• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Curugbitung terletak di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Desa Curugbitung merupakan salah satu desa dengan wilayah terluas di Kabupten Bogor, mencapai 1.156,17 hektar. Wilayah tersebut terdiri dari lima wilayah dusun, 13 Rukun Warga (RW), dan 43 Rukun Tetangga (RT). Kawasan Desa Curugbitung mencakup perbukitan dengan ketinggian 600-800 m dpl. Suhu rata-rata 26-340C dengan curah hujan antara 300-400 mm.

Batas wilayah Desa Curugbitung adalah sebagai berikut : 1. Sebelah utara: Desa Nanggung dan Kecamatan Sukajaya 2. Sebelah timur: Desa Bantarkaret dan Desa Pangkal Jaya 3. Sebelah selatan: Desa Cisarua dan Desa Malasari 4. Sebelah Barat: Desa Malasari

Adapun orbitasi atau jarak tempuh dengan pusat pemerintahan adalah : a. Jarak dengan Ibukota kecamatan : 5 km.

b. Jarak dengan Ibukota Kabupaten : 67 km. c. Jarak dengan Ibukota Propinsi : 162 Km.

Kawasan administratif Desa Curugbitung telah berjalan sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada masa kolonial, wilayah Desa Curugbitung termasuk wilayah perkebunan. Luas lahan perkebunan Desa Curugbitung saat ini adalah 100,673 hektar dan berbentuk Hak Guna Usaha (HGU), yang merupakan peninggalan landreform pada tahun 1982. Oleh karenanya tahun tersebut dianggap sebagai tahun agraria bagi Desa Curugbitung.

Desa Curugbitung memiliki kawasan persawahan terluas di Kabupaten Bogor, yaitu seluas 163,23 hektar dan berada dekat dengan kawasan pegunungan Taman Halimun. Desa Curugbitung pernah menjadi desa percontohan sehingga menerima kunjungan kehormatan dari pihak Istana Negara pada tahun 1993 atas deretan prestasinya dalam bidang pertanian.

Terdapat wilayah di Desa Curugbitung yang pada saat penelitian dilaksanakan masyarakatnya masih memiliki karakteristik masyarakat desa, yaitu wilayah RT. 01 dan RT.02 di lingkungan RW.01. Hal ini diantaranya ditandai dengan sifat homogen masyarakat dalam hal mata pencaharian, agama, dan pendidikan. Mata pencaharian para laki-laki di wilayah Sibongkok dan Gunung Leutik pada umumnya adalah buruh tani, sedangkan perempuan umumnya tidak bekerja. Dalam hal agama, seluruh masyarakat di wilayah Sibongkok dan Gunung Leutik menganut

32

agama Islam. Pendidikan masyarakat Sibongkok dan Gunung Leutik masih rendah, dimana sebagian besar hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar.

Pemukiman warga di RT.01 dan RT.02, RW.01, Desa Curugbitung masih belum padat dan menyatu dengan sawah, ladang, dan pepohonan. Saat penelitian dilakukan belum ada akses jalan beraspal. Moda transportasi yang dapat melalui jalan-jalan di wilayah ini hanya kendaraan roda dua. Jarak antara batas wilayah RT.01 dan RT.02 dengan RT. 03, RW. 01 ke jalan beraspal sekitar 300 meter.

Gambaran Umum Responden Penelitian

Karakteristik Individu

Karakteristik individu adalah bagian dari pribadi yang melekat pada diri seseorang (Damihartini dan Jahi 2005). Secara lebih spesifik, Desmita (2011) mendefinisikan karakteristik individu sebagai keseluruhan kelakuan dan kemampuan yang ada pada individu sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungannya. Karakteristik individu merupakan salah satu faktor penting yang perlu diketahui untuk memahami kecenderungan perilaku seseorang atau masyarakat dalam kehidupannya (Yuliani et al. 2011).

