• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Nira Tebu

Nira tebu adalah suatu ekstrak cairan yang berasal dari batang tebu, mengandung kadar gula relatif tinggi, dijadikan bahan baku pembuatan gula kristal. Selain tebu, sumber nira lain yang banyak digunakan dalam pembuatan gula adalah aren, kelapa, lontar dan bit. Nira tebu diekstrak dari batang tebu dengan usia panen 8-12 bulan. Pada masa yang kurang atau melebihi masa panen, kadar sukrosa dalam tebu memiliki jumlah yang lebih rendah. Bagi industri gula, pemanenan tebu dilakukan pada masa kadar sukrosa mencapai jumlah tertinggi.

Selain kandungan sukrosa, nira tebu juga mengandung gula pereduksi yaitu glukosa dan fruktosa yang merupakan hasil invertasi sukrosa dengan adanya enzim invertase. Jenis gula lain yang mungkin terdapat dalam nira tebu adalah dekstran yang merupakan hasil hidrolisis sukrosa dengan bantuan enzim dekstransukrase yang dihasilkan dari bakteri kontaminan. Selain komponen gula, nira tebu juga mengandung komponen lain non gula seperti asam, protein, serat, garam-garam organik dan lain-lain. Pada penelitian ini dilakukan karakteristik nira tebu menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatografi) pada beberapa jenis gula, asam dan nilai pH seperti yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakterisasi nira tebu

Komposisi Kimia Jumlah Sukrosa (%)

Glukosa (%) Fruktosa (%) Dekstran (%) Total asam (mleq)

Nilai pH 10,29 2,43 0,94 1.41 62,50 5,10

Kadar sukrosa dalam nira tebu yang diukur pada percobaan ini masih agak rendah yaitu 10,29%. Menurut Moerdokusumo (1993), kadar sukrosa dalam nira tebu untuk pengolahan menjadi gula mencapai 11 – 14%. Kadar sukrosa tersebut dapat dipengaruhi oleh jenis tebu, umur panen dan penanganan sebelum pengolahan (pemanenan, transportasi dan penyimpanan). Kandungan

32

gula pereduksi pada nira tebu yang diuji adalah 2,43% untuk glukosa dan 0,94% untuk frukrosa. Gula pereduksi merupakan hasil degradasi sukrosa dalam nira tebu melalui reaksi invertasi atau hidrolisis asam. Dalam reaksi invertasi, perbandingan jumlah molekul glukosa dan fruktosa adalah sama, namun dalam pengukurannya jumlah fruktosa tidak sama lagi dengan glukosa karena molekul fruktosa bersifat lebih labil dan mudah terdegradasi lebih lanjut menjadi senyawa yang lebih sederhana (Chaplin. 2004). Menurut Moerdokusumo (1993), kadar gula pereduksi dalam nira tebu berkisar 0,5 – 2,0%. Dalam percobaan ini berarti jumlah gula pereduksi yang diukur termasuk agak tinggi, hal itu dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada nira tebu, baik yang disebabkan oleh enzim maupun mikroorganisme. Dalam pengolahan nira tebu menjadi gula, keberadaan gula pereduksi tidak dikehendaki karena merupakan indikasi degradasi sukrosa dan keberadaannya juga dapat menghalangi proses kristalisasi sukrosa. Adanya mikroorganisme juga dapat diduga dengan adanya senyawa dekstran dalam nira tebu. Pada percobaan ini nira tebu mengandung 1,41% dekstran. Dekstran merupakan senyawa gula hasil hidrolisis sukrosa dengan adanya enzim dekstransukrase yang dihasilkan Leuconostoc mesenteroides (Guglielmone, et. a/., 2000 di dalam Mathlouthi, 2000 ). Adanya dekstran juga dapat menghalangi kristalisasi sukrosa, sehingga keberadaan senyawa tersebut tidak dikehendaki.

