• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Selenium dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Selenium dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN E DAN MINERAL

SELENIUM DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA

AYAM PETELUR UMUR 46-51 MINGGU

RIFQI WALUYO DJATI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Mineral Selenium Dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Rifqi Waluyo Djati

(4)

ABSTRAK

RIFQI WALUYO DJATI. Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Mineral Selenium dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu Dibimbing oleh SUMIATI dan RITA MUTIA.

Indonesia sebagai negara beriklim tropis dengan temperatur lingkungan dan kelembaban udara relatif tinggi menyebabkan cekaman panas pada ayam petelur sehingga menurunkan performa. Suplementasi sumber antioksidan dalam ransum dapat mengurangi dampak negatif cekaman panas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh suplementasi vitamin E, dan selenium dalam ransum terhadap performa ayam petelur strainISA-Brown umur 46-51 minggu. Penelitian ini menggunakan 96 ekor ayam petelur umur 46 minggu. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 6 ekor ayam. Ransum perlakuan yaitu P1 ransum kontrol (tanpa suplementasi), P2 (Ransum kontrol + suplementasi selenium 0.8 ppm), P3 (Ransum kontrol + suplementasi vitamin E 300 ppm), dan P4 (Ransum kontrol + suplementasi kombinasi selenium 0.8 ppm + vitamin E 300 ppm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi selenium dan vitamin E maupun kombinasi dari keduanya dalam ransum tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap parameter. Pengaruh kombinasi selenium dan vitamin E dalam ransum mampu menngkatkan bobot telur dan menurunkan angka konversi pakan. Kata kunci: ayam petelur, cekaman panas, performa, selenium, vitamin E

ABSTRACT

RIFQI WALUYO DJATI. Effects of Vitamin E and Selenium Supplementation in Diets on Performances of Laying Hens age 46-51 weeks. Supervised by SUMIATI and RITA MUTIA.

Indonesia as a tropical country with high ambient temperature and relatively humidity cause heat stress-related decreases in laying hen performance. Supplementationof antioxidants in the diet can reduce the negative effect of heat stress. This study was aimed to determine the effects of Vitamin E, and Selenium supplementation in the diets on the performances of Isa-Brown laying hens aged 46-51 weeks. Ninety six 46-weeks-old of laying hens were randomly assigned to 4 treatments, 4 replications of 6 birds each. The birds were fed either P1 = control diet or P2 = control diet supplemented with Selenium (0.8 ppm Se optimin), P3 = control diet supplemented with vitamin E (300 mg DL-α-tocopherol-acetate/kg diet), or P4 = control diet supplemented with combination of Vitamin E and Selenium (300 mg DL-α-tocopherol-acetate plus 0.8 mg Se optimin). Statistical analysis results showed that the treatments did not influence (P>0.05) the parameters observed. However, the result showed that combination of Vitamin E and Selenium supplementation tend to increase the egg weight and decrease the feed conversion.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN E DAN MINERAL

SELENIUM DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA

AYAM PETELUR UMUR 45-51 MINGGU

RIFQI WALUYO DJATI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Selenium dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu

Nama : Rifqi Waluyo Djati NIM : D24100056

Disetujui oleh

Dr Ir Sumiati, M Sc Pembimbing I

Dr Ir Rita Mutia, M Agr Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Panca Dewi MHK M Si Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Mineral Selenium Dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu” berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis bulan Mei hingga Juli 2013 di Laboratorium Lapang Blok C Nutrisi Ternak Unggas Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Peternakan Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Suplementasi vitamin E, Selenium maupun kombinasi keduanya sebagai sumber antioksidan terhadap performa ayam petelur untuk mengatasi pengaruh negatif cekaman panas yang dapat terjadi akibat suhu lingkungan yang tinggi di Indonesia. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, namun demikian semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Juli 2014

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

1 Susunan dan kandungan nutrient ransum penelitian 3

2 Komposisi Premix (Top Mix) 4

3 Performa ayam petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu

(pemeliharaan umur 46-51 minggu) 7

4 Konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur 46-51 9 5 Kekurangan konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur 46-51 minggu

per ekor dibandingkan standar ISA-Brown 9

6 Perhitungan ekonomi nilai Income Over Feed Cost per 1 kg telur ayam petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu

pemeliharaan (umur 46-51 minggu) 12

DAFTAR GAMBAR

1 Rataan bobot telur ayam petelur strain ISA-Brown umur 46-51 minggu 8 2 Produksi telur hen day ayam petelur strain ISA-Brown umur

46-51 minggu 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 ANOVA bobot telur ayam petelur strain

