• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tampilan anak yang diamati saat lahir meliputi jumlah anak sekelahiran, bobot lahir anak, dimensi tubuh (panjang kepala, panjang badan, panjang kaki depan, dan panjang kaki belakang). Hasil pengamatan disajikan pada tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Rataan jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, dan dimensi tubuh pada setiap kelompok percobaan.

Parameter yang diamati

Perlakuan Kontrol (K) bST 0 mg/kgBB (M) bST 9 mg/kgBB (H)

Jumlah anak sekelahiran (ekor)

9.67 + 2.39 a 7.89 + 2.21a 8.00 + 3.16a

Bobot lahir per ekor (gram) 6.35 + 0.74a 6.01 + 0.65 a 6.16 + 0.61a Dimensi tubuh Panjang kepala (cm) 2.23 + 0.17ab 2.08 + 0.23b 2.33 + 0.02a Panjang badan (cm) 3.77 + 0.46a 3.86 + 0.27a 3.85 + 0.31a Panjang tungkai depan (cm) 1.59 + 0.51b 1.83 + 0.22ab 2.09 + 0.09a Panjang tungkai belakang (cm) 1.59 + 0.51b 1.82 + 0.22ab 2.06 + 0.03a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama me nunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian somatotropin tidak mempengaruhi jumlah anak sekelahiran. Jumlah anak sekelahiran dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu jumlah sel telur yang dihasilkan dan tingkat awal pertumbuhan embrio (Warwick et al. 1991). Awal pemberian bST 9 mg/kgBB pada penelitian ini dilakukan pada usia kebuntingan 4 hari, dimana saat itu ovulasi telah terjadi sehingga jumlah anak yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh pemberian bST 9 mg/kgBB. Hal ini mendukung penelitian Gatford et al.

26 sejak kebuntingan tidak berpengaruh pada peningkatan jumlah anak babi per kelahiran. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Rehfeldt et al.

(2001), bahwa pemberian somatotropin pada awal kebuntingan tidak mempengaruhi kelangsungan hidup embrio.

Pada penelitian ini juga terlihat bahwa pemberian bST 9 mg/kgBB pada usia kebuntingan 4 sampai 12 hari tidak mempengaruhi bobot lahir anak. Bobot lahir anak dipengaruhi oleh jumlah nutrisi induk yang dipindahkan ke anak melalui plasenta. Somatotropin dapat menyebabkan penurunan sensitivitas insulin dan juga menurunkan pemakaian glukosa oleh induk, dengan demikian membuat jumlah glukosa yang tersedia untuk fetus semakin besar (Guyton 1994). Menurut Rehfeldt et al. (2001), porcine Somatotropin (pST) tidak menginduksi perubahan apapun terhadap embrio, fetus, dan bobot lahir. Pemberian pST pada babi dengan jumlah anak yang banyak tidak mempengaruhi pertumbuhan fetus ataupun bobot lahir, hal ini berkaitan dengan ketersediaan nutrisi untuk pertumbuhan fetus yang terbatas serta posisi fetus di dalam uterus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bST 9 mg/kgBB tidak berpengaruh terhadap panjang badan anak saat lahir. Di sisi lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bST 9 mg/kgBB berpengaruh secara nyata (p<0.05) terhadap panjang kepala jika dibandingkan dengan bST 0 mg/kgBB. Pemberian bST 9 mg/kgBB meningkatkan panjang kepala 12.02% jika dibandingkan dengan bST 0 mg/kgBB. Terlihat pula bahwa bST 9 mg/kgBB mempengaruhi secara nyata (p<0.05) pada panjang tungkai depan dan tungkai belakang jika dibandingkan dengan kontrol. Pemberian bST 9 mg/kgBB meningkatkan panjang tungkai depan dan panjang tungkai belakang sekitar 31.45% dan 29.85% jika dibandingkan dengan kontrol.

Saat lahir, kepala dan tungkai relatif lebih berkembang dibandingkan dengan otot (Hafez 1980). Turner dan Bagnara (1976) menyatakan bahwa pemberian somatotropin pada hewan yang dihipofisektomi menyebabkan pertumbuhan tengkorak normal. Hal ini berarti bahwa somatotropin berpengaruh terhadap pertumbuhan tulang tengkorak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bST 9 mg/kgBB mampu meningkatkan panjang tengkorak anak.

