• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Uji Daya Tahan Motor Bakar Diesel

Dari hasil pengujian daya tahan, motor bakar diesel secara umum dapat beroperasi dengan baik menggunakan bahan bakar minyak nyamplung selama 50 jam. Namun masih terdapat beberapa masalah yang disebabkan oleh ketidakstabilan kondisi operasi mesin selama pengujian. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah siklus pemanasan minyak nyamplung. Pada saat menggunakan bahan bakar minyak nyamplung, reaksi pembakaran yang terjadi di dalam silinder cenderung tidak stabil, hal ini diindikasikan oleh fluktuasi perubahan kecepatan putaran mesin yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan solar. Kondisi ini mengakibatkan temperatur gas buang yang dihasilkan motor bakar diesel juga mengalami perubahan. Hal tersebut mempengaruhi kemampuan pemanas minyak nyamplung untuk bisa mencapai suhu pemanasan optimum, karena pemanas tersebut menggunakan gas buang sebagai sumber energi panasnya. Karena pemanasan yang kurang optimal, maka proses pengkabutan minyak nyamplung cenderung menghasilkan ukuran butiran-butiran yang lebih besar dari seharusnya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas pembakaran. Siklus ini kerap terjadi selama pengoperasian motor bakar diesel menggunakan bahan bakar minyak nyamplung.

Pada Tabel 7 terlihat bahwa setelah pengujian daya tahan selama 50 jam, motor bakar diesel menghabiskan 45.50 liter untuk bahan bakar solar dengan konsumsi bahan bakar spesifik sebesar 0.34 liter/HP/jam dan 59.21 liter untuk bahan bakar minyak nyamplung dengan komsumsi bahan bakar spesifik 0.44 liter/HP/jam.

Tabel 7. Konsumsi bahan bakar spesifik motor bakar diesel

Pembebanan Lama Konsumsi Konsumsi

(watt) pengujian bahan bakar bahan bakar spesifik

(jam) (liter) (liter/HP/jam)

Solar 45.50 0.34

Minyak nyamplung 59.21 0.44

Bahan bakar

2000 50

Perbandingan konsumsi bahan bakar spesifik menunjukkan bahwa secara keseluruhan konsumsi bahan bakar spesifik minyak nyamplung lebih tinggi 30%

28

dibandingkan dengan solar. Perbedaan nilai konsumsi bahan bakar tersebut dipengaruhi oleh nilai kalor minyak nyamplung yang lebih rendah dibandingkan dengan solar, sehingga untuk menghasilkan daya yang sama dalam jangka waktu tertentu, dibutuhkan jumlah minyak nyamplung yang lebih banyak. Berdasarkan penelitian Kartika et al (2011), nilai kalor minyak nyamplung yang telah dihilangkan gum-nya yaitu sebesar 9121.24 kal/g dan nilai kalor solar sebesar 9355 kal/g.

Gambar 14. Set up pengujian daya tahan

Menurut Murni (2010), pemanasan pada bahan bakar biodiesel sebelum dinjeksikan ke dalam silinder dapat menurunkan nilai konsumsi bahan bakar spesifik dan meningkatkan efisiensi termal. Namun nilainya tidak selalu konstan, sehingga terdapat nilai optimal suhu pemanasan bahan bakar. Jika bahan bakar dipanaskan melebihi suhu pemanasan optimalnya, maka konsumsi bahan bakarnya pun akan kembali meningkat. Peningkatan ini terjadi karena peningkatan temperatur bahan bakar menyebabkan bahan bakar sangat mudah terbakar, sehingga akan mempersingkat periode pembakaran awal. Periode pembakaran awal dapat didefinisikan sebagai waktu persiapan bahan bakar yang diukur dari awal penginjeksian bahan bakar sampai bahan bakar tersebut mencapai kondisi penyalaan sendiri. Temperatur bahan bakar yang sangat tinggi menyebabkan bahan bakar menjadi lebih cepat mencapai kondisi penyalaan sendiri. Apabila terlalu singkat, maka periode pembakaran akan selesai pada langkah kompresi atau jauh sebelum piston mencapai titik mati atas, sehingga

29 tekanan puncak juga terjadi pada piston sebelum mencapai titik mati atas. Kondisi ini merupakan suatu kerugian karena tekanan tersebut tidak dapat digunakan untuk langkah kerja, akibatnya daya yang dihasilkan akan berkurang dan konsumsi bahan bakar spesifik meningkat.

