• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 1978 dari ayah Drs Chaerul Suflan, BBA (Alm) dan Ibu Zuretty. Penulis merupakan putri kedua dari enam bersaudara dan istri dari Tonny F. Kurniawan.

Tahun 1997 penulis lulus dari SMU Negeri 8 Pekanbaru dan pada tahun yang sama diterima di Program Studi Teknologi Pangan Universitas Padjadjaran melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis menamatkan program sarjana pada tahun 2003 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB. Beasiswa pendidikan penulis dapatkan dari bantuan Pemerintah Provinsi Riau, sedangkan dana penelitian diperoleh dari proyek Program B jurusan Teknologi Industri Pertanian.

ABSTRACT

FITRY FILIANTY. Inhibition Process Method on Sucrose Degradation in Sugar Cane (Saccharum officinarum) Juice Using Kawao Root (Millettia sericea) and Mangosteen Bark (Garcinia mangostana L.). Supervised by SAPTA RAHARJA dan PRAYOGA SURYADARMA.

The inhibition process method on sucrose degradation in sugar cane juice was studied by using kawao root and mangosteen bark. The degradation caused by invertation reaction and microorganism activity. Kawao root and mangosteen bark often use as preservative on sugar juice by traditional farmer to inhibit the degradation process. Temperature, pH value and time of incubation also influence the enzymatic reaction and microorganism activity. Refer to the condition, the research need to conduct to measure the inhibition ability of kawao root and mangosteen bark at certain condition.

This research aim to (1) knowing factors influencing the sucrose degradation sugar cane juice by adding preservative (kawao root and mangosteen bark) (2) knowing quality change of sugarcane juice during incubation.

This research was conducted in three steps. First step conduct characterization of sugarcane juice and preservative material (kawao root and mangosteen bark). Second phase conduct factor examination influencing sucrose degradation in sugarcane juice. Third phase conduct quality change measurement of sugarcane juice during incubation. The measurements consist of sucrose content, reduction sugar content, acid total and pH value.

The result of this research showed the amount of sucrose in higher level, (10,29%), reduction sugar is 2,43% of glucose and 0,94% of fructose, acid value is 62,5 mleq and pH value is 5,1. Kawao root and mangosteen bark consist of alkaloid, flavonoid, triterpenoid and glycoside in large number and saponin, fenolik, triterpenoid and steroid in small number.

The result of factor influence analysis that temperature and preservative ratio factor give positive influence in sucrose content and reduction sugar. While factor of pH value and time of incubation give negative influence in sucrose content and reduction sugar. Temperature and preservative ratio factor give positive influence to sucrose content each equal to 0.452% and 2.019% by significance 94.6% and 94%. Both of the factors also give positive influence to reduction sugar content each equal to 0.554% and 2.072% by significance 97.9% and 97.3%. The pH value and time of incubation give negative influence to sucrose content each equal to 4.423% and 0.125% by significance 94.5% and 93.5%. Both of the factors also give negative influence to reduction sugar content each equal to 3.820% and 0.126% by significance 97%.

Changes of quality of sugarcane juice refer to the change of sucrose content showed that preservative addition (kawao root and mangosteen bark) can inhibit sucrose degradation, specifically after 80 minute. The mentioned was also supported by change of reduction sugar content, acid value and pH value that showed influence of preservative ability to inhibit sucrose degradation in sugarcane juice. Sugarcane juice with preservative (kawao root and mangosteen bark) showing quality which had better than sugarcane juice without preservative.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 5 Manfaat Penelitian ... 5 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7 Tanaman Tebu ... 7 Nira Tebu ... 8 Kerusakan pada Nira Tebu ... 10 Sukrosa dan Degradasinya ... 10 Invertase ... 11 Invertase dalam Nira Tebu ... 12 Mikroorganisme dalam Nira Tebu ... 14 Penghambatan Kerusakan Nira Tebu... 16 Pengaruh Suhu dan pH ... 16 Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet ... 18 Fitokimia sebagai Bahan Pengawet ... 19 Kawao (Millettia sp) ... 19 Manggis (Garcinia mangostana L.) ... 22

