• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu karakteristik sosio demografi dan sosio ekonomi. Karakteristik sosio demografi terdiri dari usia suami, usia istri, dan besar keluarga. Sedangkan sosio ekonomi terdiri dari pendidikan suami dan istri, pekerjaan suami dan istri, dan pengeluaran per kapita keluarga. Informasi dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata usia suami yang berada di wilayah hulu 40.22 tahun dan di wilayah hilir 39.84 tahun. Sementara rata-rata usia istri di wilayah hulu 34.20 tahun dan di hilir 34.41 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata usia suami dan usia istri apabila dilihat dari perbedaan wilayah baik di hulu maupun di hilir. Berdasarkan Santrock (2011), orang dewasa dapat digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu dewasa awal (23-40 tahun), dewasa menengah (41-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Secara keseluruhan, rata-rata usia suami dan istri berada pada tahapan usia dewasa awal (23-40 tahun).

Tabel 2 Rataan skor karakteristik demografi keluarga berdasarkan wilayah

Karakteristik Keluarga

Garut (hulu) Indramayu (hilir) Total

p-value

Rataan±SD Rataan±SD Rataan±SD

Usia suami 40.22±7.301 39.84±6.797 40.06±7.035 0.821 Usia istri 34.20±6.111 34.41±4.852 34.29±5.550 0.877 Lama pendidikan suami 5.90±2.098 7.59±3.291 6.65±2.804 0.015** Lama pendidikan istri 5.72±1.320 6.97±2.811 6.28±2.190 0.026** Besar keluarga 5.50±1.633 4.88±1.008 5.22±1.416 0.050* Pengeluaran per kapita 273.874±80752 357.735±106.550 311.145±101.487 0.000***

Ket: *signifikan pada p<0.10, **signifikan pada p<0.05, ***signifikan pada p<0.01

Pada keluarga yang tinggal di wilayah hulu, rata-rata lama pendidikan suami 5.90 tahun dan istri 5.72 tahun, sedangkan keluarga yang tinggal di wilayah hilir memiliki rata-rata lama pendidikan suami 7.59 tahun dan istri 6.97 tahun. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata lama pendidikan suami (p<0.05) dan istri (p<0.05) di wilayah hulu dan hilir sungai Cimanuk. Besar keluarga merupakan jumlah seluruh anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan orang tua. BKKBN (2008) menggolongkan keluarga menjadi tiga kategori, yakni keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Rata-rata

13

besar keluarga contoh adalah 5.22 orang dan termasuk pada golongan keluarga sedang (5-7 orang). Rata-rata besar keluarga di wilayah hulu 5.50 orang dan hilir 4.88 orang. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata besar keluarga di wilayah hulu dan hilir Sungai Cimanuk (p<0.10). Perbedaan yang signifikan pun terjadi pada pengeluaran per kapita keluarga. Keluarga di wilayah hulu memiliki rata-rata pengeluaran per kapita lebih rendah (Rp273.874,-) dibandingkan keluarga di wilayah hilir (Rp357.735,-). Rata-rata pengeluaran per kapita secara keseluruhan keluarga adalah Rp311.145,-. Angka tersebut lebih tinggi dari garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2013 yaitu sebesar Rp276 825.00 per kapita per bulan (BPS 2013).

Jenis Pekerjaan

Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan jenis pekerjaan menurut wilayah

Jenis Pekerjaan Garut (hulu) Indramayu (hilir) Total

n % n % n (%) Suami Tidak bekerja 0 0 2 6.2 2 2.8 PNS 0 0 2 6.2 2 2.8 Buruh 33 82.5 13 40.6 46 63.9 Petani 2 5.0 0 0 2 2.8 Wiraswasta 2 5.0 6 18.8 8 11.1 Karyawan swasta 1 2.5 0 0 1 1.4 Pekerjaan lainnya 2 5.0 9 28.1 11 15.3 Total 40 100 32 100 72 100 Istri

Tidak bekarja (IRT) 20 50.0 20 62.5 40 55.6

PNS 0 0 0 0 0 0 Buruh 17 42.5 4 12.5 21 29.2 Petani 1 2.5 0 0 1 1.4 Wiraswasta 2 5.0 7 21.9 9 12.5 Karyawan swasta 0 0 0 0 0 0 Pekerjaan lainnya 0 0 1 3.1 1 1.4 Total 40 100 32 100 72 100

