• Tidak ada hasil yang ditemukan

pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian

TPL 4: Tanaman kacang tanah dan ubi kayu, input sedang

Tipe penggunaan lahan ini memproduksi polong kering kacang tanah 1,2- 2,0 ton/ha untuk bahan pangan dan bahan industri makanan atau minyak goreng serta 15-18 ton/ha umbi segar ubi kayu untuk bahan pangan dan bahan industri tepung pati. Sebagian besar hasil usahatani dijual (75%). Kacang tanah ditanam pada awal musim hujan (Oktober-Nopember) selama 3-4 bulan (90-95 hari) dan dilanjutkan oleh ubi kayu selama 8-9 bulan secara bergiliran di lahan kering tadah hujan (tegalan) datar atau diteras. Luas lahan umumnya sempit 0,3-0,8 ha, lebih luas dari TPL 3. Modal usahatani kecil sampai sedang. Jumlah tenaga kerja tergolong sedang berasal dari dalam keluarga dan luar keluarga (25-50%). Pengolahan tanah dengan alat tangan: cangkul, garpu, kored, dll. Ditanam varietas lokal dan atau varietas unggul (a.l. Kidang, Gajah, Kelinci) pada bedengan berukuran 3-4 m x 8-10 m. Kebutuhan bibit (polong kering) kacang tanah sebanyak 80-100 kg/ha. Jarak tanam agak bervariasi 20-35 cm x 20-35 cm. Pemupukan dengan dosis per-hektar: 50-100 kg urea, 100-200 kg SP-36, 50-100

kg KCl dan 500-1000 kg bahan organik (bokasi, pupuk kandang kotoran ayam). Penyemprotan hama/penyakit dilakukan 1-2 kali sesuai kebutuhan dan biasanya pada saat terjadi serangan hama/penyakit. Penyiangan dilakukan 2-3 kali, yaitu 2 minggu, 4 minggu dan 6-8 minggu setelah tanam. Pada tanaman berumur 1 bulan dilakukan pembumbunan, biasanya bersamaan dengan penyiangan kedua. Ubi kayu ditanam setelah kacang tanah dipanen, dalam guludan dengan jarak tanam umumnya 1,0 x 0,8 m dan tidak diberikan pupuk lagi. Lokasi kebun umumnya dekat dengan jalan desa dan hasilnya mudah dijual ke pasar atau melalui tengkulak. Pendapatan keuntungan bersih tergolong rendah sampai sedang.

Produktivitas Lahan Kering di Lokasi Penelitian

Produktivitas lahan kering untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang berdasarkan pada hasil percobaan lapangan di 7 lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 11. Hasil-hasil selengkapnya dari komponen produksi yang diamati dan diukur di lapangan diberikan pada Lampiran 11 dan 12.

Tabel 10. Produksi Rata-rata Jagung dan Kacang Tanah di Lokasi Penelitian Produktivitas Lahan (ton/ha/musim)

Jagung

(Biji kering) (Polong kering) Kacang Tanah

Kode

Lokasi Klasifikasi Tanah

TPL-1 TPL-2 TPL-3 TPL-4 B1 Oxyaquic Dystrudept 2,712 Ba 4,890 Aa 1,505 Bb 2,205 Ab B2 Typic Eutrudox 1,385 Bc 2,155 Ac 0,825 Bd 1,185 Ae B3 Typic Hapludult 0,290 Be 1,185 Ad 0,610 Bf 1,065 Ae B4 Typic Haplohumult 0,590 Bd 1,315 Ad 0,680 Bf 1,410 Ac B5 Lithic Hapludoll 1,355 Bc 3,480 Ab 0,900 B c 1,560 Ac B6 Aquic Eutrudept 1,885 Bb 4,805 Aa 1,680 Ba 2,670 Aa B7 Typic Hapludalf 0,210 Be 2,080 Ac 0,720 Be 1,340 Ad

Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil sama menurut kolom dan huruf besar sama menurut baris dalam kelompok variabel yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.