Karakterisasi nira tebu lainnya yang diukur pada percobaan ini adalah nilai total asam. Pengukuran total asam untuk mengetahui kadar asam yang sudah ada sejak pemanenan. Tingginya total asam yang dikandung nira tebu sebelumnya juga dapat memicu reaksi degradasi sukrosa, dimana dalam kondisi asam, walaupun tanpa keberadaan enzim invertase, sukrosa dapat terhidrolisis (Chaplin. 2004). Dengan menggunakan metoda titrasi dengan NaOH 0,05N, total asam yang dapat diukur pada nira tebu dalam percobaan ini mencapai 62,5 mleq. Keberadaan asam dalam nira tebu juga berkaitan dengan keberadaan mikroorganisme yang mendegradasi gula pereduksi lebih lanjut. Mikroorganisme yang mendegradasi sukrosa lebih lanjut dapat berupa Flavobacterium rigenes, Brevibacterium sulferens, Flavobacterium devorans, Candida pulcherrima, Klebsiela azaenae, Chromabacterium lividum, Bactobacillus arabinosus dan Saccharomyces lactis (Legaz, et. a/., 2000). Reaksi degradasi sukrosa hingga menghasilkan asam adalah sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 6. Mekanisme terjadinya degradasi sukrosa adalah dimulai dengan terjadinya

33

reaksi invertasi pada sukrosa dengan katalis invertase atau reaksi hidrolisis karena adanya asam. Pada reaksi berikutnya, hasil reaksi invert atau hidrolisis sukrosa dapat dikonsumsi oleh mikroorganisme dan diubah menjadi alkohol dan selanjutnya dioksidasi menjadi asam asetat dan asam-asam organic lainnya. Terbentuknya asam menyebabkan reaksi hidrolisis sukrosa terjadi lagi dan nira menjadi asam.

Jumlah total asam berkaitan juga dengan nilai pH tetapi bukan dalam hubungan yang linier. Pada pH tertentu akan memberikan kondisi optimum pada aktivitas invertase. Invertase membutuhkan pH 7,2 untuk aktifitas maksimumnya, dengan suhu 60ºC (Mahbubur et. al., 2004). Namun invertase pada tebu memiliki beberapa jenis. Berdasarkan pH optimumnya, invertase pada tebu terbagi atas invertase asam, invertase netral dan invertase alkali. Pada percobaan ini tidak diteliti jenis invertase dalam nira tebu, namum secara umum, jenis invertase yang dominan dalam nira tebu adalah jenis invertase asam (Zhu, et.al., 1997).Nilai pH nira tebu yang diukur pada percobaan ini adalah 5,1, yang berarti nira tebu agak asam. Hal tersebut juga didukung dengan tingginya nilai total asam. Nilai pH pada nira tebu merupakan faktor yang perlu dipertahankan dalam pengolahan nira tebu menjadi gula agar tidak mengalami penurunan karena penurunan nilai pH menyebabkan peningkatan degradasi nira tebu. Namun nilai pH juga tidak boleh terlalu tinggi karena juga dapat menyebabkan kerusakan berupa degradasi gula pereduksi, khususnya fruktosa menjadi senyawa lebih sederhana (aldehid) sehingga nira tebu mengalami pencoklatan (Moerdokusumo, 1993). Dalam industri gula, nilai pH dinaikan dengan penambahan kapur hingga mencapai nilai 7,3-7,8 untuk memisahkan gula pereduksi, kemudian nira yang telah dipisahkan dari gula pereduksi dipertahankan nilai pHnya antara 7,0-7,4 (Moerdokusumo, 1993).

Karakteristik Kawao (Millettia sp.)

Kawao merupakan tumbuhan perdu yang memanjat, tegak, panjang 10-30 m, biasa ditemukan di hutan-hutan dan di tepi-tepi sungai mulai dataran rendah sampai ± 1000 m di atas permukaan laut. Kawao banyak diteliti untuk keperluan pengobatan karena kandungan fitokimianya. Menurut Teysmann dalam Menninger (1970), orang Jawa memberikan sepotong akar dalam cairan palem yang masih segar agar cairan tersebut (nira) tidak menjadi asam. Nira yang telah menjadi masam tidak dapat diminum segar dan jika dibuat gula akan

