• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terpaan Iklan Televisi Dan Sikap Ibu Rumah Tangga Di Pedesaan Terhadap Makanan Olahan Pabrik (Kasus Sebuah Desa Di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Terpaan Iklan Televisi Dan Sikap Ibu Rumah Tangga Di Pedesaan Terhadap Makanan Olahan Pabrik (Kasus Sebuah Desa Di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor)."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

TERPAAN IKLAN TELEVISI DAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA

DI PEDESAAN TERHADAP MAKANAN OLAHAN PABRIK

(Kasus Sebuah Desa di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor)

AMALIA DIANAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Terpaan Iklan Televisi dan Sikap Ibu Rumah Tangga di Pedesaan terhadap Makanan Olahan Pabrik (Kasus Sebuah Desa di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Amalia Dianah

(3)

RINGKASAN

AMALIA DIANAH. Terpaan Iklan Televisi dan Sikap Ibu Rumah Tangga di Pedesaan terhadap Makanan Olahan Pabrik (Kasus Sebuah Desa di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh NURMALA KATRINA PANDJAITAN dan EKO SRI MULYANI.

Perkembangan teknologi pengolahan pangan telah melahirkan berbagai produk makanan olahan. Fenomena tersebut berhasil menggeser pilihan pangan masyarakat Indonesia dari makanan hasil olahan sendiri ke arah makanan olahan jadi. Peralihan pangan yang juga teridentifikasi pada masyarakat desa turut dipicu oleh maraknya iklan makanan di televisi. Iklan-iklan televisi makanan olahan pabrik dirancang untuk menanamkan gambaran positif tentang makanan yang diiklankan. Merambahnya produk makanan olahan pabrik di pedesaan dapat memperkuat efek persuasif dari iklan televisi. Selain berdampak menghambat program ketahanan pangan di desa, kebiasaan mengonsumsi makanan olahan pabrik dapat mengancam pelestarian makanan tradisional dan mengakibatkan pengeluaran tidak efektif dan efisien, khususnya pada rumah tangga di pedesaan. Mengingat televisi kini telah menjangkau daerah pedesaan, televisi berpeluang menjadi sumber informasi utama Ibu rumah tangga di pedesaan yang memiliki peran dominan dalam menyediakan makanan untuk keluarga.

Teori kultivasi berasumsi bahwa semakin banyak khalayak mendapatkan terpaan konten televisi tentang suatu objek yang konsisten, semakin sesuai persepsi dan sikapnya terhadap objek tersebut dengan gambaran yang ditampilkan televisi. Penelitian bertujuan untuk: 1) menganalisis tingkat terpaan iklan televisi makanan olahan pabrik pada ibu rumah tangga di pedesaan, 2) menganalisis sikap ibu rumah tangga di pedesaan terhadap makanan olahan pabrik, dan 3) menganalisis hubungan terpaan iklan televisi dengan sikap ibu rumah tangga di pedesaan terhadap makanan olahan pabrik.

Penelitian didesain sebagai penelitian suvei dengan pendekatan kuantitatif. Responden penelitian adalah 104 ibu rumah tangga yang memiliki anak, merupakan pemirsa televisi (TV), dan berusia 20-60 tahun di wilayah pedesaan Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Teknik sensus digunakan karena jumlah populasi yang kecil. Hubungan iklan TV makanan olahan pabrik dengan sikap ibu rumah tangga terhadap makanan olahan pabrik dianalisis melalui uji korelasi Spearman, menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 22 untuk Windows. Realita makanan olahan pabrik yang dibangun dalam iklan televisi makanan olahan pabrik diobservasi pada jam prime time di hari kerja dan akhir pekan.

(4)

olahan pabrik netral, dimana responden memiliki pengetahuan cukup baik tentang bahaya makanan olahan pabrik bagi kesehatan, perasaan yang cenderung positif terhadap kepraktisan, kenikmatan rasa, dan dampak bagi gaya hidup, namun netral terhadap kealamian, nilai gizi, dan keamanan pangan, serta keinginan konsumsi yang tinggi. Hasil analisis uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terpaan iklan TV makanan olahan pabrik memiliki hubungan searah yang sangat lemah dan tidak nyata dengan sikap responden terhadap makanan olahan pabrik. Atensi responden menonton iklan TV makanan olahan pabrik memiliki hubungan yang cukup kuat, nyata, dan searah, dengan sikap responden terhadap makanan olahan pabrik, tetapi sebaliknya dengan frekuensi menonton.

Hasil penelitian mengimplikasikan bahwa iklan TV bukan sumber informasi utama responden tentang makanan olahan pabrik. Responden juga memperoleh informasi dari program TV lain dan saluran-saluran interpersonal. Media penyuluhan audio visual tentang produk pangan lokal dan pilihan makanan tepat keluarga yang didesain secara menarik bagi ibu rumah tangga di pedesaan dan disampaikan dengan memanfaatkan saluran-saluran komunikasi interpersonal disarankan untuk membentuk sikap positif ibu rumah tangga di pedesaan terhadap

(5)

SUMMARY

AMALIA DIANAH. TV Food Advertisement and the Attitude of Rural Married Women towards Industrial Processed Food (Case of a Village in Nanggung District Bogor Regency). Supervised by NURMALA KATRINA PANDJAITAN and EKO SRI MULYANI.

Technology development in food processing has resulted in the growth of various processed food products. This phenomenon has succeeded in changing Indonesian people’s food choice from homemade food to industrial processed food. The change which was also identified in rural society, supported by the high amount of TV advertisements. TV food advertisements have been designed to cultivate positive portrait of the food advertised. The presence of industrial processed food in rural area could strengthen the persuasive effect of TV food advertisements. In addition to inhibiting food security program in the rural area, the habit of consuming industrial processed food may threaten the traditional food sustainability and lead to ineffective and inefficient expenditure, especially in rural households. As TV coverage existence in rural area, TV is potential to be the main source of information of rural married women who have a dominant role in providing food for family.

Cultivation theory assumes that the more TV exposure of certain consistent object, the more people perceive the object in the way television describes it. The purposes of the study were: 1) to analyse the exposure of TV advertisements about industrial processed food on married rural women, 2) to analyse the attitude of married rural women towards industrial processed food , and 3) to analyse relationship between the exposure of TV food advertisements and the attitude of married rural women towards industrial processed food

The study was designed as a survey research with a quantitative approach. The survey was conducted on 104 married rural women who have children, were TV audience, and aged 20-60 in the Curugbitung Village, Nanggung District, Bogor Regency. As the small number of population, census technique was undertaken. The relationship between the exposure of TV food advertisements and the attitude of married rural women towards industrial processed food were analysed by Spearman’s rank test through Statistical Package for Social Science (SPSS) 22 version for Windows. Images of Industrial processed food in the reality of TV food advertisements were observed at the prime time on a working day and weekend.

(6)

tendention to consume it. Spearman’s rank test analysis revealed that respondents’ exposure of TV food advertisement had a very weak insignificant positive relationship with the attitude towards industrial processed food.

Results implicated that TV food advertisements were not respondents’ main source of information of industrial processed food. Respondents also got the information from another TV programs and some interpersonal communication channels. Audio-visual media about local food and family food choice with attractive design for married rural women and delivered through interpersonal channel be necessary for agricultural extension to build positive attitude towards local food.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

AMALIA DIANAH

Terpaan Iklan Televisi dan Sikap Ibu Rumah Tangga di

Pedesaan terhadap Makanan Olahan Pabrik

(Kasus Sebuah Desa di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

(10)

Judul Tesis : Terpaan Iklan Televisi dan Sikap Ibu Rumah Tangga di Pedesaan terhadap Makanan Olahan Pabrik (Kasus Sebuah Desa di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor)

Nama : Amalia Dianah NIM : I352120171

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Nurmala K Pandjaitan, MS, DEA Ketua

Dr. Ir. Eko Sri Mulyani, MS. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS

a.n. Dekan Sekolah Pascasarjana Sekretaris Program Magister

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak April hingga Mei 2016 ini adalah media massa dan pilihan pangan, dengan judul “Terpaan Iklan Televisi dan Sikap Ibu Rumah Tangga di Pedesaan terhadap Makanan Olahan Pabrik (Kasus Sebuah Desa di Kecamatan

Nanggung Kabupaten Bogor)”.