Karakteristik individu responden yang dilihat dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jenis pekerjaan kepala keluarga, dan pendapatan rumah tangga. Secara umum, gambaran karakteristik individu responden menunjukkan adanya homogenitas responden dalam tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pendapatan. Homogenitas ini merupakan salah satu karakteristik masyarakat pedesaan menurut Roucek dan Warren (1963).

Tabel 3 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kategori usia

Kategori usia (tahun) Jumlah

n %

20-30 34 33

31-45 49 47

46-60 21 20

Total 104 100

Responden penelitian adalah ibu rumah tangga berusia 20 tahun ke aatas, merupakan pemirsa TV, dan telah memiliki anak. Menurut Pikunas dalam Yuliana

et al. (2008), umur dewasa manusia berdasarkan fisiologi dan psikomotorik dikelompokkan menjadi dewasa awal (20-30 tahun), dewasa pertengahan (31-45 tahun), dan dewasa akhir (46-60 tahun). Sebagian besar responden merupakan ibu rumah tangga dengan kategori dewasa tengah (Tabel 3). Menurut Pikunas dalam

Yuliana et al. (2008), manusia pada rentang umur dewasa tengah biasanya memiliki kondisi ekonomi mapan dan stabil, konsentrasi pada status pekerjaan, dan bertanggung jawab. Ciri-ciri tersebut tidak sesuai dengan kondisi responden yang memiliki jenis pekerjaan cenderung homogen, dimana sebagian besar tidak bekerja.

Sebagaimana informasi awal dari aparat Desa Curugbitung, tingkat pendidikan masyarakat di wilayah penelitian masih tergolong rendah. Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh responden (95%) berpendidikan rendah, dengan

proporsi 54 persen tamat SD/sederajat dan 41 persen lainnya tidak tamat SD/sederajat atau tidak sekolah. Hanya 5 persen responden yang menamatkan jenjang pendidikan SMP/sederajat, sedangkan yang lainnya sempat mengenyam pendidikan SMP, tetapi tidak tamat (Tabel 4).

Tabel 4 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan Jumlah

n %

Tamat SMP 5 5

Tamat SD 58 56

Tidak Tamat SD/Tidak Sekolah 41 39

Total 104 100

Tabel 5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan

Jenis pekerjaan Jumlah

n % Petani 2 2 Buruh 4 4 Wiraswasta 6 6 Tidak bekerja 92 88 Total 104 100

Homogenitas responden juga tampak dalam hal pekerjaan, dimana mayoritas responden (88 persen) adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja (Tabel 5). Sebanyak 2 persen responden yang merupakan petani dan menggarap lahan kecil yang dimiliki, 4 persen responden turut membantu suami dengan menjadi buruh tani. Sementara responden lainnya (6%) berwiraswasta, yaitu dengan membuka toko kebutuhan sehari-hari, atau berdagang makanan dan jajanan anak-anak. Tabel 6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan kepala

keluarga

Jenis pekerjaan Jumlah

n % Petani 6 6 Buruh 75 72 Wiraswasta 22 21 Pegawai swasta 1 1 Total 104 100

Sebaran pekerjaan responden dan kepala dapat memberi gambaran pendapatan rumah tangga responden. Hampir seluruh responden (92%) memiliki pendapatan rumah tangga dibawa Upah Minimum (UM) Kabupaten Bogor. Hanya 8 persen responden yang memiliki pendapatan di atas UM Kabupaten Bogor tahun

34

2015, yaitu di atas Rp 2,59 juta (Tabel 7). Rumah tangga yang memiliki penghasilan di atas Rp 2,59 juta rupiah sebagian besar adalah yang kepala rumah tangganya bermatapencaharian sebagai wiraswasta atau pedagang.