ISA-Brown (umur 46-51 minggu) 15

2 ANOVA produksi telur henday ayam petelur strain

ISA-Brown (umur 46-51 minggu) 15

3 ANOVA produksi telur massa ayam petelur strain

ISA-Brown (umur 46-51 minggu) 15

4 ANOVA konsumsi ransum harian ayam petelur strain

ISA-Brown (umur 46-51 minggu) 15

5 ANOVA konsumsi ransum kumulatif ayam petelur strain

ISA-Brown (umur 46-51 minggu) 16

6 ANOVA konsumsi energi metabolis ayam petelur

strainISA-Brown (umur 46-51 minggu) 16

7 ANOVA konsumsi protein kasar ayam petelur

strainISA-Brown (umur 46-51 minggu) 16

8 ANOVA konversi ransum ayam petelur strain

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Pembangunan peternakan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan peternak. Permintaan akan produk peternakan semakin meningkat setiap tahunnya. Salah satu produk peternakan yang sangat digemari dan memiliki nilai gizi yang tinggi serta mudah untuk didapatkan adalah telur ayam. Sebagian besar telur ayam yang dikonsumsi masyarakat berasal dari ayam ras petelur. Ayam ras petelur merupakan ternak unggul karena merupakan ternak persilangan dan telah mengalami proses seleksi ketat sampai pada ”final stock” yang siap dipasarkan. Ternak jenis unggul memiliki beberapa keunggulan antara lain (1) pertumbuhan cepat, (2) produksi tinggi, (3) efisiensi produksi tinggi. Dibalik sifat yang superior tersebut ternak jenis unggul juga memiliki kelemahan yaitu sangat peka terhadap perubahan lingkungan.

Pengaruh suhu lingkungan yang tinggi menjadi perhatian utama untuk industri unggas khususnya yang berada di daerah tropis. Indonesia yang beriklim tropis dengan rataan suhu cukup tinggi, yaitu berkisar antara 22 oC 33 oC, dengan kelembapan antara 55 % - 95 % (BMKG 2013) kurang ideal untuk pengembangan ternak unggas. Pemeliharaan ayam petelur pada suhu udara kandang yang lebih tinggi dari kebutuhan optimal akan menyebabkan ternak mengalami heat stress atau hipertermia (Nuriyasa 2003). Menurut Daghir (2009), suhu nyaman untuk ayam agar dapat berproduksi secara optimal yaitu berada pada kisaran 10 °C sampai 27 °C. Suhu lingkungan di atas 30 °C dapat menyebabkan stres pada ayam petelur dewasa (Daghir 1995). Yuwanta (2010) menambahkan temperatur ideal untuk pemeliharaan ayam adalah 20 oC - 28 oC. Beberapa metode dapat diterapkan untuk mengurangi pengaruh negatif dari heat stress, salah satunya adalah dengan suplementasi mikronutrien yang berfungsi sebagai sumber antioksidan. Fungsi antioksidan adalah mengubah bentuk radikal bebas ke dalam ikatan ikatan yang aman sehingga menghentikan proses lipid peroksida. Selain itu, antioksidan diperlukan dalam kondisi heat stress yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif yaitu aktivitas radikal bebas tinggi (Sahin dan Kucuk 2003 ). Mujahid et al. (2007) menyatakan bahwa stres oksidatif yaitu kondisi aktivitas radikal bebas yang melebihi antioksidan. Radikal bebas merupakan senyawa yang tidak stabil dan reaktif sehingga dapat merusak molekul biologis seperti DNA, protein, lemak, dan karbohidrat (Surai 2003).

(14)

2

terganggu. Menurut Surai (2003), defisiensi Se dapat menurunkan produksi telur dan meningkatkan mortalitas embrio. MacPherson (1994) menyatakan bahwa aktivitas Selenium dan vitamin E bekerja secara sinergis sebagai antioksidan utama yang dapat menghilangkan radikal bebas, keduanya merupakan antioksidan yang berperan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Oleh karena itu system antioksidan ini diharapkan mampu mengurangi stress oksidatif pada ayam petelur sehingga menghasilkan performa yang baik

Berdasarkan hal-hal di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh suplementasi vitamin E dan mineral Se maupun kombinasi dari keduanya sebagai antioksidan terhadap performa ayam petelur.

METODE PENELITIAN

Alat Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang baterai sebanyak 48 petak yang terbuat dari kawat dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum. Tiap petak berisi 2 ekor ayam. Ukuran setiap petak kandang adalah panjang 92 cm, lebar 47 cm dan tinggi 44 cm. Peralatan yang digunakan adalah lampu sebagai alat penerangan, timbangan, plastik ransum, termometer ruang, egg-tray dan ember plastik.

Bahan Ternak

Penelitian ini menggunakan ayam petelur strainIsa Brown sebanyak 96 ekor berumur 46 minggu dengan bobot badan rata-rata 1.53 ± 0.05 kg dengan masa adaptasi selama 1 minggu. Ternak tersebut diperoleh dari PT. Ciomas Adisatwa, Ciomas Bogor.

