• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Bahan Bakar Diesel

Bahan bakar diesel atau yang lebih dikenal dengan istilah solar yang umum digunakan pada saat ini diperoleh dari hasil penyulingan minyak bumi (petroleum) atau minyak mentah (crude oil). Unsur kimia utama yang membentuk senyawa ini adalah karbon (C) dan hidrogen (H), sehingga senyawa ini dikenal pula dengan istilah hidrokarbon (Sukoco, 2008).

Kualitas pembakaran pada motor bakar diesel dipengaruhi oleh sifat fisika-kimia dari bahan bakar yang digunakan. Menurut surat keputusan Dirjen Migas 3675 K/24/DJM/2006, karakteristik bahan bakar diesel atau solar yang terdapat di Indonesia memiliki standar seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik solar

Min Max 1 Angka Setana 45 - -2 Berat Jenis (15°C) 815 870 kg/m3 3 Viskositas (40°C) 2.0 5.0 cSt 4 Kandungan Sulfur - 0.35 % m/m 5 Distilasi - 370 °C 6 Titik Nyala 60 - °C 7 Titik Tuang - 18 °C

8 Residu Karbon - Kelas I merit

9 Kandungan Air - 500 mg/kg

10 Korosi Bilah Tembaga - Kelas I merit

11 Kandungan Abu - 0.01 % m/m

12 Kandungan Sedimen - 0.01 % m/m

13 Bilangan Asam Total - 0.6 mg KOH/g

14 Partikulat - - mg/L

15 Penampilan Visual

-16 Warna - 3.0 No. ASTM

Nilai Karakteristik

No Satuan

Jernih dan Terang

Sumber: Surat Keputusan Dirjen Migas 3675 K/24/DJM/2006

Sukoco (2008) menyebutkan bahwa terdapat beberapa karakteristik bahan bakar diesel yang dapat mempengaruhi kinerja dari motor bakar diesel, diantaranya adalah nilai kalor, berat jenis, titik nyala, titik beku, titik uap, viskositas, bilangan setana, residu karbon, kandungan sulfur, serta kandungan sedimen dan air.

6

 Nilai Kalor

Nilai kalor merupakan ukuran panas atau energi yang dihasilkan dari proses pembakaran suatu bahan bakar. Jumlah senyawa karbon dan hidrogen mempengaruhi nilai kalor suatu bahan bakar.

 Berat Jenis

Berat jenis bahan bakar merupakan perbandingan antara massa bahan bakar terhadap volume bahan bakar pada suhu tertentu. Informasi mengenai densitas ini berguna untuk perhitungan kuantitatif dan pengkajian kualitas penyalaan.

 Titik Nyala

Titik nyala merupakan temperatur terendah dimana bahan bakar dapat dipanaskan sehingga uap mengeluarkan nyala api. Titik nyala bahan bakar diesel umumnya lebih tinggi daripada bahan bakar motor bensin agar tidak terjadi penyalaan selama proses penyaluran bahan bakar yang berlangsung dalam kondisi tekanan yang cukup tinggi.

 Titik Beku

Titik beku bahan bakar merupakan temperatur terendah dimana bahan bakar mulai membeku, dimana pada saat itu bahan bakar akan sangat sulit untuk mengalir dan dikabutkan. Karakteristik ini relatif tidak terlalu diperhitungkan di daerah yang memiliki iklim panas seperti di Indonesia. Informasi mengenai titik beku umumnya diperlukan untuk penggunaan bahan bakar pada daerah yang memiliki musim dingin dengan suhu lingkungan sangat rendah.

 Titik Uap

Titik uap merupakan temperatur terendah dimana bahan bakar mulai menguap. Titik uap bahan bakar ditunjukkan dengan perbandingan udara dan uap bahan bakar yang dapat dibentuk pada temperatur tertentu. Pada bahan bakar diesel, titik uap ditunjukkan dengan 90 persen suhu penyulingannya, dimana pada suhu tersebut bahan bakar dapat didistilasikan dari minyak mentah.

 Viskositas

Viskositas suatu fluida merupakan ukuran resistansi terhadap aliran. Viskositas bahan bakar diesel sangat mempengaruhi kemampuan bahan bakar untuk mengalir dan dikabutkan. Selain itu bahan bakar juga berfungsi sebagai pelumas bagian-bagian mesin yang dilaluinya, sehingga nilai viskositasnya tidak

7 boleh terlalu rendah. Namun viskositas yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan rendahnya kualitas pengkabutan bahan bakar.

