• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Data rataan hasil analisis ragam terhadap produksi telur, bobot telur, konsumsi dan konversi ransum selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Pengamatan Produksi Telur, Bobot Telur, Konsumsi dan Konversi Ransum

Perlakuan Peubah

P1 P2 P3 P4 P5

Produksi telur (%) 77,88±12,22 83,49 ±1,155 79,38±12,03 87,26±1,015 85,82±2,82

Bobot telur (g/butir) 56,50± 2,14 60,33 ±7,652 54,68± 2,03 54,03±0,26 54,91±0,74

Konsumsi ransum (g/ekor/hari)

107,01± 1,51 109,57±1,27 103,39± 5,98 109,15±1,05 108,31±3,12

Konversi ransum 1,89± 0,09 1,95±0,08 1,89± 0,06 2,02±0,03 1,97±0,06

Produksi Telur

Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian tepung jangkrik pada ransum komersial dengan taraf 0,25-1 % tidak berpengaruh terhadap produksi ayam petelur periode pertama selama 10 minggu penelitian. Suplementasi tepung jangkrik pada ransum diharapkan dapat meningkatkan produksi telur secara nyata. Hal ini dikarenakan tepung jangkrik diduga mengandung hormon estrogen (Borror et al., 1992) yang berfungsi untuk merangsang perkembangan sifat seks sekunder, mempengaruhi pertumbuhan dan deposisi lemak, pertumbuhan dan perkembangan folikel serta penting untuk sintesis albumin telur (Ensminger, 1992), Kenyataannya suplementasi tepung jangkrik dengan taraf 0,25–1 % belum bisa memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi telur. Hal ini diduga disebabkan kurangnya kadar estrogen yang diberikan. Kandungan estrogen tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm.

Konsumsi estrogen pada penelitian ini pada P1, P2, P3, P4, dan P5 bertutur-turut sebesar 0,00064; 0,0013; 0,0019; 0,0027 mg/kg ransum dianggap masih rendah. Berdasarkan penelitian Lien dan Cain (1985), konsumsi estrogen sebesar 1 mg/ekor/hari memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi telur pada bangsa ayam Rhode Island Red.

Peranan estrogen pada penelitian tidak terlihat. Hal ini dikarenakan ayam yang digunakan memiliki potensi produksi yang baik, terlihat dari data awal produksi telur

pada saat ayam berumur 20 minggu sebesar 26,94 % yang pada umumnya produksi awal sekitar 10 % (North dan Bell, 1990).

Suplementasi tepung jangkrik tidak terlalu merubah kandungan zat nutrisi ransum seperti protein, yaitu berkisar antara 16,82-17,11 %, demikian pula halnya dengan kandungan energinya, sehingga produksi telur yang diperoleh juga tidak berbeda jauh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ivy dan Gleaves (1976), peningkatan produksi telur dipengaruhi oleh tingkat konsumsi, protein dan energi ransum

Rataan produksi telur pada ayam dipengaruhi oleh kondisi hidup awal ayam pada saat mulai bertelur, dan potensi tumbuh ayam dari awal bertelur sampai puncak produksi (Isapoultry, 2006). Akan tetapi berbeda dengan penelitian Wu et al., (2005) yang menyatakan bahwa produksi telur tidak dipengaruhi oleh kandungan energi ransum. Kondisi hidup awal ayam dan potensi tumbuh ayam untuk berproduksi diasumsikan sama karena ayam yang digunakan merupakan ayam komersial yang telah diseleksi oleh breeder sehingga memiliki potensi genetik yang relatif sama.

