• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tampilan anak tikus (Rattus norvegicus) dari induk yang diberi bovine somatotropin (bST) pada awal kebuntingan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tampilan anak tikus (Rattus norvegicus) dari induk yang diberi bovine somatotropin (bST) pada awal kebuntingan"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

TAMPILAN ANAK TIKUS (Rattus norvegicus) DARI INDUK

YANG DIBERI BOVINE SOMATOTROPIN (bST) PADA AWAL

KEBUNTINGAN

NURUL FARIDA ADNAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

NURUL FARIDA ADNAN. Tampilan Anak Tikus (Rattus norvegicus) Dari Induk Yang Diberi Bovine Somatotropin (bST) Pada Awal Kebuntingan. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan PUDJI ACHMADI.

Pengembangan potensi hewan politokus (hewan yang mampu melahirkan anak lebih dari satu dalam setiap kelahiran) merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Seiring dengan meningkatnya jumlah anak maka akan timbul berbagai masalah baru, diantaranya yaitu tingginya kematian anak, rendahnya bobot lahir, dan rendahnya tingkat pertumbuhan anak. Kondisi anak saat lahir sangat tergantung pada kondisi induk saat kebuntingan berlangsung. Diperlukan suatu inovasi untuk memperbaiki kondisi induk saat bunting, sehingga anak dapat dilahirkan dalam kondisi yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Bovine Somatotropin (bST) pada induk di awal kebuntingan terhadap tampilan anak yang dilahirkan dan pertumbuhannya. Hewan model yang digunakan adalah tikus spesies Rattus norvegicus. Sampel tikus bunti ng yang digunakan sebanyak 30 ekor. Sampel dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol (K), kelompok yang diberi bST 0 mg/KgBB (M) dan kelompok yang diberi bST 9 mg/KgBB (H). Tikus dibiarkan sampai partus secara alamiah, kemudian anaknya dilakukan pengukuran sampel. Tampilan anak yang diamati meliputi jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, dimensi tubuh (panjang kepala, panjang badan, panjang tungkai depan dan panjang tungkai belakang), mortalitas, bobot badan usia pra sapih (12 hari), bobot badan usia lepas sapih (21 hari), dan pertambahan bobot badan sampai usia lepas sapih (21 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bST mampu meningkatkan panjang kepala, panjang tungkai depan, panjang tungkai belakang neonatus, bobot badan usia 21 hari, pertambahan bobot badan usia 12 sampai 21 hari dan usia 1 sampai 21 hari.

(3)

TAMPILAN ANAK TIKUS (Rattus norvegicus) DARI INDUK

YANG DIBERI BOVINE SOMATOTROPIN (bST) PADA AWAL

KEBUNTINGAN

NURUL FARIDA ADNAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Tampilan Anak Tikus (Rattus norvegicus) Dari Induk yang Diberi Bovine Somatotropin (bST) Pada Awal Kebuntingan Nama : Nurul Farida Adnan

NIM : B04103119

Disetujui

Dr. Nastiti Kusumorini Pembimbing I

Drs. Pudji Achmadi Pembimbing II

Diketahui

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan FKH IPB

(5)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Sang Maha Berkehendak, atas karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul Tampilan Anak Tikus (Rattus norvegicus) Dari Induk yang Diberi Bovine Somatotropin (bST) Pada Awal Kebuntingan ini merupakan salah satu syarat kelulusan studi program sarjana strata 1 pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Tiada manusia yang bisa berhasil dengan kekuatannya sendiri. Atas segala dukungan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1 Papah (Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MSi.) dan Mamah (Cucu Kurniasih, SPd.), AA, Teh Nisa, Ainul dan Teh Nurul serta seluruh keluarga besar penulis.

2 Dr. Nastiti Kusumorini selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik.

3 Drs. Pudji Achmadi dan Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc. selaku pembimbing skripsi.

4 Dr. Drh. Hera Maheshwari, MSi. selaku dosen penguji.

5 Program Hibah Kompetisi A3 FKH IPB yang telah membiayai dan mendukung terlaksananya penelitian ini.

6 Staf laboratorium Fisiologi dan Farmakologi (Ibu Ida, Ibu Sri, Pak Edi, Pak Wawan, dkk).

7 Teman-teman satu penelitian: Widia, Agus ’Dompu’, Intan, Meetha dan Atin.

8 Beasiswa Supersemar sejak Tahun 2006 sampai 2007.

9 Teman-teman penulis di Gymnolaemata 40: Dani Wangsit Narendra, Himadika (Chandra, Pritta, Ramlah, Supri, Sabto), Neng Ani, dan Tri Regina (Dattu, Wiwik, Faiq, Ochie, dkk), Rulita (Rikki, Lina, dkk), Djejaka.

10 Semua pihak yang memberikan arti penting untuk perjalanan hidup penulis termasuk penyelesaian skripsi ini.

Semoga karya ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi semua pihak. Kritik dan saran membangun untuk membuat hasil karya penulis menjadi lebih baik sangat penulis harapkan.

Bogor, Agustus 2007

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Nurul Farida Adnan. Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 25 April 1986. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara dari ayahanda Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MSi. dan ibunda Cucu Kurniasih, SPd.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 4

2.1.1. Karakteristik Umum ... 4

2.1.2. Karakteristik Reproduksi ... 6

2.1.3. Pertumbuhan fetus ... 7

2.1.4. Litter Size ... 9

2.1.5. Bobot Lahir ... 10

2.1.6. Sifat Anak Tikus ... 10

2.1.7. Bobot Badan ... 11

2.1.8. Mortalitas ... 12

2.2. Somatotropin (Hormon Pertumbuhan) ... 13

2.2.1. Somatotropin (STH) Secara Umum ... 13

2.2.2. Efek Fisiologi Somatotropin ... 14

2.3. Bovine Somatotropin (bST)... 17

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 20

3.3. Metode Penelitian... 20

3.3.1. Persiapan penelitian ... 20

(8)

vii

3.3.3. Pengukuran Sampel ... 22

3.3.4. Parameter yang Diamati ... 23

3.4. Analisa Statistik ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 32

5.2. Saran... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Data biologis tikus putih (Rattus norvegicus) (Sumber: Smith dan

Mangkoewidjojo 1987) ... 7 2 Profil pertumbuhan tikus (Sumber: Inglis 1980)... 11 3 Rataan jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, dan dimensi tubuh pada

setiap kelompok perlakuan ... 25 4 Rataan bobot prasapih (12 hari) dan sapih (21 hari), pertambahan bobot

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Rattus norvegicus (Sumber: Sliper 2004) ... 5

2 Ukuran fetus tikus (Sumber: Inglis 1980) ... 9

3 Skema efek fisiologis dari hormon pertumbuhan (Sumber: Bowen 2006) ... 15

4 Perbandingan antara pertambahan berat badan tikus yang setiap harinya disuntik hormon pertumbuhan dengan pertambahan berat badan tikus normal (Sumber: Guyton 1994) ... 15

5 Produksi bST (Sumber: Nott 1999)... 18

6 Persiapan Penelitian ... 21

7 Tikus Partus... 22

8 Ilustrasi teknik pengukuran dimensi tubuh anak tikus (Sumber : Widiyani 2000) ... 23

9 Grafik rataan bobot badan anak tikus putih dari umur 1 sampai 21 hari ... 29

(11)

TAMPILAN ANAK TIKUS (Rattus norvegicus) DARI INDUK

YANG DIBERI BOVINE SOMATOTROPIN (bST) PADA AWAL

KEBUNTINGAN

NURUL FARIDA ADNAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

NURUL FARIDA ADNAN. Tampilan Anak Tikus (Rattus norvegicus) Dari Induk Yang Diberi Bovine Somatotropin (bST) Pada Awal Kebuntingan. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan PUDJI ACHMADI.

Pengembangan potensi hewan politokus (hewan yang mampu melahirkan anak lebih dari satu dalam setiap kelahiran) merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Seiring dengan meningkatnya jumlah anak maka akan timbul berbagai masalah baru, diantaranya yaitu tingginya kematian anak, rendahnya bobot lahir, dan rendahnya tingkat pertumbuhan anak. Kondisi anak saat lahir sangat tergantung pada kondisi induk saat kebuntingan berlangsung. Diperlukan suatu inovasi untuk memperbaiki kondisi induk saat bunting, sehingga anak dapat dilahirkan dalam kondisi yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Bovine Somatotropin (bST) pada induk di awal kebuntingan terhadap tampilan anak yang dilahirkan dan pertumbuhannya. Hewan model yang digunakan adalah tikus spesies Rattus norvegicus. Sampel tikus bunti ng yang digunakan sebanyak 30 ekor. Sampel dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol (K), kelompok yang diberi bST 0 mg/KgBB (M) dan kelompok yang diberi bST 9 mg/KgBB (H). Tikus dibiarkan sampai partus secara alamiah, kemudian anaknya dilakukan pengukuran sampel. Tampilan anak yang diamati meliputi jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, dimensi tubuh (panjang kepala, panjang badan, panjang tungkai depan dan panjang tungkai belakang), mortalitas, bobot badan usia pra sapih (12 hari), bobot badan usia lepas sapih (21 hari), dan pertambahan bobot badan sampai usia lepas sapih (21 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bST mampu meningkatkan panjang kepala, panjang tungkai depan, panjang tungkai belakang neonatus, bobot badan usia 21 hari, pertambahan bobot badan usia 12 sampai 21 hari dan usia 1 sampai 21 hari.

