• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Lahan Kering

Iklim merupakan salah satu faktor pembentuk tanah yang penting dan secara langsung mempengaruhi proses pelapukan bahan induk dan pembentukan tanah. Unsur-unsur iklim yang penting dalam proses pembentukan tanah dan berpengaruh terhadap produktivitas lahan adalah curah hujan dan suhu. Curah hujan dan suhu ditetapkan sebagai parameter penentu kualitas lahan ketersediaan air dan suhu yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian (FAO, 1983; CSR/FAO, 1983; Sys et al., 1993; Djaenudin et al., 2003).

Kedua unsur iklim tersebut digunakan juga untuk penetapan rejim kelembapan dan rejim suhu tanah dalam klasifikasi tanah menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999).

Iklim di semua lokasi penelitian termasuk ke dalam tipe iklim Afa dan tipe hujan A, kecuali Gunung Sindur termasuk ke dalam tipe hujan B yang relatif lebih kering (Schmidt dan Ferguson, 1951). Walaupun terjadi musim kemarau pada bulan-bulan Juni sampai Agustus, namun curah hujan rata-rata bulanan masih di atas 100 mm/bulan. Berdasarkan hasil penelitian Pramudya (2002) bahwa bila curah hujan rata-rata bulanan di atas 100 mm, maka sangat kecil sekali peluang terjadinya tanaman kekeringan atau kekurangan air. Hal ini sejalan dengan hasil kajian FAO (1980) yang melaporkan bahwa lamanya periode pertumbuhan (length of growing period) di daerah Bogor adalah 330 – 365 hari per tahun,

berarti hampir sepanjang tahun tanaman pangan seperti jagung dan kacang tanah dapat diusahakan di lahan kering di daerah Bogor.

Neraca air (Gambar 5) yang diperhitungkan dari stasiun Cimanggu, Bogor dengan program CropWat (Clarke, 1998) menunjukkan bahwa besarnya curah hujan bulanan di semua bulan dalam setahun masih di atas besarnya keh ilangan

air melalui evapotranspirasi (ET0). Sepanjang tahun tidak terjadi defisit air.

Kebutuhan air untuk tanaman jagung (ETj = 0,8 x ET0) dan kacang tanah (ETk =

0,75 x ET0) yang diperhitungkan menurut Doorenbos dan Pruitt (1984),

Gambar 5. Neraca air untuk tanaman jagung dan kacang tanah di Cimanggu (a), Gunung Sindur (b), Jasinga (c) dan Jonggol (d).

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)

Curah Hujan ET ET Jagung

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)

Curah Hujan ET ET Kacang Tanah

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)

Curah Hujan ET ET Jagung

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)

Curah Hujan ET ET Kacang Tanah

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)

Curah Hujan ET ET Jagung

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)

Curah Hujan ET ET Kacang Tanah

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)

Curah Hujan ET ET Jagung

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)

Curah Hujan ET ET Kacang Tanah

(a)

(b)

(c)

37 tidak akan mengalami kekurangan air atau kekeringan. Dalam Taksonomi Tanah, kondisi kelembaban tanah yang sangat basah seperti ini termasuk ke dalam rejim

kelembaban tanah perudic (Soil Survey Staff, 1999). Neraca air di lokasi

penelitian lainnya bila diasumsikan bahwa data iklim lainnya dianggap sama dengan Cimanggu kecuali curah hujan dan suhu udara, maka besarnya kebutuhan

air yang diperhitungkan untuk tanaman jagung dan kacang tanah (Kc x ET0)

tampak sedikit bervariasi di setiap lokasi penelitian. Di Cimanggu dan Jasinga, besarnya evapotranspirasi acuan tidak melebihi curah hujan bulanan, sedangkan di Gunung Sindur dan Jonggol evapotranspirasi acuan pada bulan-bulan Juni- September melebihi besarnya curah hujan bulanan. Namun demikian besarnya kebutuhan air untuk tanaman jagung dan kacang tanah di semua lokasi masih di bawah curah hujan bulanan. Tanah-tanah disini, selain di Cimanggu, tergolong

mempunyai rejim kelembaban tanah udic (Soil Survey Staff, 1999), dimana tanah

tidak akan mengalami kekeringan selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan neraca air dan perhitungan kebutuhan air untuk tanaman jagung dan kacang tanah serta waktu tanam yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian umumnya pada awal musim hujan (Oktober-Pebruari) seperti pada percobaan ini, maka faktor ketersediaan air di semua lokasi penelitian tidak menjadi pembatas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kacang tanah.