27 Pemberian hormon pada penelitian ini menunjukkan bahwa somatotropin mampu meningkatkan panjang tungkai depan dan panjang tungkai belakang neonatus. Hal ini memperjelas aksi somatotropin pada pertumbuhan tulang longitudinal. Pada penelitian yang dilakukan Hernawan (2007), penyuntikan somatotropin pada tikus percobaan meningkatkan bobot badan yang diikuti dengan pemanjangan tulang kaki depan dan tulang kaki belakang. Selain itu, aksi somatotropin merangsang pertumbuhan tulang longitudinal terjadi secara langsung dengan cara merangsang prekondrosit di dalam lempeng pertumbuhan yang diikuti oleh perluasan klonal, dan proses itu dapat diakibatkan baik melalui produksi IGF-1 lokal maupun oleh induksi somatotropin yang meningkatkan sirkulasi IGF-1 (Ohlsson et al. 1998). Pada hewan muda yang epifisisnya belum menyatu dengan tulang panjang, pertumbuhan terhambat oleh hipofisektomi dan dirangsang oleh hormon pertumbuhan. Khondrogenesis dipercepat dan sewaktu lempeng epifisis kartilaginosa melebar, terjadi pengendapan lebih banyak matriks tulang pada ujung-ujung tulang panjang (Ganong 2002).

Somatotropin dapat bekerja secara langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan tulang. Penelitian yang dilakukan oleh Issakson et al. (1987) menunjukkan bahwa penyuntikan somatotropin secara langsung pada epifisis tibia proksimal tikus merangsang peningkatan lebar tulang rawan unilateral. Hal ini menunjukkan bahwa somatotropin mampu merangsang pertumbuhan secara langsung pada jaringan yang berbeda.

Aksi somatotropin pada perpanjangan tungkai depan dan tungkai belakang anak pada penelitian ini diasumsikan terjadi melalui dua cara. Pertama, pemberian somatotropin eksogenus pada induk meningkatkan sirkulasi IGF-I sehingga pertumbuhan tulang longitudinal terjadi. Hal ini pernah dikemukakan oleh Rehfeldt et al. (2001), bahwa pemberian somatotropin pada induk meningkatkan kadar IGF-I di plasma anak. Hal tersebut membuat sejumlah jaringan seperti tulang, lemak, dan protein anak meningkat pertumbuhannya. Kedua, somatotropin mampu menembus plasenta sehingga menimbulkan pertumbuhan secara langsung pada tulang longitudinal, walaupun menurut Fholenhag et al. (1994) somatotropin manusia yang diberikan pada tikus tidak mampu melewati plasenta. Perlu diingat bahwa somatotropin me miliki aksi

28 penting terhadap pertumbuhan tulang longitudinal. Pada penelitian ini, somatotropin hanya mempengaruhi panjang tulang longitudinal sehingga mungkin saja ada somatotropin yang masuk ke anak melalui barier plasenta, namun mekanismenya belum dketa hui dengan pasti.

Tahap pertumbuhan anak setelah kelahiran sangat bervariasi pada setiap spesies. Tingkat pertumbuhan ditentukan oleh perawatan induk, dan kemampuan anak tersebut untuk bertahan hidup terhadap semua persaingan yang ada. Pada penelitian ini tingkat pertumbuhan anak diwakili dengan bobot badannya. Kemampuan anak setelah lahir yang diukur melalui bobot badan, pertambahan bobot badan dan mortalitas anak disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Rataan Bobot Usia Prasapih (12 hari) dan Sapih (21 hari), pertambahan bobot badan, dan Mortalitas pada Setiap Kelompok Percobaan.

Parameter yang diamati

Perlakuan Kontrol (K) bST 0 mg/kgBB (M) bST 9 mg/kgBB (H) Bobot badan Usia 12 hari (gram) 16.88 + 1.03a 17.43 + 2.45a 17.52 + 1.41a Usia 21 hari (gram) 28.02 + 4.17 ab 26.06 + 2.28 b 32.50 + 4.83 a Pertambahan bobot badan Usia 1-11 (gram) 9.31 + 0.72a 10.28 + 2.59a 9.56 + 0.91a Usia 12-21 (gram) 11.14 + 3.90ab 8.64 + 2.19b 14.98 + 3.65a Usia 1-21 (gram) 21.67 + 4.18ab 20.16 + 2.37b 26.35 + 4.45a Mortalitas (%) 29.47 + 41.00a 17.41 + 15.30a 14.09 + 10.00a

Keterangan : angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

Rataan bobot badan usia prasapih (usia 12 hari) pada tingkat kepercayaan 95% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada ketiga perlakuan (kontrol, bST 0 mg/kgBB, dan bST 9 mg/kgBB). Bobot badan usia pra sapih pada tikus penelitian berkisar antara 15-19 gram. Rataan bobot badan pada usia lepas sapih menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) antara pemberian hormon dan minyak. Pemberian bST 9 mg/kgBB, menunjukkan angka yang lebih tinggi

29 sekitar 24.72% dibandingkan dengan bST 0 mg/kgBB. Pemberian hormon berpengaruh terhadap bobot badan pada usia lepas sapih yaitu usia 21 hari.