 Bilangan Setana

Kualitas penyalaan diukur dengan indeks yang disebut bilangan setana. Motor bakar diesel kecepatan tinggi saat ini umumnya memerlukan bilangan setana sekitar 50. Bilangan setana bahan bakar menunjukkan jumlah kandungan setana dalam campuran setana dan naftalen. Setana dan alfa-metil-naftalen merupakan senyawa hidrokarbon yang dihasilkan secara kimia dari minyak ter (tar oil). Setana mempunyai mutu penyalaan yang sangat baik, sedangkan alfa-metil-naftalen mempunyai mutu penyalaan yang sangat buruk. Skala bilangan setana berkisar antara 0 – 100. Bilangan setana 48 menujukkan bahan bakar tersebut terdiri atas 48% setana dan 52% alpha-metyl-naphtalen.

 Residu Karbon

Residu karbon adalah karbon yang tertinggal dari suatu bahan bakar yang telah dipanaskan hingga menguap dan terbakar. Nilai residu karbon menunjukkan kecenderungan bahan bakar untuk membentuk endapan karbon pada komponen mesin. Batas residu karbon yang diizinkan untuk bahan bakar diesel sebesar 0.1%.

 Kandungan Sulfur

Setelah proses pembakaran, sulfur atau belerang yang terkandung di dalam bahan bakar akan menghasilkan zat yang sangat korosif apabila bersinggungan dengan permukaan logam, baik itu dalam bentuk gas ataupun cairan sulfur yang telah dingin. Gas dan cairan sulfur tersebut akan mengkontaminasi pelumas dan merusak struktur kimia pelumas dan komponen sistem pelumasan. Ambang batas maksimal yang diizinkan untuk kandungan sulfur dalam bahan bakar berkisar antara 0.5 - 1.5%

 Kandungan air dan Sedimen

Kandungan air dan sedimen dapat menjadi sumber permasalahan pada motor bakar diesel. Endapan kotoran yang terbawa pada bahan bakar akan menjadi bahan yang mengakibatkan keausan, dan kemungkinan dapat menyumbat saluran distribusi bahan bakar.

8

b. Minyak Nyamplung

Beberapa jenis minyak nabati dapat dijadikan sebagai bahan bakar diesel karena memiliki karakteristik yang mirip dengan solar. Dari Tabel 2 terlihat bahwa nilai kalor beberapa minyak nabati mendekati nilai kalor solar, namun nilai kalor solar masih lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati. Bilangan setana minyak nabati juga tidak berbeda jauh dengan bilangan setana solar, bahkan untuk beberapa minyak nabati, bilangan setananya melebihi bilangan setana solar. Kendala justru terdapat pada nilai viskositas minyak nabati yang bisa mencapai 10 kali lipat lebih besar dari viskositas solar. Tingginya nilai viskositas minyak nabati dapat mengganggu proses distribusi dan pengkabutan bahan bakar sehingga pada akhirnya dapat menurunkan kualitas pembakaran di dalam silinder. Tabel 2. Karakteristik solar dan beberapa minyak nabati

Calorific Density Flash Pour Kinematic Carbon Cetane

Fuel value (kg/m3) point point viscosity residues number

(kJ/kg) (°C) (°C) at 27 °C (cSt) (% w/w) Diesel 43.35 815 45-60 -6.70 4.30 0.03-0.10 47.00 Sunflower oil 39.52 918 73 -15.00 58.50 0.23 37.10 Cottonseed oil 39.64 912 234 -15.00 50.10 0.42 48.10 Soybean oil 39.62 914 254 -12.20 65.40 0.27 38.00 Peanut oil 39.80 903 271 -6.70 39.60 0.24 37.60 Corn oil 37.82 915 277 -40.00 46.30 0.24 37.60

Opium poppy oil 38.92 921 - - 56.10 -

-Rapeseed oil 37.62 914 246 -31.70 39.20 0.30 37.60

Sesame seed oil 39.30 913 260 -9.40 35.50 0.25 40.20

Palm oil 36.51 918 267 -31.70 39.60 - 42.00

Coconut oil 35.80 915 - - 31.59 -

-Mahua oil 38.86 900 238 15.00 37.18 0.42

Rice bran oil 39.50 916 - - 44.52 -

-Jatropha oil 39.77 918 240 - 49.90 0.20-0.44 45.00

Pongamia oil 34.00 912 263 - 37.12 -

-Jojoba oil 42.76 863 292 6.00 25.48 -

-Rubber seed oil 37.50 922 198 - 39.91 - 37.00

Sumber: Russo et al (2012)

Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) merupakan salah satu jenis tanaman hutan potensial yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan bakar nabati. Tanaman nyamplung tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah pesisir pantai (Suita, 2009). Kelebihan nyamplung sebagai bahan baku biofuel adalah inti buah nyamplung (kernel) mempunyai rendemen minyak yang

9 tinggi, dapat mencapai 70 – 75% (Dweck dan Meadows, 2002) dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan.

Kartika et al (2011) telah melakukan penelitian untuk menganalisa karakteristik serta mengkondisikan minyak nyamplung yang akan dijadikan sebagai bahan bakar alternatif motor bakar diesel. Dari hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa kondisi terbaik untuk proses pemurnian minyak nyamplung diperoleh pada degumming dengan penambahan larutan asam fosfat 20% sebesar 0.2% dan netralisasi dengan larutan NaOH pada konsentrasi 18 °Be. Perlakuan tersebut meghasilkan loss minyak yang rendah dan kualitas minyak nyamplung yang baik dengan bilangan asam, bilangan peroksida, kadar abu, dan viskositas yang cukup rendah. Selain itu, minyak nyamplung yang dihasilkan dari proses pemurnian melalui kombinasi degumming dan netralisasi memenuhi standar bahan bakar nabati (BBN) sehingga secara teknis memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan bakar nabati pada motor bakar diesel. Sifat fisika-kimia minyak nyampung murni yang telah melewati proses degumming dan netralisasi dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan bagian-bagian dari tanaman nyamplung dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 3. Karakteristik minyak nyamplung murni

Karakteristik Crude Degummed Neutralized

Nilai kalor (kal/g) 9088.88 9121.84 9386.49

Berat jenis (g/cm3) 0.93 0.92 0.93

Viskositas pada 30°C (cP) 63 55.5 43.5

Panas jenis (kal/g) 1505.2 1519.2 1513.7

Flash point (°C) 82 70 >110

Kadar asam lemak bebas (%) 24.56 23.68 0.63

Bilangan asam (mg NaOH/g) 34.83 33.58 0.89

Bilangan penyabunan mg KOH/g) 136.77 176.26 179.86

Bilangan tak tersabunkan (%) 0.227 0.234 0.152

Kadar abu (%) 0.265 0.083 0.055

Bilangan iod (mg iod/g oil) 106.09 105.33 86.06

Bilangan peroksida (meq/kg) 36.65 18.21 13.24

Ramsbottom residue (%berat) 1.5 1.2 0.42

10

Gambar 1. Bagian-bagian tanaman nyamplung

Minyak nyamplung tersusun atas minyak dengan asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh yang memiliki rantai karbon panjang. Kandungan utama minyak nyamplung terdiri atas asam oleat, asam linoleat, asam stearat, dan asam palmitat (Balitbang Kehutanan, 2008). Besarnya persentase kandungan asam lemak pada minyak nyamplung dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Kandungan asam lemak minyak nyamplung

a b Asam Miristat (C14) 0.09% -Asam Palmitat (C16) 14.60% 15 - 17% Asam Palmitoleat (C16:1) - 0.5 - 1% Asam Stearat (C18) 19.96% 8 - 16% Asam Oleat (C18:1) 37.57% 30 - 50% Asam Linoleat (C18:2) 26.33% 25-40% Asam Linolenat (C18:3) 0.27% -Asam Arachidat (C20) 0.94% 0.5-1% Asam Erukat (C20:1) 0.72% -Persentase Komponen

Sumber: a) Balitbang Kehutanan (2008) b) Debaut et al (2005)

c. Aplikasi Bahan Bakar Minyak Nabati Pada Motor Bakar Diesel

Motor bakar diesel dapat beroperasi dengan menggunakan bahan bakar minyak nabati murni dengan melakukan penyesuaian atau modifikasi terhadap

