• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rataan dari hasil analisis ragam terhadap bobot telur, persentase kerabang telur, persentase putih telur dan persentase kuning telur selama penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Hasil Analisis Ragam Pengaruh Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Peubah yang Diamati Selama Penelitian

Suplementasi Tepung Jangkrik (%) Peubah 0 0,25 0,50 0,75 1 Bobot Telur (g) 57,36±1,54 57,25±3,23 55,48±2,67 54,68±0,60 55,97±0,42 PKT (%) 10,47±0,09 10,35±0,22 10,41± 0,38 10,56±0,18 10,63±0,34 PKuT (%) 22,33±0,28 21,84±0,40 22,04±0,84 22,88±0,35 22,35±0,59 PPT (%) 67,50±0,93 67,58±0,60 66,81±1,06 66,27±0,44 66,84±0,55 Keterangan:

PKT = Persentase kerabang telur PKuT = Persentase kuning telur PPT = Persentase putih telur

Bobot Telur

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum tidak berpengaruh terhadap rataan bobot telur selama 10 minggu penelitian. Hal ini karena penambahan tepung jangkrik sampai pada taraf 1% dalam ransum tidak banyak mengubah tingkat protein maupun zat makanan lain dalam ransum perlakuan yang berpotensi mempengaruhi bobot telur. Berdasarkan hasil perhitungan kandungan protein ransum dengan taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum sebesar 0-1% menyebabkan kenaikan protein ransum dari 16,72% menjadi 17,12%. Hal ini didukung Zou dan Wu (2005), bahwa peningkatan protein ransum dari 15% sampai 17% dan suplementasi lemak tidak berpengaruh terhadap bobot telur ayam Hy-Line W-36. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian lain yang melaporkan bahwa peningkatan protein dan lemak dalam ransum dapat meningkatkan bobot telur. Hal ini dapat diterima karena pada penelitian lain, kisaran kandungan protein lebih besar sehingga berpengaruh terhadap bobot telur. Menurut Nakajima dan Keshavarz (1995) bahwa peningkatan kandungan protein ransum dari 17% sampai 21% atau dengan penambahan lemak 4% dapat meningkatkan bobot telur ayam. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa peningkatan kandungan protein ransum dari 16-26% cenderung meningkatkan bobot telur Puyuh Jepang (Coturnix

coturnic japonica) dan mencapai bobot optimal pada tingkat protein 22-24% (Ri et al.,2005).

Rataan konsumsi ransum untuk setiap taraf suplementasi tepung jangkrik dengan taraf 0-1% pada penelitian ini berkisar antara 103,39±5,98-109,15±1,05 gram/ekor/hari yang tidak bebeda antar taraf perlakuan (Saefulah, belum dipublikasikan). Hal ini menunjukkan bahwa zat makanan dalam ransum yang dimanfaatkan oleh ayam pada masing-masing taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum relatif sama. Menurut North dan Bell (1990), bahwa temperatur lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ukuran telur menurun sebagai akibat konsumsi zat makanan terutama energi dan protein yang menurun. Lingkungan pemeliharaan yang sama pada penelitian ini dipastikan mempunyai temperatur yang sama, sehingga menyebabkan konsumsi ransum yang sama. Hasil penelitian Zou dan Wu (2005) melaporkan bahwa perbedaan kandungan protein ransum antara 15-17% dan suplementasi lemak dengan konsumsi yang tidak berbeda tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bobot telur ayam strain Hy-line W-36.

Suplementasi tepung jangkrik dalam ransum juga tidak berpengaruh terhadap produksi telur hen day ayam ras petelur pada penelitian ini. Rataan produksi telur

hen day ayam dengan taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum dari 0-1% berkisar antara 77,88-87,26% (Saefulah, belum dipublikasikan). Hal ini juga diduga juga menyebabkan bobot telur yang tidak berbeda. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), bahwa intensitas bertelur juga mempengaruhi bobot telur. Telur yang kecil sangat mungkin dihasilkan selama periode peneluran untuk produksi telur yang tinggi.

