• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koloni dan Sebaran Habitat A. gracilipes di Kebun Raya Bogor

Kebun Raya Bogor merupakan ekosistem dengan habitat campuran yang terdiri dari berbagai tipe habitat seperti hutan, rerumputan, sungai, dan habitat perkotaan disekitarnya. Kompleksitas ekosistem Kebun Raya Bogor dapat menjadi habitat bagi serangga seperti semut A. gracilipes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan semut A. gracilipes terpisah secara spasial pada wilayah Kebun Raya Bogor dan tersebar pada berbagai tipe habitat. Hal ini diketahui berdasarkan data semut A. gracilipes yang terperangkap oleh plat umpan madu yang diletakkan pada seluruh area penelitian (Gambar 4).

Gambar 4 Plat umpan madu

Sebanyak 298 plat umpan madu yang diletakkan pada seluruh area Kebun Raya Bogor (Gambar 5) untuk mendeteksi keberadaan A. gracilipes pada wilayah studi.

17 Keberadaan A. gracilipes tidak tersebar secara merata pada seluruh area, namun hanya berada pada beberapa spot atau wilayah tertentu (Gambar 6).

Gambar 6 Keberadaan semut A. gracilipes pada wilayah Kebun Raya Bogor. Persentase keberadaan A. gracilipes pada ekosistem Kebun Raya Bogor berada pada kisaran 25% dari total area studi (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa hanya tempat-tempat dengan kriteria tertentu yang menjadi pilihan bagi A. gracilipes untuk membentuk sarang dan koloninya.

Gambar 7 Persentase keberadaan A. gracilipes di Kebun Raya Bogor Kriteria penentuan koloni potensial didasarkan pada ukuran sarang dan kelimpahan populasi A. gracilipes didalamnya. Sarang utama yang ditemukan dikodekan sebagai koloni potensial dengan nama KRB 1, KRB 2, KRB 3, KRB 4 dan KRB 5. Posisi sarang utama / koloni potensial yang ditemukan terpisah cukup jauh antara satu sarang dengan sarang yang lain, kecuali koloni potensial KRB 5 dan KRB 3 yang memiliki jarak yang cukup berdekatan (Gambar 8).

18

Gambar 8 Koloni potensial A. gracilipes yang ditemukan di Kebun Raya Bogor Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa terdapat beberapa sarang dengan ukuran yang berbeda-beda dalam satu koloni potensial. A. gracilipes

diketahui memiliki susunan koloni dengan beberapa sarang yang dapat terpisah satu sama lain (Drescher et al. 2011). Sarang utama yang memiliki ukuran serta populasi yang lebih besar merupakan pusat koloni sedangkan sarang-sarang kecil di sekitarnya yaitu anak-anak koloni baru yang merupakan hasil penyebaran (budding) dari sarang utama (Csurhes & Hankamer 2012).

Observasi habitat di sekitar sarang utama dalam radius 50 meter menunjukkan bahwa A. gracilipes lebih sering dijumpai pada lingkungan yang lembab dan tidak terpapar oleh sinar matahari secara langsung seperti di bawah pohon, di bawah tumpukan daun kering, di dalam rongga akar dan batang tanaman bambu serta di bawah tumpukan sampah. Gruber et al. (2012) menemukan bahwa A. gracilipes tersebar secara meluas pada wilayah Arnhem Land, Australia dan menempati sarang yang bervariasi serta wilayah dengan kepadatan populasi yang beragam. Di Arnhem Land, A. gracilipes ditemukan pada daerah berkontur kasar, berbatu dan daerah kering (Csurhes & Hankamer 2012).

Keberadaan semut A. gracilipes pada area studi memiliki pola dan preferensi habitat yang hampir sama yaitu lebih banyak dijumpai pada habitat yang memiliki tanaman bambu. Tiga dari lima sarang yang ditentukan memiliki vegetasi utama tanaman bambu. Tanaman bambu digunakan oleh A. gracilipes

sebagai tempat untuk bersarang karena memiliki ruang pada batang dan akar serta memiliki penutupan kanopi yang luas. Semut ini memilih rongga tanaman bambu sebagai sarang karena struktur tanaman bambu mendukung semut ini untuk mempertahankan sarangnya dari spesies lain. Tidak seperti spesies semut lain yang dapat membangun sarang sendiri, A. gracilipes hanya dapat menggunakan tempat-tempat tertentu yang dapat dijadikan sebagai sarang seperti rongga pohon, ruang dibawah tumpukan daun dan bahkan bersarang pada liang bekas sarang hewan lain seperti liang kepiting merah di Christmas Island, Australia (O'Dowd et al. 1999).

