• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status toleransi larva Aedes aegyptiterhadap temefos

Penentuan staus toleransi Aedes aegypti terhadap temefos di Kelurahan Duren

Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur, dilakukan berdasarkan kriteria WHO

(WHO 1981) bahwa suatu populasi dianggap resisten bila pada saat dilakukan pengujian

bioassay, kematian nyamuk kurang dari 80% dengan konsentrasi temefos 0,02 ppm. Hasil pengujian bioassay ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Persentase kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada uji toleransi terhadap temefos

Lokasi

Jumlah larva nyamuk yang mati (%) Konsentrasi temopos (ppm) Control 0,00004 0,0002 0,001 0,01 0,025 RT 4 Ulangan 1 32 98 100 100 100 0 Ulangan 2 40 92 100 100 100 0 Ulangan 3 38 86 100 100 100 0 Rata-rata 36,67 92 100 100 100 0 RT 5 Ulangan 1 26 52 72 100 100 0 Ulangan 2 24 60 82 100 100 0 Ulangan 3 20 54 80 100 100 0 Rata-rata 23,33 55,33 78 100 100 0 RT 6 Ulangan 1 42 66 92 100 100 0 Ulangan 2 40 82 90 100 100 0 Ulangan 3 34 90 92 100 100 0 Rata-rata 38,67 79,33 91,33 100 100 0 RT 9 Ulangan 1 46 92 98 100 100 0 Ulangan 2 66 90 94 100 100 0 Ulangan 3 70 88 98 100 100 0 Rata-rata 60,67 90 96.67 100 0

Nyamuk Lab IPB

Ulangan 1 86 94 100 100 100 0

Ulangan 2 86 94 100 100 100 0

Ulangan 3 92 98 100 100 100 0

35

Merujuk Tabel 3, pemakaian temefos pada konsentrasi 0,00004 ppm

menunjukkan jumlah kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada seluruh daerah

pengamatan berkisar antara 23,33 sampai dengan 60,67%. Pada konsentrasi tersebut

larva nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Bagian Parasitologi dan Entomologi

Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang digunakan sebagai pembanding mengalami kematian sebesar 88%. Pada konsentrasi temefos 0,0002 ppm jumlah larva nyamuk yang mati berada pada kisaran 55,33 sampai dengan 92%. Disisi lain kematian

larva nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari laboratorium entomologi FKH IPB

95,33%.

Pada konsentrasi temefos 0,001% menunjukkan respon kematian yang signifikan pada kisaran 78 sampai dengan 100% untuk larva nyamuk dari seluruh daerah pengamatan. Pemakaian konsentrasi temefos 0,01% atau setengah dari konsentrasi yang dianjurkan oleh WHO menunjukkan seluruh larva nyamuk mengalami kematian sebanyak 100%, demikian juga pada konsentrasi temefos 0,025%. Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa larva nyamuk Aedes aegypti pada semua lokasi pengamatan belum berada pada status resisten. Hal ini merujuk pada WHO, yang menyatakan bahwa suatu populasi dinyatakan resisten jika persen kematian larva nyamuk kurang dari 80% setelah mengalami pajanan temefos 0,02 ppm selama 24 jam (WHO, 1981).

Dari pengolahan data menggunakan perhitungan probit diperoleh hubungan antara respon kematian larva nyamuk Aedes aegypti terhadap pengaruh peningkatan konsentrasi temefos (mortalitas dalam probit), hal ini ditunjukkan pada Gambar 18. Dari gambar tersebut dapat dilihat adanya hubungan antara respon kematian larva Aedes aegypti

terhadap pengaruh peningkatan konsentrasi temefos yang digunakan. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi antara log konsentrasi dengan mortalitas dalam probit pada semua daerah pengamatan. Hasil perhitungan koefisien korelasi tersebut untuk wilayah RT 4, RT 5, RT 6 dan RT 9 berturut-turut adalah 0,861; 0,9041; 0,913 dan 0,805.

