• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Tepung Daun Kelor

Tepung daun kelor merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari daun kelor yang diproses dengan cara dikeringkan dan dibuat serbuk dengan dihancurkan dan diayak (Tanico 2009). Daun kelor yang dijadikan tepung dalam penelitian ini didapatkan dari daerah Ciampea, Kabupaten Bogor. Daun kelor dipilih yang masih utuh dan dipisahkan dari rantingnya kemudian dicuci dengan air bersih. Menurut Doerr dan Cameron (2005) pencucian daun dengan air bersih dapat menghilangkan kotoran dan kuman. Oleh karena itu, tepung daun kelor dapat dikonsumsi langsung setelah prosesnya selesai. Pembuatan tepung daun kelor dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama yaitu daun kelor dicuci untuk menghilangkan kotoran dan digiling dengan penggilingan basah disc mill. Setelah berbentuk pasta, dikeringkan dengan drum dryer pada suhu 100-1200C selama 5-10 menit. Alasan pemilihan drum dryer sebagai alat pembuatan tepung dikarenakan waktunya yang singkat dalam pemaparan panas terhadap daun kelor. Hal ini dapat berefek positif terhadap kualitas tepung daun kelor yang dihasilkan baik dari segi gizi maupun penampakannya. Menurut Hendy (2007) alat pengering drum dapat meningkatkan daya cerna dan mengawetkan produk yang dihasilkan. Akan tetapi, tepung daun kelor yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna hijau kecoklatan. Hal ini diduga karena

suhu drum dryer terlalu tinggi sehingga menyebabkan terjadinya browning pada

daun kelor. Menurut Broin (2010) daun kelor hanya bertahan pada suhu

maksimal 500C dan jika lebih dari itu akan mengalami browning. Selain itu, daun

kelor juga mengalami browning enzimatis pada saat penggilingan basah karena

adanya pertemuan antara senyawa fenolik pada daun dengan udara. Alternatif

yang digunakan untuk mencegah terjadinya browning adalah pengeringan harus

dilakukan pada suhu maksimal 500C dan dilakukan pengontrolan pH dengan

menambahkan bahan bersifat basa (Cheng & Crisosto 2005), salah satunya adalah natrium bikarbonat yang dikenal dengan nama dagang soda kue.

Alternatif yang dilakukan pada penelitian ini adalah pembuatan tepung

daun kelor dengan suhu maksimal 500C yaitu menggunakan cahaya matahari

dalam rumah kaca. Daun dikeringkan di rak-rak yang berada dalam rumah kaca selama 24 jam. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air bahan

Gambar 5 Tepung daun kelor dengan pengeringan cahaya matahari

Pengeringan menggunakan sinar matahari merupakan salah satu cara pengeringan yang dapat dilakukan dalam pembuatan tepung daun kelor karena tidak memerlukan biaya yang mahal (Broin 2010). Energi matahari dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan pangan sampai kadar air dimana kerusakan karena mikroba dapat diturunkan secara nyata, meningkatkan mutu makanan yang dihasilkan dan mengurangi pembuangan bahan pangan. Hasil pengeringan daun kelor dengan cahaya matahari menghasilkan tepung daun kelor berwarna hijau seperti pada Gambar 5.

Daun yang sudah kering kemudian dihancurkan dengan blender sampai halus. Menurut Doerr dan Cameron (2005) daun dikatakan kering dan dapat dilanjutkan ke proses selanjutnya jika secara fisik daun sudah rapuh dan mudah dihancurkan atau diremas dengan tangan. Penggunaan blender untuk menghancurkan daun bertujuan agar lebih efektif dibandingkan dengan penghancuran menggunakan mortar dan penggilingan. Daun kering yang telah berubah ke dalam bentuk bubuk kemudian diayak dengan ayakan 60 mesh untuk menghilangkan ranting yang tersisa. Tepung daun kelor yang sudah jadi disimpan dalam plastik kedap udara, terlindung dari panas, kelembapan, dan cahaya. Jika tepung daun kelor belum kering kemudian disimpan, akan mendorong bakteri tumbuh. Penyimpanan harus terhindar dari panas atau cahaya untuk menghindari penurunan kandungan gizi (Doerr & Cameron 2005). Sifat Fisik Tepung Daun Kelor

