(Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas”
Edisi 29 Desember 2009 Pada Harian Jawa Pos)
SKRIPSI
Oleh :
ERNI SURYANI0343210444
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Nama : Erni Suryani
NPM : 0343210444
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Telah disetujui untuk mengikuti Seminar Proposal
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Juwito, S.Sos, MS NPT. 956 700 036
Mengetahui
Ketua Program Studi Komunikasi
(Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur ”Gurita
Cikeas” Edisi 29 Desember 2009 Di Jawa Pos)
Nama : Erni Suryani
NPM : 0343210444
Jurusan : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Telah disetujui Pembimbing Utama 1. Penguji I
Juwito, S.Sos, MS Juwito, S.Sos, MSi
NPT. 956 700 036 NPT. 956 700 036
2. Penguji II
Zaenal Abidin A, MSi, MEd NPT. 997 300 170
3. Penguji III
Drs. Kusnarto, Msi NIP. 030 176 735
Mengetahui
Ketua Jurusan Komunikasi
Nama : Erni Suryani
NPM : 0343210444
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui, Pembimbing Utama
Juwito, S.Sos, MS NPT. 956 700 036
Mengetahui Dekan
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat berupa kesehatan, kesempatan, ilmu serta
kekuatan sehingga penulis bisa mengerjakan penulisan skripsi dengan judul :
“Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” (Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” Edisi 29 Desember 2009 di Jawa Pos)”
Shalawat serta salam juga tertuju pada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, yang karena beliaulah kita semua dapat menjadi manusia yang lebih baik
karena tauladan Beliau :
Ungkapan terima kasih atas terselesaikannya penelitian ini, peneliti
ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu hingga selama ini.
Ungkapan tersebut peneliti sampaikan antara lain kepada :
1. Ibu Dra. EC.Hj. Suparwati, MSi., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S. Sos., MSi., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur serta selaku Dosen
Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu dan ilmu guna
mengarahkan dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dosen-dosen Jurusan Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu
selama dibangku kuliah ini.
ii
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
5. Orang–orang yang selalu mendukung dalam pembuatan skripsi agar cepat
selesai, terimah kasih untuk semuanya.
6. Teman-teman dan orang-orang terdekat yang telah membantu dalam
penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari masih banyak kekurangan
dan kelemahan dalam penyusunan skripsi ini, maka saran dan kritik membangun
dari para pembaca sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan skripsi ini.
Surabaya, Mei 2010
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
ABSTRAKSI ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 9
2.1.1. Surat Kabar ... 9
2.1.2. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa ... 10
2.1.3. Karikatur ... 12
2.1.4. Kritik Sosial dan Politik ... 12
2.1.5. Semiotika ... 16
2.1.6. Teori Warna ... 17
2.1.7. Semiotika Charles Sanders Peirce ... 18
2.1.8. Korupsi ... 21
2.1.8.1.Sifat Korupsi ... 22
2.1.9.1.Pengertian Gurita ... 24
2.1.10.Gurita Cikeas ... 26
2.1.10.1.Pengertian Gurita Cikeas ... 26
2.1.11.Korek Api ... 29
2.1.11.1.Pengertian Korek Api ... 29
2.1.11.2.Batang Korek Api ... 31
2.2. Kerangka Pikir ... 31
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 33
3.2. Kerangka Konseptual ... 34
3.2.1. Corpus ... 34
3.2.2. Unit Analisis ... 34
3.2.2.1.Ikon ... 34
3.2.2.2.Indeks ... 35
3.2.2.3.Simbol ... 35
3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 35
3.4. Teknik Analisis Data ... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 39
4.2. Penyajian Data ... 43
4.3.1. Klasifikasi Tanda ... 45
4.4. Gambar Karikatur “Gurita Cikeas” Di Surat Kabar Jawa Pos
Edisi 29 Desember 2009 Dalam Model Pierce ... 48
4.5. Ikon, Indeks, Simbol ... 49
4.6. Interpretasi Pemaknaan Keseluruhan Gambar Karikatur
Keserakahan Dalam Surat Kabar Merdeka Edisi 27 januari
2009 ... 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 70
5.2. Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Gambar 2.2. Model Kategori Tanda ... 20
Gambar 2.3. Kerangka Pikir ... 32
Gambar 4.1. Karikatur ”Gurita Cikeas” Dalam Kategori Tanda Pierce ... 45
Gambar 4.2. Gambar Karikatur “Gurita Cikeas” dalam Elemen Makna
Pierce ... 49
Gambar 4.3. Gambar Karikatur ”Gurita Cikeas” Dalam Kategori Tanda
Peirce (I) ... 51
Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” Edisi 29 Desember 2009 di Jawa Pos)”
Keberadaan karikatur pada surat kabar, bukan berarti hanya melengkapi surat kabar dan memberikan hiburan selain berita-berita utama yang disajikan. Gambar karikarur “Gurita Cikeas” yang ada pada surat kabar Jawa Pos edisi 29 Desember 2009 merupakan penggambaran suatu dari peristiwa yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia dimana mulai terbongkarnya serentetan kasus Bank Century yang mulai terkuak. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pemaknaan karikatur ”Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29 Desember 2009.
Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori semiotik pierce. Teori ini menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi, hubungan antara ketiga unsur tersebut untuk mencapai suatu makna.
Metode deskriptif kualitatif merupakan metode pada penelitian ini dengan menggunakan analisis semiotika pierce, untuk menginterpretasikan representasi karikatur pada media surat kabar Jawa Pos. Dengan metode semiotik peneliti menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol dan gambar yang ditampilkan pada karikatur.
Pembahasan gambar karikatur “Gurita Cikeas” merupakan gambar karikatur yang terdiri dari gambar karikatur tiga ekor Gurita, kepala Gurita yang memakai mahkota, teks membongkar Gurita Cikeas, teks George Junus Aditjondro, teks di balik skandal Century, Bukankah SBY berkata akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini dan teks Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden Republik Indonesia, kotak korek, batang korek, 4 batang korek yang keluar, kotak korek yang terbuka. Dimana unsur-unsur tersebut merupakan suatu bentuk yang identik dari suatu realitas sosial yang terjadi di negara ini.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa “Gurita Cikeas” merupakan gambar karikatur yang menunjukkan suatu bentuk yang identik dari suatu realitas sosial yang terjadi di negara ini yang memang sudah sangat susah untuk diungkap dan dibeberkan untuk kepentingan rakyat.
Kata Kunci : karikatur, semiotik, jawa pos, gurita cikeas
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kehadiran media massa terutama media cetak merupakan penanda
awal dari kehidupan modern sekarang ini. Pesan melalui media cetak
diungkapkan dengan huruf-huruf mati, yang baru menimbulkan makna apabila
khalayak berperan secara aktif. Karena itu berita, tajuk rencana, artikel, dan
lain-lain, pada media cetak harus disusun sedemikian rupa, sehingga mudah
dicerna oleh khalayak. Kelebihan media cetak lainnya, ialah bahwa media ini
dapat di kaji ulang, didokumentasikan, dan dihimpun untuk kepentingan
pengetahuan, serta dapat dijadikan bukti otentik yang bernilai tinggi. (Effendy,
2000: 313-314)
Selama ini kita tahu bahwa media cetak seperti surat kabar tidak hanya
berperan sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsinya, tetapi bisa
juga mempunyai suatu karakteristik yang menarik yang perlu diperhatikan
untuk memberikan analisis yang sangat kritis yang akan menumbuhkan
motivasi, mendorong serta dapat mengembangkan pola pikir bagi masyarakat
untuk semakin kritis dan selektif dalam menyikapi berita-berita yang ada di
dalam media. Belakangan ini media pers Indonesia menampilkan
komik-kartun dan karikatur sebagai ungkapan kritis terhadap berbagai masalah yang
berkembang secara tersamar dan tersembunyi. Pembaca diajak berpikir,
merenungkan dan memahami pesan-pesan yang tersurat dan tersirat dalam
gambar tersebut. (Sobur, 2006:140)
Keberadaan karikatur pada surat kabar, bukan berarti hanya
melengkapi surat kabar dan memberikan hiburan selain berita-berita utama
yang disajikan. Tetapi juga dapat memberikan informasi dan tambahan
pengetahuan kepada masyarakat. Karikatur membangun masyarakat
melalui pesan-pesan sosial yang dikemas secara kreatif dengan
pendekatan simbolis. Sayangnya muatan pesan verbal dan pesan visual
yang dituangkan di dalam karikatur terlalu banyak. Secara visual, desain
karikatur yang disajikan pun menjadi jelek, tidak komunikatif, kurang
cerdas, dan terkesan menggurui. Akibatnya masyarakat luas yang
diposisikan sebagai target sasaran dari karikatur dengan serta merta akan
mengabaikan pesan sosial yang ingin disampaikan oleh
karikatur(http://www.desaingrafisindonesia.com).
