• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Crackers Sumber Protein dan Mineral dengan Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Tepung Badan-Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Crackers Sumber Protein dan Mineral dengan Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Tepung Badan-Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN

CRACKERS

SUMBER PROTEIN DAN MINERAL

DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN KELOR (

Moringa oleifera

) DAN

TEPUNG BADAN-KEPALA IKAN LELE DUMBO (

Clarias gariepinus

)

AI KUSTIANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRACT

AI KUSTIANI. The Development of Crackers as a Source of Protein and Minerals

by Addition of Kelor (Moringa oleifera) Leaves Flour and Catfish Dumbo (Clarias

gariepinus) Flour. Under direction of CLARA M. KUSHARTO and EVY DAMAYANTHI

Kelor is one of the vegetables with high nutrients contents but haven‘t been widely utilized. Adding kelor leaves flour to the crackers made with catfish flour to increase protein and minerals is one way to maximize the potential of its nutrient

content. This research purposed to develop the formulation of crackers by adding

kelor leaves flour and catfish dumbo flour as a food source of protein and minerals. Kelor leaves flour obtained from this research contains protein, calcium, iron, and zinc respectively for 23.25%, 640.5 mg/100g, 30.6 mg/100g, and 6.65 mg/100g. The best formula chosen from organoleptic was is crackers with the addition 10% catfish dumbo flour and 2.5 g kelor leaves flour. The crackers contain 11.50% protein, 30.73 mg/100g calcium, 8.56 mg/100g iron, and 609.70

mg/100g zinc respectively. Selected crackers contain more than 20% protein and

more than 15% of iron and zinc standart for 2-5 years old children group based on nutrition label reference (ALG, for Indonesian), so it can be claimed as a food source of protein, iron and zinc.

(3)

RINGKASAN

AI KUSTIANI. Pengembangan Crackers Sumber Protein dan Mineral dengan

Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Tepung Badan-Kepala

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Dibimbing oleh CLARA M. KUSHARTO

dan EVY DAMAYANTHI.

Kelor merupakan salah satu jenis sayuran yang mengandung zat gizi tinggi dan telah digunakan sebagai salah satu alternatif pangan untuk mengatasi masalah gizi (malnutrisi). Akan tetapi, pemanfaatan kelor di Indonesia masih rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan pemanfaatan kelor adalah dengan menjadikannya dalam bentuk tepung daun kelor untuk meningkatkan kandungan gizi crackers. Hal ini dikarenakan crackers merupakan kudapan yang digemari masyarakat yang berperan penting dalam meningkatkan asupan gizi masyarakat

sehingga kandungan gizinya harus diperhatikan. Crackers juga dapat

ditingkatkan kandungan gizinya dengan penambahan tepung badan dan kepala ikan lele dumbo. Tepung badan ikan lele dumbo mengandung protein tinggi dan tepung kepala ikan lele dumbo mengandung kalsium tinggi. Kedua produk derivat ikan lele dumbo ini berpotensi untuk dimanfaatkan dalam pembuatan crackers. Penambahan tepung daun kelor dan tepung ikan lele dumbo diharapkan dapat meningkatkan pemanfaatan daun kelor dan ikan lele serta dapat meningkatkan

kandungan protein dan mineral crackers.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan formula crackers

dengan penambahan tepung daun kelor dan tepung ikan lele dumbo. Tujuan khususnya adalah, 1) Mempelajari cara pembuatan dan karakteristik tepung

daun kelor, 2) Mempelajari formulasi crackers dengan penambahan tepung daun

kelor dan tepung ikan lele dumbo, 3) Menganalisis daya terima dan mutu hedonik crackers, 4) Menganalisis sifat fisik, sifat kimia, dan sifat mikrobiologi crackes terpilih, 5) Menilai kontribusi zat gizi crackers terpilih terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan Acuan Label Gizi (ALG).

Pembuatan tepung daun kelor diawali dengan pemilihan daun yang masih utuh, dipisahkan dari rantingnya, dibersihkan, dikeringkan, dihancurkan, dan

diayak hingga menjadi tepung daun kelor. Pengeringan dengan drum dryer pada

suhu 1050C selama 5-10 menit menghasilkan tepung daun kelor berwarna hijau

kecoklatan karena daun kelor mengalami browning. Pengeringan daun kelor

selanjutnya menggunakan cahaya matahari dalam rumah kaca selama 24 jam. Tepung daun kelor yang dihasilkan memiliki densitas kamba 0.37 g/mL, aktivitas air 0.57 serta kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, besi, dan seng berturut-turut sebesar 4.51%, 8.76%, 23.25%, 17.71%, 45.77%, 640.5 mg/100g, 30.6 mg/100g dan 6.65 mg/100g.

Pada formulasi crackers, tepung terigu ditambahkan dengan tepung ikan lele dumbo yang merupakan gabungan antara tepung badan dan kepala ikan lele

dengan perbandingan 7:3 sesuai dengan penelitian Kusharto et al. (2012).

Tingkat penambahan tepung ikan lele dumbo sebanyak 4 taraf yaitu 7.5%, 10%, 12.5%, dan 15% dari berat tepung terigu. Tepung daun kelor ditambahkan pada

formulasi crackers dengan taraf penambahan sebanyak 3 taraf yaitu 2.5 gram, 5

gram, dan 10 gram. Formulasi crackers terbaik ditentukan berdasarkan tingkat kesukaan panelis pada uji organoleptik.

(4)

Formula tersebut dipilih karena penambahan tepung ikan lele dumbo pada formula L10%+K2.5g lebih banyak daripada L7.5%+K2.5g sehingga diharapkan

fungsi pemanfaatan dan kandungan gizinya lebih tinggi. Produk terbaik crackers

L10%+K2.5g memiliki aktivitas air dan daya serap air sebesar 0.40 dan 343.92

ml/g. Tekstur crackers L10%+K2.5g sebesar 669.78 gf dengan nilai TPC masih

termasuk kategori aman yaitu 4.0x102 cfu/g. Kandungan gizi crackers terpilih yaitu kadar air 2.40%, kadar abu 4.05%, kadar protein 11.50%, kadar lemak 18.71%, kadar karbohidrat 63.34%, kadar serat pangan 4.76%, kadar kalsium 30.73 mg/100g, kadar besi 8.56 mg/100g, dan kadar seng 17.34 mg/100g. Crackers terpilih memiliki nilai daya cerna protein sebesar 79.14%, dengan bioavailabilitas kalsium, besi, dan seng berturut-turut sebesar 22.61%, 5.68%, dan 44.34%. Berdasarkan analisis kontribusi zat gizi berdasarkan AKG

kebutuhan energi 2000 kkal, crackers L10%+K2.5 g dapat memberikan kontribusi

seng sebanyak 78.66% dan zat besi 41.85%. Crackers dapat memenuhi protein

(5)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PENGEMBANGAN

CRACKERS

SUMBER PROTEIN DAN MINERAL

DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN KELOR (

Moringa oleifera

) DAN

(6)

Judul Skripsi : Pengembangan Crackers Sumber Protein dan Mineral

dengan Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera)

dan Tepung Badan-Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias

gariepinus)

Nama : Ai Kustiani

NIM : I14080044

Menyetujui:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S.

NIP. 19510719 198403 2 001 NIP. 19621204 198903 2 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Gizi Masyarakat,

Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S. NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini ialah pengembangan

produk pangan dengan judul Pengembangan Crackers Sumber Protein dan

Mineral dengan Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Tepung

Badan-Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Penulis mengucapkan

terima kasih atas arahan, bimbingan, serta kerja sama yang baik kepada:

1. Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc. selaku dosen pembimbing I dan dosen

pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan pikirannya,

memberikan bimbingan, sebagian dana hibah penelitian, serta dorongan

kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. selaku dosen pembimbing II yang telah

banyak memberikan pembelajaran, motivasi, pengalaman, dan arahan bagi

penulis.

3. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.S. selaku dosen pemandu seminar dan dosen

penguji yang telah memberikan masukan dan motivasi dalam penyusunan

skripsi ini.

4. Orang tua dan seluruh keluarga yang senantiasa memberikan doa dan

motivasi setiap waktu.

5. PT Carmelitha Lestari yang telah memberikan izin atas penggunaan tepung

badan dan kepala ikan lele dumbo.

6. Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Manajemen Beastudi Etos, dan Tim

GENKSI yang telah mengantarkan penulis sehingga menjadi seorang sarjana.

7. Bapak Mashudi dan seluruh laboran atas bantuannya selama proses

penelitian ini dilakukan.

8. Teman-teman tim ―Kelor‖ yaitu Ibnu, Rahayu, Liza, dan Novi yang telah

banyak membantu dalam mengembangkan pemanfaatan daun kelor.

