• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” (Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” Edisi 29 Desember 2009 di Jawa Pos)”.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” (Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” Edisi 29 Desember 2009 di Jawa Pos)”."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas”

Edisi 29 Desember 2009 Pada Harian Jawa Pos)

SKRIPSI

Oleh :

ERNI SURYANI

0343210444

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

Nama : Erni Suryani

NPM : 0343210444

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti Seminar Proposal

Menyetujui,

Pembimbing Utama

Juwito, S.Sos, MS NPT. 956 700 036

Mengetahui

Ketua Program Studi Komunikasi

(3)

(Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur ”Gurita

Cikeas” Edisi 29 Desember 2009 Di Jawa Pos)

Nama : Erni Suryani

NPM : 0343210444

Jurusan : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui Pembimbing Utama 1. Penguji I

Juwito, S.Sos, MS Juwito, S.Sos, MSi

NPT. 956 700 036 NPT. 956 700 036

2. Penguji II

Zaenal Abidin A, MSi, MEd NPT. 997 300 170

3. Penguji III

Drs. Kusnarto, Msi NIP. 030 176 735

Mengetahui

Ketua Jurusan Komunikasi

(4)

Nama : Erni Suryani

NPM : 0343210444

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, Pembimbing Utama

Juwito, S.Sos, MS NPT. 956 700 036

Mengetahui Dekan

(5)

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

yang telah memberikan rahmat berupa kesehatan, kesempatan, ilmu serta

kekuatan sehingga penulis bisa mengerjakan penulisan skripsi dengan judul :

Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” (Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” Edisi 29 Desember 2009 di Jawa Pos)”

Shalawat serta salam juga tertuju pada junjungan kita Nabi Muhammad

SAW, yang karena beliaulah kita semua dapat menjadi manusia yang lebih baik

karena tauladan Beliau :

Ungkapan terima kasih atas terselesaikannya penelitian ini, peneliti

ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu hingga selama ini.

Ungkapan tersebut peneliti sampaikan antara lain kepada :

1. Ibu Dra. EC.Hj. Suparwati, MSi., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S. Sos., MSi., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur serta selaku Dosen

Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu dan ilmu guna

mengarahkan dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Dosen-dosen Jurusan Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu

selama dibangku kuliah ini.

(6)

ii

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

5. Orang–orang yang selalu mendukung dalam pembuatan skripsi agar cepat

selesai, terimah kasih untuk semuanya.

6. Teman-teman dan orang-orang terdekat yang telah membantu dalam

penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari masih banyak kekurangan

dan kelemahan dalam penyusunan skripsi ini, maka saran dan kritik membangun

dari para pembaca sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

Surabaya, Mei 2010

(7)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 9

2.1.1. Surat Kabar ... 9

2.1.2. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa ... 10

2.1.3. Karikatur ... 12

2.1.4. Kritik Sosial dan Politik ... 12

2.1.5. Semiotika ... 16

2.1.6. Teori Warna ... 17

2.1.7. Semiotika Charles Sanders Peirce ... 18

2.1.8. Korupsi ... 21

2.1.8.1.Sifat Korupsi ... 22

(8)

2.1.9.1.Pengertian Gurita ... 24

2.1.10.Gurita Cikeas ... 26

2.1.10.1.Pengertian Gurita Cikeas ... 26

2.1.11.Korek Api ... 29

2.1.11.1.Pengertian Korek Api ... 29

2.1.11.2.Batang Korek Api ... 31

2.2. Kerangka Pikir ... 31

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 33

3.2. Kerangka Konseptual ... 34

3.2.1. Corpus ... 34

3.2.2. Unit Analisis ... 34

3.2.2.1.Ikon ... 34

3.2.2.2.Indeks ... 35

3.2.2.3.Simbol ... 35

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 35

3.4. Teknik Analisis Data ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 39

4.2. Penyajian Data ... 43

(9)

4.3.1. Klasifikasi Tanda ... 45

4.4. Gambar Karikatur “Gurita Cikeas” Di Surat Kabar Jawa Pos

Edisi 29 Desember 2009 Dalam Model Pierce ... 48

4.5. Ikon, Indeks, Simbol ... 49

4.6. Interpretasi Pemaknaan Keseluruhan Gambar Karikatur

Keserakahan Dalam Surat Kabar Merdeka Edisi 27 januari

2009 ... 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 70

5.2. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

Gambar 2.2. Model Kategori Tanda ... 20

Gambar 2.3. Kerangka Pikir ... 32

Gambar 4.1. Karikatur ”Gurita Cikeas” Dalam Kategori Tanda Pierce ... 45

Gambar 4.2. Gambar Karikatur “Gurita Cikeas” dalam Elemen Makna

Pierce ... 49

Gambar 4.3. Gambar Karikatur ”Gurita Cikeas” Dalam Kategori Tanda

Peirce (I) ... 51

(11)
(12)

Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” Edisi 29 Desember 2009 di Jawa Pos)”

Keberadaan karikatur pada surat kabar, bukan berarti hanya melengkapi surat kabar dan memberikan hiburan selain berita-berita utama yang disajikan. Gambar karikarur “Gurita Cikeas” yang ada pada surat kabar Jawa Pos edisi 29 Desember 2009 merupakan penggambaran suatu dari peristiwa yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia dimana mulai terbongkarnya serentetan kasus Bank Century yang mulai terkuak. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pemaknaan karikatur ”Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29 Desember 2009.

Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori semiotik pierce. Teori ini menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi, hubungan antara ketiga unsur tersebut untuk mencapai suatu makna.

Metode deskriptif kualitatif merupakan metode pada penelitian ini dengan menggunakan analisis semiotika pierce, untuk menginterpretasikan representasi karikatur pada media surat kabar Jawa Pos. Dengan metode semiotik peneliti menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol dan gambar yang ditampilkan pada karikatur.

Pembahasan gambar karikatur “Gurita Cikeas” merupakan gambar karikatur yang terdiri dari gambar karikatur tiga ekor Gurita, kepala Gurita yang memakai mahkota, teks membongkar Gurita Cikeas, teks George Junus Aditjondro, teks di balik skandal Century, Bukankah SBY berkata akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini dan teks Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden Republik Indonesia, kotak korek, batang korek, 4 batang korek yang keluar, kotak korek yang terbuka. Dimana unsur-unsur tersebut merupakan suatu bentuk yang identik dari suatu realitas sosial yang terjadi di negara ini.

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa “Gurita Cikeas” merupakan gambar karikatur yang menunjukkan suatu bentuk yang identik dari suatu realitas sosial yang terjadi di negara ini yang memang sudah sangat susah untuk diungkap dan dibeberkan untuk kepentingan rakyat.

Kata Kunci : karikatur, semiotik, jawa pos, gurita cikeas

(13)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kehadiran media massa terutama media cetak merupakan penanda

awal dari kehidupan modern sekarang ini. Pesan melalui media cetak

diungkapkan dengan huruf-huruf mati, yang baru menimbulkan makna apabila

khalayak berperan secara aktif. Karena itu berita, tajuk rencana, artikel, dan

lain-lain, pada media cetak harus disusun sedemikian rupa, sehingga mudah

dicerna oleh khalayak. Kelebihan media cetak lainnya, ialah bahwa media ini

dapat di kaji ulang, didokumentasikan, dan dihimpun untuk kepentingan

pengetahuan, serta dapat dijadikan bukti otentik yang bernilai tinggi. (Effendy,

2000: 313-314)

Selama ini kita tahu bahwa media cetak seperti surat kabar tidak hanya

berperan sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsinya, tetapi bisa

juga mempunyai suatu karakteristik yang menarik yang perlu diperhatikan

untuk memberikan analisis yang sangat kritis yang akan menumbuhkan

motivasi, mendorong serta dapat mengembangkan pola pikir bagi masyarakat

untuk semakin kritis dan selektif dalam menyikapi berita-berita yang ada di

dalam media. Belakangan ini media pers Indonesia menampilkan

komik-kartun dan karikatur sebagai ungkapan kritis terhadap berbagai masalah yang

berkembang secara tersamar dan tersembunyi. Pembaca diajak berpikir,

(14)

merenungkan dan memahami pesan-pesan yang tersurat dan tersirat dalam

gambar tersebut. (Sobur, 2006:140)

Keberadaan karikatur pada surat kabar, bukan berarti hanya

melengkapi surat kabar dan memberikan hiburan selain berita-berita utama

yang disajikan. Tetapi juga dapat memberikan informasi dan tambahan

pengetahuan kepada masyarakat. Karikatur membangun masyarakat

melalui pesan-pesan sosial yang dikemas secara kreatif dengan

pendekatan simbolis. Sayangnya muatan pesan verbal dan pesan visual

yang dituangkan di dalam karikatur terlalu banyak. Secara visual, desain

karikatur yang disajikan pun menjadi jelek, tidak komunikatif, kurang

cerdas, dan terkesan menggurui. Akibatnya masyarakat luas yang

diposisikan sebagai target sasaran dari karikatur dengan serta merta akan

mengabaikan pesan sosial yang ingin disampaikan oleh

karikatur(http://www.desaingrafisindonesia.com).

