDA Kalsel 2012). Deforestasi mangrove ini telah menyebabkan degradasi habitat dan terganggunya fungsi ekologis ekosistem mangrove SMKL. Salah satu dampak yang terlihat adalah terhadap keberadaan populasi bekantan. Bekantan hidup terpencar dalam kelompok kecil (2 sampai 15 ekor) di dalam kawasan SMKL, sedangkan selebihnya memilih mendiami habitat yang masih tersisa yang di luar kawasan. Jarak terdekat konsentrasi populasi yang terdapat di dalam kawasan dengan yang ada di luar SMKL adalah ±12 km, dipisahkan oleh areal tambak.

(20)

4

pengenalan hidrologi (frekuensi dan durasi pasang-surut air laut) komunitas mangrove yang berdekatan dengan kawasan yang akan direstorasi.

Habitat referensi yang tersedia di SMKL adalah di blok Hutan Tanjung Pedada Tua seluas ±195 ha. Blok hutan Tanjung Pedada Tua adalah bagian dari SMKL yang masih bervegetasi relatif baik dan satu-satunya tapak terdapat kelompok bekantan dalam jumlah yang besar antara 50-100 individu (perkiraan kasar, pengamatan langsung tahun 2013). Habitat bekantan di Tanjung Pedada Tua saat ini diduga masih memenuhi syarat sebagai habitat referensi bekantan di SMKL. Hal ini didasarkan pada dugaan bahwa : (1) wilayah ini masih bervegetasi alami dan mampu menyediakan sumber pakan bekantan; (2) di wilayah ini terdapat populasi bekantan yang sedang mengalami perkembangan dan (3) tingkat gangguan relatif rendah. Oleh karena itu areal ini dapat dijadikan sebagai lokasi acuan yang dapat memberikan informasi ekologis untuk dapat merekonstruksi habitat bekantan di SMKL. Terdapat tiga karakteristik pada habitat bekantan yang tersisa, yakni (1) areal bervegetasi baik, disukai dan banyak terdapat bekantan, (2) areal bervegetasi baik, kurang disukai, bekantan yang dijumpai sedikit, dan (3) areal bervegetasi terganggu, dekat dengan areal budidaya dan pondok masyarakat. Berdasarkan karakteristik areal tersebut pengambilan contoh dilakukan dilakukan di ketiga areal tersebut yang selanjutnya dinamakan tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2.

Selain aspek habitat, kondisi populasi bekantan terkini diperlukan sebagai dasar bagi kegiatan restorasi habitat di SMKL. Populasi merupakan penciri utama preferensi habitat dan juga menjadi indikator kesehatan habitat. Populasi akan dapat dijumpai pada wilayah yang dapat memenuhi segala kebutuhan dasar yang meliputi makanan dan air, tempat untuk berlindung, serta pergerakan. Populasi satwa liar berfluktuasi dari waktu ke waktu mengikuti keadaan fluktuasi lingkungannya (Alikodra 1990). Jumlah individu kelompok bekantan dipengaruhi oleh kualitas dan tipe habitat (Bismark 2009). Selain jumlah individu, komposisi dan struktur populasi menjadi faktor penentu apakah suatu populasi masih bisa berkembang atau tidak. Selain itu kecenderungan populasi di suatu wilayah dapat digunakan untuk menganalisis daya dukung habitat dan kelestariannya. Data mengenai populasi bekantan di SMKL masih minim, dari data yang tersedia masih belum bisa memberikan informasi bagaimana gambaran populasi bekantan pada habitat yang mengalami gangguan. Oleh karena itu pengumpulan data populasi bekantan diperlukan untuk memperoleh gambaran sejauh mana gangguan habitat di SMKL mempengaruhi kondisi populasi bekantan yang ada.

(21)

5 penilaian interpretasi terhadap obyek (Haritanto 2001). Tingkat partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan akan dipengaruhi oleh tingkat persepsinya. Tingkat persepsi yang tinggi merupakan dasar dukungan dan motivasi positif untuk berperan serta, demikian pula sebaliknya tingkat persepsi yang rendah dapat menghambat peran serta seseorang dalam kegiatan. Oleh karena itu data sosial masyarakat diperlukan sebagai pendukung untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi sekaligus sebagai dasar untuk melakukan pemetaan sosial terhadap pelaku konversi lahan di SMKL.

Berdasarkan pendekatan habitat dan populasi bekantan serta aspek sosial masyarakat yang menggarap lahan di SMKL maka penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana keadaan bio-fisik habitat bekantan. Komponen biotik habitat meliputi pohon pakan, pohon tidur, dan predator, sedangkan komponen fisik meliputi kelembaban, suhu, dan kondisi sungai

2. Bagaimana komposisi dan struktur vegetasi penyusun habitat bekantan, termasuk vegetasi yang menjadi sumber pakan dan pohon tidurnya

3. Bagaimana keadaan populasi bekantan termasuk komposisi jenis dan struktur umur

4. Bagaimana persepsi masyarakat (aktor yang mengolah lahan di SMKL terhadap konservasi bekantan, kawasan, serta kegiatan restorasi di SMKL.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi komponen habitat bekantan di SMKL.

2. Mengukur keanekaragaman vegetasi di habitat bekantan di SMKL. 3. Menghitung populasi bekantan di SMKL.

4. Mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap konservasi bekantan di SMKL.

5. Merumuskan strategi restorasi habitat bekantan di SM Kuala Lupak.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Memberikan kontribusi keilmuan terhadap konservasi habitat bekantan di

SMKL.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi kegiatan restorasi dan pembinaan habitat bekantan di SMKL berdasarkan hasil kajian karakteristik habitat referensi bekantan.

3. Sebagai bahan acuan untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi habitat bekantan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencoba merumuskan strategi restorasi habitat bekantan di SMKL berdasarkan karakteristik habitat referensi di Tanjung Pedada Tua.

(22)

6

SMKL harus ditujukan untuk mengembalikan kondisi ekosistem kepada kondisi sebelum mengalami kerusakan akibat konversi menjadi areal pertambakan dan persawahan. Tujuan akhir pemulihan ekosistem SMKL adalah mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem mangrove sebagai habitat bekantan.

