PENGEMBANGAN
CRACKERS
SUMBER PROTEIN DAN MINERAL
DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN KELOR (
Moringa oleifera
) DAN
TEPUNG BADAN-KEPALA IKAN LELE DUMBO (
Clarias gariepinus
)
AI KUSTIANI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ABSTRACT
AI KUSTIANI. The Development of Crackers as a Source of Protein and Minerals
by Addition of Kelor (Moringa oleifera) Leaves Flour and Catfish Dumbo (Clarias
gariepinus) Flour. Under direction of CLARA M. KUSHARTO and EVY DAMAYANTHI
Kelor is one of the vegetables with high nutrients contents but haven‘t been widely utilized. Adding kelor leaves flour to the crackers made with catfish flour to increase protein and minerals is one way to maximize the potential of its nutrient
content. This research purposed to develop the formulation of crackers by adding
kelor leaves flour and catfish dumbo flour as a food source of protein and minerals. Kelor leaves flour obtained from this research contains protein, calcium, iron, and zinc respectively for 23.25%, 640.5 mg/100g, 30.6 mg/100g, and 6.65 mg/100g. The best formula chosen from organoleptic was is crackers with the addition 10% catfish dumbo flour and 2.5 g kelor leaves flour. The crackers contain 11.50% protein, 30.73 mg/100g calcium, 8.56 mg/100g iron, and 609.70
mg/100g zinc respectively. Selected crackers contain more than 20% protein and
more than 15% of iron and zinc standart for 2-5 years old children group based on nutrition label reference (ALG, for Indonesian), so it can be claimed as a food source of protein, iron and zinc.
RINGKASAN
AI KUSTIANI. Pengembangan Crackers Sumber Protein dan Mineral dengan
Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Tepung Badan-Kepala
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Dibimbing oleh CLARA M. KUSHARTO
dan EVY DAMAYANTHI.
Kelor merupakan salah satu jenis sayuran yang mengandung zat gizi tinggi dan telah digunakan sebagai salah satu alternatif pangan untuk mengatasi masalah gizi (malnutrisi). Akan tetapi, pemanfaatan kelor di Indonesia masih rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan pemanfaatan kelor adalah dengan menjadikannya dalam bentuk tepung daun kelor untuk meningkatkan kandungan gizi crackers. Hal ini dikarenakan crackers merupakan kudapan yang digemari masyarakat yang berperan penting dalam meningkatkan asupan gizi masyarakat
sehingga kandungan gizinya harus diperhatikan. Crackers juga dapat
ditingkatkan kandungan gizinya dengan penambahan tepung badan dan kepala ikan lele dumbo. Tepung badan ikan lele dumbo mengandung protein tinggi dan tepung kepala ikan lele dumbo mengandung kalsium tinggi. Kedua produk derivat ikan lele dumbo ini berpotensi untuk dimanfaatkan dalam pembuatan crackers. Penambahan tepung daun kelor dan tepung ikan lele dumbo diharapkan dapat meningkatkan pemanfaatan daun kelor dan ikan lele serta dapat meningkatkan
kandungan protein dan mineral crackers.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan formula crackers
dengan penambahan tepung daun kelor dan tepung ikan lele dumbo. Tujuan khususnya adalah, 1) Mempelajari cara pembuatan dan karakteristik tepung
daun kelor, 2) Mempelajari formulasi crackers dengan penambahan tepung daun
kelor dan tepung ikan lele dumbo, 3) Menganalisis daya terima dan mutu hedonik crackers, 4) Menganalisis sifat fisik, sifat kimia, dan sifat mikrobiologi crackes terpilih, 5) Menilai kontribusi zat gizi crackers terpilih terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan Acuan Label Gizi (ALG).
Pembuatan tepung daun kelor diawali dengan pemilihan daun yang masih utuh, dipisahkan dari rantingnya, dibersihkan, dikeringkan, dihancurkan, dan
diayak hingga menjadi tepung daun kelor. Pengeringan dengan drum dryer pada
suhu 1050C selama 5-10 menit menghasilkan tepung daun kelor berwarna hijau
kecoklatan karena daun kelor mengalami browning. Pengeringan daun kelor
selanjutnya menggunakan cahaya matahari dalam rumah kaca selama 24 jam. Tepung daun kelor yang dihasilkan memiliki densitas kamba 0.37 g/mL, aktivitas air 0.57 serta kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, besi, dan seng berturut-turut sebesar 4.51%, 8.76%, 23.25%, 17.71%, 45.77%, 640.5 mg/100g, 30.6 mg/100g dan 6.65 mg/100g.
Pada formulasi crackers, tepung terigu ditambahkan dengan tepung ikan lele dumbo yang merupakan gabungan antara tepung badan dan kepala ikan lele
dengan perbandingan 7:3 sesuai dengan penelitian Kusharto et al. (2012).
Tingkat penambahan tepung ikan lele dumbo sebanyak 4 taraf yaitu 7.5%, 10%, 12.5%, dan 15% dari berat tepung terigu. Tepung daun kelor ditambahkan pada
formulasi crackers dengan taraf penambahan sebanyak 3 taraf yaitu 2.5 gram, 5
gram, dan 10 gram. Formulasi crackers terbaik ditentukan berdasarkan tingkat kesukaan panelis pada uji organoleptik.
Formula tersebut dipilih karena penambahan tepung ikan lele dumbo pada formula L10%+K2.5g lebih banyak daripada L7.5%+K2.5g sehingga diharapkan
fungsi pemanfaatan dan kandungan gizinya lebih tinggi. Produk terbaik crackers
L10%+K2.5g memiliki aktivitas air dan daya serap air sebesar 0.40 dan 343.92
ml/g. Tekstur crackers L10%+K2.5g sebesar 669.78 gf dengan nilai TPC masih
termasuk kategori aman yaitu 4.0x102 cfu/g. Kandungan gizi crackers terpilih yaitu kadar air 2.40%, kadar abu 4.05%, kadar protein 11.50%, kadar lemak 18.71%, kadar karbohidrat 63.34%, kadar serat pangan 4.76%, kadar kalsium 30.73 mg/100g, kadar besi 8.56 mg/100g, dan kadar seng 17.34 mg/100g. Crackers terpilih memiliki nilai daya cerna protein sebesar 79.14%, dengan bioavailabilitas kalsium, besi, dan seng berturut-turut sebesar 22.61%, 5.68%, dan 44.34%. Berdasarkan analisis kontribusi zat gizi berdasarkan AKG
kebutuhan energi 2000 kkal, crackers L10%+K2.5 g dapat memberikan kontribusi
seng sebanyak 78.66% dan zat besi 41.85%. Crackers dapat memenuhi protein
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PENGEMBANGAN
CRACKERS
SUMBER PROTEIN DAN MINERAL
DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN KELOR (
Moringa oleifera
) DAN
Judul Skripsi : Pengembangan Crackers Sumber Protein dan Mineral
dengan Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera)
dan Tepung Badan-Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias
gariepinus)
Nama : Ai Kustiani
NIM : I14080044
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S.
NIP. 19510719 198403 2 001 NIP. 19621204 198903 2 002
Mengetahui:
Ketua Departemen Gizi Masyarakat,
Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S. NIP. 19621218 198703 1 001
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini ialah pengembangan
produk pangan dengan judul Pengembangan Crackers Sumber Protein dan
Mineral dengan Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Tepung
Badan-Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Penulis mengucapkan
terima kasih atas arahan, bimbingan, serta kerja sama yang baik kepada:
1. Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc. selaku dosen pembimbing I dan dosen
pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan pikirannya,
memberikan bimbingan, sebagian dana hibah penelitian, serta dorongan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. selaku dosen pembimbing II yang telah
banyak memberikan pembelajaran, motivasi, pengalaman, dan arahan bagi
penulis.
3. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.S. selaku dosen pemandu seminar dan dosen
penguji yang telah memberikan masukan dan motivasi dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Orang tua dan seluruh keluarga yang senantiasa memberikan doa dan
motivasi setiap waktu.
5. PT Carmelitha Lestari yang telah memberikan izin atas penggunaan tepung
badan dan kepala ikan lele dumbo.
6. Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Manajemen Beastudi Etos, dan Tim
GENKSI yang telah mengantarkan penulis sehingga menjadi seorang sarjana.
7. Bapak Mashudi dan seluruh laboran atas bantuannya selama proses
penelitian ini dilakukan.
