• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Mikoprotein Terpilih

Penentuan Umur Panen Miselium dan Ukuran Tudung Tubuh Buah Berdasarkan Kandungan Proteinnya

Komposisi zat gizi pada miselium dan tubuh buah jamur dengan spesies yang sama dapat berbeda pada setiap tahapan pertumbuhannya. Penelitian penentuan umur panen miselium dan ukuran tudung tubuh buah dilakukan untuk mendapatkan sampel dengan kandungan protein yang optimal dan keseragaman sampel. Data hasil analisis protein (bk) miselium pada umur panen yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kandungan protein miselium Pleurotus flabellatus

(A) dan Volvariella volvacea (B) pada umur pemanenan yang berbeda. Data dengan huruf yang berbeda menandakan terjadi perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 0.05

29.1568a 31.7217b 29.5424c 27 28 29 30 31 32 33

har i ke-7 har i ke-8 har i ke-9

K an dun ga n pr o te in (%b k) Umur miselium A 18.5185a 19.9820b 17.1321c 15 16 17 18 19 20 21

har i ke-7 har i ke-8 har i ke-9

K an dun ga n pr o te in (%b k) Umur miselium B

Berdasarkan data hasil analisis kandungan proteinnya (Gambar 9), ditentukan umur panen kedua miselium pada hari ke-8 digunakan untuk analisis sifat fungsional selanjutnya karena memiliki kandungan protein tertinggi. Nilai kandungan protein miselium P. flabellatus dan V. volvacea pada umur 8 hari secara berurutan adalah 31.72% dan 19.98%. Data hasil analisis miselium P. flabellatus menunjukkan terjadinya peningkatan nilai protein sampai hari ke-8, kemudian menurun pada hari ke-9. Namun demikian, nilai protein miselium P. flabellatus pada hari ke-9 masih lebih tinggi dibandingkan dengan hari ke-7 (Gambar 9A). Pola yang hampir sama terjadi pada miselium V. volvacea. Namun, nilai kandungan protein miselium V. volvacea pada hari ke-9 lebih rendah daripada hari ke-7 (Gambar 9B). Kandungan protein miselium P. flabellatus pada ketiga hari pemanenan cenderung lebih tinggi daripada miselium V. volvacea.

Chang dan Miles (2004) menyebutkan peningkatan biomassa dapat menjadi salah satu kriteria terjadinya pertumbuhan. Pertumbuhan kedua miselium memperlihatkan pola yang sama sampai hari ke-8. Namun, pola menuju panen hari ke-9 berbeda (Gambar 10). Miselium P. flabellatus pada hari ke-9 mengalami peningkatkan biomassa dengan laju pertumbuhan lebih lambat daripada laju pertumbuhan sampai hari ke-8, sedangkan miselium V. volvacea mengalami penurunan biomassa pada hari ke-9. Berdasarkan data hasil pengukuran biomassa pada Gambar 10, terlihat bahwa kedua miselium pada hari ke-8 terdapat dalam fase logaritmik pertumbuhan. Chang dan Miles (2004) menyebutkan dalam fase logaritmik dihasilkan metabolit primer yang dibutuhkan untuk pertumbuhan lebih banyak. Miselium kedua jenis jamur pada hari ke-8 memiliki kandungan protein yang optimal karena terjadinya sintesis protein sebagai metabolit primer. Hasil ini didukung oleh Srivastava dan Bano (1970) yang menyebutkan bahwa secara umum miselium P. flabellatus mengalami pertumbuhan maksimum pada umur 8 hari setelah inokulasi karena miselium tersebut telah memanfaatkan substratnya secara maksimal. Perbedaan pola kandungan protein pada hari ke-9 di antara kedua jenis miselium dapat disebabkan perbedaan pola pertumbuhan pada hari ke- 9. Pada hari ke-9 miselium V. volvacea telah memasuki fase penurunan pertumbuhan. Penurunan pertumbuhan dapat terjadi akibat adanya autolisis karena toksin hasil metabolit meningkat atau kandungan zat gizi dalam media yang berkurang (Chang dan Miles 2004).

