SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM
KOMERSIAL TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR
SKRIPSI
MOKHAMAD SAEFULAH
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
MOKHAMAD SAEFULAH. D14102005. 2006. Suplementasi Tepung Jangkrik Dalam Ransum Komersial Terhadap Performa Ayam Petelur. Skripsi. Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Hj. Niken Ulupi, MS Pembimbing Anggota : Ir. Dwi Margi Suci, MS
Telur merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi dan hampir semua proteinnya dapat dimanfaatkan oleh tubuh jika dibandingkan dengan protein bahan pangan lain. Kandungan asam amino pada telur lebih baik karena asam amino telur dijadikan sebagai tolak ukur standar asam amino yang diserap oleh tubuh (biological value) untuk menghitung asam amino pembatas.
Konsumsi telur semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Menurut Ditjen Peternakan (2005), konsumsi protein hewani yang berasal dari telur mengalami peningkatan yaitu dari 4,38 kg/kapita/tahun pada tahun 2004 menjadi 4,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Kebutuhan telur tersebut selain dipenuhi oleh telur ayam ras, juga berasal dari telur itik dan ayam buras yaitu sekitar 60 %.
Tepung jangkrik dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan berkualitas tinggi dan sumber hormon, terutama estrogen. Hal ini dikarenakan tepung jangkrik mengandung protein yang cukup tinggi. Beberapa literatur menyebutkan bahwa peningkatan kandungan protein ransum mempengaruhi performa produksi ayam petelur.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung jangkrik sebagai sumber estrogen terhadap performa ayam petelur strain ISA-brown. Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor selama 10 minggu yaitu sejak bulan Agustus sampai dengan Oktober 2005. Sebanyak 90 ekor ayam petelur Strain ISA-brown umur 20 minggu ditempatkan ke dalam 23 cage. Ayam dikelompokkan secara acak ke dalam 5 perlakuan suplementasi tepung jangkrik yaitu 0%; 0, 25%; 0,50%; 0,75% dan 1% dalam ransum. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan terdiri dari enam ekor ayam. Tepung jangkrik yang digunakan berasal dari Asosiasi Peternak Jangkrik (ASTRIK), Yogyakarta dengan kandungan protein kasar sebesar 55,96 % dan hormon estrogen sebesar 259,535 ppm. Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum suplementasi tepung jangkrik dalam ransum tidak berpengaruh terhadap performa ayam petelur, seperti produksi telur, bobot telur, konsumsi dan konversi ransum. Produksi telur, bobot telur, konsumsi dan konversi ransum selama penelitian berturut-turut adalah 77,88-87,26 %; 54,03-60,33 g/butir; 103,39-109,57 g/ekor/hari dan 1,89-2,02.
ABSTRACT
The Effect Of Supplementation Cicada Flour on Commercial Feed to Layer Performance
M. Saefulah, N. Ulupi and D. M. Suci
Cicada flour is suspected have estrogenic hormone which can improve the performance of layer. The aim of this study was investigated the effect of supplementation cicada flour on commercial feed to layer performance. Ninety chickens layer ISA-brown strain (20 week of age) were used in this study. Variable measured hen-day production, eggs weight, feed consumption, and feed conversion. Completely randomize design was used in this experiment with 5 treatments (P1); 0% cicada flour, (P2); 0.25% cicada flour, (P3); 0.5% cicada flour, and (P5) 1% cicada flour, with three replicates were used. Data were analyzed using ANOVA. Result in this experiment indicates that no effect the supplementation of cicada flour to performance of chicken layer ISA-brown strain.
SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM
KOMERSIAL TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR
MOKHAMAD SAEFULAH D14102005
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM
KOMERSIAL TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR
Oleh
MOKHAMAD SAEFULAH D14102005
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Agustus 2006
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Ir. Hj. Niken Ulupi, MS. Ir. Dwi Margi Suci, MS. NIP. 131 284 604 NIP. 131 671 592
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 5 September 1983 di Batang, Kota Madya Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Abu Khaeri dan Ibu Suwarti.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri Surjo 01, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pendidikan lanjutan menegah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Negeri 01 Bawang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah sedangkan pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Negeri 01 Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Pekalongan Batang (IMAPEKA), DKM Al Hurriyah, Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Peternakan IPB, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bogor.
Selama kuliah penulis juga pernah mengikuti pelatihan-pelatihan, baik yang diadakan oleh Fakultas Peternakan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor dan Goodwill International Leadership Program.
Pengalaman kerja yang diperoleh penulis yaitu pada tahun 2004 magang di laboratorium ruminansia besar Fakultas Peternakan IPB, pada tahun 2005 sebagai surveyor PEMDA DKI dan Lembaga Administrasi Negara serta bekerja sebagai staff pengajar di salah satu Sekolah Menengah Umum di Bogor dari tahun 2005 sampai sekarang dan sebagai staff pengajar di Lembaga Bimbingan Belajar Bintang Pelajar.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat, hidayah serta curahan nikmat yang tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya skripsi dengan judul Suplementasi Tepung Jangkrik Dalam Ransum Komersial Terhadap Performa Ayam Petelur dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpah kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat dan kepada umatnya sampai akhir zaman.
Telur merupakan salah satu produk unggulan peternakan yang mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai bahan pangan dan bahan biologi. Berdasarkan Ditjen Peternakan menunjukkan adanya peningkatan konsumsi telur dari tahun ke tahun, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mencari cara meningkatkan performa produksi ayam petelur.
Jangkrik merupakan salah satu jenis serangga yang mempunyai kandungan protein tinggi dan hormon estrogen. Berdasarkan hal tersebut, jangkrik cukup berpotensi untuk dijadikan bahan pakan maupun tambahan pakan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ayam petelur strain Isa-brown yang berumur dua puluh minggu sebanyak sembilan puluh ekor. Perlakuannya adalah suplementasi tepung jangkrik pada ransum komersial sebesar 0,25-1 % dengan sebagai sumber estrogen.Tepung jangkrik yang digunakan diproduksi oleh Asosiasi Peternak Jangkrik (ASTRIK), Yogyakarta. Kandungan estrogen pada tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm yang diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik jantan dan betina pada umur diatas 35 hari.
Penyusunan skripsi ini diharapan dapat memberikan informasi tentang pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap performa ayam petelur komersial. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Agustus 2006
DAFTAR ISI
Abnormalitas Telur ... 26
KESIMPULAN DAN SARAN ... 28
Kesimpulan ... 28
Saran ... 28
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Komposisi Tepung Jangkrik Spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket)... 4 2. Kandungan Zat Makanan Dalam Ransum Komersial ... 15 3. Hasil Analisis Proksimat Tepung Jangkrik... 16 4. Rataan Pengamatan Produksi Telur, Bobot Telur, Konsumsi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Grafik Produksi Telur ... 21
2. Grafik Rataan Bobot Telur ... 23
3. Grafik Rataan Konsumsi Ransum... 25
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Contoh Perhitungan Kadar Protein Ransum Perlakuan ... 32
2. Hasil Analisis Ragam Produksi Telur Selama 10 Minggu ... 34
3. Hasil Analisis Ragam Rataan Bobot Selama 10 Minggu ... 34
4. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Ransum Selama 10 Minggu ... 34
5. Hasil Analisis Ragam Konversi Ransum Telur 10 Minggu ... 34
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Telur merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi dan hampir
semua proteinnya dapat dimanfaatkan oleh tubuh jika dibandingkan dengan protein
bahan pangan lain. Kandungan asam amino pada telur lebih baik karena asam amino
telur dijadikan sebagai ukuran standar asam amino yang diserap oleh tubuh (biological value) untuk menghitung asam amino pembatas.
Konsumsi telur semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk. Menurut Ditjen Peternakan (2005), konsumsi protein hewani yang berasal
dari telur mengalami peningkatan yaitu dari 4,38 kg/kapita/tahun pada tahun 2004
menjadi 4,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Kebutuhan telur tersebut selain dipenuhi
oleh telur ayam ras, juga berasal dari telur itik dan ayam buras yaitu sekitar 60 %.
Jangkrik merupakan salah satu serangga yang mudah dibudidayakan dan cukup
potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan jangkrik memiliki daya
reproduksi yang tinggi. Jangkrik dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan, binatang
peliharaan bahkan sebagai bahan pangan untuk manusia. Hal ini dikarenakan
kandungan protein yang tinggi pada jangkrik.