19 Agresi Intraspesifik

Agresi intraspesifik merupakan fenomena interaksi yang terjadi antara organisme dalam satu spesies yang sama. Hal serupa juga terjadi pada serangga-serangga sosial seperti semut A. gracilipes. Pengujian terhadap agresi intraspesifik ditujukan untuk mengetahui batas-batas antar koloni dari 5 sarang yang telah diidentifikasi sebelumnya. Uji agresi menjadi asumsi awal dalam menentukan jumlah koloni potensial A. gracilipes sesungguhnya yang terdapat dalam ekosistem Kebun Raya Bogor berdasarkan perilaku yang diamati.

Uji agresi dilakukan menggunakan pipa PVC berlapis Fluon sebagai “arena” pengujian dan dilengkapi dengan stopwatch pada masing-masing arena sebagai penunjuk waktu pada setiap ulangan yang di berlakukan (Gambar 9A). Interaksi yang terjadi pada masing-masing kombinasi sarang diamati berdasarkan jenis indeks yang telah ditetapkan. Gambar 9B menunjukkan interaksi yang terjadi pada semut pekerja yang berasal dari koloni potensial yang berbeda. Interaksi yang muncul dapat berupa serangan langsung pada semut lawan dengan cara menggigit dan menyemprotkan asam format. Selain itu interaksi lain yang terjadi yaitu berupa aktivitas mengetuk-ngetukkan antena antar satu sama lain sebagai cara mengenali anggota koloninya.

Gambar 9 Peralatan dan setup uji agresi (A), interaksi yang terjadi antar semut pekerja pada berbagai sarang yang berbeda (B)

Indeks Agresi

Indeks agresi merupakan tingkat agresi yang terjadi diantara spesimen uji yang dipaparkan dalam waktu dan rasio semut yang sama. Indeks ini diukur menggunakan skor yang merepresentasikan tingkat agresi atau tingkah laku yang terjadi pada spesimen uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola tingkah laku/tingkat agresi yang terjadi pada berbagai kombinasi spesimen uji dari koloni potensial yang berbeda. Agresi dengan nilai 2.0 yang terjadi pada kombinasi koloni potensial yang sama menunjukkan bahwa tidak adanya aktivitas saling serang antara spesimen uji. Hal juga ini terjadi antara koloni potensial KRB 4 dengan KRB 5 serta KRB 3 dengan KRB 5. Kondisi ini mungkin mengindikasikan bahwa koloni potensial KRB 4 dan KRB 5 serta KRB 3 dan KRB 5 merupakan satu koloni yang sama. Namun agresi yang terjadi diantara koloni potensial KRB 3 dan KRB 4 dengan nilai 3.0 ± 0.14 terkategori ke dalam tipe agresif (Gambar 10).

20

Gambar 10 Indeks agresi spesimen uji pada berbagai kombinasi koloni potensial (nilai tengah ± standar error; P <0.01 [nilai pvalue Kruskal-Wallis pada keseluruhan hasil pengujian])

Hasil analisis menggunakan ANOVA Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat beda nyata pada kombinasi koloni potensial yang diujikan. Agresi yang terjadi dengan nilai indeks diatas 3.0 dikategorikan termasuk ke dalam tipe agresif. Agresi koloni potensial KRB 1 terhadap KRB 2, KRB 4, dan KRB 5 menunjukkan bahwa KRB 1 memiliki tingkat agresi yang cukup tinggi terhadap hampir seluruh koloni potensial yang ditemukan di Kebun Raya Bogor. Agresi tertinggi terjadi antara KRB 2 dan KRB 5 dengan nilai indeks agresi 3.5 ± 0.16. Indeks Mortalitas