Strategi yang dirumuskan dibatasi pada kajian aspek ekologi habitat referensi dan aspek sosial masyarakat yang beraktivitas di dalam kawasan SMKL. Perumusan strategi didasarkan pada hasil identifikasi permasalahan pada kondisi eksisting saat ini dan kondisi yang berpotensi menjadi peluang dalam upaya Komponen fisik Komponen Biotik

Persepsi masyarakat

Observasi Wawancara Fungsi dan Manfaat :

- Fungsi hutan mangrove (biologis/ekologis, fisik, sosial ekonomi) - Habitat bekantan

Kondisi eksisting :

- Konversi hutan mangrove menjadi tambak dan persawahan

- Populasi bekantan keluar kawasan

- Rehabilitasi lahan belum berdasarkan kajian ekologis

Pemulihan Ekosistem : mengembalikan struktur dan fungsi SMKL

Karakteristik Habitat Referensi

(23)

7

Tanjung Pedada Tua

2 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan Suaka Margasatwa Kuala Lupak (SMKL), Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, kawasan SMKL termasuk dalam 2 desa yaitu Desa Kuala Lupak dan Desa Sungai Telan Besar Kecamatan Tabunganen Kabupaten Barito Kuala. Tanjung Pedada Tua termasuk dalam wilayah Desa Sungai Telan Besar. SM Kuala Lupak dapat dicapai dalam waktu 25 - 40 menit dengan memakai speed boat 85 PK atau ± 2 jam dengan menggunakan kelotok dari pusat Kota Banjarmasin. Alternatif lain adalah naik kelotok dari Kecamatan Aluh-aluh dengan waktu tempuh 30-40 menit. Dari pusat Kota Banjarmasin menuju Kecamatan Aluh-aluh ditempuh dengan jalur darat lebih kurang 1.5-2 jam. Pengumpulan data dilakukan selama tiga bulan dari bulan Februari sampai April 2015. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Lokasi penelitian di Blok Hutan Tanjung Pedada Tua SMKL

Peralatan dan Bahan

(24)

8

survey instrument) untuk mengukur intensitas cahaya matahari yang diterima tanah. Kondisi tanah yang meliputi suhu, kelembaban dan pH tanah diukur menggunakan soil tester digital. Kondisi keasaman/kebasaan air sungai perairan sungai diukur dengan menggunakanpH meter (ATC), sedangkan salinitas diukur dengan menggunakan salt meter (CT-3086). Pengamatan bekantan menggunakan binokuler dan hand counter untuk menghitung jumlah individu bekantan. Pita ukur (1.5 meter) digunakan untuk mengukur diameter pohon. Peralatan lainnya yang digunakan meliputi kamera digital, buku pengenalan jenis dan tally sheet. Obyek penelitian adalah bekantan (Nasalis larvatus) dan habitat di Tanjung Pedada Tua, SM Kuala Lupak, serta masyarakat pelaku konversi lahan di dalam kawasan.

Jenis Data

Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik habitat, populasi bekantan dan data sosial masyarakat. Jenis data yang dikumpulkan sajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis data yang dikumpulkan

Tujuan Jenis Data Parameter diukur Teknik Pengumpulan Data

a. Kondisi udara Suhu udara Pengukuran dengan thermohygrometer Kelembaban udara

b. Kondisi tanah Suhu, kelembaban, pH, intensitas cahaya matahari yang diterima tanah

Pengukuran dengan

Soil tester 4 in 1

Jenis tanah Penentuan kualitatif di lapangan

Kondisi pasang surut Pengamatan langsung 2. Komponen

Biotik habitat

a. vegetasi pakan Jenis, bagian yang dimakan

Pengamatan langsung

b. Pohon tidur Jenis, diameter, tinggi, jarak dari sungai, jarak

Jenis, diameter , jumlah Pengamatan langsung dan pengukuran d. Satwa lain

(kompetitor, predator)

Jenis satwa Pengamatan langsung

2. Mengukur keragaman vegetasi habitat bekantan

Jenis vegetasi Jenis, indeks keanekaragaman

(25)

9 Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan (lanjutan)

Tujuan Jenis Data Parameter diukur

Teknik

Pengumpulan data vegetasi dan populasi bekantan dilaksanakan di tiga lokasi tapak berbeda. Penentuan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan adanya preferensi habitat bekantan yang dipengaruhi oleh kondisi habitat. Wilayah bervegetasi di SMKL tidak merupakan satu hamparan yang utuh, tetapi dipisahkan oleh sungai-sungai, baik alami maupun buatan (sodetan). Bekantan tidak memilih semua wilayah bervegetasi sebagai habitatnya, tetapi ada preferensi tertentu. Pemilihan lokasi untuk menempatkan plot sampling adalah lokasi yang menjadi konsentrasi bekantan berdasarkan hasil observasi awal. Analisis vegetasi dan pengumpulan data populasi bekantan akan dilakukan di 3 lokasi (tapak) yang berbeda, dengan kriteria sebagai berikut :

Tapak referensi : lokasi bervegetasi baik dan disukai bekantan Tapak model 1 : lokasi bervegetasi baik kurang disukai bekantan Tapak model 2 : lokasi bervegetasi rusak (terganggu)

Intensitas sampling (IS) yang digunakan dalam pengambilan contoh sebesar 2% (Kustanti 2011) karena pertimbangan bahwa vegetasi mangrove di Tanjung Pedada Tua relatif homogen. Plot contoh berukuran 0.25 ha mengikuti pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) berbentuk jalur berpetak dengan ukuran 10 m x 250 m, dengan masing-masing pengambilan sampling sebagai berikut :

Tapak referensi (luas ± 72.77 ha) : 1.50 ha (6 jalur, 150 petak ukur) Tapak model 1 (luas ± 33.96 ha) : 1.00 ha (4 jalur, 100 petak ukur) Tapak model 2 (luas ± 19.71 ha) : 0.75 ha (3 jalur, 75 petak ukur)

(26)

10

Pengumpulan Data Komponen Habitat

Komponen Fisik Habitat

Pengukuran komponen fisik habitat dilakukan pengulangan masing-masing 3 kali dengan pemilihan titik pengukuran di tepi, tengah dan belakang dari arah laut menuju ke darat pada masing-masing tapak. Pengumpulan data komponen fisik habitat dilakukan dengan pengukuran dan atau pengamatan (observasi).

Kondisi iklim mikro

Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan thermohigrometer digital (HTC-1) yang dapat langsung membaca hasil pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan thermohigrometer di tempat yang datar dan bebas penghalang. Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pagi hari (07:30), siang hari (12:30) dan sore hari (17:30). Data yang dicatat adalah data rerata yang merupakan hasil pejumlahan suhu maksimum dan minimum pada hari pengukuran, selanjutnya dibagi 2 (Kartasapoetra 2004). Selanjutnya untuk mendapatkan suhu dan/atau kelembaban rata-rata harian dihitung dengan rumus (2 pagi + 1 siang + 1 sore)/4. Pengukuran intensitas ntensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanah diukur dengan alat soil tester digital (4 in 1 soil survey instrument), dengan prosedur pengukuran yang sama.