Digunakannya gambar karikatur dari harian Jawa Pos edisi Desember
2009 sebagai objek penelitian dikarenakan gambar karikatur tersebut
merupakan penggambaran suatu dari peristiwa yang sedang dialami oleh
bangsa Indonesia dimana mulai terbongkarnya serentetan kasus Bank Century
yang mulai terkuak. Hal tersebut mulai ramai dibicarakan terlebih sejak
diluncurkannya buku Membongkar Gurita Cikeas. Buku Membongkar Gurita
mendominasi wacana publik akhir tahun 2009 lalu. Bak kado tahun baru, buku
setebal 153 halaman tersebut laris manis di kalangan penggiat demokrasi dan
aktivis gerakan mahasiswa.
Berbagai kisah miring tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), keluarga, dan partainya, bukan lagi dalam bisik-bisik, selebaran, atau
SMS gelap. Sebuah buku berjudul Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik
Skandal Bank Century, kini beredar luas di internet, melalui facebook, twitter,
email, dalam bermacam versi. Ada yang disingkat, ada yang seutuhnya. Buku
yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, bekas wartawan, aktivis, peneliti
korupsi, dan pengajar. Sebetulnya, dalam bentuk cetakan, buku itu telah
diluncurkan akhir bulan lalu, dan beredar di sejumlah toko buku, terutama
toko buku dengan jaringan luas, Gramedia. Tapi anehnya, baru sehari buku itu
ditarik dari peredaran. ‘’Karena kontroversial, buku itu diperintahkan ditarik
ke pusat,’’ kata seorang pelayan Toko Buku Gramedia di sebuah pusat
perbelanjaan di Bintaro, Tangerang. Tak jelas mengapa pengelola toko buku
terbesar itu menarik buku tersebut dari peredaran. Boleh jadi karena Presiden
SBY sendiri beberapa kali secara terbuka menyerangnya. Yang pasti, apa pun
yang terjadi, cara Gramedia ini agaknya sebuah kiat baru untuk membreidel
sebuah buku. Terbukti di mana-mana orang kesulitan membeli buku itu,
sampai bisa berharga ratusan ribu rupiah.
Sementara itu, Membongkar Gurita Cikeas menjadi ajang perdebatan
menyebabkan minat untuk membaca buku ini meningkat. Sekarang tampaknya
masyarakat sudah terpuaskan dan bisa membaca Membongkar Gurita Cikeas,
setelah salinan buku itu beredar luas di internet. Mungkin Ridwan Saidi perlu
menempuh cara – cara George Junus Aditjondro. Dihidangkan dengan gaya
tulisan wartawan yang enak dibaca, lancar dan mengalir, tapi cukup lugas,
Membongkar Gurita Cikeas segera menjadi buku paling top sepanjang tahun
2009 yang baru saja berlalu. Intinya, buku ini menggambarkan betapa sebuah
kekuasaan politik dibangun dengan kolaborasi bersama para pemilik modal,
dengan cara-cara yang manipulatif. Dengan demikian para Markus seperti
Anggodo atau Artalyta Suryani alias Ayin menduduki posisi penting, bisa
berteman dengan para pejabat tinggi, bahkan dengan presiden sekali pun.
Mirip sebuah hasil reportase investigasi, George Junus Aditjondro
membongkar semuanya. (http://www.hidayatullah.com)
Pro-kontra terhadap isi dan peredaran buku tersebut tak terelakkan.
Bahkan, insiden kecil terjadi ketika George menepiskan kertas kepada tokoh
Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, yang merasa didiskreditkan di dalam buku
tersebut. Peristiwa itu terjadi di Doekoen Coffee, saat buku tersebut
diluncurkan oleh Petisi 28, pada 30 Desember 2009. Buku itu menjadi tenar
karena mengundang kontroversi, yang sebenarnya juga tidak secara jelas
dijawab oleh buku itu sendiri. Kontroversi tersebut berupa hipotesis tentang
berkelindan secara politik untuk mengapropriasi benefit ekonomi. Dari sudut
narasi teks dan rekonstruksi relasi antar-yayasan di seputar keluarga Cikeas,
lewat buku ini, George secara tidak sengaja telah menghidupkan kembali
memori kita pada praktik subur nepotisme pada zaman Orde Baru. Terlebih
dengan masih "gelapnya" kasus bailout Bank Century saat ini, buku ini
mendapatkan konteksnya yang sempurna untuk menarik perhatian semua
orang.
Secara metodologis, George membangun cerita isi buku lewat
penelusuran hubungan orang per orang (people to people relationship) dengan
keluarga Cikeas, baik lewat kelembagaan, peristiwa, kegiatan maupun secara
personal. Di dalam buku George terdapat empat tokoh yang menjadi ikon
penting dalam rangka menggiring opini pembaca ke nuansa "gurita" ekonomi
politik Cikeas. Keempat tokoh itu adalah Budi Sampurna, Murdaya Poo,
Arthalita "Ayin" Suryani, dan Samsul Nursalim.
Dua orang pertama adalah deposan besar Bank Century yang dikenal
membantu tim kampanye SBY. Sedangkan dua nama terakhir sering mencuat
karena kasus BLBI, khususnya ketika Ayin tertangkap basah menyuap jaksa
Urip Tri Gunawan. Suka atau tidak, dengan menonjolnya peran tokoh-tokoh
itu dalam cerita Gurita Cikeas, George berhasil membentuk opini publik
tentang landasan hipotesis kontroversial seperti disebut di atas. Harus diakui,
buku ini lemah di dalam data primer karena mayoritas data yang digunakan
politik yang berseberangan dengan SBY. George juga terkesan memaksakan
generalisasi dari sebuah relasi atau peristiwa untuk tujuan menggiring opini
pembaca terhadap pengaminan pada judul buku yang memang provokatif.
Meski membuat Partai Demokrat kalap dan kebakaran jenggot, buku
Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Kasus Bank Century karya George Junus
Aditjondro dinilai bisa menjadi senjata tambahan Pansus Centurygate untuk
membongkar skandal Century. “Buku itu bisa membuka pengusutan yang
lebih lanjut. Setidaknya menjadi arahan untuk Pansus Century. Membuka
jalan data dan mencari fakta di balik Century. Pansus harus buktikan
kebenaran buku tersebut. Memang buku itu tidak bisa dijadikan barang hukum
namun bisa menjadi pegangan Pansus untuk mencari penjelasan lebih jauh
tentang orang-orang yang terlibat di balik aliran dana bailout Century, seperti
SBY dan kroni-kroninya,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia
(UI), Boni Hargens, kepada wartawan, sebelum diskusi “Refleksi dan Evaluasi
Rapot Pemerintah SBY-Boediono” di Rumah Perubahan, Jalan Panglima
Polim, Jakarta (Minggu, 27/12). Menurut Boni, sebagaimana disebutkan
dalam buku tersebut, modus korupsi politisi adalah melalui lembaga publik
yang tidak perlu diaudit seperti yayasan (http://www.rakyatmerdeka.co.id)
Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
studi semiotik Charles Sanders Peirce dalam karikatur pada harian Jawa Pos
tanda, obyek dan peserta komunikasi. Hubungan antara ketiga unsur tersebut
adalah untuk mencapai suatu makna, terutama antara tanda dan obyeknya.
Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema
pengungkapan kasus-kasus yang dilakukan oleh jajaran elit negara Indonesia
sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembentukan pesan. Peristiwa
tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda –tanda (gambar, kata-kata, dan
lainnya) dalam format sebuah karikatur. Sehingga yang menjadi perhatian
dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat
dipandang, dituangkan dan dinilai. Sebab itulah diperlukan adanya karikatur
tersebut, dengan siatuasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Hal
itulah yang kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Peirce,
karena Peirce dalam hal ini lebih memperhatikan realita makna. Dengan
demikian penelitian ini termasuk pada bidang studi semiotik budaya tempat
kode-kode dan tanda-tanda digunakan.
Dari latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk
meneliti tentang Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa
Pos Edisi 29 Desember 2009.
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah
Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pemaknaan
Karikatur ”Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29 Desember 2009.
1.4.Kegunaan Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah referensi
kepustakaan bagi Universitas Pembangunan Nasional terutama mengenai
penelitian yang berkaitan dengan komunikasi massa khususnya pengaruh
media massa terhadap khalayak.
2. Kegunaan Praktis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pembaca untuk lebih
membuka wawasan tentang pemaknaan terhadap gambar khususnya
karikatur pembaca diajak berpikir, dan memahami pesan-pesan yang
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Surat kabar
Surat kabar merupakan salah satu kajian dalam studi ilmu komunikasi,
khususnya pada studi komunikasi massa. Dalam buku “Ensiklopedi Pers
Indonesia” disebutkan bahwa pengertian surat kabar sebagai sebutan bagi
penerbit pers yang masuk dalam media massa cetak yaitu berupa
lembaran-lembaran berisi berita-berita, karangan-karangan dan iklan yang diterbitkan
secara berkala : bias harian, mingguan dan bulanan, serta diedarkan secara
umum (Junaedhi, 1991:257).
Idealisme yang melekat pada pers dijabarkan dalam pelaksanaan
fungsinya, selain menyiarkan informasi yang objektif dan edukatif,
menghibur, melakukan kontrol sosial yang konstruktif dengan menyalurkan
segala aspirasi masyarakat, serta mempengaruhi masyarakat dengan
melakukan komunikasi dan peran serta positif dari masyarakat itu sendiri.
(Effendy, 2003: 149)
Sementara (Sumadiria, 2005 : 32-35) dalam Jurnalistik Indonesia
menunjukkan 5 fungsi dari pers yaitu :
1. Fungsi Informasi, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi secepat
cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya yang actual, akurat,
factual dan bermanfaat.
2. Fungsi Edukasi, maksudnya disini informasi yang disebar luaskan pers
hendaknya dalam kerangka mendidik. Dalam istilah sekarang pers harus
mau dan mampu memerankan dirinya sebagai guru pers.
3. Fungsi hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana
hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan
masyarakat.
4. Fungsi kontrol sosial atau koreksi, pers mengemban fungsi sebagai
pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa menyalahkan
ketika melihat penyimpangan dan ketidak adilan dalam suatu masyarakat
atau negara.
5. Fungsi mediasi, dengan fungsi mediasi, pers mampu menjadi fasilitator
atau mediator menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain,
peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu
dengan yang lain.
2.1.2. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa
Komunikasi sering diartikan sebagai perpindahan (transfer) informasi
saluran (media) tertentu dengan tujuan mencapai saling pengertian (mutual
understanding).
Ada 2 (dua) macam proses komunikasi, yaitu : secara tatap muka
(primer) dan secara media (sekunder). Komunikasi sekunder ini dilakukan
dengan menggunakan media nirmasa (dalam komunikasi kelompok tertentu)
atau dengan menggunakan media massa. Tujuan komunikasi sekunder ini
antara lain adalah untuk mencapai komunikan yang lebih luas,
memungkinkan imitasi oleh lebih banyak orang dan mengatasi batas ruang
dan waktu.
Komunikasi massa berfungsi menyiarkan infomasi, gagasan dan sikap
kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan
menggunakan media (Effendy, 2003:80).
Menurut Gerbner (1967) dalam Rakhmat (2002:188) Komunikasi
massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan
lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam
masyarakat industri.
Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang
dilakukan melalui media massa modern meliputi surat kabar yang
mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan
kepada umum dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop
(Effendy, 2003:79).
Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan
Namun, dari sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan definisi
satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui
media massa (mdia cetak dan elektronik). Sebab, awal perkembangannya
saja, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass
communication (media komunikasi massa) yang dihasilkan oleh teknologi
modern. (Nurudin, 2007:4)
Secara teoritis, berbagai media massa memiliki fungsi sebagai saluran
informasi, saluran pendidikan, dan saluran hiburan, namun kenyataannya
media massa memberikan efek lain di luar fungsinya itu. Efek media massa
tidak hanya mempengaruhi sikap seseorang namun pula dapat mempengaruhi
perilaku, bahkan pada tataran yang lebih jauh efek media massa dapat
mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem budaya masyarakat.
Berkaitan dengan efek media massa maka salah satu media massa yang
juga dapat memberikan efek kepada khalayaknya adalah surat kabar. Surat
kabar merupakan kumpulan dari berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya
yang dicetak ke dalam lembaran kertas ukuran plano yang diterbitkan secara
teratur, bias terbit setiap hari atau seminggu satu kali (Djuroto, 2002:11).
2.1.3. Karikatur
Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya
orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan penggambaran ciri khas
lahiriahnya untuk tujuan mengejek. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:138)
Senada dengan Sudarta, Pramono berpendapat bahwa sebetulnya
kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya
berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa
pesan kritik sosial, yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adlaah
political cartoon atau aditorial cartoon, yakni versi lain dari editorial, atau
tajuk rencana dalam versi gambar humor. Inilah yang disebut sebagai
karikatur. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:139)
Dalam Encyclopedia of The Art dijelaskan, karikatur merupakan
representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan
sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur juga sering dipakai sebagai sarana
kritik sosial dan politik. Karikatur adalah produk suatu keahlian seorang
karikaturis, baik dari segi pebngetahuan, intelektual, teknik melukis,
psikologis, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaiamana dia memilih
topik isu yang tepat. (Sumandiria, 2005:8)
Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam
bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan
selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya,
karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan
kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu
dan menarik. (Sobur, 2006:140)
2.1.4. Kritik Sosial dan Politik
Indonesia terbangun ketika budaya tulis sudah menyebar luas, ketika
segala tata kehidupan dirumuskan dengan secara tertulis, ketika
majalah, maupun surat kabar, ketika industri percetakan telah mampu
memperbanyak segala macam tulisan dan menyebarkan ke berbagai
lingkungan masyarakat, ketika mengetahui huruf tersebar semakin luas
melalui pendidikan moderen dan yang tidak kalah pentingnya, ketika bahasa
Indonesia sudah diterapkan sebagai bahasa nasional, ketika segala bentuk
tulisan sebagian besar menyampaikan berbagai informasi melalui bahasa
Indonesia, serta ketika bahasa Indonesia dijadikan sebagai media resmi
pendidikan masional dan sebagai alat komunikasi dalam birokrasi (Mas’oed,
1999:42).