Indeks mortalitas merupakan parameter yang menerangkan tingkat kematian spesimen uji pada satuan waktu tertentu. Indeks mortalitas pada penelitian yang telah dilakukan diukur pada setiap interval waktu 5 menit dan diakumulasi selama satu jam (60 menit). Analisis menggunakan ANOVA Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat beda nyata pada perlakukan kombinasi koloni potensial yang diujikan. Indeks mortalitas bervariasi antar perlakuan yang diujikan. Kombinasi KRB 1 dan KRB 4 memiliki nilai indeks mortalitas tertinggi dengan tingkat kematian 2.92 ± 0.74. Kondisi ini menjelaskan bahwa interaksi saling serang yang terjadi pada kedua koloni potensial ini cukup intensif. Fenomena yang sama pada pengamatan indeks agresi ditemukan pula pada kombinasi KRB 3 dan KRB 5 serta KRB 4 dan KRB 5 dengan nilai indeks mortalitas 0.0 ± 0.0 (Gambar 11).

21

Gambar 11 Indeks mortalitas spesimen uji pada berbagai kombinasi koloni potensial (rata-rata ± standar error; P <0.01 [nilai pvalue Kruskal-Wallis pada keseluruhan hasil pengujian])

Adanya fenomena ini mungkin disebabkan oleh KRB 3 dan KRB 4 merupakan koloni yang berasal dari penyebaran secara budding dari KRB 5. Koloni potensial KRB 3 dan KRB 4 mengenali koloni KRB 5 sebagai bagian dari koloni yang sama namun KRB 3 dan KRB 4 tidak mengenali satu sama lain sebagai anggota koloni yang sama.

Pola pengenalan antar anggota koloni semut didasari oleh susunan senyawa hidrokarbon pada kutikula yang dihasilkan oleh A. gracilipes (Suarez et al. 2002).

A. gracilipes mampu mengenali anggota koloninya melalui bau dan profil kutikula hidrokarbon yang dideteksi melalui organ basiconic sensilla yang terdapat pada antenna. Basiconic sensilla merupakan organ chemoreceptor yang digunakan oleh serangga dalam mendeteksi kondisi kimia pada lingkungan (Gullan & Cranston 2010). Tinggi rendahnya perilaku agresif sangat dipengaruhi oleh profil hidrokarbon pada kutikula (Vander Meer & Morel 1998). Selain itu, perilaku agresif juga dapat dipengaruhi oleh diet (Corin et al. 2007).

Aggression Latency

Aggression latency yang diamati bervariasi antar perlakuan kombinasi koloni potensial yang diujikan. Nilai tbite terkecil terdapat pada kombinasi uji koloni potensial KRB 1 dan KRB 2 dengan nilai 51.45 ± 3.72 detik. Hal ini menunjukkan bahwa KRB 1 dan KRB 2 membutuhkan waktu yang sangat singkat untuk mengenali dan mulai menyerang antar satu sama lain. Sedangkan nilai tbite

tertinggi terdapat pada masing-masing koloni yang diuji dengan sesamanya. Selain itu kombinasi uji KRB 4 dan KRB 5 serta KRB 3 dan KRB 5 juga tidak menunjukkan adanya agresi dalam interval waktu pengujian selama 10 menit (Gambar 12).

22

Gambar 12 Aggression latency (Rata-rata ± Standar Error; P<0.01 [nilai pvalue Kruskal-Wallis pada keseluruhan hasil pengujian]) pada koloni potensial A. gracilipes di Kebun Raya Bogor (tbite: waktu yang diperlukan untuk melakukan agresi/serangan pertama; tdead: waktu yang diperlukan untuk membunuh semut kompetitor pada pengujian) Nilai tdead 600 ± 0.0 menerangkan bahwa tidak ada semut uji yang mati dalam interval waktu pengujian. Kombinasi uji antara koloni potensial KRB 1 dan KRB 2 menunjukkan bahwa agresi tersebut terjadi paling efektif yang diindikasikan melalui kemampuan membunuh spesimen uji (tdead) dalam waktu yang paling singkat yaitu 570.25 ± 9.74. Hal ini menjelaskan bahwa agresi yang terjadi antara koloni KRB 1 dan KRB 2 tergolong ke dalam agresi yang cukup kuat.

