• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suplementasi Tepung Jangkrik dalam Ransum Komersial terhadap Komposisi Fisik Telur Ayam Ras

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Suplementasi Tepung Jangkrik dalam Ransum Komersial terhadap Komposisi Fisik Telur Ayam Ras"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM

KOMERSIAL TERHADAP KOMPOSISI FISIK

TELUR AYAM RAS

SKRIPSI SUGENG SUGANDI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

SUGENG SUGANDI. D14102020. 2006. Suplementasi Tepung Jangkrik dalam Ransum Komersial Terhadap Komposisi Fisik Telur Ayam Ras. Skripsi. Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hj. Niken Ulupi, MS Pembimbing Anggota : Ir. Dwi Margi Suci, MS

Telur merupakan salah satu produk unggulan peternakan yang mempunyai fungsi ganda. Selain sebagai bahan pangan bagi manusia yang bergizi tinggi, telur merupakan bahan biologi yakni sebagai calon individu baru bagi unggas. Komposisi telur terdiri dari kerabang, putih telur dan kuning telur. Kandungan nutrisi ransum dapat mengubah komposisi telur. Tepung jangkrik mengandung protein yang cukup tinggi termasuk hormon estrogen sehingga berpotensi untuk bahan ransum, khususnya ransum unggas. Beberapa literatur menyebutkan bahwa peningkatan kandungan protein ransum mempengaruhi komposisi telur. Hormon estrogen pada unggas membantu metabolisme kalsium dan sintesis lemak serta albumin telur.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap komposisi fisik telur ayam ras. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2005. Sebanyak 90 ekor ayam petelur Strain ISA-brown umur 20 minggu dikelompokkan secara acak ke dalam 5 taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik yaitu 0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1% dari bobot ransum. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan terdiri dari enam ekor ayam. Pengambilan data dilakukan setiap seminggu sekali selama sepuluh minggu penelitian. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varians (ANOVA). Hasil analisis yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan Uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial tidak berpengaruh terhadap bobot telur dan komposisi fisik telur ayam (persentase kerabang telur, putih telur dan kuning telur) selama penelitian. Suplementasi tepung jangkrik sampai taraf 1% tidak banyak mengubah tingkat protein ransum yang dilaporkan berpengaruh terhadap bobot dan komposisi telur. Sementara itu kandungan protein ransum dalam taraf yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ayam petelur pada periode produksi dan relatif tidak berbeda antar taraf perlakuan, sehingga bobot dan komposisi telur relatif sama pada setiap taraf perlakuan. Kandungan kalsium ransum juga tidak banyak berubah pada setiap taraf suplementasi tepung jangkrik yang menyebabkan persentase kerabang juga tidak berbeda pada setiap taraf perlakuan. Kandungan estrogen dalam ransum dengan suplementasi tepung jangkrik sampai taraf 1% juga masih terlalu kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap komposisi telur.

(3)

ABSTRACT

Cicada Meal Supplementation on Commercial Feed to Effect on Eggs Physical Composition of Laying Hen

S. Sugandi, N. Ulupi and D. M. Suci

Egg compositions consist of egg shell, albumen and yolk. Egg compositions affected by composition of feed. Cicada meal has high protein value and vertebrate hormone such as estrogenic which is can be used as feed supplement. Some literatures report that the increasing of feed protein affects egg composition. The function of estrogenic in bird is calcium metabolism, albumin and fat synthesis. The aim of this study was to investigate the effect of supplementation cicada meal to egg composition. Nineteen ISA-brown strains (20 week of age) were used in this study. Completely randomize design was used in this experiment with 5 treatments (P1); 0% cicada flour, (P2); 0.25% cicada flour, (P3); 0.5% cicada flour, and (P5) 1% cicada flour, with three replicates were used. Variable measured included eggs weight, percentage of egg shell, albumen and yolk. Data were analyzed using ANOVA. Result in this experiment indicates that there was no significant effect the supplementation of cicada meal to eggs weight, percent eggs shell, percent albumen and percent yolk of ISA-brown layer.

(4)

SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM

KOMERSIAL TERHADAP KOMPOSISI FISIK

TELUR AYAM RAS

SUGENG SUGANDI D14102020

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM

KOMERSIAL TERHADAP KOMPOSISI FISIK

TELUR AYAM RAS

Oleh

SUGENG SUGANDI D14102020

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Agustus 2006

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. Hj. Niken Ulupi, MS. Ir. Dwi Margi Suci, MS. NIP. 131 284 604 NIP. 131 671 592

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1982 di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Mantorejo dan Ibu Wasiyem.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Cabe, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Taman Dewasa Petir. Pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan di kota kelahiran sedangkan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMU PGRI 1 Bogor.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002.

Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah aktif di Forum Aktifitas Mahasiswa Muslim Fakultas Peternakan (FAMM AL-ANAM). Penulis juga aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada Departemen Sosial Kemasyarakatan. Penulis juga pernah menjadi Asisten Dosen pada Mata Kuliah Dasar-Dasar Teknologi Hasil Ternak semester genap tahun akademik 2004/2005. Pada waktu yang bersamaan Penulis juga menjadi Asisten Dosen pada mata kuliah Reproduksi Ternak dan Inseminasi Buatan.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat, hidayah serta curahan nikmat yang tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya skripsi dengan judul Suplementasi Tepung Jangkrik dalam Ransum Komersial Terhadap Komposisi Fisik Telur Ayam Ras dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sholawat beriring salam semoga senatiasa tercurah dan terlimpah kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat dan kepada umatnya sampai akhir zaman.

Jangkrik berpotensi untuk dijadikan tepung sebagai bahan ransum bagi unggas, karena mempunyai kandungan protein yang tinggi. Baru-baru ini juga telah dideteksi adanya hormon estrogen pada tepung jangkrik. Peningkatan protein pada ransum unggas dilaporkan dapat meningkatkan bobot telur sebagai akibat penambahan putih dan kuning telur. Sementara hormon estrogen pada unggas diantaranya berfungsi merangsang pematangan sel telur, merangsang pembentukan protein dan lemak kuning telur oleh hati dan membantu metabolisme kalsium. Selama ini potensi tepung jangkrik tersebut belum dioptimalkan dengan pemanfaatan yang baik, karena penggunaannya masih terbatas pada burung dan ikan.

Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberikan informasi tentang pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap komposisi fisik telur ayam ras. Komposisi fisik yang dimaksud adalah kerabang telur, putih telur dan kuning telur yang merupakan penyusun utama sebutir telur. Masing-masing komposisi dibahas dalam bentuk persentase. Skripsi ini juga membahas tentang bobot telur. Bobot telur yang dimaksud merupakan bobot telur utuh yang diukur dari telur-telur yang diambil sebagai sampel untuk diamati komposisinya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan sehingga jauh dari kesempurnaan. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Agustus 2006

(8)

DAFTAR ISI

Organ Reproduksi Ayam Betina dan Pembentukan Telur... 4

Bobot Telur ... 5

Rancangan Percobaan ... 20

Prosedur Percobaan... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Bobot Telur ... 24

Persentase Kerabang Telur ... 26

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Proporsi Kerabang Telur, Putih Telur dan Kuning Telur dari

berbagai Sumber ... 7 2. Komposisi Zat Makanan Putih Telur, Kuning Telur

dan Telur Utuh ... 14 3. Komposisi Zat Makanan Tepung Jangkrik Spesies Anabrus simplex

(Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L.

(House Cricket)... 15 4. Komposisi Zat Makanan dalam Ransum Komersial ... 18 5. Kandungan Protein Ransum Setiap Taraf Suplementasi Tepung

Jangkrik... 19 6. Kandungan Zat Makanan Tepung Jangkrik ... 20 7. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Struktur Telur ... 8 2. Struktur Kerabang Telur ... 9 3. Grafik Rataan Bobot Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung

Jangkrik terhadap Waktu ... 26 4. Grafik Rataan Persentase Kerabang Telur Setiap Taraf

Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu ... 28 5. Grafik Rataan Persentase Putih Telur Setiap Taraf Suplementasi

Tepung Jangkrik terhadap Waktu ... 29 6. Grafik Rataan Persentase Kuning Telur Setiap Taraf

(11)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Telur merupakan salah satu produk unggulan peternakan yang mempunyai

fungsi ganda. Selain sebagai bahan pangan yang kaya zat gizi, telur juga merupakan

bahan biologi yakni sebagai calon individu baru bagi unggas. Telur ayam merupakan

bahan makanan yang bernilai gizi tinggi karena mengandung protein dengan asam

amino yang lengkap dan berimbang, lemak, vitamin dan mineral. Telur juga mudah

dicerna dan hampir seluruhnya dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Telur dibedakan

menjadi dua yaitu telur tetas dan telur konsumsi. Telur tetas tetap dapat dikonsumsi

namun telur konsumsi tidak dapat ditetaskan. Hal ini terjadi karena telur konsumsi

tidak dibuahi oleh sperma ayam jantan sehingga tidak dapat berkembang seperti telur

tetas.