Tepung daun kelor yang sudah jadi kemudian dianalisis sifat fisiknya. Analisis sifat fisik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah aktivitas air (aw) dan densitas kamba tepung. Data analisis sifat fisik tepung daun kelor dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5 Sifat fisik tepung daun kelor

Komponen Nilai

Aktivitas air (aw) 0.57±0.01 Densitas kamba (g/ml) 0.37±0.00

Aktivitas air. Aktivitas air (aw) merupakan jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan akan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme (Winarno 1997). Air berperan dalam reaksi metabolik sel dan merupakan alat pengangkut zat-zat gizi atau

bahan limbah ke dalam dan ke luar sel. Hasil analisis aw tepung daun kelor yang

disajikan pada Tabel 5 menunjukkan aw tepung daun kelor sebesar 0.57.

Menurut Buckle et al. (1985) mikroorganisme tidak dapat tumbuh secara subur pada kisaran aw tersebut.

Densitas kamba. Densitas kamba menunjukkan perbandingan antara berat suatu bahan dengan volumenya. Densitas kamba tepung daun kelor sebesar 0.37 g/ml. Bahan dengan densitas kamba yang besar akan membutuhkan tempat yang lebih luas daripada bahan dengan densitas kamba yang kecil. Menurut Wirakartakusumah et al. (1992), densitas kamba makanan berbentuk bubuk berkisar 0.30-0.80 g/ml.

Sifat Kimia Tepung Daun Kelor

Analisis sifat kimia tepung daun kelor yang dilakukan pada penelitian ini adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar lemak, kadar mineral kalsium, zat besi, dan seng. Data analisis sifat kimia tepung daun kelor dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sifat kimia tepung daun kelor

Komponen Nilai

Kadar air (%bb) 4.51

Kadar abu (%bb) 8.76

Kadar protein (%bb) 23.25

Kadar karbohidrat by difference (%bb) 45.77

Kadar lemak (%bb) 17.71

Kadar kalsium (mg/100 g) 640.5 Kadar besi (mg/100 g) 30.6 Kadar seng (mg/100 g) 6.65

Kadar air. Kadar air suatu bahan pangan sangat penting sebagai indikator apakah suatu bahan pangan dapat bertahan lama atau tidak. Menurut deMan (1997), kadar air dapat mempengaruhi penurunan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi. Beberapa kerusakan seperti pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan, dan hidrolisis lemak juga dapat disebabkan oleh kandungan air

yang tinggi. Berdasarkan Tabel 6, hasil analisis kadar air tepung daun kelor sebesar 4.51%. Kadar air tepung daun kelor ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar air tepung daun kelor hasil penelitian Tanico (2009) yaitu sebesar 7.73% dan tepung daun torbangun sebesar 7.81% (Dewi 2011). Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan dalam proses pengeringan daun dimana

Tanico (2009) menggunakan cabinet dyring dan sebelumnya dilakukan blansir

dengan uap air panas. Begitupun dengan tepung daun torbangun yang

dikeringkan menggunakan drum dryer. Menurut Manoi (2006), cara pengeringan

yang dilakukan berpengaruh terhadap karakteristik mutu bahan yang dihasilkan. Winarno (2008) menyatakan bahwa kadar air pada rentang 3-7% dapat mencapai kestabilan optimum dan dapat mengurangi pertumbuhan mikroba dan reaksi kimia yang merusak seperti hidrolisis dan oksidasi lemak.

Kadar abu. Abu merupakan campuran komponen anorganik yang tidak terbakar yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Menurut Winarno (2008), kadar abu bahan pangan dapat menunjukkan total mineral yang terdapat dalam bahan pangan tersebut. Berdasarkan hasil analisis, kadar abu tepung daun kelor sebesar 8.76%. Hal ini menunjukkan tingginya kandungan mineral pada tepung daun kelor.

Kadar protein. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan kadar protein tepung daun kelor sebesar 23.25%. Mahmood (2011) menyatakan bahwa daun kelor merupakan sumber protein dengan kandungan protein setara dengan protein dalam 2 yoghurt. Selain itu, daun kelor merupakan sumber asam amino

esensial seperi metionin, sistin, triptophan dan lisin (Metha 2003 dalam

Rajanandh 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Broin (2010) yang menyatakan bahwa kadar protein tepung daun kelor sebesar 20-26 gram/100 gram berat basah.