Tidak adanya interaksi antar beberapa koloni uji menunjukkan bahwa hilangnya penanda pengenalan terhadap anggota koloni sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif yang ditunjukkan. Hilangnya penanda pengenalan dapat menyebabkan terjadinya penurunan level agresi. Hal ini terjadi pada spesies semut invasif L. humile yang mengalami penurunan laju agresi karena hilangnya isyarat pengenalan terhadap sesama anggota koloninya (Giraud et al. 2002). Fenomena ini diketahui sebagai mekanisme potensial terhadap evolusi unikolonial pada suatu spesies (Holway et al. 1998). Populasi unikolonial dapat terbentuk apabila antar masing-masing koloni mampu untuk saling bekerja sama dan membentuk struktur gabungan dari beberapa koloni. Steiner et al. (2007) menemukan bahwa adanya diskriminasi terhadap anggota sarang merupakan tahap awal dalam pembentukan populasi unikolonial. Potensi ini dapat terjadi karena adanya kemungkinan tolerasi atas pertukaran pekerja antar sarang. Kerjasama pekerja antar sarang dijelaskan oleh Helanterä et al. (2009) merupakan landasan penting terbentuknya populasi unikolonial.

23 Karakteristik Penemuan Makanan

Sumberdaya kehidupan terutama makanan merupakan faktor fundamental dalam siklus hidup suatu organisme, begitu pula pada semut invasif A. gracilipes.

A. gracilipes memiliki beberapa pola penemuan sumber makanan yaitu melalui eksplorasi dan simbiosis dengan organisme lain. Semut ini memiliki pola penemuan makanan yang unik dimana beberapa pekerja dalam jumlah sedikit mulai mengeksplorasi suatu wilayah untuk menemukan sumber makanan. Makanan yang ditemukan selanjutnya dieksploitasi dengan cara mengumpulkan pekerja dari koloni yang sama dan dalam jumlah yang lebih banyak. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas penemuan makanan ini dilakukan dengan waktu kurang dari 1 jam (Gambar 13). Kemampuan menemukan makanan yang cukup tinggi pada A. gracilipes menjadikan spesies ini dapat bertahan lebih lama pada suatu habitat. Dalam kondisi lingkungan yang mendukung, semut ini dapat memperluas daerah sebaran koloninya pada habitat baru. Persebaran koloni

A. gracilipes yang luas menyebabkan sumberdaya yang berada di dalam wilayah koloni dapat dengan mudah dimonopolisasi. Drescher et al. (2011) menemukan bahwa A. gracilipes sangat unggul dalam penemuan dan monopolisasi sumberdaya yang berada dalam wilayah superkoloninya.

Gambar 13 Waktu penemuan makanan pada koloni potensial A. gracilipes di Kebun Raya Bogor

Aktivitas penemuan makanan dalam satu jam memperlihatkan sejumlah semut A. gracilipes telah berada pada plat umpan dengan posisi mengelilingi cairan madu (Gambar 14A). Madu yang diletakkan pada plat umpan diambil dan disimpan pada bagian abdomen untuk selanjutnya dibawa menuju sarang. Apabila

A. gracilipes yang terdapat pada plat umpan diberi gangguan maka pola mengelilingi umpan madu akan berubah menjadi pola berbentuk acak dan tidak beraturan (Gambar 14B).

24

Gambar 14 Pola tingkah laku A. gracilipes dalam menemukan makanan tanpa diberikan gangguan (A) dan setelah diberikan gangguan (B)

Selain itu diketahui bahwa setelah diberikan gangguan terhadap plat umpan, semut ini terlihat lebih agresif dalam mempertahankan wilayah sumber makanan yang mereka temukan. Hal ini diketahui terjadi pada spesies semut invasif lain seperti L. humile (Human & Gordon 1999) and S. invicta (Calcaterra et al. 2008). Keberadaan suatu koloni yang terdiri dari individu-individu dalam jumlah besar menuntut adanya kemampuan yang baik dalam mempertahankan sumberdaya yang ditemukan. Hal ini berkaitan erat dengan kelangsungan hidup koloninya sehingga perilaku agresif tampaknya menjadi sebuah faktor penting dalam bertahan hidup. Drescher et al. (2011) mengungkapkan bahwa perilaku agresif ini mungkin menjadi penyebab terjadinya persaingan terhadap spesies lokal pada habitat yang diinvasi oleh A. gracilipes.