36 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 0 -4.39794 -3.69897 -3 -2 Log Konsentrasi M o rt a lit a s d a lam p ro b RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 IPB

Gambar 18. Hubungan kematian larva Aedes aegypti terhadap konsentrasi temefos

Nilai koefisien korelasi tersebut diatas 0,5 atau 50% yang berarti terdapat hubungan antara kematian larva Aedes aegypti dengan konsentrasi temefos pada kisaran 0,00004 sampai dengan 0,025 ppm. Nilai koefisien korelasi disetiap daerah pengamatan yang berkisar antara 0,805 sampai dengan 0,913 menunjukkan adanya homogenitas respon larva nyamuk terhadap konsentrasi temefos.

Perhitungan probit yang digunakan untuk menyatakan status toleransi larva nyamuk Aedes aegypti terhadap larvasida temefos di kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis probit larva nyamuk Aedes aegypti terhadap pemakaian temefos 0,00004 sampai dengan 0,025 ppm Lokasi LC50 (ppm) LC95 (ppm) RR50 RR95 Persamaan regresi RT 4 0,00006 0,00028 6 2,15 Y = 2,47 + 10,41X RT 5 0,00017 0,00382 17 29,38 Y = 1,21 + 4,58X RT 6 0,00006 0,0012 6 9,23 Y = 1,27 + 5,36X RT 9 0,00002 0,0005 2 3,85 Y = 1,26 + 5,81X

37

Mengacu pada Tabel 4, nilai RR50 larva Aedes aegypti yang berasal dari RT 4,

RT 5, RT 6 dan RT 9 berturut-turut 6, 17, 6 dan 2 kali dibandingkan dengan larva

nyamuk pembanding. Disisi lain nilai RR95 larva yang berasal dari RT 4, RT 5, RT 6 dan

RT 9 berturut-turut 2,15; 29,38; 9,23 dan 3,85 kali dibandingkan dengan larva nyamuk pembanding. Berdasarkan nilai rasio resistensi (RR) maka terbukti pemakaian temefos untuk menangani kasus demam berdarah di Kelurahan Duren sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur belum berada pada status resisten. Hal ini mengacu pada Brown (1989) yang menyatakan bahwa nyamuk berada pada tahap resisten jika nilai rasio resistensi meningkat lebih dari 10 kali dan nilai LC50 melebihi 0,25 ppm. Walaupun

sebagian besar wilayah Kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur belum berada pada status resisten tetapi perlu diwaspadai kemungkinan peningkatan status toleran terhadap temefos. Dari Hasil penelitian Gunandini (2002) pada 20 generasi terlihat bahwa besarnya LC50 temefos semakin meningkat dengan semakin bertambahnya generasi yaitu

pada konsentrasi 0,025 ppm (Fo), 0,032 ppm (F5) 0,042 ppm (F10), 0,062 (F15) dan 0,071 ppm (F20).

Toleransi terhadap temefos pada Aedes aegypti telah dilaporkan di Bangkok. Pada tahun 1966, larva Aedes aegypti yang berasal dari 14 daerah di kota Bangkok menunjukkan toleran terhadap temefos. Tahun 1986 sampai dengan 1993 nyamuk Aedes aegypti terindikasi resisten terhadap temefos (Ponlawat, et.al 2005). Paeporn et al (2005) melaporkan terdapat satu kasus toleran terhadap temefos dari 4 wilayah pengamatan di Thailand. Tingkat resistensi yang tinggi terdeteksi di wilayah Surat Thani yang ditunjukkan oleh nilai rasio resistensi (RR95) sebesar 130 kali terhadap strain

pembanding. Uji toleransi terhadap temefos di Rajahmundry town India, memberikan hasil pada konsentrasi malation 0,125 dan 0,625 ppm menyebabkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti sebesar 100% (Mukhopadhyay et al, 2006).