Peningkatan konsumsi bahan bakar dan penurunan daya mesin mengakibatkan efisiensi termal menjadi menurun, karena efisiensi termal didefinisikan sebagai besarnya pemanfaatan panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar menjadi kerja mekanis. Panas atau tenaga yang dihasilkan oleh bahan bakar dapat diprediksi melalui besarnya konsumsi bahan bakar, sedangkan kerja mekanis dapat ditetapkan dari pengukuran daya mesin. Oleh karena itu, nilai efisiensi termal dipengaruhi oleh nilai konsumsi bahan bakar spesifik.

b. Pengamatan Visual Komponen Motor Bakar Diesel

Setelah pengujian daya tahan, dilakukan pengamatan terhadap komponen-komponen motor bakar diesel yang berkaitan dengan sistem pembakaran seperti injektor, piston, dan kepala silinder.

30

Pengamatan ini dilakukan untuk membandingkan hasil pengujian antara penggunaan bahan bakar solar dengan bahan bakar minyak nyamplung. Dari hasil pengamatan tidak ditemukan kerusakan yang cukup berarti baik berupa retakan, patahan, ataupun perubahan bentuk dari komponen injektor, piston, dan kepala silinder saat beroperasi menggunakan bahan bakar solar dan minyak nyamplung. Ini menunjukkan penggunaan bahan bakar minyak nyamplung tidak memiliki perbedaan siginifikan dengan bahan bakar solar ditinjau dari segi pengaruhnya terhadap kerusakan komponen injektor, piston, dan kepala silinder.

c. Penumpukan Karbon Pada Komponen Motor Bakar Diesel

Injektor merupakan komponen motor bakar diesel yang berfungsi untuk mengkabutkan dan menyemprotkan bahan bakar ke dalam silinder. Pengkabutan adalah proses memecah bahan bakar menjadi butiran kecil atau lebih dikenal dengan istilah atomisasi. Proses ini dimaksudkan agar bahan bakar lebih mudah menguap sehingga dapat lebih mudah bereaksi dengan udara (oksigen) dan menyebabkan terjadinya proses pembakaran.

Gambar 16. Perbandingan tampilan injektor; (a) setelah pengujian menggunakan solar, dan (b) setelah pengujian menggunakan minyak nyamplung.

(a) (b)

31 Gambar 16 memperlihatkan penumpukan karbon pada injektor. Penumpukan karbon untuk kedua jenis bahan bakar terkonsentrasi pada bagian sekitar nozzle injektor. Hal tersebut jika dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan penyumbatan pada lubang nozzle sehingga dapat menurunkan kualitas pengkabutan bahan bakar dan secara umum mengganggu kinerja motor bakar diesel. Karbon yang melekat pada injektor saat menggunakan bahan bakar minyak nyamplung memiliki perbedaan karakteristik dibandingkan dengan saat menggunakan bahan bakar solar, dimana pada saat menggunakan bahan bakar minyak nyamplung, karbon mengalami penggumpalan dan melekat kuat pada permukaan logam di bagian kepala injektor serta terlihat lebih basah dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar solar. Karbon pada saat menggunakan bahan bakar solar berbentuk serbuk, kering, dan tidak lengket.

Menurut O’Brien (2001), penumpukan karbon sebagian besar disebabkan oleh proses pembakaran bahan bakar di dalam silinder dan selebihnya berasal dari terbakarnya pelumas yang masuk ke dalam silinder. Oleh karena itu, karakteristik fisika-kimia dari bahan bakar dan pelumas sangat mempengaruhi proses terjadinya penumpukan karbon di dalam silinder.