METODOLOGI PENELITIAN ... 26 Waktu dan Tempat... 26 Bahan dan Alat ... 26 Tahapan Penelitian ... 26 Prosedur Penelitian ... 27 Rancangan Percobaan ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31 Karakterisasi Nira Tebu ... 31 Karakteristik Kawao (Millettia sericea) ... 33 Karakteristik Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.)... 36 Pengaruh Faktor Suhu, pH, Bahan Pengawet dan Waktu... 38 Sukrosa ... 39 Gula Pereduksi ... 48 Perubahan Kualitas Nira Tebu... 56 Kadar Sukrosa ... 56 Kadar Gula Pereduksi ... 59 Total Asam ... 62 Nilai pH ... 64

vii

Hubungan perubahan kadar gula pereduksi, total asam dan nilai pH... 66 Analisis kebutuhan bahan pengawet untuk industri gula ... 67

SIMPULAN DAN SARAN ... 70 Simpulan ... 70 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi kimia nira tebu ... 9 2. Kemampuan penghambatan aktifitas invertase oleh

berbagai produk metabolit dan ion logam ... 14 3. Beberapa jenis tanaman millettia dengan komponen fitokimianya... 21 4. Nilai rendah dan tinggi perlakuan ... 29 5. Matrik satuan percobaan uji pengaruh faktor penghambatan

laju degradasi sukrosa dalam nira tebu dengan rancangan

komposit fraksional berfaktor 2IV4-1 ... 30 6. Karakterisasi nira tebu... 31 7. Hasil uji fitokimia kawao (Milletia sericea) ... 34 8. Hasil uji fitokimia kulit batang manggis... 37 9. Koefisien, signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan

analisis kadar sukrosa ... 40 10. Koefisien, signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman tebu (Saccharum officinarum) ... 8 2. Struktur molekul sukrosa ... 10 3. Reaksi invertase atau hidrolisis sukrosa ... 11 4. Pengaruh pH terhadap aktivitas invertase pada tebu ... 13 5. Pengaruh suhu terhadap aktivitas invertase pada tebu ... 13 6. Tahapan reaksi fermentasi pada nira tebu ... 15 7. Grafik hubungan perubahan pH dan suhu terhadap aktivitas enzim... 17 8. Tanaman kawao (Millettia) ... 20 9. Struktur kimia rotenoid dan flavonoid lain yang diisolasi

dari spesies millettia ... 22 10. Tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) ... 23 11. Struktur Mangostin ... 25 12. Diagram Alir Tahapan Penelitian ... 27 13. Pola interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar sukrosa... 46 14. Pola interaksi faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap

kadar sukrosa ... 47 15. Pola interaksi faktor suhu dan lama inkubasi terhadap

kadar sukrosa ... 48 16. Pola interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar gula pereduksi ... 53 17. Pola interaksi faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar

gula pereduksi ... 55 18. Pola interaksi faktor suhu dan lama inkubasi terhadap kadar

gula pereduksi ... 56 19. Grafik perubahan kadar sukrosa pada nira murni dan nira tebu

yang ditambahkan pengawet ... 58 20. Grafik perubahan kadar gula pereduksi selama inkubasi 48 jam ... 60 21. Grafik perubahan total asam selama inkubasi 48 jam... 63 22. Grafik perubahan nilai pH selama inkubasi 48 jam ... 65

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Prosedur analisis nira tebu ... 78 2 . Hasil pengujian fitokimia akar kawao dan kulit batang manggis ... 79 3 . Pengaruh faktor terhadap kadar sukrosa (dalam brix) ... 80 4 . Pengaruh faktor terhadap kadar gula pereduksi (dalam mM) ... 82 5 . Perubahan nira tebu selama penyimpanan 240 menit ... 84 6 . Perubahan nira tebu selama penyimpanan 48 jam ... 85