Monopolisasi sumberdaya yang dilakukan oleh A. gracilipes pada wilayah penelitian dipertegas dengan tidak ditemukannya spesies semut lain pada plat umpan madu yang disebar disekitar sarang utama / pusat koloni. Drescher et al.

(2011) menemukan bahwa pada habitat terganggu A. gracilipes memiliki potensi untuk menggeser keberadaan kelompok spesies lokal. Parr (2008) menjelaskan bahwa dominasi salah satu spesies semut pada sumber makanan dapat mengontrol kekayaan spesies semut pada tingkat kelompok. Keunggulan dalam sisi jumlah dan agresivitas memberikan kesempatan yang lebih besar bagi A. gracilipes untuk mengeksploitasi dan memonopoli sumberdaya yang ada.

Selain menemukan sumberdaya secara eksplorasi, A. gracilipes

mendapatkan makanan melalui hubungan saling menguntungkan dengan organisme lain. Hasil pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa terjadi hubungan simbiosis antara kutu tanaman dengan A. gracilipes (Gambar 15). Hubungan saling menguntungkan (mutualisme) merupakan salah satu bentuk interaksi yang terbentuk sebagai cara untuk tetap bertahan pada suatu habitat.

25

Gambar 15 Hubungan mutualisme antara kutu tanaman dan A. gracilipes

Dalam hubungan mutialistik ini, semut memberikan perlindungan kepada kutu tanaman dari serangan predator sedangkan kutu tanaman memberikan hasil ekskresi berupa embun madu yang menjadi salah satu sumber karbohidrat bagi semut (Buckley 1987; Borror et al. 1992). Namun diketahui bahwa simbiosis ini memiliki dampak ekologi yang luas (Speight et al. 2008), diantaranya yaitu kerusakan pada tanaman (Price 1997) dan secara dramatis merubah kelimpahan dan perilaku predasi semut pada tanaman (Sharma & Sundararaj 2011).

Proporsi Keseimbangan Hardy-Weinberg (HWE)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa total terdapat 18 alel yang berasal dari populasi A. gracilipes (200 individu sampel) di Kebun Raya Bogor yang terpisah secara spasial ke dalam 5 koloni potensial yang berbeda. Keseluruhan jumlah alel total didapat pada 5 lokus dari total 6 lokus mikrosatelit yang digunakan. Lokus Ano8 tidak dapat didetaksi sebagai lokus monomorfik sehingga tidak dapat di analisis sebagai fragmen mikrosatelit polimorfik. Jumlah alel per lokus bervariasi antara 2 hingga 5 alel per lokus. Lokus Ano1 dan Ano3 memiliki alel terbanyak, masing-masing 5 alel per lokus (Tabel 2).

Tabel 2 Keragaman genetik A. gracilipes di Kebun Raya Bogor.

Lokus Na HO HE PHWE Ano1 5 0.91014 0.55156 < 0.05 Ano3 5 0.99459 0.64492 < 0.05 Ano5 2 0.95216 0.49822 0.092 Ano6 2 1 0.5 < 0.05 Ano10 4 0.89973 0.54502 0.145 All 18 0.95100 0.54800 < 0.05

Ket: Na: jumlah alel pada seluruh populasi; HO: Heterozigositas yang diamati; HE: Heterozigositas yang diharapkan; PHWE, nilai probabilitas terhadap Keseimbangan Hardy-Weinberg (HWE).

26

Heterozigositas yang diamati (HO) berada pada rentang 0.89 hingga 1.00 dengan nilai keseluruhan HO= 0.95 sedangkan heterozigositas yang diharapkan (HE) berada pada rentang 0.49 hingga 0.64 (keseluruhan HE = 0.54). Tiga dari lima penanda mikrosatelit yang digunakan menunjukkan nilai yang signifikan (P<0.05) terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Nilai tersebut menjelaskan bahwa populasi A. gracilipes yang terdapat di Kebun Raya Bogor telah mengalami penyimpangan dari hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Sedangkan dua lokus lainnya (Ano5 dan Ano10) menunjukkan nilai yang tidak signifikan terhadap yang berarti frekuensi alel pada lokus tersebut masih berada dalam hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat pengaruh-pengaruh yang menyebabkan terjadinya pergeseran keseimbangan Hardy-Weinberg pada populasi A. gracilipes di Kebun Raya Bogor. Faktor-faktor tersebut dapat berupa ukuran populasi yang sangat besar, terjadinya mutasi, perkawinan tak acak, adanya seleksi dan aliran genetik pada suatu populasi (Stern 1943). Untuk kondisi di Kebun Raya Bogor, kemungkinan besar pengaruh yang mungkin terjadi adalah adanya perkawinan yang terjadi secara tidak acak (perkawinan antar sesama anggota koloni). Hal ini dipertegas dengan karakteristik koloni A. gracilipes yang bersifat polydomy. Polydomy