(13)

TAMPILAN ANAK TIKUS (Rattus norvegicus) DARI INDUK

YANG DIBERI BOVINE SOMATOTROPIN (bST) PADA AWAL

KEBUNTINGAN

NURUL FARIDA ADNAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

Judul Skripsi : Tampilan Anak Tikus (Rattus norvegicus) Dari Induk yang Diberi Bovine Somatotropin (bST) Pada Awal Kebuntingan Nama : Nurul Farida Adnan

NIM : B04103119

Disetujui

Dr. Nastiti Kusumorini Pembimbing I

Drs. Pudji Achmadi Pembimbing II

Diketahui

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan FKH IPB

(15)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Sang Maha Berkehendak, atas karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul Tampilan Anak Tikus (Rattus norvegicus) Dari Induk yang Diberi Bovine Somatotropin (bST) Pada Awal Kebuntingan ini merupakan salah satu syarat kelulusan studi program sarjana strata 1 pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Tiada manusia yang bisa berhasil dengan kekuatannya sendiri. Atas segala dukungan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1 Papah (Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MSi.) dan Mamah (Cucu Kurniasih, SPd.), AA, Teh Nisa, Ainul dan Teh Nurul serta seluruh keluarga besar penulis.

2 Dr. Nastiti Kusumorini selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik.

3 Drs. Pudji Achmadi dan Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc. selaku pembimbing skripsi.

4 Dr. Drh. Hera Maheshwari, MSi. selaku dosen penguji.

5 Program Hibah Kompetisi A3 FKH IPB yang telah membiayai dan mendukung terlaksananya penelitian ini.

6 Staf laboratorium Fisiologi dan Farmakologi (Ibu Ida, Ibu Sri, Pak Edi, Pak Wawan, dkk).

7 Teman-teman satu penelitian: Widia, Agus ’Dompu’, Intan, Meetha dan Atin.

8 Beasiswa Supersemar sejak Tahun 2006 sampai 2007.

9 Teman-teman penulis di Gymnolaemata 40: Dani Wangsit Narendra, Himadika (Chandra, Pritta, Ramlah, Supri, Sabto), Neng Ani, dan Tri Regina (Dattu, Wiwik, Faiq, Ochie, dkk), Rulita (Rikki, Lina, dkk), Djejaka.

10 Semua pihak yang memberikan arti penting untuk perjalanan hidup penulis termasuk penyelesaian skripsi ini.

Semoga karya ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi semua pihak. Kritik dan saran membangun untuk membuat hasil karya penulis menjadi lebih baik sangat penulis harapkan.

Bogor, Agustus 2007

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Nurul Farida Adnan. Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 25 April 1986. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara dari ayahanda Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MSi. dan ibunda Cucu Kurniasih, SPd.

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 4

2.1.1. Karakteristik Umum ... 4

2.1.2. Karakteristik Reproduksi ... 6

2.1.3. Pertumbuhan fetus ... 7

2.1.4. Litter Size ... 9

2.1.5. Bobot Lahir ... 10

2.1.6. Sifat Anak Tikus ... 10

2.1.7. Bobot Badan ... 11

2.1.8. Mortalitas ... 12

2.2. Somatotropin (Hormon Pertumbuhan) ... 13

2.2.1. Somatotropin (STH) Secara Umum ... 13

2.2.2. Efek Fisiologi Somatotropin ... 14

2.3. Bovine Somatotropin (bST)... 17

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 20

3.3. Metode Penelitian... 20

3.3.1. Persiapan penelitian ... 20

(18)

vii

3.3.3. Pengukuran Sampel ... 22

3.3.4. Parameter yang Diamati ... 23

3.4. Analisa Statistik ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 32

5.2. Saran... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Data biologis tikus putih (Rattus norvegicus) (Sumber: Smith dan

Mangkoewidjojo 1987) ... 7 2 Profil pertumbuhan tikus (Sumber: Inglis 1980)... 11 3 Rataan jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, dan dimensi tubuh pada

setiap kelompok perlakuan ... 25 4 Rataan bobot prasapih (12 hari) dan sapih (21 hari), pertambahan bobot

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Rattus norvegicus (Sumber: Sliper 2004) ... 5

2 Ukuran fetus tikus (Sumber: Inglis 1980) ... 9

3 Skema efek fisiologis dari hormon pertumbuhan (Sumber: Bowen 2006) ... 15

4 Perbandingan antara pertambahan berat badan tikus yang setiap harinya disuntik hormon pertumbuhan dengan pertambahan berat badan tikus normal (Sumber: Guyton 1994) ... 15

5 Produksi bST (Sumber: Nott 1999)... 18

6 Persiapan Penelitian ... 21

7 Tikus Partus... 22

8 Ilustrasi teknik pengukuran dimensi tubuh anak tikus (Sumber : Widiyani 2000) ... 23

9 Grafik rataan bobot badan anak tikus putih dari umur 1 sampai 21 hari ... 29

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisa data hasil penghitungan jumlah anak sekelahiran ... 39

2 Analisa data hasil penimbangan bobot lahir ... 39

3 Analisa data hasil pengukuran panjang kepala (XY) tikus putih neonatus... 39

4 Analisa data hasil pengukuran panjang badan (QZ) tikus putih neonatus... 39

5 Analisa data hasil pengukuran panjang tungkai depan (a1a2) tikus putih neonatus ... 39

6 Analisa data hasil pengukuran panjang tungkai belakang (b1b2) tikus putih neonatus ... 40

7 Analisa data bobot badan usia pra sapih (12 hari) ... 40

8 Analisa data bobot badan lepas sapih (21 hari) ... 40

9 Analisa data pertambaha n bobot badan usia 1-11 hari... 40

10 Analisa data pertambahan bobot badan usia 12-21 hari... 40

11 Analisa data pertambahan bobot badan usia 1-21 hari... 41

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Usaha peternakan di Indonesia belum mencapai hasil yang maksimal. Padahal keberhasilan pengembangan sub sektor peternakan ini erat kaitannya dengan kemampuan nasional terhadap penyediaan protein hewani. Protein hewani sangat dibutuhkan dalam pemenuhan gizi guna menunjang program peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Sumber protein hewani yang banyak beredar di masyarakat berasal dari ternak sapi dan unggas. Kedua komoditas ini tetap saja belum mampu untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pemerintah akhirnya mengadakan impor sapi guna memenuhi kebutuhan domestik. Cara ini tidak selamanya dapat dilaksanakan, sebab lambat laun akan merugikan negara.

Cara efektif yang dapat ditempuh yaitu mengembangkan komo ditas lain di dunia peternakan. Salah satunya yaitu domba. Domba merupakan ternak kecil yang banyak dipelihara di Indonesia. Perkembangannya cukup pesat sebab domba mempunyai toleransi yang tinggi terhadap berbagai jenis pakan, mudah dipelihara, siklus reproduksinya relatif cepat dan mampu melahirkan anak sebanyak tiga kali selama 2 tahun. Domba dikenal sebagai salah satu hewan politokus. Hewan politokus adalah hewan yang mampu melahirkan anak lebih dari satu dalam setiap kelahirannya (Mulyono dan Sarwono 2004).

(23)

2 Upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi penurunan kinerja reproduksi yaitu seleksi induk dan pejantan, perbaikan nutrisi, serta perbaikan kondisi lingkungan (Murtidjo 1993). Kenyataan menunjukkan bahwa upaya tersebut belum bisa memberi hasil yang optimal karena masih tingginya kematian embrio, terutama sejak masa konseptus (Toelihere 1979). Gangguan fungsi endokrin dapat menjadi salah satu penyebabnya (Frandson 1992). Perbaikan hormonal sangat perlu dilakukan agar proses kebuntingan dapat berjalan dengan baik.