Gambar 10 Biomassa yang diperoleh pada ketiga hari pemanenan miselium Pleurotus flabellatus

(-) dan Volvariella volvacea (-) 6.43915 7.49385 6.8882 7.93155 16.5022 17.28755 0 5 10 15 20 7 8 9 B io m as sa m is el ium (g) Hari pemanenan

Tubuh buah jamur yang dihasilkan setelah inokulasi pada bag log dapat dilihat pada Gambar 11. Tubuh buah P. ostreatus yang dihasilkan berwarna putih susu, sedangkan P. flabellatus berwarna merah muda. Pemanenan tubuh buah kedua spesies jamur tersebut dikelompokkan menjadi tiga ukuran yaitu ukuran 4-5 cm, 6-8 cm, dan 8-10 cm. Penampakan ketiga kelompok tubuh buah dari masing- masing jamur dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 11 Tubuh buah Pleurotus ostreatus

dan Pleurotus flabellatus yang tumbuh pada bag log

Gambar 12 Tubuh buah Pleurotus ostreatus

(A) dan Pleurotus flabellatus

(B) dengan ukuran (1) 4-5 cm, (2) 6-8 cm, dan (3) 8-10 cm

Hasil analisis kandungan protein terhadap tiga kelompok tubuh buah P. ostreatus

dan P. flabellatus dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Kandungan protein tubuh buah

Pleurotus ostreatus (A) dan Pleurotus flabellatus (B) pada ukuran yang berbeda. Data dengan huruf yang berbeda menandakan terjadi perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 0.05

Berdasarkan Gambar 13 (A), dapat diketahui bahwa kandungan protein P. ostreatus cenderung menurun seiring bertambahnya ukuran. Namun, penurunan yang signifikan terjadi pada ukuran 8-10 cm. Kandungan protein P. ostreatus (bk) dengan diameter tudung 4-5 cm dan 6-8 cm sekitar 25-26%, sedangkan pada diameter 8-10 cm sekitar 20%. Pola perubahan kandungan protein pada tubuh buah P. ostreatus dan P. flabellatus berbeda. Gambar 13 (B) memperlihatkan terdapat kecenderungan kandungan protein P. flabellatus meningkat seiring bertambahnya ukuran diameter tudung dari 4-5 cm menjadi 6-8 cm. Namun, pertambahan ukuran selanjutnya menyebabkan terjadinya penurunan kandungan proteinnya. Berdasarkan data kandungan protein yang diperoleh, menunjukkan bahwa kedua tubuh buah jamur tersebut memiliki kandungan tertinggi pada ukuran diameter tudung 6-8 cm.

Peningkatan nilai protein pada tubuh buah sampel dapat terjadi akibat adanya sintesis spora dan protein selama masa pertumbuhan (Barros et al. 2007). Spora mengandung protein di antaranya dalam membran sel, sitoplasma, dan dalam bentuk material genetik seperti DNA (Kullman dan Greve 2007). Pola

26.7268a 25.5282a 20.0276b 0 5 10 15 20 25 30 K an dun ga n pr o te in (%b k) Ukuran tudung A 4-5 cm 6-8 cm 8-10 cm 21.2356a 25.5285a 21.9992a 0 5 10 15 20 25 30 K an dun ga n pr o te in (%b k) Ukuran tudung B 4-5 cm 6-8 cm 8 -10 cm

penurunan kandungan protein pada ukuran diameter tudung tubuh buah jamur tiram lebih dari 8 cm dapat disebabkan oleh kehilangan spora pada jamur yang telah matang. Berdasarkan hasil analisis kandungan protein pada Gambar 10, tubuh buah ukuran diameter tudung 6-8 cm digunakan sebagai bahan baku analisis sifat fungsional protein selanjutnya karena kandungan proteinnya optimal dan tubuh buahnya tidak mudah rusak daripada ukuran yang lebih besar dalam proses penyimpanan dan pengemasan.