Arifin (2009) menyatakan bahwa kualitas pembakaran bahan bakar biodiesel ataupun minyak nabati lebih rendah dibandingkan dengan solar. Hal tersebut disebabkan oleh sifat dari minyak nabati yang memiliki viskositas tinggi dan volatilitas rendah sehingga menghasilkan kualitas atomisasi dan pencampuran bahan bakar dengan udara yang kurang baik. Ukuran butiran atomisasi yang besar dapat meningkatkan jumlah deposit karbon sebagai akibat dari tidak sempurnanya proses pembakaran.

Gambar 17 dan Gambar 18 memperlihatkan perbandingan kondisi permukaan piston dan kepala silinder. Setelah pengoperasian selama 50 jam, permukaan piston dan kepala silinder menjadi tertutupi karbon sisa hasil pembakaran. Hal ini dapat menyebabkan beberapa kerugian seperti peningkatan suhu operasi mesin akibat adanya insulasi ruang pembakaran, proses pembakaran bahan bakar yang terlalu dini, dan pada akhirnya menurunkan kinerja dari motor bakar diesel tersebut. Karbon yang menempel pada piston dan kepala silinder saat menggunakan bahan bakar nyamplung juga terlihat menggumpal, lebih basah dan

32

lebih lengket jika dibandingkan dengan saat menggunakan solar sehingga sulit untuk dibersihkan. Karbon pada kepala silinder saat menggunakan minyak nyamplung terkonsentrasi di sekitar saluran penguhubung antara ruang pembakaran awal dan silinder.

Gambar 17. Perbandingan tampilan piston; (a) kondisi baru, (b) setelah pengujian menggunakan solar, dan (c) setelah pengujian menggunakan minyak nyamplung.

Gambar 18. Perbandingan tampilan kepala silinder; (a) kondisi baru, (b) setelah pengujian menggunakan solar, dan (c) setelah pengujian menggunakan minyak nyamplung.

d. Pengukuran Massa Karbon

Massa karbon yang terdapat pada injektor, piston, dan kepala silinder dapat dilihat pada Gambar 19. Dari grafik tersebut terlihat bahwa massa karbon pada

(a) (b) (c)

Konsentrasi penumpukan karbon pada kepala silinder

(a) (b) (c)

33 komponen injektor saat menggunakan bahan bakar minyak nyamplung sebesar 40.3 mg, sedikit lebih banyak dibandingkan dengan bahan bakar solar, yaitu 38.7 mg. Perbedaan diantara keduanya relatif sangat kecil, yaitu sebesar 1.6 mg. Massa karbon pada komponen piston saat menggunakan bahan bakar minyak nyamplung sebesar 371.7 mg, sedangkan saat menggunakan bahan bakar solar sebesar 532.7 mg. Ini berarti massa karbon saat menggunakan bahan bakar minyak nyamplung lebih sedikit 161 mg dibandingkan bahan bakar solar. Untuk komponen kepala silinder juga berlaku demikian, pada saat menggunakan minyak nyamplung sebesar 626.3 mg dan bahan bakar solar 785.9 mg, sehingga perbedaannya menjadi 159.7 mg. Secara keseluruhan massa karbon yang dihasilkan pada saat menggunakan bahan bakar minyak nyamplung lebih rendah 23.51% dibandingkan dengan bahan bakar solar.

38.7 532.7 785.9 1357.3 40.3 371.7 626.2 1038.2 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

Injektor Piston Kepala Silinder Total

M as sa ( m g)

Solar Minyak Nyamplung

Gambar 19. Massa karbon pada komponen motor bakar diesel

Pengukuran massa karbon dilakukan untuk menganalisa kualitas pembakaran suatu jenis bahan bakar. Secara umum, semakin sempurna suatu proses pembakaran, maka karbon yang dihasilkan pun akan semakin sedikit, karena semakin banyak atom C yang berasal dari bahan bakar (hidrokarbon) yang bereaksi dengan atom O yang berasal dari udara (oksigen) dan menghasilkan CO2. Namun pada kasus penggunaan minyak nyamplung ini, hal tersebut belum tentu menunjukkan bahwa pembakaran minyak nyamplung lebih sempurna jika dibandingkan dengan solar karena massa karbonnya yang lebih sedikit. Jumlah karbon minyak nyamplung yang lebih sedikit dibandingkan solar disebabkan oleh