Digunakannya gambar karikatur dari harian Jawa Pos edisi Desember

2009 sebagai objek penelitian dikarenakan gambar karikatur tersebut

merupakan penggambaran suatu dari peristiwa yang sedang dialami oleh

bangsa Indonesia dimana mulai terbongkarnya serentetan kasus Bank Century

yang mulai terkuak. Hal tersebut mulai ramai dibicarakan terlebih sejak

diluncurkannya buku Membongkar Gurita Cikeas. Buku Membongkar Gurita

(15)

mendominasi wacana publik akhir tahun 2009 lalu. Bak kado tahun baru, buku

setebal 153 halaman tersebut laris manis di kalangan penggiat demokrasi dan

aktivis gerakan mahasiswa.

Berbagai kisah miring tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

(SBY), keluarga, dan partainya, bukan lagi dalam bisik-bisik, selebaran, atau

SMS gelap. Sebuah buku berjudul Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik

Skandal Bank Century, kini beredar luas di internet, melalui facebook, twitter,

email, dalam bermacam versi. Ada yang disingkat, ada yang seutuhnya. Buku

yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, bekas wartawan, aktivis, peneliti

korupsi, dan pengajar. Sebetulnya, dalam bentuk cetakan, buku itu telah

diluncurkan akhir bulan lalu, dan beredar di sejumlah toko buku, terutama

toko buku dengan jaringan luas, Gramedia. Tapi anehnya, baru sehari buku itu

ditarik dari peredaran. ‘’Karena kontroversial, buku itu diperintahkan ditarik

ke pusat,’’ kata seorang pelayan Toko Buku Gramedia di sebuah pusat

perbelanjaan di Bintaro, Tangerang. Tak jelas mengapa pengelola toko buku

terbesar itu menarik buku tersebut dari peredaran. Boleh jadi karena Presiden

SBY sendiri beberapa kali secara terbuka menyerangnya. Yang pasti, apa pun

yang terjadi, cara Gramedia ini agaknya sebuah kiat baru untuk membreidel

sebuah buku. Terbukti di mana-mana orang kesulitan membeli buku itu,

sampai bisa berharga ratusan ribu rupiah.

Sementara itu, Membongkar Gurita Cikeas menjadi ajang perdebatan

(16)

menyebabkan minat untuk membaca buku ini meningkat. Sekarang tampaknya

masyarakat sudah terpuaskan dan bisa membaca Membongkar Gurita Cikeas,

setelah salinan buku itu beredar luas di internet. Mungkin Ridwan Saidi perlu

menempuh cara – cara George Junus Aditjondro. Dihidangkan dengan gaya

tulisan wartawan yang enak dibaca, lancar dan mengalir, tapi cukup lugas,

Membongkar Gurita Cikeas segera menjadi buku paling top sepanjang tahun

2009 yang baru saja berlalu. Intinya, buku ini menggambarkan betapa sebuah

kekuasaan politik dibangun dengan kolaborasi bersama para pemilik modal,

dengan cara-cara yang manipulatif. Dengan demikian para Markus seperti

Anggodo atau Artalyta Suryani alias Ayin menduduki posisi penting, bisa

berteman dengan para pejabat tinggi, bahkan dengan presiden sekali pun.

Mirip sebuah hasil reportase investigasi, George Junus Aditjondro

membongkar semuanya. (http://www.hidayatullah.com)

Pro-kontra terhadap isi dan peredaran buku tersebut tak terelakkan.

Bahkan, insiden kecil terjadi ketika George menepiskan kertas kepada tokoh

Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, yang merasa didiskreditkan di dalam buku

tersebut. Peristiwa itu terjadi di Doekoen Coffee, saat buku tersebut

diluncurkan oleh Petisi 28, pada 30 Desember 2009. Buku itu menjadi tenar

karena mengundang kontroversi, yang sebenarnya juga tidak secara jelas

dijawab oleh buku itu sendiri. Kontroversi tersebut berupa hipotesis tentang

(17)

berkelindan secara politik untuk mengapropriasi benefit ekonomi. Dari sudut

narasi teks dan rekonstruksi relasi antar-yayasan di seputar keluarga Cikeas,

lewat buku ini, George secara tidak sengaja telah menghidupkan kembali

memori kita pada praktik subur nepotisme pada zaman Orde Baru. Terlebih

dengan masih "gelapnya" kasus bailout Bank Century saat ini, buku ini

mendapatkan konteksnya yang sempurna untuk menarik perhatian semua

orang.

Secara metodologis, George membangun cerita isi buku lewat

penelusuran hubungan orang per orang (people to people relationship) dengan

keluarga Cikeas, baik lewat kelembagaan, peristiwa, kegiatan maupun secara

personal. Di dalam buku George terdapat empat tokoh yang menjadi ikon

penting dalam rangka menggiring opini pembaca ke nuansa "gurita" ekonomi

politik Cikeas. Keempat tokoh itu adalah Budi Sampurna, Murdaya Poo,

Arthalita "Ayin" Suryani, dan Samsul Nursalim.

Dua orang pertama adalah deposan besar Bank Century yang dikenal

membantu tim kampanye SBY. Sedangkan dua nama terakhir sering mencuat

karena kasus BLBI, khususnya ketika Ayin tertangkap basah menyuap jaksa

Urip Tri Gunawan. Suka atau tidak, dengan menonjolnya peran tokoh-tokoh

itu dalam cerita Gurita Cikeas, George berhasil membentuk opini publik

tentang landasan hipotesis kontroversial seperti disebut di atas. Harus diakui,

buku ini lemah di dalam data primer karena mayoritas data yang digunakan

(18)

politik yang berseberangan dengan SBY. George juga terkesan memaksakan

generalisasi dari sebuah relasi atau peristiwa untuk tujuan menggiring opini

pembaca terhadap pengaminan pada judul buku yang memang provokatif.

Meski membuat Partai Demokrat kalap dan kebakaran jenggot, buku

Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Kasus Bank Century karya George Junus

Aditjondro dinilai bisa menjadi senjata tambahan Pansus Centurygate untuk

membongkar skandal Century. “Buku itu bisa membuka pengusutan yang

lebih lanjut. Setidaknya menjadi arahan untuk Pansus Century. Membuka

jalan data dan mencari fakta di balik Century. Pansus harus buktikan

kebenaran buku tersebut. Memang buku itu tidak bisa dijadikan barang hukum

namun bisa menjadi pegangan Pansus untuk mencari penjelasan lebih jauh

tentang orang-orang yang terlibat di balik aliran dana bailout Century, seperti

SBY dan kroni-kroninya,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia

(UI), Boni Hargens, kepada wartawan, sebelum diskusi “Refleksi dan Evaluasi

Rapot Pemerintah SBY-Boediono” di Rumah Perubahan, Jalan Panglima

Polim, Jakarta (Minggu, 27/12). Menurut Boni, sebagaimana disebutkan

dalam buku tersebut, modus korupsi politisi adalah melalui lembaga publik

yang tidak perlu diaudit seperti yayasan (http://www.rakyatmerdeka.co.id)

Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

studi semiotik Charles Sanders Peirce dalam karikatur pada harian Jawa Pos

(19)

tanda, obyek dan peserta komunikasi. Hubungan antara ketiga unsur tersebut

adalah untuk mencapai suatu makna, terutama antara tanda dan obyeknya.

Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema

pengungkapan kasus-kasus yang dilakukan oleh jajaran elit negara Indonesia

sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembentukan pesan. Peristiwa

tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda –tanda (gambar, kata-kata, dan

lainnya) dalam format sebuah karikatur. Sehingga yang menjadi perhatian

dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat

dipandang, dituangkan dan dinilai. Sebab itulah diperlukan adanya karikatur

tersebut, dengan siatuasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Hal

itulah yang kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Peirce,

karena Peirce dalam hal ini lebih memperhatikan realita makna. Dengan

demikian penelitian ini termasuk pada bidang studi semiotik budaya tempat

kode-kode dan tanda-tanda digunakan.

Dari latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk

meneliti tentang Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa

Pos Edisi 29 Desember 2009.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,

maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah

Pemaknaan Karikatur ”Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29

(20)

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pemaknaan

Karikatur ”Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29 Desember 2009.

1.4.Kegunaan Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah referensi

kepustakaan bagi Universitas Pembangunan Nasional terutama mengenai

penelitian yang berkaitan dengan komunikasi massa khususnya pengaruh

media massa terhadap khalayak.

2. Kegunaan Praktis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pembaca untuk lebih

membuka wawasan tentang pemaknaan terhadap gambar khususnya

karikatur pembaca diajak berpikir, dan memahami pesan-pesan yang

(21)

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Surat kabar

Surat kabar merupakan salah satu kajian dalam studi ilmu komunikasi,

khususnya pada studi komunikasi massa. Dalam buku “Ensiklopedi Pers

Indonesia” disebutkan bahwa pengertian surat kabar sebagai sebutan bagi

penerbit pers yang masuk dalam media massa cetak yaitu berupa

lembaran-lembaran berisi berita-berita, karangan-karangan dan iklan yang diterbitkan

secara berkala : bias harian, mingguan dan bulanan, serta diedarkan secara

umum (Junaedhi, 1991:257).

Idealisme yang melekat pada pers dijabarkan dalam pelaksanaan

fungsinya, selain menyiarkan informasi yang objektif dan edukatif,

menghibur, melakukan kontrol sosial yang konstruktif dengan menyalurkan

segala aspirasi masyarakat, serta mempengaruhi masyarakat dengan

melakukan komunikasi dan peran serta positif dari masyarakat itu sendiri.

(Effendy, 2003: 149)

Sementara (Sumadiria, 2005 : 32-35) dalam Jurnalistik Indonesia

menunjukkan 5 fungsi dari pers yaitu :

(22)

1. Fungsi Informasi, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi secepat

cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya yang actual, akurat,

factual dan bermanfaat.

2. Fungsi Edukasi, maksudnya disini informasi yang disebar luaskan pers

hendaknya dalam kerangka mendidik. Dalam istilah sekarang pers harus

mau dan mampu memerankan dirinya sebagai guru pers.

3. Fungsi hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana

hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan

masyarakat.

4. Fungsi kontrol sosial atau koreksi, pers mengemban fungsi sebagai

pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa menyalahkan

ketika melihat penyimpangan dan ketidak adilan dalam suatu masyarakat

atau negara.

5. Fungsi mediasi, dengan fungsi mediasi, pers mampu menjadi fasilitator

atau mediator menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain,

peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu

dengan yang lain.

2.1.2. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi sering diartikan sebagai perpindahan (transfer) informasi

(23)

saluran (media) tertentu dengan tujuan mencapai saling pengertian (mutual

understanding).

Ada 2 (dua) macam proses komunikasi, yaitu : secara tatap muka

(primer) dan secara media (sekunder). Komunikasi sekunder ini dilakukan

dengan menggunakan media nirmasa (dalam komunikasi kelompok tertentu)

atau dengan menggunakan media massa. Tujuan komunikasi sekunder ini

antara lain adalah untuk mencapai komunikan yang lebih luas,

memungkinkan imitasi oleh lebih banyak orang dan mengatasi batas ruang

dan waktu.

Komunikasi massa berfungsi menyiarkan infomasi, gagasan dan sikap

kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan

menggunakan media (Effendy, 2003:80).

Menurut Gerbner (1967) dalam Rakhmat (2002:188) Komunikasi

massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan

lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam

masyarakat industri.

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang

dilakukan melalui media massa modern meliputi surat kabar yang

mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan

kepada umum dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop

(Effendy, 2003:79).

Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan

(24)

Namun, dari sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan definisi

satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui

media massa (mdia cetak dan elektronik). Sebab, awal perkembangannya

saja, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass

communication (media komunikasi massa) yang dihasilkan oleh teknologi

modern. (Nurudin, 2007:4)

Secara teoritis, berbagai media massa memiliki fungsi sebagai saluran

informasi, saluran pendidikan, dan saluran hiburan, namun kenyataannya

media massa memberikan efek lain di luar fungsinya itu. Efek media massa

tidak hanya mempengaruhi sikap seseorang namun pula dapat mempengaruhi

perilaku, bahkan pada tataran yang lebih jauh efek media massa dapat

mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem budaya masyarakat.

Berkaitan dengan efek media massa maka salah satu media massa yang

juga dapat memberikan efek kepada khalayaknya adalah surat kabar. Surat

kabar merupakan kumpulan dari berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya

yang dicetak ke dalam lembaran kertas ukuran plano yang diterbitkan secara

teratur, bias terbit setiap hari atau seminggu satu kali (Djuroto, 2002:11).

2.1.3. Karikatur

Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya

orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan penggambaran ciri khas

lahiriahnya untuk tujuan mengejek. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:138)

Senada dengan Sudarta, Pramono berpendapat bahwa sebetulnya

(25)

kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya

berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa

pesan kritik sosial, yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adlaah

political cartoon atau aditorial cartoon, yakni versi lain dari editorial, atau

tajuk rencana dalam versi gambar humor. Inilah yang disebut sebagai

karikatur. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:139)

Dalam Encyclopedia of The Art dijelaskan, karikatur merupakan

representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan

sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur juga sering dipakai sebagai sarana

kritik sosial dan politik. Karikatur adalah produk suatu keahlian seorang

karikaturis, baik dari segi pebngetahuan, intelektual, teknik melukis,

psikologis, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaiamana dia memilih

topik isu yang tepat. (Sumandiria, 2005:8)

Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam

bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan

selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya,

karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan

kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu

dan menarik. (Sobur, 2006:140)

2.1.4. Kritik Sosial dan Politik

Indonesia terbangun ketika budaya tulis sudah menyebar luas, ketika

segala tata kehidupan dirumuskan dengan secara tertulis, ketika

(26)

majalah, maupun surat kabar, ketika industri percetakan telah mampu

memperbanyak segala macam tulisan dan menyebarkan ke berbagai

lingkungan masyarakat, ketika mengetahui huruf tersebar semakin luas

melalui pendidikan moderen dan yang tidak kalah pentingnya, ketika bahasa

Indonesia sudah diterapkan sebagai bahasa nasional, ketika segala bentuk

tulisan sebagian besar menyampaikan berbagai informasi melalui bahasa

Indonesia, serta ketika bahasa Indonesia dijadikan sebagai media resmi

pendidikan masional dan sebagai alat komunikasi dalam birokrasi (Mas’oed,

1999:42).

Dengan demikian melestarikan atau mempertahankan kritik

terselubung dalam konteks budaya yang tidak lagi menopangnya, sama saja

dengan membunuh eksistensi kritik sebagai institusi sosial yang lahir dari

kebutuhan pengembangan hidup bersama manusia. Dalam konteks budaya

tulis, budaya modern materialistis yang berpenopang pada budaya tulis

diatas, pembangunan, penembangan dan penyebaran kritik sama statusnya

dengan pembangunan, pengembangan dan penyebaran budaya kritik itu

sendiri.