Tabel 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga

Kategori pendapatan Jumlah

n % Tinggi 8 8 Sedang 17 16 Rendah 79 76 Total 104 100 Tingkat Kosmopolitan

Kosmopolitan adalah keterbukaan seseorang terhadap informasi dari luar. Dalam penelitian ini, tingkat kosmopolitan dilihat untuk mengetahui sumber-sumber informasi tentang makanan olahan pabrik yang mungkin dimiliki ibu rumah tangga di pedesaan selain TV. Tingkat kosmopolitan responden dilihat dari keterdedahan responden terhadap kota, tempat perbelanjaan, dan media massa.

Letak wilayah Sibongkok dan Gunungleutik, Desa Curugbitung yang cukup jauh dari jalan beraspal dan jauh dari perkotaan tampak memengaruhi mobilitas masyarakat. Sebagaimana terlihat pada Gambar 4, sebagian besar responden (79%) tidak pernah bepergian ke kota ataupun luar kota selama satu tahun terakhir. Hanya 2 persen responden yang pernah bepergian ke kota dengan taraf sering (>5 kali dalam satu tahun), 1 persen dengan taraf jarang (3-5 kali dalam satu tahun), sedangkan yang lainnya dalam taraf sangat jarang (1-2 kali dalam satu tahun terakhir). Motif salah satu ibu rumah tangga yang sering ke kota adalah untuk tujuan berobat, sedang yang lainnya adalah untuk hiburan karena jenuh tinggal jauh dari keluarga. Ibu rumah tangga yang biasa bepergian ke kota untuk hiburan adalah pendatang yang saat penelitian dilakukan baru tinggal di Desa Curug Bitung selama tiga tahun.

Gambar 4 Frekuensi responden berkunjung ke kota

Wilayah kota yang pernah dikunjungi oleh hampir seluruh responden adalah Kota Bogor. Tujuan kunjungan pada umumnya adalah mengunjungi keluarga atau saudara. Hanya 2% responden yang dalam satu tahun terakhir pernah berkunjung

2 1 18 79 0 20 40 60 80 100 >5 kali/tahun 3-5 kali/tahun 1-2 kali/tahun < 1x/tahun Jumlah responden (%)

ke dua kota, yaitu kota Bogor dan Jakarta atau Banten. Adapun tujuan ke Jakarta adalah mengantar adik responden mencari kerja di Jakarta, sedangkan tujuan ke Banten adalah mengunjungi mertua.

Indikator keterdedahan terhadap tempat perbelanjaan dilihat dari skor terhadap jenis tempat perbelanjaan yang pernah dikunjungi responden dan frekuensi kunjungan responden ke masing-masing tempat belanja di luar wilayah tempat tinggal responden dalam satu bulan terakhir.

Gambar 5 Tempat perbelanjaan responden

Sebagaimana terlihat pada Gambar 5, sebagian besar responden (53%) hanya pernah berbelanja ke pasar tradisional. Sebanyak 27 persen responden pernah berbelanja ke pasar tradisional dan minimarket dan hanya 1 persen responden yang pernah berbelanja ke pasar tradisional, minimarket, supermarket dan mall. Sedangkan selebihnya (19%) tidak pernah berbelanja ke luar wilayahnya.

Pasar tradisional yang dikunjungi responden adalah Pasar Nanggung atau Pasar Cibeber yang berjarak sekitar 2 kilometer dari wilayah tempat tinggal responden. Pasar Cibeber buka hanya dua hari dalam sepekan, yaitu pada hari Selasa dan Sabtu. Adapun jam beroperasinya kedua pasar tersebut dari pukul 05.00

– 17.00 WIB. Minimarket terdekat dari wilayah responden terletak sekitar 300 meter dari lokasi Pasar Nanggung. Sementara supermarket dan mall yang dikunjungi oleh 1 persen responden terletak di kota Bogor. Meskipun sebagian besar responden (76%) berbelanja ke pasar tradisional, hanya responden pemilik warung (6%) yang berbelanja ke pasar tradisional dalam taraf sangat sering (Gambar 6). Minimarket adalah tempat perbelanjaan kedua terbanyak dikunjungi setelah pasar tradisional. Dari 26 persen responden yang pernah berbelanja ke minimarket, hanya 1 persen yang berkunjung dalam taraf sangat sering atau lebih dari empat kali dalam satu bulan. Belanja ke minimarket dilakukan responden untuk membeli kebutuhan bayi, seperti susu formula. Adapun kunjungan ke supermarket dan mall tidak pernah dilakukan oleh hampir seluruh responden (99%). Responden yang berkunjung ke supermarket dan mall (1%) diketahui merupakan pendatang dari Jawa Timur yang melakukannya dengan tujuan mencari hiburan.