34

adanya sejumlah bahan bakar yang diinjeksikan ke dalam ruang pembakaran yang tidak ikut terbakar. Hal ini terlihat dari adanya sebagian minyak nyamplung yang keluar bersama gas buang melalui saluran pembuangan. Selain itu, penumpukan karbon pada penggunaan bahan bakar minyak nyamplung memiliki karakteristik yang berbeda dengan penggunaan bahan bakar solar, dimana karbon pada saat menggunakan bahan bakar minyak nyamplung bersifat lebih basah, menggumpal, dan melekat erat pada permukaan logam komponen motor bakar diesel, sedangkan karbon pada saat menggunakan bahan bakar solar berbentuk butiran atau serbuk-serbuk halus. Fenomena ini dapat terjadi akibat proses pengkabutan atau atomisasi minyak nyamplung yang kurang baik sehingga dihasilkan butiran-butiran minyak nyamplung yang berukuran besar dan sulit terbakar oleh panas hasil kompresi pada ruang pembakaran. Ini dibuktikan oleh hasil penelitian Desrial et al (2010) yang menyatakan bahwa minyak nyamplung memiliki kualitas atomisasi yang lebih rendah dibanding solar, dilihat dari segi diameter dan sudut penyemprotan yang dihasilkan. Rendahnya kualitas atomisasi ini menyebabkan bahan bakar nyamplung lebih sulit terbakar dibanding solar, sehingga menghasilkan massa karbon yang relatif lebih sedikit dibanding solar.

Berkaitan dengan hal yang telah dijelaskan sebelumnya, proses pengkabutan yang kurang baik ini dipengaruhi oleh kualitas pemanasan minyak nyamplung sebelum diinjeksikan ke dalam silinder. Jika suhu minyak nyamplung jauh di bawah suhu pemanasan optimumnya (110 °C), maka nilai viskositasnya masih cukup tinggi, sehingga akan semakin sulit untuk dikabutkan.

Selain karena proses pemanasan minyak nyamplung dan kualitas pengkabutan yang rendah, jumlah penumpukan karbon juga dipengaruhi oleh karakteristik bahan bakar yang digunakan. Minyak nyamplung memiliki nilai kalor dan bilangan setana yang lebih rendah sehingga menghasilkan kualitas pembakaran yang lebih rendah pula dibanding solar.

e. Analisa Kualitas Pelumas

Pelumas motor bakar diesel akan mengalami perubahan sifat fisika dan kimia selama beroperasi. Perubahan yang terjadi bergantung pada kondisi operasi motor bakar diesel, jenis bahan bakar dan pelumas yang digunakan, serta lama

35 pengoperasiannnya. Proses pengambilan sampel pelumas dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Pengambilan sampel pelumas

Gambar 21. Sampel pelumas motor bakar diesel; (a) pelumas saat motor bakar diesel menggunakan bahan bakar solar; (b) pelumas saat motor bakar diesel menggunakan bahan bakar minyak nyamplung.

Gambar 21 menunjukkan tampilan pelumas motor bakar diesel pada saat pengujian daya tahan. Interval waktu pengambilan sampel tersebut adalah setiap 10 jam sekali. Warna pelumas akan semakin hitam dan pekat dengan bertambahnya jam operasi mesin. Warna pelumas yang hitam dan pekat tidak selalu menunjukkan bahwa pelumas tersebut memiliki kualitas yang buruk, justru

(a)

(b)

baru 10 jam 20 jam 30 jam 40 jam 50 jam

36

pelumas dengan warna hitam dan pekat menunjukkan bahwa pelumas tersebut telah bekerja untuk membersihkan dan mengikat jelaga ataupun sisa-sisa hasil pembakaran agar tidak menggumpal dan menempel pada komponen-komponen motor bakar diesel.

e. 1. Viskositas

Viskositas pelumas dapat diartikan sebagai resistansi pelumas untuk mengalir. Pada prakteknya, viskositas pelumas sangat dipengaruhi oleh suhu operasi motor bakar diesel. Pada suhu operasi motor bakar diesel yang tinggi, viskositas pelumas tidak boleh terlalu rendah karena lapisan pelumas yang berada di antara dua komponen mesin yang bergerak akan sobek dan terjadilah kontak antara komponen-komponen tersebut sehingga menyebabakan terjadinya keausan.