merupakan suatu bentuk koloni pada semut dimana secara sosial masih saling berhubungan namun memiliki sarang yang terpisah (Hölldobler & Wilson 1977). Fenomena ini mungkin berkaitan dengan fakta bahwa spesies semut pada tipe koloni ini tidak memiliki kemampuan untuk terbang sehingga hubungan antar sarang hanya terbentuk melalui jejak pekerja (Debout et al. 2007). Sifat ini mengindikasikan bahwa kemampuan untuk menemukan pasangan kawin yang berasal dari luar koloni lebih kecil sehingga potensi perkawinan tidak acak yang terjadi antar sesama lebih tinggi jika dibandingkan dengan spesies semut yang memiliki penyebaran bersayap. Hal ini memperkuat dugaan bahwa adanya perubahan genetik pada A. gracilipes sehingga tidak berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg mungkin disebabkan oleh adanya perkawinan yang terjadi secara tak acak. Sifat polydomy diketahui juga terdapat pada beberapa spesies semut invasif lain seperti L. humile (Jaquiery et al. 2005) dan Pheidole megacephala

(Fournier et al. 2009).

Diferensiasi Genetik pada A. gracilipes di Kebun Raya Bogor

AMOVA tiga level populasi menunjukkan adanya diferensiasi genetik yang rendah pada level antar individu dalam sarang (FIND-SARANG = - 0.81771, P>0.05). Nilai negatif yang ditunjukkan pada level individu dalam sarang menunjukkan adanya kelebihan heterozigot. Drescher et al. (2007) menemukan adanya kelebihan heterozigot yang cukup besar pada level intrakoloni A. gracilipes di Sabah, Malaysia. Kelebihan heterozigot terjadi karena A. gracilipes mungkin mampu berkembang biak melalui perkawinan antar sesama anggota koloni (Intranidal mating) tanpa mengalami depresi inbreeding sehingga heterozigositas dapat dipertahankan (Drescher et al. 2007; Thomas et al. 2009). Pada dasarnya fenomena Inbreeding menghasilkan keturunan homozigot baik dominan ataupun resesif. Akumulasi sifat resesif homozigot yang mengkontrol suatu keturunan sebagai dampak negatif dari terjadinya perkawinan antar sesama

27 menyebabkan terjadinya penurunan kebugaran dan kemampuan reproduksi dan dispersal yang dikenal sebagai depresi inbreeding (Jiménez et al. 1994). Namun pada A. gracilipes, mungkin terdapat mekanisme tertentu pada perkawinan sesama dimana keturunan yang dihasilkan tidak mengalami depresi inbreeding sehingga heterozigositas tetap dapat dipertahankan.

Diferensiasi genetik yang lebih tinggi terdapat pada antar sarang dalam koloni baik pada koloni awal (5 koloni sebelum uji agresi) dengan nilai 0.04925, Pvalue <0.05 dan koloni yang telah dipisahkan berdasarkan hasil uji agresi (3 koloni) dengan nilai 0.05575, P<0.05. Selain itu diferensiasi genetik pada level koloni dalam keseluruhan populasi juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi (0.02287, P<0.05 dan 0.01831, P<0.05) jika dibandingkan dengan variasi genetik yang terdapat pada level individu di dalam sarang (Tabel 3).

Tabel 3 Diferensiasi populasi yang diestimasi menggunakan 5 lokus mikrosatelit dalam tiga level AMOVA.