Penggunaan tepung jangkrik sebagai pakan masih terbatas pada burung dan
ikan, sedangkan pada ayam masih jarang. Zat-zat kimia yang serupa hormon pada
vertebrata, seperti androgen, estrogen dan insulin baru-baru ini telah terdeteksi pada
jangkrik. Kandungan estrogen pada tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm dapat
diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik jantan dan betina pada umur di atas 35 hari
(Prayitno, 2000). Hormon estrogen pada unggas berfungsi merangsang perkembangan
sifat seks sekunder, merangsang pembentukan protein dan lemak kuning telur oleh hati
serta membantu metabolisme kalsium. Informasi tentang penggunaan tepung jangkrik
dalam pakan ayam juga masih jarang dan bahkan belum ada, sehingga untuk
mengetahui hal itu diperlukan suatu penelitian.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi
TINJAUAN PUSTAKA
Jangkrik
Taksonomi
Jangkrik termasuk dalam ordo Orthoptera, yang berasal dari bahasa Yunani
Orthos berarti lurus dan ptera berarti sayap. Sehingga Orthoptera dapat diartikan sebagai serangga yang bersayap lurus. Menurut Borror et al. (1992) bahwa jangkrik secara lengkap taksonominya adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Spesies : Gryllus mitratus (jangkrik kliring)
G. testeceus (jangkrik cendawang) G. bimakulatus (jangkrik kalung)
Morfologi
Menurut Sribimawati (1984) bahwa tubuh jangkrik terdiri dari tiga bagian yaitu
kepala, dada, dan perut. Bagian kepala memiliki sepasang antena, mata tunggal yang
tersusun dalam satu segitiga tumpul, satu mulut dan dua pasang kumis. Dada merupakan
tempat melekatnya enam tungkai dan empat sayap. Jangkrik jantan dewasa memiliki
organ stridulasi dibagian depan sayap luar yang berfungsi untuk mengeluarkan bunyi
kerikan sehingga sayap jantan terlihat lebih kasar dari pada sayap jangkrik betina. Baik
jantan maupun betina memiliki sepasang organ pendengar (tympanum) yang terletak
dekat pangkal tibiatungkai depan (Pallister, 1990).
Perut (abdomen) jangkrik terdiri dari sebelas ruas. Alat kelamin luar jangkrik
memiliki ovipositor yang berfungsi untuk mengeluarkan telur-telurnya. Bentuknya
seperti jarum dan terdapat pada ujung abdomen(Ross et al., 1982).
Tiga spesies jangkrik yang potensial dikembangkan di Indonesia adalah jangkrik
cendawang, jangkrik kliring dan jangkrik kalung. Ciri fisik dari masing-masing spesies
berbeda. Jangkrik kalung mempunyai kulit tubuh dan sayap luar berwarna hitam legam
atau agak kemerahan dan pada bagian punggung terdapat garis tebal kuning yang
menyerupai kalung. Kulit tubuhnya lunak dan lembek. Pertumbuhan pada fase instar
relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan dua spesies lain. Jangkrik cendawang
memiliki kulit tubuh agak kasar, warna tubuh dan sayap coklat tua polos, bagian tepi
sayap luar tedapat garis dengan warna lebih muda dan ukuran tubuh relatif lebih besar
jika dibandingkan dengan dua spesies lain. Jangkrik kliring cirinya warna tubuh dan
sayap coklat muda polos, kulit tubuh sedikit kasar dan kering, pada bagian kepala
terdapat garis warna kuning membentuk huruf “V” dan lebih suka bersembunyi
(Widyaningrum, 2001).
Siklus Hidup
Jangkrik dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis tidak sempurna.
Kehidupan jangkrik diawali dengan telur kemudian menetas menjadi nimfa (serangga
muda) dan selanjutnya menjadi serangga dewasa (Borror et al.,1992). Menurut Hasegawa dan Kubo (1996), waktu yang dibutuhkan oleh nimfa untuk tumbuh dewasa
dipengaruhi oleh kondisi cuaca, spesies dan jenis makanannya. Borror et al.(1992), jangkrik muda dengan jangkrik dewasa hampir sama dalam hal bentuk, yang berbeda
hanyalah ukuran tubuh. Bila serangga tumbuh atau meningkat ukurannya, rangka luar
secara periodik terkelupas dan diganti dengan yang lebih besar. Proses ini disebut
dengan pergantian kulit. Sejak menetas sampai tumbuh dewasa, jangkrik akan
mengalami pergantian kulit empat kali.
Komposisi Tepung Jangkrik
Menurut Bodenheimer (1951), jangkrik termasuk salah satu jenis serangga yang
biasa dikonsumsi oleh sebagian masyarakat dibeberapa negara misalnya India, Filipina,
Thailand dan Indonesia. Jangkrik mempunyai potensi untuk menjadi salah satu pakan
ikan, binatang peliharaan bahkan sebagai bahan pangan untuk manusia. Potensi tersebut
dalam pemeliharaannya (Linsemaier, 1972). Kandungan nutrisi tepung jangkrik spesies
Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket) ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Tepung Jangkrik Spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket)
Anabrus simplexa
Sumber : De Foliart (1982)
Jangkrik dapat diolah menjadi tepung seperti halnya udang, namun harga tepung
jangkrik relatif lebih murah jika dibandingkan dengan tepung udang. Hal ini
menyebabkan permintaan tepung jangkrik meningkat sehingga pabrik pakan tertarik
untuk menggunakan bahan baku jangkrik untuk produksinya (Sukarno, 1999). Menurut
De Foliart (1982), bahwa pemakaian tepung jangkrik dalam ransum ayam broiler
sebagai pengganti bungkil kedelai dengan penambahan asam-asam amino memberikan
hasil yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan ayam broiler dibandingkan
dengan penggunaan ransum dengan tanpa suplemen asam amino.
Beberapa organ pada seekor serangga dikenal menghasilkan hormon yang
fungsi-fungsi utamanya yaitu mengontrol proses reproduksi, pergantian kulit dan
metamorfosis. Zat-zat kimiawi yang serupa hormon-hormon vertebrata, temasuk
Ayam Petelur
Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara dan diseleksi untuk produksi
telur. Ayam yang sekarang dipelihara termasuk dalam spesies Gallus domesticus. Ada tiga tipe ayam yaitu tipe ringan berasal dari bangsa White Leghorn, tipe medium dari bangsa Rhode Island Reds dan Barred Plymouth Rock serta tipe berat dari bangsa New Hampshire, White Plymouth Rock dan Cornish (Amrullah, 2004).
Menurut North dan Bell (1990) bahwa White Leghorn mempunyai ciri muka berwarna kuning, kerabang telur berwarna putih. Single Comb White Leghorn
merupakan salah satu jenis Leghorn yang hanya digunakan untuk produksi telur secara komersial Single Comb Rhode Island Reds mempunyai ciri jengger tunggal, kerabang telur berwarna coklat, muka kuning dan bulu berwarna merah dengan beberapa warna
hitam pada ekor, leher bagian belakang, leher depan dan sayap, produksi telur sangat
baik. Barred Plymoth Rock mempunyai ciri jengger tunggal, muka kuning dan kerabang telur coklat. New Hamshire mempunyai ciri warna bulu merah terang muka kuning, jengger tunggal dan produksi telur dengan warna kerabang coklat. Awalnya diketahui
untuk produksi telur yang tinggi, tetapi kemudian diakui sebagai ayam dengan kualitas
daging yang baik. Ayam betinanya disilangkan dengan jantan jenis tipe daging lain dan
menghasilkan bangsa silangan ayam broiler. White Plymouth Rock mempunyai ciri muka kuning dan jengger tunggal. Strain aslinya mempunyai genetik pertumbuhan bulu
yang lambat, yang tidak menguntungkan bagi kualitas ayam broiler, tetapi sekarang
beberapa strain mempunyai pertumbuhan bulu yang cepat. Cornish mempunyai ciri jengger berbentuk pea, kerabang telur coklat, muka kuning dan mempunyai tipe badan yang berbeda dengan bangsa lainnya. Kaki pendek, badan besar, dada sangat luas dan
berotot.
ISA-brown merupakan bangsa galur murni hasil seleksi lebih dari 36 tahun oleh tim genetik Hubbard ISA yang mempunyai kerabang telur coklat. ISA-brown dapat beradaptasi dalam berbagai kondisi pemeliharaan, seperti dalam cage, floor, atau sistem
range. ISA-brown komersial mempunyai daya hidup 98% sampai umur 18 minggu dan 93% sampai masa produksi 76 minggu. Umur mulai poduksi 18 minggu, mencapai 50%
antara 18-80 minggu, liveability sebesar 93,2%, puncak produksi sebesar 95% pada umur 26 minggu. Rata-rata bobot telur ayam petelur strain ISA-brown sebesar 63,19 g (Hendrix-genetics, 2006).
Ciri-ciri Pullet untuk produksi telur adalah memiliki ukuran tubuh relatif kecil, bertelur dengan jumlah banyak dengan kerabang keras, hidup baik dan produksi
telurnya ekonomis. Ayam untuk produksi daging diutamakan untuk produksi daging
dari pada telur yang dapat memberikan keuntungan ketika bobotnya besar (North dan
Bell, 1990).