Kadar lemak. Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar lemak tepung daun kelor hasil analisis sebesar 17.71%. Menurut Friska (2002) sayuran mempunyai kadar lemak yang rendah. Kadar lemak suatu bahan pangan akan mempengaruhi daya simpannya. Semakin tinggi kadar lemak suatu bahan pangan maka daya simpannya semakin rendah. Hal ini dikarenakan adanya proses ketengikan dalam bahan pangan yang mengandung lemak.

Kadar karbohidrat. Kandungan karbohidrat dalam sayuran termasuk daun-daunan, sangat penting karena merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam mencampurkan dengan bahan pangan lain. Karbohidrat

dalam sayuran dapat berbentuk pati, gula, hemiselulosa, dan substansi pektin. Karbohidrat dalam bentuk hemiselulosa tidak dapat dicerna tetapi dapat menyerap dan menahan air lambung sehingga membantu proses pencernaan (Stevenson & Miller 1960). Berdasarkan hasil perhitungan by difference, kadar karbohidrat tepung daun kelor sebesar 45.77%. Kadar karbohidrat ini sebagian besar diduga berupa serat karena berbahan dasar daun-daunan.

Kadar kalsium. Kalsium merupakan mineral makro yang berperan penting dalam pembentukan tulang dan gigi (Brody 1994). Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa kadar kalsium tepung daun kelor sebesar 640.5 mg/100 g. Kadar kalsium ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Tanico (2009) yang menyatakan kadar kalsium tepung daun kelor sebesar 531.62 mg/100g. Akan tetapi, lebih rendah jika dibandingkan dengan pernyataan Broin et al. (2010) bahwa tepung daun kelor mengandung 1600-2200 mg/100 g. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kondisi tanah tempat tanaman kelor ditanam, cuaca dan kesuburan tanah (Stevenson & Miller 1960).

Kadar besi. Besi sebagai salah satu mineral yang dibutuhkan dalam pembentukan hemoglobin darah, sebagai pengangkut oksigen dan enzim-enzim. Salah satu bahan pangan sumber besi adalah daun kelor (Broin 2010). Berdasarkan hasil analisis seperti yang disajikan pada Tabel 6, kadar besi tepung daun kelor sebesar 30.6 mg/100 g. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan pernyataan Broin (2010) bahwa kadar besi tepung daun kelor berada

pada rentang 18-28 mg/100 g. Menurut British Nutrition Foundation (1995),

kandungan besi dalam makanan dapat dibagi menjadi tiga yaitu kandungan besi rendah (< 0.7 mg), kandungan besi sedang (0.7-1.9 mg) dan kandungan besi tinggi (> 2.0 mg). Oleh karena itu, tepung daun kelor merupakan pangan tinggi zat besi.

Kadar seng. Seng sebagai salah satu mineral yang walaupun jumlah yang diperlukan tubuh sedikit tetapi memiliki peranan yang sangat penting bagi tubuh. Seng berperan sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor yang berperan dalam aspek metabolisme seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat. Seng juga berperan dalam pemeliharaan keseimbangan asam basa. Sumber pangan yang mengandung seng dapat berupa pangan hewani dan nabati. Berdasarkan tabel di atas, tepung daun kelor mengandung seng sebesar 6.65 mg/100 g. Hasil ini

lebih tinggi dibandingkan dengan pernyataan Broin (2010) bahwa kadar seng pada tepung daun kelor sebesar 1.5-3 mg/100 g.

Pembuatan Crackers

Proses pembuatan crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo

dan tepung daun kelor dilakukan dengan menggunakan metode Ferazuma (2010) dengan modifikasi. Semua bahan-bahan yang terdiri dari tepung terigu, tepung ikan lele, margarin, baking powder, shortening, garam, susu skim, ragi

dan air diaduk dengan metode all in dough. Proses pencampuran semua bahan

ini dilakukan agar terbentuk adonan yang merata (Ferazuma 2010).