8. Teman-teman tim ―Kelor‖ yaitu Ibnu, Rahayu, Liza, dan Novi yang telah
banyak membantu dalam mengembangkan pemanfaatan daun kelor.
9.
Teman-teman seperjuangan selama penelitian, sahabat terbaik etoser‘45, danteman-teman GM ‗44, ‗45, ‗46 atas kebersamaan dan semangatnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu, namun tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 21 September 1990 dari ayah
Muhtadin dan ibu Lasmanah. Penulis merupakan anak kedua dari lima
bersaudara. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1996 di SD Negeri
Wargamulya. Penulis melanjutkan pendidikan di MTs Negeri Ciherang Cipanas
pada tahun 2002-2005 dan SMA Negeri 1 Cianjur pada tahun 2005-2008. Tahun
2008 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum
Pendidikan Agama Islam TPB pada tahun ajaran 2011/2012 dan 2012/2013,
asisten praktikum Metodologi Penelitian Gizi Program Sarjana Gizi S1 pada
tahun 2011/2012 dan Program Sarjana Alih Jenis 2012/2013, asisten praktikum
Evaluasi Nilai Gizi Program Sarjana Alih Jenis pada tahun 2011/2012, dan
asisten praktikum Analisis Zat Gizi Mikro Program Sarjana Gizi S1 pada tahun
2012/2013. Penulis juga aktif mengajar les matakuliah TPB, dan privat siswa
SMP dan SMA. Penulis juga pernah aktif sebagai staf Departemen Human
Resources Development (HRD) Forum of Scientific Studies (FORCES) dan
sebagai Koordinator Divisi Keputrian Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA).
Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKP) di Desa Mundu Kecamatan
Karangampel Kabupaten Indramayu pada tahun 2011 dan melaksanakan
Internship Dietetic di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon pada tahun 2012.
Penulis mendapatkan Beastudi Etos periode 2008-2011. Penulis juga aktif
mengikuti lomba karya tulis ilmiah. Beberapa prestasi yang diraih oleh penulis
antara lain Juara I Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan
dalam Olimpiade Etos Nasional 2010, selected paper in Renewable Energy
German tahun 2010, selected paper in Aceh Development International
Conference University of Putra Malaysia tahun 2011, mendapatkan hibah dana
PKM bidang Kewirausahaan pada tahun 2010 dan PKM bidang Penelitian pada
tahun 2011 dan 2012, Juara II Lomba Penulisan Essay ―One Day No Rice‖ HIPMA IPB 2011, Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional Gizi UNDIP
Semarang 2011, Top 10 College Category Finalist of the Indonesia Focus Writing
Contest Pennsylvania tahun 2011, dan meraih penghargaan sebagai salah satu
inovator program 104 Inovasi Indonesia tahun 2012 dengan judul ―I Love my
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
... i
DAFTAR GAMBAR
... ii
DAFTAR LAMPIRAN
... iii
PENDAHULUAN
... 1
Latar Belakang ………. 1
Tujuan………. 2
Manfaat ………. 3
TINJAUAN PUSTAKA
... 4
Kelor (Moringa oleifera) ... 4
Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)………. 6
Crackers ……… 8
Protein ………. 10
Kalsium ……… 11
Besi ……….. 13
Seng ………. 15
METODE
... 18
Waktu dan Tempat ……… 18
Bahan dan Alat ……….. 18
Tahapan Penelitian………. 18
Penelitian Pendahuluan ... 19
Penelitian Utama ... 19
Rancangan Percobaan………. 22
Pengolahan dan Analisis Data………. 23
HASIL DAN PEMBAHASAN
... 24
Tepung Daun Kelor……… 24
Pembuatan Tepung Daun Kelor ... 24
Sifat Fisik Tepung Daun Kelor ... 25
Sifat Kimia Tepung Daun Kelor ... 26
Pembuatan Crackers………. 29
Uji Mutu Hedonik ... 30
Uji Hedonik ... 35
Sifat Fisik Crackers………. 40
Sifat Kimia Crackers……….. 42
Sifat Mikrobiologi……… 54
Informasi Nilai Gizi dan Klaim Kandungan Zat Gizi Crackers………. 55
KESIMPULAN DAN SARAN
...
58Kesimpulan……….. 58
Saran……… 59
DAFTAR PUSTAKA
... 60
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Sifat kimia tepung kepala dan badan ikan lele dumbo ... 7
2 Kandungan gizi crackers kontrol dan crackers tepung kepala ikan lele dumbo ... 8
3 Syarat mutu biskuit ... 8
4 Formula crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan
tepung daun kelor ... 20
5 Sifat fisik tepung daun kelor ... 26
6 Sifat kimia tepung daun kelor ... 26
7 Sifat fisik crackers dengan penambahan tepung badan dan kepala ikan lele dumbo serta tepung daun kelor ... 40
8 Sifat kimia crackers dengan penambahan tepung badan dan kepala
ikan lele dumbo serta tepung daun kelor ... 43
9 Kontribusi beberapa bahan adonan terhadap kadar abu crackers ... 45 10 Total Plate Count crackers dengan penambahan tepung badan dan
kepala ikan lele dumbo serta tepung daun kelor ... 54
11 Informasi nilai gizi crackers dengan penambahan tepung badan dan
kepala ikan lele dumbo serta tepung daun kelor ... 55 12 Acuan Label Gizi kelompok umum dan anak 2-5 tahun ... 56 13 Kandungan gizi crackers terpillih dan persentasenya (%) terhadap
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Tanaman kelor (Moringa oleifera) ... 4
2 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo ... 7
3 Prosedur pembuatan tepung daun kelor dengan drum dryer dan
cahaya matahari (Broin 2010 dengan modifikasi) ... 19
4 Prosedur pembuatan crackers dengan tepung daun kelor dan
tepung ikan lele dumbo (Ferazuma 2010) ... 21
5 Tepung daun kelor dengan pengeringan cahaya matahari ... 25
6 Crackers ... 29
7 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun
kelor terhadap mutu warna crackers ... 30
8 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun
kelor terhadap mutu tekstur crackers ... 31
9 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun
kelor terhadap mutu aroma crackers ... 32 10 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun
kelor terhadap mutu rasa crackers ... 34 11 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun
kelor terhadap kesukaan panelis pada warna crackers ... 35 12 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun
kelor terhadap kesukaan panelis pada tekstur crackers ... 36 13 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun
kelor terhadap kesukaan panelis pada aroma crackers ... 37 14 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun
kelor terhadap kesukaan panelis pada rasa crackers ... 38 15 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Proses pembuatan tepung daun kelor ... 66
2 Proses pembuatan crackers ... 67
3 Prosedur analisis sifat fisik ... 68
4 Prosedur analisis sifat kimia ... 69
5 Uji organoleptik crackers ... 74
6 Hasil uji organoleptik crackers ... 76
7 Sidik ragam mutu hedonik crackers ... 85
8 Sidik ragam hedonik crackers... 85
9 Uji lanjut Duncan mutu hedonik crackers ... 86
10 Uji lanjut Duncan hedonik crackers ... 88
11 Sidik ragam pengaruh faktor mutu hedonik crackers ... 91
12 Hasil analisis sifat fisik crackers ... 94
13 Hasil analisis sifat kimia crackers ... 94
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di
Indonesia (Supariasa et al. 2002). KEP terjadi karena berbagai faktor terutama
faktor makanan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan. Berdasarkan data
Laporan Riset Kesehatan Dasar (2010), asupan makanan terutama sumber
protein penduduk Indonesia masih di bawah kebutuhan minimal. Penduduk
Indonesia yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal sebesar
37%.
Penderita KEP akan mengalami gangguan dalam metabolisme mineral
karena terhambatnya protein yang bertindak sebagai enzim dan transporter
dalam metabolisme mineral. Ganggunan metabolisme mineral dapat
menyebabkan timbulnya penyakit defisiensi mineral. Defisiensi mineral
merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilaksanakan Depkes bersama Perhimpunan Osteoporosis
Indonesia tahun 2007 bahwa proporsi penderita osteoporosis pada penduduk di
atas 50 tahun adalah 32.3% pada wanita dan 28.8% pada pria (Depkes 2012).
Prevalensi anemia di perkotaan pun cukup tinggi yaitu mencapai 14,8%
(Riskesdas 2007).