Buruh merupakan pekerjaan yang dominan dilakukan oleh suami yang tinggal di wilayah hulu dan hilir Sungai Cimanuk. Tabel 4 menjelaskan bahwa lebih dari setengah jumlah suami pada keluarga dalam penelitian ini bekerja sebagai buruh (63.9%). Pekerjaan buruh dalam penelitian ini terdiri dari buruh tani, buruh kuli panggul, buruh bangunan, dan buruh lainnya. Terdapat 2.8 persen suami yang tidak bekerja, bekerja sebagai PNS, dan bekerja sebagai petani. Sebesar 11.1 persen berprofesi wiraswasta, 1.4 persen bekerja di bidang perkantoran, dan sisanya 15.3 persen bekerja lainnya. Meskipun pada sebagian keluarga istri ikut andil dalam mencari nafkah, namun lebih dari setengah jumlah istri secara keseluruhan (55.6%) memilih untuk tidak bekerja di sektor publik (menjadi ibu rumah tangga).

14

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk merupakan salah satu penopang utama sumberdaya air di Jawa Barat. Luas DAS Cimanuk sebesar 3.493 km2 yang terbagi menjadi tiga bagian DAS, yaitu sub-DAS Cimanuk hulu, sub-DAS Cimanuk Tengah, dan sub-DAS Cimanuk Hilir. Sungai sepanjang 337.67 km ini merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa Barat yang mampu menyediakan 2.2 milyar m3 air per tahun dan sebagian besar digunakan untuk irigasi lahan pertanian (Kementrian Lingkungan Hidup 2013). Sungai Cimanuk berhulu di kaki gunung Papandayan di Kabupaten Garut pada ketinggian +1200 di atas permukaan laut (dpl), mengalir kearah timur laut dan bermuara di Laut Jawa di Kabupaten Indramayu.

Sungai Cimanuk dapat dijadikan sebagai modal alam yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga yang tinggal di sekitar DAS. Informasi dalam Tabel 4 menggambarkan persepsi keluarga mengenai kemudahan dalam mengakses lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir dua per tiga keluarga di wilayah hulu dan hilir sungai memiliki aksesibilitas lingkungan pada kategori sedang dengan rata-rata skor sebesar 61.67 (sd=12.01). Tidak ada satupun keluarga yang termasuk dalam kategori rendah, baik di wilayah hulu maupun hilir. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga di kedua wilayah tidak merasa sulit dalam memanfaatkan sumberdaya lingkungannya.

Aksesibilitas sedang dan tinggi menunjukkan bahwa kondisi lingkungan keluarga di kedua wilayah ini cukup mudah untuk bisa dimanfaatkan dan diakses oleh keluarga dalam mendukung kehidupan sehari-hari. Beberapa item pernyataan aksesibilitas lingkungan yang memiliki skor tinggi adalah iklim mendukung mata pencaharian, lingkungan rumah yang aman dari binatang buas dan kejahatan, dan akses keluarga dalam mendapatkan makanan.

Tabel 4 Sebaran keluarga berdasarkan aksesibilitas lingkungan menurut wilayah

Aksesibilitas Lingkungan Garut (hulu)

Indramayu (hilir) Total n % n % n (%) Sedang (33.34-66.67) 32 80.0 16 50.0 48 66.7 Tinggi (66.68-100) 8 20.0 16 50.0 24 33.3 Total 40 100 32 100 72 100 p-value 0.003***

Ket: *signifikan pada p<0.10, **signifikan pada p<0.05, ***signifikan pada p<0.01

Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara aksesibilitas lingkungan keluarga di dua wilayah berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada keluarga di kedua wilayah dalam mempersepsi kemudahan mengakses sumberdaya lingkungan sekitar. Rata – rata skor aksesibilitas lingkungan keluarga di wilayah hulu (58.03, sd=11.30) lebih rendah dibandingkan di wilayah hilir (66.43, sd=11.37). Ditinjau secara rinci, keluarga di wilayah hulu lebih mudah dalam memanfaatkan alam untuk mata pencaharian dan kebutuhan pribadi dibandingkan keluarga di wilayah hilir. Sementara untuk fasilitas sanitasi, kesehatan, pendidikan, informasi, legalisasi pernikahan, dan lingkungan rumah yang aman lebih mudah diakses oleh keluarga di wilayah hilir dibandingkan wilayah hulu. Selain itu, keluarga di hilir pun lebih mudah dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-harinya dibandingkan keluarga di wilayah hulu.