Kondisi tanah

1. Suhu, kelembaban, dan pH tanah diukur dengan alat soil tester digital (4 in 1 soil survey instrument) yang dapat langsung membaca hasil pengukuran. Alat ukur ditancapkan di tanah pada kedalaman 20 cm, kemudian dicatat pembacaan hasil pengukuran pada layar display. Pengukuran suhu maupun kelembaban udara dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pagi hari (07:30), siang hari (12:30) dan sore hari (17:30). Hasil pengukuran kelembaban dan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanah tersaji secara kualitatif sesuai dengan spesifikasi alat yang digunakan.

2. Tekstur tanah/substrat yang menjadi media tumbuh jenis mangrove dominan, ditentukan secara kualitatif di lapangan dengan cara menggambil komposit tanah pada kedalaman 20 cm. Sampel tanah kemudian kemudian dipirit di antara ibu jari dan telunjuk sehingga membentuk pita lembab dan diamati dan ditentukan apakah berpasir atau berlumpur.

Kondisi perairan

Derajat keasaman (pH) perairan. Derajat keasaman (pH) perairan diukur dengan menggunakan pH meter (ATC). Pengukuran dilakukan dengan cara mencelupkan bagian elektroda (electrode part) ke dalam air selama 2-3 menit, sampai angka digital yang terbaca secara otomatis pada display alat menunjukkan angka stabil.

(27)

11

Kondisi pasang surut. Kondisi yang diamati adalah kapan waktu pasang, kapan waktu surut, serta berapa lama waktu pasang berlangsung, dan apakah pada saat pasang terjadi penggenangan di habitat bekantan. Hasil pengamatan dicatat

Komponen Biotik

Struktur dan komposisi vegetasi

Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan metode jalur berpetak yang dibuat tegak lurus dengan sungai. Jumlah jalur pengamatan seluruhnya 13 jalur yakni masing-masing 6 jalur untuk tapak referensi, 3 jalur untuk tapak model 1 dan 4 jalur untuk tapak model 2. Untuk memudahkan perisalahan tegakan dalam plot berbentuk jalur 10 m x 250 m dibuat petak-petak ukur kontinyu berukuran 10 m x 10 m (Soerianegara & Indrawan 1998). Setiap jalur terdiri dari 25 petak ukur. Selanjutnya dalam petak ukur 10 m x 10 m dibuat sub-sub petak berukuran 5 m x 5 m dan 2 m x 2 m (Gambar 3).

A Sub petak 2m x 2m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah. B Sub petak 5m x 5m untuk tingkat pancang

C Sub petak 10m x10m untuk tingkat pohon

Kriteria untuk analisis vegetasi yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Semai : permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi 1.5 m

b. Pancang : permudaan dengan tinggi >1.5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm

c. Pohon : pohon berdiameter 10 cm atau lebih

d. Tumbuhan bawah : tumbuhan selain permudaan pohon (rumput, herba, semak belukar)

Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan pancang adalah jenis pohon dan diameter. Untuk tingkat pertumbuhan pancang dan semai data yang diambil meliputi jenis dan jumlah individu setiap jenis. Pengukuran diameter dilakukan pada tinggi 1.3 m dari atas permukaan tanah dan atau 30 cm di

(28)

12

atas banir (untuk pohon dari marga Bruguiera) dan akar tunjang (untuk pohon dari marga Rhizophora).

Data jenis vegetasi pakan bekantan diperoleh dari pengamatan dan pencatatan jenis vegetasi yang bagiannya (daun, buah, bunga) dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan. Untuk pohon tidur, data yang diambil meliputi jenis pohon, tinggi, jarak dari tepi sungai dan jarak dengan pohon tidur terdekat (Bernard et al. 2011).

Satwa kompetitor dan predator

Pengumpulan data jenis-jenis satwa yang merupakan kompetitor dan predator dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data vegetasi. Satwa kompetitor dan atau predator yang dijumpai di areal pengamatan dicatat jenis dan jumlahnya.

Pengumpulan Data Populasi Bekantan

Penghitungan populasi bekantan dilakukan dengan menggunakan metode terkonsentrasi (Alikodra 1990), dengan asumsi bahwa bekantan adalah jenis satwa yang memiliki perilaku berkumpul di lokasi tidurnya di tepi sungai pada sore hari sampai dengan pagi hari keesokan harinya. Pengamatan dilakukan pada pagi hari antara jam 06:00 - 09:00 dan sore hari antara jam 16:00 - 18:30.

Pengamatan dan penghitungan populasi dilakukan oleh tiga orang pengamat selama 3 hari pengamatan, dengan total ulangan sebanyak 6 kali di dua titik konsentrasi yakni di tapak referensi dan tapak model 1, sedangkan di tapak model 2 selama periode penelitian tidak terdapat konsentrasi bekantan.

Jenis data yang dicatat meliputi jumlah individu, komposisi umur dan jenis kelamin untuk bekantan dewasa. Kriteria kelas umur yang digunakan mengacu pada pembagian berdasarkan ciri-ciri menurut Yeager (1990) sebagai berikut : 1. Jantan dewasa: hidung besar (telah berkembang sempurna), alat kelamin luar

tampak jelas, bobot badan besar sekitar 20-22 kg, terdapat warna putih berbentuk segitiga pada bagian pinggul, lapisan lemak terlihat jelas di bagian punggung, dan berkembang otot paha yang kuat.

2. Jantan setengah dewasa: ukuran tubuhnya sama atau lebih besar daripada betina dewasa, alat kelamin luar tampak jelas, otot bagian paha lebih berkembang dibandingkan dengan betina dewasa, hidung mulai membesar, tidak ada lapisan lemak di bagian punggungnya.

3. Betina dewasa: bobot badan relatif lebih kecil dibandingkan bobot badan jantan dewasa (10-12 kg), puting susu tampak jelas, hidung lebih kecil dan runcing.

4. Betina setengah dewasa: ukuran tubuh lebih dari ¾ dewasa, hampir sama dengan betina dewasa.

5. Remaja: ukuran tubuh setengah atau dua per tiga dari ukuran tubuh betina dewasa. Sudah dapat berdiri (berjalan) sendiri, tetapi masih tidur dengan induknya.

(29)

13

Pengumpulan Data Persepsi Masyarakat

Masyarakat responden adalah masyarakat lokal yang terlibat kegiatan konversi lahan di SMKL, baik pemilik tambak atau lahan maupun pekerja tambak. Jumlah responden sebanyak 33 orang. Pengumpulan data persepsi masyarakat dilakukan dengan metode wawancara dengan kuisioner. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik responden dan persepsi. Karakteristik responden untuk masyarakat lokal meliputi: jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status lahan, jumlah anggota keluarga, dan suku/etnis serta lamanya mereka menggarap lahan di SMKL. Data persepsi masyarakat yang digali meliputi :

1. Pengetahuan, yang terdiri dari atas (a) pengetahuan terhadap keberadaan bekantan termasuk jenis tumbuhan yang menjadi pakan bekantan, pohon yang dipilih sebagai pohon tidur serta anggapan tentang bekantan sebagai gangguan atau tidak, (b) pengetahuan tentang status perlindungan bekantan, dan (c) pengetahuan tentang status kawasan SM Kuala Lupak, serta apakah responden mengetahui konsekuensi hukum menggarap lahan di SMKL.