11 motor bakar diesel (Rutz, 2007). Secara umum, penggunaan minyak nabati secara langsung terkendala oleh tingginya viskositas dan kecenderungannya untuk terpolimerisasi membentuk gum pada mesin (Majuni, 2006). Desrial et al (2009) telah memodifikasi sistem penyaluran bahan bakar motor bakar diesel dengan menambahkan sebuah pemanas bahan bakar yang memanfaatkan gas buang sebagai sumber energi panasnya. Pemanas tersebut berfungsi untuk memanaskan minyak nabati sehingga dapat menurunkan nilai viskositasnya hingga mendekati viskositas solar. Skema proses pemanasan bahan bakar nabati dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema pemanasan bahan bakar minyak nabati dengan memanfaatkan gas buang (Desrial et al, 2009)

Desrial et al (2010) telah berhasil mengoperasikan motor bakar diesel menggunakan bahan bakar minyak nyamplung dengan melakukan pemanasan awal hingga mencapai suhu 110°C, dimana pada suhu tersebut viskositas dari minyak nyamplung mendekati nilai viskositas solar, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Penggunaan bahan bakar minyak nyamplung secara langsung akan berdampak terhadap kualitas atomisasi bahan bakar dan penurunan kinerja motor bakar diesel. Penurunan kinerja ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik seperti nilai kalor, densitas, viskositas, dan bilangan setana antara solar dengan minyak nyamplung sehingga minyak nyamplung menghasilkan kualitas pembakaran yang lebih rendah dibandingkan dengan solar. Berdasarkan hasil

1 2 3 4 5 Keterangan:

1. Saluran masuk gas buang 2. Saluran keluar gas buang

3. Saluran masuk minyak nyamplung 4. Saluran minyak nyamplung (pipa

tembaga)

12

penelitian Desrial et al (2010), penggunaan bahan bakar minyak nyamplung menghasilkan kualitas pengkabutan bahan bakar yang lebih rendah dibandingkan dengan solar. Kinerja yang dihasilkan motor bakar diesel berbahan bakar minyak nyamplung lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar solar, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4. Penurunan daya maksimum yang terjadi adalah 15.97% dan penurunan torsi maksimum yang terjadi sebesar 14.38%.

0 10 20 30 40 50 60 70 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 V is cos it y (c St ) Temperature (°C) Crude Degummed

Neutralized Degummed and Neutralized

Diesel fuel at 30 °C

Gambar 3. Hubungan viskositas minyak nyamplung dengan temperatur (Desrial et al, 2010)

Gambar 4. Kinerja motor bakar diesel; (a) bahan bakar solar; (b) bahan bakar minyak nyamplung (Desrial et al, 2011)

Reksowardojo et al (2009) membandingkan dampak pengaplikasian beberapa minyak nabati pada motor bakar diesel. Bahan bakar yang digunakan adalah campuran antara solar dengan minyak kelapa, minyak sawit, dan minyak jarak. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa penggunaan minyak nabati pada motor bakar diesel mengakibatkan perubahan fisik dari

13 komponen utama motor bakar diesel seperti injektor, piston, ring piston, dan katup, serta menimbulkan pengkerakan pada komponen-komponen tersebut. Selain itu minyak nabati juga dapat mengubah sifat fisik dan kimia dari pelumas yang digunakan pada motor bakar diesel. Dampak ini mengakibatkan kecenderungan jangka waktu perawatan motor bakar diesel dan penggantian pelumasnya menjadi lebih singkat jika dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar solar.

Dari hasil penelitiannya, O’Brien (2001) menyimpulkan bahwa penumpukan karbon (carbon deposit) terjadi pada pengoperasian motor bakar diesel, terutama pada bagian piston, dinding silinder, dan kepala silinder. Penumpukan karbon ini dapat mengakibatkan meningkatnya kandungan NOx pada emisi, serta penurunan kinerja dan efisiensi termal motor bakar.

d. Uji Daya Tahan Motor Bakar Diesel

Pengujian daya tahan merupakan suatu cara untuk mengetahui kondisi motor bakar diesel setelah beroperasi pada jangka waktu yang relatif lama. Secara umum, tidak ada metode standar untuk melakukan pengujian daya tahan, baik itu dari segi alat dan bahan yang digunakan, maupun dari segi jangka waktu pengujian.