15

Tekanan Ekonomi Keluarga

Tekanan ekonomi dalam penelitian ini diukur berdasarkan persepsi istri terhadap kesulitan ekonomi yang dirasakan dalam keluarga. Berdasarkan informasi dalam Tabel 5, rata – rata skor tekanan ekonomi yang dirasakan keluarga di wilayah hulu maupun hilir berada pada kategori sedang dengan rata-rata skor sebesar 60.3 (sd=21.8). Meskipun contoh dalam penelitian ini merupakan keluarga miskin, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya tiga dari sepuluh keluarga yang merasakan kesulitan ekonomi pada kategori tinggi.

Tabel 5 Sebaran keluarga berdasarkan tekanan ekonomi menurut wilayah

Tekanan Ekonomi Garut (hulu)

Indramayu (hilir) Total n % n % n (%) Rendah (0-33.33) 4 10.0 6 18.8 10 13.9 Sedang (33.34-66.67) 22 55.0 14 43.8 36 50.0 Tinggi (66.68-100) 14 35.0 12 37.5 26 36.1 Total 40 100 32 100 72 100 p-value 0.924

Ket: *signifikan pada p<0.10, **signifikan pada p<0.05, ***signifikan pada p<0.01

Informasi pada Tabel 6 menunjukkan bahwa aspek tekanan ekonomi yang paling tinggi dialami keluarga di kedua wilayah terletak pada item pengeluaran keluarga yang lebih besar dari pendapatan (50%). Selain itu, keluarga di hulu (47.5%) dan hilir (46.9%) juga memiliki skor tinggi pada kesulitan untuk menyisihkan keuangan keluarga. Hal ini disebabkan oleh pendapatan keluarga yang rendah dan tidak stabil, sehingga menjadikan keluarga tersebut mengalami kesulitan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga terlebih lagi untuk menyisihkan uangnya untuk ditabung. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, sebagian besar keluarga di kedua wilayah menutupi kebutuhan hidupnya dengan cara berhutang ke warung, kerabat, dan tetangga terdekat di sekitar rumah. Sebaliknya, aspek kesulitan ekonomi terendah pada keluarga di kedua wilayah mengalami perbedaan. Keluarga di wilayah hulu memiliki kesulitan ekonomi yang rendah pada kesulitan memperoleh pekerjaan (37.5%), sedangkan keluarga di wilayah hilir terletak pada kesulitan dalam membayar listrik (46.9%).

Hasil uji beda yang dilakukan terhadap variabel tekanan ekonomi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tekanan ekonomi keluarga di kedua wilayah. Sementara jika dilakukan pengujian lebih lanjut pada setiap item tekanan ekonomi menunjukkan bahwa item pernyataan yang memiliki perbedaan nyata antara wilayah hulu dan hilir adalah item kesulitan untuk memperoleh lapangan pekerjaan (p<0.05). Rata-rata jawaban keluarga menunjukkan bahwa keluarga di wilayah hulu lebih mudah dalam memperoleh pekerjaan dibandingkan di wilayah hilir. Hal ini disebabkan karena wilayah hulu memiliki iklim dan suhu yang cocok dalam mendukung sistem pertanian sehingga pekerjaan sebagai petani dan buruh tani menjadi dominan sebagai mata pencaharian warganya. Mencari pekerjaan di wilayah ini tidak sulit dibandingkan di wilayah hilir yang seringkali mengharuskan kepala keluarga bahkan istri bekerja di luar kota atau luar negeri.

Selain itu, perbedaan yang nyata juga terjadi pada kesulitan untuk mengajak anak rekreasi (p<0.05) dan keluarga merasa membutuhkan bantuan

16

ekonomi (p<0.05). Pada item kesulitan untuk mengajak anak rekreasi, keluarga di wilayah hulu merasa lebih mudah melakukannya dibandingkan keluarga di wilayah hilir. Sementara untuk item merasa membutuhkan bantuan ekonomi, keluarga di wilayah hilir lebih tinggi dalam membutuhkan bantuan ekonomi dari kerabat atau tetangga sekitar dibandingkan keluarga di wilayah hulu.