Ransum

Ransum diberikan dalam bentuk mash. Bahan pakan penyusun ransum yang digunakan adalah jagung kuning, dedak halus, bungkil kedelai, CGM, tepung MBM, NaCl, CaCO3, premix, dan DL-Methionin. Ransum disusun berdasarkan rekomendasi Leeson dan Summers (2005). Sumber Vitamin E yang digunakan dalam penelitian ini adalah vitamin E 50 (kandungan vitamin E 50 %) dan sumber mineral selenium optimin 0.3 %. Vitamin E dan mineral selenium yang digunakan berbentuk serbuk sehingga langsung dicampurkan dengan ransum menggunakan

(15)

3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Unggas. Analisis energi bruto, kalsium, phosphor dan NaCl dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, analisis kandungan selenium telur dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penelitian dilakukan selama 3 bulan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013.

Tabel 1 Susunan dan kandungan nutrien ransum penelitian

Bahan Pakan P1 (%) P2 (%) P3 (%) P4 (%)

Selenium (ppm) 0.00435 0.80435 0.00435 0.8435 Vitamin E (ppm)4 18.045 18.045 318.045 318,045 1) Hasil analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor (2013); 2)Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu

Nutrisi dan Teknologi Pakan (2013); 3) Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Perah,

(16)

4

Tabel 2 Komposisi premix (Top Mix) Kandungan Nutrien tiap 10 kg :

Vitamin A 12 000 000 IU

Choline chloride 10 000 mg

Methionine 30 000 mg

Zinc bacitracin 21 000 mg

Excipient q.s 10 000 mg

Sumber : PT Medion

Prosedur Penelitian Persiapan Kandang dan Peralatan

Persiapan kandang dimulai dengan memasang kandang berupa kandang baterai yang terbuat dari kawat sebanyak 48 buah, setiap kandang berisi 2 ekor ayam. Sebelum kandang dan peralatan digunakan maka dibersihkan terlebih dahulu, setelah itu dilakukan pengapuran pada kandang dan diberi disinfektan, masing-masing ulangan terdiri dari 6 ekor. Sebelum masuk pada perlakuan ayam-ayam tersebut ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui bobot badan awal kemudian dilakukan pengacakan.

Pemeliharaan

(17)

5 harinya ditimbang menggunakan timbangan digital. Penimbangan dan penghitungan pakan yang dikonsumsi dilakukan setiap minggu.

Peubah yang Diamati

Bobot Telur (g butir-1)

Bobot telur diperoleh dari pembagian antara jumlah bobot telur (gram) yang diproduksi dengan jumlah telur (butir) yang dihasilkan.

Produksi Telur Harian Hen day (%)

Produksi telur harian adalah produksi telur dalam suatu kelompok ayam petelur yang didasarkan atas persentase produksi telur terhadap jumlah ayam petelur yang hidup selama pencatatan. Produksi telur hen day (%), diukur dengan mencatat produksi telur harian selama 6 minggu.

Hen day (%) = Jumlah telur pada hari itu (butir)

Jumlah ayam hidup (ekor) x 100% Produksi Massa Telur (g ekor-1)

Produksi massa telur adalah jumlah bobot telur yang dihasilkan oleh setiap ekor ayam selama 7 minggu. Produksi massa telur diperoleh dari penimbangan bobot telur yang dihasilkan oleh setiap ekor ayam pada setiap harinya, kemudian dijumlahkan selama 7 minggu.

Konsumsi Pakan (g ekor-1 hari-1)

Konsumsi pakan diperoleh dari selisih jumlah pakan yang diberi pada awal minggu dengan sisa pakan pada akhir minggu. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan dengan rumus.

Konsumsi pakan = Jumlah pakan yang dikonsumsi selama 7 hari Jumlah ayam x 7 hari

Konversi Pakan

Konversi Pakan, dihitung dengan cara membagi jumlah pakan yang dikonsumsi dengan produksi massa telur.

Konversi Pakan = Jumlah ransum yang dikonsumsi (g ekor

-1 hari-1)

Produksi massa telur (g ekor-1hari-1)

Analisis Ekonomi Income Over Feed Cost (IOFC)

IOFC dihitung dengan mengetahui harga pakan perlakuan dengan banyaknya konsumsi pakan dan harga jual telur dengan produksi telur. Perhitungan IOFC untuk ayam petelur adalah sebagai berikut :

Pendapatan = (Produksi telur per kg x harga telur per kg),

(18)

6

Mortalitas (%)

Mortalitas adalah jumlah ayam petelur yang mati selama penelitian. Mortalitas diperoleh dari membandingkan jumlah ayam yang mati dengan jumlah ayam pada awal pemeliharaan.

Rancangan Percobaan dan Analisa Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, masing-masing ulangaan menggunakan 6 ekor ayam. Model matematika yang digunakan adalah (Steel dan Torrie 1993):

Yij = μ + τi + εij

Keterangan:

Yij = Pengaruh respon perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

εij = Error (galat) perlakuan ke-i ulangan ke-j Perlakuan yang diberikan adalah :

P1 = ransum kontrol

P2 = ransum kontrol + 0.8 mg Se kg-1 ransum

P3 = ransum kontrol + 300 mg vitamin E kg-1 ransum

P4 = ransum kontrol + 300 mg vitamin E kg-1 ransum + 0.8 mg Se kg-1 ransum Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), bila terdapat perbedaan nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Temperatur Kandang Penelitian

Rataan temperatur kandang penelitian pada pagi hari 24.8 oC, siang hari 31 oC, serta sore hari 28.8 oC. Kisaran temperatur tersebut relatif lebih tinggi dari yang direkomendasikan Leeson dan Summer (2001) untuk lingkungan pemeliharaan ayam petelur yang optimum, yaitu berkisar antara 22 oC sampai 27 oC.