Bobot telur merupakan akumulasi dari bobot kerabang, putih telur dan kuning telur (Stadelman dan Cotteril, 1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum tidak berpengaruh terhadap persentase kerabang telur, putih telur dan kuning telur telur selama penelitian, sehingga dengan demikian tidak berpengaruh terhadap bobot telur. Umur yang semakin meningkat, ukuran telur meningkat sebagai akibat bobot kuning telur yang meningkat. Bobot albumen juga meningkat dan jumlah kerabang juga meningkat sampai umur 45 minggu (Silversides dan Scott, 2001).

Rataan bobot telur pada penelitian ini berkisar antara 54,68-57,36 gram. Rataan tersebut hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Bean dan Leeson (2003) bahwa bobot telur ISA-brown selama 10 periode penelitian berkisar antara 55,30 gram pada periode pertama (umur 18 minggu) sampai 65,9 gram pada periode ke-10 (umur 60 minggu). 40.00 45.00 50.00 55.00 60.00 65.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Minggu B o b o t T e lu r (g ra m ) 0% 0,25% 0,50% 0,75% 1%

Gambar 3. Grafik Rataan Bobot Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu

Rataan bobot telur dari minggu ke minggu pada setiap taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum cenderung menunjukkan peningkatan. Hal ini jelas terlihat pada Gambar 3, yang ditunjukkan dengan pola grafik bobot telur yang cenderung meningkat dari minggu ke minggu pada setiap taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum. Menurut North dan Bell (1990) telur pada awal periode produksi relatif lebih kecil. Silversides dan Scott (2001), melaporkan bahwa dengan umur yang semakin meningkat, ukuran telur meningkat sebagai akibat bobot kuning telur yang meningkat. Bobot albumen juga meningkat dan jumlah kerabang juga meningkat sampai umur 45 minggu.

Persentase Kerabang Telur

minggu penelitian. Hal ini diduga dengan penambahan tepung jangkrik dalam ransum tidak banyak mempengaruhi kandungan kalsium ransum. Ransum komersial mengandung kalsium 4,4%. Susunan utama dari kerabang telur adalah kalsium karbonat sebesar 94% (Panda, 1995), sehingga kalsium yang berperan penting dalam pembentukan kerabang.

Pembentukan kerabang telur merupakan mekanisme yang kompleks. Peran hormon estrogen juga sangat penting. Menurut Etches (1996) bahwa hormon estrogen membantu membentuk 1,25 dihidroxicholecalsiferol (1,25 (OH)2D3) yang

berfungsi untuk merangsang pelepasan Ca2+ dari tulang dan meningkatkan absorbsi Ca2+ dari usus. Tidak adanya pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap persentase kerabang telur diduga karena kadar estrogen dalam ransum perlakuan yang kecil dan tidak banyak berbeda antar taraf suplementasi dalam ransum. Kandungan estrogen untuk setiap taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik 0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1% berturut-turut setara dengan 0; 648,837x10-6; 129,767x10-5; 194,651x10-5 dan 259,535x10-5 g/kg ransum. Taraf suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Konsumsi ransum yang juga tidak berbeda dimungkinkan menyebabkan jumlah konsumsi estrogen pada ayam juga tidak berbeda. Dianisylhexilene (estrogen sintesis) yang dicampur ransum menyebabkan produksi telur berhenti pada Single Comb White Leghorn dara dan Rhode Island Red dari 0,25-1 g/kg pakan (Turner, 1948).

Rataan persentase kerabang telur selama penelitian berkisar antara 10,35±0,22-10,63±0,34%. Rataan ini hampir sama dengan hasil penelitian Mube et al. (2003) melaporkan bahwa persentase bobot kerabang telur untuk strain ISA- brown adalah 9,40-10,30%.

Grafik pada Gambar 4 menunjukkan pola yang relatif konstan dari minggu ke minggu pada setiap taraf perlakuan, sedangkan bobot telur mempunyai kecendrungan meningkat yang ditunjukkan pada Gambar 3. Hal ini sesuai dengan North dan Bell (1990), bahwa jumlah kerabang relatif sama pada berbagai ukuran telur. Oleh sebab itu, bobot telur yang sama pada penelitian ini mengakibatkan persentase kerabang yang sama pula.