67 Produktivitas jagung dan kacang tanah di semua lokasi penelitian cukup beragam, terutama produksi tanaman jagung pada input rendah (TPL 1) mulai dari 0,210 ton/ha sampai 2,712 ton/ha biji kering dan untuk produksi kacang tanah (TPL 3) mulai dari 0,610 ton/ha sampai 1,680 ton/ha polong kering. Sedangkan pada TPL 2 untuk jagung dan TPL 4 untuk kacang tanah dengan input sedang memberikan produksi lebih tinggi dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan TPL input rendah, yaitu berkisar dari 1,185 ton/ha sampai 4,890 ton/ha biji kering jagung dan 1,065 ton/ha sampai 2,670 ton/ha polong kering kacang tanah. Uji Duncan pada taraf nyata 5% terhadap pengaruh lokasi (keragaman tanah) dan perlakuan pengelolaan lahan pada komponen produksi jagung dan kacang tanah menunjukkan perbedaan nyata. Keragaman produktivitas jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian tampaknya sangat berhubungan erat dengan keragaman bahan induk, perkembangan tanah dan pengelolaan lahannya.

4,89 2,16 1,19 1,31 3,48 4,8 2,08 2,71 1,39 0,29 0,59 1,37 1,89 0,21 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7

Produksi Jagung (ton/ha)

TPL_1 TPL_2

Gambar 11. Produksi Jagung pada Input Rendah (TPL 1) dan Input Sedang (TPL 2) di Lokasi Penelitian

Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan

Kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, biasanya terdiri dari

satu atau lebih karakteristik lahan (FAO, 1976; Hardjowigeno et al., 1999).

Mengacu kepada kualitas lahan yang digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan

untuk pertanian lahan kering seperti dikemukakan oleh Djaenudin et al. (2003),

FAO (1983) dan Sys et al., (1993), jenis-jenis kualitas lahan yang erat

hubungannya dengan bahan induk dan perkembangan tanah adalah ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan hara, daya retensi hara, bahaya keracunan, kemudahan pengolahan tanah, dan bahaya erosi atau degradasi tanah. Kualitas lahan pada berbagai bahan induk dan perkembangan tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 11.

Pengaruh Bahan Induk terhadap Kualitas Lahan

Karakteristik tanah yang menyusun kualitas lahan seperti pada Tabel 11 tersebut berasal dari sifat-sifat morfologi, mineralogi, fisika dan kimia tanah yang sangat dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya.

Ketersediaan air yang diduga dari pori air tersedia dari tanah -tanah yang berkembang dari bahan induk volkanik tergolong sedang (Lembaga Penelitian Tanah, 1974), yang berarti akan cukup tersedia air dalam tanah untuk tanaman. Bila curah hujan cukup dan tidak merupakan faktor pembatas, maka jumlah air yang tersedia dalam tanah tergantung dari jumlah pori air tersedia. Semakin besar kandungan pori air tersedia dalam tanah maka semakin besar kemampuan tanah untuk menyediakan air bagi tanaman. Berdasarkan pada jumlah pori air tersedia, tanah berbahan induk volkanik mempunyai kualitas lahan ketersediaan air yang relatif lebih baik dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen. Hal ini diduga karena pengaruh dari proses atau sifat batuan induk sedimen yang memadat (masif). Peningkatan ketersediaan air dalam tanah dapat disebabkan oleh pengaruh proses pelapukan bahan induk dan juga pengaruh kandungan bahan organik tanah (Hardjowigeno, 1995).

69 Tabel 11. Kualitas Lahan pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah

di Lokasi Penelitian

Volkanik Sedimen masam Sedimen basa No Kualitas/karakteristik lahan Udept

(B1) Udox (B2) Udult (B3) Humult (B4) Udoll (B5) Udept (B6) Udalf (B7) 1 Ketersediaan air:

Pori air tersedia (% vol) 13,9 11,5 10,3 12,3 11,0 11,8 12,0 2 Ketersediaan oksigenKelas drainase tanah :

Pori drainase cepat (%vol) at 11,1 b 17,7 b 7,8 b 12,8 s 9,8 at 10,2 s 12,3

3 Ketersediaan hara: -Tingkat ketersediaan: N-total (%) P-tersedia (ppm) K-dd (me/100 g) -Indikator ketersediaan: Ph Nisbah Fe2O3/liat -Indikator pembaharuan: K-total (mg/100 g) P-total (mg/100 g) Mineral dapat lapuk (%)