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Petelur

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi 0.8 mg kg-1 Se (P2), 300 mg kg-1 vitamin E (P3) dan 300 mg kg-1 vitamin E + 0.8 mg kg-1 Se (P4) dalam ransum tidak mempengaruhi bobot telur,produksi telur hen day, produksi massa telur, konsumsi kumulatif, konsumsi harian, konversi ransum dan nilai IOFC dibandingkan dengan kontrol (P1).

Pengaruh suplementasi vitamin E dan Se maupun kombinasi keduanya pada ransum terhadap performa (bobot telur, produksi telur hen day, produksi massa telur, konsumsi kumulatif, konsumsi harian, konversi ransum) ayam petelur strain Brown

(19)

7

P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E), P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E).

Bobot Telur

Analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi vitamin E dan selenium maupun kombinasi keduanya dalam ransum ayam tidak mempengaruhi bobot telur ayam pada penelitian ini. Hal ini karena konsumsi protein, strain ayam, temperature lingkungan dan ukuran pullet pada suatu kelompok relatif sama. Bobot telur tidak dipengaruhi oleh peningkatan energi metabolis, tetapi lebih dipengaruhi oleh kandungan protein ransum. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Wu et al. (2005), menjelaskan bahwa strain ayam dan kandungan energi tidak mempengaruhi bobot telur tetapi peningkatan kandungan protein sebesar 12 % -18 % dapat meningkatkan bobot telur.

Rataan bobot telur dari semua perlakuan adalah berkisar 53.93 - 55.81 g butir -1. Bobot telur dari hasil penelitian tergolong ukuran sedang sesuai dengan ketentuan (SNI 2008). Klasifikasi telur konsumsi berdasarkan bobotnya dibedakan menjadi tiga kategori yaitu kecil (kurang dari 50 gram), sedang (50 - 60 gram), dan besar (lebih dari 60 gram). Hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan standar rataan bobot telur ISA Brown umur 46 - 51 minggu yaitu 63.6 - 63.8 g butir -1 (ISA 2011). Menurut Leeson dan Summers (2001), disamping faktor genetik dan ukuran tubuh unggas, protein dan asam amino (terutama metionina) merupakan zat makanan yang paling berperan dalam mengontrol ukuran telur. Setiap perlakuan menggunakan strain, kandungan nutrien dan temperatur lingkungan yang relatif sama. Salah satu faktor yang mempengaruhi ukuran telur yaitu bobot badan baik saat dewasa kelamin dan periode bertelur, untuk awal masa produksi yang ideal dibutuhkan bobot badan bertelur sesuai dengan kriteria (Leeson dan Summers 2001). Rataan bobot ayam penelitian (umur 46 minggu) adalah 1.530 kg, bobot tersebut tidak sesuai dengan standar ISA-A Hendrix Genetic Company (2011) dimana bobot badan ayam petelur strain ISA-Brown pada fase produksi kedua (umur 46 minggu) sebesar 1.945 kg.

(20)

8

sistem antioksidan yang dihasilkan dari kombinasi vitamin E dan selenium memberikan pengaruh dalam melindungi oksidasi lemak dari pakan sehingga meningkatkan bobot telur. Asam lemak mengandung sumber energi yang tinggi dan dapat digunakan sebagai sumber energi yang efisien untuk meningkatkan bobot telur. Pakan yang kekurangan asam lemak yaitu linoleic menurunkan bobot telur secara signifikan khususnya kuning telur serta menurunkan produksi telur (Lesson dan Summers 1983). Bobot telur akan meningkat seiring dengan meningkatnya umur ayam. Menurut Amrullah (2003) ukuran dan bobot telur dipengaruhi oleh umur ayam, komponen pakan dan suhu atau cuaca. Menurut Leeson dan Summers (2001), disamping ukuran tubuh unggas, protein dan asam amino (terutama metionina) merupakan zat makanan yang paling berperan dalam mengontrol ukuran telur. Amrullah (2004) menyatakan bahwa protein yang akan digunakan pada proses pembentukan telur sebesar 55 % - 60 % dari protein yang dikonsumsi. Grafik bobot telur selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

Grafik rataan bobot telur pada Gambar 1 menunjukkan adanya penurunan produksi hingga minggu ke 3 pemeliharaan dan terjadi peningkatan bobot telur pada minggu ke 4 dan seterusnya. Pada awal produksi cenderung menghasilkan telur yang berukuran lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah besar seiring dengan bertambahnya umur ayam dan perkembangan saluran reproduksi.