Laporan internal Environmental Surveillance Directory Brazil menunjukkan sebanyak 33,833 ton temefos telah digunakan sepanjang tahun 1997-2001. Terkait dengan hal tersebut, penelitian uji kepekaan nyamuk Aedes aegypti terhadap temefos di Brazil menunjukkan indikasi resisten. Dua dari tujuh wilayah yang diamati yaitu Ceilandia dan Gama masih menunjukkan status peka terhadap temefos. Tiga wilayah lainnya yaitu: Planaltina, Sobradinho dan Taguartinga terindikasi kepekaan menengah

38

dan dua wilayah Guara dan N. Bandeirante terindikasi resisten. Dua wilayah yang diindikasikan resisten tersebut berdasarkan hasil percobaan bioassay menunjukkan

sebanyak 54,1% sampai dengan 61,9% larva nyamuk Aedes aegypti yang mati pada

konsentrasi temefos 0,012 ppm (de Carvalho et al, 2004).

Berdasarkan data pembanding kasus resistensi di kedua negara tersebut diatas, timbul pertanyaan mengapa disebagian besar wilayah pengamatan belum terdapat kasus resistensi temefos. Dari 4 wilayah pengamatan, hanya 1 wilayah yang terindikasi toleran yaitu di RT 5. Di wilayah ini bertahun-tahun terjadi kasus demam berdarah yang cukup tinggi dan mendapat perhatian yang cukup besar dari setiap stake holder termasuk upaya pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti. Disisi lain pemakaian temefos di Indonesia juga telah digunakan selama bertahun-tahun dan secara masal pernah digunakan pada tahun 1986 sampai dengan 1989 di berbagai kota endemis (Hoedojo, 1993).

Menurut petunjuk Departemen Kesehatan RI konsentrasi temefos yang dianjurkan adalah 1% atau jauh lebih tinggi dari konsentrasi yang dianjurkan oleh WHO yaitu 0,02% (Suroso et al, 2003). Belum terindikasinya resistensi temefos di wilayah pengamatan ini kemungkinan karena upaya pengendalian nyamuk Aedes aegypti sebagian besar hanya dilakukan melalui pemutusan rantai penularan manusia-nyamuk-manusia, yaitu dengan membasmi habitat nyamuk dan jarang dilakukan menggunakan metoda kimiawi. Usaha ini lebih banyak dilakukan dengan program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan menguras dan menutup tempat penampungan air serta mengubur wadah-wadah yang dapat digunakan untuk berkembangbiak nyamuk dibandingkan dengan pemakaian temefos. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil kuesioner dengan responden sebanyak 50 kepala keluarga (30 kepala keluarga tidak mengembalikan kuesioner) di wilayah penelitian ini. Berdasarkan hasil kuesioner, sebanyak 48,15% tidak mengetahui penyakit demam berdarah sedangkan 46,15% dari responden mengetahui penyakit demam berdarah tetapi tidak mengetahui cara pemberantasan jentik nyamuk Aedes aegypti menggunakan temefos.

Seperti halnya diberbagai wilayah di Indonesia, pemberantasan sarang nyamuk dilakukan dan dikoordinasi oleh juru pemantau jentik (jumantik) dibawah pengawasan puskesmas setempat. Kegiatan PSN dilakukan setiap minggu dengan menyisir, memantau

39

dan mengambil tindakan pemusnahan jentik dari rumah ke rumah dan lingkungan sekitarnya. Hasil kegiatan PSN ini seharusnya menekan perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang berdampak pada penurunan jumlah kasus DBD bukan sebaliknya. Namun demikian berdasarkan data dari puskesmas, kasus demam berdarah di wilayah ini cenderung meningkat. Jadi yang perlu diteliti lebih lanjut adalah apakah pelaksanaan PSN di wilayah kelurahan Duren Sawit ini sudah dilakukan dengan baik dan diawasi dengan ketat.