Formulasi yang digunakan didasarkan pada hasil penelitian

Purwawinangsih (2011) yaitu penggunaan tepung ikan lele dumbo yang menghasilkan produk terbaik adalah sebanyak 12.5%. Persentase penggunaan tepung ikan lele pada penelitian ini ditingkatkan satu taraf ke atas menjadi 15% untuk meningkatkan kandungan gizi dan pemanfaatan tepung ikan lele. Penggunaan tepung ikan lele dumbo dalam penelitian ini diuraikan menjadi campuran antara tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele

dumbo dengan perbandingan 7:3 (Kusharto et al. 2012). Hal ini bertujuan untuk

lebih memaksimalkan pemanfaatan produk derivat dari ikan lele dumbo. Penambahan tepung daun kelor didasarkan pada percobaan eksperimental pada saat penelitian pendahuluan. Berdasarkan uji organoleptik pada panelis terbatas, secara deskriptif pada atribut rasa bahwa penambahan tepung daun kelor pada crackers sebanyak 10% sudah terlalu pahit sehingga pada formulasi diturunkan menjadi 7.5% sebanyak 3 taraf ke bawah. Selain itu, berdasarkan pengamatan terhadap produk sejenis yang komersial didapatkan bahwa penambahan daun

secara fisik kurang dari 7 gram dan rasa crackers tersebut tidak didominasi oleh

rasa daun yang ditambahkan. Berikut ini gambar salah satu formula crackers.

Karakteristik Organoleptik Crackers

Uji organoleptik atau pengujian secara sensory evaluation merupakan

pengujian suatu produk makanan berdasarkan indera penglihatan, indera

pencium, indera perasa, dan mungkin indera pendengar (Setyaningsih et al.

2010). Pengujian sifat organoleptik digunakan untuk menentukan formula terbaik, mengetahui daya terima, dan kesukaan panelis.

Uji Mutu Hedonik

Warna. Warna merupakan salah satu unsur penting dalam penentuan mutu produk karena pemilihan warna yang tepat dan sesuai akan menarik minat dan keinginan dari konsumen untuk membeli (Dewi 2011). Gambar 7 menyajikan

hasil uji mutu hedonik warna crackers dengan penambahan tepung ikan lele

dumbo dan tepung daun kelor.

Hasil uji organoleptik pada warna menunjukkan bahwa warna crackers

memiliki kisaran nilai rataan antara 2.40 sampai dengan 5.20 yang berarti antara hijau sampai dengan kuning kehijauan. Panelis memberikan nilai rata-rata

tertinggi pada crackers L7.5%+K2.5g yaitu kuning kehijauan, sedangkan nilai

rata-rata terendah pada crackers L12.5%+K7.5g yaitu hijau. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata (p<0.05) antara perlakuan penambahan tepung ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan tepung daun kelor. Hasil sidik ragam secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.

Keterangan: L : tepung ikan lele dumbo K: tepung daun kelor

Gambar 7 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

Hasil dari interaksi antara kedua perlakuan terlihat pada letak subset

masing-masing formulasi crackers (Lampiran 9). Formula L7.5%+K2.5g,

L10%+K2.5g, dan L12.5%+K7.5g berbeda nyata dengan L10%+K7.5g,

L7.5%+K5g, L12.5%+K2.5g, L10%+K5g dan L12.5%+K5g. Formula

L12.5%+K7.5g dan L7.5%+K2.5g terletak pada subset yang sama yang memiliki nilai rata-rata 2.40 sampai dengan 2.68. Formula L10%+K7.5g, L7.5%+K5g, L12.5%+K2.5g, L7.5%+K7.5g, L10%+K5g dan L12.5%+K5g terletak pada subset yang sama memiliki nilai rata-rata 3.21 sampai dengan 4.06. Formula L10%+K2.5g dan L7.5%+K2.5g terletak pada subset yang sama yang memiliki nilai antara 4.77 sampai 5.20.

Tesktur. Tekstur merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan mutu bahan pangan (Dewi 2011). Menurut Setyaningsih et al. (2010), tekstur dapat dinilai menggunakan ujung jari tangan. Hasil uji mutu hedonik tekstur crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dengan penambahan tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 8.