Konsumsi Ransum

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi selenium dan vitamin E dalam ransum tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi ransum. Namun demikian ransum perlakuan dengan penambahan 300 ppm vitamin E tidak nyata meningkatkan konsumsi ransum dibanding kontrol. Meningkatnya konsumsi ransum pada ayam yang diberi ransum dengan suplementasi vitamin E 300 ppm

(21)

9 Tabel 4 Konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur 46-51 minggu

P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E), P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E). 1)Hendrix_genetics (2011)

Meskipun demikian, konsumsi zat nutrisi lebih rendah jika dibandingkan dengan standar ISA-Brown, sehingga terlihat kekurangan konsumsi zat nutrisi pada setiap perlakuan (Tabel 5)

P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E), P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E).

Rataan konsumsi ransum ayam selama 6 minggu penelitian (umur 46-51 minggu) pada semua perlakuan berkisar 99.90-101.59 g ekor-1 hari-1 (Tabel2). Rataan konsumsi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan standar konsumsi ransum ayam petelur coklat sebanyak 102 - 105 g ekor-1 hari-1 dengan kandungan protein 17.5 % dan energi metabolis 2850 kkal kg-1 (Leeson dan Summer 2005). Hal ini disebabkan suhu lingkungan pemeliharaan yang tinggi, sehingga tidak optimum untuk pemeliharaan ayam petelur. Leeson dan Summers (2001) menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh bangsa ayam, temperatur lingkungan, banyaknya massa telur yang dihasilkan dan kandungan energi ransum apabila faktor manajemen telah dikontrol dengan baik.

Temperatur lingkungan yang tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan pada ayam petelur yang sedang tumbuh dan presentasi penurunan konsumsi pakan bervariasi dari 1.3 % setiap kenaikan 1 oC pada 21 oC hingga 3 % penurunan mulai pada 38 oC (Daghir 2008). Pada saat suhu lingkungan pemeliharaan relatif tinggi ayam diduga mengalami cekaman panas (heat stress) dimana aktivitas radikal bebas yang tinggi dan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif pada ayam petelur tersebut dapat menurunkan konsumsi ransum (Mashaly et al. 2004). Kandungan nutrien ransum kontrol maupun perlakuan hampir sama, perbedaannya hanya pada suplementasi vitamin E atau Se maupun kombinasi dari keduanya.

(22)

10

Produksi Telur

Rataan produksi telur henday yang dihasilkan selama penelitian ini adalah 72.32 % - 78.97 %. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan suplementasi vitamin E dan selenium dalam ransum tidak memberikan pengaruh nyata pada produksi telur harian dan produksi massa telur ayam. Ransum kontrol menunjukkan hasil peningkatan produksi telur tertinggi hingga 78.97 %, suplementasi selenium dapat menghasilkan 76.05 %, produksi telur tersebut lebih besar dibandingkan perlakuan dengan kombinasi suplementasi vitamin E dan selenium dan suplementasi vitamin E saja yang masing masing sebesar 74.89 % dan72.32 %. Standar henday strain ISA Brown umur 46 - 51 minggu berkisar 91 % - 89 % (ISA 2011). Produksi telur dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti strain

ayam, ransum yang diberikan, mortalitas, culling, kesehatan dan manajemen pemeliharaan, umur pertama bertelur, puncak produksi telur serta persistensi bertelur (Farooq et al. 2002). Mashaly (2004) menyatakan bahwa produksi telur dipengaruhi oleh temperatur lingkungan pemeliharaan yang tinggi. Penurunan produksi telur dapat terjadi akibat penuruan konsumsi ransum, sehingga kebutuhan nutrisi yang essensial untuk produksi telur tidak terpenuhi. Ciftci et al. (2005) menjelaskan bahwa pada saat terjadi cekaman panas konversi norepinephrine

menjadi epinephrine meningkat dan menyebabkan degradasi folikel-folikel telur pada ovarium.

Rataan produksi telur hen day selama 6 minggu penelitian disajikan pada Gambar 2.

Terlihat bahwa secara umum grafik produksi telur harian ayam selama penelitian semakin menurun seiring dengan pertambahan umur ayam. Romanoff dan Romanoff (1963) mengemukakan bahwa ada hubungan antara umur ayam dengan produksi telur. Setelah mencapai puncak produksi, dengan semakin bertambahnya umur ayam, produksi telur mengalami penurunan secara bertahap. Hal ini erat hubungannya dengan kecepatan penurunan aktifitas metabolisme pada organ-organ tubuh dan jaringan. Puncak produksi telur ayam petelur strain

ISA-50.0

P1 Kontrol P2 Se P3 Vit E P4 Se + Vit E Standar ISA-Brown

Gambar 2 Produksi telur hen day perlakuan dibandingkan standar ayam petelur

(23)

11

Brown berada pada kisaran umur ayam antara 26 sampai 28 minggu (ISA-A Hendrix Genetic Company 2011).