Dalam beberapa pengertian kritik sosial mengandung konotasi negatif

seperti celaan, namun kata kecaman mengandung kemungkinan arti yang

positif yaitu dukungan, usulan atau saran, penyelidikan yang cermat

(Mas’oed, 1999:36). Definisi kritik menurut kamus Oxford adalah “one who

appraises literary or artistic work” atau suatu hal yang membentuk dan

(27)

awalnya berasal dari bahasa Yunani (Kritike = pemisahan, krinoo =

memutuskan) dan berkembang dalam bahasa Inggris “critism” yang berarti

evaluasi atau penilaian tentang sesuatu. Sementara sosial adalah suatu kajian

yang menyangkut kehidupan manusia dalam bermasyarakat seperti interaksi

sosial, gaya hidup masyarakat, perubahan sosial, yang terkait dengan

kehidupan sosial masyarakat. Sehingga kritik sosial, yang terkait dengan

kehidupan sosial masyarakat dapat diartikan sebagai evaluasi atau penilaian

yang menyangkut kehidupan dalam bermasyarakat menciptakan suatu

kondisi sosial yang tertib dan stabil (Santoso, 1986 :7).

Dalam kritik sosial, pers dan politik Indonesia, kritik sosial adalah

salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau

berfungsi sebagai sumber kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau

proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah kritik sosial merupakan salah

satu unsur penting dalam memelihara sistem sosial. Dengan kata lain, kritik

sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan

reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat (Akbar, dalam Masoed,

1999 : 47).

Kritik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial. Dalam arti

bahwa kritik sosial menjadi sarana komunikasi gagasan baru, sembari

menilai gagasan lama, untuk suatu perubahan sosial (Masoed, 1999 : 48).

Kritik sosial dalam kerangka yang demikian berfungsi untuk membongkar

berbagai sikap konservatif, status quo dalam masyarakat untuk perubahan

(28)

atau sejumlah orang atau kelompok sosial dalam masyarakat menginginkan

suasana baru, suasana yang lebih baik dan lebih maju atau secara politis,

suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Perspektif kritik sosial yang

demikian lebih banyak dianut oleh kaum kritis dan strukturalis. Mereka

melihat kritis sosial adalah wahana komunikatif untuk suatu tujuan

perubahan sosial (Masoed, 1999 : 49). Suatu kritik sosial selalu

menginginkan perbaikan, ini berarti bahwa suatu kritik selalu berorientasi ke

masa depan (Santoso, 1986:6). Kritik sosial yang lebih murni kurang

didasarkan pada peneropongan kepentingan diri sendiri saja, melainkan

justru menitikberatkan dan mengajak masyarakat atau khalayak untuk

memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nyata dalam masyarakat. Suatu kritik

sosial kiranya didasarkan pada rasa tanggung jawab bahwa manusia

bersama-sama bahwa manusia berbersama-sama-bersama-sama bertanggung jawab atas perkembangan

lingkungan sosialnya, sehingga diharapkan dapat menuju ke arah perbaikan

dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu ketertiban sosial (Susanto,

1986:105).

2.1.5. Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha

mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama

manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semilogi, pada dasarnya

hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal

(29)

dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa

objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek

itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonsitusi sistem terstruktur dari

tanda (Kurniawan, 2001 dalam Sobur, 2006:15)

2.1.6. Teori Warna

Warna adalah sifat persepsi visual yang menurut sisi manusia disebut

merah, kuning, biru, dll. Warna diambil dari spektrum dari cahaya (distribusi

energi cahaya versus panjang gelombang) yang berinteraksi di dalam mata

dengan sensitivitas spektral dari reseptor-reseptor cahaya. Warna merupakan

elemen yang bercahaya yang kategorinya dan spesifikasi fisiknya

diasosiasikan dengan objek- objek, material, sumber cahaya, dll berdasarkan

sifat fisiknya seperti daya serap, daya pantul, atau emisi spektra. Warna

dihasilkan dari gelombang cahaya, sejenis radiasi elektromagnetik yang

terukur dalam satuan mikron. Warna-warna yang dapat dilihat berada antara

400-700 mikron namun ada juga warna-warna yang tidak terjangkau untuk

dilihat karena panjang gelombangnya berada diluar jangkauan kita (“Color”,

Wikipedia).

Warna putih merupakan tekanan yang paling rendah dan hitam

merupakan kualitas yang paling gelap, diantara keduanya terdapat abu-abu.

Benda walaupun tidak berwarna putih dan hitam, tetap saja memiliki

tingkatan gelap dan terang yang dapat dianalisa dan dikatagorikan sebagai

value. Bila garis mendeskrepsikan bentuk objek, maka value akan

memperjelas dan memperkaya garis sehingga bentuk 3 dimensi menjadi

(30)

pola untuk menggambarkan tekstur objek serta memberikan kesan dramatis.

Derajat perubahan value tergantung dan kesamaan antar bayangan dengan

cahaya, juga dari sumber cahaya yang menimpa objek. (Sanyoto 42)

2.1.7. Semiotik Charles Sanders Peirce

Model dasar semiotik dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce

(1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang pada

perkembangannya sangat mempengaruhi model-model berikutnya. Peirce

menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi.

Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu makna,

terutama antara tanda dan obyeknya. Karena itu hubungan antara ketiganya

disebut hubungan makna. Bila Peirce menekankan pada fungsi logika tanda,

maka Sausssure yang dianggap sebagai pendiri lingusitik modern, lebih

menekankan pada hubungan dari masing-masing tanda, dan menurut

Saussure tanda merupakan obyek fisik yang penuh dengan berbagai makna.

Saussure tidak terlalu memperhatikan realitas dari makna seperti yang

dikemukakan oleh Peirce. (Bintoro, 2002:12)

Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema

”Keserakahan Koruptor” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses

pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda

–tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah kartun

editorial. Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah

bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat dipandang, dituangkan dan

dinilai. Sebab itulah diperlukan adanya kartun editorial tersebut, dengan

(31)

kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Peirce, karena Peirce

dalam hal ini lebih memperhatikan realita makna. Dengan demikian

penelitian ini termasuk pada bidang studi semiotik budaya tempat kode-kode

dan tanda-tanda digunakan.

Teori semiotik Peirce berpendapat bahwa tanda dibentuk melalui

hubungan segitiga yaitu tanda berhubungan dengan obyek yang dirujuknya.

Hubungan tersebut membuahkan interpretan. Preirce menelaskan modelnya

sebagai berikut:

”A sign is something which stands to somebody for something in the respect or capacity. It addresses somebody,that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. The sign which it creates I call the interpretant of the first sign. The sign for something, its object. (Tanda adalah sesuatu yang memberi arti atas sesuatu bagi seseorang. Tanda ditujukan kepada seseorang, karenanya membuat seseorang menciptakan tanda yang ekuivalen atau tanda yang lebih berkembang di dalam benaknya. Tanda yang diciptakan itu saya sebut interpretant dari tanda yang pertama. Tanda memberi arti atas sesuatu yang disebut obyek).” (Fiske, 1985:45)

Model semiotik Peirce dapat digambarkan dalam bentuk segitiga

seperti berikut:

Gambar 2.1. Model Semiotik Peirce

Sumber: Fiske (1990:42)

Sign

Interpretant Obyek

Garis-garis berpanah tersebut hanya bisa dimengerti dalam

(32)

pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, yaitu obyek dipahami oleh seseorang.

Interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek

yang dirujuk sebuah tanda. Interpretan merupakan konsep mental yang

diproduksi oleh tanda dan pengalaman pengguna tanda terhadap sebuah

obyek. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang

maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.

Diantara ketiganya, interpretanlah yang paling sulit dipahami. Interpretan

adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita, sebagai hasil

penghadapan kita dengan tanda itu sendiri.

Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index

(indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategoru tersebut dapat digambarkan

sebagai berikut:

Gambar 2.2. Model Kategori Tanda

Icon

Index Simbol

Sumber: Fiske (1990:47)

Model tersebut merupakan hal penting dan sangat fundamental dari

hakekat tanda. Peirce mengungkapkannya sebagai berikut:

1. Ikon

Adalah tanda yang berhubungan antara tanda dan acuannya bersifat

(33)

adalah potret dan peta. Potret merupakan ikonik dari orang yang ada

dalam potret tersebut, sedangkan peta merupakan ikonik dari pulau yang

ada dalam peta tersebut.

2. Indeks

Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda

dan acuannya yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau

atnda yang langusng mengacu pada kenyataannya. Misalnya adalah asap

sebagai tanda adanya api.

3. Simbol

Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara tanda dan

acuannya (berdasarkan hubungan konvensi atau perjanjian). Misalnya

orang yang menggelengkan kepalanya merupakan simbol yang

menandakan ketidak setujuan yang termasuk secara konvensional.

(Sobur, 2003:41)

2.1.8. Korupsi

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa latin:

corruptio = penyuapan; carruptove = merusak) gejala para penjabat,

badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,

pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun harfiah dari korupsi dapat

berupa (Hartanti, 2007:8):

a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan

ketidakjujuran.

b) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,

(34)

c) 1. Korup (busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan

untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).

2. Korupsi perbutan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang

sogok, dan sebagainya).

3. Koruptor (orang yang korupsi).

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan

merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan

kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkkut segi-segi moral, sifat

dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah,

penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi

dan politik serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di

bawah kekuasaan jabatannya. (Hartanti, 2007:9)

2.1.8.1.Sifat Korupsi

Baharuddin Lopa dalam bukunya Kejahatan Korupsi Dan Penegakan

Hukum membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk, yaitu

sebagai berikut (Hartanti, 2007:10):

a. Korupsi Yang Bermotif Terselubung

Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara

tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.

Contohnya : seorang pejabat menerima uang suap dengan janji akan

menerima si pemberi suap menjadi pegawai negeri atau diangkat dalam

suatu jabatan. Namun, dalam kenyataannya setelah menerima suap,

pejabat itu tidak memperdulikan lagi janjinya kepada orang yang

(35)

b. Korupsi Yang Bermotif Ganda

Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya

bermotifkan mendapatkan uang , tetapi sesungguhnya bermotifkan lain,

yakni kepentingan politik.Contohnya : seorang yang membujuk dan

menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya,

pejabat itu dalam mengambil keputusannya memberikan suatu fasilitas

pada si pembujuk itu, meskipun sesungguhnya si pembujuk (penyogok)

tidak memikirkan fasilitas itu akan memberikan hasil kepadanya.

2.1.8.2.Ciri-ciri korupsi

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya

Sosiologi Korupsi sebagai berikut (Hartanti, 2007:10):

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama

dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup

sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam

pengertian penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang

belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun, di sini seringkali ada

pengertian diam-diam di antara pejabat yang mempratikkan berbagai

penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah

permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan

meningkatkan frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus

seperti inilah yang dilakukan oleh para elit politik sekarang yang

kemudian mengakibatkan polemik di masyarakat.

b. Korupsi umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah

(36)

yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk

menyembunyikan perbuatanya. Namun, walaupun demikian motif

korupsi tetap dijaga kerahasiaanya.

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik

kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk

menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran

hukum.

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan

mampu untuk mempengaruhi keputusan- keputusan itu.

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh

badan publik atau umum (masyarakat).

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan.

2.1.9. Gurita

2.1.9.1.Pengertian Gurita

Gurita adalah hewan moluska dari kelas Cephalopoda (kaki hewan

terletak di kepala), ordo Octopoda dengan terumbu karang di samudra

sebagai habitat utama. Gurita memiliki 8 lengan (bukan tentakel), lengan

gurita merupakan struktur hidrostat muskuler yang hampir seluruhnya terdiri

dari lapisan otot tanpa tulang atau tulang rangka luar. Paruh adalah bagian

terkeras dari tubuh gurita yang digunakan sebagai rahang untuk membunuh

mangsa dan menggigitnya menjadi bagian-bagian kecil. Tubuh yang sangat

fleksibel memungkinkan gurita untuk menyelipkan diri pada celah batuan

(37)

pemangsa seperti belut laut Moray. Gurita mempunyai masa hidup yang

relatif singkat dan beberapa spesies hanya hidup selama 6 bulan. Reproduksi

merupakan salah satu sebab kematian, gurita jantan hanya bisa hidup

beberapa bulan setelah kawin dan gurita betina mati mati tidak lama setelah

bertelur. Kematian disebabkan kelalaian gurita untuk makan selama sekitar

satu bulan sewaktu menjaga telur-telur yang belum menetas.

Mayoritas gurita laut dalam berasal dari nenek moyang yang masih

eksis di perairan es di laut selatan, demikian menurut studi terbaru. Mengapa

nenek moyangnya masih eksis, tak lain adalah kandungan gizi dan garam

yang sangat kaya di kedalaman laut sejak 30 juta tahun silam. Gurita sangat

cerdas dan kemungkinan merupakan hewan paling cerdas di antara semua

hewan invertebrata. Kecerdasan gurita sering menjadi bahan perdebatan di

kalangan ahli biologi. Hasil percobaan mencari jalan di dalam maze dan

memecahkan masalah menunjukkan bahwa gurita mempunyai ingatan jangka

pendek dan ingatan jangka panjang, walaupun masa hidup gurita yang

singkat membuat pengetahuan yang bisa dipelajari gurita menjadi terbatas.

Gurita mempunyai sistem saraf yang sangat kompleks dengan sebagian saja

yang terlokalisir di bagian otak. Beberapa jenis gurita seperti gurita mimic

bisa menggerakkan lengan-lengannya untuk meniru gerakan hewan laut yang

lain. Pada percobaan di laboratorium, gurita dapat mudah diajar untuk

membedakan berbagai bentuk dan pola. Gurita juga bisa membuka tutup

toples dengan belajar dari melihat saja, walaupun penemuan ini sering

dipertentangkan berdasarkan berbagai alasan. (http://netsains.com)

Gurita pernah ditemukan sedang melakukan gerakan yang menurut

(38)

melepaskan botol dan mainan di tengah-tengah arus air melingkar di dalam

akuarium dan lalu berusaha menangkapnya. Gurita sering memecahkan

akuarium yang ditinggalinya dan kadang-kadang bertandang ke akuarium

lain untuk mencari makanan. Gurita juga diketahui sering memanjat kapal

penangkap ikan dan membuka ruangan penyimpan ikan untuk memakani

kepiting. Saat ini memang gurita identik dengan heawn yang mempunyai

keceradan sendiri dan dikaitkan dengan lingkaran Cikeas yang berisi orang –

orang cerdas, gurita di Cikeas merupakan tangan – tangan dari orang yang

tidak bertanggung jawab dan hanya bisa bersembunyi.

2.1.10. Gurita Cikeas

2.1.10.1.Pengertian Gurita Cikeas

Gurita Cikeas ini adalah judul buku yang diterbitkan oleh George

Aditjondro yang menguak tentang sisi negatif dari pemerintahan SBY dan

seputar kasus Century, hal ini masih belum banyak diketahui oleh

masyarakat, dengan adanya buku Gurita Cikeas ini penulis ingin

memberitakan semua yang dia ketahui kepada khalayak masyarakat awam

yang mungkin masih belum mengerti tentang dunia politik.

Buku yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, bekas wartawan,

aktivis, peneliti korupsi, dan pengajar. Sebetulnya, dalam bentuk cetakan,

buku itu telah diluncurkan akhir bulan lalu, dan beredar di sejumlah toko

buku, terutama toko buku dengan jaringan luas, Gramedia. Tapi anehnya,

baru sehari buku itu ditarik dari peredaran. ‘’Karena kontroversial, buku itu

diperintahkan ditarik ke pusat,’’ kata seorang pelayan Toko Buku Gramedia

(39)

pengelola toko buku terbesar itu menarik buku tersebut dari peredaran. Boleh

jadi karena Presiden SBY sendiri beberapa kali secara terbuka

menyerangnya. Yang pasti, apa pun yang terjadi, cara Gramedia ini agaknya

sebuah kiat baru untuk membreidel sebuah buku. Terbukti di mana-mana

orang kesulitan membeli buku itu, sampai bisa berharga ratusan ribu rupiah.