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kebutuhan konsumsi gula di Indonesia sejak tahun 1970-an selalu melebihi kapasitas produksi dalam negeri sehingga menyebabkan Indonesia menjadi negara pengimpor gula. Indonesia telah mengimpor gula sejak tahun 1980-an dengan kapasitas impor yang terus meningkat hingga sekarang. Pemerintah Indonesia mengatur tataniaga gula tersebut secara langsung karena komoditas tersebut menguasai hajat hidup sebagian besar masyarakat Indonesia.

Pemerintah sebelumnya pernah mencanangkan swasembada gula pada tahun 1991 namun tidak tercapai karena masih rendahnya kapasitas produksi gula secara nasional. Rendahnya produksi gula dapat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari pemilihan bibit, teknologi tanam, budidaya, pemanenan, dan pengolahan gula di pabrik. Di Indonesia, produksi gula diperoleh dari pengolahan tebu (Saccharum officinarum). Pengalaman produksi dalam dasawarsa 1980-an lebih menekankan pada perluasan areal tanaman tebu tanpa diikuti peningkatan produktivitas dalam semua tahap produksi. Contohnya, peningkatan produksi melalui perluasan areal tanaman tanpa memperhatikan kualitas bibit tebu (rendemen rendah) hanya akan memberatkan instalasi pabrik sehingga produksi menjadi tidak ekonomis dan boros. Kondisi mesin pengolahan di pabrik yang sering rusak saat proses produksi berlangsung (downtime) juga mempengaruhi penurunan rendemen gula yang diperoleh.

Industri gula sebagai industri yang sudah lama berkembang, saat ini sedang mencapai tahap pematangan. “Trend” teknologi yang sedang diupayakan oleh industri-industri gula khususnya di negara maju mengarah pada peningkatan kecepatan pengolahan sambil memperbaiki proses recovery gula. Teknologi yang dikembangkan pada industri gula tersebut meliputi komputasi aliran dinamik, pencarian bahan baku baru, peralatan elektronik digital, pemilihan peralatan pengolahan yang efisien, otomatisasi mesin dan pengembangan teknologi informasi (Alvarez dan Johnson, 2003). Berbagai metode pengukuran cepat pada tebu, nira tebu dan gula hasil pengolahan telah banyak dikembangkan industri gula di negara-neraga maju seperti metode pengukuran dextran pada nira secara cepat (Day dan Rauh, 2003) dan metode pengukuran karakteristik gula mentah menggunakan spektrometer inframerah (Madsen II,

2

White dan Rein. 2003). Semua peralatan pengukuran terinstalasi pada pabrik sehingga memudahkan proses pengontrolan. Perkembangan lain dari industri gula adalah penggunaan membran sebagai metoda pemurnian nira tebu, diantaranya dengan menggunakan membran ultrafiltrasi yang dapat menghasilkan nira dengan warna lebih cerah, mengurangi dextran hingga 100% dan mengurangi polisakarida hingga 76% (Kaseno, Wulyoadi dan Koesnandar, 2003). Kinerja produksi industri gula juga diperbaiki melalui pengembangan berbagai metode manajemen, misalnya aplikasi sistem manajemen perawatan terkomputerisasi (Computerized Maintenance Management System / CMMS) (Elliott, 2003) yang dapat mengatasi dampak downtime pabrik dan mengoptimalkan produksi. Semua upaya-upaya yang dijelaskan diatas ditujukan untuk meningkatkan kapasitas produksi gula yang bermutu sekaligus meningkatkan keuntungan perusahaan.