Crackers merupakan salah satu jenis biskuit berbentuk pipih yang
difermentasi dan tampak potongan berlapis-lapis jika dipatahkan. Setiawan
(2006) menyatakan bahwa wafer dan biskuit merupakan jenis kudapan yang
digemari masyarakat karena rasanya enak. Crackers telah dikenal oleh semua
kalangan usia dari muda ke kalangan tua serta crackers yang beredar di pasaran
saat ini memiliki banyak variasi mulai dari crackers murni, crackers keju, crackers
abon, dan akhir-akhir ini berkembang adanya crackers sayuran.
Salah satu jenis sayuran yang belum banyak dimanfaatkan tetapi memiliki
kandungan gizi yang tinggi adalah daun kelor. Kelor dijuluki sebagai ―Mother’s
Best Friend‖ dan ―Miracle Tree‖ karena mengandung zat gizi tinggi dan manfaat
yang banyak. Daun kelor dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat gizi bahkan
sejak tahun 1988 organisasi kesehatan dunia (WHO) telah memperkenalkan
kelor sebagai salah satu alternatif bahan pangan untuk mengatasi masalah gizi
(malnutrisi) (Broin 2010).
Kusharto et al. (2012) menyatakan bahwa ikan lele dumbo yang dijadikan
simpan lebih lama dan lebih fleksibel untuk dimanfaatkan. Tepung ikan lele
dumbo dapat dijadikan salah satu bahan dalam adonan biskuit sebagai alternatif
untuk meningkatkan kandungan gizi biskuit. Ikan lele dumbo sebagai pangan
hewani mengandung asam amino esensial yang yang lengkap dan kandungan
protein yang cukup tinggi (Khomsan 2004).
Penelitian Ferazuma (2010) mengungkapkan bahwa tepung kepala ikan
lele dumbo dapat dijadikan bahan penambahan tepung terigu pada pembuatan
crackers yang menghasilkan crackers tinggi kalsium untuk membantu memenuhi
kecukupan kalsium. Selain kepala ikan lele dumbo, badan ikan lele dumbo juga
dapat dijadikan tepung dan dimanfaatkan untuk bahan pembuatan makanan
karena mengandung protein tinggi (Kusharto et al. 2012). Kedua produk derivat
ikan lele ini telah terbukti dapat membantu meningkatkan status gizi dan
kesehatan penderita gizi buruk (Kusharto et al. 2009). Oleh karena itu tepung
ikan lele dumbo berpotensi untuk dimanfaatkan dalam pembuatan crackers untuk
meningkatkan nilai pemanfaatan ikan lele dumbo dan kandungan gizi crackers.
Makanan yang digemari masyarakat mempunyai peranan sangat penting
sebagai sumber zat gizi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga
kandungan gizinya harus diperhatikan (Kusharto 1985). Oleh karena itu, untuk
meningkatkan nilai pemanfaatan sumberdaya yang ada dan meningkatkan
kandungan gizi crackers maka digunakan tepung daun kelor dan tepung ikan lele
dumbo.
Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan formula crackers
dengan penambahan tepung daun kelor dan tepung ikan lele dumbo sebagai
pangan sumber protein dan mineral, sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Mempelajari cara pembuatan dan karakteristik tepung daun kelor;
2. Mempelajari formulasi crackers dengan penambahan tepung daun kelor dan
tepung ikan lele dumbo;
3. Menganalisis penilaian organoleptik (mutu hedonik dan uji hedonik) terhadap
warna, tekstur, aroma dan rasa produk crackers;
4. Menganalisis sifat fisik (aktivitas air, tekstur, daya serap air), sifat kimia (air,
abu, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, zat besi, seng, daya cerna protein,
serat pangan, dan bioavailabilitas kalsium, zat besi, seng), dan sifat
5. Menilai kontribusi zat gizi crackers terpilih terhadap Angka Kecukupan Gizi
(AKG) dan Acuan Label Gizi (ALG).
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai makanan yang menggunakan daun kelor dan tepung ikan lele dumbo
yang jarang termanfaatkan tetapi melimpah serta mengandung banyak zat gizi.
Produk yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif produk
TINJAUAN PUSTAKA
Kelor (Moringa oleifera)
Tanaman kelor merupakan tanaman tropis yang mudah tumbuh di daerah
tropis seperti Indonesia dan berbagai kawasan tropis lainnya di dunia. Tanaman
kelor merupakan tanaman perdu dengan ketinggian 7-11 meter. Tanaman ini
berupa semak atau pohon dengan akar yang kuat, berumur panjang, batangnya
berkayu getas (mudah patah), tegak, berwarna putih kotor, berkulit tipis,
permukaan kasar, dan jarang bercabang. Tamanan kelor memiliki bunga yang
berwarna putih kekuning-kuningan yang keluar sepanjang tahun dengan aroma
semerbak yang khas. Tanaman kelor memiliki buah yang berbentuk panjang dan
segitiga dengan panjang sekitar 20-60 cm. Buah tanaman kelor berwana hijau
ketika masih muda dan berubah menjadi coklat ketika tua (Tilong 2012).
Kelor dikenal di berbagai daerah di Indonesia dengan nama yang berbeda
seperti kelor (Jawa, Sunda, Bali, Lampung), maronggih (Madura), moltong
(Flores), keloro (Bugis), ongge (Bima), dan hau fo (Timur). Kelor termasuk ke
dalam famili Moringaceae yang memiliki daun berbentuk bulat telur dengan
ukuran kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai (Tilong 2012).
Tumbuhan kelor memiliki rasa agak pahit, bersifat netral, dan tidak beracun
(Hariana 2008). Tanaman kelor dapat dilihat pada Gambar 1.
Tanaman kelor (Moringa oleifera) dikenal di seluruh dunia sebagai pangan
bergizi dan bermanfaat untuk obat serta keperluan industri dan hampir setiap
bagian dari tanaman kelor memiliki nilai gizi. Salah satu contohnya adalah daun
kelor yang dimakan sebagai sayuran, direbus, digoreng, dalam sup atau untuk
bumbu. Tepung daun kering dapat ditambahkan untuk setiap jenis makanan
sebagai suplemen gizi (Prajapati et al. 2003).
Menurut Mahmood (2011), kelor merupakan sumber vitamin A, vitamin B,
vitamin C, sumber protein, kalsium, zat besi, sebagai obat-obatan, bahan baku
pembuatan sabun dan kosmetik, dan juga dapat dimanfaatkan sebagai penjernih
air. Daun kelor merupakan salah satu bagian dari tanaman kelor yang telah
banyak diteliti kandungan gizi dan kegunaannya. Berdasarkan penelitian Verma
et al. (2009) bahwa daun kelor mengandung fenol dalam jumlah yang banyak
yang dikenal sebagai penangkal senyawa radikal bebas. Tanaman ini dikenal
memiliki nilai kandungan gizi luar biasa, dan terkenal untuk mengatasi penyakit
dengan cara tradisional (Fahey 2005 dalam Sahakitpichan 2011). Kelor dapat
dijadikan sayuran langsung dan dapat dijual dalam bentuk yang
bermacam-macam seperti tepung dalam bentuk kapsul, ekstrak tanaman, atau teh herbal
dari daun moringa (Sahakitpichan 2011). Begitupun di beberapa daerah
Indonesia, kelor sudah biasa dimanfaatkan sebagai sayuran terutama untuk
memperbanyak dan melancarkan ASI (air susu ibu) sebagaimana daun katuk
(Tilong 2012).
Daun kelor merupakan salah satu bagian dari tanaman kelor yang telah
banyak diteliti kandungan gizi dan kegunaannya. Daun kelor mengandung zat
gizi yang tinggi yaitu beta karoten, vitamin C, protein, besi dan potasium. Daun
kelor dapat dimakan langsung dalam keadaan segar, dimasak, atau disimpan
sebagai tepung kering beberapa bulan tanpa harus disimpan di kulkas dan tidak
mengalami kehilangan zat gizi. Daun kelor merupakan sumber asam amino
esensial seperti metionin, sistin, triptophan, dan lisin (Metha 2003 dalam
Rajanandh 2010).