Kebuntingan merupakan suatu proses interaksi beberapa hormon, yaitu hormon-hormon reproduksi primer (seperti estrogen dan progesteron) dan hormon-hormon reproduksi sekunder (seperti somatotropin dan Thyroid Stimulating Hormone). Pemberian hormon-hormon reproduksi primer saat kebuntingan berlangsung telah terbukti mampu memperbaiki kondisi anak saat dilahirkan. Hasil penelitian Widiyani (2000) membuktikan bahwa pemberian estrogen dan progesteron mampu meningkatkan bobot lahir dan panjang tulang belakang anak. Penelitian lain mengemukakan bahwa pemberian progesteron saat kebuntingan juga mampu meningkatkan pertumbuhan fetus (Vallet dan Christenson 2004). Suatu inovasi diperlukan untuk memperbaiki kondisi anak saat kebuntingan berlangsung. Pemanfaatan hormon yang mempunyai pengaruh penting dalam proses pertumbuhan perlu dilakukan. Salah satunya yaitu hormon pertumbuhan (somatotropin).

Somatotropin (growth hormone) merupakan hormon protein yang diproduksi di hipofise anterior (Merimee 1979, Ganong 2002). Somatotropin sangat esensial untuk pertumbuhan normal dari hewan muda dan berfungsi untuk mengatur metabolisme pada dewasa (Hafez dan Dyer 1969). Pada awal abad ini telah didemonstrasikan bahwa pertumbuhan hewan bisa distimulasi oleh administrasi somatotropin (Crooker et al. 2006). Sejak tahun 1950 penggunaan somatotropin sebagai pemacu pertumbuhan sudah meluas di negara-negara maju. Di Indonesia, penggunaannya dilarang sejak tahun 1983, namun pada tahun 1996 penggunaannya diizinkan hanya untuk gangguan reproduksi dan tujuan terapi.

(24)

3 protein tubuh, menggunakan lemak cadangan sebagai energi, dan menghemat karbohidrat.

Pada induk, somatotropin memiliki pengaruh yang sangat penting untuk penyediaan nutrisi fetus. Penurunan sensitivitas insulin dan penurunan pemakaian glukosa oleh induk membuat jumlah glukosa untuk fetus bertambah besar. Pertumbuhan janin menjadi semakin terjamin dengan nutrisi yang besar dari induknya (Guyton 1994).

Penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh somatotropin terhadap tampilan anak yang dilahirkan dan pertumbuhannya. Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus). Hewan ini banyak digunakan dalam penelitian karena mudah dalam penanganan dan pemeliharaan, masa kebuntingannya relatif singkat (21-23 hari), dan merupakan hewan politokus (Malole dan Pramono 1989).

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh somatotropin terhadap tampilan anak yang dilahirkan dan pertumbuhannya dari induk yang diberi bovine Somatotropin (bST) pada saat kebuntingan. Sebagai hewan uji digunakan tikus putih (Rattus norvegicus). Tampilan anak yang diamati meliputi jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, dimensi tubuh (panjang kepala, panjang badan, panjang tungkai depan dan panjang tungkai belakang), mortalitas, bobot badan usia pra sapih (12 hari), bobot badan usia lepas sapih (21 hari), dan pertambahan bobot badan sampai usia lepas sapih (21 hari).

1.3. Manfaat Penelitian

(25)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tikus Putih (Rattus norvegicus) 2.1.1. Karakteristik Umum

Tikus adalah salah satu binatang yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri paling baik dengan lingkungannya (Anonimus 1990; Maust 2002). Tikus yang paling banyak digunakan sebagai hewan percobaan dan peliharaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Tikus ini memiliki beberapa keunggulan antara lain penanganan dan pemeliharaan yang mudah karena tubuhnya kecil, sehat, dan bersih, kemampuan reproduksi tinggi dengan masa kebuntingan singkat (Malole dan Pramono 1989).

Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Myers dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus memiliki sepasang gigi seri berbentuk pahat yang tidak berhenti tumbuh pada setiap rahangnya, sehingga untuk mempertahankan ukurannya ia terpaksa mengerat apa saja (Anonimus 1990). Karakter fisik lainnya yaitu memiliki mata yang kecil, telinganya tidak berambut, dan ekor bersisik yang lebih pendek daripada panjang tubuh dan kepalanya (Maust 2002). Warna umum dari

(26)

5 biasanya merupakan bangsa albino dari Rattus norvegicus (Ballenger 2002; Anonimus 2007b). (Gambar 1)

Gambar 1 Rattus norvegicus.(Sumber: Sliper 2004)

Hewan ini melakukan aktivitasnya pada malam hari (nocturnal). Aktivitasnya seperti menggali lubang, mencari makan, dan mempersiapkan sarang. Tikus termasuk ke dalam omnivora (pemakan semua jenis makanan). Makanannya bisa berasal dari sampah, sabun, permen, buah-buahan, padi, benih, dan bahkan rodensia serta hewan lainnya (Maust 2002; Myers dan Armitage 2004; Anonimus 2007b). Tikus dapat bertahan selama 14 hari tanpa makanan (Maust 2002).

Tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3 tahun, berat badan pada umur 4 minggu dapat mencapai 35-40 g dan setelah dewasa rata-rata 200-250 g. Variasi berat badan ini tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 g tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 g (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Total panjang tubuh 440 mm, panjang ekor 205 mm (Maust 2002; Anonimus 2007b).

Tikus laboratorium merupakan strain albino dari Rattus norvegicus. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil pembiakan sesama jenis atau persilangan. Galur yang paling sering digunakan untuk penelitian menurut Inglis (1980) yaitu:

1. Spraque-Dawley (albino)

(27)

6 yang panjang sebagai ciri-ciri yang paling tampak. Bobot badan jantan pada umur 12 minggu mencapai 240 g, sedangkan betina mencapai 200 g. Galur ini mempunyai pertumbuhan yang cepat, temperamen yang baik dan kemampuan laktasi yang tinggi (Robinson 1979). Selain itu merupakan tikus yang terbesar dibandingkan dengan yang lain dan hampir sebesar tikus liar (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).

2. Wistar (albino)

Galur ini berasal dari Institut Wistar, Philadelphia, Pennsylvania. Hewan ini mempunyai telinga yang panjang dan kepala yang lebih lebar. Ekornya tidak sama dengan panjang tubuh seperti galur Spraque-Dawley.

3. Long-Evans (hooded)

Galur ini mempunyai kepala, bahu, dan terkadang bagian dorsal berwarna sebagai tanda. Warnanya bisa bervariasi dari hitam sampai krem. Hewan ini lebih kecil dibandingkan kedua galur di atas.

Tikus yang menyebar di seluruh dunia dan digunakan secara luas sebagai hewan coba maupun hewan kesayangan adalah tikus putih yang berasal dari Asia Tengah dan tidak ada hubungannya dengan Norwegia seperti yang diduga dari namanya (Maust 2002). Tikus laboratorium (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian (Malole dan Pramono 1989).

2.1.2. Karakteristik Reproduksi

(28)

7 Umumnya tikus mulai kawin pada usia 8-9 minggu, tetapi sebaiknya dikawinkan sebelum berumur 10-12 minggu (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Masa kebuntingannya relatif singkat yaitu 22-24 hari (Myers dan Armitage 2004). Sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar ambing. Tikus jarang menunjukkan kebuntingan semu. Seperti pada mencit, kita dapat mengetahui kebuntingan tikus saat berumur 10-14 hari setelah ditemukan sumbat vagina dengan cara meraba perut atau dengan cara memeriksa adanya spermatozoa dalam usapan vagina (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Tikus putih termasuk kedalam kelompok poligami. Satu jantan bisa mengawini 5 atau lebih betina (Inglis 1980). (Tabel 1)

Tabel 1 Data biologis tikus putih (Rattus norvegicus).

Kriteria Keterangan Kecepatan tumbuh

2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun 1 tahun

20-22 hari 1-24 jam 21 hari 40-60 hari

10 minggu (jantan dan betina) Poliestrus

4-5 hari 9-20 jam

Pada waktu estrus

300-400 g jantan; 250-300 g betina 5-6 g

Rata-rata 9, dan dapat 20

73% Air, 14-16% lemak, 9-10% protein, 2-3% gula.

12 puting: 3 pasang di daerah dada dan 3 pasang di daerah perut

3 betina dengan 1 jantan 5 g/hari

Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo (1987)

2.1.3. Pertumbuhan Fetus

(29)

8 periode sebelum implantasi, embrio relatif tidak tergantung dari induknya. Akan tetapi, dari saat implantasi dan selanjutnya embrio benar-benar tergantung dari induknya dan apabila penyesuaian hormonal, fisiologis, dan immunologis dengan kebuntingan tidak berlangsung maka embrio akan segera mati (Tomaszewska et al. 1991).