Tabel 6 Sebaran jawaban keluarga berdasarkan tekanan ekonomi menurut wilayah

Pernyataan

Garut (hulu) Indramayu (hilir)

p

1 2 3 4 1 2 3 4

% % % % % % % %

Kesulitan untuk memenuhi

kebutuhan pangan 15.0 15.0 45.0 25.0 18.8 18.8 28.1 34.4 .356

Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan non pangan primer

17.5 15.0 35.0 32.5 15.6 25.0 28.1 31.3 .405 Kesulitan untuk biaya

kesehatan keluarga 10.0 10.0 45.0 35.0 31.3 9.4 25.0 34.4 .607

Kesulitan untuk biaya

pendidikan anak 30.0 2.5 42.5 25.0 37.5 2.5 21.9 28.1 .399

Kesulitan untuk membayar

listrik 30.0 17.5 40.0 12.5 46.9 3.1 28.1 21.9 .743 Kesulitan memperoleh lapangan pekerjaan 37.5 22.5 20.0 20.0 18.8 6.3 31.3 43.8 .026 ** Kesulitan untuk menyisihkan keuangan keluarga 7.5 5.0 40.0 47.5 21.9 12.5 18.8 46.9 .144 Kesulitan untuk mengajak

anak rekreasi 32.5 2.5 25.0 40.0 15.6 9.4 28.1 46.9 .025

**

Pengeluaran keluarga lebih

besar dari pendapatan 7.5 5.0 37.5 50.0 6.3 15.6 28.1 50.0 .612 Merasa membutuhkan

bantuan ekonomi 12.5 7.5 50.0 30.0 21.9 6.3 21.9 50.0 .036

**

Ket: *signifikan pada p<0.10, **signifikan pada p<0.05, ***signifikan pada p<0.01 Ket: 1 = Tidak pernah, 2 = Jarang, 3 = Sering, 4 = Sangat sering

Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan keluarga dalam penelitian ini diukur secara subjektif berdasarkan kepuasaan hidup yang dipersepsikan oleh istri terhadap kondisi keuangan, makanan, spiritual, kesehatan, pekerjaan, pendidikan anak, kondisi rumah dan aset yang dimiliki, serta hubungan yang terjalin dengan keluarga atau tetangga. Informasi pada Tabel 7 menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga di kedua wilayah berada pada kategori sedang dengan rata-rata skor sebesar 62.5 (sd=15.6). Meskipun contoh dalam penelitian ini merupakan keluarga miskin, namun dari hasil sebaran terlihat bahwa hanya 1.4 persen keluarga yang merasa kesejahteraannya rendah. Hal ini disebabkan karena kesejahteraan dalam penelitian ini diukur dari berbagai aspek, tidak hanya dari segi ekonomi saja sehingga persepsi istri terhadap kepuasan hidup yang dirasakan dalam keluarganya tergolong cukup baik.

Aspek kesejahteraan tertinggi pada keluarga di wilayah hulu (82.5%, 80.0%) dan hilir (71.9%, 65.6%) terletak pada hubungan komunikasi dengan

17

saudara/kerabat dan hubungan komunikasi dengan orang tua/mertua. Keluarga merasa sangat puas akan hubungan komunikasi yang terjalin antara keluarga contoh dengan orang tua dan kerabatnya, sehingga hal tersebut menjadikan keluarga memiliki tempat untuk mengadu dan berdiskusi ketika keluarga mengalami permasalahan dalam keluarganya, baik permasalahan mengenai faktor ekonomi maupun faktor kehidupan keluarganya. Sebaliknya, aspek kesejahteraan terendah pada keluarga di kedua wilayah adalah perasaan istri terhadap pendapatan keluarga. Sebesar 47.5 persen istri di wilayah hulu dan 28.1 persen istri di wilayah hilir merasa tidak puas akan pendapatan yang diperoleh keluarganya.

Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan kesejahteraan subjektif menurut wilayah

Kesejahteraan Keluarga Garut (hulu)

Indramayu (hilir) Total n % n % n (%) Rendah (0-33.33) 0 0.0 1 3.1 1 1.4 Sedang (33.34-66.67) 25 62.5 19 59.4 44 61.1 Tinggi (66.68-100) 15 37.5 12 37.5 27 37.5 Total 30 100 32 100 72 100 p-value 0.643

Ket: *signifikan pada p<0.10, **signifikan pada p<0.05, ***signifikan pada p<0.01

Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kesejahteraan subjektif keluarga di wilayah hulu dan hilir aliran Sungai Cimanuk. Meskipun jika dilihat dari rata-rata skor per wilayah, tingkat kesejahteraan di wilayah hulu lebih rendah (61.7, sd=15.7) dibandingkan di wilayah hilir (63.4, sd=15.8). Pengujian lebih lanjut terhadap setiap item kesejahteraan keluarga menunjukkan bahwa item “keadaan keuangan keluarga”, “keadaan materi/aset yang dimiliki keluarga”, “pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki istri” pada keluarga di wilayah hilir lebih tinggi dibandingkan di wilayah hulu, sedangkan “kebahagiaan dalam keluarga” di wilayah hulu lebih tinggi dibandingkan di wilayah hilir.

Strategi Koping Keluarga

Strategi koping merupakan sebuah upaya yang dilakukan keluarga dalam menyesuaikan diri dengan kondisi sulit yang dihadapi.Secara rinci strategi koping terbagi menjadi dua jenis yaitu, strategi koping pengurangan pengeluaran dan strategi koping peningkatan pendapatan. Informasi dalam Tabel 8 menunjukkan bahwa strategi koping yang banyak dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi adalah strategi pengurangan pengeluaran. Keluarga di kedua wilayah melakukan strategi pengurangan pengeluaran pada kategori sedang dengan rata-rata skor sebesar 43.6 (sd=16.5). Sementara untuk strategi peningkatan pendapatan, keluarga di kedua wilayah melakukan strategi peningkatan pendapatan pada kategori rendah dengan rata-rata skor sebesar 29.3 (sd=12.5). Tinggi dan rendahnya sebuah keluarga melakukan strategi koping, ditentukan berdasarkan jumlah strategi koping yang diterapkan dalam keluarga tersebut saat menghadapi kesulitan ekonomi. Semakin tinggi strategi koping suatu keluarga maka semakin banyak jumlah strategi yang dilakukan oleh keluarga, begitupun sebaliknya.

18

Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara strategi pengurangan pengeluaran dan strategi peningkatan pendapatan yang dilakukan keluarga di kedua wilayah berbeda. Meskipun jika dilihat berdasarkan rata – rata skor per wilayah, strategi pengurangan pengeluaran lebih banyak dilakukan oleh keluarga di wilayah hulu (44.9, sd=13.0) dibandingkan wilayah hilir (42.6, sd=16.5), sedangkan strategi peningkatan pendapatan lebih banyak dilakukan oleh keluarga di wilayah hilir (30.6, sd=13.9) dibandingkan di wilayah hulu (27.9, sd=9.8).

Tabel 8 Rataan skor strategi koping keluarga berdasarkan wilayah

Variabel Garut Indramayu Total p

Rataan ± SD Rataan ± SD Rataan ± SD

Pengurangan pengeluaran 44.9±13.0 42.6 ± 18.8 43.6 ± 16.5 0.511 Peningkatan pendapatan 27.9 ± 9.8 30.6 ± 13.9 29.3 ± 12.5 0.287

Ket: *signifikan pada p<0.10, **signifikan pada p<0.05, ***signifikan pada p<0.01

Strategi koping pengurangan pengeluaran (cutting back expenses) adalah upaya yang digunakan keluarga untuk merespon rendahnya keterbatasan sumberdaya uang melalui pola pengurangan. Dalam penelitian ini strategi pengurangan pengeluaran dikelompokkan menjadi mengurangi kebutuhan pangan dan non pangan. Informasi pada Tabel 9 menunjukkan persentase rinci strategi pengurangan pengeluaran pada kebutuhan pangan yang dilakukan keluarga. Tabel 9 Sebaran jawaban keluarga berdasarkan strategi pengurangan pengeluaran

pangan menurut wilayah

Pernyataan Garut Indramayu p 1 2 3 4 1 2 3 4 % % % % % % % % Pangan Mengurangi pembelian kebtuhan pangan (jenis & jumlah)