2. Sikap, yang meliputi (a) sikap penerimaan terhadap kegiatan rehabilitasi yang sudah dilaksanakan sebelumnya dan (b) sikap dukungan atau kesediaan untuk terlibat dalam program/kegiatan restorasi yang akan dilaksanakan selanjutnya. 3. Sebagai bahan pendukung dilakukan wawancara dengan responden yang

berasal dari stakeholder terkait.

Pengujian dilakukan untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat, dengan hipotesis awal (H0): bahwa tidak terdapat perbedaan

tingkat persepsi berdasarkan faktor yang diuji. Persepsi stakeholder dikembangkan dalam diskusi/wawancara yakni pengetahuan tentang keberadaan/ status bekantan dan SM Kuala Lupak, pandangan terhadap kondisi eksisting serta saran (alternatif solution) terhadap upaya restorasi SM Kuala Luak. Responden stakeholder terkait dipilih berdasarkan data dari BKSDA Kalsel, instansi/lembaga mana saja yang selama ini dilibatkan dalam upaya penanganan perambahan dan rehabilitasi hutan di SMKL, antara lain BPDAS Barito, Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Bappeda Kabupaten Barito Kuala, Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Kuala, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barito Kuala, Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Barito Kuala dan Camat Tabunganen dan Kepala Desa Sungai Telan.

Pengolahan dan Analisis Data

Komponen Habitat

Komponen fisik habitat di ketiga tapak pengamatan dan diperbandingkan dan disajikan berdasarkan hasil analisi statistik deskriptif untuk melihat kesamaan atau perbedaan kondisi, dengan tapak referensi sebagai pembanding atas kedua tapak model 1 dan tapak model 2.

(30)

14

BC=1 min ( , )

( )

Keterangan: Xij = jumlah individu ke-i, pada tipe habitat ke-j, dan Xik = jumlah

individu ke-i, pada tipe habitat ke-k.

Struktur dan komposisi vegetasi

Indeks Nilai Penting. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi vegetasi yang menyusun komunitas habitat bekantan. Komposisi vegetasi didapatkan dengan menghitung Indeks Nilai Penting (INP) dari masing-masing jenis pada setiap tingkatan vegetasi dengan persamaan sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 1998):

Kerapatan suatu jenis (K) = Jumlah individu suatu jenis Luas petak contoh

Kerapatan relatif suatu jenis (KR) = Kerapatan suatu jenis X 100% Kerapatan seluruh jenis

Frekuensi suatu jenis (F) = Jumlah sub-petak ditemukan suatu jenis Total seluruh sub-petak contoh

Frekuensi relatif suatu jenis (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100%

Total frekuensi seluruh jenis

Dominansi suatu jenis (D) = Luas bidang dasar suatu jenis Luas petak contoh

Dominansi relatif suatu jenis (DR) = Dominansi suatu jenis X 100% Dominansi seluruh jenis

Luas bidang dasar (lbds) suatu jenis merupakan total luas bidang dasar setiap individu jenis tertentu yang dihitung dengan menggunakan persamaan:

Lbds = . 2 4 1

D

 atau Ldbs = 

4 2 K

Indeks nilai penting (INP) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

INP untuk tingkat pohon = KR + FR + DR INP untuk tingkat semai dan pancang = KR + FR

Kerapatan individu per ha digunakan untuk menganalisis status regenerasi mangrove berdasarkan kriteria Shankar (2001).

Indeks Keanekaragaman Jenis. Indeks keanekaragaman jenis dihitung berdasarkan rumus Shanon-Wiener (Ludwig & Reynolds 1988):

Keterangan: H’= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, Pi= proporsi spesies

ke-i (= ni/N), ni = jumlah individu spesies ke-i, dan N= jumlah individu seluruh

(31)

15

Populasi Bekantan

Penghitungan populasi menggunakan metode penghitungan terkonsentrasi (Concentration Count) (Alikodra 1990) dengan persamaan penduga ukuran populasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

∑ ∑

Keterangan: Xij = ukuran populasi pada lokasi konsentrasi ke-i dan pengamatan

ke-j, Pij = rerata jumlah individu yang dijumpai pada konsentrasi ke-i dan

pengamatan ke-j, n = jumlah ulangan pengamatan dan P= total populasi pada seluruh areal penelitian. .

Analisis struktur populasi bekantan didasarkan pada penentuan rentang kelas umur bekantan menggunakan pendekatan ciri biologis, morfologi dan perilaku yang diacu dari kriteria Yeager (1990), Murai (2004), Murai (2006) dan Stark et al. (2012) seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Penentuan rentang kelas umur bekantan Kelas (masa laktasi) + jeda dengan kelahiran berikutnya seksual rata-rata umur 5 tahun dan jantan 7 tahun

(Murai 2004, 2006)

Persepsi Masyarakat

Analisis data persepsi masyarakat dilakukan melalui analisis deskriptif dengan menyajikan frekuensi dan persentase. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dengan uji Chi-Square pada taraf nyata α = .05.

(32)

16

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Habitat Bekantan

Komponen Fisik

Habitat bekantan di SMKL dibentuk oleh formasi hutan mangrove riparian yang didominasi oleh jenis Avicennia alba dan Sonneratia caseolaris. Habitat bekantan di SMKL tidak berupa satu hamparan utuh, tetapi berupa tapak-tapak yang dipisahkan oleh sungai dengan lebar antara 28-30 m. Adanya pemisahan oleh sungai ini mempengaruhi pemilihan tapak (preferensi) oleh kawanan bekantan. Namun demikian, jarak antar tapak yang relatif dekat (<100 m) tidak berpengaruh terhadap perbedaan keadaan komponen fisik habitat. Kondisi suhu (baik udara, tanah dan perairan) dan kelembaban relatif udara tidak berbeda. Suhu harian berkisar antara 28-29°C dan kelembaban udara relatif 76.75% (Tabel 3). Tabel 3 Perbandingan komponen fisik habitat pada tapak referensi, tapak model 1

dan tapak model 2

Parameter Tapak Referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2

1. Udara

- Suhu udara 28.7°C 28.75°C 29.45°C

- Kelembaban udara 76.75 % 76.75 % 76.25 % 2. Tanah

- Suhu tanah 29.20°C 29.27°C 29.37°C

- pH tanah 5 5 5

- Kelembaban tanah WET WET WET

- Intensitas cahaya LOW LOW LOW

- Substrat berlumpur berlumpur, lumpur berpasir di bagian pantai

berlumpur, lumpur berpasir di bagian pantai 3. Perairan (sungai)

- Suhu perairan 29.60°C 29.50°C 29.57°C

- pH 5.52 5.45 5.48

- Salinitas 0 0 0

Jenis tanah di SMKL merupakan tanah berlumpur hingga lumpur berpasir di bagian tepi pantai dengan kondisi tanah dalam yang selalu basah. Hamparan tanah yang tertutup oleh tumbuhan merambat jenis Derris trifoliata menyebabkan intensitas cahaya rendah sepanjang waktu dengan kisaran pH antara 4.5-6.0.