Pada tikus di usia kebuntingan 2 hari (24 jam setelah konsepsi), embrio telah membelah menjadi 2 sel. Embrio kemudian menjadi morula yang mengandung 12-16 sel pada usia kebuntingan 4 hari. Embrio mulai memasuki uterus pada usia kebuntingan ini. Implantasi terjadi pada usia kebuntingan 5 hari. Implantasi ini terjadi ketika blastosit berikatan dengan endometrium. Estrogen dan status hormon sangat mempengaruhi keberhasilan implantasi ini. Blastosit bertambah panjang dan besar pada usia kebuntingan 6 hari. Uterus mengalami peningkatan vaskularisasi. Titik implantasi baru terlihat pada usia kebuntingan 7 hari. Pembentukan somit mulai terjadi pada hari ke-9 sampai 10. Somit adalah segmen pada buluh syaraf embrio yang tumbuh ke bagian eksternal tubuh yang kemudian berubah menjadi masa otot yang berhubungan dengan nervus spinalis. Pada hari ke-5, embrio tikus telah memasuki tahap organogenesia dan berlanjut sampai hari ke-8 sampai 9. Selama tahap ini organ rudimenter telah terlihat. Morfologi dewasa mulai terlihat pada tahap ini. Tahap ini merupakan tahap yang sangat rentan terhadap karsinogen dan teratogen, yang menyebabkan tumor pada fetus atau malformasi dan gangguan pada pertumbuhan fetus. Setelah tahap organogenesis, embrio memasuki tahap maturasi. Selama tahap ini organ mulai tumbuh dan berfungsi. Kepala embrio tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan badan pada hari ke-15. Rongga persendian tumbuh menjadi punggung, siku, panggul, dan lutut pada hari ke-16. Pertumbuhan persendian karpus dan tarsus pada hari ke-17, dan digit dari kaki mulai tumbuh berkembang sejak hari ke-19 atau ke-20 kebuntingan. Pada hari ke-22 aktifitas pembentukan darah di hati mulai terlihat di akhir masa kebuntingan (Anonimus 2006).

(30)

9 Gambar 2 Ukuran fetus tikus. (Sumber : Inglis 1980)

2.1.4. Litter Size

Litter Size atau jumlah anak perinduk perkelahiran adalah jumlah total anak hidup dan mati pada waktu dilahirkan. Litter size ini dipengaruhi oleh umur induk, kuantitas dan kualitas pakan, kondisi induk saat dikawinkan, sistem perkawinan dan pejantan yang digunakan (Hafez dan Dyer 1969). Rataan jumlah anak per induk perkelahiran pada tikus berkisar antara 6-15 ekor (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).

Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa, tikus dapat hidup lebih dari 3 tahun dan produktif untuk berkembangbiak selama lebih dari sembilan bulan sampai usia satu tahun. Selama waktu tersebut tikus dapat menghasilkan 7-10 litter dengan 6-14 anak pada masing-masing litter. Sesudah satu tahun ukuran litternya semakin berkurang dan jarak antar litter semakin jauh sampai tidak produktif lagi pada usia 450-500 hari.

(31)

10 jumlah sel telur yang dihasilkan dan tingkat awal pertumbuhan embrio (Warwick

et al. 1991).

2.1.5. Bobot Lahir

Umumnya bobot badan anak tikus pada waktu dilahirkan berkisar antara 5-6 g dan akan mencapai 25-30 g pada waktu disapih (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Menurut Inglis (1980), berat rata-rata saat disapih sekitar 35-50 g, namun pada umumnya berat lahir tikus jantan lebih besar sekitar 8-15% dari pada tikus betina dan perbedaan ini akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan.

Pengaruh suhu dan kualitas makanan pada berat lahir tidak berbeda nyata (Sudono 1978). Menurut Hafez dan Dyer (1969), bobot lahir tikus di pengaruhi oleh pertumbuhan fetus sebelum lahir atau pertumbuhan selama kebuntingan. Variasi bobot lahir dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu genotif (36%), lingkungan fetal (30%), lingkungan induk (18%), kesamaan induk (7%), nutrisi induk (6%), dan umur induk (1%). Peningkatan jumlah anak perkelahiran mengurangi rataan pertumbuhan individu sebelum lahir karena persaingan antar fetus untuk mendapatkan nutrisi dan tempat, sehingga akan berakibat pada penurunan bobot lahir (Hafez 1970).

2.1.6. Sifat Anak Tikus

(32)

11 Tabel 2 Profil pertumbuha n tikus.

Umur (hari) Ciri-ciri Perkembangan 0-1

Mata dan telinga masih menutup, kumis pendek, sexing mungkin dilakukan dengan perbedaan jarak antara genito-anal, tubuh berwarna merah muda dan belum berbulu.

Telinga terbuka, kumis lebih panjang dan mulai terlihat. Kulit menjadi lebih berpigmen.

Rambut dan puting mamae mulai terlihat.

Mata terbuka, gigi mulai muncul, awal penyapihan, pemanjangan area muka dan pengurangan jaringan lemak, aktivitas meningkat.

Ukuran daun telinga bertambah.

Lepas sapih secara sempurna, hewan sangat aktif, sexing lebih sulit karena tertutup rambut.

Sexualitas jelas terlihat, vagina terbuka, testes turun dan terlihat.

Sumber : Inglis (1980)

Neonatal pada awal kehidupan belum mampu untuk beradaptasi pada temperatur tinggi. Metabolisme energi neonatal pada periode kelahiran dan menyusui bergantung pada sumber glikogen yang berada di hati, skeletal, dan otot jantung. Saat lahir, kepala dan tungkai relatif lebih berkembang dari pada otot (Hafez 1980).

2.1.7. Bobot Badan

Bobot badan merupakan kombinasi dari ukuran dan kondisi tubuh (Tomaszewska et al. 1991). Bobot badan pra sapih yaitu bobot badan anak pada usia 12 hari. Usia ini merupakan batas penyapihan awal. Setelah usia ini anak mulai belajar memakan makanan induk (Inglis 1980). Akan tetapi, induk masih berpengaruh dalam tingkat pertumbuhannya (Hafez 1980).

(33)

12 berkisar antara 45-50 g (Malole dan Pramono 1989), namun menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1987), rataan bobot sapih tikus berkisar antara 25-30 g.

Menurut Sudono (1978), bobot sapih pada umur 21 hari dipengaruhi secara nyata oleh suhu, baik pada tingkat makanan dengan kandungan protein 22% maupun 15%, dan antara bobot sapih tikus jantan dan betina tidak ada perbedaan. Sedangkan menurut Hafez dan Dyer (1969), besarnya bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, kemampuan induk menyusui anak, kuantitas, dan kualitas makanan yang diberikan serta suhu lingkungan.

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1987), tikus tidak berhenti tumbuh sepanjang hidupnya, sampai tua hewan ini tetap tumbuh walaupun kecepatan tumbuhnya sangat lamban. Pertambahan bobot badan dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan dengan melakukan penimbangan berulang dalam waktu tiap hari, tiap minggu, maupun tiap bulan (Tillman et al. 1998). Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh bangsa dan spesies, suhu lingkungan, jenis kelamin, energi metabolis dan kadar protein dalam pakan serta pemberian pakan yang cukup dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Pertumbuhan menurut Hafez dan Dyer (1969) meliputi proses reproduksi, pertambahan dimensi tubuh, pertambahan secara linier, pertambahan berat, pertambahan massa organik, perbanyakan sel, pembelahan sel secara mitosis dan sintesis protein. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1987), kecepatan tumbuh seekor tikus sebesar 5 gram per hari.

Wahju (1992) berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah 45% faktor dalam dan 55% faktor luar/lingkungan. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam mempengaruhi pertambahan bobot badan, terutama keseimbangan energi dan protein serta zat-zat pakan lainnya yang terkandung di dalam pakan. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tikus putih salah satunya adalah kualitas pakannya.

2.1.8. Mortalitas

(34)

13 megaloileitis dan torsio caecum. Kanibalisme pada tikus disebabkan oleh kekurangan makanan dan minuman. Stres akibat temperatur yang panas akan menyebabkan hiperemi pada anggota tubuh dan air liur terus keluar (Malole dan Pramono 1988). Anak-anak yang berasal dari induk-induk yang makanannya terbatas menunjukkan mortalitas yang tinggi dan menurunkan efisiensi makanan serta pertumbuhan (Toelihere 1979).

2.2. Somatotropin (Hormon Pertumbuhan) 2.2.1. Somatotropin (STH) secara umum

Hormon adalah bahan kimia yang dihasilkan oleh jaringan spesifik yang ditransportasikan dalam jumlah kecil dan dialirkan melalui sistem sirkulasi (Cunningham 1997). Somatotropin atau hormon pertumbuhan yaitu hormon protein yang diproduksi di kelenjar hipofise (Merimee 1979). Hormon protein ini terdiri dari sekitar 190 asam amino yang disintesa dan disekresi oleh sel yang disebut somatotrop di hipofise anterior (Bowen 2006). Somatotropin sangat esensial untuk pertumbuhan normal dari hewan muda dan berfungsi untuk mengatur metabolisme pada dewasa (Hafez dan Dyer 1969). Pada awal abad ini telah didemonstrasikan bahwa pertumbuhan hewan bisa distimulasi oleh administrasi somatotropin (Crooker et al. 2006).