Pola peningkatan dan penurunan kandungan protein pada tubuh buah jamur juga telah dilaporkan terjadi pada beberapa jamur. V. volvacea memiliki kandungan protein maksimal pada saat tahapan berbentuk telur, apabila V. volvacea mencapai tahap dewasa dengan bentuk memanjang seperti payung memiliki kandungan lemak lebih tinggi dan kandungan proteinnya menurun (Ahlawat dan Tewari 2007). Penelitian Soeharto (2003) menggunakan P. ostreatus menunjukkan terjadinya penurunan kandungan protein pada jamur tersebut seiring semakin lama hari pemanenan dan besar ukurannya. Barros et al.

(2007) menyebutkan selama pematangan spora pada jamur shiitake dengan ukuran diameter lebih dari 7 cm dapat terjadi peningkatan nilai protein. Selain protein, kematangan jamur juga mempengaruhi kandungan nilai gizi lainnya seperti pati. Hasil penelitian Barros et al. (2007) memperlihatkan bahwa kandungan polisakarida pada jamur shiitake juga dapat dipengaruhi oleh tahapan kematangan jamur. Kandungan polisakarida tertinggi terjadi pada tahapan Bud- veil break (tahapan pergantian antara fase telur dan pembentukan tudung). Setelah tudung terbuka, maka terjadi penurunan kadar polisakarida.

Analisis Sifat Fungsional Protein

Karakteristik fungsional protein sangat penting dalam proses dan formulasi produk pangan. Beberapa karakteristik fungsional protein yang penting yaitu daya ikat air dan minyak, emulsifikasi, kapasitas pembentukan buih, dan kemampuan pembentukan gel (Wu et al. 2009). Informasi mengenai sifat fungsional protein diperlukan untuk memaksimalkan pemanfaatan bahan baku dalam produk pangan. Kemampuan mengikat air dan minyak dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki struktur dan mengurangi kehilangan rendemen pada produk daging. Kemampuan pembentukan emulsi dan stabilitas emulsi diperlukan pada produk salad, sosis, es krim, daging, dan mayones (Ahmedna et al. 1999). Kapasitas pembentukan buih diperlukan dalam menjaga tekstur dan struktur produk es krim dan roti selama dan setelah proses (Adebayo et al. 2013). Kemampuan pembentukan gel diperlukan dalam produk pangan seperti produk confectionary (Fekria et al. 2012).

Analisis sifat fungsional protein yang dilakukan terdiri dari analisis daya ikat air, daya serap minyak, stabilitas emulsi, tetesan air, dan kekuatan gel. Hasil analisis daya ikat air dan daya serap minyak dijadikan dasar dalam penambahan air dan minyak ke dalam formula daging analog. Daya ikat air dan daya serap minyak menunjukkan jumlah optimum air yang dapat diikat dan minyak yang dapat terserap. Tetesan air menunjukkan karakteristik gel untuk mempertahankan dari kehilangan air. Semakin kecil nilai tetesan air maka ketahanan gel lebih baik. Nilai stabilitas emulsi menunjukkan kemampuan protein bertindak sebagai emulsifier. Nilai kekuatan gel diukur berdasarkan uji kualitatif. Semakin tinggi nilai kualitas gel, menunjukkan semakin kuatnya gel yang terbentuk. Hasil

analisis sifat fungsional protein terhadap miselium dan tubuh buah dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sifat fungsional protein miselium dan tubuh buah jamur Parameter

Miselium Tubuh buah

Volvariella volvacea Pleurotus flabellatus Pleurotus ostreatus Pleurotus flabellatus