Produksi telur selama penelitian berkisar antara 77,88–87,26 %, data tersebut diperoleh dari ayam pada umur 20 sampai 30 minggu. Menurut Scott et al. (1982) produksi telur pada umur 22–42 minggu sebesar 78 %. Hal ini tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh selama penelitian. Menurut North and Bell (1990), kisaran produksi telur pada ayam komersial tipe medium umur 21–30 minggu sebesar 10-92,5 %. Kisaran produksi selama penelitian tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan standar kisaran produksi telur ayam petelur tipe medium yaitu antara 13,89-97,62 % pada kisaran umur yang sama. Hal ini membuktikan manajemen pemeliharaan yang baik pada saat periode pullet sampai bertelur. Grafik produksi telur selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

0 20 40 60 80 100 120 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Umur Produksi (minggu)

P roduk si T el ur ( % )) P1 P2 P3 P4 P5

Grafik produksi telur menunjukkan adanya peningkatan produksi telur seiring dengan bertambahnya umur ayam. Puncak produksi pada penelitian dicapai pada saat ayam berumur anatara 26-28 minggu sebesar 97,62 %. Hal ini sesuai dengan Romanoff dan Romanoff (1963) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara umur ayam dan produksi telur. Produksi telur akan mencapai puncak seiring dengan bertambahnya umur ayam dan akan mengalami penurunan produksi setelah mengalami puncak produksi. Puncak produksi pada ayam petelur strain ISA-brown dicapai pada kisaran umur 26-28 minggu (Hendrix-genetics, 2006), sedangkan menurut Scott et al. (1982) puncak produksi pada ayam petelur dicapai pada kisaran umur 28-30 minggu.

Bobot Telur

Analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi tepung jangkrik tidak mempengaruhi bobot telur selama penelitian. Hal ini dikarenakan konsumsi protein, strain, umur pertama bertelur, temperatur lingkungan, ukuran pullet pada suatu kelompok relatif sama. Kandungan nutrien pada ransum pada masing-masing perlakuan juga tidak berbeda. Hal ini dikarenakan suplementasi tepung jangkrik tidak terlalu merubah pola produksi telur. Ayam yang mencapai dewasa kelamin cepat (masak dini), maka produksi telurnya rendah. Bobot telur tidak dipengaruhi oleh peningkatan energi metabolis, tetapi lebih dipengaruhi oleh kandungan protein ransum. Hal ini juga didukung oleh penelitian Wu et al. (2005), yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan strain ayam dan kandungan energi ransum dengan bobot telur. Peningkatan kandungan protein sebesar 12–18 % dapat meningkatkan bobot telur (Gardner dan Young, 1972) akan tetapi berdasarkan penelitian Zou dan Wu (2005), Peningkatan protein ransum dari 15,9-17 % yang dikombinasikan dengan peningkatan energi tidak mempengaruhi bobot telur.

Rataan bobot telur selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 2. yaitu berkisar antara 54,03–60,33 g/butir. Rataan bobot tersebut sesuai dengan Togatorop et al. (1977), bobot telur ayam ras adalah 58,0 g/butir, sedangkan menurut Scott et al.(1982), bobot telur pada ayam ras sebesar 56 g/butir pada umur 22–42 minggu. Berdasarkan penelitian Shatiti (2003), rataan bobot telur pada ayam petelur strain ISA-brown berkisar antara 51,48–53,44 g/butir dengan penambahan 0,34% metionin dengan kandungan energi metabolis ransum sebesar 2.685,8 kkal/kg, protein kasar 17 %. Bobot telur total yang diperolah selama penelitian berturut-turut P1, P2, P3, P4 dan P5 adalah 18.461,

18.519, 17.660, 19.575 dan 19.346 gram. Secara ekonomis apabila dilihat dari bobot total perlakuan P4 memberikan keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

Telur yang dihasilkan selama penelitian tergolong dalam kategori besar yaitu berkisar antara 54,03–60,33 g/butir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fernandez (1998). Peningkatan protein ransum dapat mempengaruhi rataan bobot telur. (Wu et al., 2005; Gardner dan Young, 1972). Grafik bobot telur selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 2. 40 45 50 55 60 65 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Umur Produksi (minggu)