8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 10.50 11.00 11.50 12.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Minggu P e rs en ta s e K e rab ang (% ) 0% 0,25% 0,50% 0,75% 1%

Gambar 4. Grafik Rataan Persentase Kerabang Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu

Persentase Putih Telur

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf suplementasi tepung jangkrik tidak berpengaruh tehadap persentase putih telur selama 10 minggu penelitian. Hal ini diduga karena protein ransum yang tidak banyak meningkat dengan peningkatan suplementasi tepung jangkrik sampai taraf 1%. Kandungan protein ransum yang relatif sama ditambah dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda pula, sehingga protein yang dimanfaatkan oleh ayam untuk membentuk putih telur pun diduga sama. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995) bahwa putih telur 9,7-10,6% disusun oleh protein dan 0,03% lemak.

Menurut Marion (1966) bahwa persentase bobot putih akan menurun dengan meningkatnya bobot kuning. Dengan demikian tidak adanya perbedaan yang nyata pada rataan persentase kuning telur menyebabkan rataan persentase putih telur juga relatif sama. Menurut Suk dan Park (2001) bahwa tingginya persentase putih telur karena menurunnya persentase kuning telur.

Rataan persentase bobot putih telur selama 10 minggu penelitian berkisar antara 64,33-68,70%. Hal ini didukung oleh penelitian Suk dan Park (2001) yang melaporkan bahwa rataan persentase bobot putih telur untuk ayam strain ISA-brown

pada awal produksi sebesar 65,27%. Stadelman dan Cotetteril (1995) melaporkan bahwa rata-rata persentase bobot putih telur adalah sebesar 63,40%

60.00 62.00 64.00 66.00 68.00 70.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Minggu P er s ent as e A lb um en ( % ) 0% 0,25% 0,50% 0,75% 1%

Gambar 5. Grafik Rataan Persentase Putih Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu

Grafik pada Gambar 5 menunjukkan pola rataan persentase bobot putih telur yang cenderung menurun dengan semakin bertambahnya umur ayam (minggu) untuk setiap taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik dalam ransum. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Izat et al. (1986) bahwa persentase bobot putih telur akan menurun dengan bertambahnya umur dan pada akhir satu tahun produksi bobot putih relatif konstan. Albumen relatif rendah dideposisikan pada kuning telur yang kecil (pada pullet), sehingga telur menjadi lebih kecil dibandingkan pada ayam dewasa yang secara normal mempunyai kuning telur yang besar (Campbell et al., 2003).

Persentase Kuning Telur

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap rataan persentase kuning telur selama 10 minggu penelitian. Hal ini diduga karena protein, lemak dan zat makanan lain dalam ransum yang tidak banyak meningkat dengan peningkatan suplementasi tepung jangkrik dalam ransum sampai taraf 1%. Kandungan protein, lemak dan zat makanan lain dalam ransum yang relatif sama ditambah dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda pula, sehingga protein, lemak dan zat makanan lain yang dikonsumsi oleh ayam pun diduga sama. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995) bahwa kuning telur disusun oleh 15,7-16,6% protein dan 31,8-35,5% lemak. Hal ini didukung oleh penelitian Zau dan Wu (2005) yang melaporkan bahwa peningkatan protein ransum dari 15% sampai 17% dengan

suplementasi lemak tidak berpengaruh terhadap bobot telur. Berbeda dengan yang dilaporkan Antoni (2003), bahwa taraf protein berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot kuning. Peningkatan taraf protein dari 12% sampai 18% dapat meningkatkan bobot kuning. Walaupun demikian hal ini masih dapat diterima karena kandungan protein yang dilaporkan dapat meningkatkan bobot kuning telur pada kisaran yang lebih besar. Sementara hasil penelitian Ri et al. (2005) melaporkan bahwa peningkatan protein dalam ransum dari 16-26% tidak berpengaruh terhadap persentase kuning telur burung puyuh. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa pada tingkat protein yang cukup, persentase kuning telur akan relatif sama untuk telur ayam pada strain yang sama. Ketika protein dalam ransum kurang maka persentase kuning telur cenderung lebih kecil dibanding pada tingkat protein yang cukup. Kandungan protein 14% di dalam ransum dinilai kurang cukup untuk mempertahankan produksi telur yang tinggi, bobot telur serta efisiensi penggunaan ransum (Scott et al., 1982).