27%

1% 19%

36

Gambar 6 Frekuensi responden berkunjung ke tempat perbelanjaan

Indikator keterdedahan terhadap media dilihat dari jumlah media yang dikonsumsi oleh responden. Tabel 8 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden (99%) mengonsumsi hanya satu media, yaitu televisi. Radio sudah tidak didengar lagi, sedangkan media cetak seperti koran dan tabloid belum menjadi konsumsi masyarakat. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya penjual media cetak di pasar tradisional terdekat, yang merupakan pasar kecamatan. Sedangkan internet hanya dikonsumsi oleh satu responden yang merupakan pendatang dari Jawa Timur dan baru tiga tahun tinggal di lokasi penelitian.

Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan konsumsi media

Jenis media Jumlah

n %

TV 103 99

TV dan internet 1 1

Jumlah 104 100

Jenis tontonan responden relatif sama. Waktu yang digunakan oleh seluruh responden untuk menonton televisi adalah pukul 19.00 hingga pukul 21.00. Tayangan yang ditonton pada waktu tersebut sama, yaitu sebuah sinetron lokal baru yang tayang di salah satu stasiun TV swasta. Adapula beberapa responden yang juga menonton pada pagi, siang, dan atau sore hari. Jenis tayangan selain sinetron yang ditonton antara lain tayangan berita dan demo masak. Selisih total skor tertinggi dan terendah untuk tingkat kosmopolitan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tingkat kosmopolitan rendah, sedang, dan tinggi.

Tabel 9 memperlihatkan bahwa hampir seluruh ibu rumah tangga responden penelitian memiliki tingkat kosmopolitan rendah (99%), sedangkan 1 persen responden lainnya memiliki tingkat kosmopolitan sedang. Tingkat kosmopolitan responden yang rendah dikarenakan sebagian besar responden tidak pernah bepergian ke kota, jarang ke pasar tradisional, tidak pernah ke minimarket, dan hampir seluruh responden hanya memiliki televisi sebagai media informasi. Rendahnya tingkat kosmopolitan responden secara umum diantaranya

6 1 1 0 11 7 0 1 44 10 0 0 15 10 0 0 24 72 99 99 0 20 40 60 80 100 Pasar Tradisional

Minimarket Supermarket Mall

Ju m lah re sp o n d e n (% )

Jenis tempat perbelanjaan

Sangat sering Sering Jarang Sangat jarang Tidak pernah

dilatarbelakangi oleh keterbatasan kemampuan ekonomi yang membatasi mobilitas responden. Selain itu, keberadaan kerabat responden yang pada umumnya bermukim di desa yang sama atau desa tetangga, meminimalisir alasan responden untuk keluar dari desa.

Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kosmopolitan

Tingkat kosmopolitan Jumlah

n %

Sedang 1 1

Rendah 103 99

Total 104 100

Pengalaman Konsumsi Makanan Olahan Pabrik

Makanan pokok utama masyarakat Desa Curugbitung adalah nasi. Meski bentangan sawah luas terdapat di wilayah Sibongkok dan Gunungleutik, hanya rumah tangga yang memiliki sawah saja yang mengonsumsi nasi dari padi hasil panen sendiri, jika masa panen tiba. Pada umumnya responden memperoleh beras dengan membeli di warung atau pasar terdekat. Sebagai makanan pendamping nasi, para ibu rumah tangga mengolah atau memasak bahan pangan segar yang diperoleh dari warung terdekat atau tukang sayur keliling. Selain bahan pangan segar atau alami, responden juga mengonsumsi beberapa jenis makanan olahan pabrik.