Penelitian lain menyatakan bahwa hasil perbandingan daun kelor dengan
bahan pangan lain dalam jumlah yang sama (gr) menunjukkan bahwa daun kelor
mengandung vitamin C setara vitamin C dalam 7 jeruk, vitamin A setara vitamin
A pada 4 wortel, kalsium setara dengan kalsium dalam 4 gelas susu, potassium
setara dengan yang terkandung dalam 3 pisang, dan protein setara dengan
protein dalam 2 yoghurt (Mahmood 2011). Daun kelor juga mengandung zat besi
lebih tinggi daripada sayuran lainnya yaitu sebesar 17,2 mg/100 g (Yameogo et
al. 2011). Broin (2010) menyatakan bahwa 100 gram daun kelor segar
mengandung kalsium 350-550 mg dan tepung daun kelor mengandung
ditambahkan dalam makanan dan minuman untuk meningkatkan kandungan
vitamin, mineral dan protein. Sebaiknya tepung daun kelor ditambahkan pada
saat makanan atau minuman siap disajikan karena zat gizinya rentan terhadap
panas (Doerr & Cameron 2005).
Daun kelor dapat dimanfaatkan dalam bentuk tepung agar lebih awet dan
mudah disimpan. Tepung daun kelor merupakan suplemen makanan yang
bergizi dan dapat ditambahkan sebagai campuran dalam makanan. Daun kelor
yang akan dijadikan tepung harus dicuci untuk menghilangkan kotoran dan
kuman (Doerr & Cameron 2005). Menurut Broin (2010), terdapat tiga cara yang
dapat dilakukan untuk mengeringkan daun kelor yaitu pengeringan di dalam
ruangan, pengeringan dengan cahaya matahari, dan menggunakan mesin
pengering. Daun yang sudah kering dan dapat dijadikan tepung dicirikan dengan
daunnya rapuh dan mudah dihancurkan. Daun yang sudah kering dibubukkan
menggunakan mortar ataupun penggilingan. Tepung daun kelor sebaiknya
disimpan dalam wadah kedap udara dan terhindar dari panas, kelembaban, dan
cahaya untuk menghindari pertumbuhan mikroogranisme dan masalah lain yang
berbahaya. Tepung yang disimpan dalam keadaan bersih, kering, kedap udara,
terlindung dari cahaya dan kelembaban serta suhu di bahwa 240C dapat
bertahan hingga 6 bulan (Doerr & Cameron 2005).
Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Pembuatan tepung ikan lele dumbo dibedakan menjadi dua bagian yaitu
tepung kepala ikan lele dumbo dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan
tepung kepala ikan lele dumbo dimulai dari sortasi ikan, kemudian dipisahkan
antara kepala dan badannya. Selanjutnya kepala ikan lele dumbo dimasak
dengan autoklaf tekanan tinggi, dilakukan pengepresan, pengeringan dengan
drum dryer pada suhu 800C dengan tekanan 3 bar selama 2 jam, dan
penggilingan dengan willey mill 60 mesh (Kusharto et al. 2008, Ferazuma 2010).
Pembuatan tepung badan ikan lele dumbo sama seperti pembuatan tepung
kepala ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo disortasi, dipisahkan antara bagian
badan dan kepalanya, dan kulit dan isi perut ikan lele dumbo dibuang. Proses
selanjutnya dilakukan pengukusan dengan tekanan tinggi terhadap badan ikan
lele dumbo, dilakukan pengepresan, pengeringan dengan drum dryer bersuhu
800C dengan tekanan 3 bar, dan penghalusan dengan willey mill 60 mesh
(Kusharto et al. 2012). Tepung badan dan kepala ikan lele dumbo yang
Hasil analisis sifat kimia tepung kepala dan badan ikan lele dumbo disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Sifat kimia tepung kepala dan badan ikan lele dumbo
Zat Gizi Tepung kepala ikan lele dumbo*
Tepung badan ikan lele dumbo**
Air (%bb) 8.72 7.99
Abu (%bk) 18.10 4.83
Protein (%bk) 56.04 63.83
Lemak (%bk) 9.38 10.83
Karbohidrat (%bk) 16.46 20.51
Kalsium (%bk) 6.22 -
Fosfor (%bk) 4.14 -
Sumber: * Ferazuma (2010) ** Kusharto et al. (2012)
Tepung kepala ikan lele dumbo memiliki sifat fisik yang terdiri dari densitas
kamba, derajat putih, dan aktivitas air (aw). Densitas kamba tepung kepala ikan
lele dumbo sebesar 0,45 g/ml. Nilai ini menunjukkan bahwa tepung kepala ikan
lele dumbo berada dalam kisaran densitas secara umum. Nilai derajat putih
tepung kepala ikan lele dumbo sebesar 29,02% dan aktivitas air (aw) sebesar
0,66 (Ferazuma 2010). Tepung badan ikan lele dumbo memiliki sifat fisik yaitu aw
sebesar 0,71, densitas kamba sebesar 0,37 g/ml, dan derajat putih 30,9%
(Kusharto et al. 2012).
Crackers yang disukai berdasarkan hasil uji organoleptik adalah crackers
dengan penambahan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g (Ferazuma
2010). Crackers ini memberi kontribusi kalsium pada anak-anak, remaja dan
dewasa sebesar 40%, 24% dan 30% dari AKG kalsium. Adapun kandungan gizi
crackers kontrol dengan crackers tepung ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g
disajikan pada Tabel 2.
A B
Tabel 2 Kandungan gizi crackers kontrol dan crackers tepung kepala ikan lele dumbo
Zat gizi Crackers kontrol Crackers tepung ikan lele dumbo
Air (%bb) 2.5 3.10
Abu (%bb) 2.65 3.95
Protein (%bb) 8.4 9.90
Lemak (%bb) 18.6 18.60
Karbohidrat (%bb) 67.9 64.50 Kalsium (%bb) 0.1215 0.5436 Fosfor (%bb) 0.1197 0.3050 Sumber: Ferazuma (2010)
Crackers
Crackers adalah jenis biskuit yang dalam pembuatannya memerlukan
proses fermentasi atau tidak, serta melalui proses laminasi sehingga
menghasilkan bentuk pipih dan bila dipatahkan penampangnya tampak
berlapis-lapis (BSN 2011). Crackers tanpa pemanis merupakan tipe yang paling populer
yang dapat dikonsumsi sebagai pengganti roti dan penggunaannya lebih luas
sebagai makanan diet. Crackers yang baik memiliki tekstur renyah, tidak keras
apabila digigit, tidak hancur, dan mudah mencair apabila dikunyah (Manley 2000).
Tabel 3 menyajikan syarat mutu crackers mengacu pada biskuit berdasarkan SNI
01-2973-1992 dan SNI 2973-2011.
Tabel 3 Syarat mutu biskuit
Komponen Syarat mutu SNI 01-2973-1992
Syarat mutu SNI 2973-2011 Air (%) Maksimum 5 Maksimum 5
Protein (%) Minimum 9 Minimum 3 Lemak (%) Minimum 9.5 -
Karbohidrat (%) Minimum 70 - Abu (%) Maksimum 1.5 - Serat Kasar (%) Maksimum 0.5 - Kalori (per 100 gr) Minimum 400 - Jenis Tepung Terigu - Bau dan Rasa Normal, tidak tengik Normal
Warna Normal Normal
Angka Lempeng Total (koloni/g)
- Maksimum 1x104 Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992,2011)
Crackers mengalami proses fermentasi yang menggunakan ragi sampai
lebih dari 8 jam. Proses fermentasi akan menyebabkan tumbuhnya bakteri serta
memproduksi asam dan perubahan rasa. Fermentasi menghasilkan alkohol yang
menimbulkan aroma dan gas karbon dioksida dan menyebabkan adonan
berkembang. Adonan crackers relatif basah dan harus dijaga agar tidak kering.
terkontrol (80-90% RH, kelembaban relatif). Fermentasi dapat menyebabkan
perubahan bentuk dan kekerasan karena adanya perubahan kualitas dan
kuantitas protein tepung (Manley 2000).
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan crackers dibedakan
menjadi dua bagian yaitu bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan
bahan pelembut tekstur. Bahan pengikat atau pembentuk adonan yang kuat
adalah tepung terigu, air, dan garam, sedangkan bahan-bahan yang berfungsi
sebagai pelembut tekstur adalah gula, mentega, dan leavening agent (baking
powder) sebagai bahan pengembang (Manley 2000).