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan MS, DEA dan Ibu Dr. Ir. Eko Sri Mulyani, MS selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku ketua program studi, atas arahan dan bimbingannya dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing, DEA dan Bapak Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS selaku penguji dari luar komisi dan program studi yang telah memberikan banyak saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada keluarga besar Bapak Didin Wahyudin, S.Pd.I dan Ibu Euis Sri Mulyati, S.Pd.I yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua serta keluarga besar Yayasan Al Umanaa, Sukabumi atas segala dukungan yang diberikan kepada penulis selama penyelesaian tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

Penelitian Terdahulu 5

Televisi dan Pengaruhnya terhadap Khalayak 8

Teori Kultivasi 9

Terpaan Iklan Televisi 14

Makanan Olahan 17

Sikap dan Perilaku 20

Kerangka Pemikiran 23

Hipotesis Penelitian 25

Definisi Operasional 25

METODE 28

Desain Penelitian 28

Lokasi dan Waktu Penelitian 28

Data dan Instrumentasi 29 Validitas dan Reliabilitas Instrumen 29 Pengumpulan Data 30 Analisis Data 30

HASIL DAN PEMBAHASAN 31

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 31

Gambaran Umum Responden Penelitian 32

Gambaran Makanan Olahan Pabrik dalam Iklan Televisi 39

Terpaan Iklan Televisi pada Ibu Rumah Tangga 44

Sikap Ibu Rumah Tangga terhadap Makanan Olahan Pabrik 49

Hubungan Terpaan Iklan Televisi dengan Sikap terhadap Makanan Olahan Pabrik 55

SIMPULAN 57

SARAN 57

DAFTAR PUSTAKA 59

(13)

DAFTAR TABEL

1 Hierarki model efek 15

2 Definisi operasional 25

3 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan kategori usia 32 4 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan 33 5 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan 33 6 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan kepala

keluarga 33

7 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan

Rumah tangga 34

8 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan keterdedahan terhadap media 36 9 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan tingkat kosmopolitan 37 10 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan frekuensi konsumsi

makanan olahan pabrik 37

11 Jumlah dan Persentase iklan TV makanan olahan pabrik pada jam tayang

prime time 40

12 Persentase iklan TV makanan olahan pabrik berdasarkan klaim terkait

konsumen 41

13 Persentase iklan TV makanan olahan pabrik dengan klaim kenikmatan

dikonsumsi bersama 42

14 Persentase iklan TV makanan olahan pabrik berdasarkan klaim gizi dan

kesehatan 43

15 Persentase iklan TV makanan olahan pabrik berdasarkan bintang iklan 44 16 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan atensi terhadap iklan TV

makanan olahan pabrik 47

17 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan tingkat terpaan iklan TV

makanan olahan pabrik 47

18 Tingkat terpaan iklan TV makanan olahan pabrik pada responden 48 19 Frekuensi konsumsi makanan olahan pabrik pada responden berdasarkan

tingkat terpaan iklan TV makanan olahan pabrik 48 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan komponen kognitif sikap

terhadap makanan olahan pabrik 49

21 Persentase responden berdasarkan pengetahuan (kognisi) tentang makanan

olahan pabrik 50

22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan komponen afektif sikap

terhadap makanan olahan pabrik 51

23 Nilai skor rata-rata pada setiap pernyataan tentang komponen afektif

makanan olahan pabrik 51

24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan komponen konatif sikap

terhadap makanan olahan pabrik 52

25 Nilai skor rata-rata pada setiap pertanyaan tentang komponen konatif

makanan olahan pabrik 53

26 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sikap terhadap makanan

olahan pabrik 53

(14)

DAFTAR TABEL (lanjutan)

28 Jumlah dan persentase responden per kategori atensi menonton iklan TV berdasarkan sikap terhadap makanan olahan pabrik 55

29 Frekuensi responden berkunjung ke kota 55

30 Hubungan terpaan iklan TV dengan sikap responden terhadap makanan

olahan pabrik berdasarkan uji korelasi Spearman 56

DAFTAR GAMBAR

1 Hypodermic needle theory (teori jarum suntik) 9

2 Model konstruksi realitas untuk komunikasi massa 10

3 Kerangka pemikiran 34

4 Frekuensi responden berkunjung ke kota 35

5 Tempat perbelanjaan responden 35

6 Frekuensi responden berkunjung ke tempat perbelanjaan 36 7 Frekuensi konsumsi responden terhadap makanan olahan pabrik per

kategori makanan 38

8 Persentase responden berdasarkan frekuensi menonton iklan TV

makanan olahan pabrik 45

9 Persentase responden berdasarkan perilaku saat menonton iklan makanan

di TV 45

10 Ingatan responden terhadap unsur-unsur daya tarik iklan 47 11 Persentase responden berdasarkan ingatan terhadap unsur-unsur iklan

(15)
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia, sehingga ketahanan pangan penting untuk dicapai oleh setiap negara. Ketahanan pangan, sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 merupakan konsep pemenuhan pangan yang bermutu, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sebagai konsekuensi logis dari upaya pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat, diversifikasi atau penganekaragaman pangan perlu digalakkan, baik pada lingkup konsumsi, ketersediaan, produksi, keamanan, dan keberlanjutan pangan.

Program penganekaragaman pangan mendorong lahirnya berbagai teknologi inovasi pengolahan pangan. Melalui teknologi pengolahan pangan, penyediaan pangan baik makanan maupun minuman dapat dilakukan dengan lebih cepat dengan hasil yang lebih variatif. Fenomena ini telah berhasil menggeser pola makan masyarakat Indonesia, dari menyantap makanan yang dimasak di rumah ke arah makanan olahan jadi (Setyawati 2013). Hal serupa juga terlihat dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) selama tahun 2008-2011, dimana terjadi peningkatan pada konsumsi makanan jadi bersamaan dengan penurunan pada pengeluaran terhadap bahan makanan meliputi sayur-mayur, buah-buahan, dan umbi-umbian. Data tersebut menandakan bahwa masyarakat mulai meninggalkan pangan segar dan beralih ke pangan olahan.

Peralihan pilihan pangan kepada pangan olahan juga telah terjadi di pedesaan, meski tidak sebanyak di kota. Prof. Peter Timmer, seorang ekonom dari Havard University, menemukan masyarakat termiskin di pedesaan Indonesia sebagai salah satu kelompok yang paling banyak menikmati makanan olahan pabrik dalam penelitiannya pada tahun 2010 (Mubarok 2014). Mi instan disebut sebagai salah satu makanan olahan dengan proses teknologi tinggi yang sering dikonsumsi masyarakat termiskin di Indonesia. Mustamar et al. (2015) mengidentifikasi pergeseran pilihan makanan jajanan masyarakat desa dari makanan ringan tradisional ke makanan ringan kemasan produksi pabrik. Selain itu, produk-produk makanan olahan teridentifikasi telah merambah ke pedesaan (Darojah 2012).

(17)

2

Warren et al. (2008) mengidentifikasi lima daya tarik yang paling sering ditampilkan oleh iklan makanan di Televisi, antara lain: rasa atau aroma, perubahan suasana hati (mood), kandungan gizi, kebaruan, dan harga terjangkau. Sebagaimana analisis konten yang dilakukan Kean dan Prividera (2007), iklan makanan dirancang dengan menampilkan kesan kelezatan dan kenikmatan mengonsumsi produk serta klaim nutrisi atau manfaat kesehatan bagi konsumen. Peringatan terhadap dampak negatif dari mengonsumsi makanan olahan tidak dikemukakan dalam iklan makanan komersial di Televisi. Padahal, makanan-makanan yang diiklankan di Televisi adalah makanan olahan yang diproses dengan teknologi tinggi (pabrikasi). Kandungan bahan pangan buatan dalam produk-produk makanan olahan pabrik tersebut dapat berdampak buruk bagi kesehatan jika dikonsumsi terus menerus. Selain itu, sebagian besar makanan yang diiklankan di televisi Indonesia termasuk dalam kategori makanan tidak sehat, karena tinggi kadar gula dan kalori (Ali 2014). Hal ini serupa dengan hasil penelitian Dı´az-Ramírez et al. (2013) bahwa 67 persen makanan yang diiklankan di televisi Mexico adalah makanan tidak sehat, yaitu makanan tinggi kandungan lemak, gula, dan sodium.

Terpaan televisi tentang gambaran objek yang konsisten dan berulang-ulang dapat berpengaruh terhadap konsepsi penonton tentang objek tersebut. Kontribusi independen televisi pada konsepsi penonton terhadap realitas sosial merupakan kajian analisis kultivasi (Bryant dan Zillmann 2002). Peneliti kultivasi percaya bahwa semakin sering khalayak menonton televisi, persepsi dan sikap yang dimiliki terhadap objek yang dipotret media akan semakin serupa dengan citra/gambaran yang ditampilkan di televisi (Kean et al. 2012). Hal ini dibuktikan diantaranya oleh Russel dan Buhrau (2015) yang menemukan bahwa remaja yang termasuk kelompok heavy viewers memiliki lebih banyak kepercayaan positif dan lebih sedikit kepercayaan negatif tentang konsekuensi mengonsumsi makanan cepat saji dibandingkan dengan remaja dalam kelompok light viewers.

Iklan makanan di televisi juga ditemukan memengaruhi perilaku konsumsi. Sumarwan et al. (2012) menemukan peningkatan konsumsi makanan ringan pada anak-anak sejalan dengan peningkatan frekuensi tayang iklan makanan ringan di televisi. Terpaan konten media berupa program-program televisi yang berhubungan dengan makanan juga ditemukan berdampak pada meningkatnya konsumsi makanan-makanan manis pada khalayak (Bodenlos dan Wormuth 2013). Harris et al. (2009) mendapatkan bahwa anak-anak dan orang dewasa yang terpapar oleh iklan-iklan makanan mengonsumsi lebih banyak makanan dibandingkan dengan yang tidak terpapar.