Pengalaman konsumsi dalam penelitian ini dilihat dari frekuensi konsumsi rumah tangga responden terhadap makanan olahan pabrik. Dengan memisahkan minuman dari makanan, makanan olahan pabrik dikelompokkan menjadi enam, yaitu: 1) es krim, 2) makanan ringan, 3) makanan olahan daging/ikan, 4) makanan pokok alternatif, 5) bumbu penyedap, dan 6) bumbu racikan, termasuk tepung bumbu. Sebagaimana terlihat pada Tabel 10, frekuensi konsumsi makanan olahan pabrik pada sebagian besar responden adalah sedang dan tinggi. Hanya sebagian kecil responden (12%) yang frekuensi konsumsinya rendah. Hasil tersebut membuktikan makanan olahan pabrik telah menjadi konsumsi rumah tangga pedesaan.

Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi konsumsi makanan olahan pabrik

Frekuensi konsumsi Jumlah

n %

Tinggi 42 40

Sedang 50 48

Rendah 12 12

Total 104 100

Frekuensi konsumsi makanan olahan pabrik untuk setiap jenis makanan berbeda-beda. Gambar 7 memperlihatkan bahwa makanan olahan pabrik yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat di wilayah penelitian adalah kategori bumbu penyedap masakan, dimana hampir seluruh rumah tangga responden (89%)

38

mengonsumsinya dalam taraf sering. Merek bumbu penyedap yang dipilih oleh responden adalah yang terdapat di iklan televisi dan dijual di warung terdekat.

Gambar 7 Frekuensi konsumsi responden terhadap makanan olahan pabrik per kategori makanan

Beberapa responden menyatakan lebih menyenangi bumbu penyedap yang mengandung MSG karena rasa asinnya dianggap lebih terasa. Sedangkan responden yang memiliki anak usia bayi dan balita memilih menggunakan penyedap non MSG. Pembedaan penggunaan ini dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari Posyandu dan atau mahasiswa yang pernah kuliah kerja praktek di daerah tersebut.

Kategori makanan olahan pabrik selanjutnya yang terbanyak dikonsumsi adalah mi instan, dimana hampir 50 persen rumah tangga mengonsumsinya dalam taraf sering (Gambar 7). Jenis makanan selain mi instan untuk kategori makanan pokok alternatif, seperti bubur instan dan sereal tidak pernah dikonsumsi. Alasannya, makanan tersebut tidak tersedia di warung terdekat. Selain itu untuk bubur, responden lebih menyukai rasa bubur nasi keliling dibandingkan yang instan.

Responden yang rumah tangganya hampir setiap hari atau sering mengonsumsi mi instan menyatakan alasan mi instan dikonsumsi adalah karena praktis cara mengolahnya dan enak rasanya. Namun demikian, kandungan karbohidrat dalam mi instan tidak serta merta menggantikan kedudukan nasi sebagai makanan pokok. Meskipun beberapa ibu rumah tangga menyatakan bahwa anggota keluarganya tidak makan nasi lagi jika telah makan mi instan, namun mereka tidak ingin mengganti nasi sepenuhnya dengan mi instan. Mi instan hanya untuk makanan selingan atau variasi makanan. Beberapa responden menyatakan bahwa mereka tetap harus mengonsumsi nasi meskipun telah mengonsumsi mi instan. Seluruh responden dalam penelitian juga menyatakan tidak ingin mengganti nasi dengan makanan pokok alternatif olahan pabrik karena nasi dianggap lebih mengenyangkan, sehat, dan murah.