0,18 79,90 0,68 5,0 0,06 32,00 160,0 38 0,16 14,32 0,13 4,8 0,07 6,00 36,0 3 0,20 10,80 0,14 4,2 0,10 9,00 37,0 2 0,28 12,70 0,22 4,2 0,07 12,00 38,0 10 0,20 16,60 0,14 6,5 0,06 9,00 19,0 10 1,13 50,60 0,13 5,6 0,10 9,00 98,0 3 0,10 5,40 0,05 5,1 0,10 6,00 18,0 1 4

Daya retensi hara:

pH

KTK-liat (cmol(+)/kg liat) Kejenuhan Basa (%) C-organik (%) 5,0 28,71 49,0 1,39 4,8 14,61 47,5 1,22 4,2 26,67 13,5 1,66 4,2 42,00 30,0 1,95 6,5 64,95 99,0 1,30 5,6 47,49 100,0 1,01 5,1 46,11 69,0 0,91 5 Kondisi perakaran: Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman efektif (cm) Bobot isi (g/cm3) halus <2% >120 1,11 halus <2% >120 0,98 halus <2% >120 1,07 halus <2% >120 0,89 halus <2% 46 1,04 halus <2% 120 1,29 halus <2% 120 1,28 6 Bahaya keracunan : Al-dd (me/100 g tanah)

Kejenuhan Al (%) 0,35 3,7 1,47 16,0 9,43 81,0 7,34 59,0 0,00 0,0 0,00 0,0 4,34 33,5 7

Kemudahan pengolahan

Tekstur lapisan atas(klas) Nisbah (pasir+debu)/liat Dominasi tipe liat

liat 0,46 H liat 0,12 K liat 1,00 K/V liat 0,29 M/K liat 0,27 M/K liat 1,01 M/K liat 1,33 M/K 8 Bahaya erosi: Kepekaan erosi (K) Lereng (%) Bahaya erosi 0,18 <2% sr 0,10 <2% sr 0,25 <2% sr 0,12 <2% sr 0,22 <2% sr 0,33 <2% sr 0,37 <2% sr Keterangan: Kelas drainase: at=agak terhambat, b=baik, s=sedang

Tipe liat: H=haloisit, K=kaolinit, V=Vermikulit, M=montmorilonit Bahaya erosi: sr=sangat rendah

Ketersediaan oksigen ditentukan oleh kelas drainase tanah dan pori aerasi (pori drainase cepat). Kelas drainase tanah di lokasi penelitian termasuk baik sampai agak terhambat, umumnya baik sampai sedang. Drainase tanah agak terhambat lebih disebabkan oleh faktor penggunaan lahan, dimana lahan saat ini atau sebelumnya pernah disawahkan dalam waktu yang relatif lama. Secara umum, tanah-tanah dari bahan volkanik mempunyai drainase lebih baik dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen yang didukung oleh data pori drainase cepat. Pori drainase cepat dari tanah-tanah volkanik tergolong sedang (11,1-17,7% volume), sementara tanah-tanah dari batuan sedimen tergolong rendah sampai sedang (7,8- 12,8% volume). Ini menunjukkan bahwa ketersediaan oksigen dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman dari bahan volkanik relatif lebih baik daripada batuan sedimen. Ketersediaan oksigen dalam tanah berhubungan juga dengan kandungan bahan organik tanah. Kandungan bahan organik tanah yang tinggi cenderung meningkatkan ketersediaan oksigen dalam tanah.

Ketersediaan hara dalam tanah dapat diduga dari indikator tingkat ketersediaan hara, indikator ketersediaan dan indikator pembaharuan hara (FAO, 1983). Tingkat ketersediaan hara ditetapkan dari N-total, P-tersedia dan K yang dapat dipertukarkan (K-dd). Indikator ketersediaan ditetapkan oleh pH tanah dan nisbah Fe2O3/liat. Sedangkan indikator pembaharuan ditetapkan dari P dan K total