San-Joaquin (2005) menemukan bahwa anak-anak yang termasuk heavy viewers memperoleh lebih banyak informasi tentang nilai gizi makanan dari sumber informasi interpersonal, yaitu orang tua. Peran orang tua sebagai penentu asupan anak-anak juga diidentifikasi oleh Valkenburg (2004). (Arsil et al. 2014) menemukan bahwa kebiasaan makan anak-anak dibentuk di dalam keluarga, dimana ibu rumah tangga di Indonesia umumnya memiliki peran dominan dalam menyediakan makanan untuk keluarga. Dengan demikian, persepsi dan sikap ibu rumah tangga tentang makanan yang diiklankan akan memengaruhi pilihan makanan keluarga.

(18)

termasuk pada makanan (Baron dan Byrne 2004). Tuu et al. (2008) mengidentifikasi adanya pengaruh positif sikap terhadap keinginan mengonsumsi ikan di Vietnam. Sikap terhadap produk daging olahan beku dalam penelitian Ahmadi et al. (2010) juga ditemukan memengaruhi niat pembelian ulang produk.

Mengingat televisi kini telah dimiliki oleh hampir setiap rumah dan menjangkau daerah pedesaan, keberadaan produk-produk makanan olahan di pedesaan berpeluang memperkuat efek persuasif dari iklan makanan di televisi. Selain berdampak menghambat program diversifikasi pangan dan menurunkan kualitas kesehatan, kebiasaan mengonsumsi makanan olahan pabrik akan mengancam pelestarian makanan tradisional dan mengakibatkan pengeluaran yang tidak efektif dan efisien, khususnya pada rumah tangga di pedesaan. Karakter masyarakat pedesaan yang umumnya memiliki tingkat pendidikan dan kosmopolitan rendah, menyebabkan televisi memiliki peran penting dalam sosialisasi informasi, termasuk tentang makanan. Terpaan iklan televisi makanan olahan pabrik akan turut memengaruhi sikap ibu rumah tangga di pedesaan terhadap makanan olahan pabrik. Sikap ibu rumah tangga di pedesaan terhadap makanan olahan pabrik akan memengaruhi keputusannya dalam menentukan pilihan makanan bagi rumah tangganya.

Perumusan Masalah

Pertanian desa merupakan basis terpenting dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Selain sebagai penghasil bahan pangan lokal bagi masyarakat perkotaan, pertanian desa diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Ironisnya, desa yang diharapkan menjadi penyedia pangan nasional, justru mengalami kekurangan pangan. Selain itu, tren peralihan pilihan makanan dari yang semula diolah sendiri di rumah ke makanan olahan jadi dan dari jajanan tradisional ke jajanan olahan pabrik terjadi di pedesaan, meskipun tidak sebanyak di perkotaan. Sebaliknya, peralihan konsumsi pangan dari beras ke mi instan ditemukan lebih banyak di pedesaan dibandingkan perkotaan. Meskipun diversifikasi pangan pokok dalam upaya mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras juga merupakan program pemerintah, peralihan pangan pokok yang diharapkan adalah kepada pangan berbahan baku lokal.

Fenomena peralihan pilihan pangan masyarakat desa dibarengi dengan semakin maraknya iklan makanan olahan pabrik di televisi. Apalagi, pada masyarakat pedesaan yang memiliki karakteristik homogen dan tingkat kosmopolitan rendah, televisi berpotensi menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat desa. Karakteristik televisi yang mampu menampilkan informasi secara audio dan visual memiliki efek persuasif yang lebih kuat terhadap pemirsanya dibandingkan media massa lainnya. Hal tersebut dimanfaatkan oleh produsen makanan olahan untuk menyampaikan klaim-klaim positif tentang produknya melalui iklan yang ditayangkan di sela-sela program-program kesayangan pemirsa televisi.

(19)

4

menanamkan persepsi tentang makanan olahan pabrik yang serupa dengan apa yang digambarkan dalam iklan televisi. Pada gilirannya, persepsi tersebut akan membentuk sikap yang positif terhadap makanan olahan pabrik. Sikap positif menunjukkan pengetahuan yang baik, perasaan yang positif, dan keinginan konsumsi yang tinggi terhadap makanan olahan pabrik. Padahal, sebagian besar makanan olahan pabrik yang diiklankan adalah makanan yang berisiko bagi kesehatan. Konsumsi makanan olahan pabrik secara terus menerus selain berisiko terhadap kesehatan masyarakat, juga mengancam kelestarian makanan tradisional dan menyebabkan pengeluaran yang tidak efektif dan efisien, khususnya bagi masyarakat pedesaan.

Ibu rumah tangga di pedesaan memiliki peran dominan dalam menyediakan makanan bagi keluarga. Aktifitas sehari-hari ibu rumah tangga di pedesaan yang banyak di rumah memungkinkannya untuk menonton televisi. Oleh karenanya, terpaan iklan makanan olahan pabrik dapat memengaruhi sikap ibu rumah tangga di pedesaan terhadap makanan olahan pabrik. Sikap ibu rumah tangga terhadap makanan olahan pabrik akan memengaruhi keputusan ibu rumah tangga dalam menentukan pilihan makanan dalam rumah tangganya. Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana terpaan iklan televisi makanan olahan pabrik pada ibu rumah tangga di pedesaan?

2. Bagaimana sikap ibu rumah tangga di pedesaan terhadap makanan olahan pabrik?

3. Bagaimana hubungan terpaan iklan televisi makanan olahan pabrik dengan sikap ibu rumah tangga di pedesaan terhadap makanan olahan pabrik?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis terpaan iklan televisi makanan olahan pabrik pada ibu rumah tangga di pedesaan.

2. Menganalisis sikap ibu rumah tangga di pedesaan terhadap makanan olahan pabrik.

3. Menganalisis hubungan terpaan iklan televisi makanan olahan pabrik dengan sikap ibu rumah tangga di pedesaan terhadap makanan olahan pabrik.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian “Terpaan Iklan Televisi dan Sikap Ibu Rumah Tangga di Pedesaan terhadap Makanan Olahan Pabrik (Kasus Sebuah Desa di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor” ini adalah:

1. Bagi pemerintah

(20)

2. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang peran media dalam mengonstruksi sikap masyarakat tentang makanan olahan pabrik.

3. Bagi akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya terkait topik persepsi, sikap, dan terpaan iklan televisi, khususnya dalam kaitannya dengan makanan olahan pabrik.

Ruang Lingkup Penelitian

Fokus kajian penelitian adalah ibu rumah tangga yang bermukim di wilayah pedesaan Desa Curug Bitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, yaitu yang tinggal di lingkungan RT.02 dan RT.02/RW.01.

TINJAUAN PUSTAKA

Bab tinjauan pustaka merupakan tinjauan literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. Tinjauan pustaka menjadi bahan dalam mengonstruksi kerangka pemikiran penelitian. Topik yang diuraikan dalam tinjauan pustaka adalah penelitian terdahulu, televisi dan pengaruhnya terhadap khalayak, teori kultivasi, iklan televisi makanan olahan pabrik, teori sikap dan perilaku.

Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu mengenai terpaan televisi, khususnya terkait efek kultivasi televisi pada persepsi dan sikap khalayak terhadap makanan, serta gambaran makanan dalam iklan televisi dipelajari untuk melihat posisi rencana penelitian dalam kajian ilmiah. Berdasarkan tinjauan tersebut, penelitian tentang efek kultivasi iklan televisi (TV) terhadap persepsi dan sikap khalayak terhadap makanan olahan pabrik belum banyak dikembangkan. Penelitian-penelitian terkait umumnya mengambil subyek anak-anak atau remaja. Ibu rumah tangga di pedesaan jarang dijadikan subyek penelitian, terutama di Indonesia. Selain itu, terpaan TV (TV exposure) umumnya diukur hanya dari lamanya menonton (frekuensi dan durasi), tanpa menyertakan indikator atensi.

(21)

6

30 hari terakhir responden makan di restoran cepat saji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan remaja tentang risiko mengonsumsi makanan cepat saji bervariasi, dipengaruhi oleh jumlah jam menonton TV. Remaja yang tergolong heavy viewers memiliki lebih sedikit kepercayaan negatif dan lebih banyak kepercayaan positif tentang konsekuensi mengonsumsi makanan cepat saji dibandingkan dengan remaja dari kelompok light viewers. Pengalaman langsung remaja dengan makanan cepat saji ditemukan memengaruhi hubungan menonton TV dengan persepsi terhadap makanan cepat saji. Semakin remaja memiliki pengalaman langsung dengan makanan cepat saji, semakin lemah hubungan antara menonton TV dan persepsi terhadap risiko makanan cepat saji, namun semakin kuat hubungan antara menonton TV dan persepsi positif terhadap makanan cepat saji.