Produksi Telur
North dan Bell (1990) menyatakan bahwa pengukuran produksi telur biasanya
dinyatakan dengan hen-day. Masa produksi telur dihitung sejak ayam mencapai produksi telur 5% hen-day. Hen-day merupakan ukuran produksi telur ayam yang hidup pada periode tertentu, yaitu membandingkan jumlah telur total yang dihasilkan pada
periode tertentu dengan jumlah ayam yang hidup pada periode tertentu. Ayam mulai
berproduksi pada saat ayam berumur 22 minggu, selanjutnya akan naik dengan tajam
dan mencapai puncaknya pada kisaran umur antara 32 sampai 36 minggu, kemudian
produksi telur menurun secara perlahan sampai 55% sesudah masa produksi 15 bulan
yaitu pada saat ayam berumur 82 minggu. Periode produksi yang masih dianggap
menguntungkan hanya sampai mencapai 15 bulan. (Wahyu, 1985). Scott et al. (1982)
menyatakan bahwa ayam ras petelur medium mulai bertelur kira-kira pada umur 22
minggu dengan lama produksi sekitar 15 bulan. Puncak produksi telur dicapai pada saat
ayam berumur sekitar 28–30 minggu.
Romanoff dan Romanoff (1963) mengemukakan bahwa ada hubungan antara
umur ayam dengan produksi telur. Setelah mencapai puncak produksi, dengan semakin
bertambahnya umur ayam, produksi telur mengalami penurunan secara bertahap. Hal
ini erat hubungannya dengan kecepatan penurunan aktifitas metabolisme pada
organ-organ tubuh dan jaringan.
Scott et al. (1982) membagi periode produksi ayam petelur menjadi dua periode, yaitu fase I dari umur 22–42 minggu dengan rataan produksi telur 78% dan bobot telur
56 gram, fase II umur 42–72 minggu dengan rataan produksi telur 72% dan bobot telur
bobot telur rata-rata 57,9 g/butir dan rata-rata produksi telur sebesar 70% (Mc Donald et al., 2002).
Produksi telur ayam ras petelur dihasilkan pada kisaran suhu 18,3–23,9 oC
(North dan Bell, 1990) dan 21–26 oC (Carr dan Carter, 1985). Ayam petelur
berkerabang coklat masih menampilkan performa yang baik walaupun pada temperatur
yang berfluktuasi antara 22,7–30,9 oC, ransum dengan kandungan protein 16% dan
tingkat energi metabolis 2.650 kkal/kg ransum (Gurnadi, 1986). Hal ini menunjukkan
bahwa ayam petelur berkerabang coklat dapat dikembangkan di daerah tropis seperti
Indonesia.
Siregar (2003) melaporkan bahwa produksi telur (% hen-day) pada ayam strain ISA-brown selama 14 minggu produksi adalah 67,10% dengan pemberian ransum yang mengandung energi metabolis 2.665,20 kkal/kg dan protein kasar 17% pada fase
pertama. Berdasarkan penelitian Priono (2003) diperoleh rataan produksi telur (% hen-day) sebesar 76,90% pada ayam petelur strain ISA-brown dengan pemberian ransum yang ditambahkan metionin 0,34% dan mengandung energi metabolis 2.685,8 kkal/kg
dan protein kasar 17%.
Menurut Ivy dan Gleaves (1976), peningkatan produksi telur dipengaruhi oleh
tingkat konsumsi ransum, protein dan energi. Menurut Scott et al. (1982), untuk mencapai produksi telur yang maksimum, ayam petelur harus mengkonsumsi 17 gram
protein dengan jumlah konsumsi ransum 100 g/ekor/hari. Adapun kandungan protein
14% di dalam ramsum dinilai kurang cukup untuk mempertahankan produksi telur yang
tinggi, bobot telur serta efisiensi penggunaan ransum. Produksi telur pada ayam
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu kondisi awal ayam pada saat mulai bertelur dan
potensi tumbuh ayam dari awal bertelur sampai puncak produksi (Isapoultry, 2006). Tercukupinya kebutuhan protein ayam dapat mengindikasikan tercukupinya kebutuhan
asam-asam amino di dalamnya. Ketersediaan berbagai asam amino dalam jumlah yang
cukup di dalam ransum ayam mampu mengoptimalkan produksi telur yang dihasilkan
(Zimmerman dan Snetsinger, 1976). Produksi telur sangat tergantung pada jumlah
konsumsi protein dan asam amino perhari. Kira-kira 80-85% konsumsi asam amino
langsung digunakan untuk produksi telur. Defisiensi asam amino akan mempengaruhi
ransum. Perbedaan kandungan protein ransum yang lebih tinggi menghasilkan produksi
telur yang lebih tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino yang lebih lengkap
daripada yang terdapat dalam ransum yang proteinnya lebih rendah (Onwudike dan
Oke, 1986).
Summers (1995) menyatakan bahwa kandungan fosfor sebesar 0,2% nyata
mempengaruhi produksi telur yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan fosfor
sebesar 0,4%.
Bobot Telur
Ukuran telur dapat diartikan sebagai besar kecilnya telur yang dinyatakan dalam
bobot. Standar Nasional Indonesia (1995) menyatakan bahwa kriteria dan bobot telur
ayam ras untuk telur konsumsi adalah ekstra besar (lebih dari 60 gram), besar (55–60
gram), sedang (51–55 gram), kecil (46–50 gram) dan ekstra kecil (kurang dari 46 gram).
Menurut Rose (1997), telur ayam umumnya terdiri atas 64% albumen, 27%
kuning telur dan 9% kerabang. Kandungan masing-masing komponen tersebut
mempengaruhi bobot telur yang dihasilkan ayam petelur, ukuran kuning yang besar
akan menghasilkan ukuran telur yang besar. Menurut Nort dan Bell (1990), bobot telur
berkaitan erat dengan komponen penyusunnya yang terdiri atas putih telur (58%),
kuning telur (31%) dan kerabang (11%). Ukuran telur sangat bervariasi, hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain variasi individu, spesies, umur dan variasi
hereditas (Sirait, 1986).
Bobot telur ayam ras yang baik umumnya berkisar sekitar 58,0 g/butir,
sedangkan pada ayam kampung bobot telurnya biasanya lebih kecil (Sirait, 1986).
Setiap strain ayam petelur akan mengalami peningkatan bobot telur per butir pada umur
26–50 minggu, akan tetapi setelah ayam berumur lebih dari 50 minggu, bobot telur
tidak akan berubah lagi (Togatorop et al., 1977).
Bobot telur setiap bangsa ayam berbeda. Ayam Leghorn mempunyai bobot rataan 58,10 g/butir dan Rhode Island Red 59,30 g/butir, sedangkan bangsa Plymouth Rock mempunyai rataan bobot telur 63,90 g/butir (Romanoff dan Romanoff, 1963). Secara normal telur ayam mempunyai bobot antara 40-80 g/butir (Campbell et al.,
2003). Menurut Sirait (1986) bahwa bobot telur ayam ras yang baik umumnya berkisar
antara 58,0 g/butir, sedangkan pada ayam kampung bobot telur biasanya lebih kecil dari
Menurut North dan Bell (1990) faktor-faktor yang mempengaruhi bobot telur
adalah strain, umur pertama bertelur, temperatur lingkungan, ukuran pullet pada suatu kelompok. Ukuran ovum, intensitas bertelur dan nutrisi dalam ransum juga
mempengaruhi ukuran telur (Campbell et al., 2003). Ukuran telur merupakan faktor genetik, hal ini berhubungan dengan kemampuan ayam untuk menghasilkan telur besar,
medium atau kecil (North dan Bell, 1990). Bobot telur tidak dipengaruhi oleh
peningkatan energi metabolis, tetapi peningkatan kandungan protein 12-18% di dalam
ransum dapat meningkatkan bobot telur (Gardner dan Young, 1972). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Shafer et al. (1992), pemberian metionin ransum pada taraf 0,38; 0,46 dan 0,53% menunjukkan bahwa peningkatan bobot telur terjadi pada
taraf pemberian metionin yang lebih tinggi.
Umur dewasa kelamin juga mempengaruhi bobot telur. Ayam dara (pullet) yang ketika bertelur pertama telurnya besar maka akan besar selama periode produksi telur
(North dan Bell, 1990). Ayam petelur yang mengalami masak kelamin dini memiliki
ukuran telur yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan ayam petelur yang
mencapai masak kelamin lebih lambat (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut
Amrullah (2004) bahwa ayam pada awal periode bertelur cenderung menghasilkan telur
yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah sejalan dengan makin
tuanya umur ayam, tetapi kenaikan ini tidak seragam. Awalnya meningkat sangat jelas
ukurannya untuk kemudian hanya sedikit berubah dan konstan.
Intensitas bertelur juga mempengaruhi bobot telur. Telur yang kecil sangat
mungkin dihasilkan selama periode peneluran untuk produksi telur yang tinggi. Selama
tahun pertama bertelur, bobot dan produksi telur meningkat secara simultan. (Romanoff
dan Romanoff, 1963). Telur mempunyai ukuran yang besar pada intensitas bertelur
yang rendah (Campbell et al., 2003).