Tepung terigu merupakan bahan utama biskuit. Adonan terfermentasi
menggunakan terigu medium sampai terigu kuat (tinggi protein) untuk
memproduksi adonan capable dan tekstur yang bagus. Tepung memiliki fungsi
sebagai pembentuk adonan, menarik atau mengikat bahan lainnya dan
mendistribusikannya secara merata. Tepung juga mengikat gas selama proses
fermentasi dan pemanggangan serta berperan penting dalam pembentukan cita
rasa (Matz & Matz 1978).
Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis dan
pemberi aroma melalui proses browning nonenzimatis. Gula berperan dalam
penyediaan substrat untuk proses fermentasi dan pengatur keempukan setelah
mengalami tahap pengadonan (Penfield & Campbell 1990). Menurut Matz & Matz
(1978), penambahan gula harus tepat, jika terlalu banyak akan menjadikan
adonan lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras dan rasanya
terlalu manis.
Lemak dalam pembuatan biskuit berfungsi untuk membuat produk yang
renyah dan berperan dalam pembentukan citarasa khas biskuit. Lemak alami
yang banyak digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain lemak sapi,
mentega, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Selain pengunaan lemak alami,
lemak yang telah dimodifikasi seperti hidrogenasi minyak dan interesterifikasi
lemak juga biasa digunakan sebagai pengemulsi dalam pembuatan biskuit (Matz
& Matz 1978).
Bahan pengembang atau leavening agent berfungsi untuk
mengembangkan produk yang pada prinsipnya menghasilkan gas
karbondioksida (Manley 2000). Pada pembuatan crackers, bahan pengembang
berfungsi dalam pembentukan volume dan membuat produk jadi ringan. Bahan
selama proses fermentasi. Jumlah bahan pengembang yang ditambahkan akan
mempengaruhi pH adonan dan rasa produk akhir yang dihasilkan (Winarno
2008).
Protein
Protein merupakan molekul makro dengan berat molekul antara lima
hingga beberapa juta yang terdapat dalam bentuk enzim, berbagai hormon,
pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler, dan sebagainya. Protein
terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dalam
ikatan peptida. Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen
dan nitrogen; beberapa asam amino juga mengandung unsur-unsur fosfor, besi,
iodium, dan kobalt. Unsur nitrogen merupakan unsur utama protein karena
terdapat dalam semua protein dan tidak terdapat dalam karbohidrat dan lemak
(Almatsier 2004).
Denaturasi merupakan perubahan struktur protein dari struktur alaminya.
Denaturasi protein tidak mengubah struktur utamanya tetapi dapat mengganggu
fungsi protein secara biologis (Bredbenner et al. 2007). Beberapa faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein adalah suhu tinggi, perubahan
pH yang ekstrim, pelarut organik, zat kimia tertentu (urea dan detergen) dan
pengaruh mekanik (guncangan).
Menurut sumbernya, protein dibagi menjadi dua macam yaitu protein
hewani dan protein nabati. Sebanyak 35% protein berasal dari protein hewani.
Tanaman merupakan sumber utama protein di banyak wilayah dunia. Tanaman
dapat menyediakan sejumlah protein serta serat, berbagai vitamin dan mineral,
dan fitokimia (Bredbenner et al. 2007).
Nilai gizi protein merupakan kemampuan suatu protein untuk dapat
dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh.
Nilai gizi suatu protein ditentukan oleh dua faktor yaitu daya cerna atau nilai
cernanya dan kandungan asam amino esensialnya. Protein yang bernilai gizi
tinggi merupakan protein yang mudah dicerna (dihidrolisis) oleh enzim-enzim
pencernaan dan mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap serta
dalam jumlah yang seimbang. Protein yang bernilai gizi tinggi terdapat pada
protein hewani (daging, ikan, susu, telur) kecuali gelatin. Protein nabati umumnya
memiliki daya cerna lebih rendah dan kekurangan salah satu (sering juga
Salah satu metode evaluasi nilai gizi protein secara in vitro adalah analisis
daya cerna protein metode enzimatis. Nilai cerna atau daya cerna protein
merupakan perbandingan antara jumlah asam-asam amino yang dapat diserap
oleh usus halus dengan jumlah protein yang dikonsumsi (Muhctadi 2010). Protein
hewani seperti daging, ikan dan susu memiliki nilai mutu cerna sekitar 90-100%
karena proteinnya mudah dicerna oleh tubuh, sedangkan protein nabati seperti
sayuran memiliki daya cerna antara 60-80%. Perbedaan ini bukan disebabkan
oleh perbedaan kandungan asam amino yang dikandungnya tetapi karena
perbedaan kandungan selulosa dan bahan lain yang melindungi protein
(Khumaidi 1987).
Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang
paling banyak. Kalsium sangat dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan gigi
yang normal. Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah, transmisi
impuls saraf, kontraksi otot, dan metabolisme sel (Bredbenner et al. 2007).
Penyerapan kalsium dalam tubuh dalam keadaan normal sebanyak
30-50%. Kalsium harus berada dalam lingkungan asam agar mudah diabsorpsi
dengan cara mempertahankannya dalam bentuk ionik. Kalsium ditransportasikan
dalam aliran dalam bentuk ion kalsium bebas atau terikat dengan protein.
Konsentrasi kalsium dalam darah diregulasi oleh hormon, jika konsentrasinya
rendah, kelenjar paratiroid akan melepaskan hormon paratiroid. Hormon
paratiroid meningkatkan kalsium darah melalui tiga jalur yaitu menstimulasi
perombakan kalsium dari tulang, meningkatkan retensi kalsium dalam ginjal, dan
mengaktifkan vitamin D. Hal yang sebaliknya jika konsentrasi kalsium dalam
darah meningkat, kelenjar tiroid akan melepaskan kalsitonin yang akan
mengembalikan konsentrasi kalsium ke dalam keadaan normal dengan cara
mengurangi perombakan kalsium dari tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium
dalam ginjal (Bredbenner et al. 2007).
Kalsium yang dikonsumsi dari makanan tidak semuanya dapat diserap dan
dimanfaatkan oleh tubuh. Penyerapan kalsium dipengaruhi oleh beberapa faktor
baik faktor pendorong maupun penghambat. Kalsium akan terserap lebih banyak
dan efisien jika kebutuhan semakin tinggi dan persediaan semakin rendah dalam
tubuh. Kebutuhan kalsium akan meningkat dalam masa pertumbuhan, saat hamil,
menyusui, defisiensi kalsium, dan tingkat aktivitas fisik yang meningkatkan
penyerapan kalsium pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi
protein pengikat kalsium (Almatsier 2004).
Allen (1982) menyatakan bahwa penyerapan kalsium dipengaruhi oleh
komponen makanan yaitu fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan
oksalat), laktosa dan lemak. Almatsier (2004) menyatakan bahwa asam oksalat
pada sayuran dapat menghambat penyerapan kalsium dengan membentuk
garam kalsium oksalat yang tidak larut. Begitupun asam fitat, ikatan yang
mengandung fosfor yang terdapat dalam sekam serelia, akan menghambat
penyerapan kalsium dengan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut.
Serat dapat menurunkan penyerapan kalsium dengan cara menurunkan waktu
transit makanan di dalam saluran cerna sehingga kesempatan untuk penyerapan
berkurang.
Bioavailabilitas kalsium dapat diukur dengan metode in vivo atau in vitro.
Metode in vivo dapat dilakukan dengan metode keseimbangan kalsium dan
isotop kalsium yang mengukur absorpsi kalsium secara langsung pada manusia
atau hewan (Allen 1982). Adapun metode in vitro dilakukan dengan simulasi
proses pencernaan makanan pada saluran pencernaan dengan menggunakan
enzim komersial. Enzim yang digunakan adalah enzim pepsin dan pankreatin bile
yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas
dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Prinsip metode
in vitro ini adalah teknik dialisis menggunakan kantung dialisis. Dialisis berfungsi
dalam memisahkan molekul-molekul besar dan molekul-molekul kecil
berdasarkan sifat membran semi permeabel dengan cara menahan molekul
besar dan membiarkan molekul kecil (Nur et al. 1989). Gueguen dan Pointillart
(2000) menyatakan bahwa metode in vitro tidak dapat mengukur bioavailabilitas
secara tepat dibandingkan metode in vivo. Hal ini dikarenakan pada metode in
vitro enzim yang digunakan hanya dua jenis, yakni pepsin dan pankreatin bile,
sedangkan pada proses pencernaan manusia sebenarnya tidak hanya dua enzim.
Akan tetapi, metode in vitro dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan
dengan cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008).