Pada Gambar 22 dapat dilihat perubahan nilai viskositas pelumas pada suhu 100°C. Pada kondisi baru, viskositas pelumas pada suhu 100°C sebesar 13.18 cSt. Setelah digunakan selama 50 jam operasi, nilainya bertambah menjadi 13.93 cSt untuk bahan bakar solar dan 15.57 cSt untuk bahan bakar minyak nyamplung. Pada penggunaan bahan bakar solar, viskositas pelumas mengalami peningkatan sebesar 5.69%, sedangkan untuk bahan bakar minyak nyamplung, nilainya meningkat sebesar 18.13%. Perubahan nilai viskositas ini masih dalam ambang batas yang diizinkan menurut SNI 06-7069.5-2005, yaitu sebesar 12.5 – 16.3 cSt.

11.50 12.00 12.50 13.00 13.50 14.00 14.50 15.00 15.50 16.00 16.50 0 10 20 30 40 50 V is ko si ta s (c St ) Jam ke-P-1 P-2

Keterangan: P-1 = Pelumas pada saat mesin beroperasi menggunakan solar

P-2 = Pelumas pada saat mesin beroperasi menggunakan minyak nyamplung Max = Ambang batas maksimum viskositas pelumas (SNI 06-7069.5-2005) Min = Ambang batas minimum viskositas pelumas (SNI 06-7069.5-2005)

Gambar 22. Perubahan nilai viskositas pelumas pada suhu 100°C

Max

37 Kenaikan nilai viskositas ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, penyebab utamanya adalah proses oksidasi dan polimerisasi pelumas akibat suhu operasi motor bakar diesel yang sangat tinggi, dan penyebab lainnya adalah terkontaminasi dengan bahan bakar dan sisa hasil pembakaran, serta penurunan fungsi zat aditif pada pelumas.

Menurut Majuni (2006), degradasi pelumas mesin dapat dipengaruhi adanya kontaminasi biodiesel. Sebagaimana diketahui bahwa biodiesel mengandung senyawa ester yang sebagian terdiri dari asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh dikenal rentan terhadap reaksi oksidasi dan polimerisasi. Reaksi polimerisasi pada asam lemak menjadi salah satu penyebab terjadinya gumpalan dan pengentalan pada pelumas. Jika dibiarkan terus-menerus, pengentalan pelumas dapat memperberat kerja motor bakar diesel. Semakin tinggi kandungan ikatan tak jenuh atau ikatan rangkap dalam asam lemak, semakin tinggi bilangan iodin dan semakin rentan terhadap reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi yang diikuti dengan reaksi polimerisasi akan menghasilkan molekul lebih besar yang dapat menggumpal dan meningkatkan kekentalan. Jika bilangan iodin meningkat, gumpalan atau deposit ruang pembakaran juga meningkat.

e. 2. Total Base Number (TBN)

TBN merupakan suatu karakteristik kimia yang menunjukkan alkalinitas pelumas untuk menetralisir asam, baik asam hasil oksidasi pelumas, maupun asam yang terbentuk selama proses pembakaran dan mengkontaminasi pelumas. Semakin besar nilai TBN maka semakin besar pula kemampuan deterjensi, dispersi, dan netralisasi asam hasil oksidasi yang dapat menyebabkan korosi. Pelumas harus mengandung deterjen di dalamnya untuk menetralkan asam-asam mineral yang terjadi akibat reaksi hasil pembakaran bahan bakar seperti SO3, SO2, dan H2O yang masuk ke dalam ruang pelumas dan menjadi H2SO4. Asam ini bersifat korosif dan dapat merusak logam atau alloy dari bagian atau komponen motor bakar diesel. Dengan adanya deterjen yang bersifat basa, maka asam sulfat yang terbentuk dapat dinetralkan. Selain itu deterjen juga dapat membersihkan kotoran yang menempel pada komponen mesin. Pada Gambar 23 bisa dilihat perubahan TBN selama 50 jam motor bakar diesel beroperasi.