9.

Teman-teman seperjuangan selama penelitian, sahabat terbaik etoser‘45, dan

teman-teman GM ‗44, ‗45, ‗46 atas kebersamaan dan semangatnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah

membantu, namun tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini

bermanfaat.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 21 September 1990 dari ayah

Muhtadin dan ibu Lasmanah. Penulis merupakan anak kedua dari lima

bersaudara. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1996 di SD Negeri

Wargamulya. Penulis melanjutkan pendidikan di MTs Negeri Ciherang Cipanas

pada tahun 2002-2005 dan SMA Negeri 1 Cianjur pada tahun 2005-2008. Tahun

2008 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Gizi

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum

Pendidikan Agama Islam TPB pada tahun ajaran 2011/2012 dan 2012/2013,

asisten praktikum Metodologi Penelitian Gizi Program Sarjana Gizi S1 pada

tahun 2011/2012 dan Program Sarjana Alih Jenis 2012/2013, asisten praktikum

Evaluasi Nilai Gizi Program Sarjana Alih Jenis pada tahun 2011/2012, dan

asisten praktikum Analisis Zat Gizi Mikro Program Sarjana Gizi S1 pada tahun

2012/2013. Penulis juga aktif mengajar les matakuliah TPB, dan privat siswa

SMP dan SMA. Penulis juga pernah aktif sebagai staf Departemen Human

Resources Development (HRD) Forum of Scientific Studies (FORCES) dan

sebagai Koordinator Divisi Keputrian Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA).

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKP) di Desa Mundu Kecamatan

Karangampel Kabupaten Indramayu pada tahun 2011 dan melaksanakan

Internship Dietetic di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon pada tahun 2012.

Penulis mendapatkan Beastudi Etos periode 2008-2011. Penulis juga aktif

mengikuti lomba karya tulis ilmiah. Beberapa prestasi yang diraih oleh penulis

antara lain Juara I Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan

dalam Olimpiade Etos Nasional 2010, selected paper in Renewable Energy

German tahun 2010, selected paper in Aceh Development International

Conference University of Putra Malaysia tahun 2011, mendapatkan hibah dana

PKM bidang Kewirausahaan pada tahun 2010 dan PKM bidang Penelitian pada

tahun 2011 dan 2012, Juara II Lomba Penulisan Essay ―One Day No Rice‖ HIPMA IPB 2011, Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional Gizi UNDIP

Semarang 2011, Top 10 College Category Finalist of the Indonesia Focus Writing

Contest Pennsylvania tahun 2011, dan meraih penghargaan sebagai salah satu

inovator program 104 Inovasi Indonesia tahun 2012 dengan judul ―I Love my

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

... i

DAFTAR GAMBAR

... ii

DAFTAR LAMPIRAN

... iii

PENDAHULUAN

... 1

Latar Belakang ………. 1

Tujuan………. 2

Manfaat ………. 3

TINJAUAN PUSTAKA

... 4

Kelor (Moringa oleifera) ... 4

Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)………. 6

Crackers ……… 8

Protein ………. 10

Kalsium ……… 11

Besi ……….. 13

Seng ………. 15

METODE

... 18

Waktu dan Tempat ……… 18

Bahan dan Alat ……….. 18

Tahapan Penelitian………. 18

Penelitian Pendahuluan ... 19

Penelitian Utama ... 19

Rancangan Percobaan………. 22

Pengolahan dan Analisis Data………. 23

HASIL DAN PEMBAHASAN

... 24

Tepung Daun Kelor……… 24

Pembuatan Tepung Daun Kelor ... 24

Sifat Fisik Tepung Daun Kelor ... 25

Sifat Kimia Tepung Daun Kelor ... 26

Pembuatan Crackers………. 29

Uji Mutu Hedonik ... 30

Uji Hedonik ... 35

Sifat Fisik Crackers………. 40

Sifat Kimia Crackers……….. 42

Sifat Mikrobiologi……… 54

Informasi Nilai Gizi dan Klaim Kandungan Zat Gizi Crackers………. 55

KESIMPULAN DAN SARAN

...

58

Kesimpulan……….. 58

Saran……… 59

DAFTAR PUSTAKA

... 60

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Sifat kimia tepung kepala dan badan ikan lele dumbo ... 7

2 Kandungan gizi crackers kontrol dan crackers tepung kepala ikan lele dumbo ... 8

3 Syarat mutu biskuit ... 8

4 Formula crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan

tepung daun kelor ... 20

5 Sifat fisik tepung daun kelor ... 26

6 Sifat kimia tepung daun kelor ... 26

7 Sifat fisik crackers dengan penambahan tepung badan dan kepala ikan lele dumbo serta tepung daun kelor ... 40

8 Sifat kimia crackers dengan penambahan tepung badan dan kepala

ikan lele dumbo serta tepung daun kelor ... 43

9 Kontribusi beberapa bahan adonan terhadap kadar abu crackers ... 45 10 Total Plate Count crackers dengan penambahan tepung badan dan

kepala ikan lele dumbo serta tepung daun kelor ... 54

11 Informasi nilai gizi crackers dengan penambahan tepung badan dan

kepala ikan lele dumbo serta tepung daun kelor ... 55 12 Acuan Label Gizi kelompok umum dan anak 2-5 tahun ... 56 13 Kandungan gizi crackers terpillih dan persentasenya (%) terhadap

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Tanaman kelor (Moringa oleifera) ... 4

2 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo ... 7

3 Prosedur pembuatan tepung daun kelor dengan drum dryer dan

cahaya matahari (Broin 2010 dengan modifikasi) ... 19

4 Prosedur pembuatan crackers dengan tepung daun kelor dan

tepung ikan lele dumbo (Ferazuma 2010) ... 21

5 Tepung daun kelor dengan pengeringan cahaya matahari ... 25

6 Crackers ... 29

7 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

kelor terhadap mutu warna crackers ... 30

8 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

kelor terhadap mutu tekstur crackers ... 31

9 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

kelor terhadap mutu aroma crackers ... 32 10 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

kelor terhadap mutu rasa crackers ... 34 11 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

kelor terhadap kesukaan panelis pada warna crackers ... 35 12 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

kelor terhadap kesukaan panelis pada tekstur crackers ... 36 13 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

kelor terhadap kesukaan panelis pada aroma crackers ... 37 14 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

kelor terhadap kesukaan panelis pada rasa crackers ... 38 15 Pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Proses pembuatan tepung daun kelor ... 66

2 Proses pembuatan crackers ... 67

3 Prosedur analisis sifat fisik ... 68

4 Prosedur analisis sifat kimia ... 69

5 Uji organoleptik crackers ... 74

6 Hasil uji organoleptik crackers ... 76

7 Sidik ragam mutu hedonik crackers ... 85

8 Sidik ragam hedonik crackers... 85

9 Uji lanjut Duncan mutu hedonik crackers ... 86

10 Uji lanjut Duncan hedonik crackers ... 88

11 Sidik ragam pengaruh faktor mutu hedonik crackers ... 91

12 Hasil analisis sifat fisik crackers ... 94

13 Hasil analisis sifat kimia crackers ... 94

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di

Indonesia (Supariasa et al. 2002). KEP terjadi karena berbagai faktor terutama

faktor makanan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan. Berdasarkan data

Laporan Riset Kesehatan Dasar (2010), asupan makanan terutama sumber

protein penduduk Indonesia masih di bawah kebutuhan minimal. Penduduk

Indonesia yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal sebesar

37%.

Penderita KEP akan mengalami gangguan dalam metabolisme mineral

karena terhambatnya protein yang bertindak sebagai enzim dan transporter

dalam metabolisme mineral. Ganggunan metabolisme mineral dapat

menyebabkan timbulnya penyakit defisiensi mineral. Defisiensi mineral

merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilaksanakan Depkes bersama Perhimpunan Osteoporosis

Indonesia tahun 2007 bahwa proporsi penderita osteoporosis pada penduduk di

atas 50 tahun adalah 32.3% pada wanita dan 28.8% pada pria (Depkes 2012).

Prevalensi anemia di perkotaan pun cukup tinggi yaitu mencapai 14,8%

(Riskesdas 2007).

Crackers merupakan salah satu jenis biskuit berbentuk pipih yang

difermentasi dan tampak potongan berlapis-lapis jika dipatahkan. Setiawan

(2006) menyatakan bahwa wafer dan biskuit merupakan jenis kudapan yang

digemari masyarakat karena rasanya enak. Crackers telah dikenal oleh semua

kalangan usia dari muda ke kalangan tua serta crackers yang beredar di pasaran

saat ini memiliki banyak variasi mulai dari crackers murni, crackers keju, crackers

abon, dan akhir-akhir ini berkembang adanya crackers sayuran.