20.0 22.5 37.5 20.0 28.1 15.6 25.0 31.2 .944 Membeli pangan yang lebih

murah 7.5 22.5 45.0 25.0 12.5 18.8 28.1 40.6 .684

Mengganti beras dengan makanan pokok lain yang lebih murah

100.0 0.0 0.0 0.0 90.6 3.1 6.2 0.0 .096* Mengurangi konsumsi sumber

pangan hewani 0.0 5.0 57.5 37.5 12.5 12.5 40.6 34.4 0.62

Mengurangi pemakain

teh/kopi/gula 25.0 17.5 37.5 20.0 28.1 9.4 43.8 18.8 .981

Mengurangi uang jajan anak

sehari-hari 32.5 15.0 40.0 12.5 28.1 18.8 28.1 25.0 .510

Membawa bekal saat kerja 45.0 5.0 25.0 25.0 68.8 6.2 18.8 6.2 .015** Memprioritaskan makanan

untuk anak 0.0 7.5 37.5 55.0 0.0 3.1 50.0 46.9 .795

Ket: *signifikan pada p<0.10, **signifikan pada p<0.05, ***signifikan pada p<0.01 Ket: 1 = Tidak pernah, 2 = Jarang, 3 = Sering, 4 = Sangat sering

Strategi pengurangan pengeluaran dalam aspek pangan tertinggi pada keluarga di hulu (55.0%) dan hilir (46.9%) terletak pada strategi memprioritaskan atau mengutamakan makanan untuk anak. Sebaliknya, strategi pengurangan pengeluaran dalam aspek pangan terendah terletak pada strategi mengganti beras

19

dengan makanan pokok lain. Seluruh keluarga di wilayah hulu dan 90.6 persen keluarga di hilir tidak pernah melakukan strategi pengurangan pengeluaran dengan cara mengganti beras dengan makanan pokok lain yang lebih murah, misalnya singkong, ubi, jangung, atau makanan pokok lainnya.

Selain pangan, strategi pengurangan pengeluaran juga dilakukan dalam mengurangi kebutuhan non pangan. Kebutuhan non pangan sendiri terdiri dari kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Tabel 10 menunjukkan bahwa strategi pengurangan pengeluaran di aspek kesehatan yang paling banyak dilakukan keluarga di wilayah hulu dan hilir adalah mengganti obat yang mahal menjadi murah dan memilih tempat berobat yang murah. Sementara strategi pengurangan pengeluaran terendah di bidang kesehatan terjadi perbedaan antara keluarga di hulu dan hilir, dimana sebanyak 32.5 persen keluarga di hulu tidak pernah menunda pengobatan apabila ada anggota keluarga yang sakit sedangkan sebanyak 40.6 persen keluarga di hilir tidak pernah menggunakan obat tradisional dibanding obat modern.

Tabel 10 Sebaran jawaban keluarga berdasarkan strategi pengurangan pengeluaran non pangan menurut wilayah

Pernyataan Garut Indramayu p 1 2 3 4 1 2 3 4 % % % % % % % % Kesehatan

Mengganti obat yang mahal

menjadi murah 17.5 5.0 50.0 27.5 9.4 21.9 34.4 34.4 .793

Menggunakan obat tradisional

dibanding obat modern 27.5 7.5 52.5 12.5 40.6 15.6 25.0 18.8 .287 Memilih tempat berobat yang

murah 7.5 5.0 65.0 22.5 6.2 18.8 40.6 34.4 .975

Menunda pengobatan bila ada

keluarga yang sakit 32.5 27.5 25.0 15.0 34.4 21.9 25.0 18.8 .831

Pendidikan

Anak bolos sekolah karena

tidak ada bekal 60.0 22.5 15.0 2.5 93.8 6.2 0.0 0.0 .000

***

Anak berhenti sekolah 92.5 0.0 2.5 5.0 93.8 0.0 0.0 6.2 .943

Menggunakan peralatan sekolah

bekas (seragam, sepatu, buku) 50.0 15.0 27.5 7.5 65.6 3.1 18.8 12.5 .582 Meminta buku bekas/meminjam