Lokus

5 Koloni (Sebelum Uji Agresi) 3 Koloni (Setelah Uji Agresi)

F IND-SARANG F SARANG-KOLONI F KOLONI-POPULASI F IND-SARANG F SARANG-KOLONI F KOLONI-POPULASI Ano1 -0.68001 0.02301 0.00058 -0.68001 0.02512 -0.00297 Ano3 -0.82639 0.17543 0.06739 -0.82639 0.19515 0.0578 Ano5 -0.90912 -0.00033 0.00012 -0.90912 -0.00010 -0.00024 Ano6 -1.00000 0 0 -1.00000 0 0 Ano10 -0.69214 0.01324 0.02941 -0.69214 0.02546 0.02162 All -0.81771 0.04925* 0.02287* -0.81771 0.05755* 0.01831* Ket: * : Pvalue <0.05

Hal ini menunjukkan bahwa sebaran diferensiasi genetik yang ada pada populasi A. gracilipes di Kebun Raya Bogor tidak tersebar secara merata pada seluruh tingkat populasi. Ketidakmerataan diferensiasi genetik antar level populasi juga ditemukan pada A. gracilipes yang terdapat di Sabah, Malaysia (Drescher et al. 2007).

Jarak Genetik (FST) pada Koloni Potensial A. gracilipes

Nilai jarak genetik (FST) antar koloni potensial di Kebun Raya Bogor melalui uji menggunakan 1000 kali permutasi menunjukkan bahwa nilai FST secara keseluruhan yaitu 0.030 (Pvalue = 0.001). Nilai ini menunjukkan bahwa antar subpopulasi A. gracilipes yang tersebar di Kebun Raya Bogor memiliki diferensiasi genetik yang kecil atau dengan kata lain memiliki kemiripan susunan genetik yang tinggi. Semakin kecil jarak genetik yang diperoleh maka semakin mirip karakter genetik yang terdapat pada sampel yang diujikan. Jarak genetik pada koloni potensial A. gracilipes di Kebun Raya Bogor menunjukkan nilai tertinggi didapat pada kombinasi uji koloni KRB 4 dan KRB 5 (FST = 0.063, Pvalue = 0.004). Sedangkan nilai terendah berada pada kombinasi uji koloni KRB 3 dan KRB 4 (FST = 0.008, Pvalue = 0.167) (Tabel 4).

28

Tabel 4 Nilai jarak genetik (FST) pada 5 koloni potensial menggunakan 1000 kali permutasi

Pasangan Koloni FST P-value

KRB1-KRB 2 0.012 0.11 KRB1-KRB 3 0.021 0.049 KRB1-KRB 4 0.019 0.049 KRB1-KRB 5 0.021 0.045 KRB2-KRB 3 0.03 0.034 KRB2-KRB 4 0.013 0.119 KRB2-KRB 5 0.059 0.006 KRB3-KRB 4 0.008 0.167 KRB3-KRB 5 0.053 0.003 KRB4-KRB 5 0.063 0.004 TOTAL 0.03 0.001

Secara keseluruhan nilai jarak genetik (FST) antar masing-masing koloni potensial berada pada kisaran 0.008 hingga 0.063. Nilai tersebut menunjukkan bahwa masing-masing koloni potensial A. gracilipes di Kebun Raya Bogor memiliki kemiripan genetik yang tinggi atau dengan kata lain memiliki keragaman genetik yang rendah. Keragaman genetik yang rendah (FST rendah) juga ditemukan pada spesies semut invasif L. humile (Jaqueiry et al. 2005). Kondisi ini umumnya terjadi pada koloni semut yang memiliki pola superkoloni

polygyny – polydomy dalam skala besar (Debout et al. 2007). Rendahnya diferensiasi genetik yang ada kembali merujuk kepada tingginya potensi perkawinan sesama yang terjadi pada suatu koloni. Tidak adanya transfer gen dari koloni/populasi lain mungkin menjadi penyebab adanya kemiripan genetik yang tinggi pada suatu koloni yang berujung pada terjadinya isolasi secara genetik.

Korelasi Antara Agresi dan Jarak Genetik (FST)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara nilai indeks agresi (AI) dan indeks mortalitas (MI) walaupun secara statistik tidak berbeda secara signifikan (r2 = 0.62, P >0.05). Pada uji agresi ditemukan bahwa koloni potensial yang memiliki indeks agresi yang tinggi juga menunjukkan nilai

Dokumen terkait