Hasil uji mutu hedonik tekstur crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun kelor menunjukkan nilai rata-rata tekstur crackers berada pada kisaran 3.13 sampai dengan 4.49 yang berarti keras sampai dengan renyah. Nilai rata-rata tertinggi tekstur diberikan pada L10%+K2.5g yaitu renyah,

Keterangan: L : tepung ikan lele dumbo K: tepung daun kelor

Gambar 8 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

sedangkan nilai rata-rata terendah pada L15%+K5g yaitu keras. Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) pada

tekstur crackers yang terlihat pada letak subset masing-masing formulasi

crackers (Lampiran 9).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan lele dumbo berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penilaian panelis pada tekstur crackers. Penambahan 7.5%, 10%, dan 12.5% memiliki kisaran tekstur yang sama yaitu sedang, sedangkan penambahan 15% memiliki kisaran tekstur 3.70 (agak keras). Penambahan tepung ikan lele yang semakin tinggi akan menjadikan tekstur crackers semakin keras. Hal ini diduga karena tepung ikan lele mengandung protein tinggi sehingga berpengaruh terhadap peningkatan

tekstur crackers. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung

daun kelor berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penilaian panelis pada tekstur crackers. Penambahan daun kelor 2.5 gram dan 7.5 gram memiliki kisaran tekstur 4.54 (sedang), sedangkan penambahan 5 gram memilki kisaran tekstur 3.71 (agak keras). Hasil sidik ragam secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.

Aroma. Bau atau aroma merupakan sifat sensori yang paling sulit untuk diklasifikasikan dan dijelaskan karena ragamnya yang begitu besar. Aroma dapat dinilai dengan cara mencium baunya (Setyaningsih et al. 2010). Hasil uji mutu

hedonik aroma crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dengan

penambahan tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 9.

Keterangan: L : tepung ikan lele dumbo K: tepung daun kelor

Gambar 9 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

Berdasarkan hasil uji mutu hedonik terhadap aroma, crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun kelor memiliki nilai

rata-rata aroma antara 3.37 sampai dengan 4.70 yang berarti aroma crackers berkisar

antara langu sampai dengan biasa. Skor penilaian tertinggi terdapat pada formula L7.5%+K2.5g yaitu langu dan terendah pada formula L12.5%+K7.5g

yaitu biasa. Analisis sidik ragam terhadap crackers menunjukkan bahwa

penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun kelor memberikan pengaruh nyata (p<0.05) terhadap aroma crackers. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa formula L12.5%+K7.5g, L7.5%+K5g, dan L12.5%+K5g, berbeda nyata dengan formula L7.5%+K2.5g, tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara formula L10%+K5g, L7.5%+K7.5g, L10%+K7.5g, L7.5%+K5g, L7.5%+K2.5g, L12.5%+K2.5g, dan L10%+K2.5g.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan lele dumbo berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penilaian panelis pada aroma crackers. Penambahan tepung ikan lele dumbo sebanyak 7.5% memiliki kisaran aroma 4.11 (biasa), penambahan sebanyak 10% memiliki kisaran aroma 4.02 (biasa), dan penambahan 12.5% dan 15% berturut-turut memiliki kisaran aroma 3.68 (agak langu) dan 3.67 (agak langu).

Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung daun kelor berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penilaian panelis pada aroma crackers. Penambahan 2.5 gram memiliki kisaran aroma 4.40 (biasa), penambahan 5 gram memiliki kisaran aroma 3.61 (agak langu), dan kisaran aroma 3.60 (agak langu) pada penambahan 7.5 gram. Dewi (2011) menyatakan bahwa penambahan tepung daun torbangun pada biskuit berpengaruh nyata terhadap aroma biskuit, dimana semakin tinggi tingkat penambahan maka aroma biskuit semakin langu. Hasil sidik ragam secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.

Rasa. Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap

produk pangan. Rasa suatu produk pangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, temperatur, konsistensi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan (Dewi 2011). Nilai

rata-rata hasil uji mutu hedonik pada rasa crackers dengan penambahan tepung

Berdasarkan gambar di atas, penilaian rata-rata rasa crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun kelor berkisar antara 3.55