Salah satu jenis sayuran yang belum banyak dimanfaatkan tetapi memiliki

kandungan gizi yang tinggi adalah daun kelor. Kelor dijuluki sebagai ―Mother’s

Best Friend‖ dan ―Miracle Tree‖ karena mengandung zat gizi tinggi dan manfaat

yang banyak. Daun kelor dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat gizi bahkan

sejak tahun 1988 organisasi kesehatan dunia (WHO) telah memperkenalkan

kelor sebagai salah satu alternatif bahan pangan untuk mengatasi masalah gizi

(malnutrisi) (Broin 2010).

Kusharto et al. (2012) menyatakan bahwa ikan lele dumbo yang dijadikan

(14)

simpan lebih lama dan lebih fleksibel untuk dimanfaatkan. Tepung ikan lele

dumbo dapat dijadikan salah satu bahan dalam adonan biskuit sebagai alternatif

untuk meningkatkan kandungan gizi biskuit. Ikan lele dumbo sebagai pangan

hewani mengandung asam amino esensial yang yang lengkap dan kandungan

protein yang cukup tinggi (Khomsan 2004).

Penelitian Ferazuma (2010) mengungkapkan bahwa tepung kepala ikan

lele dumbo dapat dijadikan bahan penambahan tepung terigu pada pembuatan

crackers yang menghasilkan crackers tinggi kalsium untuk membantu memenuhi

kecukupan kalsium. Selain kepala ikan lele dumbo, badan ikan lele dumbo juga

dapat dijadikan tepung dan dimanfaatkan untuk bahan pembuatan makanan

karena mengandung protein tinggi (Kusharto et al. 2012). Kedua produk derivat

ikan lele ini telah terbukti dapat membantu meningkatkan status gizi dan

kesehatan penderita gizi buruk (Kusharto et al. 2009). Oleh karena itu tepung

ikan lele dumbo berpotensi untuk dimanfaatkan dalam pembuatan crackers untuk

meningkatkan nilai pemanfaatan ikan lele dumbo dan kandungan gizi crackers.

Makanan yang digemari masyarakat mempunyai peranan sangat penting

sebagai sumber zat gizi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga

kandungan gizinya harus diperhatikan (Kusharto 1985). Oleh karena itu, untuk

meningkatkan nilai pemanfaatan sumberdaya yang ada dan meningkatkan

kandungan gizi crackers maka digunakan tepung daun kelor dan tepung ikan lele

dumbo.

Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan formula crackers

dengan penambahan tepung daun kelor dan tepung ikan lele dumbo sebagai

pangan sumber protein dan mineral, sedangkan tujuan khususnya adalah:

1. Mempelajari cara pembuatan dan karakteristik tepung daun kelor;

2. Mempelajari formulasi crackers dengan penambahan tepung daun kelor dan

tepung ikan lele dumbo;

3. Menganalisis penilaian organoleptik (mutu hedonik dan uji hedonik) terhadap

warna, tekstur, aroma dan rasa produk crackers;

4. Menganalisis sifat fisik (aktivitas air, tekstur, daya serap air), sifat kimia (air,

abu, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, zat besi, seng, daya cerna protein,

serat pangan, dan bioavailabilitas kalsium, zat besi, seng), dan sifat

(15)

5. Menilai kontribusi zat gizi crackers terpilih terhadap Angka Kecukupan Gizi

(AKG) dan Acuan Label Gizi (ALG).

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

mengenai makanan yang menggunakan daun kelor dan tepung ikan lele dumbo

yang jarang termanfaatkan tetapi melimpah serta mengandung banyak zat gizi.

Produk yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif produk

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Kelor (Moringa oleifera)

Tanaman kelor merupakan tanaman tropis yang mudah tumbuh di daerah

tropis seperti Indonesia dan berbagai kawasan tropis lainnya di dunia. Tanaman

kelor merupakan tanaman perdu dengan ketinggian 7-11 meter. Tanaman ini

berupa semak atau pohon dengan akar yang kuat, berumur panjang, batangnya

berkayu getas (mudah patah), tegak, berwarna putih kotor, berkulit tipis,

permukaan kasar, dan jarang bercabang. Tamanan kelor memiliki bunga yang

berwarna putih kekuning-kuningan yang keluar sepanjang tahun dengan aroma

semerbak yang khas. Tanaman kelor memiliki buah yang berbentuk panjang dan

segitiga dengan panjang sekitar 20-60 cm. Buah tanaman kelor berwana hijau

ketika masih muda dan berubah menjadi coklat ketika tua (Tilong 2012).

Kelor dikenal di berbagai daerah di Indonesia dengan nama yang berbeda

seperti kelor (Jawa, Sunda, Bali, Lampung), maronggih (Madura), moltong

(Flores), keloro (Bugis), ongge (Bima), dan hau fo (Timur). Kelor termasuk ke

dalam famili Moringaceae yang memiliki daun berbentuk bulat telur dengan

ukuran kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai (Tilong 2012).

Tumbuhan kelor memiliki rasa agak pahit, bersifat netral, dan tidak beracun

(Hariana 2008). Tanaman kelor dapat dilihat pada Gambar 1.

Tanaman kelor (Moringa oleifera) dikenal di seluruh dunia sebagai pangan

bergizi dan bermanfaat untuk obat serta keperluan industri dan hampir setiap

bagian dari tanaman kelor memiliki nilai gizi. Salah satu contohnya adalah daun

kelor yang dimakan sebagai sayuran, direbus, digoreng, dalam sup atau untuk

(17)

bumbu. Tepung daun kering dapat ditambahkan untuk setiap jenis makanan

sebagai suplemen gizi (Prajapati et al. 2003).

Menurut Mahmood (2011), kelor merupakan sumber vitamin A, vitamin B,

vitamin C, sumber protein, kalsium, zat besi, sebagai obat-obatan, bahan baku

pembuatan sabun dan kosmetik, dan juga dapat dimanfaatkan sebagai penjernih

air. Daun kelor merupakan salah satu bagian dari tanaman kelor yang telah

banyak diteliti kandungan gizi dan kegunaannya. Berdasarkan penelitian Verma

et al. (2009) bahwa daun kelor mengandung fenol dalam jumlah yang banyak

yang dikenal sebagai penangkal senyawa radikal bebas. Tanaman ini dikenal

memiliki nilai kandungan gizi luar biasa, dan terkenal untuk mengatasi penyakit

dengan cara tradisional (Fahey 2005 dalam Sahakitpichan 2011). Kelor dapat

dijadikan sayuran langsung dan dapat dijual dalam bentuk yang

bermacam-macam seperti tepung dalam bentuk kapsul, ekstrak tanaman, atau teh herbal

dari daun moringa (Sahakitpichan 2011). Begitupun di beberapa daerah

Indonesia, kelor sudah biasa dimanfaatkan sebagai sayuran terutama untuk

memperbanyak dan melancarkan ASI (air susu ibu) sebagaimana daun katuk

(Tilong 2012).

Daun kelor merupakan salah satu bagian dari tanaman kelor yang telah

banyak diteliti kandungan gizi dan kegunaannya. Daun kelor mengandung zat

gizi yang tinggi yaitu beta karoten, vitamin C, protein, besi dan potasium. Daun

kelor dapat dimakan langsung dalam keadaan segar, dimasak, atau disimpan

sebagai tepung kering beberapa bulan tanpa harus disimpan di kulkas dan tidak

mengalami kehilangan zat gizi. Daun kelor merupakan sumber asam amino

esensial seperti metionin, sistin, triptophan, dan lisin (Metha 2003 dalam

Rajanandh 2010).

Penelitian lain menyatakan bahwa hasil perbandingan daun kelor dengan

bahan pangan lain dalam jumlah yang sama (gr) menunjukkan bahwa daun kelor

mengandung vitamin C setara vitamin C dalam 7 jeruk, vitamin A setara vitamin

A pada 4 wortel, kalsium setara dengan kalsium dalam 4 gelas susu, potassium

setara dengan yang terkandung dalam 3 pisang, dan protein setara dengan

protein dalam 2 yoghurt (Mahmood 2011). Daun kelor juga mengandung zat besi

lebih tinggi daripada sayuran lainnya yaitu sebesar 17,2 mg/100 g (Yameogo et

al. 2011). Broin (2010) menyatakan bahwa 100 gram daun kelor segar

mengandung kalsium 350-550 mg dan tepung daun kelor mengandung

(18)

ditambahkan dalam makanan dan minuman untuk meningkatkan kandungan

vitamin, mineral dan protein. Sebaiknya tepung daun kelor ditambahkan pada

saat makanan atau minuman siap disajikan karena zat gizinya rentan terhadap

panas (Doerr & Cameron 2005).