Responden yang dalam rumah tangganya jarang mengonsumsi mi instan (1-3 kali sepekan), menyatakan tidak menyukai mi instan karena memiliki pengalaman terkena sakit maag setelah mengonsumsinya. Adapula yang jarang mengonsumsi mi instan karena disarankan oleh dokter untuk mengurangi konsumsi mi instan atau oleh bidan, karena membahayakan kehamilannya. Setelah mengetahui dan atau mengalami dampak buruk bagi kesehatan setelah mengonsumsi mi instan,

4 26 7 49 89 8 74 66 64 39 9 33 22 8 29 12 2 59 0 20 40 60 80 100 Es krim Makanan ringan Makanan olahan daging/ikan Mi instan Bumbu penyedap Bumbu racikan & tepung bumbu Ju m lah re sp o n d e n (% )

Jenis makanan olahan pabrik

Sering Jarang Tidak pernah

responden mengurangi dan bahkan tidak mengonsumsi lagi mi instan. Mi instan hanya dimasak untuk anak-anak mereka, karena anak-anak menyukainya dan keinginan anak-anak sulit dibendung. Hal ini serupa dengan temuan Azhari et al.

(2013) bahwa preferensi makanan yang dikonsumsi atau dimasak oleh ibu rumah tangga dipengaruhi oleh keinginan anggota keluarga yang lain.

Makanan ringan, es krim, dan makanan olahan daging atau ikan dikonsumsi oleh sebagian besar rumah tangga (66%, 74%, dan 64%) dalam taraf jarang (Gambar 7). Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan ekonomi. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi diantaranya keripik, biskuit, dan wafer. Ibu rumah tangga yang sering mengonsumsi makanan ringan dilandasi hobi ngemil dan menyukai rasa makanan ringan tersebut. Adapun es krim yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat adalah yang dijual di warung terdekat atau penjual es keliling. Hanya beberapa ibu rumah tangga yang membeli es krim dari minimarket. Sedangkan makanan kategori olahan daging atau ikan yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah sosis siap santap. Naget dan sarden hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil rumah tangga saja.

Bumbu racikan dan tepung bumbu adalah kategori makanan olahan yang tidak pernah dikonsumsi oleh mayoritas rumah tangga (59%). Alasannya, para ibu rumah tangga tersebut lebih menyukai rasa masakan yang diolah dari bumbu alami racikan sendiri. Hanya sebagian kecil ibu rumah tangga yang mengonsumsi tepung bumbu atau bumbu olahan instan dalam taraf sering (8%), karena menyatakan tidak pandai memasak. Ibu rumah tangga yang menyatakan tidak pandai memasak umumnya merupakan ibu-ibu berusia 20-30 tahun (dewasa awal).

Berdasarkan hasil tersebut di atas, jenis makanan olahan pabrik yang paling banyak dikonsumsi responden dalam taraf sering berturut-turut adalah bumbu penyedap dan mi instan. Hal yang menjadi pertimbangan responden dalam memilih makanan olahan pabrik untuk dikonsumsi adalah: 1) ketersediaan di tempat perbelanjaan terdekat, 2) harga, 3) rasa, dan 4) manfaat yang dirasakan.

Gambaran Makanan Olahan Pabrik dalam Iklan Televisi

Berdasarkan paparan Bryant dan Zillmann (2002) tentang tahapan metode analisis kultivasi, penelitian ini diawali dengan tahap analisis sistem pesan dari iklan makanan olahan pabrik di televisi. Tahapan ini dilakukan dengan mengidentifikasi pola konten iklan TV untuk produk makanan olahan pabrik berupa citra, peranan, dan nilai-nilai yang paling sering berulang, stabil, dan menyeluruh, sehingga hampir tidak dapat dihindari oleh khalayak umum, khususnya pemirsa berat TV (heavy viewers). Penelitian ini melihat bagaimana iklan-iklan televisi menampilkan realitas makanan yang diiklankan melalui tanda-tanda yang terdapat dalam iklan. Untuk mempermudah analisis data, peneliti mengelompokkannya berdasarkan jenis klaim mengenai produk yang diiklankan.