Konversi Ransum

Berdasarkan sidik ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa suplementasi vitamin E 300 ppm dan selenium 0.8 ppm tidak berpengaruh nyata terhadap konversi ransum ayam petelur ISA-Brown (umur 46-51 minggu). Tidak adanya pengaruh perlakuan secara statistik terhadap konversi ransum disebabkan karena data konversi ransum yang diperoleh setiap perlakuan hampir sama. Rataan konversi ransum yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 2.41 – 2.63. rataan tersebut lebih tinggi jika dibandingkan standar ISA Hendrix Genetic Company (2011) yang menyatakan ayam petelur strain ISA-Brown yang berumur 46-51 minggu memiliki konversi ransum 2.13. Tingginya konversi ransum ini dibandingkan standar disebabkan ayam petelur yang digunakan dalam penelitian ini berada pada fase kedua produksi telur sehingga produksi telurnya menurun dan konsumsi zat nutrisi untuk pembentukan sebutir telur kurang tercukupi dari ransum yang digunakan.

Data konversi ransum yang paling rendah adalah perlakuan kontrol dan paling tinggi adalah perlakuan P3 ransum dengan penambahan Vitamin E Rataan konversi ransum yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 2.41-2.63, berdasarkan rataan tersebut ransum perlakuan kontrol yang paling efisien karena pada perlakuan ini ayam petelur memiliki produksi telur yang diimbangi dengan konsumsi ransum yang lebih tinggi diantara ayam yang diberi suplementasi lainnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konversi ransum adalah temperatur lingkungan, daya cerna ransum, bentuk fisik dan konsumsi ransum (Anggorodi 1995).

Mortalitas

Pada penelitian total kematian ada 6 ekor dari 96 ekor ayam dengan presentase mortalitas 6.25% dari total populasi keseluruhan. Hal ini sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar persentase mortalitas strain ISA Brown

umur 46-51 minggu berkisar 2.2% - 2.7%. Total kematian tersebut dihitung mulai dari minggu pertama perlakuan pada hari kedua yang merupakan kematian pertama. Perlakuan P4 yang merupakan persentase mortalitas tertinggi kematian ayam disebabkan karena mengalami prolapsus dan ukuran telur jumbo (70 g butir-1). Hal ini diketahui dari ciri ciri pada saat ayam mati anus membengkak, ayam berada pada posisi jongkok terlihat seperti ingin bertelur. Prolapsus disebabkan oleh kondisi ayam yang sulit bertelur karena ukuran telurnya yang terlalu besar. Hal ini diduga dengan suplementasi kombinasi Se dan vitamin E efisiensi penggunaan protein meningkat sehingga menghasilkan telur dengan ukuran besar yang mengakibatkan ayam sulit bertelur dan berujung kematian.

Analisis Ekonomi Income Over Feed Cost (IOFC)

(24)

12

1.78823 1.76108 1.65862 1.74471

Harga telur (Rp

P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E), P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E). Perhitungan berdasarkan harga telur Rp. 20.000/kg

Harga pakan untuk ransum Kontrol/P1, P2, P3 dan P4 masing-masing adalah Rp 6 098 kg-1, Rp 6 359,34 kg-1, Rp 6 383 kg-1 dan Rp 6 644,34 kg-1. Harga jual telur Rp 20 000 kg-1. Perhitungan tambahan biaya pada ransum perlakuan yang diberi suplementasi selenium dan vitamin E adalah untuk setiap penambahan 1 g selenium dalam 1 kg pakandiperlukan biaya Rp 261 dan Rp 285 untuk 1 g vitamin E dalam 1 kg pakan . Secara garis besarnya dapat digambarkan bahwa dari data koefisienteknis (Tabel 3), maka untuk menghasilkan 1 kg telur, biaya pakanyang diperlukan sebanyak Rp 25 837 dengan produksi massa 1.79 kg ekor-1 untuk ransum kontrol, biaya pakan Rp26 822 dengan produksi massa 1.76 kg ekor-1 untuk ransum P2, biaya pakan Rp27 234 dengan produksi massa 1,66 kg ekor-1 untuk ransum P3 dan biaya pakan Rp27 880 dengan produksi massa 1.75 kg ekor-1 untuk ransum P4. Sehingga IOFC yang diperoleh/kg telur dari ayam yang diberi pakan ransum kontrol lebih banyak(Rp 9 927,62) dibandingkan dengan IOFC ransum P2 (Rp 8 399,3). Padaransum P4 diperoleh IOFC (Rp 7 015) lebih tinggi daripada ransum P3(Rp 5 939). Hasil perhitungan IOFC dari kontrol adalah paling tinggi, sedangkan pemberian suplementasi selenium dan vitamin E maupun kombinasi dari keduanya lebih rendah. Rendahnya pendapatan IOFC pada ayam yang mendapat ransum perlakuan ini adalah disebabkan oleh karena harga ransumnya yang cukup mahal ditambah lagi efisiensi penggunaan ransumnya yang rendah. Lain halnya dengan ransum kontrol yang harganya lebih murah karena tanpa penambahan biaya suplementasi perlakuan dan efisiensi pengunaan ransumnya lebih tinggi.