Pemanggangan dengan oven dapat mengubah ketersediaan zat gizi
mineral tertentu seperti kalsium. Fitin dalam bekatul gandum dapat
mengkompleks kalsium dengan erat dan mungkin kation lain sehingga tidak
tersedia untuk diserap. Ranhotra (1972) dalam Harris (1975) menyatakan bahwa
mengurangi pengikatan kalisum dan besi dan hal ini terjadi selama fermentasi
ketika membuat roti. Pemanggangan juga mengakibatkan susutnya lisin produk
akhir asam amino (Harris & Karmas 1975).
Besi
Besi dibutuhkan sebagai komponen dalam hemoglobin darah yang
membawa oksigen dan mioglobin otot yang menyimpan oksigen (Brody 1994).
Menurut Muchtadi (1989), zat besi dalam tubuh dapat ditemukan dalam
hemoglobin atau pigmen respirasi (60-70% total besi), mioglobin atau protein otot
bergaris yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen, enzim-enzim heme
Intraseluler (katalase dan sitokrom oksidase), metaloprotein (aktinoksidase,
suksinodehidrogenase, DPNH sitoreduktase), kromatin, ferritin atau cadangan
zat besi dalam jaringan retikuloendotelial (15% total besi), dan transferin atau
bentuk transpor besi yang terikat pada beta-globulin (0,1% total besi).
Besi berperan dalam metabolisme energi dengan cara bekerjasama
dengan rantai protein pengangkut elektron yang berperan dalam
langkah-langkah akhir metabolisme energi. Protein memindahkan hidrogen dan elektron
yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen sehingga membentuk air
yang menghasilkan ATP (Almatsier 2004). Rolfes dan Whitney (2008)
menjelaskan bahwa setiap sel besi bekerjasama dengan beberapa protein rantai
transpor elektron dalam melaksanakan tahapan akhir jalur metabolik yang
menghasilkan energi. Proten memindahkan hidrogen dan elektron dari zat-zat
gizi penghasil energi kepada oksigen, membentuk air, dan berperan dalam
proses pembentukan ATP yang akan digunakan oleh sel.
Zat besi dimetabolisme dalam tubuh melalui lima tahapan yaitu
penyerapan, transportasi, pemanfaatan, penyimpanan, dan pembuangan. Bentuk
besi dalam makanan ada dua yaitu bentuk heme (dari pangan hewani) dan
nonheme (dari pangan nabati). Besi heme diabsorbsi di sel mukosa dalam
bentuk kompleks poriferin utuh. Besi yang ada dalam protein heme harus
dibebaskan dahulu gugus hemenya melalui pencernaan protein yang terjadi di
lumen duodenum. Gugus besi heme yang telah dibebaskan dari protoforforin
dengan bantun enzim hemooksigenase yang memecah cincin porfirin akan
menghasilkan ion ferri (Fe3+), biliverdin, dan gas CO2 (Fairbank 1999).
Besi non heme harus berada dalam bentuk terlarut (Fe2+) agar dapat
diserap dalam tubuh di usus halus. Oleh karena itu, besi nonheme akan
dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula, dan asam amino
yang mengandung sulfur (Fairbanks 1999). Besi heme dan non heme akan
melawati jalur yang sama setelah meninggalkan sel mukosa usus dalam bentuk
yang sama dengan alat angkut yang sama.
Bioavailabilitas zat besi adalah jumlah zat besi dalam bahan pangan yang
ditransfer dari lumen usus ke dalam darah (Latunde-Dada & Neale 1986).
Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor endogen (kondisi
tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor eksogen meliputi berbagai
komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi, yaitu
kandungan zat besi dalam bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan pangan,
faktor pendorong dan penghambat absorbsi zat besi yang berasal dari makanan.
Kandungan zat besi dalam bahan pangan khususnya zat besi nonheme
mempengaruhi jumlah zat besi yang diabsorbsi (Hallberg 1988). Efisiensi
absorbsi zat besi berbanding terbalik dengan total zat besi dalam makanan.
Semakin besar total zat besi makanan, maka persentase zat besi yang
diabsorbsi akan semakin rendah (Gropper et al. 2005).
Menurut Rolfes dan Whitney (2008), bentuk zat besi yang terkandung
dalam makanan juga mempengaruhi bioavailabilitas zat besi karena kelarutan
besi dalam medium intralumenal saluran pencernaan merupakan prasyarat bagi
absorbsi. Garam ferro sederhana lebih mudah diserap daripada garam kompleks
dan garam ferri. Besi ferro memiliki ketersediaan atau bioavailabilitas lebih tinggi
karena kelarutannya lebih besar pada pH saluran cerna usus yang basa. Besi
ferri akan mengendap sebagai ferri oksida pada pH di atas 3.5 sehingga
berkurang kelarutannya dan lebih sulit untuk diserap oleh usus. Oleh karena itu
besi ferro dapat diserap 3 kali lebih besar daripada besi ferri.
Bioavailabilitas zat besi heme lebih tinggi daripada nonheme yaitu sekitar
15-30%. Hal ini karena zat besi heme diserap secara utuh dalam cincin porfirin
dan tidak terekspos ligan–ligan penghambat (pengikat) yang ada dalam makanan.
Adapun zat besi nonheme masuk ke dalam pool yang memudahkan
dipertukarkan (exchangeable pool). Hal ini menyebabkan adanya efek dari
ligan-ligan pendorong dan penghambat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu besi non-heme yang dapat diserap hanya 2-20% tergantung
pada ligan dan status zat besi seseorang (Rolfes & Whitney 2008).
Muhilal et al. (1998) mengklasifikan makanan sehari-hari berdasarkan
absorbsi besi rendah atau sama dengan 5%, absorbsi besi sedang atau sama
dengan 10%, dan absorbsi besi tinggi atau sama dengan 15%. Adapun Whitney
et al. (1998) mengkategorikan ketersediaan besi nonheme dalam makanan
berdasarkan penyerapannya, yaitu ketersediaan tinggi jika besi nonheme diserap
sebesar 8%, ketersediaan sedang jika besi nonheme diserap sebesar 5%, dan
ketersediaan rendah jika besi nonheme hanya diserap sebesar 3%.
Absorbsi zat besi dipengaruhi oleh berbagai faktor makanan. Beberapa
faktor yang dapat meningkatkan absorbsi yaitu daging, ikan, dan asam askorbat.
Adapun faktor yang menghambaat absorbsi yaitu fitat dan tanin (Hallberg 1988).
Asam fitat dan asam oksalat yang terdapat dalam sayuran dapat menghambat
penyerapan besi dengan cara mengikat besi sehingga sulit diserap. Begitupun
tannin yang terdapat dalam teh, kopi, dan beberapa jenis sayuran dan buah
dapat menghambat penyerapan besi dengan cara mengikatnya. Penyerapan
besi juga dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh. Penyerapan besi meningkat jika
tubuh kekurangan besi atau kebutuhan meningkat pada masa pertumbuhan,
penyerapan besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali sedangkan besi
heme dua kali (Almatsier 2004).
Seng
Seng merupakan salah satu mineral yang terdapat dalam semua organ dan
jaringan serta cairan tubuh. Total seng dalam tubuh adalah 1.5-2.5 g (Gropper et
al. 2005). Seng berfungsi dalam sintesis DNA dan RNA, metabolisme alkohol,
sintesis heme, pembentukan tulang, keseimbangan asam basa, fungsi imun,
petumbuhan dan perkembangan, dan pertahanan antioksidan (Bredbenner et al.
2007).
Seng ditemukan dalam makanan berikatan kompleks dengan asam amino
yang merupakan bagian dari peptida dan protein dan dengan asam nukleat.
Sumber seng yang baik terdapat pada daging merah dan makanan laut. Produk
hewani mengandung seng antara 40%-70%. Seng juga terdapat pada gandum
dan sayuran. Seng dalam tanaman lebih rendah penyerapannya dalam tubuh
dibandingkan dengan seng dalam hewan (Gropper et al. 2005).