Status toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation

Toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation di Kelurahan Duren Sawit Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur berpeluang terjadi karena penggunaann malation

yang sering dilakukan. Penggunaan malation untuk mengendalikan populasi nyamuk

Aedes aegypti sudah dilakukan sejak tahun 1969 pada radius 100 m di sekitar rumah penderita DBD (Hoedojo, 1993).

Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya toleransi nyamuk Aedes aegypti

terhadap malation, dilakukan pengujian berdasarkan metoda bioassay. Pengujian

tersebut meliputi pengujian pendahuluan dan pengujian resistensi nyamuk Aedes aegypti

pada konsentrasi malation 0,8% serta 5%. Konsentrasi malation 0,8% merupakan

konsentrasi anjuran WHO yang tertuang dalam Discriminating concentration for adult

mosquito-WHO/CDB/CPC/MAL/98.12. Disisi lain konsentrasi malation 5% merupakan

konsentrasi yang digunakan di Indonesia dalam mengendalikan vektor nyamuk Aedes

aegypti.

Pengujian pendahuluan dilakukan pada konsentrasi 0,8% untuk memperoleh variabel waktu terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti. Hasil pengujian pendahuluan

menunjukkan pada rentang waktu 5 sampai dengan 60 menit, nyamuk Aedes aegypti

belum menunjukkan respon kematian 100% termasuk nyamuk laboratorium entomologi FKH IPB yang digunakan sebagai pembanding. Berdasarkan hal tersebut maka pengujian toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation 0,8% dilakukan pada rentang waktu 45 sampai dengan 90 menit. Hasil pengujian pendahuluan ditunjukkan pada Tabel 5 dan Lampiran 2.

40

Tabel 5. Persentase kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 0,8%

Lokasi

Jumlah nyamuk yang mati (%) 45 menit 60 menit 75 menit

90 menit RT 4 Ulangan 1 8 20 64 100 Ulangan 2 16 24 56 100 Ulangan 3 12 24 60 100 Rata-rata 12 22,67 60 100 RT 5 Ulangan 1 16 28 68 100 Ulangan 2 20 28 52 100 Ulangan 3 12 24 80 100 Rata-rata 16 26,67 66,67 100 RT 6 Ulangan 1 20 48 72 100 Ulangan 2 20 52 84 100 Ulangan 3 20 52 84 100 Rata-rata 20 50.67 80 100 RT 9 Ulangan 1 28 72 88 100 Ulangan 2 20 68 92 100 Ulangan 3 28 60 92 100 Rata-rata 25,33 66,67 90,67 100 Nyamuk Lab IPB Ulangan 1 60 96 100 100 Ulangan 2 80 44 88 100 Ulangan 3 60 76 100 100 Rata-rata 66,67 72 96 100

Berdasarkan data pada Tabel 5, nyamuk Aedes aegypti mengalami kematian

100% setelah kontak dengan malation 0,8% selama 90 menit atau 1,5 jam. Hasil perhitungan probit yang menjelaskan respon kematian nyamuk Aedes aegypti terhadap malation 0,8% ditunjukkan pada Gambar 19 dan Tabel 6.

41 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 0 1.653213 1.778151 1.875061 1.954243 Log Waktu M or ta lit as d al am pr ob it RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 IPB

Gambar 19. Hubungan antara waktu kontak dengan kematian nyamuk Aedes aegypti pada penggunaan malation 0,8%

Tabel 6. Analisis probit uji pendahuluan pemakaian malation 0,8% terhadap nyamuk Aedes aegypti

Lokasi LT50 LT95 RR50 RR95 Persamaan regresi

RT 4 66,31 98,04 1,24 1,24 Y= 9,68 – 17,64X RT 5 63,95 96,90 1,22 1,22 Y= 9,11 - 16,46X RT 6 57,49 87,60 1,11 1,11 Y = 899 – 15,82X RT 9 53,4 79.13 0,99 1,00 Y = 16,64 – 9,63X

Lab IPB 39,20 79,20 Y = 10,36 – 6,50 X

Berdasarkan Gambar 19, perhitungan koefisien korelasi nyamuk yang berasal dari RT 4, 5, 6, dan 9 berturut-turut sebesar 0,75, 0,79, 0,89 dan 0,89 atau berkisar pada 75 sampai dengan 89%. Perhitungan ini menunjukkan terdapat korelasi antara waktu dan kematian nyamuk serta homogenitas respon nyamuk terhadap insektisida malation. Hasil perhitungan ini memberikan informasi bahwa seluruh nyamuk yang digunakan sebagai hewan uji mempunyai kesamaan respon terhadap insektisida malation.