(25)

13

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Suplementasi vitamin E 300 ppm dan selenium 0.8 ppm dalam ransum dapat maningkatkan ukuran telur namun tidak mempengaruhi performa ayam petelur strain ISA-Brown umur 46-51 minggu seperti bobot telur, produksi hen day, produksi massa telur, konsumsi ransum, konversi ransum, nilai IOFC dan belum mampu mengurangi heat stress yang terjadi pada ayam selama pemeliharaan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai suplementasi Selenium dan vitamin E dengan konsentrasi yang berbeda pada fase umur ayam petelur yang lebih muda.

DAFTAR PUSTAKA

Akil S, Piliang WG, Wijaya CH, Utomo DB, Wiryawan IKG. 2009. Pengkayaan Selenium Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Pakan Puyuh Terhadap Performa serta Potensi Telur Puyuh sebagai Sumber Antioksidan. JITV

14(1):1-10.

Anggorodi R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Unggas : Kemajuan Mutakhir. Jakarta (ID) : UI Pr.

Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan ke-3. Bogor (ID): Seri Beternak Mandiri. Lembaga Satu Gunung Budi.

Amrullah IK. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Bogor (ID) : Lembaga Satu Gunung Budi. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Prakiraan Cuaca

Indonesia 2013. Jakarta (ID): Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Ciftci M, Ertas ON, Guler T. 2005. Effects of vitamin E and vitamin C dietary supplementation on egg production and egg quality of laying hens exposep to a chronic heat stress. Reveu de Medecine Veterinaire 156, 107-111.

Daghir NJ. 1995. Nutrient Requirements of Poultry at High Temperatures. Page 112 in: Poultry Production in Hot Climates. Daghir NJ ed. Cambridge (UK): University Pr.

Daghir NJ. 2008. Poultry Production in Hot Climates 2nd Ed. Cambridge (UK): CABI

(26)

14

Farooq M, Mian MA, Durrani FR, Syed M. 2002. Egg production performance of commercial laying hens in Chakwal district, Pakistan. Livest Res Rural Dev. 14 (2) 2002 [Internet]. [diunduh 25 Mei 2014]. Tersedia pada: http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd14/2/faro142.htm

ISA, A Hendrix Genetics Company. 2011. ISA Brown Comercial Stock Product Performances. ISAPoultry [internet]. Boxmeer (NL). [diunduh 20 Jan 2014].

Tersedia pada:

Leeson S, Summers JD. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Ed. Ontarion, Canada (CA): Univ Books.

Lesson S, Summers JD. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3rd Ed. Nottingham (UK): Nottingham Univ Pr.

MacPherson A. 1994. Selenium, Vitamin E and Biological Oxidation. In: Recent Advances in Animal Nutrition. P.C. Garnsworthy and DJA Cole, eds. Notthingham (UK): Nottingham Univ Pr.

Mashaly MM, Hendricks GL, Kalama MA, Gehad AE, Abbas AO, Patterson PH. 2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses of commercial laying hens. Poult Sci. 83:889–894.

Mujahid A, Akiba Y, Toyomizu M. 2007. Acute heat stress incudes oxidative stress and decreases adaption in young white leg-horn cockerels by down regulation of avian uncoupling protein. Poult Sci. 86:364-371.

Nuriyasa IM. 2003. The performance of cockerels housed in tile, zinc and coconut leaf roof at the low altitude. Majalah Ilmiah Peternakan 2(1) 20-24

Romanoff AL, Romanoff AJ. 1963. The Avian Egg. New York (US): John Wiley and Sons.

Sahin K, Kucuk O. 2003. Heat stress and dietary vitamin supplementation of poultry diets. Nutr Abstr Rev Ser.B Livest Feeds Feed. 73: 41R-50R.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2008. Telur Ayam Konsumsi SNI-3926:2008. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional.

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Geometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta (ID) : Gramedia Pustaka. Surai PF. 2003. Natural Antioxidants In Avian Nutrition and Reproduction.

Nottingham (UK): Nottingham Univ Pr.

Wu G, Bryant MM, Voitle RA, Roland DA. 2005. Effect of dietary energy on performance and egg composition of Bovans White hens during phase 1. Poult Sci 84: 1610-1615.

(27)

15

Lampiran 1 ANOVA bobot telur ayam petelur strain ISA-Brown (umur 46-51 minggu)

SK db JK KT Fhit Sig

Perlakuan 3 7.446 2.482 1.875 .188

Galat 12 15.883 1.324

Total 15 23.329

SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, Sig: signifikansi.

Lampiran 2 ANOVA produksi telur henday ayam petelur strainISA-Brown (umur 46-51 minggu)

SK db JK KT Fhit Sig

Perlakuan 3 91.175 30.392 .788 .524

Galat 12 462.913 38.576

Total 15 554.088

SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, Sig: signifikansi.

Lampiran 3 ANOVA produksi telur massa ayam petelur strain ISA-Brown (umur 46-51 minggu)

SK db JK KT Fhit Sig

Perlakuan 3 37607.035 12535.678 .569 .646

Galat 12 264407.675 22033.973

Total 15 302014.710

SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, Sig: signifikansi.