Daun kelor dapat dimanfaatkan dalam bentuk tepung agar lebih awet dan

mudah disimpan. Tepung daun kelor merupakan suplemen makanan yang

bergizi dan dapat ditambahkan sebagai campuran dalam makanan. Daun kelor

yang akan dijadikan tepung harus dicuci untuk menghilangkan kotoran dan

kuman (Doerr & Cameron 2005). Menurut Broin (2010), terdapat tiga cara yang

dapat dilakukan untuk mengeringkan daun kelor yaitu pengeringan di dalam

ruangan, pengeringan dengan cahaya matahari, dan menggunakan mesin

pengering. Daun yang sudah kering dan dapat dijadikan tepung dicirikan dengan

daunnya rapuh dan mudah dihancurkan. Daun yang sudah kering dibubukkan

menggunakan mortar ataupun penggilingan. Tepung daun kelor sebaiknya

disimpan dalam wadah kedap udara dan terhindar dari panas, kelembaban, dan

cahaya untuk menghindari pertumbuhan mikroogranisme dan masalah lain yang

berbahaya. Tepung yang disimpan dalam keadaan bersih, kering, kedap udara,

terlindung dari cahaya dan kelembaban serta suhu di bahwa 240C dapat

bertahan hingga 6 bulan (Doerr & Cameron 2005).

Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Pembuatan tepung ikan lele dumbo dibedakan menjadi dua bagian yaitu

tepung kepala ikan lele dumbo dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan

tepung kepala ikan lele dumbo dimulai dari sortasi ikan, kemudian dipisahkan

antara kepala dan badannya. Selanjutnya kepala ikan lele dumbo dimasak

dengan autoklaf tekanan tinggi, dilakukan pengepresan, pengeringan dengan

drum dryer pada suhu 800C dengan tekanan 3 bar selama 2 jam, dan

penggilingan dengan willey mill 60 mesh (Kusharto et al. 2008, Ferazuma 2010).

Pembuatan tepung badan ikan lele dumbo sama seperti pembuatan tepung

kepala ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo disortasi, dipisahkan antara bagian

badan dan kepalanya, dan kulit dan isi perut ikan lele dumbo dibuang. Proses

selanjutnya dilakukan pengukusan dengan tekanan tinggi terhadap badan ikan

lele dumbo, dilakukan pengepresan, pengeringan dengan drum dryer bersuhu

800C dengan tekanan 3 bar, dan penghalusan dengan willey mill 60 mesh

(Kusharto et al. 2012). Tepung badan dan kepala ikan lele dumbo yang

(19)

Hasil analisis sifat kimia tepung kepala dan badan ikan lele dumbo disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1 Sifat kimia tepung kepala dan badan ikan lele dumbo

Zat Gizi Tepung kepala ikan lele dumbo*

Tepung badan ikan lele dumbo**

Air (%bb) 8.72 7.99

Abu (%bk) 18.10 4.83

Protein (%bk) 56.04 63.83

Lemak (%bk) 9.38 10.83

Karbohidrat (%bk) 16.46 20.51

Kalsium (%bk) 6.22 -

Fosfor (%bk) 4.14 -

Sumber: * Ferazuma (2010) ** Kusharto et al. (2012)

Tepung kepala ikan lele dumbo memiliki sifat fisik yang terdiri dari densitas

kamba, derajat putih, dan aktivitas air (aw). Densitas kamba tepung kepala ikan

lele dumbo sebesar 0,45 g/ml. Nilai ini menunjukkan bahwa tepung kepala ikan

lele dumbo berada dalam kisaran densitas secara umum. Nilai derajat putih

tepung kepala ikan lele dumbo sebesar 29,02% dan aktivitas air (aw) sebesar

0,66 (Ferazuma 2010). Tepung badan ikan lele dumbo memiliki sifat fisik yaitu aw

sebesar 0,71, densitas kamba sebesar 0,37 g/ml, dan derajat putih 30,9%

(Kusharto et al. 2012).

Crackers yang disukai berdasarkan hasil uji organoleptik adalah crackers

dengan penambahan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g (Ferazuma

2010). Crackers ini memberi kontribusi kalsium pada anak-anak, remaja dan

dewasa sebesar 40%, 24% dan 30% dari AKG kalsium. Adapun kandungan gizi

crackers kontrol dengan crackers tepung ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g

disajikan pada Tabel 2.

A B

(20)

Tabel 2 Kandungan gizi crackers kontrol dan crackers tepung kepala ikan lele dumbo

Zat gizi Crackers kontrol Crackers tepung ikan lele dumbo

Air (%bb) 2.5 3.10

Abu (%bb) 2.65 3.95

Protein (%bb) 8.4 9.90

Lemak (%bb) 18.6 18.60

Karbohidrat (%bb) 67.9 64.50 Kalsium (%bb) 0.1215 0.5436 Fosfor (%bb) 0.1197 0.3050 Sumber: Ferazuma (2010)

Crackers

Crackers adalah jenis biskuit yang dalam pembuatannya memerlukan

proses fermentasi atau tidak, serta melalui proses laminasi sehingga

menghasilkan bentuk pipih dan bila dipatahkan penampangnya tampak

berlapis-lapis (BSN 2011). Crackers tanpa pemanis merupakan tipe yang paling populer

yang dapat dikonsumsi sebagai pengganti roti dan penggunaannya lebih luas

sebagai makanan diet. Crackers yang baik memiliki tekstur renyah, tidak keras

apabila digigit, tidak hancur, dan mudah mencair apabila dikunyah (Manley 2000).

Tabel 3 menyajikan syarat mutu crackers mengacu pada biskuit berdasarkan SNI

01-2973-1992 dan SNI 2973-2011.

Tabel 3 Syarat mutu biskuit

Komponen Syarat mutu SNI 01-2973-1992

Syarat mutu SNI 2973-2011 Air (%) Maksimum 5 Maksimum 5

Protein (%) Minimum 9 Minimum 3 Lemak (%) Minimum 9.5 -

Karbohidrat (%) Minimum 70 - Abu (%) Maksimum 1.5 - Serat Kasar (%) Maksimum 0.5 - Kalori (per 100 gr) Minimum 400 - Jenis Tepung Terigu - Bau dan Rasa Normal, tidak tengik Normal

Warna Normal Normal

Angka Lempeng Total (koloni/g)

- Maksimum 1x104 Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992,2011)

Crackers mengalami proses fermentasi yang menggunakan ragi sampai

lebih dari 8 jam. Proses fermentasi akan menyebabkan tumbuhnya bakteri serta

memproduksi asam dan perubahan rasa. Fermentasi menghasilkan alkohol yang

menimbulkan aroma dan gas karbon dioksida dan menyebabkan adonan

berkembang. Adonan crackers relatif basah dan harus dijaga agar tidak kering.

(21)

terkontrol (80-90% RH, kelembaban relatif). Fermentasi dapat menyebabkan

perubahan bentuk dan kekerasan karena adanya perubahan kualitas dan

kuantitas protein tepung (Manley 2000).

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan crackers dibedakan

menjadi dua bagian yaitu bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan

bahan pelembut tekstur. Bahan pengikat atau pembentuk adonan yang kuat

adalah tepung terigu, air, dan garam, sedangkan bahan-bahan yang berfungsi

sebagai pelembut tekstur adalah gula, mentega, dan leavening agent (baking

powder) sebagai bahan pengembang (Manley 2000).

Tepung terigu merupakan bahan utama biskuit. Adonan terfermentasi

menggunakan terigu medium sampai terigu kuat (tinggi protein) untuk

memproduksi adonan capable dan tekstur yang bagus. Tepung memiliki fungsi

sebagai pembentuk adonan, menarik atau mengikat bahan lainnya dan

mendistribusikannya secara merata. Tepung juga mengikat gas selama proses

fermentasi dan pemanggangan serta berperan penting dalam pembentukan cita

rasa (Matz & Matz 1978).

Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis dan

pemberi aroma melalui proses browning nonenzimatis. Gula berperan dalam

penyediaan substrat untuk proses fermentasi dan pengatur keempukan setelah

mengalami tahap pengadonan (Penfield & Campbell 1990). Menurut Matz & Matz

(1978), penambahan gula harus tepat, jika terlalu banyak akan menjadikan

adonan lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras dan rasanya

terlalu manis.