serta jumlah mineral dapat lapuk. Kadar N-total, P-tersedia dan K-dd dalam tanah dari berbagai bahan induk agak bervariasi, terutama P-tersedia dari rendah sampai tinggi. Tingginya kadar P-tersedia pada sebagian lokasi penelitian (B1 dan B6) diduga akibat dari pengaruh penggunaan lahan dan pemberian pupuk P yang terus menerus ke dalam tanah. Pengaruh bahan induk terhadap ketersediaan hara sangat baik dicerminkan oleh pH tanah. Tanah-tanah dari bahan volkanik mempunyai pH tergolong masam, sedangkan tanah-tanah dari batuan sedimen masam tergolong sangat masam dan tanah -tanah dari batuan sedimen basa mempunyai pH tergolong lebih baik, umumnya agak masam sampai netral. Nilai nisbah Fe2O3/liat

tanah pada semua bahan induk tanah tampak sedikit bervariasi menunjukkan kandungan besi bebas hampir sama dan sedikit pengaruhnya terhadap ketersediaan hara, terutama P-tersedia (FAO, 1983). Mineral dapat lapuk menunjukkan cadangan hara dalam tanah. Pengaruh bahan induk tanah terhadap

71 ketersediaan hara dalam tanah sangat jelas dicerminkan olek kandungan mineral dapat lapuk dalam tanah (gelas volkan, feldspar, mineral feromagnesian). Tanah dari bahan volkanik mengandung lebih banyak mineral dapat lapuk dibanding tanah dari batuan sedimen. Kandungan mineral dapat lapuk pada tanah-tanah dari bahan volkanik relatif lebih baik daripada tanah-tanah dari batuan sedimen. Secara umum, ketersediaan hara dari tanah-tanah volkanik lebih baik daripada tanah- tanah dari batuan sedimen. Tanah-tanah dari batuan sedimen masam memiliki ketersediaan hara yang paling rendah dibanding tanah-tanah dari kedua bahan induk lainnya.

Pengaruh bahan induk terhadap daya retensi hara diduga dari pH, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB). Reaksi tanah (pH) yang optimum untuk kebanyakan tanaman adalah 5,5-7,0. Terlalu rendah pH (<4,0) dan terlalu tinggi pH (>7,5) menyebabkan tidak tersedianya hara yang dibutuhkan tanaman. Reaksi tanah yang sangat masam dapat meningkatkan kelarutan unsur yang bersifat racun (Al). Pengaruh bahan induk terhadap ketersediaan dan retensi hara sangat baik dicerminkan oleh pH tanah. Reaksi tanah dari bahan volkan relatif lebih baik dari tanah batuan sedimen masam, sedangkan pH tanah dari batuan sedimen basa (batu gamping) lebih tinggi dan mendekati netral. Pengaruh bahan induk tanah sangat besar terhadap KTK tanah, terutama berhubungan dengan kandungan tipe liat di dalam tanah. Tanah dari bahan volkanik mempunyai KTK liat relatif lebih rendah dibanding tanah -tanah dari batuan sedimen yang mengandung tipe liat 2:1 (montmorilonit). Pengaruh bahan induk terhadap daya retensi hara juga dicerminkan oleh kejenuhan basa tanah. Kejenuhan basa dari tanah-tanah volkanik relatif lebih tinggi dibanding tanah -tanah dari batuan sedimen masam Jasinga, sedangkan kejenuhan basa dari tanah -tanah sedimen basa Jonggol tergolong sangat tinggi dan mencapai 100%. Kejenuhan basa tinggi yang disertai KTK tanah tinggi mencerminkan daya retensi hara tinggi dan sebaliknya semakin kecil kejenuhan basa dan KTK tanah menunjukkan daya retensi hara yang rendah. Daya retensi hara tinggi berarti tanah mempunyai kemampuan memegang hara dengan kuat dan hara tidak mudah hilang karena pencucian.

Pengaruh bahan induk terhadap kondisi perakaran diduga dari tekstur, kandungan bahan kasar (kerikil atau batu-batuan) kedalaman efektif tanah dan bobot isi (BD). Kandungan bahan kasar dan tekstur tanah hampir sama untuk semua bahan induk tanah di lokasi penelitian, walaupun sedikit bervariasi dari kandungan liatnya. Kedalaman efektif tanah menggambarkan kedalaman tanah yang dapat ditembus akar tanaman dengan mudah dan tanpa mendapatkan hambatan. Tanah-tanah volkanik yang mudah terlapuk memiliki kedalaman efektif yang relatif lebih dalam dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen. Tanah-tanah dari batugamping Jonggol memiliki kedalaman efektif relatif lebih dangkal dibanding dengan tanah-tanah dari bahan volkanik dan batuan sedimen masam (bertufa) Jasinga. Hal ini diduga karena batuan induk dari batugamping relatif lebih lambat melapuk dan tanah yang terbentuk sangat peka atau lebih mudah tererosi.