Sekresi somatotropin ini bervariasi tergantung umur. Tidak ada bukti bahwa STH diproduksi oleh fetus untuk kebutuhan pertumbuhan fetus, tetapi sejumlah STH meningkat setelah lahir (Hafez dan Dyer 1969). Produksi somatotropin di modulasi oleh banyak faktor, termasuk stres, latihan, nutrisi, tidur, dan hormon pertumbuhan itu sendiri. Menurut Bowen (2006), hormon pertumbuhan secara primer dikontrol oleh dua hormon hipothalamus dan satu hormon dari lambung yaitu :

1. Growth hormone-releasing hormone (GHRH) yaitu peptida hipothalamus yang menstimulasi sintesa dan sekresi GH.

(35)

14 3. Ghrelin merupakan hormon peptida yang disekresikan oleh lambung yang akan berikatan dengan reseptor somatotrop dan berpotensi untuk menstimulasi sekresi hormon pertumbuhan.

Menurut Turner dan Bagnara (1976), sifat somatotropin dari sapi, domba, kuda, babi, ikan paus, anjing, tikus, kelinci, monyet, dan manusia telah diketahui. Berat molekul rata-rata somatotropin dari seluruh spesies yang dikaji kira-kira 22.000. Urutan asam-amino yang lengkap telah diketahui untuk STH yang berasal dari manusia, kambing dan sapi, dan urutannya sebagian diketahui untuk hormon pertumbuhan babi. Banyak urutan asam-amino diantara molekul-molekul tadi saling menyerupai dan masing-masing memiliki dua jembatan disulfid pada posisi yang kira-kira sama. Temuan ini menimbulkan kesimpulan bahwa terdapat kemiripan keluarga yang kuat diantara hormon-hormon pertumbuhan. Adanya hubungan kimiawi antara somatotropin dari aneka macam spesies mempunyai akibat penting di dalam spesifisitas hormon-hormon ini.

Hormon pertumbuhan ini berbeda dengan hormon-hormon lainnya, tidak berfungsi pada organ sasarannya tetapi berpengaruh terhadap hampir seluruh dari jaringan tubuh (Guyton 1994). Somatotropin berperan utama dalam mengontrol beberapa proses fisiologi kompleks, termasuk pertumb uhan dan metabolisme (Bowen 2006).

2.2.2. Efek Fisiologi Somatotropin

(36)

15 Gambar 3 Skema efek fisiologis dari hormon pertumbuhan. (Sumber :

Bowen 2006)

1. Efek Somatotropin terhadap Pertumbuhan

Proses fisiologi seperti pertumbuhan terbentuk perlahan dan dikontrol oleh interaksi kompleks antara berbagai hormon (Boyd dan Bauman 1989). Pada masa kanak-kanak hormon pertumbuhan diperlukan untuk pertumbuhan tubuh/ tinggi badan (Anonimus 2007a). Menurut Guyton (1994), hormon ini menyebabkan pertumbuhan seluruh jaringan tubuh yang memang mampu untuk tumbuh. Dengan cara menambah ukuran sel dan meningkatkan proses mitosis yang diikuti dengan bertambahnya jumlah sel. Penyuntikan somatotropin setiap hari pada tikus yang sedang tumbuh, mampu meningkatkan bobot badan tikus. (Gambar 4)

(37)

16 Pertumbuhan merupakan proses yang sangat kompleks dan berupa aksi gabungan dari beberapa hormon. Hormon pertumbuhan bekerja dengan menstimulasi hati dan jaringan lain untuk mensekresikan IGF-1. IGF-1 ini menstimulasi proliferasi khondrosit (sel tulang rawan) dan menghasilkan pertumbuhan tulang (Bowen, 2006). Pertumb uhan tulang pun dapat dipengaruhi secara langsung oleh somatotropin tanpa perantara IGF-1. Hal ini diperkuat oleh penelitian Isaksson (1987), penyuntikan somatotropin secara langsung pada tibia tikus menyebabkan perangsangan pertumbuhan tulang longitudinal di area suntikan.

Menurut Ganong (2002), pada hewan muda yang epifisisnya belum menyatu dengan tulang panjang, pertumbuhan terhambat oleh hipofisektomi dan dirangsang oleh hormon pertumbuhan. Khondrogenesis dipercepat, dan sewaktu lempeng epifisis kartilaginosa melebar, terjadi pengendapan lebih banyak matriks tulang pada ujung-ujung tulang panjang. Dengan cara ini postur meningkat, dan pemberian jangka panjang hormon pertumbuhan menyebabkan gigantisme.

2. Efek metabolis dari Somatotropin

Hormo n pertumbuhan sangat penting pada metabolisme protein, lipid, dan karbohidrat (Bowen 2006). Efeknya menurut Guyton (1994) adalah meninggikan protein tubuh, menggunakan lemak dari tempat penyimpanannya dan menghemat karbohidrat. Naiknya kecepatan pertumbuhan itu mungkin terutama disebabkan oleh naiknya kecepatan sintesis protein.

Selanjutnya Guyton (1994) menyatakan bahwa penyebab utama kenaikan penyimpanan protein yang disebabkan hormon pertumbuhan tidak diketahui, namun ada serangkaian efek yang berbeda telah diketahui, yang semuanya dapat menjadi penyebab naiknya jumlah protein. Efeknya adalah bertambahnya pangangkutan asam amino melewati membran sel, bertambahnya sintesis protein oleh ribosom, peningkatan transkripsi DNA untuk membentuk RNA, dan penurunan katabolisme protein dan asam amino.

(38)

17 spesifik, namun timbulnya efek ini membutuhkan beberapa jam, dalam menyebabkan pelepasan asam lemak dari jaringan lemak, sehingga dapat menaikkan konsentrasi asam lemak dalam cairan tubuh. Selain itu di dalam jaringan, hormon pertumbuhan meningkatkan perubahan asam lemak menjadi asetil-KoA dan kemudian digunakan untuk energi. Oleh karena itu dengan pengaruh hormon pertumbuhan ini, lebih disukai memakai lemak sebagai energi daripada karbohidrat dan protein (Guyton 1994).

Hormon pertumbuhan memiliki 3 pengaruh utama terhadap metabolisme glukosa di dalam sel yaitu mengurangi pemakaian glukosa untuk mendapatkan energi, meningkatkan pengendapan glikogen di dalam sel, dan mengurangi penyerapan glukosa oleh sel (Guyton 1994). Hipofisektomi menghilangkan diabetes dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin lebih besar daripada adrenalektomi, sedangkan pemberian hormon pertumbuhan menurunkan responsivitas terhadap insulin (Ganong 2002).

Menurut Guyton (1994), pada manusia somatotropin mempunyai aksi penting pada metabolisme glukosa dan metabolisme lemak di ibu, pengaruh yang sangat penting bagi nutrisi janin. Hormon ini menyebabkan penurunan sensitivitas insulin dan juga menurunkan pemakaian glukosa oleh ibu, dengan demikian membuat jumlah glukosa yang tersedia untuk janin semakin besar. Glukosa merupakan zat utama yang dipakai janin untuk menyediakan energi untuk pertumbuhannya. Selanjutnya hormon ini meningkatkan pelepasan asam lemak bebas dari cadangan lemak ibu sebagai sumber energi pengganti untuk metabolismenya.

Pada dewasa hormon pertumbuhan memberikan energi, daya tahan, kekuatan, memperdalam tidur, mengurangi anxietas (kegelisahan), memberi rasa aman dan nyaman. GH mengurangi kegemukan karena lemak, menambah masa otot, membuat tulang dan persendian menjadi kuat. Melindungi organ ginjal, jantung, paru-paru, liver, dsb (Anonimus 2007a).

2.3. Bovine Somatotropin (bST)

(39)

18 (Mosanto 2007). Hormon pertumbuhan sapi ini sangat berperan dalam pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar susu pada sapi (Cunningham 1997; Sutarno 2005).