Penyerapan seng dapat dipengaruhi oleh proses pemasakan. Pemanasan
dapat menyebabkan seng dalam bahan pangan membentuk kompleks yang
melawan hidrolisis sehingga seng tidak dapat dicerna. Produk dari reaksi Maillard
yaitu asam amino, kompleks karbohidrat yang menyebabkan browning, dapat
Menurut Bredbenner et al. (2007), faktor-faktor yang meningkatkan
penyerapan seng adalah asupan seng yang kurang, defisiensi seng, asupan
protein hewani dan kebutuhan yang tinggi terhadap seng. Adapun faktor-faktor
yang menurunkan penyerapan seng adalah asam fitat dan serat pada serealia,
asupan seng yang berlebih, asupan zat besi non-heme yang tinggi, dan status
seng yang baik.
Fitat atau asam fitat yang ditemukan dalam tanaman seperti
kacang-kacangan dan sereal dapat menghambat penyerapan seng. Fitat mengikat seng
menggunakan oksigen membentuk ikatan kompleks yang tidak dapat larut dan
sulit dicerna. Fermentasi pada roti dapat mengurangi kandungan fitat dan
meningkatkan penyerapan seng (Gropper et al. 2005).
Oksalat atau asam oksalat yang ditemukan dalam makanan seperti bayam,
coklat, dan teh, juga dapat mengikat seng sehingga seng sulit dicerna.
Poliphenol yang terdapat pada teh dan serat pada sayuran dan buah-buahan
juga dapat mengikat seng sehingga menghambat penyerapannya (Gropper et al.
2005).
Menurut Gibney et al. (2002), faktor-faktor yang dapat meningkatkan
absorpsi seng adalah faktor fisiologi (status seng kurang) dan faktor dietari
(intake seng rendah, asam organik tertentu, asam amino tertentu, susu manusia).
Adapun yang menurunkan absorpsi seng adalah status seng normal, intake seng
tinggi, fitat, dan zat besi tertentu. Absorpsi seng yang rendah 10-15% terdapat di
negara berkembang yang makanannya didominasi oleh sereal dan
kacang-kacangan dengan konsentrasi fitat tinggi. Adapun daerah dengan dietari pangan
hewani dan produk tanaman diperkirakan memiliki absorpsi seng sebesar
20-30%.
Asam fitat adalah suatu unsur tanaman yang ada dalam kacang-kacangan,
sereal, dan minyak tanaman. Asam fitat berpotensial untuk berikatan positif
dengan protein, asam amino dan atau mineral dalam makanan. Ikatan kompleks
yang dihasilkannya tidak dapat larut, manusia tidak dapat menghidrolisisnya
selama pencernaan, dan zat-zat gizi yang ada menjadi berkurang
penyerapannya. Fitat membentuk ikatan konjugasi dengan mineral penting
seperti kalsium, magnesium, tembaga, besi (Fe2 dan Fe3+), seng, kobalt, dan
mangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi fitat pada bioavailabilitas mineral
dan matriks makanan termasuk keberadaan pendukung atau penghambat
(Bredbenner et al. 2007).
Menurut penelitian Cook (1997) bahwa terdapat korelasi positif antara
penyerapan besi dengan kandungan fitat pada sereal pada orang dewasa muda
dengan r =-0.801, p < 0.02. molar rasio setiap mineral berbeda-beda yang dapat
dipengaruhi oleh fitat. Molar rasio fitat dengan seng merupakan faktor utama
yang mempengaruhi bioavailabilitas seng pada tikus pada sarapan sereal (Morris
1981). Rasio molar fitat dengan seng>10 berisiko dengan gejala defisiensi seng
(Morris 1980). Rasio fitat dengan kaslium>0.24 menurunkan bioavailabilitas
kalsium. Hidrolisis fitat selama fermentasi secara signifikan dapat meningkatkan
bioavailabilitas mineral (kalsium, magnesium, tembaga, seng, dan besi)
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 hingga Desember 2012 di
Kampus IPB Darmaga Bogor. Penelitian dilakukan di Laboratorium Percobaan
Makanan, Laboratorium Organoleptik, Laboratorium Biokimia Gizi, dan
Laboratorium Analisis Kimia dan Analisis Makanan, Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, dan Laboratorium Technopark Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung daun kelor adalah daun
kelor segar yang didapatkan dari daerah Ciampea, Bogor. Bahan-bahan yang
digunakan dalam pembuatan crackers adalah tepung badan ikan lele dumbo dan
tepung kepala ikan lele dumbo yang didapatkan dari PT Carmelitha Lestari,
tepung daun kelor, tepung terigu, garam, gula, baking powder, ragi, susu skim,
margarin, mentega, dan air putih. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis
kimia diantaranya air destilata, asam nitrat, asam sulfat, selenium mix, asam
borat, kalium hidroksida, air bebas ion, enzim pepsin, pankreatin, ekstrak bile,
larutan natrium bikarbonat, n-hexane, etanol, asam klorida, kalium sulfat, natrium
hidroksida, natrium sulfat, dan indikator (merah metil dan metil biru).
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung daun kelor adalah
ember, rumah kaca, blender, dan ayakan 60 mesh. Alat-alat yang digunakan
dalam pembuatan crackers antara lain baskom, mixer, ampia (alat penggiling
adonan), timbangan, kompor, pisau, dan penggaris. Alat-alat yang digunakan
dalam analisis adalah labu takar, labu destilasi, labu kjehdahl, neraca analitik,
pipet mohr, bulb, corong, spatula, kertas saring Whatman no.40 dan 42, kantung
dialisis, AAS, oven vakum, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, pengaduk
magnetic, sentrifus, gelas ukur, alat ekstraksi Soxhlet, inkubator, pH meter,
termometer, texture analyzer, dan spektrofotometer.
Tahapan Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap penelitian
pendahuluan dan tahap penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan
untuk membuat tepung daun kelor. Pada tahap ini dilakukan pembuatan tepung
Penelitian utama bertujuan untuk membuat crackers dan menganalisis
penilaian organoleptik serta kandungan zat gizinya. Pada tahap ini dilakukan
formulasi crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung
daun kelor. Semua formula crackers diuji organoleptik untuk melihat penerimaan
crackers oleh panelis semi terlatih. Formula crackers terpilih kemudian diuji sifat
fisikokimia dan mikrobiologinya.
Penelitian Pendahuluan
Pembuatan tepung daun kelor dilakukan dengan pengeringan drum dryer
dan pengeringan cahaya matahari seperti pada Gambar 3. Kedua cara ini
dilakukan untuk mendapatkan tepung daun kelor dengan karakteristik warna
terbaik yaitu warna hijau.
Gambar 3 Prosedur pembuatan tepung daun kelor dengan drum dryer dan
cahaya matahari (Broin 2010 dengan modifikasi)
Tepung daun kelor yang telah jadi dianalisis sifat fisik dan sifat kimianya.
Sifat fisik yang dianalisis yaitu aktivitas air dan densitas kamba. Sifat kimia yang
dianalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar
karbohidrat, serta kadar mineral kalsium, besi, dan seng.
Penelitian Utama
Pada penelitian utama dilakukan formulasi crackers dengan penambahan
campuran antara tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo, yang
selanjutnya disebut tepung ikan lele dumbo (L), dan penambahan tepung daun
kelor (K). Berdasarkan percobaan eksperimental didapatkan formula crackers
sebagai berikut (Tabel 4).
Pencucian
Penggilingan dengan disc mill
Pengeringan dengan drum dryer
Pengayakan 60 mesh
Tepung daun kelor
Pengeringan dengan cahaya matahari dalam rumah kaca
selama 24 jam
[image:31.595.110.500.277.518.2]Tabel 4 Formula crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun kelor
Bahan-bahan
Kontrol Tepung badan+kepala ikan lele dumbo (%) / tepung daun kelor (gram) / Formula
7.5 10 12.5 15
2.5 5 7.5 2.5 5 7.5 2.5 5 7.5 2.5 5 7.5 L7.5+K2.5 L7.5+K5 L7.5+K7.5 L10+K2.5 L10+K5 L10+K7.5 L12.5+K2.5 L12.5+K5 L12.5+K7.5 L15+K2.5 L15+K5 L15+K7.5
Tepung
terigu 100.00 92.50 92.50 92.50 10.00 10.00 10.00 87.50 87.50 87.50 85.00 85.00 85.00 Tepung
badan
lele 0.00 5.25 5.25 5.25 7.00 7.00 7.00 8.75 8.75 8.75 10.50 10.50 10.50 Tepung
kepala
lele 0.00 2.25 2.25 2.25 3.00 3.00 3.00 3.75 3.75 3.75 4.50 4.50 4.50 Tepung
kelor 0.00 2.50 5.00 7.50 2.50 5.00 7.50 2.50 5.00 7.50 2.50 5.00 7.50
Susu Skim 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 Margarin 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 Mentega 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 Gula 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 Garam 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 Baking
powder 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 Ragi 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 Air 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 Total
adonan
Adapun pembuatan crackers diuraikan dalam Gambar 4 berikut.