Temperatur lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ukuran telur menurun
sebagai hasil menurunnya konsumsi nutrien pada kelompok ayam, terutama energi dan
protein. (North dan Bell, 1990).
Ukuran ayam dalam satu kelompok yang besar akan menghasilkan telur dengan
rataan yang besar. Bagaimanapun juga ayam dalam satu kelompok bobotnya selalu
Bobot badan mempunyai korelasi yang tinggi terhadap bobot telur. Bobot yang besar
akan menghasilkan telur yang besar pula (North dan Bell, 1990; Campbell et al., 2003). Defisiensi nutrisi dalam ransum akan mengurangi bobot telur. Salah satunya
defisiensi vitamin D. Vitamin D berhubungan dengan metabolisme kalsium, sehingga
penting dalam pembentukan kerabang (Campbell et al., 2003).
Ukuran telur dapat meningkat dengan meningkatnya protein ransum.
Peningkatan kandungan protein ransum dari 17-21% atau dengan penambahan lemak
4% dapat meningkatkan bobot telur ayam (Nakajima dan Keshaverz, 1995). Menurut
Romanoff dan Romanoff (1963), bahwa pengaruh penurunan protein ransum dari
21-12% akan mengurangi bobot telur dari 53,8 menjadi 52,9 gram.
Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa waktu telur dikeluarkan
juga berpengaruh terhadap bobot telur. Telur yang dikeluarkan sebelum jam 9 pagi lebih
besar 2,5% dibandingkan dengan telur yang dikeluarkan lebih dari jam 2 siang.
Bobot telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya genetik, umur saat
dewasa kelamin, suhu lingkungan, tipe kandang, pakan, air dan penyakit (Ensminger,
1992). Menurut Anggorodi (1995), faktor yang mempengaruhi besar telur adalah tingkat
dewasa kelamin, protein dan asam amino yang cukup dalam ransum. Faktor lain yang
mempengaruhi besar telur adalah kandungan kalsium dan fosfor dalam ransum.
Konsumsi Ransum
Ransum adalah pakan yang diberikan kepada ternak tertentu selama 24 jam,
dengan waktu pemberian sekali atau beberapa kali (Parakkasi, 1985). Ransum dikatakan
seimbang bila mengandung zat-zat nutrisi yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang
cukup untuk pertumbuhan, produksi, dan kesehatan ternak (Anggorodi, 1995)
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu besar dan umur ayam,
temperatur lingkungan, periode produksi serta kandungan energi ransum (Wahyu,
1985). Ayam petelur tipe berat akan mengkonsumsi ransum lebih banyak jika
dibandingkan dengan ayam petelur tipe ringan. Hal ini dikarenakan ayam yang lebih
besar membutuhkan energi yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok
dan produksinya (Scott et al., 1982).
Konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu kandungan
energi ransum dan temperatur lingkungan. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi
serta aktivitas ayam (Amrullah, 2003). Isapoultry (2006), menyatakan bahwa konsumsi ransum ayam petelur strain ISA-brown adalah 118,10 g/ekor/hari. Menurut North dan Bell (1990), konsumsi ransum ayam petelur tipe medium berkisar antara 105-116
g/ekor/hari
Menurut Scott et al. (1982), energi yang tinggi menyebabkan konsumsi ransum cenderung menurun. Menurut Mc Donald et al. (2002), konsumsi ransum akan mengalami penurunan 1–2% untuk setiap kenaikan temperatur 1 oC dalam kisaran
temperatur 10–30 oC. Kisaran temperatur 26-32 oC sudah melebihi kisaran temperatur
ideal untuk ayam petelur, pada kisaran temperatur tersebut ayam sudah mengalami
sedikit penurunan konsumsi ransum masih cukup untuk efisiensi produksi dan
kebutuhan zat makanan. Penurunan konsumsi ransum yang nyata pada ayam petelur
akan mengakibatkan defisiensi zat-zat makanan seperti asam amino, vitamin dan
mineral yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga performa yang dihasilkan kurang
maksimal. Apabila terjadi penurunan konsumsi ransum akibat naiknya temperatur
lingkungan maka dilakukan upaya peningkatan kualitas ransum yang diberikan, caranya
yaitu dengan suplementasi beberapa asam amino kritis dan zat makanan lainnya untuk
mengatasi defisiensi zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh (NRC, 1994).
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh bobot badan ayam (Bish et al., 1985), Menurut Sterling et al. (2003), kandungan energi yang tinggi dalam ransum menyebabkan
konsumsi ransum rendah.
Konversi Ransum
North dan Bell (1990) menyatakan, bahwa adanya peningkatan mutu genetik
ternak mampu meningkatkan efisiensi ransum, karena adanya peningkatan terhadap
pertumbuhan dan produksi ternak terhadap ransum yang dikonsumsinya. Faktor-faktor
lain yang mempengaruhi konversi ransum adalah kecepatan pertumbuhan atau produksi
telur, kandungan energi dalam ransum, besar ayam, terpenuhinya zat nutrisi dalam
ransum, temperatur lingkunan dan kesehatan ayam (Card dan Neisheim, 1979).
Konversi ransum juga dipengaruhi oleh bentuk ransum. Ransum yang berbentuk mash
memiliki konversi yang lebih rendah dibandingkan dengan ransum yang berbentuk
butiran. Menurut Anggorodi (1995), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konversi
ransum adalah temperatur lingkungan, daya cerna ransum, bentuk fisik dan konsumsi
petelur selama 12 minggu produksi yang diberi ransum bentuk mash dengan kandungan protein kasar 15% dan 18%, serta energi metabolis sebesar 2.655 kkal/kg. Berdasarkan
Isapoultry (2006), menyatakan bahwa konversi ransum ayam petelur strain ISA-brown
adalah 2,13. Menurut Sterling et al.,(2003), konversi ransum ayam petelur tipe medium sebesar 2,08.
Hormon Estrogen
Hormon adalah zat kimia yang disintesis oleh bagian tubuh yang jelas
batas-batasnya, umumnya kelenjar buntu khusus yang dibawa oleh pembuluh darah ke bagian
tubuh lain tempat zat-zat itu menimbulkan penyetelan-penyetelan sistemik dengan
aksinya terhadap jaringan-jaringan dan organ-organ khusus. Aksi-aksi hormon
seluruhnya tergantung kepada kemampuan sel-sel sasaran untuk menanggapinya.
Hormon tidak menciptakan kemampuan baru di dalam sel sasaran tetapi hanya memicu
mesin-mesin metabolisme yang sudah dimilikinya. Apabila lokasi reseptor (protein atau
lipoprotein) pada sel-sel sasaran tidak ada atau sudah diduduki hormon tidak
menghasilkan pengaruh. (Turner dan Bagnara, 1976).
Estrogen adalah hormon tipe steroid yang dihasilkan oleh ovari (Ensminger,
1992). Seluruh estrogen mengandung atom 18 karbon. Estrogen yang biasa dikenal
adalah estradiol, estron dan estriol. Estrogen terdapat diberbagai jaringan hewan seperti
testis, adrenal dan plesenta serta dalam jumlah kecil ditemukan juga dalam
spermatozoa. Estrogen dapat merangsang pertumbuhan dan diferensiasi saluran
reproduksi betina serta struktur-struktur yang terkait yang menimbulkan berbagai
macam pengaruh sistemik (Turner dan Bagnara, 1976).
Menurut McDonald dan Pineda (1989) bahwa estrogen merangsang
perkembangan dan perubahan siklus saluran genital tubular pada hewan betina,
perkembangan kelenjar mamae dan uterus, karakteristik seks sekunder serta
meningkatkan metabolisme kalsium dan lemak pada burung atau unggas. Penyuntikan
estrogen dengan dosis rendah dapat merangsang ovulasi pada sapi, domba, kelinci dan
tikus.
Hormon estrogen pada unggas berfungsi untuk merangsang perkembangan sifat
seks sekunder, mempengaruhi pertumbuhan dan deposisi lemak, berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan folikel dan penting untuk sintesis albumin telur
steroid diperlukan untuk perkembangan fungsional aves. Setijanto (1998) menyatakan
bahwa pada saat mendekati dewasa kelamin, ovarium akan mengeluarkan lebih banyak
hormon estrogen. Hal ini menyebabkan perkembangan oviduct yang cepat menjadi
suatu alat yang panjangnya 50-60 cm dan siap mengeluarkan albumin, selaput-selaput
telur dan kerabang untuk melengkapi telur. Perkembangan penuh magnum, yakni
daerah yang mensekresikan albumin dapat dihasilkan dengan memberikan estrogen
yang diikuti dengan androgen atau progesteron. Estrogen berfungsi menginduksi
diferensiasi sel yang mensintesis protein putih telur, seperti ovalbumin dam lisozim.