(33)

17 salinitas. Selain mempengaruhi komposisi mangrove, salinitas berpengaruh meningkatkan kadar tanin (El-Lamey 2012). S. caseolaris memiliki adaptasi yang tinggi terhadap tingkat salinitas yang rendah (Zan et al. 2003, Aziz et al. 2012), sedangkan A. alba dapat beradaptasi pada tingkat salinitas yang lebih tinggi.

S. caseolaris dapat tumbuh pada tanah yang memiliki salinitas mendekati air tawar yakni <0.1% salinitas air laut (0.1% salinitas air laut ekivalen dengan 0.00034% kandungan garam atau 0.34 gram/liter) (Giesen et al. 2006).

Tegakan S. caseolaris pada habitat bekantan di SMKL diduga memiliki kadar tanin yang rendah karena pengaruh tingkat salinitas yang rendah. Oleh karena itu bekantan di SMKL memilih S. caseolaris sebagai sumber pakan utama dan bertahan di habitat referensi yang didominasi oleh S. caseolaris dan A. alba.

Komponen Biotik

Komposisi Vegetasi. Hutan mangrove habitat bekantan di SMKL termasuk miskin jenis tumbuhan. Di lokasi ini ditemukan tujuh jenis tumbuhan habitus pohon yakni: A. alba , Excoecaria agallocha, Hibiscus tiliaceus dan S. caseolaris,

Nypa fruticans dan Cerbera manghas dan Thespesia populnea (L). Jenis nipah (N. fruticans) dijumpai dalam jumlah terbatas, C. manghas dan T. populnea bahkan hanya dijumpai satu individu di tapak model 1. Kehadiran C. manghas

dan T. Populnea pada ±200 m dari pantai, diduga berasal dari lokasi lain akibat pemencaran oleh arus laut. Tingkat pertumbuhan pancang hanya diisi oleh A. alba E. agallocha, sedangkan jenis. Lantai hutan ditumbuhi oleh jenis-jenis mangrove ikutan seperti D. trifoliata, Acanthus ilicifolius, dan Acrostichum speciosum. Total jenis tumbuhan yang ditemukan adalah 17 jenis dari 16 marga dan 15 suku (Tabel 4).

Tabel 4 Komposisi jenis dan suku pada setiap habitus vegetasi di habitat bekantan Suaka Margasatwa Kuala Lupak

Habitus dan Nama lokal Genus/spesies Suku (Famili) Pohon:

Api-api Avicennia alba Bl. Avicenniaeae

Buta-buta Excoecaria agallocha L. Euphorbiceae Rambai, pidada Sonneratia caseolaris (L) Engl. Sonneratiaceae

Waru laut Hibiscus tiliaceus L. Malvaceae

Waru pantai* Thespesia populnea (L) Malvaceae

Bintaro* Cerbera manghas L. Apocynaceae

Nipah Nypa fruticans Wurmb. Arecaceae

Tumbuhan bawah:

Karepotan / tuba laut Derris trifoliata Lour. Leguminosae

Jeruju Acanthus ilicifolius L Acanthaceae

Piai Acrostichum aureum Lin. Pteridaceae

Lambai-lambai Cayratia trifolia (L.) Domin Vitaceae Dadap laut* Clerodendrum inerme Gaertn. Verbenaceae Keladi payau Cryptocoryne ciliata (Roxb.) Schott Araceae

Bakung Crinum asiaticum L. Amaryllidaceae

? Cyperus stoloniferus Retz. Cyperaceae

Serunai laut Widelia biflora Asteraceae

Beluntas* Pluchea indica (L.) Less Asteraceae

Teratai kecil Nymphaea sp Nymphaeaceae

(34)

18

Habitat bekantan di SMKL dibandingkan dengan hasil penelitian di lokasi lainnya di Kalimantan, keanekaragaman vegetasinya tergolong paling rendah. Sebagai pembanding, habitat bekantan di Delta Mahakam Kalimantan Timur tersusun oleh 46 jenis tumbuhan dari 44 marga dan 31 Suku (Atmoko & Sidiyasa 2008), dan di Kuala Samboja meliputi 79 jenis tumbuhan dari 71 marga dan 45 suku (Atmoko et al. 2014). Komunitas tumbuhan di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kondisi tanah, cahaya matahari, air dan curah hujan. Selain itu, di mangrove jenis-jenis penyusun komunitas juga dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hal ini karena tidak semua jenis tumbuhan mampu beradaptasi dengan tingkat salinitas. Gangguan dari luar seperti kegiatan budidaya ikan tambak juga dapat mempengaruhi komunitas mangrove.

Vegetasi Sumber Pakan. Jenis vegetasi sumber pakan bekantan yang ditemukan di SMKL sebanyak tujuh jenis (Tabel 5). Jumlah jenis sumber pakan tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan di Delta Mahakam Kalimantan Timur yang ditemukan sebanyak 10 jenis (Atmoko & Sidiyasa 2008), di Nipah Panjang Kalimantan Barat sebanyak 15 jenis (Kartono et al. 2008), dan di Menanggul River Sabah Malaysia sebanyak 188 jenis (Matsuda et al. 2009). Tabel 5 Jenis vegetasi sumber pakan bekantan di Suaka Margasatwa Kuala

Lupak

Nama lokal Genus/Spesies Family Bagian dimakan Rambai, pedada Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae Daun, buah, kelopak buah Api-api Avicennia alba Avicinneaceae Daun muda

Waru laut Hibiscus tiliaceus Malvaceae Daun,terutama yang muda Buta-buta Excoecaria agallocha Euphorbiceae Daun

Nipah Nypa fruticans Arecaceae Umbut, daun muda Karepotan Derris trifoliata Leguminosae Daun

Piai Acrostichum aureum Pteridaceae Daun

Bekantan cenderung lebih memilih jenis S. caseolaris sebagai sumber pakan

utama, sedangkan sebagai sumber pakan tambahan adalah jenis-jenis A. alba,

H. tiliaceus dan D. trifoliata. Bagian tumbuhan S. caseolaris yang dikonsumsi

bekantan terutama daun muda, serta buah dan kelopak buah. Pemilihan

S. caseolaris sebagai sumber pakan utama juga ditemukan di Delta Mahakam (Alikodra & Mustari 1994, Atmoko et al. 2007), Sungai Sepaku dan Sungai Semoi Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2012).