Pada awalnya sumber bST hanyalah berasal dari kelenjar hipofise sapi yang telah dipotong. Jumlah bST yang dihasilkan sangat sedikit dan harganya sangat mahal. Sekarang para peneliti bioteknologi membuat kemungkinan untuk bekerja dengan DNA dari hewan atau tumbuhan. Mereka sudah menentukan gen sapi yang mengontrol produksi bST. Mereka sudah memindahkan gen ini dari sapi dan memasukkannya ke bakteri bernama E. coli. Bakteri ini ditemukan di saluran pencernaan manusia dan hewan, bekerja seperti pabrik yang sangat kecil dan memproduksi banyak sekali bST di bawah kontrol dari kondisi laboratorium. Hasil bST ini kemudian dapat langsung disuntikkan (digunakan) pada sapi lain untuk bekerja seperti bST endogen (Nott 1999). (Gambar 5)

Gambar 5 Produksi bST. (Sumber: Nott 1999)

Pada tahun 1993, hormon pertumbuhan sintetik telah disetujui untuk digunakan. Ketika disuntikkan ke sapi, hormon sintetik ini memperpanjang masa laktasi sapi, meningkatkan produksi susu sekitar 10%. Sapi yang di beri hormon ini meningkat produksi susunya dengan asupan makanan yang sedikit dan mengurangi limbah, membuat seluruh ternak menjadi seefisien sapi terbaik (Maloof 2007).

(40)

19 Amerika dan negara kelompok persatuan Eropa, sehingga mengancam terjadinya perang dagang. Pihak yang tidak setuju menolak impor daging sapi dari Amerika yang dibesarkan dengan menggunakan hormon yang disebut bovine somatotropin (bST). Kelompok persatuan Eropa menyatakan bahwa hormon bST dapat membahayakan kesehatan manusia, karena dampak jangka panjangnya masih belum diketahui. Sapi-sapi ternak di Amerika pada umumnya diberi hormon bST itu supaya pertumbuhan badannya lebih cepat, sehingga bisa diperoleh supplai daging lebih cepat dan lebih banyak. Jawatan Makanan dan Obat-obatan Amerika, FDA, mengizinkan penggunaan secara komersial hormon sapi yang telah diubah, untuk meningkatkan produksi susu sapi sejak tujuh tahun yang lalu (Anonimus 1999).

(41)

BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Kandang Hewan Coba, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penelitian berlangsung sejak bulan Mei sampai Desember 2006.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Hewan percobaan yang digunakan yaitu tikus putih betina dari spesies

Rattus norvegicus, galur Spraque-Dawley paritas ke-2 dan berumur 16 mi nggu sebanyak 30 ekor. Tikus jantan berumur 16 minggu untuk mengawini tikus betina. Selama penelitian tikus tersebut dipelihara di Kandang Hewan Coba FKH IPB dan dikandangkan secara individu dalam kandang yang terbuat dari plastik berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm yang dilengkapi dengan kawat kasa sebagai penutup di bagian atasnya. Alas kandang berupa sekam. Pakan yang diberikan untuk hewan coba adalah pakan komersial dalam bentuk pelet standar yang biasa diberikan untuk pemeliharaan tikus. Makanan dan air minum diberikan ad libitum. Dalam penelitian ini dilakukan penyuntikan bovine Somatotropin (bST). Pengencer hormon yang digunakan berupa minyak jagung (corn oil). Bahan-bahan lain yang digunakan yaitu NaCl fisiologis 0.9%, dan alkohol. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu cotton bud, object glass, mikroskop, timbangan, syringe, timbangan analitik dalam satuan gram, benang, dan penggaris.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Persiapan Penelitian

(42)

21 dibasahi larutan NaCl fisiologis 0.9%, selanjutnya cotton bud tersebut diulaskan pada permukaan gelas objek yang telah dibersihkan dengan alkohol 70 %. Preparat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Perkawinan ditandai dengan adanya sperma. Saat ditemukan sperma pada pemeriksaan dianggap sebagai hari kebuntingan pertama (H1). Tikus betina yang telah bunting digunakan pada penelitian dan di kandangkan secara individu. (Gambar 6)

Perkawinan tikus Usap vagina dengan cotton bud

Pemeriksaan dengan mikroskop hasil usap vagina

di ulas di object glass

Hasil pemeriksaan ulas vagina yang telah dikawinkan Tanda panah me nunjukkan spermatozoa tikus (tikus bunting).

(43)

22 3.3.2. Pelaksanaan Penelitian

Sebanyak 30 ekor tikus betina bunting dibagi ke dalam 3 kelompok percobaan, yaitu Kelompok K (kontrol, tidak diberi perlakuan apapun), Kelompok M (disuntik minyak jagung, bST 0 mg/kg BB) dan Kelompok H (disuntik hormon somatotropin, bST 9 mg/kg BB). Pemberian dosis sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Azain et al. (1993). Penyuntikan dilakukan secara intra muscular (IM) pada kaki belakang bagian paha secara bergantian antara kiri dan kanan, dan diberikan mulai usia kebuntingan 4 sampai 12 hari. Tikus yang telah diberi perlakuan dibiarkan sampai partus.

Gambar 7 Tikus partus.

3.3.3. Pengukuran Sampel

(44)

23 Gambar 8 Ilustrasi teknik pengukuran dimensi tubuh anak tikus.

(Sumber : Widiyani 2000)

Penimbangan bobot badan dilakukan kembali saat fetus sudah berumur 5 hari sampai hari ke-21 untuk menentukan pertambahan bobot badan. Penimbangan dilakukan secara berkelompok dengan menggunakan timbangan berskala gram. Bobot pra sapih ditentukan pada anak saat berumur 12 hari post partum. Bobot lepas sapih atau akhir diperoleh dengan menimbang bobot anak tikus saat berumur 21 hari post partum. Mortalitas anak ditentukan dengan cara menghitung jumlah anak yang mati pada umur 1 hari sampai umur 21 hari post partum.

3.3.4. Parameter yang Diamati

1. Bobot lahir (g) : Bobot badan anak pada saat dilahirkan.

2. Litter Size Lahir (ekor) : jumlah anak yang hidup dan mati pada saat anak dilahirkan.

3. Dimensi tubuh (cm) : meliputi panjang kepala, panjang badan, panjang tungkai depan, dan panjang tungkai belakang.

4. Bobot badan Prasapih (g) : bobot badan anak pada usia pra sapih (12 hari). 5. Pertambahan bobot badan harian (PPBH) anak (g) : perubahan bobot badan

anak dari lahir sampai disapih.

6. Bobot sapih (g) : bobot badan anak pada saat disapih (umur 21 hari).

(45)

24 3.4. Analisa Statistik

(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tampilan anak yang diamati saat lahir meliputi jumlah anak sekelahiran, bobot lahir anak, dimensi tubuh (panjang kepala, panjang badan, panjang kaki depan, dan panjang kaki belakang). Hasil pengamatan disajikan pada tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Rataan jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, dan dimensi tubuh pada setiap kelompok percobaan.

Bobot lahir per ekor (gram)

Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama me nunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian somatotropin tidak mempengaruhi jumlah anak sekelahiran. Jumlah anak sekelahiran dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu jumlah sel telur yang dihasilkan dan tingkat awal pertumbuhan embrio (Warwick et al. 1991). Awal pemberian bST 9 mg/kgBB pada penelitian ini dilakukan pada usia kebuntingan 4 hari, dimana saat itu ovulasi telah terjadi sehingga jumlah anak yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh pemberian bST 9 mg/kgBB. Hal ini mendukung penelitian Gatford et al.

(47)

26 sejak kebuntingan tidak berpengaruh pada peningkatan jumlah anak babi per kelahiran. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Rehfeldt et al.

(2001), bahwa pemberian somatotropin pada awal kebuntingan tidak mempengaruhi kelangsungan hidup embrio.

Pada penelitian ini juga terlihat bahwa pemberian bST 9 mg/kgBB pada usia kebuntingan 4 sampai 12 hari tidak mempengaruhi bobot lahir anak. Bobot lahir anak dipengaruhi oleh jumlah nutrisi induk yang dipindahkan ke anak melalui plasenta. Somatotropin dapat menyebabkan penurunan sensitivitas insulin dan juga menurunkan pemakaian glukosa oleh induk, dengan demikian membuat jumlah glukosa yang tersedia untuk fetus semakin besar (Guyton 1994). Menurut Rehfeldt et al. (2001), porcine Somatotropin (pST) tidak menginduksi perubahan apapun terhadap embrio, fetus, dan bobot lahir. Pemberian pST pada babi dengan jumlah anak yang banyak tidak mempengaruhi pertumbuhan fetus ataupun bobot lahir, hal ini berkaitan dengan ketersediaan nutrisi untuk pertumbuhan fetus yang terbatas serta posisi fetus di dalam uterus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bST 9 mg/kgBB tidak berpengaruh terhadap panjang badan anak saat lahir. Di sisi lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bST 9 mg/kgBB berpengaruh secara nyata (p<0.05) terhadap panjang kepala jika dibandingkan dengan bST 0 mg/kgBB. Pemberian bST 9 mg/kgBB meningkatkan panjang kepala 12.02% jika dibandingkan dengan bST 0 mg/kgBB. Terlihat pula bahwa bST 9 mg/kgBB mempengaruhi secara nyata (p<0.05) pada panjang tungkai depan dan tungkai belakang jika dibandingkan dengan kontrol. Pemberian bST 9 mg/kgBB meningkatkan panjang tungkai depan dan panjang tungkai belakang sekitar 31.45% dan 29.85% jika dibandingkan dengan kontrol.