Telur disusun dari tiga komponen utama yaitu kerabang telur, putih telur dan

kuning telur. Peningkatan protein dan lemak dalam ransum dilaporkan dapat

meningkatkan bobot telur dengan penambahan putih dan kuning telur.

Jangkrik cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Jangkrik memiliki

daya reproduksi yang tinggi, mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan beriklim

tropis dan mudah dipelihara. Tepung jangkrik memiliki kandungan protein yang

cukup tinggi, sehingga dapat dijadikan bahan ransum untuk ayam. Zat-zat kimia

yang serupa hormon pada vertebrata, yakni androgen, estrogen dan insulin; baru-baru

ini juga telah dideteksi pada serangga. Sementara itu, hormon estrogen pada unggas

berfungsi merangsang perkembangan sifat seks sekunder, merangsang pematangan

sel telur, merangsang pembentukan protein dan lemak kuning telur oleh hati serta

membantu metabolisme kalsium. Potensi tersebut belum dioptimalkan dengan

pemanfaatan yang baik, karena selama ini jangkrik hanya digunakan sebagai pakan

ikan dan burung. Informasi tentang penggunaan tepung jangkrik dalam ransum ayam

petelur masih jarang dan bahkan belum ada, sehingga untuk mengetahui hal itu

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Proksimat Ransum dan Tepung Jangkrik ... 38

2. Program Vaksin Hejo Farm ... 38

3. Pemberian Antibiotik Hejo Farm ... 39

4. Hasil Analisis Ragam Bobot Telur Selama Penelitian ... 39

5. Hasil Analisis Ragam Persentase Kerabang Telur Selama Penelitian ... 39

6. Hasil Analisis Ragam Persentase Putih Telur Selama Penelitian ... 39

7. Hasil Analisis Ragam Persentase Kuning Telur Selama Penelitian ... 39

8. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Bobot Telur per Minggu... 40

9. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Persentase Kerabang Telur per Minggu ... 40

10.Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Persentase Putih Telur per Minggu ... 41

11.Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Persentase Kuning Telur per Minggu ... 41

12. Rataan Hasil Pengamatan Produksi Telur, Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum dalam Penelitian Suplementasi Tepung Jangkrik dalam Ransum Komersial ... 42

(13)

Tujuan

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung

jangkrik dalam ransum komersial terhadap komposisi fisik telur ayam ras. Komposisi

fisik telur ayam ras meliputi persentase kerabang telur, persentase putih telur dan

persentase kuning telur termasuk bobot telur.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penggunaan

tepung jangkrik dalam ransum komersial ayam petelur dan untuk meningkatkan

(14)

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur

Ayam yang sekarang dipelihara termasuk dalam spesies Gallus domesticus.

Tiga tipe ayam yang dikategorikan sebagai tipe ringan yang berasal dari bangsa

White Leghorn, tipe medium dari bangsa Rhode Island Reds dan Barred Plymouth

Rock serta tipe berat dari bangsa New Hampshire, White Plymouth Rock dan Cornish

(Amrullah, 2004).

Ayam ras petelur medium mulai bertelur kira-kira pada umur 22 minggu

dengan lama produksi sekitar 15 bulan. Puncak produksi telur dicapai pada saat ayam

berumur sekitar 28–30 minggu. Periode produksi ayam petelur dibagi menjadi dua

periode, yaitu fase I dari umur 22–42 minggu dengan rataan produksi telur 78% dan

bobot telur 56 gram, fase II umur 42–72 minggu dengan rataan produksi telur 72%

dan bobot telur 60 gram (Scott et al., 1982). Ayam ras petelur yang unggul

menghasilkan telur 250 butir per tahun dengan bobot telur rata-rata 57,9 gram dan

rata-rata produksi telur hen-day 70% (Mc Donald et al., 2002).

Menurut Scott et al. (1982), untuk mencapai produksi telur yang maksimum,

ayam petelur harus mengkonsumsi 17 gram protein dalam ransum per ekor per hari

untuk konsumsi ransum 100 gram per ekor per hari. Kandungan protein 14% di

dalam ransum dinilai kurang cukup untuk mempertahankan produksi telur yang

tinggi, bobot telur serta efisiensi penggunaan ransum. Produksi telur ayam ras petelur

dihasilkan pada kisaran suhu 18,3–23,9 oC (North dan Bell, 1990).

ISA-brown merupakan bangsa galur murni hasil seleksi lebih dari 36 tahun

oleh tim genetik Hubbard ISA yang mempunyai kerabang telur coklat. ISA-brown

dapat beradaptasi dalam berbagai kondisi pemeliharaan, seperti dalam cage, floor,

atau sistem range. ISA-brown komersial mempunyai daya hidup 98% sampai umur

18 minggu dan 93% sampai masa produksi 76 minggu. Umur mulai berproduksi

pada strain ini adalah 18 minggu, mencapai 50% produksi hen day pada umur 20

minggu dan mencapai puncak umur 25 minggu. Puncak produksi mencapai 95% hen

day. Rata-rata bobot telur mencapai 62,7 gram sampai umur 76 minggu (Hubbard

ISA, 2006).

Hasil penelitian Bean dan Leeson (2003) menunjukkan bahwa konsumsi

(15)

103,3-117,1 g/ekor/hari. Menurut North dan Bell (1990), konsumsi ransum ayam

petelur tipe medium berkisar antara 105-116 g/ekor/hari. Konsumsi ransum harian

dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu kandungan energi metabolis, kandungan

protein ransum dan temperatur lingkungan.

Organ Reproduksi Ayam Betina dan Pembentukan Telur

Menurut Campbell et al. (2003), organ reproduksi ayam betina yang normal

adalah ovari dan oviduk sebelah kiri. Ovari dan oviduk sebelah kanan pada awal

kehidupan ayam ada, tetapi secara lambat menyusut. Turner dan Bagnara (1976)

menyatakan bahwa oviduk unggas berukuran cukup besar yang membentang dari

ovari sampai kloaka dengan daerah-daerah utama infundibulum, magnum, isthmus,

uterus dan vagina.

Perkembangan telur dimulai dengan pembentukan sel dan kuning telur pada

ovari ayam betina. Ayam memiliki jumlah yang besar sekitar 3.000 atau lebih folikel

dan mirip setangkai buah anggur (Campbell et al., 2003).

Pembentukan kuning telur pada ovari terjadi selama 7-10 hari. Kuning telur

kemudian dilepaskan dari ovari dan ditangkap oleh infundibulum. Telur di dalam

infundibulum tinggal selama 15 menit (Campbell et al., 2003). Di dalam

infundibulum telur memperoleh kalaza, yakni tali seperti per yang merentang

melintasi albumen dari kuning telur ke kutub telur (Turner dan Bagnara, 1976).

Infundibulum merupakan tempat fertilisasi ovum. Kuning telur kemudian menuju

magnum dan tinggal selama tiga jam. Magnum merupakan bagian terpanjang oviduk

yang mensekresikan putih telur kental yang merupakan 50% dari total albumen dan

sejumlah protein albumen. Daerah berikutnya adalah isthmus. Di dalam isthmus telur

tinggal kira-kira 1,25 jam dan memperoleh membran kerabang. Telur ditahan paling

lama di dalam uterus (kelenjar kerabang telur) kira-kira selama 20 jam. Di dalam

uterus disekresikan putih telur encer sebelah luar, CaCO3 untuk pembentukan

kerabang dan pigmentasi kerabang. Setelah kerabang terbentuk, telur memasuki

vagina dan tinggal di dalamnya kira-kira 15 menit (Campbell et al., 2003). Di dalam

vagina telur mendapatkan selubung tipis mukus yang berguna untuk menutup pori

sehingga mencegah evaporasi air yang cepat dan untuk melindungi telur dari infeksi

(16)

dari ovulasi sampai oviposisi sekitar 25-26 jam, sedangkan dari oviposisi ke ovulasi

dibutuhkan waktu sekitar 30 menit (Campbell et al., 2003).

Bobot Telur

Bobot telur setiap bangsa ayam berbeda. Ayam Leghorn mempunyai bobot

rataan 58,10 gram dan Rhode Island Red 59,30 gram, sedangkan bangsa Plymouth

Rock mempunyai rataan bobot telur 63,90 gram (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Secara normal telur ayam mempunyai bobot antara 40-80 gram (Campbell et al.,

2003). Menurut Sirait (1986) bahwa bobot telur ayam ras yang baik umumnya

berkisar antara 58,0 gram per butir, sedangkan pada ayam kampung bobot telur

biasanya lebih kecil dari 58,0 gram per butir. Bean dan Leeson (2003) melaporkan

bahwa bobot telur ISA-brown selama 10 periode penelitian berkisar antara 55,3 gram

pada periode pertama sampai 65,9 gram pada periode ke-10 (umur 60 minggu).