Lemak dalam pembuatan biskuit berfungsi untuk membuat produk yang

renyah dan berperan dalam pembentukan citarasa khas biskuit. Lemak alami

yang banyak digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain lemak sapi,

mentega, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Selain pengunaan lemak alami,

lemak yang telah dimodifikasi seperti hidrogenasi minyak dan interesterifikasi

lemak juga biasa digunakan sebagai pengemulsi dalam pembuatan biskuit (Matz

& Matz 1978).

Bahan pengembang atau leavening agent berfungsi untuk

mengembangkan produk yang pada prinsipnya menghasilkan gas

karbondioksida (Manley 2000). Pada pembuatan crackers, bahan pengembang

berfungsi dalam pembentukan volume dan membuat produk jadi ringan. Bahan

(22)

selama proses fermentasi. Jumlah bahan pengembang yang ditambahkan akan

mempengaruhi pH adonan dan rasa produk akhir yang dihasilkan (Winarno

2008).

Protein

Protein merupakan molekul makro dengan berat molekul antara lima

hingga beberapa juta yang terdapat dalam bentuk enzim, berbagai hormon,

pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler, dan sebagainya. Protein

terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dalam

ikatan peptida. Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen

dan nitrogen; beberapa asam amino juga mengandung unsur-unsur fosfor, besi,

iodium, dan kobalt. Unsur nitrogen merupakan unsur utama protein karena

terdapat dalam semua protein dan tidak terdapat dalam karbohidrat dan lemak

(Almatsier 2004).

Denaturasi merupakan perubahan struktur protein dari struktur alaminya.

Denaturasi protein tidak mengubah struktur utamanya tetapi dapat mengganggu

fungsi protein secara biologis (Bredbenner et al. 2007). Beberapa faktor yang

dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein adalah suhu tinggi, perubahan

pH yang ekstrim, pelarut organik, zat kimia tertentu (urea dan detergen) dan

pengaruh mekanik (guncangan).

Menurut sumbernya, protein dibagi menjadi dua macam yaitu protein

hewani dan protein nabati. Sebanyak 35% protein berasal dari protein hewani.

Tanaman merupakan sumber utama protein di banyak wilayah dunia. Tanaman

dapat menyediakan sejumlah protein serta serat, berbagai vitamin dan mineral,

dan fitokimia (Bredbenner et al. 2007).

Nilai gizi protein merupakan kemampuan suatu protein untuk dapat

dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh.

Nilai gizi suatu protein ditentukan oleh dua faktor yaitu daya cerna atau nilai

cernanya dan kandungan asam amino esensialnya. Protein yang bernilai gizi

tinggi merupakan protein yang mudah dicerna (dihidrolisis) oleh enzim-enzim

pencernaan dan mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap serta

dalam jumlah yang seimbang. Protein yang bernilai gizi tinggi terdapat pada

protein hewani (daging, ikan, susu, telur) kecuali gelatin. Protein nabati umumnya

memiliki daya cerna lebih rendah dan kekurangan salah satu (sering juga

(23)

Salah satu metode evaluasi nilai gizi protein secara in vitro adalah analisis

daya cerna protein metode enzimatis. Nilai cerna atau daya cerna protein

merupakan perbandingan antara jumlah asam-asam amino yang dapat diserap

oleh usus halus dengan jumlah protein yang dikonsumsi (Muhctadi 2010). Protein

hewani seperti daging, ikan dan susu memiliki nilai mutu cerna sekitar 90-100%

karena proteinnya mudah dicerna oleh tubuh, sedangkan protein nabati seperti

sayuran memiliki daya cerna antara 60-80%. Perbedaan ini bukan disebabkan

oleh perbedaan kandungan asam amino yang dikandungnya tetapi karena

perbedaan kandungan selulosa dan bahan lain yang melindungi protein

(Khumaidi 1987).

Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang

paling banyak. Kalsium sangat dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan gigi

yang normal. Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah, transmisi

impuls saraf, kontraksi otot, dan metabolisme sel (Bredbenner et al. 2007).

Penyerapan kalsium dalam tubuh dalam keadaan normal sebanyak

30-50%. Kalsium harus berada dalam lingkungan asam agar mudah diabsorpsi

dengan cara mempertahankannya dalam bentuk ionik. Kalsium ditransportasikan

dalam aliran dalam bentuk ion kalsium bebas atau terikat dengan protein.

Konsentrasi kalsium dalam darah diregulasi oleh hormon, jika konsentrasinya

rendah, kelenjar paratiroid akan melepaskan hormon paratiroid. Hormon

paratiroid meningkatkan kalsium darah melalui tiga jalur yaitu menstimulasi

perombakan kalsium dari tulang, meningkatkan retensi kalsium dalam ginjal, dan

mengaktifkan vitamin D. Hal yang sebaliknya jika konsentrasi kalsium dalam

darah meningkat, kelenjar tiroid akan melepaskan kalsitonin yang akan

mengembalikan konsentrasi kalsium ke dalam keadaan normal dengan cara

mengurangi perombakan kalsium dari tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium

dalam ginjal (Bredbenner et al. 2007).

Kalsium yang dikonsumsi dari makanan tidak semuanya dapat diserap dan

dimanfaatkan oleh tubuh. Penyerapan kalsium dipengaruhi oleh beberapa faktor

baik faktor pendorong maupun penghambat. Kalsium akan terserap lebih banyak

dan efisien jika kebutuhan semakin tinggi dan persediaan semakin rendah dalam

tubuh. Kebutuhan kalsium akan meningkat dalam masa pertumbuhan, saat hamil,

menyusui, defisiensi kalsium, dan tingkat aktivitas fisik yang meningkatkan

(24)

penyerapan kalsium pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi

protein pengikat kalsium (Almatsier 2004).

Allen (1982) menyatakan bahwa penyerapan kalsium dipengaruhi oleh

komponen makanan yaitu fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan

oksalat), laktosa dan lemak. Almatsier (2004) menyatakan bahwa asam oksalat

pada sayuran dapat menghambat penyerapan kalsium dengan membentuk

garam kalsium oksalat yang tidak larut. Begitupun asam fitat, ikatan yang

mengandung fosfor yang terdapat dalam sekam serelia, akan menghambat

penyerapan kalsium dengan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut.

Serat dapat menurunkan penyerapan kalsium dengan cara menurunkan waktu

transit makanan di dalam saluran cerna sehingga kesempatan untuk penyerapan

berkurang.

Bioavailabilitas kalsium dapat diukur dengan metode in vivo atau in vitro.

Metode in vivo dapat dilakukan dengan metode keseimbangan kalsium dan

isotop kalsium yang mengukur absorpsi kalsium secara langsung pada manusia

atau hewan (Allen 1982). Adapun metode in vitro dilakukan dengan simulasi

proses pencernaan makanan pada saluran pencernaan dengan menggunakan

enzim komersial. Enzim yang digunakan adalah enzim pepsin dan pankreatin bile

yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas

dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Prinsip metode

in vitro ini adalah teknik dialisis menggunakan kantung dialisis. Dialisis berfungsi

dalam memisahkan molekul-molekul besar dan molekul-molekul kecil

berdasarkan sifat membran semi permeabel dengan cara menahan molekul

besar dan membiarkan molekul kecil (Nur et al. 1989). Gueguen dan Pointillart

(2000) menyatakan bahwa metode in vitro tidak dapat mengukur bioavailabilitas

secara tepat dibandingkan metode in vivo. Hal ini dikarenakan pada metode in

vitro enzim yang digunakan hanya dua jenis, yakni pepsin dan pankreatin bile,

sedangkan pada proses pencernaan manusia sebenarnya tidak hanya dua enzim.

Akan tetapi, metode in vitro dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan

dengan cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008).

Pemanggangan dengan oven dapat mengubah ketersediaan zat gizi

mineral tertentu seperti kalsium. Fitin dalam bekatul gandum dapat

mengkompleks kalsium dengan erat dan mungkin kation lain sehingga tidak

tersedia untuk diserap. Ranhotra (1972) dalam Harris (1975) menyatakan bahwa

(25)

mengurangi pengikatan kalisum dan besi dan hal ini terjadi selama fermentasi

ketika membuat roti. Pemanggangan juga mengakibatkan susutnya lisin produk

akhir asam amino (Harris & Karmas 1975).

Besi

Besi dibutuhkan sebagai komponen dalam hemoglobin darah yang

membawa oksigen dan mioglobin otot yang menyimpan oksigen (Brody 1994).