(48)

27 Pemberian hormon pada penelitian ini menunjukkan bahwa somatotropin mampu meningkatkan panjang tungkai depan dan panjang tungkai belakang neonatus. Hal ini memperjelas aksi somatotropin pada pertumbuhan tulang longitudinal. Pada penelitian yang dilakukan Hernawan (2007), penyuntikan somatotropin pada tikus percobaan meningkatkan bobot badan yang diikuti dengan pemanjangan tulang kaki depan dan tulang kaki belakang. Selain itu, aksi somatotropin merangsang pertumbuhan tulang longitudinal terjadi secara langsung dengan cara merangsang prekondrosit di dalam lempeng pertumbuhan yang diikuti oleh perluasan klonal, dan proses itu dapat diakibatkan baik melalui produksi IGF-1 lokal maupun oleh induksi somatotropin yang meningkatkan sirkulasi IGF-1 (Ohlsson et al. 1998). Pada hewan muda yang epifisisnya belum menyatu dengan tulang panjang, pertumbuhan terhambat oleh hipofisektomi dan dirangsang oleh hormon pertumbuhan. Khondrogenesis dipercepat dan sewaktu lempeng epifisis kartilaginosa melebar, terjadi pengendapan lebih banyak matriks tulang pada ujung-ujung tulang panjang (Ganong 2002).

Somatotropin dapat bekerja secara langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan tulang. Penelitian yang dilakukan oleh Issakson et al. (1987) menunjukkan bahwa penyuntikan somatotropin secara langsung pada epifisis tibia proksimal tikus merangsang peningkatan lebar tulang rawan unilateral. Hal ini menunjukkan bahwa somatotropin mampu merangsang pertumbuhan secara langsung pada jaringan yang berbeda.

(49)

28 penting terhadap pertumbuhan tulang longitudinal. Pada penelitian ini, somatotropin hanya mempengaruhi panjang tulang longitudinal sehingga mungkin saja ada somatotropin yang masuk ke anak melalui barier plasenta, namun mekanismenya belum dketa hui dengan pasti.

Tahap pertumbuhan anak setelah kelahiran sangat bervariasi pada setiap spesies. Tingkat pertumbuhan ditentukan oleh perawatan induk, dan kemampuan anak tersebut untuk bertahan hidup terhadap semua persaingan yang ada. Pada penelitian ini tingkat pertumbuhan anak diwakili dengan bobot badannya. Kemampuan anak setelah lahir yang diukur melalui bobot badan, pertambahan bobot badan dan mortalitas anak disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Rataan Bobot Usia Prasapih (12 hari) dan Sapih (21 hari), pertambahan bobot badan, dan Mortalitas pada Setiap Kelompok Percobaan.

Parameter yang diamati

Keterangan : angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

(50)

29 sekitar 24.72% dibandingkan dengan bST 0 mg/kgBB. Pemberian hormon berpengaruh terhadap bobot badan pada usia lepas sapih yaitu usia 21 hari.

Rataan bobot badan anak tikus usia 1 hari sampai 13 hari memperlihatkan pergerakan yang sama pada ketiga perlakuan. Perbedaan bobot badan mulai terlihat sejak usia 14 hari dan semakin meningkat pada usia 21 hari (Gambar 9). Pada penelitian ini pengamatan hanya dilakukan sampai usia 21 hari. Usia tersebut merupakan waktu dimana anak sudah tidak lagi tergantung pada induknya untuk hidup, tetapi sudah mampu memakan pelet yang disediakan.

Bobot badan harian anak

kontrol bST 0 mg/kg BB bST 9 mg/kg BB

Gambar 9 Grafik rataan bobot badan anak tikus putih dari umur 1 sampai 21 hari.

Usia pra sapih merupakan usia dimana anak masih sangat bergantung pada susu induk. Pada usia ini tidak terdapat perbedaan bobot badan antara pemberian bST 9 mg/kgBB dengan kontrol. Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah air susu induk pada ketiga kelompok sama sehingga tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan.

(51)

30 Pada umur 5 sampai 13 hari, pertambahan bobot badan anak tidak menunjukkan perbedaan antara tikus yang diberi somatotropin dan kontrol. Akan tetapi, ketika lebih dari 13 hari, terlihat bahwa grafik pada tikus pemberian hormon mulai meninggi. Hal ini menandakan bahwa pemberian somatotropin memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot badan walaupun hanya sedikit jika dibandingkan dengan kontrol. (Gambar 10)

Pertambahan bobot badan anak

0

kontrol bST 0 mg/kg BB bST 9 mg/kg BB Gambar 10 Grafik pertambahan bobot badan anak per 2 hari.

Hernawan (2007) mengatakan bahwa penghentian penyuntikan somatotropin mengakibatkan perubahan pola pertumbuhan. Tikus yang disuntik somatotropin dosis 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1-28 tumbuh paling baik menunjukkan pertumbuhan yang rendah 28 hari setelah penghentian penyuntikan. Dihentikannya penyuntikan somatotropin berakibat pada tidak terjadinya rangsangan untuk meningkatkan pertumbuhan.

(52)

31 badan secara signifikan. Anak mungkin mampu memanfaatkan makanan yang masuk ke dalam tubuh secara optimal untuk pertumbuhan badannya.

(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Pemberian bST 9 mg/kgBB pada induk di usia kebuntingan 4 sampai 12 hari tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, dan panjang badan neonatus.

2. Pemberian bST 9 mg/kgBB meningkatkan panjang kepala, panjang tungkai depan dan tungkai belakang neonatus.

3. Pemberian bST 9 mg/kgBB mampu meningkatkan bobot badan pada usia lepas sapih (21 hari), pertambahan bobot badan dari usia 12 sampai 21 dan usia 1 sampai 21 hari.

4. Mortalitas anak dari lahir sampai usia 21 hari tidak dipengaruhi oleh pemberian bST 9 mg/kgBB.

5.2. Saran

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1990. Ensiklopedi Indonesia. Jilid 6. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve.

Anonimus. 1999. Re: [ITB] Hormon Pertumbuhan Sapi. http://www.mail_archive.com/itb@itb.ac.id/msg04049.html. [24 Februari 2007]

Anonimus. 2006. Use of Timed-Pregnant SD Rats in Current Biomedical Research. http://www.taconic.com/wmspage.cfm?parm1=473 [28 Agustus 2007]

Anonimus. 2007a. Muda Kembali dengan hGH. Growth Hormone Replacement. http://www.realantiaging.com/hgh.htm. [24 februari 2007]

Anonimus. 2007b. Rattus norvegicus (Norway Rat) ”Brown Rat” or “Common Rat. http://www.borealforest.org/world/mammals/norway_rat.html [24 Februari 2007]

Azain MJ, Kasser TR, Sabacky MJ, Baile CA. 1993. Comparison of The Growth-Promoting Properties of Daily Versus Continuous Administration of Somatotropin in Female Rats with Intact Pituitaries. J Anim Sci 71: 384-392. http://jas.fass.org/cgi/content/abstract/71/2/384 [29 Juli 2007]

Ballenger L. 2002. The Diversity Web. The University of Michigan. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/rattus/r._norvegicus$narr ative.html [24 Februari 2007]

Bowen R. 2006. Growth Hormone (Somatotropin). http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/endocrine/hypopit/gh.html . [15 Februari 2007]

Boyd R. D and Bauman DE. 1989. Mechanisms of Action for Somatotropin in Growth. Chapter 12. In: Animal Growth Regulation. Dennis R. Campion, Gary T. Hausman, Roy J. Martin, Editor. New York: Plenum Press.

Crooker BA, Otterby DE, Linn JG, Conlin BJ, Chester-Jones H, Hansen LB, Hansen WP, Johnson DG, Marx GD, Reneau JK, Stern MD, Anderson JF, Seguin BE, Olson JD, Farnsworth, Olson WG. 2006. Dairy Research and

(55)

34 http://www.extension.umn.edu/distribution/livestocksystems/DI6337.html. [15 Februari 2007]

Cunningham JG. 1997. Textbook of Veterinary Physiology. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Fholenhag KI, Sandstrom IM, Malmlof K, Skottner AI, dan Nyberg FJ. 1994.