Daya ikat air

(%) 15.8924 ± 0.8384 c 10.3844 ± 0.2049d 30.4864 ± 0.3704b 31.5085 ± 0.7718 a Daya serap minyak (ml/g) 0.8009 ± 0.0674a 0.5214 ± 0.0216c 0.6393 ± 0.0125b 0.6303 ± 0.0124b Stabilitas emulsi (%) 48.6944 ± 0.5986b 57.1426 ± 1.8391a 40.5741 ± 1.1072c 39.4701 ± 5.0457c Tetesan air (%) 84.6552 ± 1.0558 a 83.3567 ± 3.2256a 65.3956 ± 4.0461b 64.9409 ± 2.0551b Kekuatan gel (nilai) - 2 1 1

Huruf yang berbeda menandakan terjadi perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 0.05

Daya Ikat Air (Water Holding Capacity)

Chirinang dan Intarapichet (2009) menyebutkan Pleurotus spp. memiliki kandungan asam amino polar seperti arginin, asam aspartat, dan asam glutamat yang tinggi. Begitu pula dengan V. volvacea yang memiliki kandungan asam amino polar di antaranya treonin, metionin, lisin, dan histidin (Chang dan Miles 2004). Adanya komposisi asam amino yang bersifat polar pada Pleurotus spp. dan

V. volvacea segar memungkinkan kedua tubuh buah jamur dan miseliumnya memiliki kemampuan mengikat air. Asam amino polar memiliki grup yang dapat berikatan hidrogen dengan air, seperti hidroksil dan karboksil (Damodaran 1996). Tabel 6 memperlihatkan nilai WHC miselium V. volvacea sekitar 15.89%, miselium P. flabellatus sekitar 10.38%, tubuh buah P. ostreatus sekitar 30.49%, dan tubuh buah P. flabellatus sekitar 31.51%. Nilai WHC miselium lebih rendah dibandingkan nilai WHC tubuh buah jamur. Nilai WHC keempat sampel lebih rendah daripada pangan nabati sumber protein lain dalam bentuk tepungnya seperti kacang hijau dengan nilai WHC 2.10 g/g atau sekitar 210% (Dzudie dan Hardy 1996), kacang merah (Phaseolus lunatus) 2.65 g/g, dan kacang parang (Canavalia ensiformis) 3.80 g/g (Chel-Guerrero et al. 2002). Bentuk tepung dapat menghasilkan nilai WHC lebih tinggi karena nilai WHC dipengaruhi oleh struktur protein dan keberadaan gugus hidrofilik pada karbohidrat tepung (Adebowale dan Lawal 2004). Oleh karena itu, nilai WHC tepung dari keempat sampel jamur dan miselium yang diuji diduga dapat lebih tinggi. Selain itu, nilai WHC juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang dapat diubah pada saat pengukuran berlangsung seperti pengadukan, kecepatan, pH, dan konsentrasi protein (Chel- Guerrero et al. 2002).

Daya Serap Minyak (Oil Absorption Capacity)

Daya serap minyak atau Oil Absorption Capacity (OAC) merupakan karakteristik fungsional yang diperlukan dalam industri pangan seperti industri daging (Souissi et al. 2007). Keberadaan gugus nonpolar pada rantai protein

mempengaruhi nilai OAC (Adebowale dan Lawal 2004). Pleurotus spp. dan V. volvacea mengandung asam amino nonpolar seperti valin, isoleusin, dan leusin (Chang dan Miles 2004; Chirinang dan Intarapichet 2009). Adanya asam amino nonpolar tersebut memungkinkan tubuh buah dan miselium ketiga spesies jamur yang diuji memiliki kemampuan untuk menyerap minyak. Kehadiran beberapa rantai samping yang bersifat nonpolar dapat berikatan secara hidrofobik (interaksi hidrofobik) dengan rantai hidrokarbon minyak, sehingga semakin banyak komposisi asam amino nonpolar maka daya ikat minyak yang dihasilkan semakin tinggi (Sathe et al. 1982). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai OAC miselium V. volvacea sekitar 0.80 ml/g dan miselium P. flabellatus sekitar 0.52 ml/g. Tubuh buah P. ostreatus dan P. flabellatus memiliki nilai OAC yang sama yaitu sekitar 0.63 ml/g. Miselium V. volvacea memiliki OAC tertinggi dibandingkan ketiga sampel uji lainnya. Namun, hasil ini masih lebih rendah daripada nilai OAC pangan nabati sumber protein lain dalam bentuk tepung seperti kacang tanah (1.37 ml/g) (Adebowale dan Lawal 2004), kacang kedelai (1.94 ml/g) (Chau dan Cheung 1998), dan kacang hijau 2.20 g minyak/g (Dzudie dan Hardy 1996).