38

Perubahan TBN cenderung fluktuatif, namun nilai akhirnya lebih rendah dari kondisi baru, yaitu sebesar 10.33 mg KOH/g. Setelah pemakaian selama 50 jam, nilai TBN menjadi 10.09 mg KOH/g untuk bahan bakar solar atau turun sebesar 2.32% dan 10.19 mg KOH/g untuk bahan bakar minyak nyamplung atau turun sebesar 1.36%. Berdasarkan SNI 06-7069.5-2005, nilai TBN kedua pelumas tersebut masih memenuhi batas yang diizinkan yaitu minimal sebesar 6.0 mg KOH/g. 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00 0 10 20 30 40 50 TB N (m g K O H /g ) Jam ke-P-1 P-2

Keterangan: P-1 = Pelumas pada saat mesin beroperasi menggunakan solar

P-2 = Pelumas pada saat mesin beroperasi menggunakan minyak nyamplung Min = Ambang Batas minimum TBN (SNI 06-7069.5-2005)

Gambar 23. Perubahan Total Base Number (TBN) pada pelumas

Yuksek et al (2009) pernah meneliti tentang pengaruh penggunaan bahan bakar biodiesel dari rapeseed oil selama 150 jam terhadap nilai TBN dan TAN pelumas. Dari hasil penelitiannya, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 24, TBN pelumas mengalami penurunan seiring bertambahnya jam operasi motor bakar diesel sedangkan TAN berlaku sebaliknya.

Penurunan nilai TBN dan kenaikan nilai TAN yang terjadi pada penggunaan biodiesel lebih besar dibandingkan dengan solar. Ini disebabkan oleh sifat dari minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel yang lebih mudah teroksidasi sehingga kandungan asam yang mengkontaminasi pelumas lebih tinggi (Yuksek et al, 2009).

Aditif basa pada pelumas berfungsi menetralkan kondisi asam yang terbentuk akibat proses pembakaran (utamanya asam sulfurik dan asam nitrit),

39 asam organik dari hasil oksidasi pelumas, dan proses penuaan (aging). TBN pelumas menunjukkan kemampuan pelumas dalam menetralkan kondisi keasaman pada mesin. Pemilihan nilai basa pelumas untuk suatu mesin disesuaikan dengan pertimbangan jenis bahan bakar yang dipakai, kandungan sulfur, dan desain mesin itu sendiri. Penurunan nilai basa pelumas bekas pakai (used oil) dari hasil analisa pelumas menunjukkan degradasi aditif basa terhadap polutan asam serta indikasi kelayakan penggunaan kembali pelumas tersebut.

Gambar 24. Nilai TBN dan TAN pelumas saat menggunakan solar (D) dan biodiesel minyak rapa (B100) (Yuksek et al, 2009)

Pelumas secara terus-menerus bereaksi dengan udara di atmosfer dengan membentuk oksidan organik yang bersifat asam. Dalam suhu ruangan, reaksi ini berjalan sangat lambat dan sedikit sekali berpengaruh pada pelumas. Pada suhu operasi motor bakar diesel yang lebih tinggi, laju reaksi berjalan sangat cepat. Pelumasan komponen mesin yang bergesekan adalah contoh nyata kondisi tersebut, dimana suhu kerja di antara pelumas dan logam sangat tinggi, berbeda dengan bagian lain yang tidak bergesekan. Kondisi ini akan lebih buruk bila pelumas telah terkontaminasi dengan polutan padat, air, oksigen, dan bahan bakar. Polutan hasil oksidasi serta asam organik tidak mudah bereaksi dengan aditif TBN sehingga secara umum dapat meningkatkan kekentalan pelumas serta melapisi dan