Dengan demikian melestarikan atau mempertahankan kritik
terselubung dalam konteks budaya yang tidak lagi menopangnya, sama saja
dengan membunuh eksistensi kritik sebagai institusi sosial yang lahir dari
kebutuhan pengembangan hidup bersama manusia. Dalam konteks budaya
tulis, budaya modern materialistis yang berpenopang pada budaya tulis
diatas, pembangunan, penembangan dan penyebaran kritik sama statusnya
dengan pembangunan, pengembangan dan penyebaran budaya kritik itu
sendiri.
Dalam beberapa pengertian kritik sosial mengandung konotasi negatif
seperti celaan, namun kata kecaman mengandung kemungkinan arti yang
positif yaitu dukungan, usulan atau saran, penyelidikan yang cermat
(Mas’oed, 1999:36). Definisi kritik menurut kamus Oxford adalah “one who
appraises literary or artistic work” atau suatu hal yang membentuk dan
awalnya berasal dari bahasa Yunani (Kritike = pemisahan, krinoo =
memutuskan) dan berkembang dalam bahasa Inggris “critism” yang berarti
evaluasi atau penilaian tentang sesuatu. Sementara sosial adalah suatu kajian
yang menyangkut kehidupan manusia dalam bermasyarakat seperti interaksi
sosial, gaya hidup masyarakat, perubahan sosial, yang terkait dengan
kehidupan sosial masyarakat. Sehingga kritik sosial, yang terkait dengan
kehidupan sosial masyarakat dapat diartikan sebagai evaluasi atau penilaian
yang menyangkut kehidupan dalam bermasyarakat menciptakan suatu
kondisi sosial yang tertib dan stabil (Santoso, 1986 :7).
Dalam kritik sosial, pers dan politik Indonesia, kritik sosial adalah
salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau
berfungsi sebagai sumber kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau
proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah kritik sosial merupakan salah
satu unsur penting dalam memelihara sistem sosial. Dengan kata lain, kritik
sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan
reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat (Akbar, dalam Masoed,
1999 : 47).
Kritik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial. Dalam arti
bahwa kritik sosial menjadi sarana komunikasi gagasan baru, sembari
menilai gagasan lama, untuk suatu perubahan sosial (Masoed, 1999 : 48).
Kritik sosial dalam kerangka yang demikian berfungsi untuk membongkar
berbagai sikap konservatif, status quo dalam masyarakat untuk perubahan
atau sejumlah orang atau kelompok sosial dalam masyarakat menginginkan
suasana baru, suasana yang lebih baik dan lebih maju atau secara politis,
suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Perspektif kritik sosial yang
demikian lebih banyak dianut oleh kaum kritis dan strukturalis. Mereka
melihat kritis sosial adalah wahana komunikatif untuk suatu tujuan
perubahan sosial (Masoed, 1999 : 49). Suatu kritik sosial selalu
menginginkan perbaikan, ini berarti bahwa suatu kritik selalu berorientasi ke
masa depan (Santoso, 1986:6). Kritik sosial yang lebih murni kurang
didasarkan pada peneropongan kepentingan diri sendiri saja, melainkan
justru menitikberatkan dan mengajak masyarakat atau khalayak untuk
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nyata dalam masyarakat. Suatu kritik
sosial kiranya didasarkan pada rasa tanggung jawab bahwa manusia
bersama-sama bahwa manusia berbersama-sama-bersama-sama bertanggung jawab atas perkembangan
lingkungan sosialnya, sehingga diharapkan dapat menuju ke arah perbaikan
dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu ketertiban sosial (Susanto,
1986:105).
2.1.5. Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semilogi, pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek
itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonsitusi sistem terstruktur dari
tanda (Kurniawan, 2001 dalam Sobur, 2006:15)
2.1.6. Teori Warna
Warna adalah sifat persepsi visual yang menurut sisi manusia disebut
merah, kuning, biru, dll. Warna diambil dari spektrum dari cahaya (distribusi
energi cahaya versus panjang gelombang) yang berinteraksi di dalam mata
dengan sensitivitas spektral dari reseptor-reseptor cahaya. Warna merupakan
elemen yang bercahaya yang kategorinya dan spesifikasi fisiknya
diasosiasikan dengan objek- objek, material, sumber cahaya, dll berdasarkan
sifat fisiknya seperti daya serap, daya pantul, atau emisi spektra. Warna
dihasilkan dari gelombang cahaya, sejenis radiasi elektromagnetik yang
terukur dalam satuan mikron. Warna-warna yang dapat dilihat berada antara
400-700 mikron namun ada juga warna-warna yang tidak terjangkau untuk
dilihat karena panjang gelombangnya berada diluar jangkauan kita (“Color”,
Wikipedia).
Warna putih merupakan tekanan yang paling rendah dan hitam
merupakan kualitas yang paling gelap, diantara keduanya terdapat abu-abu.
Benda walaupun tidak berwarna putih dan hitam, tetap saja memiliki
tingkatan gelap dan terang yang dapat dianalisa dan dikatagorikan sebagai
value. Bila garis mendeskrepsikan bentuk objek, maka value akan
memperjelas dan memperkaya garis sehingga bentuk 3 dimensi menjadi
pola untuk menggambarkan tekstur objek serta memberikan kesan dramatis.
Derajat perubahan value tergantung dan kesamaan antar bayangan dengan
cahaya, juga dari sumber cahaya yang menimpa objek. (Sanyoto 42)
2.1.7. Semiotik Charles Sanders Peirce
Model dasar semiotik dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce
(1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang pada
perkembangannya sangat mempengaruhi model-model berikutnya. Peirce
menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi.
Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu makna,
terutama antara tanda dan obyeknya. Karena itu hubungan antara ketiganya
disebut hubungan makna. Bila Peirce menekankan pada fungsi logika tanda,
maka Sausssure yang dianggap sebagai pendiri lingusitik modern, lebih
menekankan pada hubungan dari masing-masing tanda, dan menurut
Saussure tanda merupakan obyek fisik yang penuh dengan berbagai makna.
Saussure tidak terlalu memperhatikan realitas dari makna seperti yang
dikemukakan oleh Peirce. (Bintoro, 2002:12)
Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema
”Keserakahan Koruptor” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses
pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda
–tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah kartun
editorial. Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah
bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat dipandang, dituangkan dan
dinilai. Sebab itulah diperlukan adanya kartun editorial tersebut, dengan
kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Peirce, karena Peirce
dalam hal ini lebih memperhatikan realita makna. Dengan demikian
penelitian ini termasuk pada bidang studi semiotik budaya tempat kode-kode
dan tanda-tanda digunakan.
Teori semiotik Peirce berpendapat bahwa tanda dibentuk melalui
hubungan segitiga yaitu tanda berhubungan dengan obyek yang dirujuknya.
Hubungan tersebut membuahkan interpretan. Preirce menelaskan modelnya
sebagai berikut:
”A sign is something which stands to somebody for something in the respect or capacity. It addresses somebody,that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. The sign which it creates I call the interpretant of the first sign. The sign for something, its object. (Tanda adalah sesuatu yang memberi arti atas sesuatu bagi seseorang. Tanda ditujukan kepada seseorang, karenanya membuat seseorang menciptakan tanda yang ekuivalen atau tanda yang lebih berkembang di dalam benaknya. Tanda yang diciptakan itu saya sebut interpretant dari tanda yang pertama. Tanda memberi arti atas sesuatu yang disebut obyek).” (Fiske, 1985:45)
Model semiotik Peirce dapat digambarkan dalam bentuk segitiga
seperti berikut:
Gambar 2.1. Model Semiotik Peirce
Sumber: Fiske (1990:42)
Sign
Interpretant Obyek
Garis-garis berpanah tersebut hanya bisa dimengerti dalam
pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, yaitu obyek dipahami oleh seseorang.
Interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek
yang dirujuk sebuah tanda. Interpretan merupakan konsep mental yang
diproduksi oleh tanda dan pengalaman pengguna tanda terhadap sebuah
obyek. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang
maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.
Diantara ketiganya, interpretanlah yang paling sulit dipahami. Interpretan
adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita, sebagai hasil
penghadapan kita dengan tanda itu sendiri.
Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index
(indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategoru tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2.2. Model Kategori Tanda
Icon
Index Simbol
Sumber: Fiske (1990:47)
Model tersebut merupakan hal penting dan sangat fundamental dari
hakekat tanda. Peirce mengungkapkannya sebagai berikut:
1. Ikon
Adalah tanda yang berhubungan antara tanda dan acuannya bersifat
adalah potret dan peta. Potret merupakan ikonik dari orang yang ada
dalam potret tersebut, sedangkan peta merupakan ikonik dari pulau yang
ada dalam peta tersebut.
2. Indeks
Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda
dan acuannya yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau
atnda yang langusng mengacu pada kenyataannya. Misalnya adalah asap
sebagai tanda adanya api.
3. Simbol
Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara tanda dan
acuannya (berdasarkan hubungan konvensi atau perjanjian). Misalnya
orang yang menggelengkan kepalanya merupakan simbol yang
menandakan ketidak setujuan yang termasuk secara konvensional.
(Sobur, 2003:41)
2.1.8. Korupsi
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa latin:
corruptio = penyuapan; carruptove = merusak) gejala para penjabat,
badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun harfiah dari korupsi dapat
berupa (Hartanti, 2007:8):
a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran.
b) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,
c) 1. Korup (busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).
2. Korupsi perbutan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya).
3. Koruptor (orang yang korupsi).
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan
merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan
kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkkut segi-segi moral, sifat
dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah,
penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi
dan politik serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di
bawah kekuasaan jabatannya. (Hartanti, 2007:9)
2.1.8.1.Sifat Korupsi
Baharuddin Lopa dalam bukunya Kejahatan Korupsi Dan Penegakan
Hukum membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk, yaitu
sebagai berikut (Hartanti, 2007:10):
a. Korupsi Yang Bermotif Terselubung
Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara
tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.
Contohnya : seorang pejabat menerima uang suap dengan janji akan
menerima si pemberi suap menjadi pegawai negeri atau diangkat dalam
suatu jabatan. Namun, dalam kenyataannya setelah menerima suap,
pejabat itu tidak memperdulikan lagi janjinya kepada orang yang
b. Korupsi Yang Bermotif Ganda
Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya
bermotifkan mendapatkan uang , tetapi sesungguhnya bermotifkan lain,
yakni kepentingan politik.Contohnya : seorang yang membujuk dan
menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya,
pejabat itu dalam mengambil keputusannya memberikan suatu fasilitas
pada si pembujuk itu, meskipun sesungguhnya si pembujuk (penyogok)
tidak memikirkan fasilitas itu akan memberikan hasil kepadanya.
2.1.8.2.Ciri-ciri korupsi
Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya
Sosiologi Korupsi sebagai berikut (Hartanti, 2007:10):
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama
dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup
sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam
pengertian penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang
belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun, di sini seringkali ada
pengertian diam-diam di antara pejabat yang mempratikkan berbagai
penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah
permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan
meningkatkan frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus
seperti inilah yang dilakukan oleh para elit politik sekarang yang
kemudian mengakibatkan polemik di masyarakat.
b. Korupsi umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk
menyembunyikan perbuatanya. Namun, walaupun demikian motif
korupsi tetap dijaga kerahasiaanya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran
hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan
mampu untuk mempengaruhi keputusan- keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan publik atau umum (masyarakat).
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan.
2.1.9. Gurita
2.1.9.1.Pengertian Gurita
Gurita adalah hewan moluska dari kelas Cephalopoda (kaki hewan
terletak di kepala), ordo Octopoda dengan terumbu karang di samudra
sebagai habitat utama. Gurita memiliki 8 lengan (bukan tentakel), lengan
gurita merupakan struktur hidrostat muskuler yang hampir seluruhnya terdiri
dari lapisan otot tanpa tulang atau tulang rangka luar. Paruh adalah bagian
terkeras dari tubuh gurita yang digunakan sebagai rahang untuk membunuh
mangsa dan menggigitnya menjadi bagian-bagian kecil. Tubuh yang sangat
fleksibel memungkinkan gurita untuk menyelipkan diri pada celah batuan
pemangsa seperti belut laut Moray. Gurita mempunyai masa hidup yang
relatif singkat dan beberapa spesies hanya hidup selama 6 bulan. Reproduksi
merupakan salah satu sebab kematian, gurita jantan hanya bisa hidup
beberapa bulan setelah kawin dan gurita betina mati mati tidak lama setelah
bertelur. Kematian disebabkan kelalaian gurita untuk makan selama sekitar
satu bulan sewaktu menjaga telur-telur yang belum menetas.
Mayoritas gurita laut dalam berasal dari nenek moyang yang masih
eksis di perairan es di laut selatan, demikian menurut studi terbaru. Mengapa
nenek moyangnya masih eksis, tak lain adalah kandungan gizi dan garam
yang sangat kaya di kedalaman laut sejak 30 juta tahun silam. Gurita sangat
cerdas dan kemungkinan merupakan hewan paling cerdas di antara semua
hewan invertebrata. Kecerdasan gurita sering menjadi bahan perdebatan di
kalangan ahli biologi. Hasil percobaan mencari jalan di dalam maze dan
memecahkan masalah menunjukkan bahwa gurita mempunyai ingatan jangka
pendek dan ingatan jangka panjang, walaupun masa hidup gurita yang
singkat membuat pengetahuan yang bisa dipelajari gurita menjadi terbatas.
Gurita mempunyai sistem saraf yang sangat kompleks dengan sebagian saja
yang terlokalisir di bagian otak. Beberapa jenis gurita seperti gurita mimic
bisa menggerakkan lengan-lengannya untuk meniru gerakan hewan laut yang
lain. Pada percobaan di laboratorium, gurita dapat mudah diajar untuk
membedakan berbagai bentuk dan pola. Gurita juga bisa membuka tutup
toples dengan belajar dari melihat saja, walaupun penemuan ini sering
dipertentangkan berdasarkan berbagai alasan. (http://netsains.com)
Gurita pernah ditemukan sedang melakukan gerakan yang menurut
melepaskan botol dan mainan di tengah-tengah arus air melingkar di dalam
akuarium dan lalu berusaha menangkapnya. Gurita sering memecahkan
akuarium yang ditinggalinya dan kadang-kadang bertandang ke akuarium
lain untuk mencari makanan. Gurita juga diketahui sering memanjat kapal
penangkap ikan dan membuka ruangan penyimpan ikan untuk memakani
kepiting. Saat ini memang gurita identik dengan heawn yang mempunyai
keceradan sendiri dan dikaitkan dengan lingkaran Cikeas yang berisi orang –
orang cerdas, gurita di Cikeas merupakan tangan – tangan dari orang yang
tidak bertanggung jawab dan hanya bisa bersembunyi.