Sebelum ini, budayawan dan bekas Ketua Umum HMI, Ridwan Saidi,

kesulitan mengedarkan bukunya yang mengungkap tentang banyaknya

bencana alam dan kecelakaan di zaman pemerintahan Presiden SBY. Toko

buku besar menolak mengedarkannya. Sementara itu, Membongkar Gurita

Cikeas menjadi ajang perdebatan seru di televisi dan koran. Terjadi

kontroversi yang cukup luas. Dan itu menyebabkan minat untuk membaca

buku ini meningkat. Sekarang tampaknya masyarakat sudah terpuaskan dan

bisa membaca Membongkar Gurita Cikeas, setelah salinan buku itu beredar

luas di internet. Mungkin Ridwan Saidi perlu menempuh cara –cara George

Junus Aditjondro. Dihidangkan dengan gaya tulisan wartawan yang enak

dibaca, lancar dan mengalir, tapi cukup lugas, Membongkar Gurita Cikeas

segera menjadi buku paling top sepanjang tahun 2009 yang baru saja berlalu.

Intinya, buku ini menggambarkan betapa sebuah kekuasaan politik dibangun

dengan kolaborasi bersama para pemilik modal, dengan cara-cara yang

manipulatif. Dengan demikian para Markus seperti Anggodo atau Artalyta

Suryani alias Ayin menduduki posisi penting, bisa berteman dengan para

pejabat tinggi, bahkan dengan presiden sekali pun. Mirip sebuah hasil

reportase investigasi, George Junus Aditjondro membongkar semuanya.

(40)

Kesan buku ini memuat banyak fakta yang belum banyak diketahui

umum. Ini seolah sesuai dengan kehebohan yang ditimbulkannya,

sampai-sampai SBY sendiri memerlukan diri untuk bereaksi, termasuk melalui juru

bicaranya. Akan tetapi, begitu membaca lebih cermat, akan tampak kalau

buku ini sebenarnya adalah kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan di

media massa, baik cetak maupun elektronik, hanya saja ditulis ulang dan

disambung-sambungkan.

Judul buku ini menjadi bagian pertama –bukan bab karena buku ini tak

beralur sistematis berjudul sama. Dari bagian pertama ini, tampak jelas

bahwa 3 halaman pembuka tersebut merupakan ide George sendiri terhadap

pemberitaan media massa yang seolah tak saling berhubungan. Boedi

Sampoerna dan Hartati Murdaya yang disebutnya sebagai penyumbang

logistik SBY dalam Pemilu lalu. Masih ditambah lagi dengan lampiran copy

surat rekomendasi dari Kabareskrim Mabes Polri Komjen (Pol.) Susno

Duadji tertanggal 7 dan 17 April 2009. Surat rekomendasi inilah yang

kemudian menjadi titik tolak kecurigaan publik terhadap peran serta Susno

dalam kasus ini, dimana ia terkesan menyelamatkan uang milik Boedi

Sampoerna di Bank Century senilai US$ 18 juta.

(http://polhukam.kompasiana.com)

Selain dana di Bank Century, di bagian kedua George juga menyoal

pemanfaatan dana publik yang dialihkan untuk biaya kampanya Partai

Demokrat dan calon presidennya. Di bagian kedua ini yang juga cuma 3

halaman berisi informasi yang didapat George tentang pengalihan separuh

dari dana PSO (Public Service Obligation) LKBN Antara yang menurutnya

(41)

mantan Direktur Blora Centre dalam Pemilu 2004 dan mantan wakil

Pemimpin Umum harian Jurnal Nasional duduk sebagai Direktur Komersial

& IT Perum LKBN Antara, yaitu Rully Ch. Iswahyudi.

Ruh utama buku ini ternyata bukan di soal Bank Century, melainkan

justru peran yayasan-yayasan yang berafiliasi dengan SBY dan Ny. Ani

Yudhoyono. Disebutkan tiga yayasan yang berafiliasi dengan SBY, yaitu

Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY

Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (YKDK).

Sementara yayasan yang berafiliasi dengan Ny. Ani Yudhoyono juga

disebutkan tiga oleh George: Yayasan Mutu Manikam Nusantara, Yayasan

Batik Indonesia dan Yayasan Sulam Indonesia. Khusus bagian ini, cukup

memberikan informasi bagi publik tentang nama-nama pejabat dan tokoh

penting yang terlibat di dalamnya. Namun, masih belum jelas apa kaitan

yayasan-yayasan itu dengan aliran dana Bank Century apalagi

keterlibatannya dalam pemenangan Pemilu 2009 bagi Partai Demokrat dan

SBY. (http://www.hong.web.id)

2.1.11. Korek Api

2.1.11.1. Pengertian Korek Api

Korek api adalah sebuah alat untuk menyalakan api secara terkendali.

Korek api dijual bebas di toko-toko dalam bentuk paket sekotak korek api.

Sebatang korek api terdiri dari batang kayu yang salah satu ujungnya ditutupi

dengan suatu bahan yang umumnya fosfor yang akan menghasilkan nyala api

karena gesekan ketika digesekkan terhadap satu permukaan khusus.

(42)

permukaan kasar. Korek api yang menggunakan cairan seperti naphtha atau

butana disebut korek api gas.

Bangsa Tiongkok sejak 577 telah mengembangkan korek api

sederhana yang terbuat dari batang kayu yang mengadung belerang. Korek

api modern pertama ditemukan tahun 1805 oleh K. Chancel, asisten Profesor

L. J. Thénard di Paris. Kepala korek api merupakan campuran potasium

klorat, belerang, gula dan karet. Korek api ini dinyalakan dengan

menyelupkannya ke dalam botol asbes yang berisi asam sulfat. Korek api ini

tergolong mahal pada saat itu dan penggunaannya berbahaya sehingga tidak

mendapatkan popularitas.

Korek api yang dinyalakan dengan digesek pertama kali ditemukan

oleh kimiawan Inggris John Walker tahun 1827. Penemuan tersebut diawali

oleh Robert Boyle tahun 1680-an dengan campuran fosfor dan belerang,

tetapi usahanya pada waktu itu belum mencapai hasil yang memuaskan.

Walker menemukan campuran antimon (III) sulfida, potasium klorat, natural

gum, dan pati dapat dinyalakan dengan menggesekkannya pada permukaan

kasar. Kaitan antara korek api ini dengan Cikeas yaitu dari sisi korek

memang hal yang sangat dibutuhkan oleh banyak orang dari rumah tangga

sampai pabrik, akan tetapi korek api ini juga banyak menimbulkan musibah

seperti kebakaran yang biasanya terjadi di rumah – rumah, sehingga apabila

Cikeas ini dibongkar maka akan menimbulkan bencana yang luar biasa bagi

masyarakat dan sebuah pengetahuan yang lebih mengenai kebobrokan yang

(43)

2.1.11.2. Batang Korek Api

Batang korek api merupakan hal yang sangat mengntungkan buat

manusia hal ini sangat membantu kinerja manusia dalam segala hal,

hubungan antara batang korek api dan manusia yaitu ketika dibakar, setiap

batang kayu kecil itu meninggalkan jejak hangus yang berbeda. Itu mirip

proses identifikasi manusia, di mana setiap pribadi adalah sosok yang unik,

selain itu batang korek api ini juga bisa membuat manusia tersebut tidak

menyukai batang korek api, karena memang banyak batang korek api yang

membakar rumah. Banyak hal yang bisa disampaikan lewat batang korek api,

batang yang dipelintir jadi benda lain, diharapkan bisa menciptakan kejutan

visual yang memancing perhatian soal kefanaan, pluralitas, kerapuhan cinta,

atau perbedaan antara harapan dan kenyataan.