B obot T el ur ( g/ but ir ) P1 P2 P3 P4 P5

Gambar 2. Grafik Bobot Telur

Grafik rataan bobot telur (Gambar 2.) menunjukkan adanya peningkatan bobot telur seiring dengan bertambahnya umur ayam (Shalev dan Pasternak, 1993). Rataan bobot telur ayam pada umur 26-30 minggu sudah mencapai 59,34-61,67 g/butir. Hal ini sesuai dengan Hendrix-genetics (2006), bobot telur ayam petelur strain ISA-brown pada umur 26-30 minggu berkisar antara 59,6-61,5 g/butir. Hal ini sesuai dengan Amrullah (2004) yang menyatakan bahwa ayam pada awal periode bertelur cenderung menghasilkan telur yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah sejalan dengan makin bertambahnya umur ayam. Menurut Scott et al. (1982) pada saat ayam memasuki fase bertelur pertama yaitu dari umur 22–42 minggu bobot telur yang dihasilkan sebesar 56 gram.

Konsumsi Ransum

Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi tepung jangkrik tidak mempengaruhi konsumsi ransum. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa

standar konsumsi ransum ayam petelur tipe medium. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain terpenuhi kebutuhan energi dan protein oleh ayam dan tingginya suhu lingkungan sehingga akan mengurangi konsumsi ransum dan meningkatkan konsumsi air minum. Suhu optimum untuk pemeliharaan ayam petelur adalah 18,3-23,9 oC (North and Bell, 1990). Suplementasi tepung jangkrik pada ransum tidak mempengaruhi konsumsi ransum ayam. Hal ini mungkin dikarenakan suplementasi tepung jangkrik tidak terlalu merubah kandungan protein dan energi serta tingkat palatabilitas ransum.

Rataan konsumsi ransum selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 3. yaitu berkisar antara 103,39–109,57 g/ekor/hari. Hasil penelitian Bean dan Leeson (2003) menunjukkan bahwa konsumsi pakan ISA-brown selama 10 periode penelitian dari umur 18 minggu berkisar antara 103,3-117,1 g/ekor/hari. Konsumsi ransum ayam petelur strain ISA-brown adalah 118,10 g/ekor/hari (Isapoultry, 2006) dan berkisar antara 105-116 g/ekor/hari (North and Bell, 1990). konsumsi ransum ayam petelur tipe medium Konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kandungan energi metabolis, kandungan protein ransum, dan temperatur lingkungan. Faktor lainnya yaitu strain ayam, bobot badan, bobot telur, penutupan bulu, derajat cekaman serta aktivitas ayam. Kandungan energi energi metabolis ransum sebesar 2.939 kkal/kg, nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan kebutuhan standar energi metabolis ayam petelur strain ISA-brown yaitu 2.685,8 kkal/kg (Priono, 2003). Peningkatan energi metabolis ransum tersebut mampu menurunkan rataan konsumsi ransum pada saat penelitian. Grafik konsumsi ransum selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.

70 80 90 100 110 120 130 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Umur Produksi (minggu)

K ons um si ( g/ ekor /ha ri ) P1 P2 P3 P4 P5

Grafik rataan konsumsi ransum (Gambar 3.) menunjukkan adanya peningkatan konsumsi ransum seiring dengan bertambahnya umur ayam. Peningkatan konsumsi ransum sebesar 30 gram dari awal produksi sampai umur 30 minggu. Hal ini dikarenakan pada saat fase pertama produksi telur, masih dimungkinkan terjadinya Peningkatan konsumsi ransum. Semakin bertambahnya umur ayam maka produksi telurnya juga akan meningkat. Peningkatan produksi telur akan menyebabkan meningkatnya pula kebutuhan energi dan protein untuk produksi telur.