Menurut North dan Bell (1990) faktor-faktor yang mempengaruhi bobot telur

adalah strain, umur pertama bertelur, temperatur lingkungan, ukuran pullet pada

suatu kelompok. Ukuran ovum, intensitas bertelur dan zat makanan dalam ransum

juga mempengaruhi ukuran telur (Campbell et al., 2003). Ukuran telur merupakan

faktor genetik. Hal ini berhubungan dengan kemampuan ayam untuk menghasilkan

telur besar, medium atau kecil (North dan Bell, 1990). Faktor genetik berhubungan

dengan kemampuan ayam dalam menghasilkan kuning telur. Kuning telur yang

besar, menghasilkan telur yang besar sedangkan kuning telur yang kecil akan

menghasilkan telur yang kecil pula (Amrullah, 2004). Albumen relatif rendah

dideposisikan pada kuning telur yang kecil (pada pullet), sehingga telur menjadi

lebih kecil dibandingkan pada ayam dewasa yang secara normal mempunyai kuning

telur yang besar (Campbell et al., 2003).

Umur dewasa kelamin juga mempengaruhi bobot telur. Ayam dara (pullet)

yang ketika bertelur pertama telurnya besar maka akan besar selama periode

produksi telur (North dan Bell, 1990). Ayam yang masak dini melanjutkan bertelur

dengan telur yang kecil, seluruhnya pada tahun pertama dan beberapa waktu pada

tahun berikutnya. Sementara petelur yang masak lambat bertelur relatif lebih besar

saat mulai dan berikutnya (Romanoff dan Romanoff, 1963). Silversides dan Scott

(2001) melaporkan bahwa dengan peningkatan umur, ukuran telur akan meningkat

(17)

meningkat dan jumlah kerabang juga meningkat sampai umur 45 minggu, tetapi

dalam persentase, kerabang dan albumen menurun dengan umur yang meningkat.

Intensitas bertelur juga mempengaruhi bobot telur. Telur yang kecil sangat

mungkin dihasilkan selama periode peneluran untuk produksi telur yang tinggi.

Selama tahun pertama bertelur, bobot dan produksi telur meningkat secara simultan.

Pada tahun ke-2 dan berikutnya bertelur, telur yang besar dicapai pada musim dingin

saat produksi telur minimum (Romanoff dan Romanoff, 1963). Telur mempunyai

ukuran yang besar pada intensitas bertelur yang rendah (Campbell et al., 2003).

Temperatur lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ukuran telur menurun

sebagai hasil penurunan konsumsi zat makanan pada sekelompok ayam terutama

energi dan protein. Pertumbuhan pullet selama cuaca panas, bobot badan saat

mencapai umur 20 minggu 20% lebih rendah dibandingkan pada cuaca dingin,

sehingga memproduksi telur dengan bobot yang ringan saat mulai bertelur dan secara

umum tidak akan mencapai bobot optimal selama produksi dan melanjutkan bertelur

lebih kecil dari normal (North dan Bell, 1990).

Ukuran ayam dalam satu kelompok yang besar akan menghasilkan telur

dengan rataan yang besar. Ayam dalam satu kelompok cenderung bobotnya selalu

saragam, sehingga akan menghasilkan telur yang seragam pula (North dan Bell,

1990). Bobot telur mempunyai korelasi yang tinggi terhadap bobot badan. Bobot

badan yang besar akan menghasilkan telur yang besar pula (North dan Bell, 1990;

Campbell et al., 2003).

Defisiensi zat makanan dalam ransum akan mengurangi bobot telur. Salah

satunya defisiensi vitamin D yang mengurangi bobot telur. Vitamin D berhubungan

dengan metabolisme kalsium, sehingga penting dalam pembentukan kerabang

(Campbell et al., 2003). Peningkatan kandungan protein ransum dari 17-21% atau

dengan penambahan lemak 4% dapat meningkatkan bobot telur ayam (Nakajima dan

Keshaverz, 1995). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), bahwa pengaruh

penurunan protein ransum dari 21% ke 12% akan mengurangi bobot telur dari 53,8

gram menjadi 52,9 gram.

Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa waktu telur dikeluarkan

(18)

pagi lebih besar 2,5% dibandingkan dengan telur yang dikeluarkan lebih dari pukul

2.00 siang.

Komposisi Telur Ayam

Sebutir telur terdiri atas tiga komponen utama yaitu kuning telur, putih telur

(albumen) dan kerabang dengan membran (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Menurut Campbell et al. (2003), pada prinsipnya telur terdiri atas lima bagian yaitu

kerabang, membran kerabang, albumen, kuning telur dan germinal disc. Menurut

Romanoff dan Romanoff (1963), persentase kuning telur, putih telur dan kerabang

tidak selalu sama tetapi telur-telur dari suatu spesies yang sama umumnya

mempunyai proporsi dan komposisi yang sama. Proporsi kerabang telur, putih telur

dan kuning telur dari bebagai sumber disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Proporsi Kerabang Telur, Putih Telur dan Kuning Telur dari berbagai Sumber.

Kerabang Telur Putih Telur Kuning Telur Sumber

--- % ---

Faktor yang mempengaruhi komposisi telur menurut Romanoff dan

Romanoff (1963) meliputi bobot telur, perbedaan bangsa, umur ayam, perubahan

musim sepanjang tahun, siklus bertelur dan zat makanan dalam ransum. Bobot telur

yang besar umumnya mengandung komponen yang relatif besar dan relatif sedikit

kuning telur dan lebih banyak albumen dibandingkan dengan telur yang kecil.

Sementara bobot kerabang relatif sama pada berbagai ukuran telur (Romanoff dan

Romanoff, 1963).

Bangsa ayam yang berbeda juga menyebabkan perbedaan komposisi telur.

Ayam Plymouth Rock, misalnya mempunyai persentase kerabang yang kecil

(19)

Rhode Island Reds mempunyai proporsi yang kecil (Romanoff dan Romanoff,

1963).

Komponen telur ayam pullet berubah besarnya tergantung kedewasaan ayam.

Selama bulan pertama ayam mulai bertelur dengan jumlah relatif kuning telur

berangsur-angsur meningkat, sementara kerabang menurun agak cepat dan albumen

relatif tetap. Setelah tahun pertama berakhir, proporsi komposisi telur mencapai level

tertentu dan konstan (Romanoff dan Romanoff, 1963). Struktur telur secara lengkap

dapat dilihat seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Telur (Robert, 2004).

Selama musim dingin proporsi kuning telur kecil, sementara albumen

meningkat. Pada awal musim kawin waktu kuning telur tumbuh besar pada

bobotnya, albumen tetap konstan dan kemudian mengalami penurunan proporsi.

Untuk semua komponen telur, kerabang menunjukkan penurunan jumlah yang besar

pada musim panas. Peningkatan suhu lingkungan dari 19oC ke 39oC menyebabkan

penurunan bobot kerabang dari 5,6 gram menjadi 4,2 gram dan persentasenya dari

8,8% menjadi 7,1%. Beberapa faktor ransum mempengaruhi proporsi komposisi

telur, seperti proporsi kerabang berkurang ketika kalsium berkurang dalam ransum.

Akibat konsumsi ransum yang berkurang pada musim panas menyebabkan bobot

kerabang menurun sebagai akibat konsumsi kalsium yang berkurang. Jumlah

kerabang juga berkurang oleh terbatasnya vitamin D yang dibutuhkan untuk

(20)

Kerabang Telur

Kerabang tersusun atas beberapa bagian yaitu matriks organik, atau rangka

yang terdiri atas tenunan serat protein dan masa berbentuk bola serta substansi

didalamnya tersusun dari campuran garam inorganik yaitu kristal kalsium karbionat

dengan proporsi 1:50 (Stadelman dan Cotterill, 1995). Matriks organik merupakan

ikatan protein dengan kolagen; dengan mineral utama karbonat, fosfat, kalsium dan

magnesium. Substansi akhir adalah kalsium karbonat dengan jumlah yang sangat

berlimpah (Romanoff dan Romanoff, 1963). Struktur kerabang telur secara jelas

disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Kerabang Telur (Robert, 2004)

Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), pada kerabang telur ditemukan dua

lapisan utama yaitu lapisan dalam atau lapisan mammillary dan lapisan luar atau

lapisan sponge (lapisan polisade). Lapisan mammilary mengandung sebagian kecil

porsi kerabang dan tersimpan pada kerabang yang sangat tipis. Lapisan ini menempel

pada permukaan luar membran kerabang. Komposisi lapisan mammillary adalah

sejumlah kepala kerucut yang kasar atau mammilae, tampak oval atau lingkaran pada

penampang melintang kerabang. Ketebalan lapisan mammillary pada telur ayam

hanya 0,11 mm. Lapisan sponge mengandung sebagian besar dari kerabang, sangat

padat, tetapi seluruhnya dilewati sejumlah lubang mikroskopis dengan lebar jarak

yang tidak teratur. Lapisan ini terdeposisi lapisan mammillary yang mudah pecah,

yang memberi bentuk telur dan memberikan kekakuan dan kekuatan pada kerabang.