Jenis liana D. trifoliata yang melimpah keberadaannya di habitat bekantan SMKL juga dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Atmoko (2012) bahwa bekantan di Kuala Samboja memanfaatkan D. trifoliata, A. ilicifolius, Rhaphidophora sp., Flagellaria sp., dan

Oxyceros longiflora sebagai sumber pakan. Pemilihan jenis tumbuhan

D. trifoliata oleh bekantan sebagai sumber pakan diduga berkaitan dengan hal-hal berikut: (a) keterbatasan jenis sumber pakan yang ada mendorong bekantan beradaptasi untuk mengoptimalkan sumber daya pakan yang tersedia, yakni dengan memakan jenis D. trifoliata yang tersedia secara melimpah. Adaptasi ini merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh bekantan untuk bertahan hidup

di habitat yang terisolasi dan terfragmentasi (Suwarto 2015); (b) jenis

(35)

19 bekantan. Menurut Gupta & Chivers (2004) yang diacu oleh Atmoko (2012), beberapa jenis tumbuhan dari suku Leguminosae sering dipilih primata karena banyak mengandung N, P dan abu, sejauh tidak menghambat pencernaan. Pemilihan jenis-jenis Leguminosae sebagai sumber pakan oleh subfamili Colobine telah dilaporkan oleh Maisels et al. (1994) dan Chapman et al. (2002).

Daun D. trifoliata memiliki kandungan tanin sebesar 9.5% (Orwa et al. 2009). Kandungan tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan kandungan tanin dari 12 jenis tumbuhan di hutan mangrove yang dilaporkan oleh Bismark (2009), yakni berkisar antara 1.52-4.09%. Kedua belas tumbuhan tersebut adalah

Aglaia cuculata, Allapphyllus cobbe, Ardisia humilis, Avicennia officinalis,

Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, B. parviflora, Ceriops tagal, Ficus sp.,

F. binnendykii, Lumnitzera littorea, Rhizophora apiculata, dan Sonneratia apiculata. Soendjoto et al. (2006) menyatakan bahwa tumbuhan pakan bekantan di habitat hutan karet berupa daun tiwadak banyu (Artocarpus teysmanii), karet (Hevea brassiliensis) dan kujamas (Syzygium stapfiana) mempunyai kadar tanin yang rendah 0.0004-0.0122%. Menurut Alikodra (1997), bekantan tidak menyukai jenis pakan yang mempunyai kadar tanin tinggi. Kadar tanin yang tinggi dapat bersifat toksik, pada tahapan lanjut pada hewan dapat menghalangi kerja enzim, mengurangi kemampuan mencerna dan mengakibatkan hilangnya nafsu makan (El-Lamey 2012). Primata dari sub famili Colobine menetralisir kandungan toksik tanin dengan bantuan bakteri dalam sistem pencernaanya, atau dengan memakan tanah. Kandungan protein, serat dan tanin berhubungan erat dengan seleksi pakan oleh primata termasuk bekantan (Bismark 2009). Variasi jenis pakan pada satwa ruminansia menurut Boonratana (2000) selain untuk memenuhi kebutuhan mineral, merupakan strategi untuk menghindari keracunan yang dapat ditimbulkan oleh senyawa sekunder dalam tumbuhan tersebut. Bekantan pada periode tertentu mengkonsumsi buah yang masih mentah dan biji karena buah yang mentah mengandung lebih sedikit toksin dibanding daun muda (Matsuda 2009).

Jenis Pohon Tempat Tidur. Selain sebagai sumber pakan utama,

S. caseolaris juga dipilih sebagai pohon tidur utama oleh bekantan. Tidak hanya pohon yang masih hidup, tapi beberapa diantaranya adalah pohon yang sudah mati (dicirikan oleh daun yang meranggas). Satu pohon tidur dapat ditempati oleh 4-17 ekor bekantan. Pemilihan S. caseolaris sebagai pohon tidur diduga karena beberapa alasan, antara lain: jenis ini memiliki diameter lebih besar (≥34 cm),

lebih tinggi dan percabangan yang lebih banyak dibanding jenis A. alba,

E. agallocha, dan H. tiliaceus. Pohon yang dipilih sebagai pohon tidur bekantan memiliki kisaran tinggi 15-25 m. Profil S. caseolaris sebagai pohon tidur ini sesuai dengan Bernard et al. (2011) yang menyatakan bahwa struktur fisik dari pohon merupakan faktor penting dalam pemilihan pohon tidur oleh bekantan yang menyukai pohon tidur yang tinggi, serta dahan dan percabangan yang besar. Pohon yang besar memungkinkan semua anggota kelompok untuk tidur di satu pohon yang sama, memudahkan komunikasi dan interaksi sosial anggota kelompok (Anderson 1998, Di Bitetti et al. 2000).

Keberadaan jenis S. caseolaris pada kisaran jarak 0-250 m dari tepi sungai juga menjadi faktor dipilihnya jenis ini sebagai pohon tidur. Bekantan menempati pohon tidur pada kisaran jarak 10-150 m dari tepi sungai. Di Sabah Malaysia,

(36)

20

(paling banyak 5-35 m) yang merupakan jarak terdekat dengan sungai sebagai salah satu strategi anti predator (Bernard et al. 2011). Berbeda dengan hasil penelitian Bernard et al. (2011), di SMKL pohon-pohon yang berada di tepi sungai (0–1 m) justru tidak dipilih sebagai pohon tidur. Hal ini diduga karena bekantan sensitif dengan kehadiran manusia sehingga merasa terganggu dengan frekuensi lalu lintas kelotok yang melewati sungai pada saat kondisi air pasang. Lalu lintas manusia ini akan semakin meningkat, terutama pada musim tanam maupun musim panen sawah masyarakat. Keberadaan jenis pohon besar di tepi sungai dimanfaatkan oleh bekantan untuk menyeberang sungai, terutama sebagai pohon tumpuan untuk melompat.