Sebagaimana dikemukakan Cheng et al. (2009), terdapat empat jenis klaim yang biasa digunakan dalam iklan makanan. Penelitian ini menemukan tiga jenis klaim mengenai produk yang disampaikan melalui iklan meliputi: 1) klaim terkait konsumen (rasa, aroma, keprakisan, keekonomisan, dan kebaruan), 2) klaim gizi dan kesehatan secara umum, dan 3) klaim konten gizi spesifik dengan proporsi yang berbeda-beda.

40

Hasil analisis menunjukkan bahwa kategori iklan makanan yang paling banyak muncul pada waktu prime time adalah makanan ringan dan mi instan. Iklan-iklan tersebut menampilkan realitas makanan yang memiliki rasa dan aroma yang nikmat, cita rasa alami, praktis, ekonomis, aman dikonsumsi, berdampak positif bagi tubuh, serta menciptakan suasana kekeluargaan dan persahabatan. Realitas tersebut mencitrakan bahwa produk layak untuk dibeli. Pembahasan mengenai secara rinci dipaparkan pada subbab berikutnya.

Iklan makanan olahan pabrik pada jam prime time

Jam tayang yang dianggap sebagai waktu yang paling banyak digunakan oleh khalayak untuk menonton TV dikenal dengan istilah prime time. Jam prime time di Indonesia berkisar diantara pukul 18.00 – 22.00 (Hardiman 2006). Ibu rumah tangga di wilayah penelitian diketahui menghabiskan waktu untuk menonton setiap hari pada pukul 19.00-21.00 WIB untuk menonton sebuah sinetron lokal di salah satu stasiun TV swasta lokal. Oleh karena itu, peneliti melakukan observasi selama dua hari kerja dan salah satu hari di akhir pekan pada empat stasiun TV yang biasa ditonton oleh responden yaitu RCTI, SCTV, Trans 7 dan ANTV pada waktu prime time (18.00-22.00).

Berdasarkan observasi selama tiga hari tersebut, iklan makanan olahan pabrik ditayangkan sebanyak 75 kali pada jam 18.00-22.00 WIB. Jumlah jenis makanan yang diiklankan pada waktu tersebut adalah 33. Sebagaimana tampak pada Tabel 11, jenis makanan olahan pabrik yang paling banyak diiklankan pada waktu prime time secara berturut-turut adalah makanan ringan (44%) dan makanan pokok alternatif (33%). Adapun jenis makanan pokok alternatif yang paling banyak diiklankan adalah mi instan (60%).

Tabel 11 Jumlah dan Persentase iklan TV makanan olahan pabrik pada jam tayang

prime time Kategori Iklan Makanan Jam Tayang Total 18.00-20.00 20.00-22.00 n % n % n % Es krim 4 5 5 7 9 12 Makanan ringan 17 23 16 21 33 44 Makanan Olahan daging/ikan 0 0 0 0 0 0 Makanan pokok alternatif 20 27 5 7 25 33 Bumbu penyedap 0 0 3 4 3 4 Bumbu instan 1 1 4 5 5 7 Total Iklan 42 56 33 44 75 100

Klaim terkait konsumen dalam iklan TV makanan olahan pabrik

Iklan TV makanan olahan pabrik menyampaikan pesan-pesan berupa klaim-klaim tertentu tentang produknya untuk tujuan promosi. Menurut Cheng et al. (2009), salah satu kategori klaim yang biasa digunakan dalam promosi iklan makanan adalah klaim terkait konsumen. Klaim terkait konsumen disampaikan

dalam iklan TV, melalui teks yang terucap dan tertulis, konteks (lingkungan), dan bintang iklan. Klaim terkait konsumen yang diobservasi dalam penelitian ini antara lain rasa, aroma, kepraktisan, keekonomisan, dan kebaruan, serta kenikmatan dikonsumsi bersama.

Tabel 12 Persentase iklan TV makanan olahan pabrik berdasarkan klaim terkait konsumen Kategori klaim terkait konsumen Jumlah iklan (%) Es krim Makanan

Dokumen terkait