Human Growth Hormone Does Not Cross The Placenta of The Pregnant Rat. Growth Regulation 4:181-187.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi 4. B. Srigandono dan Koen Praseno, Penerjemah. Soedarsono, Penyunting. Yogyakarta: UGM Press.

Ganong WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Brahm U. Pendit, Alih Bahasa. H. M. Djauhari Widjajakusumah, Editor. Jakarta: EGC Press.

Gatford KL, Ekert JE, Blackmore K, De Blasio MJ, Boyce JM, Owens JA, Campbell RG, Owens PC. 2004. Variable Maternal Nutrition and Growth Hormone Treatment in The Second Quarter of Pregnancy in Pigs Alter Semitendinosus Muscle In Adolescent Progeny. British Journal of

Nutrition 90 (2): 283-294(12).

http://www.ingentaconnect.com/content/cabi/bjn/2003/00000090/0000000 2/art00005 [29 Juli 2007]

Guyton AC. 1994. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 7 Bagian III. LMA. Ken Ariata Tengadi, Alih Bahasa. Harjanto Efendi, Melfiawati S, Editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hafez ESE. 1970. Reproduction and Breeding Techniques for Laboratory Animals. Philadelphia: Lea & Febiger.

Hafez ESE. 1980. Reproduction In Farm Animals. Edisi IV. Philadelphia: Lea & Febiger.

Hafez ESE dan Dyer LA. 1969. Animal Growth and Nutrition. Philadelphia: Lea & Febiger.

(56)

35 Hernawan H. 2007. Perangsangan Pertumbuhan dengan Penyuntikan Somatotropin Pada Tikus Jantan Umur Prapubertas. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Inglis JK. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology. USA: Pergamon Press.

Isaksson OG, Lindahl A, Nilsson A, Isgaard J. 1987. Mechanism of The Stimulatory Effect of Growth Hormone on Longitudinal Bone Growth. Endocrynology 8: 426-438.

Malole MBM dan Pramono CS. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Maloof R. 2007. Bovine Growth Hormone. http://health.msn.com/centers/menopause/articlepage.aspx?cpdocumentid= 100149900. [17 Februari 2007]

Maust M. 2002. Introduced Species Summary Projects Norway Rat (Rattus norvegicus). http://www.columbia.edu/itc/cerc/danoff-burg/invasion_bio/inv_spp_summ/Rattus_norvegicus.html. [24 Februari 2007]

Merimee TJ. 1979. Growth Hormone: Secretion and Action. In: Endocrynology. Volume 1. Leslie J. Degroot et al., Editor. New York: Grune and Stratton, Inc.

Mosanto. 2007. Polisilac. http://www.monsanto.com/ monsanto/posilac/default.asp [17 Februari 2007]

Murtidjo BA. 1993. Memelihara Domba. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Mulyono S dan Sarwono B. 2004. Beternak Domba Prolifik. Jakarta: Penebar Swadaya.

(57)

36 Nalbandov AV. 1976. Reproductive Physiology of Mammals and Birds. The Comparative Physiology of Domestic and Laboratory Animal and Man. San Fransisco: W. H. Freeman Company.

Nott J. 1999. Bovine Somatotropin (bST). http://www.biotech.iastate.edu/biotech_info_series/Bovince_Somatotropin .html. [15 Februari 2007]

Ohlsson C, Bengtsson B, Isaksson OGP, Andreassen TT, dan Slootweg MC. 1998. Growth Hormone and Bone. Endocrine Reviews. 19(1):55-79. http://edrv.endojournals.org/cgi/content/full/19/1/55 [25 juli 2007]

Rehfeldt C, Kuhn G, Nurnberg G, Kanitz E, Schneider F, Beyer M, Nurnberg K, dan Ender K. 2001. Effects of Exogenous Somatotropin During Early Gestation on Maternal Performance, Fetal Growth, and Compositional Traits in Pigs. J Anim Sci. 79:1789-1799.

Robinson R. 1979. Taxonomy and Genetics. In: Baker HJ, Lindsey JR, dan Weisbroth S. The Laboratory Rat. London: Academic Press.

Sliper JO. 2004. Albino Rat. http://www.grandpacliff.com [27 Agustus 2007]

Smith JB dan Mangkoewidjojo S. 1987. The Care, Breeding and Management of Experimental Animals for Research in The Tropics. Canberra: International Development Program of Australia Universities and Collages (I D P).

Sudono A. 1987. Interaksi Antara Genotip dan Keadaan Lingkungan terhadap Pertumbuhan, Efisiensi makanan, Daya Reproduksi, dan Produksi Susu. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sutarno. 2005. Penyulihan Asam Amino Leucin oleh Valin pada Posisi 127 Gen Penyandi Hormon Pertumbuhan dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Sapi Benggala. Dalam Jurnal Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Udayana. Jvet vol 5 (1) 2004. http://www.jvetunud.com/?p=75 [24 Februari 2007]

(58)

37 Toelihere MB. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Penerbit

Angkasa Bandung.

Tomaszewska MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago DT. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Turner CD dan Bagnara JT. 1976. Endokrinologi Umum. Surabaya: Airlangga University Press.

Vallet JL dan Christenson RK. 2004. Effect of Progesterone, Mifepristone, and Estrogen Treatment During Early Pregnancy on Conceptus Development and Uterine Capacity in Swine. Biology of Reproduction 70: 92–98.

Wahju J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogyakarta: UGM Press.

Warwick EJ, Astuti JM, dan Hardjosubroto W. 1991. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: UGM Press.

Widiyani TI. 2000. Pengaruh Penyuntikan Estrogen dan Progesteron Selama Masa Praplasentasi pada Bobot Lahir dan Pertumbuhan Tulang Anak Tikus (Rattus sp.). Skripsi. Bogor: FKH-IPB.

(59)
(60)

39 Lampiran 1 Analisa data hasil penghitungan jumlah anak sekelahiran.

Source DF Sum of Squares Mean Square F

Lampiran 2 Analisa data hasil penimbangan bobot lahir.

Source DF Sum of Squares Mean Square F

Lampiran 3 Analisa data hasil pengukuran panjang kepala (XY) tikus putih neonatus.

Lampiran 4 Analisa data hasil pengukuran panjang badan (QZ) tikus putih neonatus.

(61)

40 Lampiran 6 Analisa data hasil pengukuran panjang tungkai belakang

(b1b2) tikus putih neonatus.

Source DF Sum of Squares Mean Square F

Lampiran 7 Analisa data bobot badan usia pra sapih (12 hari). Source DF Sum of Squares Mean Square F

Lampiran 8 Analisa data bobot badan lepas sapih (21 hari).

Source DF Sum of Squares Mean Square F

Lampiran 9 Analisa data pertambahan bobot badan usia 1-11 hari.

Source DF Sum of Squares Mean Square F

Lampiran 10 Analisa data pertambahan bobot badan usia 12-21 hari

(62)

41 Lampiran 11 Analisa data pertambahan bobot badan usia 1-21 hari

Source DF Sum of Squares Mean Square F

value Pr>F Model 2 104.08289333 52.04144667 3.64 0.0581

Error 12 171.48208000 14.29017333 Corrected

Total

14 275.56497333

Lampiran 12 Analisa data mortalitas anak.

Source DF Sum of Squares Mean Square F

value Pr>F Model 2 1178.71556296 589.35778148 0.88 0.4288

Error 24 16123.91208889 671.82967037 Corrected

Total

Gambar

Gambar 1   Rattus norvegicus. (Sumber: Sliper 2004)
Tabel 1  Data biologis tikus putih (Rattus norvegicus).
Gambar 2  Ukuran fetus tikus. (Sumber : Inglis 1980)
Tabel 2   Profil pertumbuhan tikus.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng ( Pimpinella alpina ) selama 1-13 hari kebuntingan memberikan peningkatan terhadap perkembangan tulang kepala anak tikus pada hari

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Bobot Badan Anak Tikus Dari Induk Tikus yang Diberi Ekstrak Akar Purwoceng pada Usia Kebuntingan 1 – 13 dan 13 – 21 Hari adalah

Kinerja reproduksi anak tikus betina dalam penelitian ini yang akan diamati adalah waktu terjadinya awal pembukaan vagina dan siklus estrus anak tikus serta

Produktivitas ternak babi dapat ditingkatkan kalau telah dilakukan penelitian mendasar tentang tampilan ukuran tubuh dan bobot ternak babi sejak lahir.Tujuan

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Bobot Badan Anak Tikus Dari Induk Tikus yang Diberi Ekstrak Akar Purwoceng pada Usia

Namun, dua variabel bebas ukuran tubuh induk (PBI, LDI) digabung dengan bobot lahir anak (BLA) dalam model regresi berganda memrediksi lama parturasi anak (LPA)

Alhamdulillah dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan, rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “Perkembangan dan