Gula halus Tepung terigu
Baking powder Tepung ikan lele dumbo
Ragi Garam Susu skim
Dicampur dengan mixer
Ditambah margarin
Diuleni dengan tangan sampai kalis
Ditutupi lap yang telah dibasahi oleh air hangat
Difermentasi selama 1 jam
Dibuat lembaran
Dilipat menjadi dua bagian
Digiling kembali menjadi lembaran
Dipotong
Didiamkan semala 5 menit
Dipanggang
[image:33.595.100.501.83.504.2]crackers
Gambar 4 Prosedur pembuatan crackers dengan tepung daun kelor dan tepung
ikan lele dumbo (Ferazuma 2010 dengan modifikasi)
Crackers yang dihasilkan kemudian diuji organoleptik untuk menentukan formula
terpilih yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya.
Uji Organoleptik. Uji organoleptik dilakukan terhadap 30 orang panelis semi terlatih. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik dan uji
hedonik yang keduanya menggunakan metode skala garis dengan skala 7. Pada
uji mutu hedonik, nilai skala 1 sampai 7 akan diintepretasikan menjadi mutu
produk yang sudah ditentukan klasifikasinya terlebih dahulu. Adapun uji hedonik
dengan skala 1 sampai 7 adalah tingkat kesukaan panelis (sangat tidak suka
sampai dengan sangat suka). Angka yang semakin besar menunjukkan
peningkatan kesukaan panelis terhadap produk tersebut. Panelis dianggap
menerima produk jika nilai yang diberikan lebih besar dari 4.00. Baik uji mutu
hedonik maupun hedonik dilakukan pada crackers yang sudah siap dimakan.
ditaburi campuran margarin tepung terigu dan garam
Atribut yang dinilai pada uji mutu hedonik meliputi rasa, warna, aroma,
dan tekstur. Atribut yang dinilai pada uji hedonik adalah rasa, aroma, warna, dan
tekstur serta keseluruhan crackers. Hasil uji mutu hedonik digunakan untuk
menilai karakteristik fisik dan mutu crackers menurut panelis berdasarkan nilai
rataan setiap parameter masing-masing formula. Formula terbaik ditentukan
berdasarkan hasil rata-rata uji hedonik tertinggi yaitu dengan melihat persentase
penerimaan setiap formula. Formula terpilih inilah yang akan digunakan pada
penelitian selanjutnya yaitu analisis sifat fisikokimia dan mikrobiologi.
Analisis sifat fisikokimia dan mikrobiologi. Pada tahapan analisis sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi, produk terpilih dibandingkan dengan tiga kontrol
yaitu crackers tanpa tepung ikan lele dan tepung daun kelor (L0+K0), crackers
dengan tepung ikan lele (L+K0), dan crackers dengan tepung daun kelor (L0+K).
Analisis sifat fisik yang dilakukan meliputi aktivitas air, tekstur, dan daya serap
air. Sifat kimia yang dianalisis yaitu kadar air dengan oven biasa, kadar abu
dengan tanur, kadar protein metode semi kjehdahl, kadar lemak metode soxhlet,
kadar karbohidrat menggunakan carbohydrate by difference, kadar kalsium, besi
dan seng metode AAS, kadar serat metode multienzim, daya cerna protein
secara in vitro menggunakan multienzim, dan bioavailabilitas kalsium, besi dan
seng secara in vitro dengan metode dialisis. Sifat mikrobiologi yang dianalisis
yaitu jumlah total mikroba metode TPC.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan pada penelitian ini terdapat dua rancangan.
Rancangan pertama yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua
kali pengulangan pada saat formulasi crackers. Model yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Dimana:
= hasil pengamatan untuk faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k
= nilai tengah umum
= pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo pada taraf ke-i (7.5%,
10%, 12.5%, 15%)
= pengaruh penambahan tepung daun kelor pada taraf ke-j (2.5 gram, 5
= interaksi penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun kelor pada taraf ke-i dan taraf ke-j
= pengaruh acak (galat percobaan) pada taraf ke-i, taraf ke-j, interaksi AB
yang ke-i dan ke-j, dan pada ulangan ke-k
Selanjutnya Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali pengulangan pada
saat analisis sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi dengan model sebagai berikut:
Dimana:
= nilai pengamatan respon
= nilai tengah umum
= pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo, penambahan tepung
daun kelor, dan penambahan keduanya pada crackers
= pengaruh acak (galat percobaan) karena pengaruh jenis crackersdan
pada ulangan ke-j
Pengolahan dan Analisis Data
Data ditabulasikan dan diolah menggunakan program MS. Excel. Data
hasil uji organoleptik dianalisis secara statistik dengan uji ragam ANOVA untuk
melihat pengaruh perlakuan terhadap variabel organoleptik. Hasil uji ANOVA
yang berpengaruh kemudian dilanjutkan dengan Uji Lanjut Wilayah Berganda
Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) untuk mencari perlakuan yang berbeda.
Data analisis sifat fisik, kimia, dan mikroboilogi dianalisis secara statistik dengan
uji beda Independent t-test untuk mengetahui perbedaannya dengan ketiga
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tepung Daun Kelor Pembuatan Tepung Daun Kelor
Tepung daun kelor merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari daun
kelor yang diproses dengan cara dikeringkan dan dibuat serbuk dengan
dihancurkan dan diayak (Tanico 2009). Daun kelor yang dijadikan tepung dalam
penelitian ini didapatkan dari daerah Ciampea, Kabupaten Bogor. Daun kelor
dipilih yang masih utuh dan dipisahkan dari rantingnya kemudian dicuci dengan
air bersih. Menurut Doerr dan Cameron (2005) pencucian daun dengan air
bersih dapat menghilangkan kotoran dan kuman. Oleh karena itu, tepung daun
kelor dapat dikonsumsi langsung setelah prosesnya selesai. Pembuatan tepung
daun kelor dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama yaitu daun
kelor dicuci untuk menghilangkan kotoran dan digiling dengan penggilingan
basah disc mill. Setelah berbentuk pasta, dikeringkan dengan drum dryer pada
suhu 100-1200C selama 5-10 menit. Alasan pemilihan drum dryer sebagai alat
pembuatan tepung dikarenakan waktunya yang singkat dalam pemaparan panas
terhadap daun kelor. Hal ini dapat berefek positif terhadap kualitas tepung daun
kelor yang dihasilkan baik dari segi gizi maupun penampakannya. Menurut
Hendy (2007) alat pengering drum dapat meningkatkan daya cerna dan
mengawetkan produk yang dihasilkan. Akan tetapi, tepung daun kelor yang
dihasilkan pada penelitian ini berwarna hijau kecoklatan. Hal ini diduga karena
suhu drum dryer terlalu tinggi sehingga menyebabkan terjadinya browning pada
daun kelor. Menurut Broin (2010) daun kelor hanya bertahan pada suhu
maksimal 500C dan jika lebih dari itu akan mengalami browning. Selain itu, daun
kelor juga mengalami browning enzimatis pada saat penggilingan basah karena
adanya pertemuan antara senyawa fenolik pada daun dengan udara. Alternatif
yang digunakan untuk mencegah terjadinya browning adalah pengeringan harus
dilakukan pada suhu maksimal 500C dan dilakukan pengontrolan pH dengan
menambahkan bahan bersifat basa (Cheng & Crisosto 2005), salah satunya
adalah natrium bikarbonat yang dikenal dengan nama dagang soda kue.
Alternatif yang dilakukan pada penelitian ini adalah pembuatan tepung
daun kelor dengan suhu maksimal 500C yaitu menggunakan cahaya matahari
dalam rumah kaca. Daun dikeringkan di rak-rak yang berada dalam rumah kaca
selama 24 jam. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air bahan
Gambar 5 Tepung daun kelor dengan pengeringan cahaya matahari
Pengeringan menggunakan sinar matahari merupakan salah satu cara
pengeringan yang dapat dilakukan dalam pembuatan tepung daun kelor karena
tidak memerlukan biaya yang mahal (Broin 2010). Energi matahari dapat
mengurang