Bobot telur lebih berhubungan dengan bobot kuning telur. Kuning telur yang besar, menghasilkan telur yang besar sedangkan kuning telur yang kecil akan menghasilkan telur yang kecil pula (Amrullah, 2004). Bobot telur yang tidak berbeda pada penelitian ini, menyebabkan proporsi komposisi telur pun tidak berbeda pula. Sementara hasil penelitian lain melaporkan bahwa proporsi komposisi telur akan berubah pada saat umur ayam bertambah dengan ukuran telur yang meningkat, yang diikuti oleh ukuran kuning telur yang meningkat. Peningkatan ukuran kuning telur ketika umur ayam bertambah menyebabkan persentase kerabang dan albumen menurun (Silversides dan Scott, 2001).

Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya ukuran kuning telur. Ukuran kuning telur sangat dipengaruhi oleh perkembangan ovarium yang menghasilkan ovum. Selain itu bobot badan ayam, umur saat mancapai dewasa kelamin, kualitas dan kuantitas pakan, penyakit dan keadaan lingkungan antara lain sistem perkandangan, temperatur maupun kelembaban berpengaruh terhadap bobot kuning telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Strain ayam yang sama dimungkinkan mempunyai kemampuan fisiologis yang sama dalam pembentukan kuning telur. Umur, kualitas dan konsumsi ransum yang tidak berbeda, kesehatan serta lingkungan pemeliharaan yang sama diduga menyebabkan ukuran kuning telur tidak berbeda

pada penelitian ini. Hormon estrogen cukup berperan dalam pembentukan kuning telur. Beberapa komponen dalam kuning telur hanya diproduksi dibawah stimulasi hormon estrogen. Pengaruh yang tidak nyata pada penelitian ini diduga karena jumlah hormon terlalu kecil pada suplementasi tepung jangkrik sampai taraf 1% dan cenderung tidak berbeda antar taraf perlakuan. Berdasarkan hasil perhitungan kandungan dalam setiap taraf perlakuan suplementasi tepung jangkrik 0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1% berturut-turut adalah 0; 648,837x10-7; 129,767x10-6; 194,651x10-6; dan 259,535x10-6%. Adams et al. (1950) melaporkan bahwa ransum dengan konsentrasi 0,04 dan 0,02% estrogen sintesis menurunkan produksi telur pada Single Comb White Leghorn dara.

Rataan persentase bobot kuning telur selama penelitian berkisar antara 20,73- 24,72%. Rataan ini sesuai dengan penelitian Oktafanedi (2005) yang melaporkan kisaran persentase kuning telur berkisar antara 21,57-23,27%. Namun demikian kisaran tersebut lebih rendah menurut Etches (1996) yang menyatakan bahwa telur ayam terdiri dari 32-35% kuning telur. Rataan persentase bobot kuning telur yang rendah karena ayam pada awal periode produksi. Amrullah (2004) melaporkan bahwa telur-telur yang dihasilkan pada awal periode produksi memiliki kisaran persentase bobot kuning telur antara 22-25% dari bobot total sebutir telur yang kemudian menjadi 30-35% pada ayam yang meningkat produksinya.

18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 24.00 25.00 26.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 minggu P er s en tas e K uni n g ( % ) 0% 0,25% 0,50% 0,75% 1%

Gambar 6. Grafik Rataan Persentase Kuning Telur Setiap Taraf Suplementasi Tepung Jangkrik terhadap Waktu

Dokumen terkait