Perkembangan industri gula di negara-negara maju didukung dengan teknologi yang aplikasinya membutuhkan investasi yang cukup besar. Kenyataannya industri gula di Indonesia, khususnya industri gula milik pemerintah, kurang didukung dengan investasi yang memadai, terutama investasi untuk peralatan pengolahan. Pemilihan penerapan teknologi industri gula di Indonesia diupayakan tidak membutuhkan investasi yang terlalu besar untuk keuntungan maksimal (rendemen gula tinggi).

Salah satu permasalahan yang menyebabkan rendemen gula rendah di pabrik-pabrik gula di Indonesia adalah masalah downtime pabrik yang disebabkan kerusakan mesin yang sudah tua usia teknisnya. Masalah downtime pabrik adalah terhentinya proses produksi, sehingga nira yang sedang diolah menjadi terbuang atau tetap digunakan tetapi kadar sukrosa dalam nira sudah sangat rendah akibat kerusakan enzimatis dan mikrobiologis. Upaya mengganti mesin yang sering rusak dengan membeli mesin baru membutuhkan investasi besar terutama bila dilakukan secara bersamaan untuk seluruh pabrik. Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan penambahan bahan pengawet ke dalam nira tebu agar kadar sukrosa didalamnya dapat dipertahankan secara maksimal. Sukrosa adalah gula yang akan dikristalkan dalam pengolahan nira tebu dan secara langsung jumlahnya menunjukan rendemen tebu. Selain downtime yang disebabkan kerusakan mesin pengolahan, terdapat downtime lain berupa waktu pencucian evaporator dari endapan-endapan gula yang juga dapat mempercepat reaksi invertase. Inversi

3

sukrosa menjadi meningkat setelah terbentuknya endapan, 3-4 hari setelah pembersihan evaporator (Eggleston, Monge dan Ogier, 2003).

Penurunan kadar sukrosa juga dapat terjadi selama proses pengolahan, terutama sejak tahap ekstraksi hingga evaporasi. Kondisi proses pengolahan dapat mempengaruhi aktivitas enzimatis dan mikrobiologis dalam nira tebu. Kondisi proses pengolahan tersebut meliputi pH, suhu, waktu, migrasi komponen logam peralatan pengolahan dan pengadukan. Permasalahan ini dapat diatasi dengan pemilihan kondisi proses pengolahan yang tepat dan dapat juga ditambahkan pengawet yang bersifat inhibitor enzim atau antimikrobial ke dalam nira tebu.

Tanaman tebu (Saccharum sp.) adalah salah satu sumber bahan baku industri gula. Sumber gula lainnya adalah tanaman sugar beet yang banyak dikembangkan di Eropa Utara dan Amerika Utara. Pemanenan tanaman tebu ditandai dengan pencapaian kadar sukrosa dalam batang tebu yang maksimal. Berbagai penelitian tentang akumulasi sukrosa dalam batang tebu telah banyak dilakukan, diantaranya adalah pemodelan akumulasi sukrosa dalam tebu (Rohwer, dan Frederik, 2001), efek suhu terhadap metabolisme sukrosa dalam tebu selama pertumbuhan (Lingle, 2004), pemodelan estimasi kematangan tebu (Scarpari, dan de Beauclair, 2004) dan hubungan akumulasi sukrosa dengan aktivitas invertase (Zhu, Komor dan Moore, 1997).

Penurunan kadar sukrosa dalam proses pengolahan nira tebu menjadi gula dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu reaksi enzimatis (terutama invertase), reaksi mikrobiologis dan kondisi proses yang secara tidak langsung mempercepat reaksi enzimatis dan mikrobiologis (pH, suhu, waktu, agitasi, dan lain-lain).

Reaksi enzimatis yang memicu kerusakan nira tebu karena penurunan kadar sukrosa adalah reaksi invertasi. Reaksi invertasi dikatalis oleh enzim invertase yang terdapat dalam nira tebu, menginvertasi sukrosa sehingga menghasilkan glukosa dan fruktosa. Aktivitas invertase ini menyebabkan kadar sukrosa semakin berkurang dalam nira tebu. Invertase pada tanaman tebu telah diteliti aktivitasnya, optimum pada pH 7.2 dan suhu 600 C (Rahman, Palash dan Fida, 2004, Vorster dan Frederik, 1998).