Permukaan kerabang dibungkus oleh kutikula, lapisan buih protein

(21)

luar telur yang masih baru. Kutikula kemudian mengering dan cenderung menutup

pori-pori kerabang dan berfungsi mengurangi kehilangan air, gas dan bakteri masuk

(Campbell et al., 2003). Ketebalan kutikula pada telur ayam sekitar 0,005-0,010 mm

(Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995),

komposisi kutikula terdiri atas 90% protein, glisin yang tinggi, asam glutamat, lisin,

sistin dan tirosin. Heksamin, galaktosa, manosa, fruktosa, glukosa dan asam sialat

yang merupakan unsur pokok polisakarida.

Membran kerabang terdiri atas dua lapisan. Lapisan dalam disebut membrana

putaminis, yang mengelilingi albumen dan bersentuhan dengan cairan putih telur

encer sebelah luar pada semua bagian, namun pada poros telur beberapa serat musin

putih telur kental menempel pada membran dalam bentuk ligamenta albuminis.

Membran kerabang sebelah luar disebut membrana testae, yang terletak diantara

membran dalam dan kerabang. Membran pada telur ayam 0,36 gram setara dengan

6% pada telur dengan bobot 58 gram. Ketebalan membran untuk ayam Leghorn

adalah 0,065 mm. Ketebalan membran berkurang dengan ukuran telur yang

berkurang (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Kerabang telur sebagian besar terdiri atas kalsium yakni kurang lebih 98,2%

karbonat, sejumlah kecil fosfat dan magnesium 0,9% dan fosfor (asam fosfat) 0,9%

(Stadelman dan Cotterill, 1995). Bobot kerabang adalah 9%-11% dari bobot telur.

Komposisi penyusun kerabang telur adalah 94% kalsium karbonat, 1% kalsium

fosfat, 1% magnesium karbonat dan 4% bahan organik lain (Panda, 1995).

Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), ditemukan hubungan korelasi positif

antara tebal kerabang dengan persentase bobot kerabang. Peningkatan tebal kerabang

akan meningkatkan persentase bobot kerabang dan sebaliknya dengan koefisien

korelasi sebesar 0,78. Tebal kerabang telur ayam Cochin China dan Bantam

masing-masing 0,36 dan 0,26 mm. Hasil penelitian melaporkan dari 95 ekor ayam White

Leghorn diperoleh tiga ekor menghasilkan telur dengan tebal kerabang 0,26 mm, dua

ekor 0,38 mm dan 31 ekor 0,32 mm. Rataan tebal kerabang yang didapatkan sebesar

0,31 mm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Bean dan Leeson (2003) melaporkan

bahwa bobot kerabang berkisar antara 6,7-7,0 gram. Ketebalan kerabang antara

(22)

Tebal kerabang telur dipengaruhi oleh faktor genetik dan masing-masing

bangsa ayam adalah berbeda-beda. Ketebalan kerabang telur setiap individu ayam

merupakan manifestasi metabolisme kalsium. Ayam betina relatif efisien dalam

membentuk dan mensekresikan kalsium dan mineral lain yang diperlukan pada

pembentukan kerabang berada di bawah kontrol hereditas (Romanoff dan Romanoff,

1963).

Kerabang telur pada musim dingin besar dengan ketebalan yang sangat

seragam dan tipis selama musim panas. Hal ini dipengaruhi oleh konsumsi ransum,

pada suhu 32,5 oC konsumsi ransum lebih rendah 27% dibanding dengan pada suhu

20 oC. Kemungkinan juga karena kemampuan aliran darah membawa Ca pada suhu

yang tinggi berkurang (Romanoff dan Romanoff, 1963). Ketebalan kerabang juga

dipengaruhi oleh zat makanan pada ransum, khususnya Ca, P, vitamin D dan Mg.

Vitamin D berfungsi penting untuk metabolisme Ca dan P (Romanoff dan Romanoff,

1963; Etches, 1996; North dan Bell, 1990).

Putih Telur

Kuning telur ditutupi dan dikelilingi oleh penutup eksternal telur yang

merupakan materi yang jernih kekuningan dengan jumlah 60% dari total bobot telur

yang disebut albumen (albus yang artinya putih) atau putih telur. Disebut putih telur

karena tampilan setelah terjadi koagulasi. Warna kekuningan disebabkan oleh

pigmen ovoflavin. Jumlah albumen, 40% merupakan cairan kental yang terdiri atas

gelatinous dan bahan semi padat (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Menurut Campbell et al. (2003), albumen bersifat elastis, penahan

goncangan, penyekat dan mempunyai kandungan air yang tinggi. Kandungan air

putih telur sebesar 88% (Montney, 1976). Albumen terdiri dari empat lapisan yaitu

putih telur encer sebelah luar (outer thin white), putih telur kental (thick white), putih

telur encer sebelah dalam (inner thin white) dan putih telur kental di sekeliling

kuning telur atau lapisan chalaziferous (Campbell et al., 2003). Menurut Romanoff

dan Romanoff (1963) persentase albumen telur ayam sebesar 55,80% dari bobot

telur.

Putih telur encer sebelah luar mengelilingi putih telur kental kecuali pada

(23)

23,20% dari total albumen. Cairan kentalnya mengandung serat musin seperti pada

lapisan putih telur encer sebelah dalam (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Putih telur kental sering disebut albuminous sac, yang mengelilingi lapisan

putih telur encer sebelah dalam. Lapisan ini mempunyai proporsi 57,30% dari total

albumen. Banyak serat musin semi padat ditemukan pada lapisan ini yang berfungsi

sebagai bantalan untuk melindungi kuning telur dan cukup sebagai tambatan khalaza

yang menempel padanya. Lapisan putih telur kental sampai ke membran kerabang

sebelah dalam ditemukan ligamentum albuminis, yang pertama kali digambarkan

oleh Trendern pada tahun 1808. Dua ligamentum terbentuk oleh sejumlah musin

(Romanoff dan Romanoff, 1963).

Kuning telur dan lapisan chalaziferous yang tetap berada di tengah telur oleh

khalaza; mengapung pada cairan, pada putih telur kental. Cairan ini disebut putih

telur encer sebelah dalam. Lapisan ini mempunyai proporsi 16,80% dari total

albumen (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Khalaza mempunyai struktur seperti tali spiral yang keruh dari kuning telur

sampai albumen, terletak di sekitar poros telur. Khalaza ada dua macam yaitu

cloakal, yang letaknya ke arah ujung telur yang lancip yang tersusun dari dua untaian

besar yang saling membelit searah jarum jam. Khalaza infundibular, terletak di

bagian tumpul telur yang terdiri atas satu untaian serat yang membelit searah jarum

jam. Rataan ukuran khalaza cloakal 2,54 cm dan 10,20 cm khalaza infundibular.

Fungsi utama kalaza adalah mempertahankan stabilitas posisi kuning telur agar tetap

berada di tengah atau pusat geometrik telur (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Serat khalaza diteruskan oleh pilinan tipis di sekeliling permukaan kuning

telur yang terdiri atas bahan kapsul fibrosa. Kapsul fibrosa dan pembungkus putih

telur kental disebut lapisan khalaziferous atau membrana chalazifera yang

mempunyai proporsi 2,7% dari total albumen (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Persentase bobot putih telur menurut Panda (1995) adalah 58-60%. Hal ini

tidak berbeda dengan yang dinyatakan oleh Stadelman dan Cotterill (1995), bahwa

putih telur mencapai kisaran antara 63,40%. Albumen terdiri atas 87-89% air dan

11-13% bahan kering. Menurut Mountney (1976), albumen mengandung 88% air atau

12% bahan kering. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa protein merupakan

(24)

meningkat 0,09% pada setiap gram peningkatan bobot telur (Stadelman dan Cotterill,

1995). Albumen telur mengandung 12% protein yang terdiri atas ovalbumin 54%,

ovotransferrin 13%, ovomucoid 11%, α dan β ovomusin 1,5-3,0% dan lysozim 3,5%

(Roberts, 2004). Karbohidrat dalam albumen berbentuk bebas dan berkombinasi

dengan protein. Karbohidrat bebas biasanya dalam bentuk glukosa yang terdiri atas

0,4% protein dan 0,5% dalam bentuk glikoprotein yang mengandung manosa dan

galaktosa (Stadelman dan Cotterill, 1995).

Proporsi putih telur encer sebelah luar secara umum berkisar antara 10-60%,

putih telur kental antara 30-80% dan putih telur encer sebelah dalam 1-40%. Setiap

strain ayam mempunyai proporsi yang berbeda. Setiap individu ayam juga

mempunyai proporsi yang berbeda (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Temperatur lingkungan juga berpengaruh terhadap jumlah albumen.