Menurut Muchtadi (1989), zat besi dalam tubuh dapat ditemukan dalam

hemoglobin atau pigmen respirasi (60-70% total besi), mioglobin atau protein otot

bergaris yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen, enzim-enzim heme

Intraseluler (katalase dan sitokrom oksidase), metaloprotein (aktinoksidase,

suksinodehidrogenase, DPNH sitoreduktase), kromatin, ferritin atau cadangan

zat besi dalam jaringan retikuloendotelial (15% total besi), dan transferin atau

bentuk transpor besi yang terikat pada beta-globulin (0,1% total besi).

Besi berperan dalam metabolisme energi dengan cara bekerjasama

dengan rantai protein pengangkut elektron yang berperan dalam

langkah-langkah akhir metabolisme energi. Protein memindahkan hidrogen dan elektron

yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen sehingga membentuk air

yang menghasilkan ATP (Almatsier 2004). Rolfes dan Whitney (2008)

menjelaskan bahwa setiap sel besi bekerjasama dengan beberapa protein rantai

transpor elektron dalam melaksanakan tahapan akhir jalur metabolik yang

menghasilkan energi. Proten memindahkan hidrogen dan elektron dari zat-zat

gizi penghasil energi kepada oksigen, membentuk air, dan berperan dalam

proses pembentukan ATP yang akan digunakan oleh sel.

Zat besi dimetabolisme dalam tubuh melalui lima tahapan yaitu

penyerapan, transportasi, pemanfaatan, penyimpanan, dan pembuangan. Bentuk

besi dalam makanan ada dua yaitu bentuk heme (dari pangan hewani) dan

nonheme (dari pangan nabati). Besi heme diabsorbsi di sel mukosa dalam

bentuk kompleks poriferin utuh. Besi yang ada dalam protein heme harus

dibebaskan dahulu gugus hemenya melalui pencernaan protein yang terjadi di

lumen duodenum. Gugus besi heme yang telah dibebaskan dari protoforforin

dengan bantun enzim hemooksigenase yang memecah cincin porfirin akan

menghasilkan ion ferri (Fe3+), biliverdin, dan gas CO2 (Fairbank 1999).

Besi non heme harus berada dalam bentuk terlarut (Fe2+) agar dapat

diserap dalam tubuh di usus halus. Oleh karena itu, besi nonheme akan

(26)

dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula, dan asam amino

yang mengandung sulfur (Fairbanks 1999). Besi heme dan non heme akan

melawati jalur yang sama setelah meninggalkan sel mukosa usus dalam bentuk

yang sama dengan alat angkut yang sama.

Bioavailabilitas zat besi adalah jumlah zat besi dalam bahan pangan yang

ditransfer dari lumen usus ke dalam darah (Latunde-Dada & Neale 1986).

Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor endogen (kondisi

tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor eksogen meliputi berbagai

komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi, yaitu

kandungan zat besi dalam bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan pangan,

faktor pendorong dan penghambat absorbsi zat besi yang berasal dari makanan.

Kandungan zat besi dalam bahan pangan khususnya zat besi nonheme

mempengaruhi jumlah zat besi yang diabsorbsi (Hallberg 1988). Efisiensi

absorbsi zat besi berbanding terbalik dengan total zat besi dalam makanan.

Semakin besar total zat besi makanan, maka persentase zat besi yang

diabsorbsi akan semakin rendah (Gropper et al. 2005).

Menurut Rolfes dan Whitney (2008), bentuk zat besi yang terkandung

dalam makanan juga mempengaruhi bioavailabilitas zat besi karena kelarutan

besi dalam medium intralumenal saluran pencernaan merupakan prasyarat bagi

absorbsi. Garam ferro sederhana lebih mudah diserap daripada garam kompleks

dan garam ferri. Besi ferro memiliki ketersediaan atau bioavailabilitas lebih tinggi

karena kelarutannya lebih besar pada pH saluran cerna usus yang basa. Besi

ferri akan mengendap sebagai ferri oksida pada pH di atas 3.5 sehingga

berkurang kelarutannya dan lebih sulit untuk diserap oleh usus. Oleh karena itu

besi ferro dapat diserap 3 kali lebih besar daripada besi ferri.

Bioavailabilitas zat besi heme lebih tinggi daripada nonheme yaitu sekitar

15-30%. Hal ini karena zat besi heme diserap secara utuh dalam cincin porfirin

dan tidak terekspos ligan–ligan penghambat (pengikat) yang ada dalam makanan.

Adapun zat besi nonheme masuk ke dalam pool yang memudahkan

dipertukarkan (exchangeable pool). Hal ini menyebabkan adanya efek dari

ligan-ligan pendorong dan penghambat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Oleh karena itu besi non-heme yang dapat diserap hanya 2-20% tergantung

pada ligan dan status zat besi seseorang (Rolfes & Whitney 2008).

Muhilal et al. (1998) mengklasifikan makanan sehari-hari berdasarkan

(27)

absorbsi besi rendah atau sama dengan 5%, absorbsi besi sedang atau sama

dengan 10%, dan absorbsi besi tinggi atau sama dengan 15%. Adapun Whitney

et al. (1998) mengkategorikan ketersediaan besi nonheme dalam makanan

berdasarkan penyerapannya, yaitu ketersediaan tinggi jika besi nonheme diserap

sebesar 8%, ketersediaan sedang jika besi nonheme diserap sebesar 5%, dan

ketersediaan rendah jika besi nonheme hanya diserap sebesar 3%.

Absorbsi zat besi dipengaruhi oleh berbagai faktor makanan. Beberapa

faktor yang dapat meningkatkan absorbsi yaitu daging, ikan, dan asam askorbat.

Adapun faktor yang menghambaat absorbsi yaitu fitat dan tanin (Hallberg 1988).

Asam fitat dan asam oksalat yang terdapat dalam sayuran dapat menghambat

penyerapan besi dengan cara mengikat besi sehingga sulit diserap. Begitupun

tannin yang terdapat dalam teh, kopi, dan beberapa jenis sayuran dan buah

dapat menghambat penyerapan besi dengan cara mengikatnya. Penyerapan

besi juga dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh. Penyerapan besi meningkat jika

tubuh kekurangan besi atau kebutuhan meningkat pada masa pertumbuhan,

penyerapan besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali sedangkan besi

heme dua kali (Almatsier 2004).

Seng

Seng merupakan salah satu mineral yang terdapat dalam semua organ dan

jaringan serta cairan tubuh. Total seng dalam tubuh adalah 1.5-2.5 g (Gropper et

al. 2005). Seng berfungsi dalam sintesis DNA dan RNA, metabolisme alkohol,

sintesis heme, pembentukan tulang, keseimbangan asam basa, fungsi imun,

petumbuhan dan perkembangan, dan pertahanan antioksidan (Bredbenner et al.

2007).

Seng ditemukan dalam makanan berikatan kompleks dengan asam amino

yang merupakan bagian dari peptida dan protein dan dengan asam nukleat.

Sumber seng yang baik terdapat pada daging merah dan makanan laut. Produk

hewani mengandung seng antara 40%-70%. Seng juga terdapat pada gandum

dan sayuran. Seng dalam tanaman lebih rendah penyerapannya dalam tubuh

dibandingkan dengan seng dalam hewan (Gropper et al. 2005).

Penyerapan seng dapat dipengaruhi oleh proses pemasakan. Pemanasan

dapat menyebabkan seng dalam bahan pangan membentuk kompleks yang

melawan hidrolisis sehingga seng tidak dapat dicerna. Produk dari reaksi Maillard

yaitu asam amino, kompleks karbohidrat yang menyebabkan browning, dapat

(28)

Menurut Bredbenner et al. (2007), faktor-faktor yang meningkatkan

penyerapan seng adalah asupan seng yang kurang, defisiensi seng, asupan

protein hewani dan kebutuhan yang tinggi terhadap seng. Adapun faktor-faktor

yang menurunkan penyerapan seng adalah asam fitat dan serat pada serealia,

asupan seng yang berlebih, asupan zat besi non-heme yang tinggi, dan status

seng yang baik.

Fitat atau asam fitat yang ditemukan dalam tanaman seperti

kacang-kacangan dan sereal dapat menghambat penyerapan seng. Fitat mengikat seng

menggunakan oksigen membentuk ikatan kompleks yang tidak dapat larut dan

sulit dicerna. Fermentasi pada roti dapat mengurangi kandungan fitat dan

meningkatkan penyerapan seng (Gropper et al. 2005).

Oksalat atau asam oksalat yang ditemukan dalam makanan seperti bayam,

coklat, dan teh, juga dapat mengikat seng sehingga seng sulit dicerna.

Poliphenol yang terdapat pada teh dan serat pada sayuran dan buah-buahan

juga dapat mengikat seng sehingga menghambat penyerapannya (Gropper et al.