ke pihak sekolah atau tetangga 57.5 10.0 25.0 7.5 59.4 3.1 25.0 12.5 .759

Lainnya

Mengurangi/menghemat

penggunaan air/listrik/telepon 50.0 20.0 30.0 0.0 56.2 9.4 15.6 18.8 .517 Mengurangi pembelian

pakaian 15.0 20.0 30.0 35.0 25.0 12.5 40.6 21.9 .324

Ket: *signifikan pada p<0.10, **signifikan pada p<0.05, ***signifikan pada p<0.01 Ket: 1 = Tidak pernah, 2 = Jarang, 3 = Sering, 4 = Sangat sering

Strategi pengurangan pengeluaran non pangan lainnya adalah mengurangi kebutuhan pendidikan. Strategi pada aspek pendidikan yang paling tinggi dilakukan keluarga di kedua wilayah adalah menggunakan peralatan sekolah bekas (seperti seragam, sepatu, dan buku) dan meminta buku bekas kepada pihak sekolah atau tetangga. Sementara untuk strategi yang paling rendah di lakukan

20

keluarga di kedua wilayah adalah anak bolos dan berhenti sekolah karena tidak memiliki biaya. Terakhir, strategi pengurangan pengeluaran tertinggi pada aspek kebutuhan rumah tangga lain-lain terletak pada strategi mengurangi pembelian pakaian keluarga.

Strategi peningkatan pendapatan (generating additional income) adalah strategi yang digunakan keluarga dalam upaya meningkatkan ketersediaan sumberdaya uang dengan cara menambah jumlah jam kerja, menambah jumlah anggota keluarga yang bekerja, atau menambah jumlah pekerjaan yang dilakukan. Seperti halnya strategi pengurangan pengeluaran, strategi peningkatan pendapatan juga dilihat dari kebutuhan pangan dan non pangan keluarga. Informasi pada Tabel 11 menunjukkan persentase rinci strategi peningkatan pendapatan pada kebutuhan pangan yang dilakukan keluarga.

Strategi peningkatan pendapatan dalam aspek pangan tertinggi terletak pada strategi keluarga memanfaatkan beras miskin (raskin) dari pemerintah. Separuh keluarga di wilayah hulu (50.0%) dan 46.9 persen keluarga di hilir selalu melakukan strategi pemanfaatan raskin yang diberikan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya. Sebaliknya, strategi dalam aspek pangan terendah terdapat perbedaan antara strategi yang dilakukan keluarga di hulu dan hilir. Sebanyak 92.5 persen keluarga di hulu tidak pernah memanfaatkan lahan kosong sekitar rumah untuk menanam tanaman pangan dan 81.2 persen keluarga di hilir tidak pernah melakukan strategi dengan beternak (unggas atau ikan).

Tabel 11 Sebaran jawaban keluarga berdasarkan strategi peningkatan pendapatan pangan menurut wilayah

Pernyataan Garut Indramayu p 1 2 3 4 1 2 3 4 % % % % % % % % Pangan

Keluarga memanfaatkan lahan kosong untuk menanam tanaman pangan

92.5 0.0 0.0 7.5 78.1 9.4 3.1 9.4 .306 Beternak (unggas atau ikan) 65.0 2.5 17.5 15.0 81.2 6.2 3.1 9.4 .102 Keluarga memanfaatkan beras

miskin (raskin) 2.5 10.0 37.5 50.0 9.4 9.4 34.4 46.9 .429

Ket: *signifikan pada p<0.10, **signifikan pada p<0.05, ***signifikan pada p<0.01 Ket: 1 = Tidak pernah, 2 = Jarang, 3 = Sering, 4 = Sangat sering