40

menempel pada komponen motor bakar diesel. Dampak tersebut dapat diminimalisir dengan penerapan teknologi penyaringan yang baik.

e. 3. Kandungan Abu Sulfat

Kandungan abu sulfat merupakan residu yang tidak dapat terbakar yang terkadung di dalam pelumas. Aditif deterjen pelumas yang mengandung logam derivatif seperti senyawa kalsium, magnesium, dan seng merupakan sumber terbentuknya abu. Senyawa logam organik ini membentuk sifat alkalinitas atau yang biasa disebut TBN. Kandungan abu yang berlebihan dapat menyebabkan penumpukan abu dan mengganggu kinerja motor bakar diesel, namun di sisi yang lain, kandungan abu sulfat turut berperan dalam menjaga stabilitas oksidasi pelumas. 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 1.10 1.20 1.30 1.40 1.50 0 10 20 30 40 50 A b u s u lf at (% m as sa ) Jam ke-P-1 P-2

Keterangan: P-1 = Pelumas pada saat mesin beroperasi menggunakan solar

P-2 = Pelumas pada saat mesin beroperasi menggunakan minyak nyamplung Min = Ambang batas minimum kandungan abu sulfat (SNI 06-7069.5-2005)

Gambar 25. Kandungan abu sulfat pada pelumas

Gambar 25 menunjukkan kandungan abu sulfat pada pelumas. Karakteristik kandungan abu sulfat ini berkaitan dengan TBN yang menunjukkan kuantitas aditif deterjen di dalam pelumas, khususnya aditif Ca (Kalsium), Mg (Magnesium), dan Zn (Seng). Aditif Ca berasal dari senyawa deterjen yang berfungsi untuk menetralisir asam yang terjadi dari hasil pembakaran dan mencegah serta membersihkan kotoran. Mg berfungsi sebagai dispersan untuk mendispersikan kotoran agar tidak menggumpal. Sedangkan Zn berasal dari senyawa aditif yang berfungsi sebagai anti oksidan dan anti keausan. Kandungan

41 abu sulfat pelumas pada saat pengujian dengan bahan bakar solar mengalami peningkatan sebesar 8.18% dari 1.10 %massa menjadi 1.19 %massa, sedangkan untuk bahan bakar minyak nyamplung, nilainya meningkat sebesar 29.09%, dari kondisi awal 1.10 %massa menjadi 1.42 %massa. Kedua nilai tersebut masih di atas ambang batas yang diizinkan menurut SNI 06-7069.5-2005, yaitu minimal sebesar 0.70 %massa.

e. 4. Kandungan Kontaminan (Na dan Si)

Gambar 26a dan 26b memperlihatkan kandungan Natrium (Na) dan Silikon (Si) pada pelumas. Kandungan Na pada pelumas baru sebesar 1 ppm, sedangkan Si sebesar 14 ppm. Setelah beroperasi selama 50 jam menggunakan bahan bakar solar dan minyak nyamplung, kandungan Na pada pelumas meningkat menjadi 9 ppm dan Si menjadi 22 ppm yang berlaku untuk kedua jenis bahan bakar. Angka tersebut masih berada di bawah ambang batas yang diizinkan, yaitu sebesar 50 ppm untuk Na dan 45 ppm untuk Si (PT Petrolab Services).

0 10 20 30 40 50 0 10 20 30 40 50 N a (pp m ) Jam ke-P-1 P-2 0 10 20 30 40 50 0 10 20 30 40 50 Si (pp m ) Jam ke-P-1 P-2

Keterangan: P-1 = Pelumas pada saat mesin beroperasi menggunakan solar

P-2 = Pelumas pada saat mesin beroperasi menggunakan minyak nyamplung Max = Ambang batas maksimum (PT Petrolab Services)

Gambar 26. Kandungan Na dan Si pada pelumas

Kandungan Na dan Si berhubungan dengan kontaminasi yang berasal dari partikel debu atau kotoran yang masuk ke dalam ruang pembakaran, kemudian terbawa ke crankcase dan mengkontaminasi pelumas. Partikel Si juga bisa berasal

Dokumen terkait