Pemanfaatan jenis S. caseolaris sebagai sumber pakan dan pohon tidur utama memberikan kemudahan bagi bekantan mengakses pakan, baik di saat pagi hari ataupun sebelum beristirahat pada sore harinya. Pemilihan S. caseolaris

sebagai sumber pakan, pohon tidur dan tempat beraktivitas oleh bekantan di Kuala Samboja telah dilaporkan oleh Alikodra (1997), akan tetapi hasil penelitian Saidah

et al. (2002) di kawasan mangrove Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan menunjukkan hal berbeda, yakni S. caseolaris tidak dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan dan tempat beraktivitas. Kedekatan dengan sumber pakan menjadi faktor penting dalam pemilihan pohon tidur (Matsuda et al. 2010). Bekantan cenderung tetap mencari makan di habitat tepi sungai (dekat pohon tidur) sepanjang pakan tersedia. Hal ini berkaitan dengan strategi untuk menghemat energi (cost of travelling) jika harus menjelajah untuk mencari makan di tempat lain, serta untuk menghindari predator (Matsuda et al. 2011).

Satwa Kompetitor dan Predator. Bekantan berbagi sumber daya dengan hirangan atau lutung (Trachypithecus cristatus Raffles, 1821) yang juga termasuk primata dari sub famili Colobine. Populasi hirangan diperkirakan sebanyak setengah dari populasi bekantan, di tapak habitat yang sama Hirangan juga menggunakan S. caseolaris sebagai pohon tidur. Kedua jenis tersebut bersimpatrik dan memanfaatkan ruang yang sama dengan wilayah jelajah yang tumpang tindih. Kedua jenis diduga memanfaatkan vegetasi pakan yang sama karena terbatasnya jenis vegetasi di SMKL.

Satwa pemangsa bekantan seperti buaya muara (Crocodylus porosus

Schneider, 1801) tidak ditemukan di habitat bekantan di SMKL, tetapi jenis biawak (Varanus salvator Laurenti, 1768) dijumpai di areal dekat tambak. Selama penelitian tidak dijumpai terjadinya peristiwa pemangsaan (predation) bekantan.

Struktur dan Komposisi Vegetasi

(37)

21 Tabel 6 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting empat jenis mangrove tertinggi

pada habitat bekantan di Tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2

Jenis

Tapak Referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2 K

Areal bervegetasi baik yang kurang disukai bekantan (tapak model 1) pada tingkat pohon didominasi oleh S. caseolaris (INP=187.86%) dan A. Alba

(INP=107.28%), namun dilihat dari kerapatannya jumlah individu pohon jenis

A. alba (50.62 individu/ha) lebih tinggi dibanding dengan S. caseolaris (49.38 individu/ha). Excoecaria agallocha (INP=232.89%) mendominasi tingkat pancang dengan kerapatan 63.64 individu/ha, disusul oleh A. alba (INP= 67.11%) dengan kerapatan 23.53 individu/ha. S. caseolaris juga tidak dijumpai pada tingkat pancang di tapak model 1 ini. A. alba dan S. caseolaris memiliki kerapatan yang sama di tingkat anakan, yakni sebesar 216.05 individu/ha dengan INP masing-masing 4.18% dan 2.46%. Areal terganggu dekat permukiman (tapak model 2) didominasi oleh S. caseolaris di tingkat pertumbuhan pohon dengan kerapatan 28 individu/ha dan INP 273.98%. A. alba mendominasi pada tingkat pancang dengan kerapatan 5.33 individu/ha dan INP 198.92%.

Indeks Nilai Penting (INP) suatu jenis menggambarkan tingkat dominansinya terhadap jenis-jenis lainnya dalam suatu komunitas. Jenis dengan INP tinggi memiliki peluang lebih besar untuk dapat mempertahankan pertumbuhan dan kelestarian jenisnya. Dominansi suatu jenis mengindikasikan bahwa jenis tersebut memanfaatkan lingkungan secara efisien dibanding jenis lain dalam tempat yang sama sehingga keberadaan jenis tersebut lebih stabil dari sisi ketahanan jenis dan pertumbuhannya (Mawazin & Subiakto 2013).

(38)

22

model 1, namun menunjukkan regenerasi yang cukup di tapak model 2, yakni terdapat permudaan tingkat pancang (5.33 individu/ha) dan tingkat semai (66.67 individu/ha). Fenomena ini diduga karena tapak model 2 jarang dikunjungi kawanan bekantan, sehingga anakan S. caseolaris memiliki kesempatan untuk tumbuh, dan resiko mati terinjak ataupun dimakan oleh kawanan bekantan lebih kecil. Jenis S. caseolaris yang mengalami hambatan sistem permudaan alami juga terjadi di habitat bekantan di Kuala Samboja, Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2014), yakni kerapatan tingkat semai (1,500 individu/ha) lebih rendah dari tingkat pancang (3,520 individu/ha). Rendahnya kerapatan tingkat semai tersebut menurut Atmoko et al. (2014) diduga disebabkan oleh rapatnya tumbuhan bawah

Acrostichum aureum yang menyebabkan semai tertekan dan banyak mati.

Tabel 7 Status regenerasi empat jenis mangrove tertinggi di SMKL berdasarkan kriteria Shankar (2001)

Jenis Kriteria dan Status Regenerasi Jenis

Tapak referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2

S. caseolaris Po>Pc = S=0

A. alba memiliki regenerasi yang cukup di tapak referensi dan tapak model 1 (jumlah semai>pohon), namun mengalami gangguan regenerasi (regenerasi rendah) pada tingkat pancang (jumlah pancang<pohon) di tapak model 2.

E. agallocha menunjukkan status baru beregenerasi karena jumlah semai> pancang, namun tidak dijumpai tingkat pertumbuhan pohon di tapak referensi, dan regenerasi yang cukup di tapak model 2 (jumlah pancang>pohon, tidak terdapat semai). Struktur vegetasi normal hanya ditunjukkan oleh H. tiliaceus di tapak referensi (jumlah semai>pancang>pohon). Struktur tegakan normal akan menyerupai bentuk huruf “j terbalik” yakni jumlah individu semai> pancang> pohon. Struktur tegakan berbentuk “j terbalik” akan terbentuk apabila regenerasi alami berjalan baik (Whitmore 1990), sehingga kelestarian populasi suatu jenis akan tercapai (Indriyanto 2006).

(39)

23 melompat, bekantan tidak sampai mencapai pohon tujuan dan terjatuh ke lantai hutan (Alikodra & Srimulyaningsih (2015).

Derris trifoliata mendominansi tumbuhan bawah di semua tapak dengan kerapatan masing-masing pada tapak referensi sebanyak 10,733 individu/ha, tapak model 1 sebanyak 10,277 individu/ha dan tapak model 2 sebanyak 3,233 individu/ha (Tabel 8). D. trifoliata merupakan jenis tumbuhan liana yang membelit, dengan panjang antara 2–15 meter dan tumbuh dengan ketinggian mencapai paha sampai pinggang orang dewasa. Akibatnya regenerasi dari jenis-jenis mangrove A. alba, S. caseolaris dan E. agallocha menjadi terhambat, karena anakannya kalah bersaing memperebutkan ruang dan cahaya dengan D. trifoliata.