Reksowardojo et al (2009) melakukan pengujian daya tahan menggunakan campuran solar dengan bahan bakar nabati yang berasal dari minyak sawit, minyak kelapa, dan minyak jarak. Pengujian daya tahan tersebut dilakukan selama 34 jam untuk melihat pengaruh penggunaan bahan bakar terhadap kinerja, perubahan bentuk dan ukuran komponen motor bakar diesel, pengkerakan, emisi, dan kualitas pelumas. Dari hasil penelitiannya dinyatakan bahwa pencampuran antara solar dan minyak nabati menyebabkan penurunan efisiensi termal dan peningkatan konsumsi bahan bakar spesifik. Deposit karbon yang dihasilkan pun meningkat jika dibandingkan dengan penggunaan solar. Majuni (2006) mengoperasikan motor bakar diesel selama 50 jam menggunakan bahan bakar biodiesel dari minyak jelantah untuk melihat pengaruh bahan bakar yang digunakan terhadap kualitas pelumas.

Baitiang et al (2008) telah menguji daya tahan motor bakar diesel dengan menggunakan bahan bakar biodiesel dan campuran minyak jarak dengan solar.

14

Tujuan pengujian tersebut adalah untuk membandingkan kinerja, tingkat kepekatan asap hitam dari gas buang (black smoke density), konsumsi bahan bakar spesifik, dan ketahanan motor bakar diesel. Dari hasil penelitiannya, disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kinerja yang cukup signifikan antara kedua bahan bakar yang digunakan. Dari segi tingkat kepekatan asap hitam, kedua bahan bakar tersebut memiliki tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar solar, namun konsumsi bahan bakar spesifiknya menjadi lebih besar. Untuk penggunaan minyak jarak, ditemui beberapa masalah pada komponen motor bakar diesel, diantaranya adanya penyumbatan pada bagian saringan bahan bakar dan injektor. Penggunaan bahan bakar minyak jarak perlu dicampur dengan solar dengan tingkat perbandingan 60:40 untuk menghindari terjadinya masalah pada komponen motor bakar diesel, dan setelah pengoperasian dengan menggunakan minyak jarak tersebut, motor bakar diesel perlu dibilas dengan menggunakan bahan bakar solar untuk menghindari kesulitan penyalaan awal pada pengoperasian berikutnya.

e. Pengkerakan Pada Ruang Pembakaran Motor Bakar Diesel

Pengkerakan atau penumpukan karbon terjadi akibat reaksi pembakaran yang tidak sempurna pada ruang pembakaran (O’Brien, 2001). Fenomena ini terjadi di semua jenis motor bakar, baik motor bensin maupun motor bakar diesel. Proses terjadinya pengkerakan sangat bergantung pada desain motor bakar, karakteristik bahan bakar, jenis pelumas yang digunakan, serta kondisi operasi motor bakar. Pembentukan kerak pada ruang pembakaran merupakan sebuah fenomena kompleks yang dapat menimbulkan berbagai masalah pada motor bakar, sehingga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kinerja dari motor bakar dan juga menyebabkan terjadinya kerusakan pada komponen-komponen motor bakar. Pengkerakan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai campuran berbagai macam hasil reaksi pembakaran yang terdiri atas sisa karbon hasil pembakaran (carbon residu), jelaga (soot), serta sisa bahan organik lainnya yang saling terikat sehingga membentuk sebuah campuran heterogen (Arifin, 2009).

15 Gambar 5. Lokasi pengkerakan pada motor bakar diesel (Arifin, 2009).

Proses pengkerakan umumnya terjadi pada komponen-komponen motor bakar yang berhubungan dengan sistem penyaluran bahan bakar dan sistem pembakaran, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 5. Komponen-komponen tersebut adalah plunger pompa injeksi, injektor, sistem katup (valve), kepala silinder, piston, dan ring piston. Secara umum, dampak dari terjadinya pengkerakan di ruang pembakaran dapat menyebabkan penurunan kinerja dari motor bakar, penyalaan awal yang sulit, perubahan pola penyemprotan injektor, peningkatan konsumsi bahan bakar, peningkatan suhu ruang pembakaran, peningkatan rasio kompresi, dan peningkatan emisi dari motor bakar tersebut (O’Brien, 2001). Komposisi kerak yang terdapat pada ruang pembakaran dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi kerak (deposit) pada ruang pembakaran Elemen Persentase Massa Rasio Molar

C 60 – 70 1.00 H 3 – 6 0.60 – 1.00 O 16 – 25 0.20 – 0.30 N 1 – 2.5 0.01 – 0.03 Lainnya (Zn, Ca, P) 0 – 2.5 < 0.02 Sumber: (O’Brien, 2001)

f. Pelumas Motor Bakar Diesel

Analisa sifat fisika dan kimia minyak pelumas digunakan untuk menentukan kualitas minyak pelumas setelah beroperasi dalam jangka waktu tertentu.