2.1.10. Gurita Cikeas
2.1.10.1.Pengertian Gurita Cikeas
Gurita Cikeas ini adalah judul buku yang diterbitkan oleh George
Aditjondro yang menguak tentang sisi negatif dari pemerintahan SBY dan
seputar kasus Century, hal ini masih belum banyak diketahui oleh
masyarakat, dengan adanya buku Gurita Cikeas ini penulis ingin
memberitakan semua yang dia ketahui kepada khalayak masyarakat awam
yang mungkin masih belum mengerti tentang dunia politik.
Buku yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, bekas wartawan,
aktivis, peneliti korupsi, dan pengajar. Sebetulnya, dalam bentuk cetakan,
buku itu telah diluncurkan akhir bulan lalu, dan beredar di sejumlah toko
buku, terutama toko buku dengan jaringan luas, Gramedia. Tapi anehnya,
baru sehari buku itu ditarik dari peredaran. ‘’Karena kontroversial, buku itu
diperintahkan ditarik ke pusat,’’ kata seorang pelayan Toko Buku Gramedia
pengelola toko buku terbesar itu menarik buku tersebut dari peredaran. Boleh
jadi karena Presiden SBY sendiri beberapa kali secara terbuka
menyerangnya. Yang pasti, apa pun yang terjadi, cara Gramedia ini agaknya
sebuah kiat baru untuk membreidel sebuah buku. Terbukti di mana-mana
orang kesulitan membeli buku itu, sampai bisa berharga ratusan ribu rupiah.
Sebelum ini, budayawan dan bekas Ketua Umum HMI, Ridwan Saidi,
kesulitan mengedarkan bukunya yang mengungkap tentang banyaknya
bencana alam dan kecelakaan di zaman pemerintahan Presiden SBY. Toko
buku besar menolak mengedarkannya. Sementara itu, Membongkar Gurita
Cikeas menjadi ajang perdebatan seru di televisi dan koran. Terjadi
kontroversi yang cukup luas. Dan itu menyebabkan minat untuk membaca
buku ini meningkat. Sekarang tampaknya masyarakat sudah terpuaskan dan
bisa membaca Membongkar Gurita Cikeas, setelah salinan buku itu beredar
luas di internet. Mungkin Ridwan Saidi perlu menempuh cara –cara George
Junus Aditjondro. Dihidangkan dengan gaya tulisan wartawan yang enak
dibaca, lancar dan mengalir, tapi cukup lugas, Membongkar Gurita Cikeas
segera menjadi buku paling top sepanjang tahun 2009 yang baru saja berlalu.
Intinya, buku ini menggambarkan betapa sebuah kekuasaan politik dibangun
dengan kolaborasi bersama para pemilik modal, dengan cara-cara yang
manipulatif. Dengan demikian para Markus seperti Anggodo atau Artalyta
Suryani alias Ayin menduduki posisi penting, bisa berteman dengan para
pejabat tinggi, bahkan dengan presiden sekali pun. Mirip sebuah hasil
reportase investigasi, George Junus Aditjondro membongkar semuanya.
Kesan buku ini memuat banyak fakta yang belum banyak diketahui
umum. Ini seolah sesuai dengan kehebohan yang ditimbulkannya,
sampai-sampai SBY sendiri memerlukan diri untuk bereaksi, termasuk melalui juru
bicaranya. Akan tetapi, begitu membaca lebih cermat, akan tampak kalau
buku ini sebenarnya adalah kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan di
media massa, baik cetak maupun elektronik, hanya saja ditulis ulang dan
disambung-sambungkan.
Judul buku ini menjadi bagian pertama –bukan bab karena buku ini tak
beralur sistematis berjudul sama. Dari bagian pertama ini, tampak jelas
bahwa 3 halaman pembuka tersebut merupakan ide George sendiri terhadap
pemberitaan media massa yang seolah tak saling berhubungan. Boedi
Sampoerna dan Hartati Murdaya yang disebutnya sebagai penyumbang
logistik SBY dalam Pemilu lalu. Masih ditambah lagi dengan lampiran copy
surat rekomendasi dari Kabareskrim Mabes Polri Komjen (Pol.) Susno
Duadji tertanggal 7 dan 17 April 2009. Surat rekomendasi inilah yang
kemudian menjadi titik tolak kecurigaan publik terhadap peran serta Susno
dalam kasus ini, dimana ia terkesan menyelamatkan uang milik Boedi
Sampoerna di Bank Century senilai US$ 18 juta.
(http://polhukam.kompasiana.com)
Selain dana di Bank Century, di bagian kedua George juga menyoal
pemanfaatan dana publik yang dialihkan untuk biaya kampanya Partai
Demokrat dan calon presidennya. Di bagian kedua ini yang juga cuma 3
halaman berisi informasi yang didapat George tentang pengalihan separuh
dari dana PSO (Public Service Obligation) LKBN Antara yang menurutnya
mantan Direktur Blora Centre dalam Pemilu 2004 dan mantan wakil
Pemimpin Umum harian Jurnal Nasional duduk sebagai Direktur Komersial
& IT Perum LKBN Antara, yaitu Rully Ch. Iswahyudi.
Ruh utama buku ini ternyata bukan di soal Bank Century, melainkan
justru peran yayasan-yayasan yang berafiliasi dengan SBY dan Ny. Ani
Yudhoyono. Disebutkan tiga yayasan yang berafiliasi dengan SBY, yaitu
Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY
Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (YKDK).
Sementara yayasan yang berafiliasi dengan Ny. Ani Yudhoyono juga
disebutkan tiga oleh George: Yayasan Mutu Manikam Nusantara, Yayasan
Batik Indonesia dan Yayasan Sulam Indonesia. Khusus bagian ini, cukup
memberikan informasi bagi publik tentang nama-nama pejabat dan tokoh
penting yang terlibat di dalamnya. Namun, masih belum jelas apa kaitan
yayasan-yayasan itu dengan aliran dana Bank Century apalagi
keterlibatannya dalam pemenangan Pemilu 2009 bagi Partai Demokrat dan
SBY. (http://www.hong.web.id)
2.1.11. Korek Api
2.1.11.1. Pengertian Korek Api
Korek api adalah sebuah alat untuk menyalakan api secara terkendali.
Korek api dijual bebas di toko-toko dalam bentuk paket sekotak korek api.
Sebatang korek api terdiri dari batang kayu yang salah satu ujungnya ditutupi
dengan suatu bahan yang umumnya fosfor yang akan menghasilkan nyala api
karena gesekan ketika digesekkan terhadap satu permukaan khusus.
permukaan kasar. Korek api yang menggunakan cairan seperti naphtha atau
butana disebut korek api gas.
Bangsa Tiongkok sejak 577 telah mengembangkan korek api
sederhana yang terbuat dari batang kayu yang mengadung belerang. Korek
api modern pertama ditemukan tahun 1805 oleh K. Chancel, asisten Profesor
L. J. Thénard di Paris. Kepala korek api merupakan campuran potasium
klorat, belerang, gula dan karet. Korek api ini dinyalakan dengan
menyelupkannya ke dalam botol asbes yang berisi asam sulfat. Korek api ini
tergolong mahal pada saat itu dan penggunaannya berbahaya sehingga tidak
mendapatkan popularitas.
Korek api yang dinyalakan dengan digesek pertama kali ditemukan
oleh kimiawan Inggris John Walker tahun 1827. Penemuan tersebut diawali
oleh Robert Boyle tahun 1680-an dengan campuran fosfor dan belerang,
tetapi usahanya pada waktu itu belum mencapai hasil yang memuaskan.