2005).

Menurut Gibney et al. (2002), faktor-faktor yang dapat meningkatkan

absorpsi seng adalah faktor fisiologi (status seng kurang) dan faktor dietari

(intake seng rendah, asam organik tertentu, asam amino tertentu, susu manusia).

Adapun yang menurunkan absorpsi seng adalah status seng normal, intake seng

tinggi, fitat, dan zat besi tertentu. Absorpsi seng yang rendah 10-15% terdapat di

negara berkembang yang makanannya didominasi oleh sereal dan

kacang-kacangan dengan konsentrasi fitat tinggi. Adapun daerah dengan dietari pangan

hewani dan produk tanaman diperkirakan memiliki absorpsi seng sebesar

20-30%.

Asam fitat adalah suatu unsur tanaman yang ada dalam kacang-kacangan,

sereal, dan minyak tanaman. Asam fitat berpotensial untuk berikatan positif

dengan protein, asam amino dan atau mineral dalam makanan. Ikatan kompleks

yang dihasilkannya tidak dapat larut, manusia tidak dapat menghidrolisisnya

selama pencernaan, dan zat-zat gizi yang ada menjadi berkurang

penyerapannya. Fitat membentuk ikatan konjugasi dengan mineral penting

seperti kalsium, magnesium, tembaga, besi (Fe2 dan Fe3+), seng, kobalt, dan

mangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi fitat pada bioavailabilitas mineral

(29)

dan matriks makanan termasuk keberadaan pendukung atau penghambat

(Bredbenner et al. 2007).

Menurut penelitian Cook (1997) bahwa terdapat korelasi positif antara

penyerapan besi dengan kandungan fitat pada sereal pada orang dewasa muda

dengan r =-0.801, p < 0.02. molar rasio setiap mineral berbeda-beda yang dapat

dipengaruhi oleh fitat. Molar rasio fitat dengan seng merupakan faktor utama

yang mempengaruhi bioavailabilitas seng pada tikus pada sarapan sereal (Morris

1981). Rasio molar fitat dengan seng>10 berisiko dengan gejala defisiensi seng

(Morris 1980). Rasio fitat dengan kaslium>0.24 menurunkan bioavailabilitas

kalsium. Hidrolisis fitat selama fermentasi secara signifikan dapat meningkatkan

bioavailabilitas mineral (kalsium, magnesium, tembaga, seng, dan besi)

(30)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 hingga Desember 2012 di

Kampus IPB Darmaga Bogor. Penelitian dilakukan di Laboratorium Percobaan

Makanan, Laboratorium Organoleptik, Laboratorium Biokimia Gizi, dan

Laboratorium Analisis Kimia dan Analisis Makanan, Departemen Gizi

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, dan Laboratorium Technopark Fakultas

Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung daun kelor adalah daun

kelor segar yang didapatkan dari daerah Ciampea, Bogor. Bahan-bahan yang

digunakan dalam pembuatan crackers adalah tepung badan ikan lele dumbo dan

tepung kepala ikan lele dumbo yang didapatkan dari PT Carmelitha Lestari,

tepung daun kelor, tepung terigu, garam, gula, baking powder, ragi, susu skim,

margarin, mentega, dan air putih. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis

kimia diantaranya air destilata, asam nitrat, asam sulfat, selenium mix, asam

borat, kalium hidroksida, air bebas ion, enzim pepsin, pankreatin, ekstrak bile,

larutan natrium bikarbonat, n-hexane, etanol, asam klorida, kalium sulfat, natrium

hidroksida, natrium sulfat, dan indikator (merah metil dan metil biru).

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung daun kelor adalah

ember, rumah kaca, blender, dan ayakan 60 mesh. Alat-alat yang digunakan

dalam pembuatan crackers antara lain baskom, mixer, ampia (alat penggiling

adonan), timbangan, kompor, pisau, dan penggaris. Alat-alat yang digunakan

dalam analisis adalah labu takar, labu destilasi, labu kjehdahl, neraca analitik,

pipet mohr, bulb, corong, spatula, kertas saring Whatman no.40 dan 42, kantung

dialisis, AAS, oven vakum, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, pengaduk

magnetic, sentrifus, gelas ukur, alat ekstraksi Soxhlet, inkubator, pH meter,

termometer, texture analyzer, dan spektrofotometer.

Tahapan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap penelitian

pendahuluan dan tahap penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan

untuk membuat tepung daun kelor. Pada tahap ini dilakukan pembuatan tepung

(31)

Penelitian utama bertujuan untuk membuat crackers dan menganalisis

penilaian organoleptik serta kandungan zat gizinya. Pada tahap ini dilakukan

formulasi crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung

daun kelor. Semua formula crackers diuji organoleptik untuk melihat penerimaan

crackers oleh panelis semi terlatih. Formula crackers terpilih kemudian diuji sifat

fisikokimia dan mikrobiologinya.

Penelitian Pendahuluan

Pembuatan tepung daun kelor dilakukan dengan pengeringan drum dryer

dan pengeringan cahaya matahari seperti pada Gambar 3. Kedua cara ini

dilakukan untuk mendapatkan tepung daun kelor dengan karakteristik warna

terbaik yaitu warna hijau.

Gambar 3 Prosedur pembuatan tepung daun kelor dengan drum dryer dan

cahaya matahari (Broin 2010 dengan modifikasi)

Tepung daun kelor yang telah jadi dianalisis sifat fisik dan sifat kimianya.

Sifat fisik yang dianalisis yaitu aktivitas air dan densitas kamba. Sifat kimia yang

dianalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar

karbohidrat, serta kadar mineral kalsium, besi, dan seng.

Penelitian Utama

Pada penelitian utama dilakukan formulasi crackers dengan penambahan

campuran antara tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo, yang

selanjutnya disebut tepung ikan lele dumbo (L), dan penambahan tepung daun

kelor (K). Berdasarkan percobaan eksperimental didapatkan formula crackers

sebagai berikut (Tabel 4).

Pencucian

Penggilingan dengan disc mill

Pengeringan dengan drum dryer

Pengayakan 60 mesh

Tepung daun kelor

Pengeringan dengan cahaya matahari dalam rumah kaca

selama 24 jam

[image:31.595.110.500.277.518.2]
(32)
[image:32.842.77.761.111.381.2]

Tabel 4 Formula crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun kelor

Bahan-bahan

Kontrol Tepung badan+kepala ikan lele dumbo (%) / tepung daun kelor (gram) / Formula

7.5 10 12.5 15

2.5 5 7.5 2.5 5 7.5 2.5 5 7.5 2.5 5 7.5 L7.5+K2.5 L7.5+K5 L7.5+K7.5 L10+K2.5 L10+K5 L10+K7.5 L12.5+K2.5 L12.5+K5 L12.5+K7.5 L15+K2.5 L15+K5 L15+K7.5

Tepung

terigu 100.00 92.50 92.50 92.50 10.00 10.00 10.00 87.50 87.50 87.50 85.00 85.00 85.00 Tepung

badan

lele 0.00 5.25 5.25 5.25 7.00 7.00 7.00 8.75 8.75 8.75 10.50 10.50 10.50 Tepung

kepala

lele 0.00 2.25 2.25 2.25 3.00 3.00 3.00 3.75 3.75 3.75 4.50 4.50 4.50 Tepung

kelor 0.00 2.50 5.00 7.50 2.50 5.00 7.50 2.50 5.00 7.50 2.50 5.00 7.50

Susu Skim 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 Margarin 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 Mentega 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 Gula 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 Garam 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 2.20 Baking

powder 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 Ragi 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 Air 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 34.00 Total

adonan

(33)

Adapun pembuatan crackers diuraikan dalam Gambar 4 berikut.

Gula halus Tepung terigu

Baking powder Tepung ikan lele dumbo

Ragi Garam Susu skim

Dicampur dengan mixer

Ditambah margarin

Diuleni dengan tangan sampai kalis

Ditutupi lap yang telah dibasahi oleh air hangat

Difermentasi selama 1 jam

Dibuat lembaran

Dilipat menjadi dua bagian

Digiling kembali menjadi lembaran

Dipotong

Didiamkan semala 5 menit

Dipanggang

[image:33.595.100.501.83.504.2]

crackers

Gambar 4 Prosedur pembuatan crackers dengan tepung daun kelor dan tepung

ikan lele dumbo (Ferazuma 2010 dengan modifikasi)

Crackers yang dihasilkan kemudian diuji organoleptik untuk menentukan formula

terpilih yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya.