Bobot isi tanah menunjukkan besarnya pengaruh tanah terhadap tingkat kepadatan tanah dan daya penetrasi atau perkembangan akar tanaman. Bobot isi

tanah lebih dari 1,5 g/cm3 dianggap tanah telah memadat dan menghambat

pertumbuhan akar tanaman. Di lokasi penelitian nilai BD tanah berkisar dari 0,89

sampai 1,29 g/cm3, masih di bawah 1,5 g/cm3, sehingga belum merupakan

pembatas terhadap pertumbuhan tanaman. Pengaruh bahan induk terhadap bobot isi tanah dari tanah-tanah volkanik dan batuan sedimen masam (bertufa) tidak begitu jelas.Tanah dari kedua bahan tersebut memiliki bobot isi yang hampir sama

(rata-rata 1,04-0,98 g/cm3) namun agak berbeda dibanding bobot isi tanah dari

sedimen basa yang menunjukkan lebih tinggi (rata-rata 1,2 g/cm3).

Ditinjau dari media perakaran tanaman, terutama berdasarkan kedalaman efektif dan bobot isi tanah, maka tanah -tanah dari bahan volkanik relatif lebih baik daripada batuan sedimen, kemudian diikuti oleh tanah-tanah dari batuan sedimen (bertufa) masam dan batuan sedimen basa. Namun karena tujuan penilaiannya untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah yang memerlukan kedalaman perakaran tanaman yang relatif dangkal, maka perbedaan kondisi perakaran yang ada pada setiap bahan induk tanah tidak akan banyak berpengaruh terhadap produktivitas tanaman.

73 Pengaruh bahan induk terhadap bahaya keracunan dapat diduga dari Al-dd atau kejenuhan aluminium (K-Al). Kejenuhan aluminium lebih besar dari 60% sudah tergolong sangat tinggi dan dapat bersifat racun bagi beberapa jenis tanaman pangan (Hardjowigeno, 1993). Tanah-tanah dari bahan volkanik mempunyai kejenuhan aluminium yang lebih rendah (3,7-16,0%) dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen masam yang mempunyai kejenuhan aluminium sangat tinggi (59-81%), sedangkan tanah-tanah dari batuan induk sedimen basa umumnya mempunyai kejenuhan aluminium sangat rendah (mendekati 0), kecuali pada tanah yang lebih berkembang (B7) tergolong sedang (33,5%).

FAO (1983), memasukkan faktor kedalaman karbonat ke dalam kualitas lahan bahaya keracunan. Pengaruh bahaya keracunan yang ditimbulkan karbonat bersifat tidak langsung, lebih kepada pengaruh konsentrasi karbonat yang tinggi sehingga akar tanaman dijenuhi unsur Ca dan menghalangi akar tanaman menyerap hara lainnya. Kadar Ca yang tinggi dalam tanah dapat menyebabkan tidak tersedianya P dan hara mikro (Cu, Fe, Zn, B, Mo) serta menghambat serapan hara K dan Mg bagi tanaman. Semakin dangkal kedalaman karbonat maka berpotensi menimbulkan bahaya keracunan atau kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman. Di lokasi penelitian, tanah yang kemungkinan bermasalah

karena mempunyai kedalaman karbonat relatif dangkal adalah Brown Forest Soil

(B5) di Jonggol. Kejenuhan Ca dari tanah-tanah volkanik dan tanah dari sedimen basa tergolong tinggi, yaitu rata-rata 68,9% untuk tanah volkanik dan 79,5% untuk tanah dari sedimen basa, sedangkan tanah dari batuan sedimen masam termasuk rendah (rata-rata 23,2%). Pengaruh konsentrasi karbonat atau kejenuhan Ca tinggi, sekalipun terdapat pada tanah dangkal dari batugamping, seperti

Renzina dan atau Brown Forest Soil di Jonggol, namun sampai saat ini belum

ditemukan adanya kasus pengaruh bahaya keracunan yang serius terhadap tanaman (FAO, 1983).