Konversi Ransum

Analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh perlakuan terhadap rataan konversi. Hal ini dikarenakan suplementasi tepung jangkrik tidak mempengaruhi konsumsi ransum selama penelitian. Angka konversi ransum pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan standar konversi ransum ayam petelur strain ISA-brown yaitu sebesar 2,13. Konversi ransum erat kaitannya dengan konsumsi ransum dan produksi telur. Konsumsi ransum yang rendah disertai dengan produksi telur yang tinggi akan menghasilkan nilai konversi ransum yang baik. Nilai konversi ransum yang rendah menandakan bahwa penambahan tepung jangkrik dapat memperbaiki nilai konversi ransum. Hal ini sesuai dengan penelitian Zou dan Wou (2005) yang menyatakan bahwa dengan adanya peningkatan jumlah protein dan energi ransum dapat memperbaiki nilai konversi ransum.

Konversi ransum selama penelitian berkisar antara 1,89–2,02 (Gambar 4.). Data tersebut menunjukkan bahwa konversi ransum pada penelitian lebih baik jika dibandingkan pada penelitian Priono (2003), yang menyebutkan bahwa konversi ransum sebesar 2,99 pada ayam petelur selama 14 minggu produksi dengan ransum berbentuk mash, dengan kandungan protein kasar 17 % dan energi metabolis 2.685,8 kkal/kg. Menurut Siregar (2003), konversi ransum sebesar 2,72 dan 2,33 pada ayam petelur selama 12 minggu produksi yang diberi ransum bentuk mash dengan kandungan protein kasar 15 % dan 18 %, serta energi metabolis sebesar 2.655 kkal/kg. Berdasarkan penelitian Singh et al. dalam Isapoultry (2006), menyatakan bahwa konversi ransum ayam petelur strain ISA-brown adalah 2,13. Grafik konversi ransum selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

1,50 1,60 1,70 1,80 1,90 2,00 2,10 2,20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Umur Produksi (Minggu)

K o nv e rs i R a ns u m P1 P2 P3 P4 P5

Gambar 4. Grafik Konversi Ransum

Grafik rataan konversi ransum (Gambar 4.) menunjukkan adanya penurunan konversi ransum perlakuan P2 ketika ayam berumur 30 minggu. Hal ini dikarenakan konsumsi ransum pada perlakuan P2 menurun, akan tetapi penurunan konsumsi ransum tidak diikuti dengan penurunan produksi telur. Hal ini mungkin dikarenakan suplementasi tepung pada ransum dapat memenuhi kebutuhan protein untuk produksi telur, meskipun jumlah ransum yang dikonsumsi lebih sedikit.

Abnormalitas Telur

Data hasil pengamatan abnormalitas telur selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Abnormalitas Telur Selama Penelitian Perlakuan Abnormalitas P1 P2 P3 P4 P5 ...Butir... Telur Pecah 8 (0,82) 9 (0,91) 5 (0,52) 6 (0,55) 5 (0,47) Telur Jumbo 12 (1,24) 7 (0,71) 6 (0,62) 4 (0,37) 5 (0,47)

Keterangan : Angka di dalam kurung menyatakan persen (%)

Tabel 5. (Abnormalitas Telur) menunjukkan bahwa selama penelitian diperoleh beberapa telur yang abnormal. Diantaranya adalah telur pecah. Telur pecah ini dikarenakan cangkang yang tidak mengeras setelah keluar dari kloaka sehingga telur tersebut tidak dapat bertahan lama di lingkungan luar. Telur yang pecah selama

penelitian berkisar antara 0,47-0,91 %. Sedangkan abnormalitas yang lainnya adalah telur jumbo (ekstra besar). Telur jumbo ini memiliki bobot lebih dari 70 g/butir. Telur jumbo yang diperoleh selama penelitian memiliki kuning telur lebih dari satu sehingga telur tersebut memiliki bobot diatas rata-rata bobot telur pada umumnya yaitu 58,0-63,90 g/butir. Telur jumbo yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,37-1,24 % dari total telur yang dihasilkan.

Dokumen terkait