Untuk dapat menghasilkan 365 butir telur per tahun, diperlukan metabolisme kalsium
yang hebat. Kelenjar cangkang berbeda dari bagian lain oviduct karena estrogen saja
cukup untuk memacu perkembangannya. Tulang medula burung-burung yang bertelur
mengalami rentetan deposisi dan destruksi yang berkorelasi dengan penyimpanan dan
pengeluaran kalsium. Tidak diketahui bagaimana estrogen bereaksi menggiatkan
deposisi kalsium pada tulang dan pengambilannya dari tulang, namun ini merupakan
bukti bahwa estrogen berfungsi dalam membantu metabolisme kalsium (Turner dan
Bagnara, 1976).
Menurut Setijanto (1998), bahwa sistem genitalia embrio betina terdiri atas
sepasang ovarium dan oviduct. Segera setelah menetas ovarium dan oviduct kanan
mengalami degenerasi (rudimenter). Sehingga pada sebagian besar unggas hanya
oviduct kiri saja yang berkembang dan berfungsi dalam produksi telur.
Turner dan Bagnara (1976) menyatakan bahwa oviduct unggas berukuran cukup
besar membentang dari ovari sampai kloaka. Daerah-daerah utamanya adalah
infundibulum, magnum, isthmus, uterus dan vagina. Telur yang diovulasikan jatuh ke
rongga tubuh dan dibuahi di daerah infundibulum yang berbentuk corong. Telur ayam
tetap bertahan dalam infundibulum selama kira-kira 15 menit, disana telur memperoleh
kalaza, yakni tali seperti per yang merentang melintasi albumin dari kuning telur ke
kutub telur. Magnum merupakan bagian terpanjang dari oviduct dan banyak
mengandung kelenjar-kelenjar besar yang mensekresikan albumin. Daerah berikutnya
adalah isthmus, di dalam isthmus telur tinggal kira-kira satu jam dan memperoleh
membran cangkang. Telur tertahan paling lama di dalam uterus (kelenjar cangkang)
kira-kira 20 jam dan di dalam saluran tersebut terjadi pembentukan cangkang berpori
dan tinggal di dalamnya kira-kira satu menit. Di dalam vagina, telur mendapatkan
selubung tipis mukus yang mungkin berguna untuk menutup pori sehingga mencegah
evaporasi air yang cepat dan untuk melindungi telur dari infeksi bakteri. Interval normal
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas
(kandang C), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada pertengahan bulan Juli
sampai dengan Oktober 2005.
Materi
Penelitian menggunakan 90 ekor ayam ras petelur coklat komersial tipe medium
strain ISA-brown umur 20 minggu yang diperoleh dari Hejo Farm, Sukabumi. Bobot badan awal berkisar antara 1400-2150 gram dengan rataan 1790±143,2, rataan produksi
telur awal sebesar (Hen day) 26,94 %.
Kandang yang digunakan berupa kandang baterai kelompok (coloni cage) dengan ukuran 40x91x45 cm. Masing-masing cage dilengkapi dengan penyekat dan setiap sekat diisi dua ekor. Jumlah cage yang digunakan adalah 23 buah dengan kapasitas 90 ekor ayam.
Peralatan yang digunakan adalah tempat ransum memanjang (bentuk trough), tempat air minum dari bambu, timbangan ransum merek Berkell (kapasitas 10 kg),
timbangan digital O-hauss dengan kapasitas 100 g dan kepekaan 0,1 g.
Ransum yang digunakan adalah ransum komersial untuk ayam petelur, bentuk
mash yang mengandung zat makanan seperti ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Komersial
Komposisi Jumlah
Tepung jangkrik yang digunakan diproduksi oleh Asosiasi Peternak Jangkrik
(ASTRIK), Yogyakarta. Kandungan estrogen pada tepung jangkrik sebesar 259,535
ppm yang diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik jantan dan betina pada umur diatas
35 hari (Prayitno, 2000). Tepung jangkrik mengandung zat makanan seperti ditampilkan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Proksimat Tepung Jangkrik
Kandungan Jumlah
Keterangan : Hasil Analisis Laboratoruim Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Januari 2006.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Perlakuan penelitian yaitu suplementasi tepung jangkrik yang terdiri atas lima taraf
perlakuan yaitu 0 (P1); 0,25 (P2); 0,5 (P3); 0,75 (P4) dan 1 % (P5). Setiap perlakuan
diulang tiga kali. Model matematis sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya, 2002) :
Yij = μ + τi + εij
Keterangan:
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai rata-rata sesungguhnya.
τ = Pengaruh perlakuan ransum ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5)
εij = Pengaruh galat dari ransum percobaan ke-i pada ulangan ke-j (j = 1, 2, 3)
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan ragam. (Matjik dan Sumertajaya, 2002).
Sebelum dianalisis data penelitian ditransformasi dengan Johnson transformation
(Minitab 14). Peubah yang diamati ialah produksi telur, bobot telur, konsumsi ransum
Prosedur
Pembuatan Tepung Jangkrik
Tepung jangkrik yang digunakan dalam penelitian dibuat oleh Asosiasi Peternak
Jangkrik (ASTRIK) Yogyakarta.
Persiapan Kandang
Selama kurang lebih dua minggu sebelum ayam datang dilakukan persiapan
kandang. Persiapan kandang meliputi pembersihan bangunan kandang dan lingkungan
sekitar kandang, penyusunan cage, pengadaan dan pembersihan tempat ransum dan tempat air minum, dan pengadaan alat-alat penunjang yang digunakan dalam penelitian.
Pembersihan bangunan kandang dilakukan dengan cara disapu, kemudian dipel dan
untuk memastikan kandang bebas dari bibit penyakit perlu dilakukan desinfeksi
(disemprot desinfektan). Pembersihan bangunan kandang berguna untuk mengurangi
resiko serangan bibit penyakit pada ayam yang dipelihara. Alat-alat yang digunakan
untuk pembersihan kandang dan sanitasi kandang antara lain alat penyemprot (sprayer), ember, sapu lidi dan sekop. Bahan yang digunakan adalah kapur, rodalon (desinfektan)
dan air bersih. Pembersihan lingkungan sekitar kandang yang dilakukan adalah
pemotongan rumput dengan menggunakan golok.
Sistem pemeliharaan ayam dalam kandang cage berkelompok (coloni cage) setiap cage berisi 2 ekor pullet. Cage disusun dengan dua tingkat.
Lantai kandang diberi sekam padi yang diganti secara insidental jika sudah
terlihat basah dengan tujuan untuk mengurangi pengaruh negatif amoniak terhadap
kesehatan dan produksi telur ayam.
Pencampuran Ransum
Ransum dicampur dengan tepung jangkrik hingga homogen dengan taraf yang
telah ditentukan sebelumnya. Taraf penambahan tepung jangkrik dalam ransum adalah
0; 0,25; 0,5; 0,75 dan 1%. Pencampuran ransum dilakukan sedikit demi sedikit agar
tepung jangkrik dapat tercampur dengan baik. Ransum kemudian diberikan kepada
ayam sesuai dengan level perlakuan. Pencampuran ransum dilakukan setiap minggu .
Pemeliharaan
Ketika ayam datang terlebih dahulu diberikan air gula. Pemberian air gula
bertujuan untuk mengganti energi yang telah hilang waktu dalam perjalanan. Setelah
pemberian air gula diharapkan ayam akan lebih segar. Cara pemberian air gula dengan
dicampurkan pada air minum, demikian pula dengan pemberian vitastress.
Selama tiga hari sejak kedatangan ayam, dilakukan penyesuaian. Ransum yang
diberikan adalah ransum komersial (tanpa perlakuan). Sebelum diberikan ransum
perlakuan, sisa ransum standar yang diberikan ditimbang. Tujuan dilakukannya hal ini
adalah untuk mengetahui jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ayam, sehingga saat
perlakuan pemberian ransum akan lebih efisien atau tidak banyak terbuang.
Sebelum diberikan ransum perlakuan, ayam ditimbang terlebih dahulu. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui bobot badan awal ayam. Penimbangan ayam dilakukan
pada malam hari dengan tujuan untuk menghindari stress. Sebelum penelitian,
dilakukan pengacakan ayam dan perlakuan pada setiap kandang.
Ransum yang diberikan sebanyak 90 g/ekor/hari dengan intensitas pemberian
dua kali sehari (pagi dan sore hari pada jam yang sama) dan setiap kali pemberian
sebanyak 45 g/ekor/hari. Jumlah ransum kemudian ditingkatkan menjadi 100
g/ekor/hari hingga maksimum 120 g/ekor/hari. Hal ini terjadi karena meningkatnya
konsumsi ransum pada ayam, yang ditandai dengan sisa ransum yang semakin sedikit,
bahkan tidak bersisa. Air minum diberikan ad libitum.
Ayam dari kelima level perlakuan mendapat pencahayaan selama 12 jam per
hari (12-L dan 12-D) yaitu antara pukul 06.00-18.00 WIB (12 jam) dengan cahaya
matahari.