Suhu udara rata-rata bulanan di Cimanggu, Bogor berkisar dari 25,6

sampai 27,5 oC dengan suhu rata-rata tahunan 26,7 oC. Suhu udara di lokasi

penelitian lainnya diduga dengan rumus Braak (dalam Mohr et al., 1972) berkisar

dari 27,3 – 27,5 oC. Kisaran suhu udara antara 25 oC sampai 27 oC seperti di

semua lokasi penelitian tergolong sesuai untuk tanaman jagung (Djaenudin et al.,

2003; CSR/FAO, 1983; Sys et al., 1993). Berdasarkan uraian di atas dapat

dikemukakan bahwa ditinjau dari faktor iklim dalam kaitannya sebagai kualitas lahan ketersediaan air dan suhu udara untuk evaluasi kesesuaian lahan, tergolong sesuai dan tidak merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kacang tanah.

Karakteristik Tanah pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah

Karakteristik tanah yang dipengaruhi oleh bahan induk dan perkembangan tanah serta digunakan dalam klasifikasi tanah dan penetapan kualitas lahan untuk evaluasi kesesuaian lahan meliputi sifat-sifat morfologi, mineralogi, fisika dan kimia tanah. Uraian sifat morfologi profil tanah dari masing-masing lokasi penelitian serta data-data mineralogi, sifat fisik dan kimia tanah diberikan pada Lampiran 4 sampai dengan 8.

Komposisi Mineral dan Bahan Induk. Komposisi mineral pasir dapat menjelaskan

asal batuan induk tanah, cadangan mineral atau jumlah mineral dapat lapuk dalam tanah yang berhubungan dengan potensi kesuburan alami tanah, perkembangan dan klasifikasi tanah. Sedangkan komposisi mineral liat sebagai partikel koloid tanah yang aktif dalam tanah lebih banyak berperan dalam menentukan sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya, antara lain: sifat mengembang dan mengerut, kemudahan pengolahan tanah, retensi dan ketersediaan hara.

Berdasarkan pada komposisi mineral pasir (Gambar 6), tanah Cimanggu (B1) tersusun dari gelas volkan, andesin, labradorit, hornb lende, augit, hiperstin, kuarsa dan opak (Lampiran 5) menunjukkan asal bahan induk tanah dari bahan volkanik bersifat intermedier (andesitik). Tanah dari Gunung Sindur (B2) yang berkembang dari bahan yang sama dengan tanah Cimanggu (Effendi, 1986), memiliki mineral dapat lapuk sangat sedikit (3%) dibanding tanah Cimanggu (38%) dan mineral resisten terutama opak dan kuarsa sangat tinggi (83%). Perbedaan komposisi mineral pasir tersebut menunjukkan perbedaan tingkat pelapukan tanah, dimana tanah Gunung Sindur telah terlapuk lanjut dibanding tanah Cimanggu. Komposisi mineral pasir dari tanah Cikopomayak (B3), Tegalwangi (B4), Jasinga dan tanah-tanah dari Jonggol (B5, B6 dan B7) didominasi oleh mineral resisten (70-94%), seperti kuarsa dan opak serta sedikit sampai sangat sedikit sekali mineral dapat lapuk dalam tanah (<10%). Komposisi mineral pasir tersebut menunjukkan asal bahan induk tanah dari batuan sedimen yang terbentuk pada masa Miosen Tengah (Van Bemmelen, 1949). Ditemukannya mineral-mineral lainnya terutama di tanah lapisan atas seperti gelas volkan,

40

B-5

B-6

B-7

Dokumen terkait