sampai dengan 4.71 yang berarti rasa crackers berkisar antara asin gurih lemah

sampai dengan asin gurih sedang. Nilai rata-rata tertinggi rasa terdapat pada crackers formula L10%+K2.5g yaitu asin gurih sedang, sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada crackers formula L7.5%+K2.5g yaitu asin gurih lemah. Analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada rasa (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara formula L7.5%+K2.5g dan L10%+K2.5g dengan L7.5%+K7.5g, L10%+K7.5g, L12.5%+K5g, dan L12.5%+K7.5g. Formula L7.5%+K2.5g berbeda

nyata dengan L7.5%+K5g, L10%+K2.5g, L10%+K5g, L12.5%+K2.5g,

L12.5%+K5g, dan L7.5%+K7.5g.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan lele dumbo berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penilaian panelis pada rasa crackers. Penambahan tepung ikan lele dumbo 7.5%, 10%, dan 12.5% memiliki kisaran rasa 4.27 (biasa), sedangkan penambahan 15% memiliki kisaran rasa 3.91 (asin gurih lemah agak pahit). Penambahan tepung daun kelor berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penilaian panelis pada rasa crackers. Penambahan tepung daun kelor 2.5 gram dan 5 gram memiliki kisaran rasa 4.18 (biasa), sedangkan penambahan 7.5 gram memiliki kisaran rasa 3.63 (asin gurih lemah

Keterangan: L : tepung ikan lele dumbo K: tepung daun kelor

Gambar 10 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung

agak pahit). Tingkat penambahan tepung daun kelor menunjukkan kecenderungan menurunnya nilai rasa. Hal ini dikarenakan tepung daun kelor dapat menimbulkan rasa pahit sebagaimana hasil penelitian Dewi (2011) yaitu penambahan tepung daun torbangun yang semakin tinggi menyebabkan rasa biskuit semakin pahit. Hasil sidik ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi yang nyata (p>0.05) antara penambahan tepung ikan lele dumbo dengan

penambahan tepung daun kelor terhadap rasa crackers. Hasil sidik ragam secara

lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11. Uji Hedonik

Warna. Uji kesukaan terhadap warna harus diketahui karena warna merupakan salah satu syarat produk dapat diterima oleh konsumen (Dewi 2011).

Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna crackers tepung ikan lele dumbo

dan tepung daun kelor disajikan pada Gambar 11.

Berdasarkan gambar di atas, nilai rata-rata penilaian organoleptik terhadap parameter mutu warna crackers tepung ikan lele dumbo dan tepung daun kelor berkisar antara 2.66 sampai dengan 5.64 yang berarti warna crackers dinilai agak tidak suka sampai dengan suka. Nilai rata-rata kesukaan tertinggi terdapat

pada crackers formula L7.5%+K2.5g yaitu suka dan terendah pada crackers

formula L12.5%+K7.5g yaitu agak tidak suka. Semakin tinggi penambahan tepung tepung ikan lele dumbo, nilai rata-rata warna semakin menurun.

Keterangan: L : tepung ikan lele dumbo K: tepung daun kelor

Gambar 11 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

Begitupun dengan penambahan tepung daun kelor, semakin tinggi tingkat penambahan, nilai rata-rata warna semakin menurun. Nilai yang semakin menurun ini menunjukkan warna yang semakin tidak disukai. Semakin hijau

gelap warna crackers, kesukaan panelis semakin menurun.

Berdasarkan sidik ragam yang dilakukan terhadap tingkat kesukaan warna crackers, diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap warna berbeda nyata (p<0.05). Hal ini dapat dilihat pada uji lanjut Duncan nilai rata-rata warna yang berada pada subset yang berbeda. Formula L12.5%+K7.5g, L7.5%+K2.5g,

dan L7.5%+K5g, berbeda nyata dengan L12.5%+K5g, L10%+K5g,

L12.5%+K2.5g, L7.5%+K7.5g, L10%+K7.5g, dan L7.5%+K5g. Formula L7.5%+K2.5g berbeda nyata dengan L10%+K2.5g dan berbeda nyata pula dengan L7.5%+K7.5g.

Tekstur. Tekstur merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan mutu bahan pangan. Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut (Dewi 2011). Hasil uji hedonik

nilai rata-rata kesukaan panelis pada tekstur crackers dengan penambahan

tepung ikan lele dumbo dan penambahan tepung daun kelor disajikan pada Gambar 12.

Berdasarkan gambar di atas, nilai rata-rata tekstur crackers tepung ikan

Dokumen terkait