Kemudahan pengolahan tanah diduga dari tekstur tanah, nisbah % (pasir+debu)/%liat dan komposisi mineral liat tanah. Semakin halus tekstur tanah maka akan semakin sulit tanah diolah, apalagi bila tanah tersebut didominasi oleh tipe liat 2:1, tanah lengket bila dicangkul dan menjadi keras dan retak-retak pada musim kemarau. Semakin besar nilai nisbah % (pasir+debu)/%liat, maka semakin

mudah tanah diolah, karena semakin sedikit kandungan liat dalam tanah. Kelas tekstur tanah di semua lokasi penelitian tergolong sama, yaitu liat, sehingga pengaruh bahan induk dan perkembangan tanah terhadap kemudahan pengolahan tanah ditinjau dari tekstur tanah tidak tampak berbeda. Pengaruh bahan induk terhadap kualitas lahan ini lebih jelas terlihat dari nisbah %(pasir+debu)/%liat dan kandungan tipe liat tanah. Tanah-tanah dari bahan volkanik mempunyai nilai nisbah % (pasir+debu)/ %liat berkisar dari 0,12 – 0,46, relatif lebih kecil dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen, berkisar dari 0,29-1,00 untuk tanah dari batuan sedimen masam dan 0,27-1,33 untuk tanah dari batuan sedimen basa. Ini berarti kandungan liat dari tanah-tanah volkanik relatif lebih tinggi dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen, namun karena kandungan tipe liatnya didominasi tipe 1:1 dan struktur tanahnya remah atau gumpal halus sehingga menjadi tidak sulit diolah. Sedangkan pada tanah-tanah dari batuan sedimen, walaupun mempunyai nilai nisbah lebih besar, yang berarti kandungan liatnya lebih rendah, namun masih di atas 40% dengan tipe liat didominasi 2:1 menyebabkan pengolahan tanah menjadi lebih berat dan tanah lebih lengket bila dicangkul, seperti pada tanah-tanah di Jonggol (B5, B6). Pada sebagian tanah Jasinga (B4), meskipun kandungan liatnya tinggi dan tipe liat didominasi oleh tipe 2:1, tetapi karena kandungan bahan organiknya juga cukup tinggi, maka tanah tersebut masih mudah diolah.

Bahaya erosi dapat diduga dari kepekaan erosi tanah (soil erodibility),

yang dapat ditetapkan dengan bantuan nomograf erodibilitas tanah (Wischmeier

et. al., 1971 dalam Arsyad, 1989). Hasil penetapan nilai kepekaan erosi tanah (K)

dari tanah-tanah di lokasi penelitian berkisar dari 0,10 sampai 0,37, sangat rendah sampai agak tinggi (Arsyad, 1989). Tanah -tanah dari bahan volkanik mempunyai nilai K sebesar 0,10 sampai 0,18, tergolong sangat rendah sampai rendah, relatif lebih kecil bila dibanding dengan tanah -tanah dari batuan sedimen. Tanah-tanah dari batuan sedimen masam memiliki nilai K berkisar dari 0,12 sampai 0,25, tergolong rendah sampai sedang, lebih rendah dari tanah-tanah dari batuan sedimen basa yang mempunyai nilai K= 0,22 sampai 0,37, sedang sampai agak tinggi. Berdasarkan bahan induk tanahnya, dapat dikemukakan bahwa tanah-tanah dari batuan sedimen basa (batu gamping) mempunyai kepekaan erosi yang lebih

75 tinggi daripada tanah-tanah dari batuan sedimen masam dan bahan volkanik. Tanah-tanah dari bahan volkanik memiliki kepekaan erosi yang paling rendah dibanding tanah-tanah dari kedua bahan induk lainnya. Berdasarkan keadaan lereng dan hasil perhitungan besarnya erosi yang terjadi di lokasi penelitian menunjukkan bahaya erosi yang terjadi pada semua tanah dari berbagai bahan induk tergolong sangat rendah.