Penelitian lainnya tentang efek terpaan iklan makanan dilakukan oleh Dı´az -Ramírez et al. (2013) dengan mengambil subyek penelitian ibu rumah tangga yang memiliki anak berusia 5-8 tahun. Penelitian diawali dengan merekam seluruh iklan makanan yang tayang di dua saluran TV paling terkenal selama dua pekan, pada waktu yang paling banyak digunakan untuk menonton TV yaitu Senin hingga Jumat pukul 17.00-22.00. Makanan-makanan yang diiklankan tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi makanan sehat dan tidak sehat. Data jenis makanan yang dikonsumsi oleh ibu dan anak serta lamanya ibu rumah tangga terpapar program-program TV dikumpulkan dengan metode recall melalui wawancara langsung. Hubungan antara frekuensi makanan diiklankan di TV dan konsumsi makanan tersebut oleh ibu rumah tangga dan anaknya dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 25 persen dari produk yang diiklankan berkaitan dengan makanan. Tingkat pendidikan ibu rumah tangga ditemukan berhubungan negatif dengan waktu menonton TV. Frekuensi terpaan iklan makanan di televisi ditemukan berhubungan positif dengan konsumsi makanan tersebut oleh ibu dan anak-anaknya. Sebanyak 25 persen dari makanan yang diiklankan dikonsumsi oleh anak sebelum berusia enam bulan. Artinya, pembelian produk makanan oleh ibu rumah tangga bukan berasal dari desakan anak. Adapun sehat atau tidaknya makanan yang diiklankan dan dikonsumsi oleh ibu dan anak tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan mingguan ibu. Dengan demikian, televisi, dalam hal ini iklan makanan memiliki pengaruh besar terhadap pilihan makanan ibu rumah tangga, baik bagi dirinya maupun anak-anaknya.

(22)

Hubungan pengalaman berkunjung ke negara-negara Timur Tengah atau yang mendapat pengaruh Timur Tengah dengan keinginan mahasiswa/i mencoba makanan khas Timur Tengah adalah: (1) secara umum, mahasiswa/i yang pernah berkunjung ke negara-negara Timur Tengah atau negara-negara yang mendapat pengaruh Timur Tengah memiliki keinginan lebih tinggi untuk mencicipi makanan khas Timur Tengah dibandingkan dengan yang tidak pernah; (2) Tidak ada perbedaan yang menonjol antara mahasiswa/i yang tergolong heavy viewers dan

light viewers dalam hal kesan yang dimiliki tentang kekerasan/permusuhan terhadap negara-negara Timur Tengah sebagaimana yang sering ditampilkan di TV; (3) Mahasiswa/i yang tergolong heavy viewers cenderung memiliki keinginan lebih tinggi untuk mencicipi makanan khas Timur Tengah, meski tidak terpaut jauh perbedaannya.

Kean et al. (2012) melakukan penelitian terhadap perempuan desa (Bangsa Amerika Afrika) usia 21-81 tahun di daerah pedesaan Amerika Serikat bagian tenggara. Terpaan media pada responden diukur dari jawaban responden tentang jumlah jam yang digunakan menonton televisi setiap pekan dan satu hari yang lalu. Peneliti juga menggali seberapa sering responden menonton berita televisi, membaca koran, dan majalah. Tingkat literasi media diukur dari orientasi responden terhadap media. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konten berita berhubungan negatif dengan konsumsi makanan tidak sehat/netral, yaitu: (1) semakin sering seseorang menonton berita TV, semakin banyak makanan tidak sehat/netral dan makanan cepat saji yang dikonsumsinya, dan (2) semakin sering seseorang membaca koran, semakin sedikit makanan tidak sehat/netral dan makanan cepat saji yang dikonsumsinya. Konten berita juga ditemukan tidak sepenuhnya berhubungan positif dengan konsumsi makanan sehat. Semakin sering seseorang menonton berita TV, semakin sering makanan sehat yang dikonsumsinya. Akan tetapi, semakin sering seseorang membaca majalah, semakin sedikit makanan sehat yang dikonsumsinya. Tingkat literasi media ditemukan berhububungan positif dengan konsumsi makanan sehat, dimana semakin tinggi tingkat literasi media seseorang, semakin banyak makanan sehat dan semakin sedikit makanan tidak sehat yang dikonsumsinya.

(23)

8

rutin; (4) minum alkohol biasa dilakukan dalam program TV untuk remaja; dan (5) minum alkohol diasosiasikan dengan peristiwa-peristiwa sosial dan perayaan.

San-Joaquin (2005) melakukan kajian berdasarkan analisis sekunder dari data survei pada anak-anak usia 8-13 tahun dari kalangan sosial ekonomi menengah ke bawah. Fokus analisis adalah pada penggunaan televisi pada anak-anak, terpaan iklan makanan di televisi, konsepsi tentang makanan dan gizi, preferensi dan sikap terhadap makanan dan gizi, serta sumber-sumber informasi makanan dan gizi. Hasil penelitian menunjukkan jenis sumber informasi anak-anak tentang gizi sama, baik pada anak-anak yang tergolong light viewers, moderate viewers, maupun heavy viewers. Akan tetapi, anak-anak yang merupakan light viewers dan heavy viewers

mendapatkan lebih banyak informasi tentang gizi dari rumah dibandingkan TV, sedangkan sumber informasi tentang gizi pada anak-anak dalam kategori moderate viewers didominasi oleh sekolah. Iklan restoran fast food lebih sering ditonton dibandingkan iklan makanan spesifik. Iklan makanan yang paling banyak disebutkan berturut-turut adalah iklan restoran makanan, susu, mi/pasta, daging kalengan, sayuran, hotdog. Hampir seluruh responden setuju bahwa makanan yang diiklankan di TV bergizi dan “enak untuk dimakan” atau lezat. Kepercayaan anak-anak bahwa makanan-makanan yang diiklankan tersebut bergizi lebih dikarenakan makanan-makanan tersebut pernah mereka jumpai di rumah dan di sekolah atau karena pernah diberitahu oleh orang tua/guru. Menurut San-Joaquin (2005), alasan lain yang turut memunculkan persepsi bahwa suatu makanan bergizi pada anak-anak adalah: bermanfaat bagi tubuh, rasanya lezat, mengandung beragam zat gizi/vitamin, diklaim dalam iklan dan oleh pengiklan. Adapun pilihan anak-anak terhadap makanan tertentu masih lebih didasarkan pertimbangan rasa dibandingkan nilai gizinya.

Televisi dan Pengaruhnya terhadap Khalayak

Televisi adalah media massa elektronik yang mampu menampilkan pesan dalam bentuk gambar, gerak, dan suara, sehingga pesan yang disampaikan tampak seperti realitas. Informasi audio visual tersebut mampu menahan banyak khalayak di depan TV selama berjam-jam. Televisi sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1930an telah berkembang, dari yang semula menayangkan program dalam jumlah terbatas dan hanya bisa disaksikan dalam bentuk siaran langsung, hingga mampu menayangkan banyak program secara bersamaan dan bisa disaksikan dalam bentuk siaran tunda (Hanson 2014). Selain itu, saat ini TV hampir dimiliki oleh setiap rumah, sehingga memungkinkan TV menjangkau khalayak luas yang sangat beragam. Oleh karena itu, penelitian-penelitian tentang televisi sebagai media massa terkait pengaruhnya terhadap khalayak terus menjadi objek yang menarik.

(24)

Gratification; (5) Agenda Setting; (6) Teori Skema; dan (7) Model Kapasitas Terbatas.

Efek Televisi (TV) pada khalayak dapat berupa efek langsung, efek kondisional, atau efek kumulatif (Harris 2004). Efek langsung terjadi secara cepat dan relatif sama di antara seluruh pemirsa TV. Efek kondisional adalah model efek, dimana media masih memiliki efek penting, namun hanya pada kondisi-kondisi tertentu dan untuk kelompok khalayak tertentu. Model efek kumulatif menekankan terpaan berulang terhadap stimuli media dan beranggapan bahwa tidak banyak efek yang dihasilkan dari terpaan tunggal.

Harris (2004) menggolongkan pengaruh TV yang dapat diukur menjadi empat, yaitu efek perilaku (behavioral effects), efek sikap (attitudinal effects), efek kognitif (cognitive effects), dan efek fisiologis (physiological effects). Efek perilaku terjadi ketika seseorang melakukan suatu hal setelah melihat seseorang dalam TV melakukannya. Efek sikap yaitu sikap yang terbentuk akibat menonton tayangan TV. Efek kognitif terjadi ketika TV mengubah apa yang diketahui atau dipikirkan oleh khalayak. Adapun efek fisiologis adalah perubahan fisik yang terjadi akibat terpaan terhadap tayangan TV.

Penelitian ini melihat efek sikap pada khalayak sebagai akibat dari terpaan kumulatif dari konten tertentu, sehingga teori kultivasi digunakan sebagai landasan teori penelitian.