Selama penelitian dilakukan pembersihan kandang untuk mencegah adanya bibit
penyakit yang dapat menyerang ayam. Pembersihan alas kandang meliputi penggantian
sekam yang dilakukan secara insidental berdasarkan kebasahan sekam. Pembasmian
ektoparasit seperti lalat juga dilakukan yakni dengan cara menyemprotkan obat lalat. Tempat air minum dibersihkan secara insidental.
Pengumpulan Data
Koleksi telur dilakukan mulai satu minggu setelah ayam mendapatkan perlakuan
sampai penelitian berakhir (10 minggu). Koleksi telur dan penimbangan dilakukan
perhari, sedangkan data penimbangan telur digunakan untuk menghitung rataan bobot
telur. Setiap seminggu sekali dilakukan penimbangan sisa pakan sehingga dapat
diketahui jumlah yang dikonsumsi oleh ayam. Data yang diperoleh digunakan untuk
menghitung angka konversi ransum.
Berikut ini merupakan cara perhitungannya :
1. Produksi telur (%)
Produksi telur masing-masing kelompok perlakuan dihitung menurut sistem hen-day
yaitu persentase rataan produksi telur dalam jangka waktu tertentu (10 minggu)
Hen-day =
2. Bobot telur per butir
Perhitungan rataan bobot telur per periode atau dalam jangka waktu tertentu (10
minggu) didasarkan pada penimbangan bobot telur pada setiap kelompok perlakuan
yang dilakukan setiap hari, dalam gram per butir.
3. Konsumsi ransum
Rataan konsumsi ransum (gram per ekor). Pengukuran konsumsi ransum dilakukan
tiap minggu, dengan cara mengurangi pakan yang diberikan pada awal minggu
dengan sisa pakan pada akhir minggu. Konsumsi pakan dijumlahkan selama 10
minggu produksi dan dinyatakan dengan gram per ekor.
4. Konversi ransum
Konversi ransum pada tiap kelompok perlakuan diperoleh berdasarkan jumlah
rataan ransum yang dikonsumsi (gram) dibandingkan dengan rataan bobot telur
perekor (gram) pada periode perhitungan (10 minggu).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Data rataan hasil analisis ragam terhadap produksi telur, bobot telur, konsumsi
dan konversi ransum selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Pengamatan Produksi Telur, Bobot Telur, Konsumsi dan Konversi Ransum
Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian tepung jangkrik pada ransum
komersial dengan taraf 0,25-1 % tidak berpengaruh terhadap produksi ayam petelur
periode pertama selama 10 minggu penelitian. Suplementasi tepung jangkrik pada
ransum diharapkan dapat meningkatkan produksi telur secara nyata. Hal ini dikarenakan
tepung jangkrik diduga mengandung hormon estrogen (Borror et al., 1992) yang berfungsi untuk merangsang perkembangan sifat seks sekunder, mempengaruhi
pertumbuhan dan deposisi lemak, pertumbuhan dan perkembangan folikel serta penting
untuk sintesis albumin telur (Ensminger, 1992), Kenyataannya suplementasi tepung
jangkrik dengan taraf 0,25–1 % belum bisa memberikan pengaruh yang nyata terhadap
produksi telur. Hal ini diduga disebabkan kurangnya kadar estrogen yang diberikan.
Kandungan estrogen tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm.
Konsumsi estrogen pada penelitian ini pada P1, P2, P3, P4, dan P5 bertutur-turut
sebesar 0,00064; 0,0013; 0,0019; 0,0027 mg/kg ransum dianggap masih rendah.
Berdasarkan penelitian Lien dan Cain (1985), konsumsi estrogen sebesar 1 mg/ekor/hari
memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi telur pada bangsa ayam Rhode Island Red.
Peranan estrogen pada penelitian tidak terlihat. Hal ini dikarenakan ayam yang
pada saat ayam berumur 20 minggu sebesar 26,94 % yang pada umumnya produksi
awal sekitar 10 % (North dan Bell, 1990).
Suplementasi tepung jangkrik tidak terlalu merubah kandungan zat nutrisi
ransum seperti protein, yaitu berkisar antara 16,82-17,11 %, demikian pula halnya
dengan kandungan energinya, sehingga produksi telur yang diperoleh juga tidak
berbeda jauh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ivy dan Gleaves (1976), peningkatan
produksi telur dipengaruhi oleh tingkat konsumsi, protein dan energi ransum
Rataan produksi telur pada ayam dipengaruhi oleh kondisi hidup awal ayam
pada saat mulai bertelur, dan potensi tumbuh ayam dari awal bertelur sampai puncak
produksi (Isapoultry, 2006). Akan tetapi berbeda dengan penelitian Wu et al., (2005) yang menyatakan bahwa produksi telur tidak dipengaruhi oleh kandungan energi
ransum. Kondisi hidup awal ayam dan potensi tumbuh ayam untuk berproduksi
diasumsikan sama karena ayam yang digunakan merupakan ayam komersial yang telah
diseleksi oleh breeder sehingga memiliki potensi genetik yang relatif sama.
Produksi telur selama penelitian berkisar antara 77,88–87,26 %, data tersebut
diperoleh dari ayam pada umur 20 sampai 30 minggu. Menurut Scott et al. (1982) produksi telur pada umur 22–42 minggu sebesar 78 %. Hal ini tidak berbeda dengan
hasil yang diperoleh selama penelitian. Menurut North and Bell (1990), kisaran
produksi telur pada ayam komersial tipe medium umur 21–30 minggu sebesar 10-92,5
%. Kisaran produksi selama penelitian tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan
standar kisaran produksi telur ayam petelur tipe medium yaitu antara 13,89-97,62 %
pada kisaran umur yang sama. Hal ini membuktikan manajemen pemeliharaan yang
Grafik produksi telur menunjukkan adanya peningkatan produksi telur seiring
dengan bertambahnya umur ayam. Puncak produksi pada penelitian dicapai pada saat
ayam berumur anatara 26-28 minggu sebesar 97,62 %. Hal ini sesuai dengan Romanoff
dan Romanoff (1963) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara umur ayam dan
produksi telur. Produksi telur akan mencapai puncak seiring dengan bertambahnya
umur ayam dan akan mengalami penurunan produksi setelah mengalami puncak
produksi. Puncak produksi pada ayam petelur strain ISA-brown dicapai pada kisaran umur 26-28 minggu (Hendrix-genetics, 2006), sedangkan menurut Scott et al. (1982) puncak produksi pada ayam petelur dicapai pada kisaran umur 28-30 minggu.
Bobot Telur
Analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi tepung jangkrik tidak
mempengaruhi bobot telur selama penelitian. Hal ini dikarenakan konsumsi protein,
strain, umur pertama bertelur, temperatur lingkungan, ukuran pullet pada suatu kelompok relatif sama. Kandungan nutrien pada ransum pada masing-masing perlakuan
juga tidak berbeda. Hal ini dikarenakan suplementasi tepung jangkrik tidak terlalu
merubah pola produksi telur. Ayam yang mencapai dewasa kelamin cepat (masak dini),
maka produksi telurnya rendah. Bobot telur tidak dipengaruhi oleh peningkatan energi
metabolis, tetapi lebih dipengaruhi oleh kandungan protein ransum. Hal ini juga
didukung oleh penelitian Wu et al. (2005), yang menyatakan bahwa tidak adanya
hubungan strain ayam dan kandungan energi ransum dengan bobot telur. Peningkatan
kandungan protein sebesar 12–18 % dapat meningkatkan bobot telur (Gardner dan
Young, 1972) akan tetapi berdasarkan penelitian Zou dan Wu (2005), Peningkatan
protein ransum dari 15,9-17 % yang dikombinasikan dengan peningkatan energi tidak
mempengaruhi bobot telur.
Rataan bobot telur selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 2. yaitu berkisar
antara 54,03–60,33 g/butir. Rataan bobot tersebut sesuai dengan Togatorop et al. (1977), bobot telur ayam ras adalah 58,0 g/butir, sedangkan menurut Scott et al.(1982), bobot telur pada ayam ras sebesar 56 g/butir pada umur 22–42 minggu. Berdasarkan
penelitian Shatiti (2003), rataan bobot telur pada ayam petelur strain ISA-brown berkisar antara 51,48–53,44 g/butir dengan penambahan 0,34% metionin dengan kandungan
energi metabolis ransum sebesar 2.685,8 kkal/kg, protein kasar 17 %. Bobot telur total
18.519, 17.660, 19.575 dan 19.346 gram. Secara ekonomis apabila dilihat dari bobot
total perlakuan P4 memberikan keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan
perlakuan yang lain.
Telur yang dihasilkan selama penelitian tergolong dalam kategori besar yaitu
berkisar antara 54,03–60,33 g/butir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fernandez (1998).
Peningkatan protein ransum dapat mempengaruhi rataan bobot telur. (Wu et al., 2005; Gardner dan Young, 1972). Grafik bobot telur selama penelitian ditunjukkan pada
Gambar 2.