Berdasarkan uraian diatas, secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh bahan induk di lokasi penelitian tampak sangat jelas terhadap kualitas lahan ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan. Ketersediaan hara tampak lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pengelolaan lahan. Terhadap kualitas lahan lainnya, yaitu ketersediaan air, ketersediaan oksigen, kondisi perakaran, kemudahan pengolahan tanah, dan bahaya erosi kurang tampak atau sedikit sekali dipengaruhi oleh bahan induk tanah.

Pengaruh Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan

Secara umum dapat dikemukakan bahwa perkembangan tanah dari tanah- tanah yang berkembang dari semua bahan induk tanah yang diteliti pada tingkat lanjut cenderung menurunkan kualitas lahan (Tabel 11). Tampak jelas pengaruh perkembangan tanah pada kualitas lahan ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan hara, daya retensi hara, kondisi perakaran, bahaya keracunan, kemudahan pengolahan tanah dan bahaya erosi.

Perkembangan tanah dari bahan volkanik tampak menurunkan jumlah pori air tersedia atau ketersediaan air. Hal ini diduga berhubungan dengan proses pelapukan bahan induk yang menghasilkan jumlah liat tinggi dan membentuk struktur tanah remah halus, sehingga meningkatkan jumlah pori aerasi dan sebaliknya menurunkan jumlah pori air tersedia. Hal yang sama terjadi pada tanah-tanah dari batuan sedimen masam di Jasinga yang telah tercampuri di atasnya oleh bahan volkanik masam (tufa dasitik). Pada tanah-tanah yang berasal dari batuan sedimen basa (batu gamping) di Jonggol, perkembangan tanah dapat meningkatkan jumlah pori air tersedia, hal ini diduga berkaitan dengan proses pembentukan dan perkembangan struktur tanah dari masif, lempeng, atau gumpal bersudut kasar menjadi gumpal atau gumpal bersudut halus. Perkembangan tanah

juga cenderung meningkatkan jumlah pori aerasi tanah yang berarti juga meningkatkan ketersediaan oksigen tanah.

Pengaruh perkembangan tanah terhadap ketersediaan hara dicerminkan oleh kadar hara tersedia dan hara cadangan dalam tanah (P dan K-total, mineral dapat lapuk) serta pH tanah. Perkembangan tanah cenderung menurunkan hara tersedia dan pH tanah. Penurunan pH tanah diduga terjadi akibat pelepasan dan pencucian kation-kation basa tanah (Na, K, Ca, Mg), yang berarti juga menurunkan ketersediaan hara dalam tanah. Perkembangan tanah pada tahap lanjut juga menurunkan kandungan mineral dapat lapuk dalam tanah, seperti tampak jelas pada tanah-tanah volkanik, Dystrudept (B1) dibanding Eutrudox (B2). Nilai nisbah Fe2O3/liat untuk semua jenis bahan induk tidak terlalu tampak

berbeda, berkisar dari 0,6 sampai 1,0. Perkembangan tanah cenderung meningkatkan nilai nisbah Fe2O3/liat, yang berarti meningkatkan kadar besi bebas

dalam tanah yang selanjutnya dapat menurunkan ketersediaan hara dalam tanah, terutama P-tersedia akan terikat oleh besi bebas (Fe-P) menjadi bentuk tidak tersedia dalam tanah (FAO, 1983).

Perkembangan tanah berpengaruh terhadap daya retensi hara, yang dicerminkan oleh pH, KTK, KB dan bahan organik tanah. Pada tahap lanjut, perkembangan tanah menurunkan daya retensi hara. Nilai KTK liat menurun sejalan dengan perkembangan tanah akibat perubahan atau menurunnya kandungan tipe liat 2:1 di dalam tanah berbahan induk batuan sedimen dan perubahan mineral liat haloisit menjadi kaolinit pada tanah volkanik. Pada perkembangan tanah Dystrudept menjadi Eutrudox dari bahan volkanik terjadi perubahan min eral liat haloisit menjadi kaolinit, dan dimungkinkan juga terbentuk goetit seperti dilaporkan oleh Subardja dan Buurman (1980), diikuti oleh penurunan KTK liat dari 28,7 cmol(+)/kg liat menjadi 14,6 cmol(+)/kg liat. Hal yang sama terjadi pada tanah -tanah berbahan induk batuan sedimen masam dan basa. Perubahan kemasaman tanah (pH) menjadi lebih masam atau sangat masam

Dokumen terkait