Teori Kultivasi

Televisi secara bertahap, seiring dengan berjalannya waktu akan membentuk pandangan khalayak/pemirsanya terhadap dunia dan realita sosial kehidupan (Harris 2004). Asumsi teori kultivasi yang dikembangkan oleh George Gerbner dan rekan-rekannya ini salah satunya menekankan pada homogenisasi beragam persepsi masyarakat terhadap realitas sosial sehingga menjadi serupa/konvergen. Hal ini sejalan dengan teori jarum suntik (hypodermic needle), yang berangkat dari asumsi bahwa unsur-unsur komunikasi memiliki pengaruh kuat dalam komunikasi, sedangkan komunikan secara pasif menerima apa yang disampaikan oleh media (Gambar 1).

Sumber: Harris (2004)

Gambar 1 Hypodermic needle theory (teori jarum suntik)

Asumsi tersebut berawal dari analisa Gerbner et al. tentang karakteristik televisi dibandingkan media lainnya, yaitu menyajikan rangkaian pilihan yang relatif terbatas bagi beragam kepentingan dan masyarakat yang hampir tak terbatas (Bryant dan Zillmann 2002). Bahkan dengan perkembangan saluran-saluran TV kabel dan satelit yang melayani khalayak yang lebih sempit, kebanyakan program TV dirancang dengan kepentingan komersial untuk ditonton oleh khalayak yang luas dan heterogen dengan cara yang relatif tidak selektif. Khalayaknya merupakan kelompok yang memiliki kesempatan menonton pada waktu tertentu dalam suatu hari, pekan, dan musim. Dengan demikian, keputusan menonton lebih bergantung

(25)

10

kepada waktu dari pada program. Jumlah keragaman dan pilihan yang tersedia untuk ditonton saat sebagian besar khalayak memiliki kesempatan menonton, juga dibatasi oleh fakta bahwa program-program yang dirancang untuk khalayak luas yang sama tersebut cenderung serupa dalam pengemasan dan daya tariknya.

Secara prinsip teori kultivasi menyatakan bahwa semakin berat terpaan televisi pada khalayak, sikap yang terbentuk dan tertanam akan semakin konsisten dengan realitas imajiner yang diciptakan oleh televisi dibandingkan dengan realitas aktual. Penelitian kultivasi menekankan bahwa televisi sebagai media massa berfungsi sebagai agen sosialisasi dan menyelidiki apakah khalayak lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada realitas yang mereka lihat. Hipotesis umum yang digunakan dalam analisis kultivasi adalah bahwa khalayak yang lebih banyak hidup dalam dunia TV cenderung memandang dunia nyata sesuai dengan gambaran, nilai-nilai, potret, dan ideologi-ideologi yang muncul melalui layar televisi (Bryant dan Zillmann 2002).

Baran (2013) mengungkapkan lima asumsi yang mendasari analisis kultivasi, yaitu:

1. Televisi berbeda secara esensial dan fundamental dari media massa lain, yakni media yang mengombinasikan gambar dan suara serta dapat diakses tanpa mengeluarkan biaya;

2. Televisi adalah pusat budaya (central cultural arm), yang menyebarluaskan budaya masyarakat yang beragam, termasuk sekelompok masyarakat yang tidak pernah diceritakan sebelumnya. Pesan yang disebarluaskan tersebut membentuk realitas pada khalayak yang mengaksesnya.

3. Realitas yang ditanamkan oleh televisi merupakan asumsi dasar tentang kenyataan hidup.

4. Fungsi utama budaya televisi adalah untuk menstabilkan pola-pola sosial. 5. Kontribusi independen televisi yang dapat diamati dan terukur relatif kecil.

Sumber: Hamad (2005)

Gambar 2 Model konstruksi realitas untuk komunikasi massa

Komunikasi yang dilakukan dalam rangka menciptakan ‘realitas’ kenyataan lain’ atau ‘kenyataan kedua’ sebagai ‘pengganti’ dari realitas atau kenyataan

(26)

Proses konstruksi realitas dipengaruhi oleh faktor internal pelaku konstruksi (kepentingan idealis, ideologis, dsb) dan faktor eksternal (khalayak sasaran sebagai pasar, sponsor, dsb). Hasil dari proses ini adalah realitas yang dikonstruksikan atau wacana (discourse) yang ditampilkan melalui pesan yang ditampilkan melalui media massa. Pesan tersebut kemudian menciptakan makna, opini, citra, dan motif pada khalayaknya sebagaimana terlihat pada Gambar 2.

Tahapan metode analisis kultivasi yang digunakan Gerbner et al. dalam

Bryant dan Zillmann (2002) adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis sistem pesan dengan mengidentifikasi pola konten TV yang paling sering berulang, stabil, dan menyeluruh, yaitu citra, peranan, dan nilai-nilai yang memengaruhi sebagian besar jenis program dan hampir tak dapat dihindari oleh khalayak umum, khususnya heavy viewers;

2. Memformulasikan pertanyaan-pertanyaan tentang ‘pelajaran’ potensial yang dapat diperoleh dari menonton TV bagi konsepsi masyarakat tentang realitas sosial. Pertanyaan dapat berbentuk semi-proyektif, pilihan tertutup, format

forced-error, atau pertanyaan-pertanyaan sederhana untuk mengukur kepercayaan, pendapat, sikap, atau perilaku;

3. Meminta responden menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menggunakan teknik standar metode survey;

4. Mengukur kegiatan menonton TV responden dengan menanyakan intensitas rata-rata responden menonton TV dalam sehari, untuk selanjutnya menggolongkan responden menjadi pemirsa TV kelas ‘ringan’, ‘menengah’,

atau ‘berat’.

Analisis kultivasi yang diusung Gerbner et al. berupaya memahami terpaan yang masif, dalam jangka waktu lama, dan serupa pada khalayak luas yang heterogen. Hal yang ditekankan adalah imersi total dan penyebaran kesamaan pandangan yang stabil. Dalam proses kultivasi tersebut, baik pesan maupun khalayak tidak memiliki kekuatan.

Gerbner (1998) menegaskan bahwa menguji kultivasi pada basis preferensi program, terpaan singkat, atau klaim-klaim terhadap perubahan atau keberagaman program dapat melemahkan beberapa efek media namun tidak mencela asumsi-asumsi fundamental dari teori kultivasi. Hanya terpaan yang konsisten, berlangsung lama, dan berulang dari pola umum sebagian seperti casting, penggolongan sosial,

dan “nasib” dari golongan sosial yang berbeda, dinilai dapat menanamkan citra tentang citra/gambaran kehidupan dan masyarakat yang stabil dan tersebar luas.

Teori kultivasi yang dipaparkan Gerbner et al ini menuai beberapa kritik. Kritik terhadap penelitian-penelitian kultivasi terfokus pada tiga permasalahan (Rubin et al. 1988), antara lain: (1) Hubungan antara terpaan TV dan kultivasi dijelaskan oleh variabel-variabel antara sehingga tak beralasan; (2) metodologi kultivasi meragukan dan temuan-temuannya dapat dijelaskan dengan bias respon; (3) Dukungan konseptual perspektif kultivasi tidak akurat.

(27)

12

Berdasarkan tinjauan terhadap teori kultivasi di atas, efek kultivasi perlu mempertimbangkan variabel-variabel lain yang menengahinya. Selain itu, mengingat keberagaman konten televisi, efek kultivasi terjadi karena terpaan konten acara TV tertentu atau spesifik. Oleh karenanya, penelitian ini membatasi konten TV pada iklan makanan olahan pabrik untuk melihat efek kultivasi berupa sikap ibu rumah tangga terhadap makanan olahan pabrik.

Efek Kultivasi Iklan Makanan Olahan di Televisi

Pola sistem pesan yang sama dari iklan makanan olahan di televisi yang ditayangkan secara berulang akan memberikan efek kultivasi terhadap pemirsanya. Russel dan Buhrau (2015) mengidentifikasi maraknya iklan restoran cepat saji di televisi (TV). Selain dalam iklan, kegiatan konsumsi makanan cepat saji yang disediakan di restoran cepat saji banyak muncul di program-program TV favorit anak muda. Adegan-adegan tersebut pada umumnya menampilkan hal-hal positif dan jarang menampilkan dampak negatif dari mengonsumsi makanan cepat saji. Efek kognitif sebagai akibat dari terpaan kumulatif delapan kategori program TV anak muda dalam penelitian Russel dan Buhrau (2015) mendukung teori kultivasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang tergolong heavy viewers

memiliki lebih sedikit kepercayaan negatif dan lebih banyak kepercayaan positif tentang konsekuensi mengonsumsi makanan yang ditawarkan restoran cepat saji.

Meskipun menonton TV ditemukan berhubungan dengan persepsi terhadap risiko mengonsumsi makanan cepat saji, hubungan tersebut ditemukan melemah dengan semakin banyaknya pengalaman langsung khalayak mengonsumsi makanan cepat saji Russel dan Buhrau (2015). Hal ini membuktikan pernyataan Gerbner (1998) tentang peran pengalaman langsung terhadap efek kultivasi, ketika realita imajiner yang ditampilkan televisi terjadi pula dalam realitas kehidupan khalayak.