16

Perubahan terhadap sifat fisika dan kimia pelumas yang telah dipakai dapat dijadikan sebagai indikator dari kerusakan atau degradasi yang disebabkan oleh proses pembakaran, oksidasi, dan kontaminasi. Sifat-sifat tersebut digunakan sebagai dasar penentuan batas peringatan pemakaian pelumas dan prediksi kondisi dari komponen mesin. Menurut buku petunjuk penggunaan motor bakar diesel Dong Feng R180, periode penggantian pelumas dilakukan setiap motor bakar diesel beroperasi selama 100 jam (Dong Feng R180 Manual Book), namun untuk pengoperasian pertama kali atau kondisi baru, umumnya periode penggantian pelumas lebih singkat dari biasanya, karena tingkat kekasaran permukaan logam komponen-komponen diesel yang masih sangat tinggi. Tabel 6 di bawah menyajikan standar sifat fisika-kimia yang digunakan sebagai pedoman analisa pelumas.

Tabel 6. Sifat fisika-kimia pelumas

Min. Maks. 1 cSt 12.5 16.3 SNI 06-7069.5-2005 2 mgKOH/g 6 - SNI 06-7069.5-2006 3 % massa 0.7 - SNI 06-7069.5-2007 Na ppm - 50 PT Petrolab Services Si ppm - 45 PT Petrolab Services Fe ppm - 125 PT Petrolab Services Cu ppm - 35 PT Petrolab Services Al ppm - 25 PT Petrolab Services Cr ppm - 15 PT Petrolab Services

Jelaga Abs/0.1 mm - 0.8 PT Petrolab Services

Oksidasi Abs/0.1 mm - 0.5 PT Petrolab Services

Nitrasi Abs/0.1 mm - 0.5 PT Petrolab Services

Sulfasi Abs/0.1 mm - 0.5 PT Petrolab Services

Satuan Batasan Sumber

4 Kontaminan Kandungan logam 5 6 FTIR Karakteristik Viskositas kinematik (100°C) Angka basa total

Kandungan abu sulfat No

Menurut Majuni (2006), penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar motor bakar diesel dapat mempengaruhi kualitas pelumas yang disebabkan oleh karakteristik fisika dan kimia dari biodiesel. Sifat-sifat fisika dan kimia yang dijadikan acuan adalah viskositas, tingkat kelarutan bahan bakar, kandungan jelaga, total base number (TBN), dan kandungan logam. Dari hasil penelitian Majuni (2006) yang membandingkan kualitas pelumas antara motor bakar diesel yang menggunakan bahan bakar solar dengan bahan bakar biodiesel dari minyak jelantah, maka didapatkan kesimpulan bahwa pada motor bakar diesel dengan bahan bakar biodiesel yang dioperasikan selama 50 jam, terjadi pengenceran minyak pelumas sebesar 3.5% dan kandungan jelaga sebanyak 10 abs/cm.

17 Kandungan logam pada minyak pelumas juga mengalami kecenderungan meningkat. Hasil menunjukkan angka yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh menggunakan bahan bakar solar. Ini mengindikasikan bahwa pemakaian bahan bakar biodiesel minyak jelantah mempunyai pengaruh yang lebih kecil terhadap terjadinya kontaminasi minyak pelumas motor bakar diesel jika dibandingkan dengan bahan bakar solar, sehingga secara umum jangka waktu penggantian minyak pelumasnya pun relatif menjadi lebih panjang.

Reksowardojo (2009) yang menggunakan campuran bahan bakar solar dengan minyak sawit, minyak kelapa, dan minyak jarak menyatakan bahwa penggunaan minyak nabati pada motor bakar diesel memberikan dampak terhadap pelumasan yang lebih baik dibandingkan dengan solar. Hal tersebut terlihat dari penurunan nilai viskositas dan total kandungan logam yang terdapat pada pelumas saat menggunakan campuran antara solar dengan minyak nabati lebih rendah dibandingkan pada saat menggunakan solar.

19

Dokumen terkait