Aktivitas invertase dalam nira tebu hasil ekstraksi adalah aktivitas yang harus dicegah agar kadar sukrosa dapat dipertahankan (rendemen gula tidak menurun). Reaksi invertasi pada sukrosa dengan katalis invertase dapat

4

dihambat oleh substrat (sukrosa) dan produk (glukosa dan fruktosa) reaksi itu sendiri dengan model inhibisi non-kompetitif (Filho, Hori dan Ribero, 1999). Substrat sukrosa dapat menghambat reaksi invertasi pada konsentrasi 80% (b/v). Produk reaksi invertasi adalah, glukosa dan fruktosa, dapat menghambat aktivitas invertase masing-masing sebesar 27% dan 37% (Vorster dan Frederik, 1998). Aplikasi glukosa dan fruktosa sebagai inhibitor invertase pada proses pengolahan nira tebu menjadi gula menimbulkan permasalahan lain yaitu rendahnya rendemen proses kristalisasi gula karena terhambat oleh glukosa dan fruktosa yang terakumulasi dalam sirup. Jenis inhibitor lain yang dapat menghambat aktivitas invertase adalah beberapa jenis garam, terutama HgCl2, FeCl2, CuCl2 dan CdCl2, yang dapat menurunkan aktifitas hingga 45-99% (Mahbubur Rahman, et.al., 2004, Vorster dan Frederik, 1998). Aplikasi garam- garam tersebut dalam pengolahan nira tebu juga tidak dapat dilakukan karena garam-garam tersebut bukan golongan food grade.

Penyebab lain kerusakan nira tebu adalah reaksi mikrobiologis. Salah satu mikroba yang dapat mengkontaminasi tebu dan niranya adalah Leuconostoc mesenteroides, dengan kemampuannya mengkonversi sukrosa menjadi fruktosa dan dextran. Kerusakan lebih lanjut dari degradasi sukrosa adalah terbentuknya asam-asam organik seperti asam laktat dan asetat (Mathlouthi, 2000). Upaya mencegah kerusakan akibat reaksi mikrobiologis ini salah satunya adalah dengan menambahkan antimikrobial, seperti natrium benzoat dan larutan amoniak (Bobadilla dan Preston, 1981, Duarte, Elliott dan Preston, 1981).

Secara tradisional petani nira menggunakan bahan-bahan alami tertentu sebagai pengawet seperti akar kawao, kulit dan buah manggis, laru janggut, kulit batang kusambi, remasan daun jambu mete, tangkal dan kulit batang nangka, serta kulit batang ralu (Sedarnawati, Suliantari dan Iwan, 1999) dan mendidihkan nira secepat mungkin selama menunggu waktu proses pengolahan. Tujuan pemanasan selain membunuh mikroorganisme dalam nira dapat juga berfungsi menginaktivasi enzim. Bahan-bahan alami yang selama ini dipakai oleh petani belum banyak diidentifikasi komponen aktifnya, apakah bersifat inhibitor enzim atau antimikrobial. Selama ini penggunaan bahan-bahan tersebut hanya didasarkan pada pengalaman bahwa dengan penambahan bahan-bahan tersebut terbukti mencegah nira menjadi asam yang pada akhirnya gula padat atau kristal yang dihasilkan lebih banyak.

5

Akar kawao (Millettia sericea) dan kulit batang manggis (Garcinia mangostana) termasuk bahan pengawet yang sering dipakai petani aren tradisional. Menurut Teysmann dalam Menninger (1970), orang Jawa memberikan sepotong akar kawao dalam cairan palem yang masih segar agar cairan tersebut (nira) tidak menjadi asam. Bila petani tidak menemukan akar kawao, mereka menggantinya dengan kulit batang atau buah manggis sebagai pengawet.