Rendahnya tingkat keanekaragaman jenis vegetasi habitat bekantan di SMKL ditunjukkan oleh nilai indeks keanekaragaman H’<1 baik untuk tingkat pohon, pancang maupun tingkat semai (Tabel 6) dan tumbuhan bawah (Tabel 8). Indeks keanekaragaman menunjukkan tingkat kestabilan komunitas. Semakin tinggi nilai H’, maka komunitas vegetasi hutan tersebut semakin tinggi tingkat kestabilan keanekaragaman jenisnya (Mawazin & Subiakto 2013). Keragaman jenis tumbuhan pada habitat satwa menentukan potensi jenis pakan serta perilaku makan yang akhirnya menentukan populasi satwa tersebut di alam (Bismark et al. 2003).

Tabel 8 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting tumbuhan bawah pada habitat bekantan di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2

Jenis

Tapak Referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2 K

Kesamaan komunitas antar tapak. Nilai indeks kesamaan komunitas memberikan gambaran tingkat kesamaan struktur dan komposisi jenis dari komunitas yang dibandingkan. Antara kisaran 0-100%, semakin tinggi nilai indeks kesamaan jenis menunjukkan tingkat kemiripan jenis yang semakin tinggi diantara dua komunitas (Odum 1996).

(40)

24

referensi dan tapak model 1 memiliki keempat jenis vegetasi utama yakni

S. caseolaris, A. alba, E. agallocha dan H. tiliaceus, sedangkan di tapak model 2 hanya terdapat S. caseolaris dan A. alba . Jenis tumbuhan bawah yang terdapat di tapak referensi dan tapak model 1 adalah Acanthus ilicifolius L, Acrostichum aureum, Cryptocoryne ciliata, D. trifoliata dan Widelia biflora, sedangkan jenis yang sama yang terdapat di tapak model 2 hanya tiga jenis yakni A. Aureum,

A. Ilicifolius dan D. trifoliata. Berdasarkan faktor komponen fisik habitat yang diukur tidak terdapat perbedaan antara ketiga tapak, yang membedakan adalah bahwa tapak model 2 lebih dekat dengan gangguan (permukiman) dibandingkan dengan tapak referensi dan tapak model 1.

Faktor kesamaan komunitas yang lebih dekat antara tapak referensi dan tapak model 1 ini diduga merupakan penyebab populasi bekantan di SMKL lebih banyak terkonsentrasi di tapak tapak model 1 dan sebagian di tapak referensi. Hasil observasi awal (Juli 2013 dan Agustus 2014, bekantan terkonsentrasi di tapak referensi. Akan tetapi saat penelitian berlangsung kawanan bekantan yang semula berada di tapak referensi sebagian besar berpindah ke lokasi tapak model 1 yang sebelumnya diduga kurang disukai oleh bekantan. Adanya gangguan pembukaan areal untuk sawah baru oleh masyarakat di dekat lokasi tidur bekantan di tapak referensi diduga menjadi penyebab perpindahan sebagian kelompok bekantan tersebut. Selain tapak model 1 memiliki kesamaan komunitas yang lebih dekat dengan tapak referensi, jarak yang lebih dekat (menyeberangi sungai ±30m) diduga menjadi pertimbangan bekantan. Bekantan harus menyeberang sungai sebanyak 2 kali, dengan jarak sungai yang lebih lebar (40-50m) untuk mencapai lokasi tapak model 2. Walaupun ada laporan bahwa bekantan pernah terlihat di tapak model 2, selama periode penelitian berlangsung tidak ditemukan keberadaan bekantan di lokasi ini.

Populasi Bekantan

Kepadatan Populasi dan Seks Rasio

Populasi bekantan yang teramati secara langsung selama 6 kali pengamatan dari dua titik konsentrasi berkisar antara 77 – 158 ekor dengan rata-rata 104 ekor. Dugaan populasi adalah sebesar 139±43 ekor. Kepadatan populasi 0.81 ekor/ha atau 81 ekor/km2, pada habitat yang mengalami hambatan regenerasi. Hasil penelitian Yeager & Blondal (1992) bahwa kepadatan populasi bekantan pada habitat yang paling rusak berat 9 ekor/km2,habitat rusak berat 25 ekor/km2, habitat rusak sedang 33 ekor/km2,habitat rusak ringan 62 ekor/km2. Berdasarkan perbandingan ini populasi bekantan di SMKL dapat dikatakan termasuk over populasi. Kondisi ini mirip dengan populasi bekantan di Pulau Kaget pada akhir 1990an yang habitatnya terdegradasi karena meranggasnya S. caseolaris. Populasi bekantan di P.Kaget saat itu 288 ekor pada habitat seluas 267 ha (kepadatan 107.86 ekor/km2) dengan kerapatan S. caseolaris 150 tegakan/ha (Bismark 1997, 2009). Hasil analisis vegetasi di SMKL kerapatan S. caseolaris di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 masing-masing hanya 16 tegakan/ha, 49 tegakan/ha dan 28 tegakan/ha.

Gambar

Gambar 1  Bagan kerangka pemikiran
Gambar 2 Lokasi penelitian di Blok Hutan Tanjung Pedada Tua SMKL
Tabel 1. Jenis data yang dikumpulkan
Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data simpanan merupakan simpanan dari data yang dapat berupa suatu file atau database pada sistem komputer, simpanan data dapat disimbolkan dengan garis horizontal

Sortasi dilakukan untuk memisahkan kotoran yang ada pada kulit buah pisang kepok.Fungsi penambahan campuran kloroform dengan asam asetat glasial adalah untuk melarutkan

Sementara itu dua mekanisme yang lain yaitu dividen dan dewan komisaris independen terbukti tidak efektif untuk mengurangi maslaah agensi baik pada perusahaan yang bagus maupun

Sebagai tindak lanjut, Panitia Tender meminta Peserta Tender yang disanggah untuk membuktikan nilai pernyataan TKDN jasa dalam batas waktu yang wajar berdasarkan klarifikasi TKDN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat pengaruh positif linear yang signifikan antara disposisi berpikir kritis terhadap hasil belajar

Pengujian meliputi performa yaitu throughtput, delay, dan packet loss dengan menggunakan aplikasi wireshark untuk melakukan capture paket data yang selanjutnya akan

Analisis hubungan asupan energi dan protein dengan kekuatan genggam berkorelasi positif ditunjukkan hubungan asupan energi dengan kekuatan genggam r=0,118 dan

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Risiko Kredit terhadap Profitabilitas