Fenomena ini dikenal dengan istilah “resonansi”, dimana realitas kehidupan memberikan “dosis ganda” terhadap pesan yang disampaikan televisi dan

memperkuat efek kultivasi.

Greenberg et al. (2009) menemukan bahwa makanan berisiko (berminyak, mengandung lemak jenuh dan pemanis buatan) dan minuman beralkohol ditampilkan lebih banyak pada program anak-anak dan remaja dibandingkan program orang dewasa. Dampak negatif secara luas dari perilaku makan dan minum tidak muncul dalam serial-serial TV tersebut. Kesan yang ditanamkan tentang makanan dari serial-serial tersebut, adalah: (1) mengonsumsi makanan berisiko dan minuman beralkohol adalah aktivitas yang lumrah, (2) makanan berisiko biasanya dikonsumsi diluar jadwal makan rutin/utama. Menurut Busse (2016) iklan-iklan makanan banyak ditujukan kepada anak-anak sehingga diselipkan diantara program TV untuk anak-anak. Kategori makanan yang paling banyak muncul di antara program TV anak-anak adalah makanan manis dan minuman non-alkohol.

(28)

kategori heavy viewers maupun ringan light viewers mendapatkan lebih banyak informasi tentang nilai gizi makanan-makanan tersebut dari rumah (orang tua), sedangkan anak-anak yang tergolong moderate viewers mendapatkan lebih banyak informasi nilai gizi dari sekolah.

Perbedaan dalam efek kultivasi terjadi karena efek kultivasi tergantung pada atau merupakan manifestasi dari sejauh mana gambaran imajiner televisi mendominasi sumber informasi khalayak (Gerbner 1998). Dinyatakan pula bahwa menonton didampingi oleh orang tua dan orientasi terhadap TV dapat meningkatkan atau menurunkan efek kultivasi terhadap remaja dan anak-anak. Selain itu, perbedaan efek kultivasi juga dapat terjadi antar kelompok khalayak dari beragam karakeristik budaya, sosial, dan politik. Perbedaan efek kultivasi pada

heavy viewers dari masing-masing kelompok yang berbeda dikenal sebagai

fenomena “mainstreaming”.

Penelitian tentang iklan makanan umumnya dilakukan untuk melihat efeknya terhadap anak-anak dan dilakukan pada saluran TV khusus anak. Sedangkan di Indonesia, saluran TV khusus anak belum banyak dikembangkan, sehingga program anak-anak berada di sela-sela program TV untuk dewasa. Hal ini memungkinkan program tersebut tidak hanya disaksikan oleh anak. Selain itu, rumah tangga di Indonesia, khususnya masyarakat menengah ke bawah di Indonesia, umumnya hanya memiliki satu TV, sehingga kegiatan menonton TV dilakukan bersama-sama. Kegiatan mendampingi anak menonton TV juga diterapkan pada beberapa keluarga (San-Joaquin 2005). Oleh karena itu, iklan makanan di layar televisi Indonesia banyak yang mengambil latar kekeluargaan.

Ali (2014) melakukan analisis konten TV di 4 stasiun TV swasta di Indonesia pada hari Sabtu dan Minggu. Hasil analisis menunjukkan bahwa 37 dari 120 jam program televisi adalah iklan dengan jumlah 6898 iklan. Iklan yang paling banyak ditayangkan adalah iklan produk kebersihan dan kecantikan (toiletries), baik untuk anak maupun dewasa. Iklan makanan berada di urutan kedua atau ketiga terbanyak yang ditayangkan televisi di Indonesia. Sama halnya dengan konten iklan makanan di saluran televisi negara-negara Barat, kebanyakan iklan makanan yang ditayangkan di saluran televisi Indonesia adalah makanan yang tidak sehat, karena tinggi akan kadar gula dan kalori.

Kurdaningsih (2012) menganalisis iklan makanan dan minuman di empat saluran TV swasta Indonesia, dimana ditemukan minimnya konsep keadilan, keakuratan, dan objektivitas. Hal ini menunjukkan banyaknya konten informasi menyesatkan dalam iklan makanan dan minuman yang menyalahi etika media. Contohnya, dalam salah satu iklan minuman dinyatakan bahwa minuman sari buah dalam kemasan yang diiklankan lebih enak dan lebih baik dari pada buah asli. Iklan lainnya menyatakan klaim bahwa mengonsumsi beberapa produk permen setara dengan segelas susu berkalsium tinggi. Beberapa iklan makanan juga mengklaim

“tanpa pengawet”, sedangkan produk tersebut mampu bertahan berbulan-bulan di toko.

(29)

14

indikasi keberpihakan produk pada kebijakan konsumsi pangan lokal. Pola makan dan minum yang ditampilkan dalam iklan dipandang menanamkan pola konsumsi masyarakat asing.

Berdasarkan tinjauan literatur di atas, efek kultivasi dari iklan makanan olahan pabrik pada ibu rumah tangga di pedesaan dapat dipengaruhi oleh informasi yang dimiliki ibu rumah tangga tentang makanan olahan pabrik. Informasi tersebut diantaranya dapat diperoleh dari pengalaman ibu rumah tangga mengonsumsi makanan olahan pabrik. Selain itu, kontak ibu rumah tangga dengan pasar, kota, dan wilayah lain di luar tempat tinggalnya dapat memberikan masukan bagi ibu rumah tangga di pedesaan tentang makanan olahan pabrik. Keterbukaan seseorang menerima informasi dari luar didefinisikan sebagai kekosmopolitan (Hendri dan Wahyuni 2013). Oleh karena itu, pengalaman konsumsi dan tingkat kosmopolitan diduga dapat turut melemahkan atau memperkuat efek kultivasi dari iklan makanan olahan pabrik pada ibu rumah tangga di pedesaan.

Terpaan Iklan Televisi

Terpaan media adalah kegiatan menerima (membaca, mendengar, menonton) pesan (secara aktif/pasif), dimana penerima pesan secara aktif melibatkan perhatian (Blake dan Haroldsen, 1979). Menurut Shore (1985) terpaan media tidak hanya mengenai kedekatan seseorang secara fisik dengan media massa, namun juga berkaitan dengan keterbukaan seseorang terhadap pesan-pesan yang disampaikan media. Jadi terpaan media merupakan aktivitas mendengarkan, melihat, dan membaca pesan atau memiliki pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut, yang dapat terjadi baik pada individu maupun kelompok.

Menurut Ardianto dan Erdinaya (2005), penelitian tentang terpaan media merupakan suatu usaha mencari data khalayak tentang penggunaan media baik jenis media, frekuensi penggunaan, maupun durasi penggunaan. Effendi (1992) merumuskan tiga aspek dari terpaan media, yaitu lama penggunaan media, intensitas penggunaan media, dan keseriusan individu dalam menggunakan media. Terpaan media tidak serta merta memengaruhi khalayak, namun juga mendapatkan perlawanan dari faktor individu dan faktor sosial (Nuruddin 2007). Faktor individu meliputi pikiran psikologis khalayak antara lain:

1. Perhatian selektif (kecenderungan individu untuk hanya memperhatikan dan menerima terpaan media massa yang sesuai dengan pendapat dan minatnya); 2. Persepsi Selektif (kecenderungan hanya ingin menginterpretasikan pesan-pesan

yang sesuai dengan sikap dan keyakinan);

3. Ingatan Selektif (kecenderungan hanya ingin mengingat-ingat pesan-pesan yang sesuai dengan sikap dan keyakinan), motivasi, pengetahuan, kepercayaan, pendapat, nilai, kebutuhan, pembujukan, kepribadian, dan penyesuaian diri.

(30)

Televisi sebagai media yang mampu menjangkau khalayak luas menjadikan televisi sebagai media yang disukai oleh para pengiklan. Iklan televisi biasanya hadir di sela-sela program yang ditayangkan. Iklan jenis ini dikenal dengan istilah

‘iklan niaga’ (commercial break). Ketika iklan ditayangkan, khalayak memiliki beberapa pilihan aktivitas, seperti: (a) meninggalkan ruangan, (b) pindah ke saluran lain, (c) mematikan TV, (d) menonton iklan, (e) meniadakan suara TV, (f) membaca buku, atau (g) berbicara dengan orang lain di dalam ruangan, dan lain-lain (Danaher dan Beed 1993). Oleh karenanya, terpaan iklan terjadi karena diinginkan oleh khalayak. Iklan yang melekat dalam memori khalayak akan mampu memengaruhi

sikap khalayak untuk melakukan pembelian ulang (Sutrisno dan Nurhidayati 2006). Shimp (2003) menyatakan bahwa terpaan mengacu pada kesan terhadap iklan.