Grafik rataan bobot telur (Gambar 2.) menunjukkan adanya peningkatan bobot
telur seiring dengan bertambahnya umur ayam (Shalev dan Pasternak, 1993). Rataan
bobot telur ayam pada umur 26-30 minggu sudah mencapai 59,34-61,67 g/butir. Hal ini
sesuai dengan Hendrix-genetics (2006), bobot telur ayam petelur strain ISA-brown pada umur 26-30 minggu berkisar antara 59,6-61,5 g/butir. Hal ini sesuai dengan Amrullah
(2004) yang menyatakan bahwa ayam pada awal periode bertelur cenderung
menghasilkan telur yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah
sejalan dengan makin bertambahnya umur ayam. Menurut Scott et al. (1982) pada saat ayam memasuki fase bertelur pertama yaitu dari umur 22–42 minggu bobot telur yang
dihasilkan sebesar 56 gram.
Konsumsi Ransum
Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi tepung jangkrik
standar konsumsi ransum ayam petelur tipe medium. Hal ini dikarenakan beberapa hal
antara lain terpenuhi kebutuhan energi dan protein oleh ayam dan tingginya suhu
lingkungan sehingga akan mengurangi konsumsi ransum dan meningkatkan konsumsi
air minum. Suhu optimum untuk pemeliharaan ayam petelur adalah 18,3-23,9 oC (North
and Bell, 1990). Suplementasi tepung jangkrik pada ransum tidak mempengaruhi
konsumsi ransum ayam. Hal ini mungkin dikarenakan suplementasi tepung jangkrik
tidak terlalu merubah kandungan protein dan energi serta tingkat palatabilitas ransum.
Rataan konsumsi ransum selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 3. yaitu
berkisar antara 103,39–109,57 g/ekor/hari. Hasil penelitian Bean dan Leeson (2003)
menunjukkan bahwa konsumsi pakan ISA-brown selama 10 periode penelitian dari umur 18 minggu berkisar antara 103,3-117,1 g/ekor/hari. Konsumsi ransum ayam
petelur strain ISA-brown adalah 118,10 g/ekor/hari (Isapoultry, 2006) dan berkisar antara 105-116 g/ekor/hari (North and Bell, 1990). konsumsi ransum ayam petelur tipe
medium Konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kandungan
energi metabolis, kandungan protein ransum, dan temperatur lingkungan. Faktor lainnya
yaitu strain ayam, bobot badan, bobot telur, penutupan bulu, derajat cekaman serta
aktivitas ayam. Kandungan energi energi metabolis ransum sebesar 2.939 kkal/kg, nilai
ini lebih besar jika dibandingkan dengan kebutuhan standar energi metabolis ayam
petelur strain ISA-brown yaitu 2.685,8 kkal/kg (Priono, 2003). Peningkatan energi
metabolis ransum tersebut mampu menurunkan rataan konsumsi ransum pada saat
penelitian. Grafik konsumsi ransum selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.
Grafik rataan konsumsi ransum (Gambar 3.) menunjukkan adanya peningkatan
konsumsi ransum seiring dengan bertambahnya umur ayam. Peningkatan konsumsi
ransum sebesar 30 gram dari awal produksi sampai umur 30 minggu. Hal ini
dikarenakan pada saat fase pertama produksi telur, masih dimungkinkan terjadinya
Peningkatan konsumsi ransum. Semakin bertambahnya umur ayam maka produksi
telurnya juga akan meningkat. Peningkatan produksi telur akan menyebabkan
meningkatnya pula kebutuhan energi dan protein untuk produksi telur.
Konversi Ransum
Analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh perlakuan terhadap
rataan konversi. Hal ini dikarenakan suplementasi tepung jangkrik tidak mempengaruhi
konsumsi ransum selama penelitian. Angka konversi ransum pada penelitian ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan standar konversi ransum ayam petelur strain ISA-brown yaitu sebesar 2,13. Konversi ransum erat kaitannya dengan konsumsi ransum dan produksi telur. Konsumsi ransum yang rendah disertai dengan produksi telur yang
tinggi akan menghasilkan nilai konversi ransum yang baik. Nilai konversi ransum yang
rendah menandakan bahwa penambahan tepung jangkrik dapat memperbaiki nilai
konversi ransum. Hal ini sesuai dengan penelitian Zou dan Wou (2005) yang
menyatakan bahwa dengan adanya peningkatan jumlah protein dan energi ransum dapat
memperbaiki nilai konversi ransum.
Konversi ransum selama penelitian berkisar antara 1,89–2,02 (Gambar 4.). Data
tersebut menunjukkan bahwa konversi ransum pada penelitian lebih baik jika
dibandingkan pada penelitian Priono (2003), yang menyebutkan bahwa konversi
ransum sebesar 2,99 pada ayam petelur selama 14 minggu produksi dengan ransum
berbentuk mash, dengan kandungan protein kasar 17 % dan energi metabolis 2.685,8 kkal/kg. Menurut Siregar (2003), konversi ransum sebesar 2,72 dan 2,33 pada ayam
petelur selama 12 minggu produksi yang diberi ransum bentuk mash dengan kandungan protein kasar 15 % dan 18 %, serta energi metabolis sebesar 2.655 kkal/kg. Berdasarkan
1,50
Grafik rataan konversi ransum (Gambar 4.) menunjukkan adanya penurunan
konversi ransum perlakuan P2 ketika ayam berumur 30 minggu. Hal ini dikarenakan
konsumsi ransum pada perlakuan P2 menurun, akan tetapi penurunan konsumsi ransum
tidak diikuti dengan penurunan produksi telur. Hal ini mungkin dikarenakan
suplementasi tepung pada ransum dapat memenuhi kebutuhan protein untuk produksi
telur, meskipun jumlah ransum yang dikonsumsi lebih sedikit.
Abnormalitas Telur
Data hasil pengamatan abnormalitas telur selama penelitian ditunjukkan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Abnormalitas Telur Selama Penelitian Perlakuan
Keterangan : Angka di dalam kurung menyatakan persen (%)
Tabel 5. (Abnormalitas Telur) menunjukkan bahwa selama penelitian diperoleh
beberapa telur yang abnormal. Diantaranya adalah telur pecah. Telur pecah ini
dikarenakan cangkang yang tidak mengeras setelah keluar dari kloaka sehingga telur
penelitian berkisar antara 0,47-0,91 %. Sedangkan abnormalitas yang lainnya adalah
telur jumbo (ekstra besar). Telur jumbo ini memiliki bobot lebih dari 70 g/butir. Telur
jumbo yang diperoleh selama penelitian memiliki kuning telur lebih dari satu sehingga
telur tersebut memiliki bobot diatas rata-rata bobot telur pada umumnya yaitu
58,0-63,90 g/butir. Telur jumbo yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,37-1,24 %
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Suplemetasi tepung jangkrik sebesar 0,25%-1% pada ransum tidak berpengaruh
terhadap produksi telur (% Hen-day), bobot telur, konsumsi dan konversi ransum ayam petelur strain ISA-brown pada umur 21-30 minggu.
Saran
Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai suplementasi tepung
jangkrik pada ransum yang mengalami defisiensi protein dan pada ayam petelur yang
mulai mengalami penurunan produksi sehingga suplementasi tepung jangkrik pada
ransum dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap performa ayam petelur strain
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan
rahmat, hidayah serta curahan nikmat yang tak terhingga dan hanya dengan
pertolongan-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir.Hj. Niken Ulupi, MS selaku dosen
pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik dan Ir. Dwi Margi Suci, MS yang
telah membimbing, mengarahkan dan membantu penyusunan proposal hingga akhir
penulisan skripsi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Supraptini
Mansyur selaku dosen penguji seminar, Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu, H.S., MS dan Ir.
Dwi Joko Setyono, MS selaku dosen penguji sidang yang telah menguji, memberikan
kritik, dan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. Ucapan
terima kasih juga Penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Abu
Khaeri, Ibu Suwarti, Adik Toha Mahfudi, Mbak Nur Khofiyah dan seluruh keluarga
besar Bani Ya’qub yang telah banyak membantu baik materi, motivasi, doa maupun
kasih sayang yang tiada henti diberikannya. Kepada seluruh staf Laboratorium Ilmu
Nutrisi Ternak Unggas, Departemen INTP IPB atas segala fasilitas penelitian dan
bantuannya hingga akhir penelitian. Kepada Sugeng Sugandi (rekan sepenelitian) atas
segala semangat dan pengorbanannya. Kepada Trisono (Ison) sebagai mahasiswa
pembahas seminar, kepada rekan-rekan seperjuangan HMI atas pengertian dan toleransi
waktunya, kepada sahabat sekaligus keluarga di Bogor (Joe, Funkyz, Ison, Aqim,
Syahid, Suhe, Ifan, dan wardi) atas segala bantuannya dan semangatnya serta
teman-teman seperjuangan Program Studi Teknologi Produksi Ternak (TPT ‘39), atas
dukungan semangat dan persahabatan yang indah ini semoga kekal untuk selamanya.