Rataan bobot badan anak tikus usia 1 hari sampai 13 hari memperlihatkan pergerakan yang sama pada ketiga perlakuan. Perbedaan bobot badan mulai terlihat sejak usia 14 hari dan semakin meningkat pada usia 21 hari (Gambar 9). Pada penelitian ini pengamatan hanya dilakukan sampai usia 21 hari. Usia tersebut merupakan waktu dimana anak sudah tidak lagi tergantung pada induknya untuk hidup, tetapi sudah mampu memakan pelet yang disediakan.

Bobot badan harian anak

0 5 10 15 20 25 30 35 1 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 usia (hari)

bobot badan (gram)

kontrol bST 0 mg/kg BB bST 9 mg/kg BB

Gambar 9 Grafik rataan bobot badan anak tikus putih dari umur 1 sampai 21 hari.

Usia pra sapih merupakan usia dimana anak masih sangat bergantung pada susu induk. Pada usia ini tidak terdapat perbedaan bobot badan antara pemberian bST 9 mg/kgBB dengan kontrol. Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah air susu induk pada ketiga kelompok sama sehingga tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan.

Pemberian bST 9 mg/kgBB berpengaruh secara nyata terhadap pertambahan bobot badan anak tikus pada usia 12-21 hari dan 1-21 hari jika dibandingkan dengan bST 0 mg/kgBB. Somatotropin meningkatkan pertambahan bobot badan anak 73.38% (usia12-21 hari) dan 30.70% (usia 1-21 hari) jika dibandingkan dengan bST 0 mg/kgBB.

30 Pada umur 5 sampai 13 hari, pertambahan bobot badan anak tidak menunjukkan perbedaan antara tikus yang diberi somatotropin dan kontrol. Akan tetapi, ketika lebih dari 13 hari, terlihat bahwa grafik pada tikus pemberian hormon mulai meninggi. Hal ini menandakan bahwa pemberian somatotropin memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot badan walaupun hanya sedikit jika dibandingkan dengan kontrol. (Gambar 10)

Pertambahan bobot badan anak

0 5 10 15 20 25 30 1 5 7 9 11 13 15 17 19 21 usia (hari)

bobot badan (gram)

kontrol bST 0 mg/kg BB bST 9 mg/kg BB Gambar 10 Grafik pertambahan bobot badan anak per 2 hari.

Hernawan (2007) mengatakan bahwa penghentian penyuntikan somatotropin mengakibatkan perubahan pola pertumbuhan. Tikus yang disuntik somatotropin dosis 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1-28 tumbuh paling baik menunjukkan pertumbuhan yang rendah 28 hari setelah penghentian penyuntikan. Dihentikannya penyuntikan somatotropin berakibat pada tidak terjadinya rangsangan untuk meningkatkan pertumbuhan.

Pada penelitian ini somatotropin hanya diberikan pada saat kebuntingan. Peningkatan bobot badan anak yang terjadi mungkin disebabkan oleh perbaikan sistem metabolisme anak akibat pemberian somatotropin saat embriogenesis dan organogenesis terjadi. Susu dari induk tidak berpengaruh terhadap bobot badan, namun saat anak mulai mengkonsumsi makanan lain terjadi peningkatan bobot

31 badan secara signifikan. Anak mungkin mampu memanfaatkan makanan yang masuk ke dalam tubuh secara optimal untuk pertumbuhan badannya.

Mortalitas anak dihitung sejak anak lahir sampai usia lepas sapih yaitu umur 21 hari. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian bST 9 mg/kgBB tidak memberikan pengaruh (p>0.05) terhadap mortalitas anak. Mortalitas biasanya terjadi disebabkan oleh induk memakan anaknya karena lingkungan yang buruk (kotor, ribut, berdesak-desakan) dan juga karena induk merasa tidak nyaman oleh berbagai sebab. Pada penelitian ini faktor-faktor diatas telah diatasi dengan baik yaitu dengan selalu menjaga kandang dalam keadaan bersih. Kanibalisme oleh kekurangan makanan maupun minuman dapat juga menjadi penyebab kematian anak (Malole dan Pramono 1989). Pada penelitian ini, makanan dan minuman diberikan ad libitum sehingga kemungkinan kematian akibat kekurangan makanan ataupun minuman bisa dieliminasi. Menurut Malole dan Pramono (1989) anak yang lahir dalam keadaan lemah biasanya dimakan oleh induknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa somatotropin tidak menyebabkan mortalitas yang tinggi, mungkin hal ini disebabkan oleh anak yang lahir pada pemberian bST 9 mg/kgBB dilahirkan dalam kondisi yang baik. Hal ini yang menyebabkan anak mampu untuk bertahan hidup pada tahap kehidupan selanjutnya.

BAB V

Dokumen terkait