Stabilitas Emulsi (Emulsion Stability)

Protein dapat membentuk suatu matriks yang menyelubungi butiran lemak sehingga globula lemak tidak mudah terpisah dari sistem (Suzuki 1981). Protein merupakan senyawa poliionik yang bersifat surface-active yang dapat membantu proses pembentukan dan penstabilan emulsi minyak dan air. Pembentukan gel protein dapat digunakan untuk peningkatan penyerapan air, pengikatan partikel dan stabilitas emulsi (Yulianti 2003). Tabel 6 memperlihatkan nilai stabilitas emulsi dari sampel yaitu sekitar 48.69% untuk miselium V. volvacea dan 57.14% untuk miselium P. flabellatus. Nilai stabilitas emulsi kedua tubuh buah jamur tiram tidak berbeda signifikan yaitu sekitar 39-40%. Nilai stabilitas miselium lebih tinggi daripada tubuh buah. Stabilitas emulsi protein sampel uji tergolong rendah apabila dibandingkan dengan nilai stabilitas emulsi konsentrat pangan nabati lainnya dalam bentuk tepung dan berasal dari polong-polongan (buncis dan kacang panjang), serta kacang (kacang bali dan kacang komak). Nilai stabilitas emulsi konsentrat tersebut pada pH 6.0 secara berurutan adalah 87.50%, 85.71%, 85.71%, dan 85.71% (Ahmed et al. 2011). Nilai stabilitas yang rendah pada keempat sampel uji dapat disebabkan di antaranya oleh tingginya kadar air sampel. Tingginya kadar air pada sampel uji dapat menurunkan kelarutan sampel pada minyak sehingga menghambat aktivitas emulsi dari protein yang terkandung pada sampel uji. Damodaran (1996) menyebutkan kelarutan protein merupakan faktor penting dalam sifat pembentukan emulsi. Selain itu, stabilitas emulsi juga dipengaruhi oleh konsentrasi protein. Konsentrasi protein mempengaruhi kemudahan dalam adsorpsi larutan ke dalam molekul protein (Adebowale dan Lawal 2004).

Kekuatan Gel (Gelling Properties)

Gel adalah bentuk fase antara padat dan cair (Alleoni 2006). Konsentrasi protein merupakan faktor utama dalam pembentukan gel yang diinduksi dengan proses pemanasan (Dong Sun dan Holley 2011). Semakin tinggi konsentrasi protein maka semakin kuat dan kaku gel yang terbentuk. Folding test dapat digunakan untuk mengetahui kekuatan gel secara kualitatif. Folding test

umumnya dilakukan pada surimi. Surimi memiliki nilai folding test yang tergolong tinggi karena kandungan miofibrilarnya (Hasanpour et al. 2012).

Tabel 6 menunjukkan bahwa miselium V. volvacea tidak mampu membentuk gel, sedangkan miselium P. flabellatus memiliki kualitas gel bernilai 2. Tabel 6 juga memperlihatkan nilai kualitas gel kedua tubuh buah bernilai 1. Nilai 1 menunjukkan kualitas gel yang rendah dan patah saat ditekan dengan jari sebelum dilipat. Miselium P. flabellatus memiliki nilai kualitas gel tertinggi di antara sampel uji. Hal ini disebabkan oleh kandungan protein dalam miselium P. flabellatus tertinggi dibandingkan ketiga sampel lainnya (Gambar 9 dan 11). Damodaran (1996) menyebutkan bahwa konsentrasi protein merupakan faktor yang sangat penting dalam sifat kemampuan pembentukan gel.