Strategi peningkatan pendapatan non pangan terdiri dari kebutuhan kesehatan, kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Informasi dalam Tabel 12 menunjukkan bahwa strategi dalam aspek kesehatan tidak terlalu sering dilakukan oleh keluarga di kedua wilayah. Sebaran jawaban keluarga menunjukkan bahwa sebanyak 97.5 persen keluarga di hulu dan 84.4 persen keluarga di hilir tidak pernah melakukan strategi peningkatan pendapatan dengan memanfaatkan pekarangan rumah untuk ditanami dengan tanaman obat. Begitu pula dengan strategi meminta obat gratis ke puskesmas atau tempat berobat lainnya hanya dilakukan oleh sebanyak 5.0 persen keluarga d hulu dan 31.2 persen keluarga di hilir secara sering. Selain kesehatan, strategi peningkatan pendapatan pada aspek pendidikan pun jarang dilakukan oleh keluarga di kedua wilayah. Sebaran jawaban keluarga menunjukkan bahwa sebanyak 77.5 persen keluarga di

21

wilayah hulu dan 75.0 persen keluarga di hilir tidak pernah melakukan strategi mengusahakan keringanan biaya atau beasiswa untuk sekolah anak.

Tabel 12 Sebaran jawaban keluarga berdasarkan strategi peningkatan pendapatan non pangan menurut wilayah

Pernyataan Garut Indramayu p 1 2 3 4 1 2 3 4 % % % % % % % % Kesehatan Keluarga memanfaatkan pekarangan untuk ditanami tanaman obat

97.5 2.5 0.0 0.0 84.4 9.4 0.0 6.2 .074* Meminta obat gratis ke

puskesmas/tempat berobat lainnya

65.0 15.0 15.0 5.0 31.2 12.5 25.0 31.2 .001***

Pendidikan

Keluarga mengusahakan beasiswa untuk biaya sekolah anak

77.5 12.5 10.0 0.0 75.0 12.5 3.1 9.4 .451

Lainnya

Anak bekerja/membantu orang

tua untuk membantu keluarga 57.5 12.5 20.0 10.0 68.8 9.4 9.4 12.5 .516 Ibu memiliki pekerjaan

sampingan 42.5 12.5 22.5 22.5 43.8 9.4 12.5 34.4 .685

Suami memiliki pekerjaan sampingan selain pekerjaan utama

60.0 7.5 17.5 15.0 46.9 6.2 12.5 34.4 .133 Mengontrakan rumah untuk

menambah keuangan keluarga 97.5 0.0 2.5 0.0 100.0 0.0 0.0 0.0 .375 Menggadaikan barang untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari

97.5 2.5 0.0 0.0 75.0 9.4 3.1 12.5 .011** Menjual aset untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari 60.0 22.5 7.5 10.0 62.5 15.6 9.4 12.5 .859 Keluarga pernah memperoleh

bantuan langsung tunai dari pemerintah

20.0 17.5 30.0 32.5 43.8 0.0 21.9 34.4 .353 Keluarga pernah memperoleh

bantuan dari lingkungan sekitar (keluarga dan tetangga)

7.5 15.0 57.5 20.0 15.6 18.8 50.0 15.6 .241

Ket: *signifikan pada p<0.10, **signifikan pada p<0.05, ***signifikan pada p<0.01 Ket: 1 = Tidak pernah, 2 = Jarang, 3 = Sering, 4 = Sangat sering

Strategi terakhir yang dilakukan keluarga adalah meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Aspek kebutuhan lain-lain tertinggi yang dilakukan keluarga di wilayah hulu adalah keluarga sering menerima bantuan langsung tunai dari pemerintah. Sementara pada keluarga di wilayah hilir, aspek kebutuhan lain-lain tertinggi terletak pada tiga strategi yaitu istri memiliki pekerjaan sampingan, suami memiliki pekerjaan sampingan selain pekerjaan utama, dan menerima bantuan langsung tunai dari pemerintah. Sebaliknya, strategi peningkatan pendapatan untuk aspek kebutuhan lain-lain terendah di wilayah hulu terletak pada strategi mengontrakan rumah untuk

22

menambah keuangan keluarga dan menggadaikan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Faktor - faktor yang Berpengaruh terhadap Strategi Koping Keluarga Tabel 13 menunjukkan hasil uji regresi antara karakteristik keluarga, tekanan ekonomi, dan kesejahteraan subjektif keluarga terhadap strategi koping secara total. Model ini memiliki Adjusted R2 sebesar 0.256, yang berarti bahwa variabel-variabel yang tercantum dalam model berpegaruh terhadap strategi koping keluarga sebesar 25.6 persen, sedangkan sisanya sebesar 74.4 persen

Dokumen terkait