Lampiran 4 ANOVA Konsumsi ransum harian ayam petelur strain ISA-Brown

(umur 46-51 minggu)

SK db JK KT Fhit Sig

Perlakuan 3 6.081 2.027 .263 .851

Galat 12 92.419 7.702

Total 15 98.499

(28)

16

Lampiran 5 ANOVA Konsumsi ransum kumulatif ayam petelur strainISA-Brown

(umur 46-51 minggu)

SK db JK KT Fhit Sig

Perlakuan 3 10765.647 3588.549 .264 .850

Galat 12 163000.350 13583.362

Total 15 173765.997

SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, Sig: signifikansi.

Lampiran 6 ANOVA Konsumsi energi metabolis ayam petelur strain ISA-Brown

(umur 46-51 minggu)

SK db JK KT Fhit Sig

Perlakuan 3 49.803 16.606 .264 .850

Galat 12 754.251 62.854

Total 15 804.068

SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, Sig: signifikansi.

Lampiran 7 ANOVA Konsumsi protein kasar ayam petelur strainISA-Brown (umur 46-51 minggu)

SK db JK KT Fhit Sig

Perlakuan 3 .198 .066 .264 .850

Galat 12 3.001 .250

Total 15 3.199

SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, Sig: signifikansi.

Lampiran 8 ANOVA konversi ransum ayam petelur strainISA-Brown (umur 46-51 minggu)

SK db JK KT Fhit Sig

Perlakuan 3 .219 .073 1.185 .356

Galat 12 .737 .061

Total 15 .956

(29)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Balikpapan, Kalimantan Timur pada tanggal 25 Juli 1992. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Timbul Suwarno dan Ibu Sri Wulandari. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 2 Sriwulan pada tahun 1998-2004. Pendidikan dilanjutkan di SMPN 1 Demak pada tahun 2004-2007 kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN 2 Demak pada tahun 2007-2010.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut

(30)

18

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobil`alamin. Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih dengan penuh rasa hormat dan cinta kepada kedua orang tua ayah tercinta Timbul Suwarno dan ibunda tercinta Sri Wulandari serta kakak tersayang Adry Waskito Nugroho atas segala doa, dukungan moral, materi, perhatian dan kasih sayangnya. Kepada Dr. Ir. Sumiati, M.Sc Sebagai Dosen Pembimbing Utama dan dosen Pembimbing Akademik, dan Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr sebagai Dosen Pembimbing Anggota yang telah membimbing penelitian atas segala kemudahan, kesabaran, nasehatnya untuk memberikan tuntunan, serta pengorbanan waktu dan pikirannya dari mulai penelitian hingga akhir penulisan skripsi ini. Kepada Ir. Dwi Margi Suci, M.S selaku dosen penguji seminar terimakasih banyak masukan ilmunya serta Dr. Ir. Iwan Prihantoro, M.Si selaku panitia seminar pada tanggal 13 Februari 2014. Kepada Dosen penguji sidang Dr. Ir. Widya Hermana, M.Si dan Dr. Ir. Rukmiasih M.Si terima kasih atas saran dan masukan ilmu selama ujian sidang berlangsung pada tanggal 11 Juni 2014.

Gambar

Tabel 1 Susunan dan kandungan nutrien ransum penelitian
Tabel 2 Komposisi premix (Top Mix)
Tabel 3  Performa ayam petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu penelitian (umur 46-51 minggu)
Gambar 1  Rataan bobot telur  ayam petelur strain ISA-Brown  (umur 45-51 minggu)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata konsumsi ransum, produksi telur/ henday production, berat telur, massa telur/ egg mass, konversi ransum, dan Income Over feed Cost (IOFC) ayam Arab yang mendapat ransum

Kesimpulan dari penelitian ini adalah suplementasi vitamin A dalam ransum sampai aras 4500 IU belum mampu memperbaiki produksi telur, konversi pakan, berat telur, tebal

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai taraf suplementasi selenium dan vitamin E terhadap kandungan malondialdehida (MDA) dan enzim glutathion

Rata-rata bobot telur mencapai 62,7 g/ butir pada umur 76 minggu.Ayam petelur strain isa brown memiliki periode bertelur antara 18--80 minggu, liveability (daya hidup) sebesar

Sebanyak 40 ekor ayam ras petelur didistribusikan secara acak ke dalam empat macam perlakuan sebagai berikut: P0 : perlakuan diberi ransum tanpa suplementasi tepung

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai taraf suplementasi selenium dan vitamin E terhadap kandungan malondialdehida (MDA) dan enzim glutathion

Pengkayaan Selenium Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Produk Puyuh melalui Supplementasi dalam Ransum serta Potensi Telur Puyuh sebagai Bahan Pembuat Juice Telur

Kesimpulan dari penelitian ini adalah suplementasi vitamin A dalam ransum sampai aras 4500 IU belum mampu memperbaiki produksi telur, konversi pakan, berat telur, tebal