Memang dalam kasus Cikeas batang korek api ini memang sangat

cocok digunakan karena memang batang korek api ini diibaratkan sebagai

pnyulut dalam kasus Century ketika penyulut ini mulai dinyalakan maka

bukan tidak mungkin akan menimbulkan keresahan bagi orang banyak.

2.2. Kerangka Pikir

Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, penelitian ini

berusaha mengungkap makna yang terkandung pada karikatur Surat Kabar

Jawa Pos edisi 29 Desember 2009, maka peneliti melakukan pemaknaan

terhadap tanda lambang dengan menggunakan metode semiotik Peirce,

(44)

ini berusaha mengungkap makna yang terkandung pada karikatur Gurita

Cikeas pada Surat Kabar Jawa Pos. Semiotik Peirce menekankan pada

hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi. Hubungan antara

ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu makna, terutama antara

tanda dan obyeknya.

Pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan

pendekatan semiotika. Adapun hasil kerangka berfikir diatas dapat

digambarkan dalam bentuk bagan:

Karikatur tentang ”Gurita Cikeas” pada Surat Kabar Jawa Pos

Analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika Peirce:

 Ikon

 Indeks

 Simbol

Hasil interpretan peneliti

Gambar 2.3.

(45)

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan

menggunakan analisis semiotik Pierce, untuk menginterprestasikan

representasi karikatur pada media cetak yaitu surat kabar, yang akan dijadikan

sebagai objek penelitian ini adalah ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat

Kabar Jawa Pos Edisi 29 Desember 2009.

Oleh karena itu peneliti yang melakukan studi analisis isi kualitatif

harus memperhatikan beberapa hal: pertama adalah konteks atau situasi social

diseputar dokumen atau teks yang diteliti. Disini, peneliti diharapkan dapat

memahami the nature atau kealamiahan dan culture meaning atau makna

cultural dari artifact atau teks yang diteliti. Kedua adalah proses atau

bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya dikreasi secara actual dan

diorganisasikan secara bersama. Ketiga adalah emergence, yakni pembentukan

secara gradual/bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan

interpretasi.

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode semiotik.

Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas

real yang didapatkan melalui interpretasi simbol- simbol dan tanda-tanda yang

ditampilkan sepanjang Iklan. Analisis semiotik termasuk dalam metode

kualititaf. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, dimana peneliti berusaha untuk

mengetahui pemaknaan karikatur dalam Surat Kabar Jawa Pos.

(46)

3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1. Corpus

Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan

masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang

ditentukan pada perkembangannya oleh analisa dengan semacam kesemenaan,

bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan.2001:7).

Corpus adalah kata lain dari sampel, bertujuan tetapi khusus digunakan

untuk analisis semiologi dan analisis wacana. Pada penelitian kualitatif ini

memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Corpus

dari penelitian ini adalah karikatur “Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa Pos

Edisi 29 Desember 2009.

3.2.2. Unit Analisis

Unit analisis data dalam penelitian ini adalah tanda yang ada dalam

karikatur yang berupa gambar dan tulisan yang terdapat dalam karikatur yang

dimuat di Surat Kabar Jawa Pos, kemudian diinterpretsikan dengan

menggunakan ikon (icon), indeks (index), dan symbol (symbol).

3.2.2.1. Ikon

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya

bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah

(47)

dalam karikatur ”Gurita Cikeas” yang dimuat di surat kabar Jawa Pos adalah

tiga ekor Gurita dan kepala Gurita yang memakai mahkota.

3.2.2.2. Indeks

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah

antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat,

atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur

yang dimuat di surat kabar Jawa Pos adalah teks membongkar Gurita Cikeas,

teks George Junus Aditjondro, teks di balik skandal Century, Bukankah SBY

berkata akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini dan teks

Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden Republik Indonesia.

3.2.2.3. Simbol

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara

penanda keserakahan dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat

abitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

Simbol dalam karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos ini adalah

Tentakel Gurita, Kotak Korek, Batang Korek, 4 batang korek yang keluar,

Kotak Korek yang terbuka, Cover Korek.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik

dokumentasi dan mengamati karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos

secara langsung serta melakukan studi pustaka untuk melengkapi data-data

(48)

3.4. Teknis Analisis Data

Analisis Semiotika pada corpus penelitian pada karikatur ”Gurita

Cikeas” setelah melalui tahapan pengkodean maka selanjutnya peneliti akan

menginterpretasikan tanda-tanda tersebut untuk ditahui pemaknaannya.

Terkait dalam penelitian ini, untuk mengetahui isi pesan dalam

karikatur surat pembaca, peneliti mengamati signs atau system tanda yang

tampak dalam Iklan, kemudian memaknai dan menginterpretasikannya dengan

menggunakan metode semiotik Pierce, yang terdiri dari :

1. Obyek

Adalah gambar atau karikatur itu sendiri. Obyek dalam penelitian ini

adalah karikatur “Gurita Cikeas” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29

Desember 2009.

2. Sign

Adalah segala sesuatu yang ada dalam gambar karikatur tersebut. Sign

dalam penelitian ini adalah tiga ekor Gurita, kepala Gurita yang memakai

mahkota, teks membongkar Gurita Cikeas, teks George Junus Aditjondro,

teks di balik skandal Century, Bukankah SBY berkata akan memimpin

sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini, teks Abdurrahman Wahid,

Mantan Presiden Republik Indonesia, Tentakel Gurita, Kotak Korek,

Batang Korek, 4 batang korek yang keluar, Kotak Korek yang terbuka,

(49)

3. Interpretant

Adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk

sebuah tanda. Interpretant dalam penelitian ini adalah hasil interpretasi

dari peneliti.

Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index

(indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategori tersebut dapat digambarkan

sebagai berikut:

1. Ikon (Icon)

Adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat

bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan

antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam

karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos adalah tiga ekor Gurita dan

kepala Gurita yang memakai mahkota.

2. Indeks (Index)

Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda

dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda

yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur surat

kabar Jawa Pos adalah teks membongkar Gurita Cikeas, teks George Junus

Aditjondro, teks di balik skandal Century, Bukankah SBY berkata akan

memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini dan teks

(50)

3. Simbol (Symbol)

Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda

dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau semena,

hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam

karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos ini adalah Tentakel Gurita,

Kotak Korek, Batang Korek, 4 batang korek yang keluar, Kotak Korek

(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian

Mencoba menelusuri sejarah harian ini memang mengasyikkan. Kali

pertama diterbitkan pada 1 Juli 1949, bila dilihat dari hari lahirnya Jawa Pos

termasuk salah satu surat kabar tertua di Indonesia. Waktu itu namanya Java

Post, lalu pernah juga menjadi Djawa Post, Djawa pos dan kemudia Jawa pos

seperti sekarang ini.

Riwayat pendiriannya pun sederhana saja, waktu itu, The Chung Sen

seorang WNI kelahiran Bangka bekerja di dikantor film di Surabaya. Dialah

yang bertugas untuk selalu menghubungi surat kabar agar pemuatan iklan

filmnya lancar. Dari sini pula The Chung Sen mengetahui bahwa memiliki

surat kabar ternyata menguntungkan, maka didirikanlah Java Post. Saat itu,

harian ini tentunya juga dikenal sebagai harian Melayu – Tionghoa. Sebab

pengelolannya, modalnya dari kalangan itu sendiri. Harian ini tentunya bukan

satu – satunya harian Melayu – Tionghoa di Surabaya, yang terbesar saat itu

adalah Pewarta Soerabaia Trompet Masyarakat dan Perdamaian. The Chun

Sen tentunya melirik keuntungan yang berhasil diraih oleh harian Pewarta

Soerabaia yang sudah berhasil memantapkan diri sebagai koran dagang di

(52)

Surabaya tapi cita – cita dan impiannya itu rasanya tidak pernah dapat

dicapai. Dalam perjalanannya sebagai koran Melayu – Tionghoa yang

berhaluan republikein, harian ini tidak pernah kondang dikalangan

pembacanya, keturunan tionghoa. Mereka misalnya lebih suka Pewarta

Soerabaia yang kiblatnya masih ke arah tanah leluhur mereka. Juga harian

Melayu – Tionghoa yang terbit di Jakarta kebanyakan berhaluan yang sama

dengan Pewarta Soerabaia. Jadi harian ini kemudian mempunyai ciri yangh

khas sebagai harian Melayu – Tionghoa.