Kepada Civitas Akademika SMA Darussalam dan Keluarga Besar Goodwill
International Leadership Program (Mr Hara, Mrs. Mizue Hara, Mr. Eddi Tan, Bu Sri dan Mbak Rossa) atas segala bantuan dan beasiswanya serta kepada semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu. Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak
kepada Civitas Akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi yang membacanya.
Bogor, Agustus 2006
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J. L., W. H. Mcgibbon and L. E. Casida. 1950. The effect of oraly administered synthetic estrogens on single comb white leghorn pullets. Poultry science 24 : 666-671
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan 1. Satu Gunungbudi. Bogor.
Anggorodi, R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia. Jakarta.
Bish, C. L., W. L. Beane, P. L. Ruszler and J. A. Cherry. 1985. Body Weight influence on egg production. Poultry Science 64: 2259-2262
Bodenheimer, F. S.1951. Insect as Human Food: A Chapter of the Ecology of Man. Dr. W. Junk Publisher the Haguf. Netherland.
Borror, D. J., C. A.. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Terjemahan. S. P. Soedjono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Carr, L. E. and T. A. Carter. 1985. Housing and Management of Poultry in Hot and Cold Climates. In : Yousef, M. K. (Editor). Stress Physiology in Livestock. Vol. III-Poultry. CRC Press INC. Florida.
Campbell, J. R., M. D Kenealy and K. L. Campbell. 2003. Animal Science, The Biology, Care and Production of Domestic Animals. 4th Ed. Mc. Graw Hill. New York.
Charoen Pokphand. 2000. Petunjuk Pemeliharaan Petelur 909. PT. Charoen Pokphan Jaya Farm Indonesia, Tangerang.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2005. Buku Statistika Peternakan. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Ensminger, M. E. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Interstate Publisher Inc. Dan Ville, USA.
Gardner, F. A. and L. L. Young. 1972. The influence of dietary protein and energy levels on the protein and lipid content of hen’s egg. Poultry Science. 51 : 994-997.
Genetic, H. 2006. www.hendrix-genetics.com/layerbreeding. [01 Agustus 2006]
Gurnadi, K. 1986. Pengaruh imbangan protein dan energi dalam ransum terhadap performans dua galur ayam petelur tipe medium. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hasegawa, Y. dan H. Kubo. 1996. Seri Misteri Alam : Jangkrik. Terjemahan. S. Handoko. PT Elex Media Computindo, Gramedia. Jakarta.
Ivy, R. E. and E. W. Gleaves. 1976. Effect of production level, dietary protein and energy on feed consumption and nutrient requirement of laying hens. Poultry Science 55 : 2166-2171.
Lien R. J. and J. R. Chain. 1985. Effect of dietary and parenteral estrogens on bobwhite reproduction. Poultry Science 66 : 154-161
Lightlink. 2006. http://www.lightlink.com/babcock/prod04.htm. [22 Juni 2006].
Mattjik, A. A. dan I. M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan Jilid I. Edisi ke-2. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
McDonald, L. E. and M. H. Pineda. 1989. Veterinery Endocrinology and Production. 4th Ed. Lea and Febriger. Philadelphia, USA.
Mc Donald, P., R. A. Edward, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutritions. 5th Ed, Longman Scientific and Technical. New York.
Nakajima, S. and Keshavarz, K. 1995. The effect of dietary manipulations of energy, protein, and fat during the growing and laying periods on early eggs weight and eggs components. Poultry Science. 74(1):50-60.
Napitupulu, D. I. 2003. Komposisi asam amino tepung jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus) pada berbagai tingkat umur. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Rev. Ed. National Academy Press. Washington.
Neishem, M. C., R. C. Austic and L. E. Card. 1979. Poultry Production. 12th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia.
North, M. O. and D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed. Chapman and Hall. London.
Onwudike, O. C. and O. L. Oke. 1986. Total subtitution of leaf protein in the ration of laying hens. Poultry Science 65: 1201-1204
Pallister, J. C. 1990. Seri Ilmu Pengetahuan Populer : Serangga. Jilid 6. PT Widyadara Groler Internation Inc. Jakarta.
Parakkasi, A. 1985. Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak. Diktat. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Perez, R. A, Maldonado, and K. M. Barram. Layer Hen Experiment.
http://www.vetsci.usyd.edu.au/apss/Documents/Maldonado-Evaluation%20of%20australian%20canola.doc [15 Maret 2006].
Priono, D. 2003. Performans ayam ras petelur tipe medium periode tiga bulan pertama bertelur yang diberi ransum dengan kandungan metionin pada berbagai level. Skripsi. Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
Ri, Eishu, K. Sato, T. Oikawa, T. Kunieda, and H. Uchida. 2005. Effect of dietary protein levels on production and characteristics of japanese quail egg. Poultry Science 42 : 130-139
Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Wiley and Sons Inc. New York.
Ross, H. H., C. A. Ross and R. P. Ross. 1982. A Textbook of Entomology. 4th Ed. John Willey and Sons Inc. New York.
Setijanto, H. 1998. Bahan pengajaran anatomi Veteriner II-Anatomi Unggas. Laboratorium Anatomi Bagian Anatomi Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Scott, M. L., M. C. Nesheim and R. J. Young. 1982. Nutritions of The Chicken. 3rd Ed. M. L. Scott and Assosiates. Ithaca. New York.
Shalev, B. A and H. Pasternak. 1993. Increment of egg weight with hen age in various commercial avian species. British Poultry science 34 : 915-924
Shatiti, W. 2002. Manfaat penambahan Spirulina dalam ransum ayam petelur terhadap kualitas telur. Skripsi. Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
Sirait, C. S. 1986. Telur dan Pengolahannya. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Siregar, R. T. 2003. Pengaruh perubahan waktu pemberian ransum dengan berbagai level protein terhadap performans produksi ayam ras petelur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sribimawati, T. 1984. Serangga dan Lingkungan Hidup. CV Akadama. Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 1995. Standar Pertanian Indonesia. Standar Telur Ayam Untuk Konsumsi (SNI 01-3926-1995). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Sterling, K. G., D. D. Bell, G. M. Pesti and S. E. Aggrey. 2003. Relationship among strain, performance, and environmental temperature in commercial laying hens. Journal of Applied Poultry Research 12: 85-91
Summer J.D. 1995. Reduced dietary phophorus levels for layers. Poultry Science 74: 1977-1983
Togatorop, M. H., H. Resnawati dan A. Gozali. 1977. Hasil random sampel tes dari empat strain ayam petelur final stock di Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Laporan Khusus. No. 5. LPP. Bogor.
Turner, C. W. 1948. Feeding estrogen (Dianisylhexene) to laying hens. Poultry Science 27 : 593-600
Turner, C. W. dan J. T. Bagnara. 1976. Endokrinologi Umum. Edisi ke-6. Erlangga University Press. Surabaya.
Wahju, J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.
Widyaningrum, P. 2001. Pengaruh padat penebaran dan jenis pakan terhadap produktivitas tiga spesies jangkrik lokal yang dibudidayakan. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wu, G; M. M. Bryant, R. A. Voitle, and D. A. Roland, Sr. 2005. Effect of dietary energy on performance and egg composition of bovans white hens during phase 1. Poultry Science 84: 1610-1615
Meet. South Regional Avian Environment Phisiology and Biology. Study Group. Atlanta.
Lampiran 1. Contoh perhitungan kadar protein ransum perlakuan
Diketahui : kadar protein ransum 16,72%
kadar protein tepung jangkrik 55,96%
Asumsi : Jumlah ransum yang diberikan 100 g, jika;
suplementasi tepung jangkrik (TJ) 0,25% dari bobot ransum,
maka jumlah tepung jangkrik yang ditambahkan 0,25 g.
Perhitungan;
100 g ransum x 16,72% protein kasar (PK) = 16,72 g PK
0,25 g TJ x 55,96% PK = 0,1399 g PK (+)
100,25 g ransum + TJ = 16,8599 g PK
% PK = (jumlah PK ÷ (jumlah ransum + TJ)) x 100%
= (16,8599 g PK ÷ 100,25 g) x 100%
= 16,8178 % ≈ 16,82% PK
I. suplementasi tepung jangkrik 0,50% dari bobot ransum,
maka jumlah tepung jangkrik yang ditambahkan 0,50 g.
Perhitungan :
100 g ransum x 16,72% protein kasar (PK) = 16,72 g PK
0,50 g TJ x 55,96% PK = 0,2798 g PK (+)
100,50 g ransum + TJ = 16,9998 g PK
% PK = (jumlah PK ÷ (jumlah ransum + TJ)) x 100%
= (16,9998 g PK ÷ 100,50 g) x 100%
= 16,9152 % ≈ 16,91% PK
Lampiran 2. Hasil analisis ragam produksi telur selama 10 minggu
SK Db JK KT F-hitung P
Perlakuan 4 195.9 49.0 0.80 0.550
Galat 10 609.7 61.0