Aplikasi penggunaan pengawet dalam nira tebu memerlukan kondisi proses tertentu agar dihasilkan kinerja pengawetan yang optimal. Pengaturan pH, suhu dan waktu reaksi mempengaruhi laju reaksi enzimatis dan mikrobiologis. Waktu reaksi berhubungan dengan lamanya reaksi bahan pengawet bekerja hingga kehilangan aktivitas pengawetannya disebabkan kehabisan bahan aktif. Optimasi produksi diperlukan dengan mengkombinasikan kondisi-kondisi proses tertentu dengan konsentrasi tertentu bahan pengawet.

Berdasarkan pemaparan diatas maka penelitian untuk menguji kemampuan akar kawao dan kulit batang manggis menghambat laju degradasi sukrosa dalam nira tebu perlu dilakukan. Aplikasi kedua bahan pengawet alami tersebut juga perlu diuji dengan kondisi proses tertentu agar menghasilkan aktivitas optimal untuk menghambat laju degradasi sukrosa dalam nira tebu.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu dengan penambahan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dan (2) mengetahui perubahan kualitas nira tebu selama penyimpanan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan untuk (1) mendapatkan informasi faktor- faktor penghambat degradasi nira tebu dengan aplikasi bahan pengawet akar kawao dan kulit batang manggis, (2) menyediakan data yang dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya, (3) memberikan masukan kepada peneliti dan pengelola pabrik nira tebu untuk mendapatkan produksi gula dari nira tebu yang lebih baik.

6

Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Karakterisasi nira tebu

2. Analisis fitokimia akar kawao dan kulit batang manggis.

3. Pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu berupa pengujian suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi terhadap perubahan kadar sukrosa dan gula pereduksi.

4. Pengujian perubahan kualitas nira tebu berupa perubahan kadar sukrosa, gula pereduksi, total asam dan nilai pH selama penyimpanan.

5. Perhitungan kebutuhan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) untuk aplikasi industri gula dari nira tebu.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman tahunan dari famili Gramineae (keluarga rumput) yang sudah dibudidayakan sejak lama di daerah asalnya di Asia, Papua Nugini. Tanaman tebu memiliki kemiripan bentuk fisik dengan tanaman jagung dan sorgum. Tanaman tebu dikembangkan sebagai salah satu sumber gula komersil sejak tahun 1800an dan menjadi sumber ekonomi utama dari gula bersama gula bit. Tanaman tebu diklasifikasikan dalam divisi Maqnoliophyta, kelas Liliopsida, ordo Cyperales, famili Poaceae (Gramineae) (Barnes, 1973). Tanaman ini dapat tumbuh di daerah beriklim tropik dan subtropik dengan kelembaban tahunan minimum 600 mm. Tanaman tebu termasuk tanaman yang paling efisien dalam berfotosintesis dimana hanya membutuhkan 2% saja dari energi matahari untuk dikonversi menjadi biomassa (Sharpe, 1998).

Lebih dari 100 negara melakukan budidaya tanaman tebu, dengan luas keseluruhan lahan sekitar 130.000 km2. Jumlah tebu yang dipanen oleh 20 negara terbesar penghasil tebu mencapai 1200 juta m3 dalam tahun 2002 untuk diolah menjadi gula. Hal tersebut berarti 6 kali lebih besar daripada produksi gula bit (Sharpe, 1998). Selama 100 tahun terakhir produksi gula dari tanaman tebu di dunia mengalami peningkatan yang pesat hasil dari perbaikan proses budidaya, penggunaan pupuk, pengontrolan hama dan penyakit tanaman, perbaikan proses di pabrik, mekanisasi produksi dan penggunaan varietas yang menghasilkan rendemen gula tertinggi. Negara yang terbesar dalam memproduksi gula dari tebu ini adalah Brazil, India dan Cina.