Masalah ini tentunya bukan suatu masalah kecil, karena waktu itu

masalah orang Tionghoa atau keturunan Tionghoa belum diatur oleh undang –

undang. Masalah mereka baru diatur sekitar tahun 60-an. Sehingga memihak

kepada Republik dalam situasi ini masih jauh dari Konfrensi Meja Bundar

tentunya satu gagasan yang menarik buat dikaji. Ini tentunya tak lepas dari

wawasan The chung Sen yang jauh kedepan. Jika hanya untuk meperoleh

uang, ia tentunya bisa memerintahkan pemimpin redaksinya untuk berorientasi

ke tanah leluhur. Tapi itu tak pernah dilakukan. Pemimpin redaksi

pertamannya adalah Goh Tjing Ilok, kedua yang memangku jabatan tersebut

sejak tahun 1953 adalah Thio Oen Sik. Keduannya memang dikenal sebagai

orang – orang republikien yang tak pernah goyah pendiriannya.

Dalam perkembangan selanjutnya The Chung Sen bisa disebut ”Raja”

(53)

kabar sekaligus. Satu berbahasa Indonesia, satu berbahasa Tionghoa dan satu

berbahasa Belanda. Yang berbahasa Belanda tersebut kemudia diubah menjadi

Indonesia Daily News yang berbahasa Inggris. Sebab ketika Bung Karno

gencar – gencarnya anti Belanda, hal – hal yang berbau Belanda diminta

diubah. Termasuk koran milik The Chung Sen, Vrije Pers. Sedangkan

korannya yang berbahasa Tionghoa mengalami nasib yang sama, bahkan tidak

bisa terbit sama sekali, maka tinggallah JAWA POS. Bahkan yang satu itupun

kian hari kian redup. Apalagi The Chung Sen harus berpacu dengan usia, dan

tiga orang putranya tidak satupun yang tinggal di Indonesia.

Perkembangan teknologi cetak juga kian sulit diikuti. Maka oplah

JAWA POS pun terus mengalami penurunan, sehingga di tahun 1982 lalu

tinggal 6.700 eksemplar setiap hari. Pelanggannya di dalam kota Surabaya

tinggal 2000 orang. Peredarannya di Malang tinggal 350 lembar. Saking

sedikitnya sampai – sampai kantor pusatnya mengurusi loper sendiri yang

jumlahnya cuma 40 orang.

Maka keadaan fisiknya yan kian uzur dan didorong keinginannya

untuk bisa dekat dengan anak – anaknya, The Chung Sen memutuskan untuk

menyerahkan pengelolaan JAWA POS kepada pengelola majalah mingguan

berita TEMPO. Ini terjasi pada 1 April 1982. Saat itu Dahlan Iskan yang kini

(54)

”Pak The (begitu penggilan untuk the Chung Sen) menyatakan tidak

mungkin lagi bisa mengembangkan Jawa Pos. Tapi Pak The tidak ingin surat

kabar yang didirikannya mati begitu saja. Itulah sebabnya Jawa Pos

diserahkan kepada pengelola yang baru, ujar Diruk PT. Grafiti Pers, Penerbit

Tempo, Eric Samola, SH yang kini juga jadi Direktur Utama PT Jawa Pos.

Pak The sendiri memilih Tempo dengan pertimbangan khusus.

”Tempo kan belum punya surat kabar, kalau saya serahkan kepada rekan yang

sudah memiliki surat kabar, tentu surat kabar saya ini akan dinomorduakan”,

begitu kata Pak The saat itu dengan pertimbangan seperti itulah Pak The ingin

perkembangan Jawa Pos tidak terlambat.

Pak The sendiri dalam usianya yang sudah 89 tahun akhirnya memang

berangkat ke Inggris bersama istrinya, Mega Indah yang berusia 71 tahun dia

berpesan agar Jawa Pos bisa dikembangkan sebagaimana di masa mudanya.

Maka pada suatu malam sebelum keberangkatannya ke Inggiris sebuah pesta

kecil diadakan di halaman rumahnya di Jalan Pregolan. Di situlah kebulatan

tekad ”kami bertekad merebut kembali sejarah yang telah dibuat oleh Pak

The”, begitu juga kata – kata akhir sambutan Dahlan Iskan yang saat itu

(55)

4.2. Penyajian Data

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap gambar

karikatur ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29

Desember 2009 disajikan hasil pengamatan terhadap gambar karikatur

tersebut. Dalam tampilan gambar karikatur tersebut terdapat pesan verbal.

Pesan verbalnya adalah terdapat tiga ekor Gurita, kepala Gurita yang memakai

mahkota, teks membongkar Gurita Cikeas, teks George Junus Aditjondro, teks

di balik skandal Century, Bukankah SBY berkata akan memimpin sendiri

pemberantasan korupsi di negeri ini, teks Abdurrahman Wahid, Mantan

Presiden Republik Indonesia, Tentakel Gurita, Kotak Korek, Batang Korek, 4

batang korek yang keluar, Kotak Korek yang terbuka, Cover Korek.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada gambar

karikatur ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29

Desember 2009, akan disajikan hasil pengamatan dari gambar karikatur

”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi 29 Desember

2009.

4.3. Analisis Data

Gambar karikatur ”Gurita Cikeas” tersebut membagi tanda menjadi

tiga kategori yaitu :

1. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat

(56)

antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon yang

dimuat dalam karikatur ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar

Jawa Pos adalah tiga ekor Gurita dan kepala Gurita yang memakai

mahkota.

2. Indeksnya adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah

antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat,

atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam

karikatur ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar Jawa Pos adalah

teks membongkar Gurita Cikeas, teks George Junus Aditjondro, teks di

balik skandal Century, Bukankah SBY berkata akan memimpin sendiri

pemberantasan korupsi di negeri ini dan teks Abdurrahman Wahid,

Mantan Presiden Republik Indonesia.

3. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda

keserakahan dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer

atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

Simbol dalam karikatur ”Gurita Cikeas” yang terdapat pada Surat Kabar

Jawa Pos adalah Tentakel Gurita, Kotak Korek, Batang Korek, 4 batang

Gambar

Gambar 2.1. Model Semiotik Peirce
Gambar 2.2. Model Kategori Tanda
Gambar 2.3.
Gambar 4.1.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam meneroka unsur emosi dan konflik dalam novel remaja KOMSAS pilihan secant lebih mendalam clan terperinci, pengkaji akan memberi dcfinisi kcpada setiap istilah yang

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan segala karunia, nikmat dan rahmat-Nya yang tak terhingga kepada penulis,

sebagai Upaya Meningkatkan Percaya Diri Siswa (Studi Kasus di SMP Al- Islam Kartasura Tahun Pelajaran 2010/2011) adalah pelaksanaan pendidikan. Muhadharah yang diadakan di

STS : Jika pernyataan tersebut Sangat Tidak Sesuai dengan diri Anda Bila hendak mengganti jawaban, coretlah jawaban yang telah anda pilih dan silanglah jawaban yang baru.. Contoh SS

Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas ( net profit margin ) dan ukuran perusahaan memiliki pengaruh terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan

Dalam penelitian Laporan Praktik Kerja Lapangan ini, penulis menggunakan data yang tepat dan akurat sebagai sumber informasi untuk mendukung penyajian laporan ini. Sumber

Penegasan di atas menunjukan bahwa desentralisasi fiskal merupakan instrumen yang paling penting untuk mencapai keberhasilan melaksanakan otonomi daerah, sebab

Hasil penelitian ini dapat diigunakan sebagai sumber acuan atau sumber kepustakaan berkenan dengan proses pembelajaran menulis teks deskripsi dan berpikir kreatif, khususya