Temperatur yang panas menyebabkan jumlah albumen berkurang dengan segera

setelah telur dikeluarkan (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Kuning Telur

Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), kuning telur merupakan bagian

yang sangat penting pada telur. Kuning telur merupakan tempat blastoderm, yakni

tempat embrio akan tumbuh dan juga mengandung masa nutrisi sebagai makanan

perkembangan embrio.

Kuning telur mempunyai inti yang seperti bola dengan diameter enam mm

yang disebut lutebra. Lutebra terdiri dari 0,6% dari total seluruh kuning telur. Kuning

telur terdiri atas enam lapisan, yaitu lapisan berwarna putih dan lapisan berwarna

kuning. Lapisan kuning, kuning telur dalam bentuk speroid menutupi lutebra. Setelah

lapisan kuning adalah lapisan putih yang sangat tipis. Seluruh masa ke arah luar

lutebra selanjutnya disusun demikian secara bergantian antara lapisan putih dan

lapisan kuning. Lapisan dalam kuning telur ditembus dan dilewati oleh lajur lutebra

dan di lapisan luar terdapat inti pander dan blastodisc. Lapisan putih, kuning telur

sangat tipis dengan ketebalan 0,25-0,4 mm namun ketebalannya tidak sama untuk

setiap lapisan. Lapisan putih kuning telur hanya lutebra, lajur lutebra dan inti pander

yang terdiri atas 3-4% dari komposisi bahan kuning telur. Stratifikasi kuning telur

tidak terlihat pada kuning telur ketika kandungan pigmen dan lemak tidak cukup

(25)

kuning pada kuning telur terdapat globula dengan diameter 0,025-0,15 mm. Lapisan

putih pada kuning telur, mengandung sperula kecil dengan diameter antara

0,004-0,075 mm (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Kuning telur yang baru dikeluarkan; dibungkus oleh kantong yang lentur dan

tipis yang disebut membrana vitellina atau membran kuning telur. Ketebalan

membran ini adalah 0,024 mm. Membran vitelin terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan

luar (outer), tengah (midle) dan dalam (inner). Lapisan tengah mengandung keratin,

sedangkan yang lainnya berupa musin. Laporan lain menyebutkan bahwa dengan

teknik yang berbeda, membran vitelin terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan tipis

kolagen dengan lapisan musin yang tebal dengan total ketebalan 0,048 mm

(Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), membran

vitelin disusun atas dua lapisan utama yaitu lapisan dalam yang dibentuk di ovari dan

lapisan luar yang dideposisikan pada oviduk. Komposisi zat makanan dalam putih

telur, kuning telur dan telur utuh dicantumkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Putih Telur, Kuning Telur dan Telur Utuh

Komponen Telur Protein Lemak Karbohidrat Abu

--- % ---

Putih Telur 9,7-10,6 0,03 0,4-0,6 0,5-0,6

Kuning Telur 15,7-16,6 31,8-35,5 0,2-1,0 1,1

Telur Utuh 12,8-13,4 10,5-11,8 0,3-1,0 0,8-1,0

Sumber : Stadelman dan Cotterill (1995)

Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), kuning telur mempunyai rataan

persentase 27,50% dari bobot telur utuh. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963),

persentase kuning telur tidak selalu sama tetapi untuk spesies yang sama umumnya

sama. Hal ini disebabkan oleh pengaruh berbagai faktor seperti bobot telur,

perbedaan bangsa, umur ayam dan perbedaan cuaca. Menurut North dan Bell (1990),

kuning telur disusun atas protein dan lemak (lipid). Komposisi lemak dalam kuning

telur terdiri atas 65% trigliserida, 18,30% phospholipid dan 5,20% kolesterol

(Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), komponen

terbesar kuning telur adalah lemak. Komposisi lemak kuning telur meliputi 65,5%

(26)

Pada umumnya konsumen lebih menyukai telur dengan warna kuning

berkisar antara kuning emas sampai jingga tua. Dinyatakan pula bahwa kandungan

karotenoid kuning telur tergantung pada karotenoid ransum yang dikonsumsi ayam

(Anggorodi, 1995).

Jangkrik

Taksonomi jangkrik dimasukan ke dalam kingdom Animalia, filum

Arthropoda, subfilum Mandibulata, kelas Insecta, subkelas Pterygota, ordo

Orthoptera, subordo Saltatoria, famili Gryllidae, subfamili Gryllinae, genus Gryllus.

Beberapa spesies jangkrik diantaranya adalah Gryllus mitratus (jangkrik kliring), G.

testeceus (jangkrik cendawang) dan G. bimakulatus (jangkrik kalung) (Borror et

al.,1992)

Menurut Bodenheimer (1951), jangkrik termasuk salah satu jenis serangga

yang biasa dikonsumsi oleh sebagian masyarakat di beberapa negara seperti India,

Filipina, Thailand dan Indonesia. Jangkrik mempunyai potensi untuk menjadi salah

satu pakan ikan, binatang kesayangan bahkan sebagai bahan pangan untuk manusia.

Potensi tersebut karena daya reproduksi yang tinggi dan mudah dipemelihara dan

mengandung kadar protein yang tinggi (Linsemaier, 1972). Kandungan zat makanan

tepung jangkrik spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus

L. (House Cricket) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Zat Makanan Tepung Jangkrik Spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket)

Anabrus simplex (Mormon Cricket)

Jangkrik Dewasa

(27)

Jangkrik dapat diolah menjadi tepung seperti halnya udang, namun harga

tepung jangkrik relatif lebih murah jika dibandingkan dengan tepung udang. Hal ini

menyebabkan permintaan tepung jangkrik meningkat sehingga pabrik pakan tertarik

untuk menggunakan bahan baku jangkrik untuk produksinya (Sukarno, 1999).

Menurut De Foliart et al. (1982), bahwa pemakaian tepung jangkrik dalam ransum

ayam broiler sebagai pengganti bungkil kedelai dengan penambahan asam-asam

amino memberikan hasil yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan ayam broiler

dibandingkan dengan penggunaan ransum dengan tanpa suplemen asam amino.

Beberapa organ pada seekor serangga dikenal menghasilkan hormon dengan fungsi

utama mengontrol proses reproduksi, pergantian kulit dan metamorfosis. Zat kimia

yang serupa hormon-hormon vertebrata seperti androgen, estrogen dan insulin

baru-baru ini telah dideteksi pada serangga (Borror et al., 1992).

Hormon Estrogen

Estrogen adalah hormon tipe steroid yang dihasilkan oleh ovari (Ensminger,

1992). Seluruh estrogen mengandung atom 18 karbon. Estrogen yang biasa dikenal

adalah estradiol, estron dan estriol. Estrogen ditemukan pada berbagai jaringan

hewan seperti testis, adrenal dan plasenta serta dalam jumlah kecil ditemukan juga

dalam spermatozoa. Estrogen dapat merangsang pertumbuhan dan deferensiasi

saluran reproduksi betina serta struktur-struktur yang terkait yang menimbulkan

berbagai macam pengaruh sistemik (Turner dan Bagnara, 1976).

Menurut McDonald dan Pineda (1985) estrogen merangsang perkembangan

dan perubahan siklus saluran genital tubular pada hewan betina, perkembangan

kelenjar mammae dan uterus, karakteristik seks sekunder dan meningkatkan

metabolisme kalsium dan lemak pada burung atau unggas. Penyuntikan estrogen

pada dosis rendah dapat merangsang ovulasi pada sapi, domba, kelinci dan tikus.

Hormon estrogen pada unggas berfungsi untuk merangsang perkembangan

sifat seks sekunder, mempengaruhi pertumbuhan dan deposisi lemak, berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel dan penting untuk sintesis albumin

telur (Ensminger, 1992). Estrogen berfungsi menginduksi deferensiasi sel yang

mensintesis protein putih telur, seperti ovalbumin dan lisozim. Tulang meduler

burung-burung yang bertelur mengalami rentetan deposisi dan destruksi yang

(28)

bagaimana estrogen bereaksi menggiatkan deposisi kalsium pada tulang dan

pengambilannya dari tulang, namun ini merupakan bukti bahwa estrogen berfungsi

dalam membantu metabolisme kalsium (Turner dan Bagnara, 1976). Menurut Etches

(1996) hormon estrogen membantu membentuk 1,25 dihidroxicholecalsiferol (1,25

(OH)2D3) yang berfungsi untuk merangsang pelepasan Ca2+ dari tulang dan

meningkatkan absorbsi Ca2+ dari usus.

Menurut North dan Bell (1990), level estrogen yang tinggi pada plasma darah

merangsang perkembangan tulang meduler, menstimulasi protein kuning telur dan

formulasi lipid oleh hati, penambahan ukuran oviduk, memungkinkan untuk produksi

protein albumin, kerabang, kalsium karbonat untuk kerabang dan cuticle.