34

menghasilkan produk yang kurang baik mutunya yakni lembek, lengket dan cepat menjadi gosong selama pemasakan. Masalah gula yang menjadi lembek dan lengket disebabkan oleh tingginya kandungan gula pereduksi dibandingkan kandungan sukrosa yang dapat mengkristal atau membentuk padatan. Selain itu kondisi asam pada nira disebabkan karena gula pereduksi didegradasi lebih lanjut menjadi asam oleh kontaminasi mikroba-mikroba selama penyadapan berlangsung. Adanya asam pada nira juga meningkatkan degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi. Dengan demikian, adanya pengalaman empiris petani nira dalam menggunakan akar kawao untuk mencegah nira menjadi asam menunjukan bahwa akar kawao mengandung komponen fitokimia yang dapat mengurangi atau menghentikan degradasi sukrosa dalam nira. Aplikasi penambahan akar kawao dalam nira palem dicobakan pada nira tebu dengan dugaan bahwa akar kawao juga dapat mencegah degradasi sukrosa dalam nira tebu. Pada penelitian ini, karakterisasi akar kawao menunjukan adanya kandungan beberapa jenis fitokimia seperti yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil uji fitokimia kawao (Milletia sp.)

Komponen Kandungan Alkaloid Saponin Tanin Fenolik Flavonoid Triterpenoid Steroid Glikosida + + + + + - + + + + + + + + + + + + Keterangan : - : Negatif + : Positif lemah + + : Positif + + + : Positif kuat + + + + : Positif kuat sekali

Karakterisasi akar kawao pada penelitian ini masih dilakukan secara kualitatif untuk mengidentifikasi adanya senyawa fitokimia tertentu. Diantara senyawa fitokimia yang telah diidentifikasi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menetapkan komponen mana yang benar-benar bersifat pengawet pada nira tebu. Berdasarkan hasil karakterisasi akar kawao, komponen fitokimia yang

35

tampak dominan adalah alkaloid, flavonoid dan glikosida yang ditandai dengan tanda positif (+) yang paling banyak. Selain itu akar kawao juga mengandung triterpenoid, steroid, fenolik dan saponin dalam jumlah yang lebih kecil. Komponen fitokimia yang jumlahnya sedikit bukan berarti menunjukan tidak dapat bersifat sebagai pengawet pada nira tebu karena kadangkala penambahan bahan aktif lebih efektif dalam jumlah kecil dan menjadi racun dalam jumlah besar. Dalam penelitian lain, akar kawao atau dikenal sebagai Millettia diidentifikasi mengandung komponen fitokimia berupa : alkaloid, diterpenoid, coumarin, flavonoid dan isoflavonoid (Amgsa, et. a/., 1994; Dewick, 1994; Wanda, 2006). Menurut Yankep et. al. (1997; 1998; 2001), identifikasi lanjut pada isoflavon dalam millettia dikarakterisasi sebagai kalkone, rotenoid, fenylcoumarine dan beberapa jenis isoflavon lain. Komponen-komponen tersebut diekstraksi dari bagian akar dengan menggunakan heksan.

Alkaloid merupakan komponen fitokimia turunan senyawa amina, bersifat racun dan dapat membentuk garam dengan asam (asam mineral dan organik). Senyawa ini bersifat anastetik dan analgesik, sering dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Komponen fitokimia flavonoid dan fenolik memiliki efek pengawetan pada nira tebu sebagai inhibitor enzim karena kedua senyawa tersebut adalah bagian dari senyawa fenol yang bersifat dapat membentuk kompleks dengan protein sehingga senyawa tersebut dapat menghambat kerja enzim (Harbourne, 1987). Efek pengawetan juga ditandai dengan sifat antimikroba. Diantara komponen fitokimia dalam akar kawao, alkaloid, flavonoid dan triterpenoid yang memiliki sifat antimikroba (Cowan, 1999). Glikosida merupakan senyawa yang dibangun oleh molekul gula dan non-gula. Biasanya komponen fitokimia lain tidak berupa molekul bebas tetapi berikatan dengan molekul gula membentuk glikosida, contohnya adalah flavonoid yang jarang ditemukan dalam bentuk bebas (Harbourne, 1987). Dengan demikian komponen glikosida dalam akar kawao tidak memiliki efek pengawetan kecuali bila mengandung komponen non-gula (aglikon) yang bersifat pengawet.