Uji Organoleptik. Uji organoleptik dilakukan terhadap 30 orang panelis semi terlatih. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik dan uji

hedonik yang keduanya menggunakan metode skala garis dengan skala 7. Pada

uji mutu hedonik, nilai skala 1 sampai 7 akan diintepretasikan menjadi mutu

produk yang sudah ditentukan klasifikasinya terlebih dahulu. Adapun uji hedonik

dengan skala 1 sampai 7 adalah tingkat kesukaan panelis (sangat tidak suka

sampai dengan sangat suka). Angka yang semakin besar menunjukkan

peningkatan kesukaan panelis terhadap produk tersebut. Panelis dianggap

menerima produk jika nilai yang diberikan lebih besar dari 4.00. Baik uji mutu

hedonik maupun hedonik dilakukan pada crackers yang sudah siap dimakan.

ditaburi campuran margarin tepung terigu dan garam

(34)

Atribut yang dinilai pada uji mutu hedonik meliputi rasa, warna, aroma,

dan tekstur. Atribut yang dinilai pada uji hedonik adalah rasa, aroma, warna, dan

tekstur serta keseluruhan crackers. Hasil uji mutu hedonik digunakan untuk

menilai karakteristik fisik dan mutu crackers menurut panelis berdasarkan nilai

rataan setiap parameter masing-masing formula. Formula terbaik ditentukan

berdasarkan hasil rata-rata uji hedonik tertinggi yaitu dengan melihat persentase

penerimaan setiap formula. Formula terpilih inilah yang akan digunakan pada

penelitian selanjutnya yaitu analisis sifat fisikokimia dan mikrobiologi.

Analisis sifat fisikokimia dan mikrobiologi. Pada tahapan analisis sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi, produk terpilih dibandingkan dengan tiga kontrol

yaitu crackers tanpa tepung ikan lele dan tepung daun kelor (L0+K0), crackers

dengan tepung ikan lele (L+K0), dan crackers dengan tepung daun kelor (L0+K).

Analisis sifat fisik yang dilakukan meliputi aktivitas air, tekstur, dan daya serap

air. Sifat kimia yang dianalisis yaitu kadar air dengan oven biasa, kadar abu

dengan tanur, kadar protein metode semi kjehdahl, kadar lemak metode soxhlet,

kadar karbohidrat menggunakan carbohydrate by difference, kadar kalsium, besi

dan seng metode AAS, kadar serat metode multienzim, daya cerna protein

secara in vitro menggunakan multienzim, dan bioavailabilitas kalsium, besi dan

seng secara in vitro dengan metode dialisis. Sifat mikrobiologi yang dianalisis

yaitu jumlah total mikroba metode TPC.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan pada penelitian ini terdapat dua rancangan.

Rancangan pertama yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua

kali pengulangan pada saat formulasi crackers. Model yang digunakan adalah

sebagai berikut:

Dimana:

= hasil pengamatan untuk faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k

= nilai tengah umum

= pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo pada taraf ke-i (7.5%,

10%, 12.5%, 15%)

= pengaruh penambahan tepung daun kelor pada taraf ke-j (2.5 gram, 5

(35)

= interaksi penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun kelor pada taraf ke-i dan taraf ke-j

= pengaruh acak (galat percobaan) pada taraf ke-i, taraf ke-j, interaksi AB

yang ke-i dan ke-j, dan pada ulangan ke-k

Selanjutnya Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali pengulangan pada

saat analisis sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi dengan model sebagai berikut:

Dimana:

= nilai pengamatan respon

= nilai tengah umum

= pengaruh penambahan tepung ikan lele dumbo, penambahan tepung

daun kelor, dan penambahan keduanya pada crackers

= pengaruh acak (galat percobaan) karena pengaruh jenis crackersdan

pada ulangan ke-j

Pengolahan dan Analisis Data

Data ditabulasikan dan diolah menggunakan program MS. Excel. Data

hasil uji organoleptik dianalisis secara statistik dengan uji ragam ANOVA untuk

melihat pengaruh perlakuan terhadap variabel organoleptik. Hasil uji ANOVA

yang berpengaruh kemudian dilanjutkan dengan Uji Lanjut Wilayah Berganda

Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) untuk mencari perlakuan yang berbeda.

Data analisis sifat fisik, kimia, dan mikroboilogi dianalisis secara statistik dengan

uji beda Independent t-test untuk mengetahui perbedaannya dengan ketiga

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung Daun Kelor Pembuatan Tepung Daun Kelor

Tepung daun kelor merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari daun

kelor yang diproses dengan cara dikeringkan dan dibuat serbuk dengan

dihancurkan dan diayak (Tanico 2009). Daun kelor yang dijadikan tepung dalam

penelitian ini didapatkan dari daerah Ciampea, Kabupaten Bogor. Daun kelor

dipilih yang masih utuh dan dipisahkan dari rantingnya kemudian dicuci dengan

air bersih. Menurut Doerr dan Cameron (2005) pencucian daun dengan air

bersih dapat menghilangkan kotoran dan kuman. Oleh karena itu, tepung daun

kelor dapat dikonsumsi langsung setelah prosesnya selesai. Pembuatan tepung

daun kelor dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama yaitu daun

kelor dicuci untuk menghilangkan kotoran dan digiling dengan penggilingan

basah disc mill. Setelah berbentuk pasta, dikeringkan dengan drum dryer pada

suhu 100-1200C selama 5-10 menit. Alasan pemilihan drum dryer sebagai alat

pembuatan tepung dikarenakan waktunya yang singkat dalam pemaparan panas

terhadap daun kelor. Hal ini dapat berefek positif terhadap kualitas tepung daun

kelor yang dihasilkan baik dari segi gizi maupun penampakannya. Menurut

Hendy (2007) alat pengering drum dapat meningkatkan daya cerna dan

mengawetkan produk yang dihasilkan. Akan tetapi, tepung daun kelor yang

dihasilkan pada penelitian ini berwarna hijau kecoklatan. Hal ini diduga karena

suhu drum dryer terlalu tinggi sehingga menyebabkan terjadinya browning pada

daun kelor. Menurut Broin (2010) daun kelor hanya bertahan pada suhu

maksimal 500C dan jika lebih dari itu akan mengalami browning. Selain itu, daun

kelor juga mengalami browning enzimatis pada saat penggilingan basah karena

adanya pertemuan antara senyawa fenolik pada daun dengan udara. Alternatif

yang digunakan untuk mencegah terjadinya browning adalah pengeringan harus

dilakukan pada suhu maksimal 500C dan dilakukan pengontrolan pH dengan

menambahkan bahan bersifat basa (Cheng & Crisosto 2005), salah satunya

adalah natrium bikarbonat yang dikenal dengan nama dagang soda kue.

Alternatif yang dilakukan pada penelitian ini adalah pembuatan tepung

daun kelor dengan suhu maksimal 500C yaitu menggunakan cahaya matahari

dalam rumah kaca. Daun dikeringkan di rak-rak yang berada dalam rumah kaca

selama 24 jam. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air bahan

(37)

Gambar 5 Tepung daun kelor dengan pengeringan cahaya matahari

Pengeringan menggunakan sinar matahari merupakan salah satu cara

pengeringan yang dapat dilakukan dalam pembuatan tepung daun kelor karena

tidak memerlukan biaya yang mahal (Broin 2010). Energi matahari dapat

mengurang

Gambar

Gambar 2 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo
Tabel 2 Kandungan gizi crackers kontrol dan crackers tepung kepala ikan lele dumbo
Gambar 3 Prosedur pembuatan tepung daun kelor dengan drum dryer dan
Tabel 4 Formula crackers dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan tepung daun kelor
+7

Referensi

Dokumen terkait

persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 skor Kebiasaan Membaca akan diikuti kenaikan skor Hasil Belajar PKKn sebesar 0,203. Dengan demikian,

untuk usaha pembudidaya di kolam terjadi peningkatan volume produksi karena tidak terpengaruh oleh kebijakan Menteri tentang moratorium tersebut, demikian halnya dengan budi daya

[r]

Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,

◦ Larutan tanah (sifatnya tersedia untuk diserap oleh akar tanaman) ◦ Bahan organik (mengalami proses perombakan).. ◦ Organisme tanah (komponen

Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah model pembelajaran problem solving disertai media animasi pada materi larutan non-elektrolit dan elektrolit efektif dalam

Commitment (Komitment) adalah semua kekuatan, positif atau negative, yang membuat individu tetap berhubungan atau tetap setia dalam kelompok. Kekuatan positif ysng

Dalam penelitian ini proses penelusuran data dilakukan dengan cara mengamati data rekam medik pasien. Tahap pertama untuk mengambil sampel dilakukan adalah pemilihan sampel dari