Berdasarkan hasil analisis sifat fungsional pada Tabel 6, ditentukan bahan baku yang digunakan dalam formulasi daging analog ialah miselium P. flabellatus. Miselium P. flabellatus dipilih sebagai bahan baku yang digunakan dalam formulasi karena: (1) kandungan protein miselium P. flabellatus lebih tinggi dibandingkan sampel uji lainnya, (2) karakteristik fungsional protein dalam hal pembentukan gel dan stabilitas emulsi pada miselium P. flabellatus lebih baik daripada sampel uji lainnya yang merupakan karakteristik penting untuk membentuk tekstur daging analog, dan (3) waktu yang diperlukan untuk memproduksi miselium lebih singkat daripada tubuh buah jamur.

Karakterisitik Bahan Baku Mikoprotein Terpilih

Kandungan gizi bahan baku daging analog yang digunakan yaitu miselium

P. flabellatus dan kandungan gizi tubuh buahnya (sebagai perbandingan) dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan hasil analisis proksimat (Tabel 7), dapat diketahui bahwa komponen terbesar pada miselium dan tubuh buah jamur ialah air, karbohidrat, dan protein. Air merupakan komponen utama pada jamur. Kandungan air dan aktivitas air yang tinggi menyebabkan jamur mudah mengalami kerusakan. Kalac (2012) menyebutkan bagian bahan kering jamur umumnya hanya sekitar 10%.

Tabel 7 Kandungan gizi miselium dan tubuh buah Pleurotus flabellatus

Parameter Miselium Tubuh buah

Kadar air (%) 96.6662 ± 0.0862 90.6662 ± 0.9731 Kadar protein (%bk) 31.7217 ± 0.1138 25.5285 ± 0.2952 Kadar lemak (%bk) 9.0736 ± 0.4484 2.4602 ± 0.3383 Kadar abu (%bk) 4.5658 ± 0.1747 9.6548 ± 0.5380 Kadar karbohidrat (by difference) (%bk) 54.5389 ± 0.3876 62.3564 ± 0.5811 Kadar serat kasar (%bk) 51.6722 ± 3.4271 40.8528 ± 5.4886

Miselium dan tubuh buah yang mengandung protein lebih dari 20% berpotensi sebagai bahan pangan sumber protein nabati. Kandungan protein dan lemak miselium lebih tinggi daripada tubuh buah jamur. Peregrin (2002) menyebutkan bagian miselium seperti dinding sel dari hifanya merupakan sumber serat pangan, membran sel merupakan sumber PUFA (Polyunsaturated Fatty Acid), dan sitoplasma merupakan sumber protein berkualitas tinggi. Hasil analisis pada Tabel 7, memperlihatkan bahwa dari kandungan karbohidrat sebagian besar

terdiri dari serat kasar. Serat kasar (crude fiber) adalah residu dari proses hidrolisis asam dan basa suatu bahan atau produk pangan yang berkarbohidrat tinggi.

Kandungan asam amino dari miselium P. flabellatus sebagai mikoprotein terpilih dan tubuh buahnya sebagai perbandingan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Kandungan asam amino miselium dan tubuh buah Pleurotus flabellatus

Asam Amino (%bk) Miselium Tubuh buah

Asam aspartat 3.00 2.57 Asam glutamat 5.70 4.71 Serin 1.50 1.39 Histidin 1.20 0.86 Glisin 1.50 1.29 Treonin 1.50 1.29 Arginin 2.70 1.61 Alanin 1.80 2.14 Tirosin 0.90 0.86 Metionin 0.30 0.43 Valin 1.80 1.50 Fenilalanin 1.80 1.50 Isoleusin 1.80 1.39 Leusin 2.70 1.93 Lisin 3.00 1.82 Total 31.20 25.28