Metode pemberian estrogen dilakukan melalui penyuntikan, implantasi

kapsul, secara oral dalam bentuk kapsul atau dicampur dengan pakan (Lien dan Cain,

1987). Dianisylhexene (estrogen sintesis) yang dicampur pakan menyebabkan

produksi telur berhenti pada Single Comb White Leghorn dara dan Rhode Island Red

dari 0,25-1 g/kg ransum (Turner, 1948). Hasil penelitian Lien dan Cain (1987)

menyatakan bahwa dosis estriol sampai taraf 10 µg/ekor/hari tidak berpengaruh

terhadap produksi telur pada puyuh Bobwhite. Sementara pada dosis 100

µg/ekor/hari menyebabkan produksi telur menurun. Adams et al. (1950) melaporkan

pakan dengan konsentrasi 0,04 dan 0,02% estrogen sintetis menurunkan produksi

(29)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak

Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan sejak tanggal 12 Agustus 2005 sampai

dengan 24 Oktober 2005.

Materi Ternak

Penelitian menggunakan 90 ekor ayam betina ras petelur coklat komersial

tipe medium strain ISA-brown umur 20 minggu yang telah memasuki periode

bertelur. Ayam pullet yang digunakan diperoleh dari Hejo Farm Cicurug, Sukabumi.

Bobot badan awal berkisar antara 1.400-2.150 gram dengan rataan 1.790±143,2

gram, sedangkan rataan produksi awal 26,94 % hen day.

Ransum

Ransum yang digunakan adalah ransum komersial standar untuk ayam petelur

bentuk mash (105M) yang diproduksi oleh PT. Gold Coin Indonesia, Bekasi.

Komposisi ransum yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Zat Makanan Dalam Ransum Komersial

Hasil Analisis

(30)

Hasil perhitungan kandungan protein ransum dengan suplementasi tepung

jangkrik disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Protein Ransum Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik.

Kandang yang digunakan berupa kandang baterai (cage). Ukuran cage 40x45

cm (1800 cm2) kapasitas dua ekor pullet. Cage disusun bertingkat (double deck)

dalam ruangan kandang. Jumlah cage seluruhnya yang digunakan dalam penelitian

ini adalah 45 buah, yang terdiri dari 15 ulangan perlakuan dan setiap ulangan terdiri

atas tiga cage dengan kapasitas enam ekor ayam.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah tempat ransum dan tempat

air minum, timbangan ransum, timbangan telur, kertas tisu dan ember. Tempat

ransum dan tempat air minum yang digunakan dalam penelitian adalah tempat

ransum dan tempat minum memanjang (bentuk trough) yang terbuat dari bahan

bambu. Selain harganya relatif murah juga efektif untuk mencegah ransum tercecer

dan kekurangan air minum.

Timbangan yang digunakan untuk menimbang ransum adalah timbangan

dengan merek Berkell dengan kapasitas dua kg. Timbangan yang digunakan untuk

menimbang telur adalah Dial-0-Gram dengan merek O-Haus. Alat ini mempunyai

kapasitas 100 g dengan skala terkecil 0,01 g.

Alat tulis, gunting dan label yang digunakan untuk identifikasi level

perlakuan. Label ditempelkan pada kandang (cage) sesuai dengan perlakuan.

(31)

dan ulangan. Koleksi telur dilakukan dengan menggunakan alat berupa ember plastik

atau keranjang telur.

Tepung Jangkrik

Tepung jangkrik yang ditambahkan sebagai perlakuan penelitian adalah

berupa serbuk halus berwarna coklat kehitaman yang diproduksi oleh Asosiasi

Peternak Jangkrik (ASTRIK) Indonesia, Yogyakarta. Kandungan zat makanan

tepung jangkrik disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan Zat Makanan Tepung Jangkrik.

Zat Makanan Hasil Analisis (%)

Bahan Kering 86,00%

Protein Kasar 55,96%

Lemak Kasar 12,45%

Bahan Ekstrak Tanpa

Nitrogen (Beta-N) 5,26%

Serat Kasar 7,94%

Abu 4,39%

Sumber :Hasil Uji Lab. Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (2005)

Kandungan estrogen pada tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm yang

diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik jantan dan betina pada umur diatas 35 hari

(Prayitno, 2000).

Rancangan Percobaan Rancangan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan perlakuan suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial.

Suplementasi tepung jangkrik dalam ransum dibagi ke dalam lima taraf perlakuan

yaitu 0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1% tepung jangkrik dari jumlah bobot ransum komersial

yang diberikan pada ayam. Setiap perlakuan di ulang sebanyak tiga kali dan setiap

ulangan terdiri dari enam ekor ayam.

(32)

Model

Model yang digunakan dalam rancangan ini menurut Mattjik dan

Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut:

Yij =

μ

+

τi

+

εij

Keterangan:

Yij : nilai pengamatan yang akan dianalisis

μ : nilai rataan umum

τi : pengaruh perlakuan penggunaan tepung jangkrik ke-i εij : galat perlakuan

i : banyaknya taraf perlakuan tepung jangkrik = 1, 2, 3, 4, 5

j : banyaknya ulangan = 1, 2, 3

Peubah 1. Bobot telur

Perhitungan bobot telur per periode atau dalam jangka waktu tertentu (satu

minggu) didasarkan pada penimbangan bobot telur pada setiap kelompok

perlakuan yang dilakukan seminggu sekali, satuannya dalam gram per butir.

2. Persentase kerabang telur

Persentase bobot kerabang telur dihitung dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

Bobot kerabang telur (g) Persentase kerabang telur =

Bobot telur utuh (g) X 100%

Bobot kerabang diukur dengan cara menimbang kerabang telur yang

sebelumnya telah dibersihkan lapisan membran telurnya menggunakan alkohol

70%. Timbangan yang digunakan adalah Dial-0-Gram dengan merek O-Haus

dengan ketelitian 0,1 gram.

3. Persentase putih telur

Langkah awal untuk menghitung persentase bobot putih telur adalah

mengukur bobot putih telur. Bobot putih telur merupakan hasil pengurangan

(33)

Persentase bobot putih telur dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

Langkah awal untuk mengetahui persentase bobot kuning telur adalah

dengan menghitung bobot kuning telur dan bobot telur. Persentase bobot kuning

telur dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Bobot kuning telur (g) Persentase kuning telur =

Bobot telur utuh (g) X 100%

Analisis Data

Data hasil pengamatan dianalisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui

pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap peubah

yang diamati. Hasil analisis yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan

(Mattjik dan Sumertajaya, 2002).

Prosedur Percobaan

Sembilan puluh ekor ayam pullet dibagi ke dalam 15 grup untuk diberikan 5

taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik. Taraf tersebut masing-masing 0; 0,25;

0,50; 0,75 dan 1% tepung jangkrik dari total ransum yang diberikan pada ayam.

Berdasarkan data hasil analisis prosimat maka ransum dengan 0% tepung jangkrik

mengandung protein kasar 16,72%. Ransum diberikan dua kali sehari pagi dan sore

dan air minum diberikan adlibitum. Ayam dari kelima taraf perlakuan mendapat

pencahayaan selama 12 jam per hari (12 jam terang dan 12 jam gelap) yaitu antara

pukul 06.00-18.00 WIB (12 jam) dengan cahaya matahari. Kontrol penyakit

dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang, peralatan dan lingkungan disekitar

kandang. Usaha yang dilakukan antara lain disinfeksi dengan desinfektan pada

persiapan kandang, penggantian sekam, pembersihan tempat minum secara insidental

dan pembersihan tempat ransum seminggu sekali. Penimbangan bobot badan ayam

dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Pengumpulan telur dilakukan setiap hari

pada pukul 16.00 WIB. Penimbangan sisa ransum dilakukan seminggu sekali untuk

(34)

Pengamatan komposisi telur dilakukan seminggu sekali. Telur yang diamati,

diambil secara acak pada setiap ulangan sebanyak tiga butir dari enam ekor ayam.