Komponen fitokimia akar kawao atau Millettia telah diteliti juga dapat bersifat sebagai trypanocidal, anti-plasmodial, insektisida, piscisida, molluscicida (Teesdale, 1954; Singhal et. al., 1982; Amgsa, et. al., 1994). Akar tanaman ini digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970). Penelitian lain yang dilakukan Sandberg dan Cronlund (1977) serta Yankep, et. al., (2003)

36

menunjukan bahwa ekstrak akar dan batang Millettia griffoniana mengandung isoflavon yang dapat digunakan sebagai obat tradisional, insektisida, antiimflamantory, infertilitas, smenorrhea dan masalah menopause. Tanaman kawao (millettia) juga mengandung komponen rotenoid yang dikenal sebagai salah satu insektisida alami, termasuk untuk membasmi larva nyamuk Aedes aegypti (Abe et al., 1985). Dengan sifat-sifat yang demikian maka semakin menjelaskan bahwa akar kawao mengandung komponen yang bersifat sebagai antimikroba dan inhibitor enzim sehingga dapat dijadikan pengawet pada nira tebu.

Aplikasi akar kawao sebagai pengawet dalam nira tebu dimaksudkan sebagai antimikroba alami nira tebu seperti Saccharomyces cereficiae, Leuconostoc mesenteroides dan mikroba lain yang dapat menghasilkan enzim untuk mendegradasi sukrosa menjadi glukosa, fruktosa dan dextran. Jenis mikroorganisme lain yang mungkin mengkontaminasi nira tebu adalah Flavobacterium rigenes, Brevibacterium sulferens, Flavobacterium devorans,

Candida pulcherrima, Klebsiela azaenae, Chromabacterium lividum,

Bactobacillus arabinosus dan Saccharomyces lactis (Mathlouthi, 2000).

Karakteristik Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.)

Tanaman manggis (Garcinia mangostana L) termasuk dalam famili Clusiaceae (Guttiferae). Tanaman manggis berbentuk pohon yang selalu hijau dengan tinggi 6-20 m. Batangnya tegak dengan batang pokok yang jelas. Kulit batang berwarna coklat dan memiliki getah kuning (IPTEKnet, 2005). Tanaman manggis juga digunakan oleh sebagian petani aren untuk mencegah kerusakan niranya, dengan memasukan kulit batang atau buah manggis ke dalam larutan nira. Seperti halnya pada akar kawao, kulit batang manggis diduga mengandung componen fitokimia yang bersifat dapat menghambat degradasi sukrosa baik yang bersifat sebagai antimikroba maupun inhibitor enzim invertase atau enzim lain yang merusak nira tebu. Kulit batang manggis yang dikarakterisasi pada percobaan ini memiliki komponen fitokmia seperti yang disajikan pada Tabel 8.

37

Tabel 8. Hasil uji fitokimia kulit batang manggis (Garcinia mangostana L.)

Komponen Kandungan Alkaloid Saponin Tanin Fenolik Flavonoid Triterfenoid Steroid Glikosida + + + + - - - + + + + + + + + + + + Keterangan : - : Negatif + : Positif lemah + + : Positif + + + : Positif kuat

+ + + + : Positif kuat sekali

Komponen fitokimia yang banyak terkandung dalam kulit batang manggis yang diuji hampir sama seperti komponen fitokimia akar kawao yaitu alkaloid, flavonoid dan glikosida. Komponen lainnya adalah triterpenoid dan steroid dalam jumlah yang lebih kecil. Diantara komponen fitokimia yang diidentifikasi, komponen yang berperan dalam pengawetan nira tebu adalah komponen alkaloid, flavonoid dan triterpenoid karena bersifat sebagai antimikroba (Cowan, 1999) dan pada flavonoid bersifat dapat membentuk kompleks dengan enzim sehingga aktivitasnya terhenti (Harbourne, 1987). Salah satu turunan senyawa flavonoid adalah mangostin dan xantonin. Kedua jenis senyawa tersebut teridentifikasi dalam kulit batang manggis sebagai komponen yang banyak dimanfaatkan aktivitas biologinya..