42

Mengacu pada Tabel 5, diperoleh LT95 sebesar 79,13 sampai dengan 98,04 menit

dan nilai RR95 berkisar antara 1,00 sampai engan 1,24. Nilai RR95 memberikan informasi

bahwa penggunaan malation sesuai anjuran WHO belum menunjukkan resisten terhadap nyamuk Aedes aegypti. Namun demikian data tersebut tidak realistis karena tidak memungkinkan fooging dilakukan selama 90 menit disuatu lokasi. Berdasarkan hal tersebut maka percobaan toleransi Aedes aegypti terhadap malation dilakukan menggunakan konsentrasi 5% atau sesuai dengan dosis yang digunakan di Indonesia. Konsentrasi ini 6,25 kali lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi malation 0,8% sehingga LT95 diperkirakan 14,4 menit. Percobaan menggunakan konsentrasi malation

5% ditunjukkan pada Tabel 7 dan Tabel 13 Lampiran 4.

Tabel 7. Persentase kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 5%

Lokasi

Jumlah nyamuk yang mati (%)

Kontrol 2 menit 5 menit 10 menit 15 menit 30 menit RT 4 Ulangan 1 20 60 96 100 100 0 Ulangan 2 24 52 92 100 100 0 Ulangan 3 24 44 92 100 100 0 Rata-rata 22,67 52 93,33 100 100 0 RT 5 Ulangan 1 36 72 52 100 100 0 Ulangan 2 28 60 52 100 100 0 Ulangan 3 36 60 56 100 100 0 Rata-rata 33,33 64 53,33 100 100 0 RT 6 Ulangan 1 24 68 88 100 100 0 Ulangan 2 28 60 96 100 100 0 Ulangan 3 40 60 88 100 100 0 Rata-rata 30,67 62,67 90,67 100 100 0 RT 9 Ulangan 1 60 80 100 100 100 0 Ulangan 2 48 88 100 100 100 0 Ulangan 3 52 88 100 100 100 0 Rata-rata 53,33 85,33 100 100 100 0

Nyamuk Lab IPB

Ulangan 1 96 100 100 100 100 0

Ulangan 2 92 100 100 100 100 0

43

Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa 100% kematian nyamuk terjadi setelah nyamuk kontak dengan malation selama 15 menit. Jika diaplikasikan dilapangan hal ini tidak realistik karena pengasapan malation (fogging) hanya membutuhkan waktu yang singkat dimana kontak nyamuk dengan malation hanya berlangsung dibawah lima menit. Kontak berikutnya tetap terjadi tetapi konsentrasi malation mengalami penurunan yang disebabkan oleh pengenceran udara.

Untuk menghindari keraguan menetapkan status toleransi nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, maka dilakukan perhitungan probit untuk memperoleh homogenitas respon, lethal time dan nilai Rasio Toleransi. Hasil perhitungan yang menjelaskan respon nyamuk terhadap insektisida malation ditunjukkan pada Gambar 20.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 0 1.176091 1.477121 1.653213 1.778151 Log Waktu M or tal itas dal am pr obi t RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 IPB

Gambar 19. Hubungan antara waktu kontak dengan kematian nyamuk Aedes aegypti pada penggunaan malation 5%