Hasil analisis pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa asam glutamat merupakan komponen terbesar dari asam amino yang terkandung di dalam miselium maupun tubuh buah P. flabellatus. Asam glutamat yang ada dalam jamur dapat memberikan pengaruh rasa gurih pada jamur. Chirinang dan Intarapichet (2009) memperlihatkan asam glutamat merupakan komponen terbesar dari hasil analisis asam amino dua spesies Pleurotus. Hasil analisis asam amino memperlihatkan komposisi lima asam amino tertinggi di dalam miselium P. flabellatus ialah asam glutamat sekitar 5.70%, lisin 3.00%, asam aspartat 3.00%, arginin 2.70%, dan leusin 2.70%.

Hasil analisis total asam nukleat memperlihatkan bahwa miselium P. flabellatus yang digunakan dalam pembuatan daging analog memiliki kandungan total asam nukleat sekitar 0.12%. Nilai ini telah memenuhi standar maksimal asam nukleat yang diizinkan terdapat pada produk pangan yaitu 2% (USDA 1998).

Penentuan Formula Terpilih

Formulasi dilakukan terhadap mikoprotein yang berasal dari miselium P. flabellatus. Formulasi dilakukan berdasarkan formula yang disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan formulasi dengan formula Tabel 5, diperoleh 6 formula. Formula

A dan D (FA dan FD) menggunakan persentase miselium sebanyak 40%, formula B dan E (FB dan FE) menggunakan miselium 50%, serta formula C dan F (FC dan FF) menggunakan persentase miselium 60%. Keenam formula yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 14.

FA FB FC

FD FE FF

Gambar 14 Keenam formula daging analog yang dihasilkan

Profil tekstur keenam formula yang meliputi kekerasan, elastisitas, dan daya kunyah dianalisis dan hasilnya analisis dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Texture profile analysis dari keenam formula

Formula Kekerasan (kg) Elastisitas (mm/mm) Daya kunyah (kg)

FA 1.7095 ± 0.2664c 0.9275 ± 0.0150a 1.2065 ± 0.1925c FB 1.2627 ± 0.0368b 0.9584 ± 0.0179a 0.8810 ± 0.0169b FC 0.7137 ± 0.0483a 0.9443 ± 0.0143a 0.4844 ± 0.0237a FD 3.3794 ± 0.1343d 0.8905 ± 0.0412a 2.3377 ± 0.0010d FE 1.8216 ± 0.1337c 0.8896 ± 0.0449a 1.2666 ± 0.0554c FF 1.2833 ± 0.1834b 0.9149 ± 0.0104a 0.9109 ± 0.1293b

Huruf yang berbeda menandakan terjadi perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 0.05

Tabel 9 menunjukkan terjadinya penurunan kekerasan dengan semakin bertambahnya persentase miselium yang digunakan. Hal ini sesuai dengan penelitian Rosli et al. (2011) yang menyebutkan bahwa nilai kekerasan dan kekenyalan menurun pada substitusi tubuh buah jamur tiram giling hingga 50% dalam chicken patty. Penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi dilakukan pada formulasi daging analog. Bahan pengikat berupa bahan yang memiliki kandungan protein yang tinggi dan mampu memperbaiki sistem emulsifikasi, sedangkan bahan pengisi adalah bahan yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi sehingga dapat meningkatkan WHC, tetapi berpengaruh kecil terhadap sifat emulsi. Bahan pengikat yang telah digunakan secara umum ialah albumen. Bahan pengisi yang umumnya telah digunakan secara luas pada produk olahan daging seperti patty ialah campuran tepung terigu, tapioka, dan tepung sagu dengan perbandingan 1:2:4 atau pati jagung.