Telur-telur tersebut kemudian dibawa ke laboratorium untuk diukur bobot dan

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan dari hasil analisis ragam terhadap bobot telur, persentase kerabang

telur, persentase putih telur dan persentase kuning telur selama penelitian disajikan

pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Peubah yang Diamati Selama Penelitian

Suplementasi Tepung Jangkrik (%) Peubah

0 0,25 0,50 0,75 1

Bobot Telur (g) 57,36±1,54 57,25±3,23 55,48±2,67 54,68±0,60 55,97±0,42

PKT (%) 10,47±0,09 10,35±0,22 10,41± 0,38 10,56±0,18 10,63±0,34

PKuT (%) 22,33±0,28 21,84±0,40 22,04±0,84 22,88±0,35 22,35±0,59

PPT (%) 67,50±0,93 67,58±0,60 66,81±1,06 66,27±0,44 66,84±0,55

Keterangan:

PKT = Persentase kerabang telur PKuT = Persentase kuning telur PPT = Persentase putih telur

Bobot Telur

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf suplementasi tepung jangkrik

dalam ransum tidak berpengaruh terhadap rataan bobot telur selama 10 minggu

penelitian. Hal ini karena penambahan tepung jangkrik sampai pada taraf 1% dalam

ransum tidak banyak mengubah tingkat protein maupun zat makanan lain dalam

ransum perlakuan yang berpotensi mempengaruhi bobot telur. Berdasarkan hasil

perhitungan kandungan protein ransum dengan taraf suplementasi tepung jangkrik

dalam ransum sebesar 0-1% menyebabkan kenaikan protein ransum dari 16,72%

menjadi 17,12%. Hal ini didukung Zou dan Wu (2005), bahwa peningkatan protein

ransum dari 15% sampai 17% dan suplementasi lemak tidak berpengaruh terhadap

bobot telur ayam Hy-Line W-36. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian

lain yang melaporkan bahwa peningkatan protein dan lemak dalam ransum dapat

meningkatkan bobot telur. Hal ini dapat diterima karena pada penelitian lain, kisaran

kandungan protein lebih besar sehingga berpengaruh terhadap bobot telur. Menurut

Nakajima dan Keshavarz (1995) bahwa peningkatan kandungan protein ransum dari

17% sampai 21% atau dengan penambahan lemak 4% dapat meningkatkan bobot

telur ayam. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa peningkatan kandungan protein

(36)

coturnic japonica) dan mencapai bobot optimal pada tingkat protein 22-24% (Ri et

al.,2005).

Rataan konsumsi ransum untuk setiap taraf suplementasi tepung jangkrik

dengan taraf 0-1% pada penelitian ini berkisar antara 103,39±5,98-109,15±1,05

gram/ekor/hari yang tidak bebeda antar taraf perlakuan (Saefulah, belum

dipublikasikan). Hal ini menunjukkan bahwa zat makanan dalam ransum yang

dimanfaatkan oleh ayam pada masing-masing taraf suplementasi tepung jangkrik

dalam ransum relatif sama. Menurut North dan Bell (1990), bahwa temperatur

lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ukuran telur menurun sebagai akibat

konsumsi zat makanan terutama energi dan protein yang menurun. Lingkungan

pemeliharaan yang sama pada penelitian ini dipastikan mempunyai temperatur yang

sama, sehingga menyebabkan konsumsi ransum yang sama. Hasil penelitian Zou dan

Wu (2005) melaporkan bahwa perbedaan kandungan protein ransum antara 15-17%

dan suplementasi lemak dengan konsumsi yang tidak berbeda tidak memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap bobot telur ayam strain Hy-line W-36.

Suplementasi tepung jangkrik dalam ransum juga tidak berpengaruh terhadap

produksi telur hen day ayam ras petelur pada penelitian ini. Rataan produksi telur

hen day ayam dengan taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum dari 0-1%

berkisar antara 77,88-87,26% (Saefulah, belum dipublikasikan). Hal ini juga diduga

juga menyebabkan bobot telur yang tidak berbeda. Menurut Romanoff dan Romanoff

(1963), bahwa intensitas bertelur juga mempengaruhi bobot telur. Telur yang kecil

sangat mungkin dihasilkan selama periode peneluran untuk produksi telur yang

tinggi.

Bobot telur merupakan akumulasi dari bobot kerabang, putih telur dan kuning

telur (Stadelman dan Cotteril, 1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa taraf

suplementasi tepung jangkrik dalam ransum tidak berpengaruh terhadap persentase

kerabang telur, putih telur dan kuning telur telur selama penelitian, sehingga dengan

demikian tidak berpengaruh terhadap bobot telur. Umur yang semakin meningkat,

ukuran telur meningkat sebagai akibat bobot kuning telur yang meningkat. Bobot

albumen juga meningkat dan jumlah kerabang juga meningkat sampai umur 45

(37)

Rataan bobot telur pada penelitian ini berkisar antara 54,68-57,36 gram.

Rataan tersebut hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Bean dan Leeson (2003)

bahwa bobot telur ISA-brown selama 10 periode penelitian berkisar antara 55,30

gram pada periode pertama (umur 18 minggu) sampai 65,9 gram pada periode ke-10

(umur 60 minggu).

Gambar 3. Grafik Rataan Bobot Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu

Rataan bobot telur dari minggu ke minggu pada setiap taraf suplementasi

tepung jangkrik dalam ransum cenderung menunjukkan peningkatan. Hal ini jelas

terlihat pada Gambar 3, yang ditunjukkan dengan pola grafik bobot telur yang

cenderung meningkat dari minggu ke minggu pada setiap taraf suplementasi tepung

jangkrik dalam ransum. Menurut North dan Bell (1990) telur pada awal periode

produksi relatif lebih kecil. Silversides dan Scott (2001), melaporkan bahwa dengan

umur yang semakin meningkat, ukuran telur meningkat sebagai akibat bobot kuning

telur yang meningkat. Bobot albumen juga meningkat dan jumlah kerabang juga

meningkat sampai umur 45 minggu.

Persentase Kerabang Telur

(38)

minggu penelitian. Hal ini diduga dengan penambahan tepung jangkrik dalam

ransum tidak banyak mempengaruhi kandungan kalsium ransum. Ransum komersial

mengandung kalsium 4,4%. Susunan utama dari kerabang telur adalah kalsium

karbonat sebesar 94% (Panda, 1995), sehingga kalsium yang berperan penting dalam

pembentukan kerabang.

Pembentukan kerabang telur merupakan mekanisme yang kompleks. Peran

hormon estrogen juga sangat penting. Menurut Etches (1996) bahwa hormon

estrogen membantu membentuk 1,25 dihidroxicholecalsiferol (1,25 (OH)2D3) yang

berfungsi untuk merangsang pelepasan Ca2+ dari tulang dan meningkatkan absorbsi

Ca2+ dari usus. Tidak adanya pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum

komersial terhadap persentase kerabang telur diduga karena kadar estrogen dalam

ransum perlakuan yang kecil dan tidak banyak berbeda antar taraf suplementasi

dalam ransum. Kandungan estrogen untuk setiap taraf perlakuan suplementasi tepung

jangkrik 0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1% berturut-turut setara dengan 0; 648,837x10-6;

129,767x10-5; 194,651x10-5 dan 259,535x10-5 g/kg ransum. Taraf suplementasi

tepung jangkrik dalam ransum komersial tidak berpengaruh terhadap konsumsi

ransum. Konsumsi ransum yang juga tidak berbeda dimungkinkan menyebabkan

jumlah konsumsi estrogen pada ayam juga tidak berbeda. Dianisylhexilene (estrogen

sintesis) yang dicampur ransum menyebabkan produksi telur berhenti pada Single

Comb White Leghorn dara dan Rhode Island Red dari 0,25-1 g/kg pakan (Turner,

1948).

Rataan persentase kerabang telur selama penelitian berkisar antara

10,35±0,22-10,63±0,34%. Rataan ini hampir sama dengan hasil penelitian Mube et

al. (2003) melaporkan bahwa persentase bobot kerabang telur untuk strain

ISA-brown adalah 9,40-10,30%.

Grafik pada Gambar 4 menunjukkan pola yang relatif konstan dari minggu

ke minggu pada setiap taraf perlakuan, sedangkan bobot telur mempunyai

kecendrungan meningkat yang ditunjukkan pada Gambar 3. Hal ini sesuai dengan

North dan Bell (1990), bahwa jumlah kerabang relatif sama pada berbagai ukuran

telur. Oleh sebab itu, bobot telur yang sama pada penelitian ini mengakibatkan

(39)

8.00

Gambar 4. Grafik Rataan Persentase Kerabang Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu

Persentase Putih Telur

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf suplementasi tepung jangkrik

tidak berpengaruh tehadap persentase putih telur selama 10 minggu penelitian. Hal

ini diduga karena protein ransum yang tidak banyak meningkat dengan peningkatan

suplementasi tepung jangkrik sampai taraf 1%. Kandungan protein ransum yang

relatif sama ditambah dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda pula, sehingga

protein yang dimanfaatkan oleh ayam untuk membentuk putih telur pun diduga

sama. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995) bahwa putih telur 9,7-10,6% disusun

oleh protein dan 0,03% lemak.

Menurut Marion (1966) bahwa persentase bobot putih akan menurun dengan

meningkatnya bobot kuning. Dengan demikian tidak adanya perbedaan yang nyata

pada rataan persentase kuning telur menyebabkan rataan persentase putih telur juga

relatif sama. Menurut Suk dan Park (2001) bahwa tingginya persentase putih telur

karena menurunnya persentase kuning telur.