Bagian dari tanaman tebu yang diambil untuk pembuatan gula adalah batangnya. Batang tebu diekstrak untuk memperoleh sukrosa. Batang tebu berdiri tegak dengan diameter 3-4 cm dan tinggi 2-5 meter serta tidak bercabang (Soebroto, 1983). Batang terdiri dari ruas-ruas dan dibatasi dengan buku-buku, dimana setiap buku terdapat mata ruas. Gambar tanaman tebu dapat dilihat pada Gambar 1.

8

Gambar 1 Tanaman tebu (Saccharum officinarum)

Tanaman tebu dipanen pada usia 8-12 bulan. Pemanenan merupakan tahapan yang penting dalam penanganan tebu. Makin mendekati umur panen, kadar sukrosa dalam batang tebu semakin meningkat dan setelah melampaui umur panen terjadi penurunan kadar sukrosa yang diikuti peningkatan kadar glukosa dan frukrosa. Penurunan kadar sukrosa tersebut disebabkan oleh aktifitas enzim invertase dalam batang tebu yang meningkat aktifitasnya. Peningkatan aktifitas invertase dalam jaringan tanaman disebabkan karena adanya signal kebutuhan energi bagi tanaman untuk metabolisme selanjutnya (Foyer et. a/. 1997). Energi tersebut dapat diserap tanaman dalam bentuk gula sederhana (glukosa dan frukrosa) sehingga aktifitas invertase pada sukrosa terpacu untuk bekerja.

Nira Tebu

Nira tebu adalah suatu ekstrak cairan yang berasal dari batang tebu, mengandung kadar gula relatif tinggi, dijadikan bahan baku pembuatan gula kristal. Selain tebu, sumber nira lain yang banyak digunakan dalam pembuatan gula adalah aren, kelapa, lontar dan sugarbeet. Dalam pabrik gula, proses ekstraksi nira tebu dari batangnya dilakukan dengan cara pencacahan dan penggilingan. Nira tebu hasil ekstraksi selain mengandung sukrosa yang akan menjadi bahan baku pembuatan gula kristal, juga mengandung komponen lain seperti gula pereduksi (glukosa dan fruktosa), serat, zat bukan gula dan air.

9

Komposisi nira tebu tidak akan selalu sama, tergantung pada jenis tebu, kondisi geografis, tingkat kematangan serta cara penanganan selama penebangan dan pengankutan (Reece, 2003). Umumnya nira terdiri atas 73-76% air, 11-16% serat dan 11-16% padatan-padatan terlarut dan tersuspensi (James dan Chen, 1985). Komposisi kimia nira tebu hasil ekstraksi dalam susunan rata-rata disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia nira tebu

Komposisi Kimia Jumlah (%) Sukrosa

Gula pereduksi Zat organik Zat anorganik

Serat

Zat warna, wax, gum Air 11-14 0.5 - 2.0 0.5-2.5 0.15-0.20 10-15 7.5-15 60-80 Sumber : Moerdokusumo (1993)

Beberapa jenis polisakarida lain juga terdapat dalam nira tebu sebagai hasil metabolisme tanaman seperti dextran, levan, pektin, selulosa, hemiselulosa, pati dan gum (Cuddihy et.al., 2000). Semua bahan selain sukrosa dapat memberikan efek negatif terhadap proses pembuatan gula kristal, seperti memberi kesempatan mikroorganisme untuk tumbuh, mempersulit proses pemurnian dan menghambat proses kristalisasi. Keberadaan pati yang relative tinggi nira lebih kental sehingga menyebabkan filtrasi berjalan lambat dan larutan tampak lebih keruh.

Menurut Paine (1953) nira tebu mengandung komponen senyawa nitrogen organik berupa protein tinggi (albumin), protein sederhana (albuminosa dan peptosa), asam amino (glisin, asam aspartat) dan asam amida (asparagin,

Dokumen terkait