Walker menemukan campuran antimon (III) sulfida, potasium klorat, natural
gum, dan pati dapat dinyalakan dengan menggesekkannya pada permukaan
kasar. Kaitan antara korek api ini dengan Cikeas yaitu dari sisi korek
memang hal yang sangat dibutuhkan oleh banyak orang dari rumah tangga
sampai pabrik, akan tetapi korek api ini juga banyak menimbulkan musibah
seperti kebakaran yang biasanya terjadi di rumah – rumah, sehingga apabila
Cikeas ini dibongkar maka akan menimbulkan bencana yang luar biasa bagi
masyarakat dan sebuah pengetahuan yang lebih mengenai kebobrokan yang
2.1.11.2. Batang Korek Api
Batang korek api merupakan hal yang sangat mengntungkan buat
manusia hal ini sangat membantu kinerja manusia dalam segala hal,
hubungan antara batang korek api dan manusia yaitu ketika dibakar, setiap
batang kayu kecil itu meninggalkan jejak hangus yang berbeda. Itu mirip
proses identifikasi manusia, di mana setiap pribadi adalah sosok yang unik,
selain itu batang korek api ini juga bisa membuat manusia tersebut tidak
menyukai batang korek api, karena memang banyak batang korek api yang
membakar rumah. Banyak hal yang bisa disampaikan lewat batang korek api,
batang yang dipelintir jadi benda lain, diharapkan bisa menciptakan kejutan
visual yang memancing perhatian soal kefanaan, pluralitas, kerapuhan cinta,
atau perbedaan antara harapan dan kenyataan.
Memang dalam kasus Cikeas batang korek api ini memang sangat
cocok digunakan karena memang batang korek api ini diibaratkan sebagai
pnyulut dalam kasus Century ketika penyulut ini mulai dinyalakan maka
bukan tidak mungkin akan menimbulkan keresahan bagi orang banyak.
2.2. Kerangka Pikir
Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, penelitian ini
berusaha mengungkap makna yang terkandung pada karikatur Surat Kabar
Jawa Pos edisi 29 Desember 2009, maka peneliti melakukan pemaknaan
terhadap tanda lambang dengan menggunakan metode semiotik Peirce,
ini berusaha mengungkap makna yang terkandung pada karikatur Gurita
Cikeas pada Surat Kabar Jawa Pos. Semiotik Peirce menekankan pada
hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi. Hubungan antara
ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu makna, terutama antara
tanda dan obyeknya.
Pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan
pendekatan semiotika. Adapun hasil kerangka berfikir diatas dapat
digambarkan dalam bentuk bagan:
Karikatur tentang ”Gurita Cikeas” pada Surat Kabar Jawa Pos
Analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika Peirce:
Ikon
Indeks
Simbol
Hasil interpretan peneliti
Gambar 2.3.
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
menggunakan analisis semiotik Pierce, untuk menginterprestasikan
representasi karikatur pada media cetak yaitu surat kabar, yang akan dijadikan
sebagai objek penelitian ini adalah ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat
Kabar Jawa Pos Edisi 29 Desember 2009.
Oleh karena itu peneliti yang melakukan studi analisis isi kualitatif
harus memperhatikan beberapa hal: pertama adalah konteks atau situasi social
diseputar dokumen atau teks yang diteliti. Disini, peneliti diharapkan dapat
memahami the nature atau kealamiahan dan culture meaning atau makna
cultural dari artifact atau teks yang diteliti. Kedua adalah proses atau
bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya dikreasi secara actual dan
diorganisasikan secara bersama. Ketiga adalah emergence, yakni pembentukan
secara gradual/bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan
interpretasi.
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode semiotik.
Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas
real yang didapatkan melalui interpretasi simbol- simbol dan tanda-tanda yang
ditampilkan sepanjang Iklan. Analisis semiotik termasuk dalam metode
kualititaf. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, dimana peneliti berusaha untuk
mengetahui pemaknaan karikatur dalam Surat Kabar Jawa Pos.
3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1. Corpus
Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan
masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang
ditentukan pada perkembangannya oleh analisa dengan semacam kesemenaan,
bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan.2001:7).
Corpus adalah kata lain dari sampel, bertujuan tetapi khusus digunakan
untuk analisis semiologi dan analisis wacana. Pada penelitian kualitatif ini
memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Corpus
dari penelitian ini adalah karikatur “Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa Pos
Edisi 29 Desember 2009.
3.2.2. Unit Analisis
Unit analisis data dalam penelitian ini adalah tanda yang ada dalam
karikatur yang berupa gambar dan tulisan yang terdapat dalam karikatur yang
dimuat di Surat Kabar Jawa Pos, kemudian diinterpretsikan dengan
menggunakan ikon (icon), indeks (index), dan symbol (symbol).
3.2.2.1. Ikon
Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya
bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah
dalam karikatur ”Gurita Cikeas” yang dimuat di surat kabar Jawa Pos adalah
tiga ekor Gurita dan kepala Gurita yang memakai mahkota.
3.2.2.2. Indeks
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah
antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat,
atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur
yang dimuat di surat kabar Jawa Pos adalah teks membongkar Gurita Cikeas,
teks George Junus Aditjondro, teks di balik skandal Century, Bukankah SBY
berkata akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini dan teks
Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden Republik Indonesia.
3.2.2.3. Simbol
Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara
penanda keserakahan dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat
abitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.
Simbol dalam karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos ini adalah
Tentakel Gurita, Kotak Korek, Batang Korek, 4 batang korek yang keluar,
Kotak Korek yang terbuka, Cover Korek.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
dokumentasi dan mengamati karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos
secara langsung serta melakukan studi pustaka untuk melengkapi data-data
3.4. Teknis Analisis Data
Analisis Semiotika pada corpus penelitian pada karikatur ”Gurita
Cikeas” setelah melalui tahapan pengkodean maka selanjutnya peneliti akan
menginterpretasikan tanda-tanda tersebut untuk ditahui pemaknaannya.
Terkait dalam penelitian ini, untuk mengetahui isi pesan dalam
karikatur surat pembaca, peneliti mengamati signs atau system tanda yang
tampak dalam Iklan, kemudian memaknai dan menginterpretasikannya dengan
menggunakan metode semiotik Pierce, yang terdiri dari :
1. Obyek
Adalah gambar atau karikatur itu sendiri. Obyek dalam penelitian ini
adalah karikatur “Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29
Desember 2009.
2. Sign
Adalah segala sesuatu yang ada dalam gambar karikatur tersebut. Sign
dalam penelitian ini adalah tiga ekor Gurita, kepala Gurita yang memakai
mahkota, teks membongkar Gurita Cikeas, teks George Junus Aditjondro,
teks di balik skandal Century, Bukankah SBY berkata akan memimpin
sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini, teks Abdurrahman Wahid,
Mantan Presiden Republik Indonesia, Tentakel Gurita, Kotak Korek,
Batang Korek, 4 batang korek yang keluar, Kotak Korek yang terbuka,
3. Interpretant
Adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk
sebuah tanda. Interpretant dalam penelitian ini adalah hasil interpretasi
dari peneliti.
Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index
(indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategori tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Ikon (Icon)
Adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat
bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan
antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam
karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos adalah tiga ekor Gurita dan
kepala Gurita yang memakai mahkota.
2. Indeks (Index)
Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda
dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda
yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur surat
kabar Jawa Pos adalah teks membongkar Gurita Cikeas, teks George Junus
Aditjondro, teks di balik skandal Century, Bukankah SBY berkata akan
memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini dan teks
3. Simbol (Symbol)
Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda
dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau semena,
hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam
karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos ini adalah Tentakel Gurita,
Kotak Korek, Batang Korek, 4 batang korek yang keluar, Kotak Korek
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian
Mencoba menelusuri sejarah harian ini memang mengasyikkan. Kali
pertama diterbitkan pada 1 Juli 1949, bila dilihat dari hari lahirnya Jawa Pos
termasuk salah satu surat kabar tertua di Indonesia. Waktu itu namanya Java
Post, lalu pernah juga menjadi Djawa Post, Djawa pos dan kemudia Jawa pos
seperti sekarang ini.