Rataan persentase bobot putih telur selama 10 minggu penelitian berkisar

antara 64,33-68,70%. Hal ini didukung oleh penelitian Suk dan Park (2001) yang

melaporkan bahwa rataan persentase bobot putih telur untuk ayam strain ISA-brown

pada awal produksi sebesar 65,27%. Stadelman dan Cotetteril (1995) melaporkan

(40)

60.00

Gambar 5. Grafik Rataan Persentase Putih Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu

Grafik pada Gambar 5 menunjukkan pola rataan persentase bobot putih telur

yang cenderung menurun dengan semakin bertambahnya umur ayam (minggu) untuk

setiap taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik dalam ransum. Hal ini sesuai

dengan yang dilaporkan Izat et al. (1986) bahwa persentase bobot putih telur akan

menurun dengan bertambahnya umur dan pada akhir satu tahun produksi bobot putih

relatif konstan. Albumen relatif rendah dideposisikan pada kuning telur yang kecil

(pada pullet), sehingga telur menjadi lebih kecil dibandingkan pada ayam dewasa

yang secara normal mempunyai kuning telur yang besar (Campbell et al., 2003).

Persentase Kuning Telur

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh

terhadap rataan persentase kuning telur selama 10 minggu penelitian. Hal ini diduga

karena protein, lemak dan zat makanan lain dalam ransum yang tidak banyak

meningkat dengan peningkatan suplementasi tepung jangkrik dalam ransum sampai

taraf 1%. Kandungan protein, lemak dan zat makanan lain dalam ransum yang relatif

sama ditambah dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda pula, sehingga protein,

lemak dan zat makanan lain yang dikonsumsi oleh ayam pun diduga sama. Menurut

Stadelman dan Cotterill (1995) bahwa kuning telur disusun oleh 15,7-16,6% protein

dan 31,8-35,5% lemak. Hal ini didukung oleh penelitian Zau dan Wu (2005) yang

(41)

suplementasi lemak tidak berpengaruh terhadap bobot telur. Berbeda dengan yang

dilaporkan Antoni (2003), bahwa taraf protein berpengaruh sangat nyata (P<0,01)

terhadap bobot kuning. Peningkatan taraf protein dari 12% sampai 18% dapat

meningkatkan bobot kuning. Walaupun demikian hal ini masih dapat diterima karena

kandungan protein yang dilaporkan dapat meningkatkan bobot kuning telur pada

kisaran yang lebih besar. Sementara hasil penelitian Ri et al. (2005) melaporkan

bahwa peningkatan protein dalam ransum dari 16-26% tidak berpengaruh terhadap

persentase kuning telur burung puyuh. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa pada

tingkat protein yang cukup, persentase kuning telur akan relatif sama untuk telur

ayam pada strain yang sama. Ketika protein dalam ransum kurang maka persentase

kuning telur cenderung lebih kecil dibanding pada tingkat protein yang cukup.

Kandungan protein 14% di dalam ransum dinilai kurang cukup untuk

mempertahankan produksi telur yang tinggi, bobot telur serta efisiensi penggunaan

ransum (Scott et al., 1982).

Bobot telur lebih berhubungan dengan bobot kuning telur. Kuning telur yang

besar, menghasilkan telur yang besar sedangkan kuning telur yang kecil akan

menghasilkan telur yang kecil pula (Amrullah, 2004). Bobot telur yang tidak berbeda

pada penelitian ini, menyebabkan proporsi komposisi telur pun tidak berbeda pula.

Sementara hasil penelitian lain melaporkan bahwa proporsi komposisi telur akan

berubah pada saat umur ayam bertambah dengan ukuran telur yang meningkat, yang

diikuti oleh ukuran kuning telur yang meningkat. Peningkatan ukuran kuning telur

ketika umur ayam bertambah menyebabkan persentase kerabang dan albumen

menurun (Silversides dan Scott, 2001).

Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya ukuran kuning telur. Ukuran

kuning telur sangat dipengaruhi oleh perkembangan ovarium yang menghasilkan

ovum. Selain itu bobot badan ayam, umur saat mancapai dewasa kelamin, kualitas

dan kuantitas pakan, penyakit dan keadaan lingkungan antara lain sistem

perkandangan, temperatur maupun kelembaban berpengaruh terhadap bobot kuning

telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Strain ayam yang sama dimungkinkan

mempunyai kemampuan fisiologis yang sama dalam pembentukan kuning telur.

Umur, kualitas dan konsumsi ransum yang tidak berbeda, kesehatan serta lingkungan

(42)

pada penelitian ini. Hormon estrogen cukup berperan dalam pembentukan kuning

telur. Beberapa komponen dalam kuning telur hanya diproduksi dibawah stimulasi

hormon estrogen. Pengaruh yang tidak nyata pada penelitian ini diduga karena

jumlah hormon terlalu kecil pada suplementasi tepung jangkrik sampai taraf 1% dan

cenderung tidak berbeda antar taraf perlakuan. Berdasarkan hasil perhitungan

kandungan dalam setiap taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik 0; 0,25; 0,50;

0,75 dan 1% berturut-turut adalah 0; 648,837x10-7; 129,767x10-6; 194,651x10-6; dan

259,535x10-6%. Adams et al. (1950) melaporkan bahwa ransum dengan konsentrasi

0,04 dan 0,02% estrogen sintesis menurunkan produksi telur pada Single Comb

White Leghorn dara.

Rataan persentase bobot kuning telur selama penelitian berkisar antara

20,73-24,72%. Rataan ini sesuai dengan penelitian Oktafanedi (2005) yang melaporkan

kisaran persentase kuning telur berkisar antara 21,57-23,27%. Namun demikian

kisaran tersebut lebih rendah menurut Etches (1996) yang menyatakan bahwa telur

ayam terdiri dari 32-35% kuning telur. Rataan persentase bobot kuning telur yang

rendah karena ayam pada awal periode produksi. Amrullah (2004) melaporkan

bahwa telur-telur yang dihasilkan pada awal periode produksi memiliki kisaran

persentase bobot kuning telur antara 22-25% dari bobot total sebutir telur yang

kemudian menjadi 30-35% pada ayam yang meningkat produksinya.

18.00

(43)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi tepung

jangkrik dalam ransum komersial sampai taraf 1% tidak berpengaruh terhadap bobot

telur dan komposisi fisik telur ayam ras yang meliputi persentase kerabang telur,

persentase putih telur dan persentase kuning telur.

Saran

Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh suplementasi

tepung jangkrik dalam ransum terhadap komposisi fisik telur ayam ras, namun

ransum yang digunakan sebaiknya mempunyai kandungan protein yang terbatas atau

lebih rendah dari kebutuhan ayam petelur periode produksi dan taraf tepung jangkrik

(44)

Grafik rataan persentase kuning telur setiap taraf suplementasi tepung

jangkrik terhadap waktu pada Gambar 6 menunjukkan pola persentase bobot kuning

telur yang cenderung meningkat pada setiap taraf suplementasi tepung jangkrik

dalam ransum selama 10 minggu penelitian, yakni berbanding terbalik dengan

persentase bobot putih telur. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Silversides dan

Scott (2001), bahwa albumen dan kerabang meningkat dalam jumlah dengan umur

yang bertambah, tetapi dalam persentase menurun dengan persentase kuning telur

Gambar

Tabel 1. Proporsi Kerabang Telur, Putih Telur dan Kuning Telur dari       berbagai Sumber
Gambar 1. Struktur Telur (Robert, 2004).
Gambar 2. Struktur Kerabang Telur (Robert, 2004)
Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Putih Telur, Kuning Telur dan Telur Utuh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan pemanfaatan pemberian tepung cangkang telur ayam ras terhadap berat telur burung puyuh maka dilakukan Uji Jarak Duncan (UJD) yang

Persentase Karkas, - Potongan Komersial serta Kandungan Kolesterol Karkas Ayam Broiler yang Diberi Tepung Daun Salam (Sy~ygiurn poiymthrun Wighf) dalam

Sitorus : Pemanfaatan Pemberian Tepung Cangkang Telur Ayam Ras Dalam Ransum Terhadap Performans Burung Puyuh (Cortunix-Cortunix Japonica) Umur 0– 42 Hari, 2009.. USU Repository

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh waktu pemberian ransum dan kandungan protein dalam ransun terhadap parameter berat telur, tebal

Pengaruh Pemberian Tepung Kaki Ayam Broiler sebagai Subtitusi Tepung Ikan di Dalam Ransum terhadap Produksi dan Warna Kuning Telur Ayam Arab ( Gallus turcicus )

Berdasarkan informasi tersebut, telah dilakukan penelitian tentang Substitusi Ransum Komersial dengan Tepung Maggot BSF (Hermetia illucens) Terhadap Kualitas

Pemberian ransum komersial tersubtitusi 10%-30% tepung kulit biji kedelai (TKBK) pada ayam kampung sampai umur 7 minggu dapat meningkatkan performans karkas meliputi

2019 yaitu penambahan 6% tepung daun kelor dalam pakan ayam petelur umur 32 minggu memiliki tebal kerabang yang lebih tinggi sebesar 0,49 mm, sedangkan pada analisis bobot kerabang