Berdasarkan Gambar 19, diperoleh perhitungan nilai koefisien korelasi antara waktu kontak dengan mortalitas dalam probit untuk RT 4, 5, 6 dan 9 berturut-turut sebesar 0,877; 0,911; 0,92 dan 0,814. Nilai koefisien korelasi ini meunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara waktu kontak dan mortalitas dalam probit serta

44

membuktikan homogenitas respon nyamuk Aedes aegypti dari seluruh wilayah pemantauan terhadap insektisida malation. Perhitungan probit konsentrasi malation 5% ditunjukkan pada Tabel 8

Tabel 8. Hasil perhitungan probit uji pendahuluan pemakaian malation 5% terhadap nyamuk Aedes aegypti

Lokasi LT50 LT95 RR50 RR95 Persamaan regresi RT 4 3,88 12,12 2,38 4,59 Y= -1,95 + 3.32X RT 5 3,12 11,49 1,91 4,35 Y = -1,43 + 2,90X RT 6 3,39 14,16 1,72 2,13 Y = -1,40 + 2,67X RT 9 1,97 6,64 1,21 2,52 Y=0,91+ 3,11X Lab IPB 1,63 2,64 Y= -3,72 + 17.35 X

Mengacu pada Tabel 8, LT50 nyamuk Aedes aegypti terhadap pemakaian malation

5% untuk wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 3,88; 3,12; 3,39; 1,97 dan 1,63. Nilai LT95 nyamuk Aedes aegypti terhadap

pemakaian malation 5% untuk wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 12,12; 11,49; 14,16; 6,64 dan 2,64. dan 1,63. Nilai RR50 nyamuk yang berasal dari wilayah wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan

nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 3,88; 3,12; 3,39; 1,97 dan 1,63. Nilai RR95 nyamuk yang berasal dari wilayah wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk

laboratorium IPB berturut-turut sebesar 4,59; 4,35; 2,13 dan 2,52. Berdasarkan nilai RR95 maka nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari seluruh daerah pengamatan

terindikasi tidak resisten (RR95<10). Hal ini mengacu pada Brown (1989) yang

menyatakan bahwa nyamuk berada pada tahap resisten jika nilai rasio resistensi meningkat lebih dari 10 kali.

Pemakaian yang terus menerus seharusnya menyebabkan toleransi sedang (RR95>40) dan toleransi berat (RR95>100). Untuk memperoleh justifikasi hasil percobaan

ini dilakukan perbandingan kasus toleransi malation dibeberapa negara lain. Rawlins (1998) melaporkan penelitian toleransi terhadap malation yang digunakan secara terus- menerus selama 20 sampai dengan 30 tahun di wilayah Karibia hanya menunjukkan toleransi rendah (RR95<4). Toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation di

45

dengan 6,6 (Ponlawat et al, 2005). Akan tetapi jika mengacu pada Brown (1989) maka penelitian tersebut belum menunjukkan resistensi.

Peningkatan enzim esterase

Esterase adalah enzim hidrolase yang menguraikan ester dengan penambahan air menjadi alkohol dan asam asetat. Enzim eseterase mampu mendetoksifikasi insektisida dari golongan organofosfat. Enzim esterase bekerja secara cepat dalam mengikat toksin insektisida dibandingkan metabolisme insektisida tersebut. Peningkatan enzim esterase ditunjukkan pada Tabel 9 dan 10 serta Lampiran 4 dan 5 .

Tabel 9. Nilai α-esterase larva Aedes aegypti

Asal nyamuk Aedes aegypti

Nilai α -esterase larva Aedes aegypti (µmol/menit/mg protein)

RT 4 0.948 + 0,0362

RT 5 1,072 + 0,054

RT 6 1,261 + 0,0043

RT 9 1,424 + 0,101

Nyamuk Laboratorium IPB 0,266 + 0,022

Tabel 10. Nilai β-esterase larva Aedes aegypti

Asal nyamuk Aedes aegypti

Nilai β -esterase larva Aedes aegypti (µmol/menit/mg protein)

RT 4 0,0776 + 0,0094

RT 5 0,104 + 0,0060

RT 6 0,1367 + 0,04

RT 9 0,246 + 0,055

Nyamuk Laboratorium IPB 0,03172 + 0,000785

Mengacu pada Tabel 9 dan 10, Peningkatan enzim α esterase Aedes aegypti sebesar 4,31 sampai dengan 5,58 kali dibandingkan dengan nyamuk laboratorium entomologi IPB, sedangkan peningkatan enzim β esterase Aedes aegypti sebesar 2,45 sampai dengan 7,76 kali dibandingkan dengan nyamuk laboratorium entomologi IPB.