Menurut IPTEKnet (2005), kulit batang manggis mengandung dua metabolit yaitu mangostin dan -mangostin. Dalam penelitian lain ditemukan komponen fitokimia dalam batang manggis adalah tannin (Abbiw, 1990), α- mangostin dan -mangostin (Sakagami, et. al., 2005; linuma et. al., 7996; Dharmaratne, et al., 2005; Suksamrarn, et. a/., 2002) dan xantonin (Ee, et. al., 2006; Nilar et al., 2002; Gopalakrishnan et. al., 1997). Menurut Ee, et. al., (2006) komponen xantonin pada batang manggis yang telah diidentifikasi adalah (2,6- dihydroxy-8-methoxy-5-(3-methylbut-2-enyl)-xanthone) dan 6 jenis xantonin prenilat yaitu : α-mangostin, -mangostin, garcinone D, 1,6-dihydroxy-3,7-

38

dimethoxy-2-(3-methylbut-2-enyl)-xanthone, mangostanol dan 5,9-dihydroxy-8- methoxy-2,2-dimethyl-7-(3-methylbut-2-enyl)-2H,6H-pyrano-[3,2-b]-xanthene-6- one. Komponen xantonin juga terdapat pada lateks batang manggis hingga 75% (Dharmaratne, et. al., 2005). Ekstraksi komponen xantonin dilakukan menggunakan heksan (Nilar et. al., 2002).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, komponen- komponen fitokimia dalam batang manggis memiliki sifat antibacterial, anti- inflammatory, antifungal, larvisida, antiviral, antioksidan dan sejumlah aktifitas biologi lainnya (Dharmaratne, et. al., 2005; Sundaram, et. al., 2002; Ee, et. al., 2006; Perry, 2007). α-mangostin telah diteliti bersifat antimikroba, khususnya pada Enterococci and S. aureus, dengan nilai konsentrasi penghambatan minimum atau minimum inhibitory concentration (MIC) masing-masing 6,25 dan 12,5 mikrog/ml (Sakagami, et. al., 2005; linuma et. al., 1996). Pada Mycobacterium tuberculosis, α and β-mangostin memiliki nilai konsentrasi penghambatan minimum atau minimum inhibitory concentration (MIC) 6.25 μg/ml (Suksamrarn, et. al., 2002). Beberapa xantonin yang diekstrak dari manggis bersifat antifungal (Geetha et. al., 1997; Gopalakrishnan et. al., 1997). Dalam beberapa penelitian, komponen dalam manggis berupa mangostin dan xantonin bersifat inhibitor terhadap beberapa jenis protein, enzim dan reaksi kimia lain (Chairungsrilerd, 2002; Mahabusarakam, et. al., 2002; Furukawa, et. al., 2002; Jinsart, et. al., 2002). Xantones (α dan -mangostens) juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan dengan kemampuan yang lebih baik daripada antioksidan BHA dan α-tocopherol (Yoshikawa, et. al., 1994). Dengan sifat-sifat yang demikian maka semakin menjelaskan bahwa kulit batang manggis mengandung komponen yang bersifat sebagai antimikroba dan inhibitor enzim sehingga dapat dijadikan pengawet pada nira tebu.

Pengaruh Faktor Suhu, pH, Bahan Pengawet dan Waktu

Proses degradasi sukrosa oleh enzim invertase dan mikroorganisme dalam nira tebu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dioptimalkan sehingga laju degradasi sukrosa dalam nira tebu dapat dihambat. Pada percobaan ini dilakukan pengujian pengaruh dari faktor suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi. Suhu yang diujikan adalah suhu 65˚C, 75˚C dan 85˚C yang merupakan kisaran suhu penurunan aktivitas enzim invertase dan mikroorganisme. Nilai pH juga dipilih berdasarkan kisaran penurunan aktivitas

39

enzim invertase dan mikroorganisme yaitu 7,5; 8,5 dan 9,5. Bahan pengawet yang digunakan pada percobaan ini adalah ekstraksi akar kawao dan kulit batang manggis dengan jumlah 2% dari volume total nira tebu yang digunakan. Kedua ekstraksi bahan pengawet ditambahkan dengan nisbah 3/7, 5/5 dan 7/3 (gram akar kawao/ gram kulit batang manggis). Lamanya inkubasi nira tebu yang diuji yaitu 50, 80 dan 110 menit. Parameter yang diukur pada percobaan ini adalah kadar sukrosa (metode refraktometri) dan kadar gula pereduksi (metode DNS). Hasil pengukuran dihitung secara statistik sehingga dapat diketahui pengaruh linier dari faktor-faktor reaksi tersebut.

Hubungan faktor reaksi terhadap respon dapat diketahui melalui serangkaian percobaan yang sistematis dan diuji melalui analisis statistika. Hubungan antara faktor reaksi dengan respon dapat disajikan dalam suatu model atau persamaan linier. Melalui persamaan linier tersebut diketahui pengaruh linier dari suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi serta interaksi dua faktor terhadap respon kadar sukrosa dan gula pereduksi.