Khalayak yang menonton iklan akan memiliki kesan terhadap konten iklan tersebut. Unsur-unsur yang menjadi daya tarik iklan televisi antara lain: (1) para pendukung (selebritas/bintang iklan), (2) humor, (3) pemberian rasa takut, (4) pemberian rasa bersalah, (5) daya tarik seksual, (6) pesan-pesan bawah sadar dan simpanan simbolik, (7) musik, dan (8) komparatif (Shimp 2003). Senada dengan hal tersebut, Suyanto (2005) memaparkan unsur daya tarik iklan televisi yang sama, namun ia mengganti unsur daya tarik seksual dengan unsur sifat positif/rasional dan emosional. Secara lebih ringkas, Morissan (2010) mengemukakan unsur-unsur daya tarik iklan televisi antara lain unsur musik (jingle), alur cerita (storyboard), pesan utama iklan (copy/script), bintang iklan, slogan atau strapline, dan logo.

Lavidge dan Steiner pada tahun 1961 mengemukakan tahapan mental pada konsumen setelah terkena terpaan iklan hingga memutuskan untuk membeli produk (Belch dan Belch 2007). Pertama, tahap kognitif yang menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan. Kedua, tahap afektif, ditunjukan oleh perasaan suka, preferensi, dan keyakinan. Ketiga, tahap perilaku yaitu pembelian produk (Tabel 1).

Pengukuran terpaan televisi dalam penelitian kultivasi biasanya dilihat dari total lamanya khalayak menonton TV yang dihitung dalam satuan jam. Untuk konten spesifik, Kean et al. (2012) mengukurnya dari pernyataan khalayak tentang seberapa sering khalayak menonton konten tertentu. Guna mendapatkan gambaran yang lebih rinci tentang terpaan iklan makanan TV khalayak, selain frekuensi menonton iklan makanan di TV atensi khalayak terhadap iklan tersebut juga diukur (Rakhmat 2008).

Tabel 1 Hierarki model efek

Tahapan Hierarki model efek

Kognitif Kesadaran

Pengetahuan

Afektif Rasa suka

Preferensi Keyakinan

Perilaku Pembelian

Sumber: Belch dan Belch (2007)

Iklan Makanan Olahan di Televisi

(31)

16

khalayak (Noviani 2013). Meskipun merupakan bentuk komunikasi nonpersonal, iklan merupakan cara tercepat untuk meraih massa. Iklan juga didefinisikan sebagai suatu cara komunikasi yang digunakan untuk menarik khalayak untuk memberikan reaksi terkait produk, jasa, atau gagasan yang ditunjukkan dalam iklan (Baig et al. 2013).

Iklan makanan berada pada urutan terbanyak kedua atau ketiga yang ditayangkan di stasiun-stasiun TV di Indonesia (Ali 2014). Makanan-makanan yang diiklankan di TV adalah makanan yang diolah di pabrik atau di restoran cepat saji. Oleh karenanya, heavy viewers memiliki peluang terkena banyak terpaan iklan makanan olahan.

Iklan pada umumnya dirancang dengan perspektif mencipta makna (Hamad 2005). Dalam perspektif ini, iklan tidak hanya dirancang semata-mata untuk mengirimkan pesan tentang produk pada khalayak, namun juga berupaya menanamkan makna tertentu mengenai produk yang diiklankan. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan posisi pada pada produknya (positioning), dirancang kemasan, logo, dan merek produk. Pengiklan menggunakan tanda seperti gambar, kata, kalimat, lagu, dan musik yang dianggap mewakili selera target pasar mereka. Menurut Rossiter dan Percy (2000), unsur-unsur dalam iklan yang dapat menimbulkan rangsangan atau emosi, antara lain:

1. Kata-kata yang terdengar (head words), yaitu kata-kata yang terdengar dalam iklan yang ditayangkan di televisi untuk membuat pemirsa semakin mengerti akan maksud pesan iklan yang ditayangkan;

2. Musik, yaitumusik dan lagu yang terdapat dalam iklan;

3. Kata-kata yang terlihat (seen words), yaitu kata-kata yang tampak pada tayangan iklan untuk memengaruhi citra produk bagi khalayak;

4. Gambar (picture), yaitu gambar yang digunakan dalam iklan, meliputi objek, model, dan adegan yang ditampilkan;

5. Warna (colour), yaitu komposisi atau keserasian warna gambar serta pengaturan cahaya yang terdapat dalam tampilan tayangan iklan;

6. Gerakan (movement), yaitu gerakan atau fragmen yang ditampilkan dalam iklan. Menurut Lee dan Johnson (2013), daya tarik iklan dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

1. Daya tarik informasional/rasional (penjualan agresif): menekankan kepada ciri-ciri, manfaat, atau alasan menggunakan produk tertentu.

2. Daya tarik emosional (penjualan persuasif): menggunakan pesan emosional yang diharapkan dapat menyentuh hati dan menciptakan tanggapan berdasarkan perasaan dan sikap. Daya tarik emosional terdiri dari daya tarik humor, daya tarik seks, dan daya tarik rasa takut.

3. Daya tarik kombinasi: menggabungkan daya tarik informasional/rasional dan daya tarik emosional.

Lee dan Johnson (2013) memaparkan cara-cara yang dapat digunakan untuk menampilkan iklan yang menarik, antara lain:

1. Kesaksian, yaitu menampilkan pengakuan lisan dari tokoh-tokoh terkenal, seperti artis dan para ahli, atau orang biasa yang tidak terkenal;

(32)

3. Demonstrasi, yaitu menggambarkan manfaat dan keuntungan sebuah produk dengan menunjukkan penggunaan secara langsung atau dalam situasi yang sengaja diciptakan.

4. Penggalan kehidupan, yaitu menampilkan situasi kehidupan nyata yang melibatkan masalah atau konflik yang mungkin dihadapi oleh target pasar atau konsumen dalam kehidupan sehari-hari, lalu memberikan penekanan tentang bagaimanan produk yang diiklankan dapat memecahkan masalah tersebut. 5. Fantasi, yaitu menggunakan efek-efek khusus untuk menciptakan tempat,

peristiwa, atau karakter bayangan.

Melalui unsur-unsur daya tarik iklan tersebut, produsen menyampaikan berbagai klaim mengenai produknya dalam upaya memberikan efek persuasif kepada pemirsa. Berdasarkan Perka BPOM No. 39 Tahun 2013, klaim adalah segala bentuk uraian yang menyatakan, menyarankan, atau secara tidak langsung menyatakan perihal karakteristik tertentu suatu pangan yang berkenaan dengan asal-usul, kandungan gizi, sifat, produksi, pengolahan, komposisi, atau faktor mutu lainnya. Kategori klaim promosi yang biasa digunakan pengiklan dalam mempromosikan iklan makanan (Byrd-Bredbenner dan Grasso 2000; Cheng et al. 2009), antara lain:

1. Klaim terkait konsumen (meliputi rasa, aroma, kepraktisan, keekonomisan, kualitas, buatan rumah, kebaruan, dll);

2. Klaim gizi dan kesehatan secara umum (meliputi pesan-pesan yang berhubungan dengan adanya manfaat kesehatan, mencegah penyakit, memberikan keseimbangan/keragaman, rekomendasi profesional, dll);

3. Klaim konten gizi spesifik (berupa pernyataan bahwa produk mengandung vitamin, mineral, protein, karbohidrat kompleks, lemak tak jenuh, serat, biji-bijian, sayuran, buah-buahan, dsb);

4. Klaim meminimalisir/menghilangkan zat-zat tertentu, termasuk pernyataan bahwa produk rendah lemak/kolesterol/gula/ sodium/kafein/kalori, murni/alami, dan bebas atau mengandung sedikit zat aditif.

Makanan Olahan

Definisi Makanan Olahan

(33)

18

Bahan pangan mengalami proses pengolahan yang berbeda-beda. Monteiro dan Levy (2010) mengelompokkan makanan berdasarkan derajat pengolahannya menjadi:

1. Makanan dengan pengolahan minimal (dibersihkan, dikelupas, diiris, dijus, dan dibuang pada bagian tertentu). Bahan makanan yang diproses secara minimal biasanya adalah buah-buahan, sayuran, legum, kacang, daging, dan susu;

2. Bumbu makanan olahan (meliputi tepung, minyak, lemak, gula, pemanis, pati, dll). Contoh makanan dalam kelompok ini adalah sirup jagung fruktosa, margarin, dan minyak sayur. Makanan olahan jenis ini jarang dimakan langsung, namun biasanya digunakan dalam proses memasak atau pabrikasi makanan dengan pengolahan tinggi; dan

3. Makanan dengan pengolahan tinggi (dibuat dengan mengombinasikan bahan pangan yang belum diolah, makanan dengan pengolahan minimal, dan bumbu makanan olahan). Makanan dalam kategori ini pada umumnya disebut makanan cepat saji (Monteiro et al. 2010). Beberapa teknik pengolahan yang digunakan antara lain pencampuran, pemanggangan, penggorengan, pengawetan, pengasapan, penambahan vitamin, dan penambahan mineral. Makanan olahan jenis ini dirancang untuk kenyamanan konsumen. Ciri khasnya adalah mudah dibawa, dapat dimakan dimanapun (ketika berkendaraan, bekerja di kantor, menonton TV, dsb), dan hanya membutuhkan sedikit atau bahkan tanpa persiapan. Contohnya meliputi: makanan-makanan ringan, makanan penutup, roti, pasta, sereal sarapan, makanan bayi, produk olahan dari hewan (naget, hotdog, sosis, burger, dll).