Riwayat pendiriannya pun sederhana saja, waktu itu, The Chung Sen
seorang WNI kelahiran Bangka bekerja di dikantor film di Surabaya. Dialah
yang bertugas untuk selalu menghubungi surat kabar agar pemuatan iklan
filmnya lancar. Dari sini pula The Chung Sen mengetahui bahwa memiliki
surat kabar ternyata menguntungkan, maka didirikanlah Java Post. Saat itu,
harian ini tentunya juga dikenal sebagai harian Melayu – Tionghoa. Sebab
pengelolannya, modalnya dari kalangan itu sendiri. Harian ini tentunya bukan
satu – satunya harian Melayu – Tionghoa di Surabaya, yang terbesar saat itu
adalah Pewarta Soerabaia Trompet Masyarakat dan Perdamaian. The Chun
Sen tentunya melirik keuntungan yang berhasil diraih oleh harian Pewarta
Soerabaia yang sudah berhasil memantapkan diri sebagai koran dagang di
Surabaya tapi cita – cita dan impiannya itu rasanya tidak pernah dapat
dicapai. Dalam perjalanannya sebagai koran Melayu – Tionghoa yang
berhaluan republikein, harian ini tidak pernah kondang dikalangan
pembacanya, keturunan tionghoa. Mereka misalnya lebih suka Pewarta
Soerabaia yang kiblatnya masih ke arah tanah leluhur mereka. Juga harian
Melayu – Tionghoa yang terbit di Jakarta kebanyakan berhaluan yang sama
dengan Pewarta Soerabaia. Jadi harian ini kemudian mempunyai ciri yangh
khas sebagai harian Melayu – Tionghoa.
Masalah ini tentunya bukan suatu masalah kecil, karena waktu itu
masalah orang Tionghoa atau keturunan Tionghoa belum diatur oleh undang –
undang. Masalah mereka baru diatur sekitar tahun 60-an. Sehingga memihak
kepada Republik dalam situasi ini masih jauh dari Konfrensi Meja Bundar
tentunya satu gagasan yang menarik buat dikaji. Ini tentunya tak lepas dari
wawasan The chung Sen yang jauh kedepan. Jika hanya untuk meperoleh
uang, ia tentunya bisa memerintahkan pemimpin redaksinya untuk berorientasi
ke tanah leluhur. Tapi itu tak pernah dilakukan. Pemimpin redaksi
pertamannya adalah Goh Tjing Ilok, kedua yang memangku jabatan tersebut
sejak tahun 1953 adalah Thio Oen Sik. Keduannya memang dikenal sebagai
orang – orang republikien yang tak pernah goyah pendiriannya.
Dalam perkembangan selanjutnya The Chung Sen bisa disebut ”Raja”
kabar sekaligus. Satu berbahasa Indonesia, satu berbahasa Tionghoa dan satu
berbahasa Belanda. Yang berbahasa Belanda tersebut kemudia diubah menjadi
Indonesia Daily News yang berbahasa Inggris. Sebab ketika Bung Karno
gencar – gencarnya anti Belanda, hal – hal yang berbau Belanda diminta
diubah. Termasuk koran milik The Chung Sen, Vrije Pers. Sedangkan
korannya yang berbahasa Tionghoa mengalami nasib yang sama, bahkan tidak
bisa terbit sama sekali, maka tinggallah JAWA POS. Bahkan yang satu itupun
kian hari kian redup. Apalagi The Chung Sen harus berpacu dengan usia, dan
tiga orang putranya tidak satupun yang tinggal di Indonesia.
Perkembangan teknologi cetak juga kian sulit diikuti. Maka oplah
JAWA POS pun terus mengalami penurunan, sehingga di tahun 1982 lalu
tinggal 6.700 eksemplar setiap hari. Pelanggannya di dalam kota Surabaya
tinggal 2000 orang. Peredarannya di Malang tinggal 350 lembar. Saking
sedikitnya sampai – sampai kantor pusatnya mengurusi loper sendiri yang
jumlahnya cuma 40 orang.
Maka keadaan fisiknya yan kian uzur dan didorong keinginannya
untuk bisa dekat dengan anak – anaknya, The Chung Sen memutuskan untuk
menyerahkan pengelolaan JAWA POS kepada pengelola majalah mingguan
berita TEMPO. Ini terjasi pada 1 April 1982. Saat itu Dahlan Iskan yang kini
”Pak The (begitu penggilan untuk the Chung Sen) menyatakan tidak
mungkin lagi bisa mengembangkan Jawa Pos. Tapi Pak The tidak ingin surat
kabar yang didirikannya mati begitu saja. Itulah sebabnya Jawa Pos
diserahkan kepada pengelola yang baru, ujar Diruk PT. Grafiti Pers, Penerbit
Tempo, Eric Samola, SH yang kini juga jadi Direktur Utama PT Jawa Pos.
Pak The sendiri memilih Tempo dengan pertimbangan khusus.
”Tempo kan belum punya surat kabar, kalau saya serahkan kepada rekan yang
sudah memiliki surat kabar, tentu surat kabar saya ini akan dinomorduakan”,
begitu kata Pak The saat itu dengan pertimbangan seperti itulah Pak The ingin
perkembangan Jawa Pos tidak terlambat.
Pak The sendiri dalam usianya yang sudah 89 tahun akhirnya memang
berangkat ke Inggris bersama istrinya, Mega Indah yang berusia 71 tahun dia
berpesan agar Jawa Pos bisa dikembangkan sebagaimana di masa mudanya.
Maka pada suatu malam sebelum keberangkatannya ke Inggiris sebuah pesta
kecil diadakan di halaman rumahnya di Jalan Pregolan. Di situlah kebulatan
tekad ”kami bertekad merebut kembali sejarah yang telah dibuat oleh Pak
The”, begitu juga kata – kata akhir sambutan Dahlan Iskan yang saat itu
4.2. Penyajian Data
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap gambar
karikatur ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29
Desember 2009 disajikan hasil pengamatan terhadap gambar karikatur
tersebut. Dalam tampilan gambar karikatur tersebut terdapat pesan verbal.
Pesan verbalnya adalah terdapat tiga ekor Gurita, kepala Gurita yang memakai
mahkota, teks membongkar Gurita Cikeas, teks George Junus Aditjondro, teks
di balik skandal Century, Bukankah SBY berkata akan memimpin sendiri
pemberantasan korupsi di negeri ini, teks Abdurrahman Wahid, Mantan
Presiden Republik Indonesia, Tentakel Gurita, Kotak Korek, Batang Korek, 4
batang korek yang keluar, Kotak Korek yang terbuka, Cover Korek.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada gambar
karikatur ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29
Desember 2009, akan disajikan hasil pengamatan dari gambar karikatur
”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29 Desember
2009.
4.3. Analisis Data
Gambar karikatur ”Gurita Cikeas” tersebut membagi tanda menjadi
tiga kategori yaitu :
1. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat
antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon yang
dimuat dalam karikatur ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar
Jawa Pos adalah tiga ekor Gurita dan kepala Gurita yang memakai
mahkota.
2. Indeksnya adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah
antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat,
atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam
karikatur ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar Jawa Pos adalah
teks membongkar Gurita Cikeas, teks George Junus Aditjondro, teks di
balik skandal Century, Bukankah SBY berkata akan memimpin sendiri
pemberantasan korupsi di negeri ini dan teks Abdurrahman Wahid,
Mantan Presiden Republik Indonesia.
3. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda
keserakahan dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer
atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.
Simbol dalam karikatur ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar
Jawa Pos adalah Tentakel Gurita, Kotak Korek, Batang Korek, 4 batang