Sukrosa

Kadar sukrosa merupakan parameter yang berkaitan langsung pada pengujian kerusakan dalam nira tebu. Perhitungan kadar sukrosa pada percobaan ini didasarkan tabel konversi nilai brix terhadap kadar sukrosa pada pengukuran nira tebu. Hasil pengukuran kadar sukrosa pada percobaan ini bervariasi antara 4,5 hingga 13,2 persen. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor reaksi yang diberikan yaitu suhu (X1), pH (X2), nisbah

pengawet (kawao/manggis) (X3) dan lama inkubasi (X4) memberikan pengaruh

terhadap perubahan kadar sukrosa dalam nira tebu. Data dan analisis gula pereduksi yang dihasilkan dari proses degradasi sukrosa disajikan pada Lampiran 3. Koefisien parameter, nilai signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan analisis kadar sukrosa disajikan pada Tabel 9.

40

Tabel 9 Koefisien, signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan analisis kadar sukrosa

Parameter Koefisien Signifikansi % Pengaruh

Intersep 13 0,990 Suhu (X1) 1,175 0,946 0,452 pH (X2) -1,15 0,945 4,423 Nisbah Pengawet (X3) 1,05 0,940 2,019 Lama inkubasi (X4) -0,975 0,935 0,125 Interaksi X1 dan X2 1 0,937 Interaksi X1 dan X3 -1,05 0,940 Interaksi X1 dan X4 1,075 0,941 R2 99,68%

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa semua faktor yang diuji memberi pengaruh terhadap kadar sukrosa dalam nira tebu. Faktor yang mempunyai pengaruh paling besar adalah faktor nilai pH yaitu sebesar 4,423 persen dengan selang kepercayaan 94,5 persen. Faktor suhu dan nisbah pengawet memberikan pengaruh yang positif terhadap kadar sukrosa dalam nira sedangkan faktor nilai pH dan lama inkubasi memberikan pengaruh negatif.

Pada selang kepercayaan 94,6 persen, faktor suhu (X1) memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap kadar sukrosa sebesar 0,452 persen. Suhu reaksi mempunyai pengaruh yang positif terhadap kadar sukrosa yang berarti bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang diberikan menyebabkan degradasi sukrosa menurun sehingga kadar sukrosa menjadi tetap tinggi. Suhu yang digunakan pada percobaan ini adalah 65°C, 75°C dan 85°C.

Menurunnya tingkat degradasi sukrosa yang dihasilkan karena pengaruh suhu disebabkan oleh aktivitas enzim invertase menurun atau bahkan enzim telah rusak. Penurunan aktivitas enzim disebabkan terjadinya denaturasi komponen protein pada enzim sehingga enzim tidak dapat bereaksi lagi dengan substrat. Penggunaan suhu tinggi dapat menyebabkan perubahan struktur tersier enzim dan ikatan kovalen yang mempengaruhi bentuk enzim (seperti interaksi ion dan ikatan hydrogen). Ikatan hydrogen sangat dipengaruhi oleh peningkatan suhu, dimana pada suhu tinggi ikatan hydrogen akan putus, sehingga struktur enzim akan berubah dan kemampuannya bereaksi dengan substrat akan hilang (Harrow dan Mazur, 1958).

41

Pengaruh suhu tinggi pada nira tebu dalam percobaan ini dapat menginaktivasi enzim invertase sehingga reaksi invertasi pada sukrosa menjadi gula reduksi dapat dikurangi atau dihambat. Kondisi ini menyebabkan kadar sukrosa tidak banyak mengalami pengurangan selama proses berlangsung. Reaksi invertasi atau hidrolisis terhadap molekul sukrosa, baik secara sempurna atau sebagian, akan menghasilkan monosakarisa D-glukosa dan D-fruktosa yang bersifat lebih stabil dibandingkan sukrosa. Reaksi tersebut terjadi disebabkan adanya aktivitas enzim invertase atau adanya kondisi asam disekitar sukrosa. Proses inversi dapat terjadi secara sempurna selama 48 - 72 jam pada suhu 50°C (Chaplin. 2004). Reaksi invertasi atau hidrolisis sukrosa selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. Invertase pada tebu termasuk jenis glikoprotein dengan kadar gula 7,29% dan berat molekul 218 kDa (Mahbubur, et. al., 2004). Aktifitas invertase maksimal suhu 60°C (lihat Gambar 5). Pada suhu di atas 60°C aktifitas invertase menunjukan kecendrungan terus menurun. Penggunaan suhu pada percobaan ini (65°C, 75°C dan 85°C) menyebabkan enzim invertase dalam nira tebu kehilangan aktifitasnya. Menurut Vorster dan Frederik (1998), pemanasan enzim invertase pada suhu 90ºC selama 2 menit akan mematikan aktifitasnya