Bahan pengisi mempengaruhi tekstur seperti keempukan dan kekerasan produk. Tabel 9 menunjukkan nilai kekerasan formula FD lebih tinggi dibandingkan nilai kekerasan formula FA, formula FE lebih tinggi daripada formula FB, formula FF lebih tinggi daripada formula FC, walaupun persentase

miselium yang digunakan untuk masing-masing formula sama. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah bahan pengisi pada formula FD-FF lebih besar daripada pada formula FA-FC. Formula A-C (FA-FC) menggunakan perbandingan bahan pengisi dan pengikat 1:1, sedangkan formula D-F (FD-FF) menggunakan perbandingan 2:1. Penentuan perbandingan bahan pengisi dan pengikat pada penelitian ini berdasarkan pada penelitian Rosli et al. (2011) yang menggunakan perbandingan 2:1 antara bahan pengisi (pati) dan sumber protein lain dan penelitian Kim et al. (2009) yang melaporkan perbandingan 1:1 untuk menghasilkan daging analog dengan metode ekstruksi dari jamur kancing. Nilai kekerasan terendah dimiliki FC karena komposisi bahan pengisinya paling rendah, sedangkan FD memiliki komposisi bahan pengisi tertinggi sehingga FD memiliki nilai kekerasan tertinggi dibandingkan keenam formula lainnya. Berdasarkan hasil analisis statistik yang dilakukan terlihat bahwa formula FA dan FE, serta formula FB dan FF memiliki nilai kekerasan yang tidak berbeda secara signifikan.

Bahan pengikat menentukan stabilitas emulsi dan kekompakan produk. Stabilitas dan kekompakan produk dapat mempengaruhi nilai elastisitas produk seperti yang terlihat pada Tabel 9. Nilai elastisitas formula FD lebih rendah dibandingkan formula FA, formula FE lebih rendah daripada formula FB, formula FF lebih rendah daripada formula FC. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahan pengikat pada formula FA-FC lebih tinggi daripada formula FD-FF (Tabel 5). Namun, perbedaan nilai elastisitas antara semua formula uji tidak signifikan. Nilai elastisitas tertinggi belum tentu memiliki nilai daya kunyah tertinggi seperti halnya yang terjadi pada produk sosis. Gadiyaram dan Kannan (2004) melakukan pengukuran terhadap profil tekstur beberapa produk sosis yang berbeda bahan baku dagingnya dengan parameter penekanan hingga 75% memperlihatkan bahwa sosis daging kambing rendah lemak memiliki nilai elastisitas tertinggi mencapai nilai 0.74, tetapi nilai daya kunyah tertinggi dimiliki sosis sapi yang bernilai 0.4184 kg. Hal tersebut dapat terjadi karena perhitungan daya kunyah suatu produk dipengaruhi juga oleh nilai kekerasan selain nilai elastisitasnya.

Berdasarkan hasil analisis dalam Tabel 9, dapat diketahui bahwa formula B (FB) memiliki nilai elastisitas tertinggi dengan daya kunyah yang sedang. Karakteristik dari daging analog yang diharapkan adalah dapat dikunyah dengan nilai elastisitas yang baik. Oleh karena itu, FB menjadi formula yang dikembangkan dalam penelitian ini.

Analisis Proksimat, Komposisi Asam Lemak, dan Kapasitas Antioksidan

Analisis proksimat dari FB dilakukan untuk mengetahui nilai kandungan gizinya. Nilai kandungan gizi tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Kandungan gizi formula terpilih

Parameter Nilai

Kadar air (%) 61.4562 ± 1.9639

Kadar protein (%bk) 6.6851 ± 0.3324

Kadar lemak (%bk) 29.7557 ± 0.0269

Kadar abu (%bk) 0.4696 ± 0.0022

Kadar karbohidrat (by difference) (%bk) 63.0897 ± 0.3571

Data hasil analisis pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa komponen dominan

Dokumen terkait