46

Terjadinya peningkatan enzim α dan β esterase menunjukkan kedua gen yang mengkode esterase berada pada lokus yang sama /amplicon (Small, 1998).

Dari hasil penelitian dan Wicaksana (2006), seleksi 20 generasi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation menunjukkan adanya peningkatan enzim α esterase, setelah itu terjadi peningkatan enzim asetilkolinesterase. Nilai enzim α esterase pada generasi F0 semula 0,15 menjadi 0,215, seharusnya pada generasi nyamuk F20. Sedangkan nilai peningkatan aktivitas enzim ACHE dari 20,35 (F0) menjadi 24,9% pada generasi F20.

Hasil survei terhadap masyarakat

Dari 80 angket yang disampaikan pada masyarakat ternyata hanya sebanyak 50 buah angket (62,5%) yang dikembalikan dengan berbagai alasan. Hal ini menunjukkan keperdulian masyarakat setempat untuk mendukung penelitian penanggulangan nyamuk Aedes aegypti sangat minim. Tabulasi hasil survei terhadap masyarakat ditunjukkan pada Tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Hasil survei tentang sikap masyarakat terhadap penanggulangan penyakit DBD

No Uraian Jumlah (%)

1. Pengeluaran rata-rata perbulan: a. Lebih kecil dari Rp. 200.000,-

b. Rp. 200.000,- sampai dengan kurang dari Rp. 500.000,- c. Rp. 500.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000- d. Diatas Rp. 1000.000,- 0 14,81 70,38 14,81 2. Pendidikan a. Tidak sekolah b. Sekolah Dasar (SD)

c. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) d. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) e. Diploma III, Sarjana muda

f. Sarjana ke atas 3,7 14,81 25,93 55,56 0 0

3. Pernah menerima penyuluhan DBD 64

4. Pengetahuan terhadap penyakit DBD Dari yang mengetahui tersebut terdiri :

a. pengetahuan terhadap nyamuk Aedes aegypti

b. pengetahuan terhadap tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti c. sikap terhadap pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3 M d. sikap terhadap pengendalian sarang nyamuk dengan penggunaan temefos 51,85 46,15 46,15 46,15 46,15

47

Berdasarkan hasil tersebut, partisipasi masyarakat terhadap pengendalian penyakit DBD sangat minim. Dari 50 kepala keluarga yang mengembalikan angket, hanya 51,85% mengetahui penyakit DBD dan setelah menerima penyuluhan tentang penyakit DBD. Sebanyak 46,15% dari 51,85% kepala keluarga yang mengetahui penyakit DBD, mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap nyamuk Aedes aegypti, tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti serta sikap terhadap pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M dan penggunaan insektisida temefos (abate). Dengan demikian hanya 23,93% dari 50 kepala keluarga yang mengembalikan kuesioner yang peduli terhadap penyakit DBD. Disisi lain jumlah kepala keluarga yang berpendidikan cukup tinggi (lulusan SLTA) sebanyak 55,56% dengan tingkat penghasilan yang cukup (belanja perbulan Rp. 500.000- sampai dengan Rp. 1.000.000,-) sebanyak 70,38% seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi tehadap penanganan DBD. Pengetahuan yang tidak cukup, dapat mempercepat resistensi terhadap kedua insektisida tersebut karena penggunaan dosis yang mungkin tidak sesuai dengan anjuran.

48

Dokumen terkait