Penggunaan suhu tinggi juga dapat membunuh mikroorganisme yang mengkontaminasi nira tebu. Dalam percobaan ini, suhu yang digunakan dapat membunuh sebagian atau seluruh mikroorganisme, khususnya mikroorganisme yang menghasilkan enzim pendegradasi sukrosa sehingga kadar sukrosa menjadi tetap tinggi penggunaan suhu tinggi menyebabkan membrane penyusun mikroorganisme menjadi lebih liquid hingga akhirnya sel mikroorganisme dapat mengalami lisis (Paustian, 2007). Jenis mikroorganisme yang sering dijumpai dalam nira tebu sebagai penghasil enzim pendegradasi sukrosa adalah

Saccharomices cereviceae dan Leuconostoc mesenteroides yang masing-

masing menghasilkan enzim invertase dan dekstransukrase. Leuconostoc mesenteroides dapat mendegradasi sukrosa dengan sangat cepat (8.05 g/l/jam pada suhu 25ºC and 8.46 g/l/jam pada suhu 30ºC) selama 6 jam (Cerutti de Guglielmone, et. a/., 2000 di dalam Mathlouthi, 2000 ). Proses fermentasi tersebut berarti terjadi kehilangan sukrosa sebanyak 59 persen pada suhu 25ºC dan 62 persen pada suhu 30ºC. pada suhu yang lebih tinggi (37ºC and 40ºC) persentase konsumsi sukrosa dapat menurun menjadi 47 persen dan 27 persen (Mathlouthi, 2000).

42

Pada selang kepercayaan 94,5 persen, faktor nilai pH (X2) memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap kadar sukrosa sebesar 4,423 persen. Nilai pH reaksi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kadar sukrosa yang berarti bahwa semakin tinggi nilai pH reaksi yang diberikan menyebabkan degradasi sukrosa meningkat sehingga kadar sukrosa menjadi turun. Nilai pH yang digunakan pada percobaan ini adalah 7,5; 8,5 dan 9,5.

Salah satu penyebab degradasi sukrosa dalam nira tebu adalah enzim invertase. Jenis enzim invertase yang disintesis dalam batang tebu selama pertumbuhan hingga diekstrak niranya terbagi atas 3 macam berdasarkan pH optimum aktifitasnya yaitu invertase asam, invertase netral dan invertase alkali. (Mahbubur, et.al. 2004). Menurut Vorster dan Frederik (1998) pH optimum aktivitas enzim invertase netral adalah 7,2. Enzim invertase komersil umumnya mempunyai pH optimum pada 4,5, jenis enzim invertase ini yang banyak diteliti dan diaplikasikan dalam industri. Jenis enzim invertase alkali masih belum diketahui banyak karakaterisasinya. Pada percobaan ini, penggunaan pH tinggi ternyata tidak menyebabkan enzim invertase kehilangan aktifitasnya. Hal ini diduga karena jenis enzim invertase dalam nira tebu yang digunakan bukan jenis enzim invertase asam, melainkan jenis enzim invertase netral atau alkali. Dengan demikian invertase tetap dapat bereaksi untuk menginvertasi molekul sukrosa dalam nira tebu.

Penyebab lain degradasi sukrosa dalam nira tebu adalah mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim pendegradasi sukrosa dan mikroba asam yang dapat memproduksi asam hingga terjadi reaksi invertasi oleh asam.

Saccharomices cereviceae dan Leuconostoc mesenteroides adalah

mikroorganisme utama penyebab degradasi sukrosa dalam nira tebu. Kedua

Dokumen terkait