Makanan olahan dapat diperoleh di berbagai tempat. Saparinto dan Hidayati (2006) menggolongkan makanan berdasarkan cara perolehannya, menjadi sebagai berikut:

1. makanan siap saji, yaitu makanan yang sudah diolah dan siap disajikan di tempat usaha atau diluar tempat usaha atas dasar pesanan.

2. Makanan tidak siap saji, yaitu makanan yang sudah mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutan untuk dapat dimakan dan diminum.

Costa et al. (2001) memaparkan empat kelompok makanan olahan, antara lain makanan:

1. Siap santap (ready-to-eat), yaitu makanan yang langsung dapat disantap setelah dibeli;

2. Siap dipanaskan (Ready to heat), yaitu makanan yang perlu dipanaskan selama tidak lebih dari 15 menit sebelum dikonsumsi, termasuk makanan kaleng dan makanan yang dikeringkan;

3. Siap dimasak tahap akhir (Ready to end-cook), yaitu makanan yang membutuhkan proses pemanasan selama lebih dari 15 menit sebelum dikonsumsi;

4. Siap masak/olah (Ready to cook), yaitu makanan yang telah mengalami proses pengolahan sederhana, namun masih memerlukan pengolahan penuh (proses masak) untuk seluruh atau beberapa dari komponennya.

(34)

Costa et al. (2001), karakteristik makanan olahan pabrik terbagi menjadi tiga, yaitu makanan ready-to-eat, ready to heat, dan ready to end-cook. Untuk memudahkan penelitian dan menyederhanakan bahasa, makanan ready to heat dan ready to end-cook digabungkan menjadi kategori makanan cepat saji. Sehingga makanan olahan pabrik dibagi menjadi dua, yaitu makanan siap santap dan makanan cepat saji.

Pilihan Makanan Olahan dalam Rumah Tangga di Indonesia

Menurut Sayeti (2008), tingkat pendapatan berhubungan dengan jenis makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga di perkotaan dan pedesaan. Semakin tinggi pendapatan, semakin rendah konsumsi pangan sumber karbohidrat padi-padian dan semakin tinggi konsumsi sumber protein hewani daging, telur dan susu, serta makanan dan minuman jadi. Hal ini senada dengan temuan Purwaningsih et al. (2010), bahwa semakin baik ketahanan pangan suatu keluarga, semakin banyak konsumsi protein dan lauk pauknya.

Terkait dengan banyaknya komoditi pangan pengganti beras, Purwaningsih

et al. (2010) menemukan bahwa pengganti beras yang utama adalah makanan minuman jadi. Pengecualian pada rumah tangga rawan pangan, pengganti beras yang paling banyak dikonsumsi adalah mi. Temuan ini menjadi perhatian khusus, mengingat makanan dan minuman jadi pada umumnya menggunakan bahan makanan buatan yang sarat akan pengawasan pangan. Selain itu kedudukan mi sebagai makanan pokok pengganti nasi yang berbahan dasar impor turut memberi kekhawatiran tersendiri.

Hal utama yang menyebabkan seseorang untuk makan adalah rasa lapar, namun apa yang diputuskan untuk dimakan tidak sepenuhnya ditentukan oleh kebutuhan fisiologis atau nutrisi. Bellisle (2005) memaparkan beberapa faktor yang memengaruhi pilihan makanan, antara lain:

a. Faktor biologis, seperti rasa lapar, nafsu makan, dan selera. b. Faktor ekonomi, seperti harga, pendapatan, dan ketersediaan.

c. Faktor fisik seperti akses, pendidikan, keterampilan (missal: memasak), dan waktu.

d. Faktor sosial seperti budaya, keluarga, teman sebaya, dan pola makan.

e. Faktor psikologis seperti suasana hati (mood), tekanan (stress), dan kegelisahan.

f. Sikap, kepercayaan, dan pengetahuan tentang makanan.

Pemilihan makanan adalah proses kompleks yang berkaitan dengan budaya dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor pribadi, sosial, ekonomi, dan emosional (Bargiota et al. 2013). Hal yang paling memengaruhi pemilihan makanan, baik pada orang dewasa maupun remaja, secara berturut-turut adalah rasa dan harga (Popkin et al. 2005). Lain halnya dengan hasil survei sikap konsumen terhadap makanan, nutrisi, dan kesehatan menunjukkan lima hal yang paling memengaruhi pilihan makanan di 15 negara Eropa secara berturut-turut antara lain: kualitas/kesegaran, harga, rasa, usaha untuk makan secara sehat, dan makanan yang diinginkan keluarga.

(35)

20

mengonsumsi makanan tersebut, sedangkan bagi individu yang menomorsatukan kesehatan dan kandungan gizi, cenderung memberikan penekanan pada kualitas gizi makanan.

Secara umum, French (2003) mendapatkan kesimpulan bahwa meskipun individu memiliki pengetahuan tentang pilihan makanan sehat, namun ketika disandingkan dengan dimensi harga dan rasa, mereka akan lebih memilih makanan yang lebih lezat rasanya dan lebih murah, meski kurang kandungan gizinya. Hal serupa juga terungkap dalam penelitian Elbel et al. (2009), yang mengidentifikasi pemilihan makanan pada masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah, dimana kadar kalori produk makanan yang tercantum pada label makanan tidak berpengaruh terhadap keputusan membeli produk. Demikian pula dengan kebiasaan

makan di luar jadwal makan rutin atau ‘ngemil’. Walaupun kebiasaan ‘ngemil’

terjadi baik pada keluarga berstatus sosial ekonomi tinggi maupun rendah, cemilan yang dikonsumsi oleh keluarga dengan status sosial ekonomi (SSE) tinggi adalah makanan dengan kalori tinggi, sedangkan sebaliknya pada keluarga dengan SSE rendah (Fatmah dan Nurasiah 2002).

Ibu adalah orang yang paling berpengaruh pada menu makanan dan kesehatan anak-anaknya (Johnson et al. 2011; Savage et al. 2007). Demikian pula di Indonesia, para wanita (ibu rumah tangga) umumnya memiliki peran dominan untuk menentukan makanan/masakan yang dikonsumsi keluarga (Arsil et al. 2014). Meskipun Ibu memiliki peran dominan dalam menentukan makanan yang dikonsumsi keluarga, Azhari et al. (2013) menemukan bahwa preferensi makanan yang akan dikonsumsi atau dimasak dalam sebuah rumah tangga ditentukan dan dipengaruhi oleh keinginan anggota keluarga yang lain. Hal ini sejalan dengan temuan Fatmah dan Nurasiah (2002), yang menyatakan bahwa ibu-ibu dalam penelitiannya, baik dari golongan sosio-ekonomi lemah maupun tinggi menempatkan ayah/kepala rumah tangga sebagai prioritas pertama distribusi makanan, dilanjutkan dengan balitanya.

Sikap dan Perilaku

Sikap adalah evaluasi terhadap berbagai aspek dalam dunia sosial yang dapat memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap suatu isu, ide, orang, kelompok sosial, dan objek, termasuk pada makanan (Baron dan Byrne 2004). Senada dengan pengertian tersebut, Myers (2010) mendefinisikan sikap sebagai reaksi evaluatif yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang (seringkali tertanam dalam kepercayaan seseorang yang tampak pada perasaan seseorang dan perilaku yang ingin dilakukan). Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah

“sikap”, dalam dunia psikologi sosial, mengacu pada kepercayaan-kepercayaan dan perasaan-perasaan yang berhubungan dengan seseorang atau suatu peristiwa dan menghasilkan kecenderungan berperilaku.

Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Faktor-faktor yang membentuk sikap menurut Azwar (2015) antara lain:

1. Pengalaman pribadi;

Gambar

Tabel 1 Hierarki model efek
Gambaran makanan olahan pabrik
Tabel 2  Definisi Operasional (lanjutan)
Tabel 2  Definisi Operasional (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dan berkaitan dengan sumber pendapatan upah pegawai tenaga kerja pada Liquid Cafe Semarang yang memperjualbelikan minuman yang dilarang dan diharamkan, dengan kadar

Pengaruh Masa Kerja Terhadap Pembentukan Mikronukleus Akibat Paparan Timbal Pada Pedagang Kaki Lima

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas IV SD Negeri 1 Tanjunganom pada tema berbagai pekerjaan subtema jenis-jenis pekerjaan melalui

Manajemen waktu yang terdapat dalam proyek ini dapat dikatakan masih belum begitu baik, hal ini dapat dilihat dari adanya kesimpangan antara jadwal yang direncanakan dengan

 merupakan petugas yang tetap pada pelayanan rujukan.  Ramah tamah dan tekun.  Bersedia membantu pemakai perpustakan.  Memiliki pengetahuan umum yang luas. 

dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan minat menonton dalam. penelitian ini adalah suatu keadaan dimana diri individu atau

[r]