• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi dan Perdagangan Bawang Merah di Indonesia

Produksi bawang merah di Indonesia dihasilkan di 24 dari 30 provinsi. Provinsi penghasil utama (luas areal panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah diantaranya adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan. Kesembilan provinsi ini menyumbang 95.8% (Jawa memberikan kontribusi 75%) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2013. Produksi bawang merah di Indonesia untuk setiap provinsi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Perkembangan produksi bawang merah per provinsi di Indonesia tahun 2010-2014 (Ton) Propinsi Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Jawa Tengah 506 357 372 256 381 813 419 472 519 356 Jawa Timur 203 739 198 388 222 862 243 087 293 179 Jawa Barat 116 396 101 273 115 896 115 585 130 082 Nusa Tenggara Barat 104 324 78 300 100 989 101 628 117 513 Sumatera Barat 25 058 32 442 35 838 42 791 61 335 Sulawesi Selatan 23 276 41 710 41 238 44 034 51 728 Yogyakarta 19 950 14 407 11 855 9 541 12 360 Bali 10 981 9 319 8 666 7 977 11 884 Sulawesi Tengah 10 301 10 824 7 272 4 400 6 923 Sumatera Utara 9 413 12 449 14 156 8 305 7 810 Propinsi Lainnya 19 139 21 756 23 612 13 954 21 816 Sumber: BPS (2014b)

Produksi bawang merah di Indonesia hampir sebagian dihasilkan Propinsi Jawa Tengah dengan kontribusi sebesar 43%. Lebih jelasnya pada Gambar 5.

Sumber: BPS (2014b)

Gambar 5 Persentase rata-rata produksi bawang merah per propinsi pada tahun 2008-2014 di Indonesia 43% 22% 11% 10% 4% 4%1% 1% 1% 1% 2% Jaw a Tengah Jaw a Tim ur Jaw a Barat NTB

Sumat era Barat Sulawesi Selat an Yogyakart a Bali

Sulawesi Tengah Sumat era Ut ara Propinsi Lainnya

Dari Gambar 5, terlihat sentra produksi bawang merah utama di Indonesia adalah Provinsi Jawa Tengah, diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat. Khusus di Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Brebes merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki total lahan terbesar yang diusahakan untuk komoditas bawang merah. Kabupaten Brebes memasok sekitar 75% kebutuhan bawang merah di Provinsi Jawa Tengah dan 23% kebutuhan bawang merah nasional. Puncak panen bawang merah di Indonesia terjadi hampir selama 6-7 bulan setiap tahun, dan terkonsentrasi antara bulan Juni-Desember-Januari, sedangkan bulan kosong panen terjadi pada bulan Februari-Mei dan November.

Musim tanam puncak bawang merah terjadi pada bulan April-Oktober. Selama ini budidaya bawang merah diusahakan secara musiman (seasonal), yang pada umumnya dilakukan pada musim kemarau (April-Oktober), sehingga mengakibatkan produksi dan harganya berfluktuasi sepanjang tahun. Adanya kesenjangan produksi antar waktu atau adanya pasokan bawang merah yang tidak kontinyu maka pemerintah melakukan impor bawang merah. Data statistik menunjukan, proporsi impor terhadap kebutuhan nasional sebesar 10% yang berasal dari Vietnam, India, dan Thailand. Gambaran produksi bawang merah dan impor di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber: BPS (2014b)

Gambar 6 Perkembangan volume produksi dan impor bawang merah pada tahun 2008-2014 di Indonesia

Gambar 6 menunjukkan selama tahun 2008 sampai 2014 Pemerintah melakukan impor dengan melihat kondisi produksi bawang merah di Indonesia. Dalam hal ini, ketika ada kenaikan produksi bawang merah pemerintah menurunkan jumlah impor nasional. Sebaliknya, ketika penurunan produksi pemerintah menaikan jumlah impor bawang merah untuk menutupi kekurangan produksi. Fakta tersebut juga didukung oleh hasil analisis korelasi dengan nilai -0.762 yang artinya adanya hubungan berlawanan antara produksi dan impor bawang merah di Indonesia.

- 200 000 400 000 600 000 800 000 1000 000 1200 000 1400 000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 V o lu m e ( to n ) Produksi Impor

Gambaran Pergerakan Harga Bawang Merah

Selama periode Januari 2008 sampai Desember 2014 margin pemasaran antara produsen dan grosir cenderung stabil selama periode 2008 - 2010 dan mulai berfluktuasi pada awal periode 2011. Fluktuasi margin pemasaran antara produsen dan grosir terbesar terjadi pada tahun 2013. Pada hubugan antara grosir dan konsumen, margin pemasaran berfluktuasi pada awal periode 2008 dan mulai stabil pada periode 2009-2010. Fluktuasi margin pemasaran cenderung membesar pada awal periode 2011, di mana disparitas terbesar terjadi pada awal periode 2014. Rata-rata margin pemasaran selama periode 2008-2014 antara grosir- produsen sebesar Rp 3 100 per kg/tahun sedangkan pengecer-grosir sebesar Rp 5 700 per kg/tahun. Berikut adalah gambaran margin pemasaran antar lembaga pemasaran bawang merah yang dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber: BPS (2014b) dan PIKJ (2014)

Gambar 7 Margin pemasaran bawang merah antar lembaga pemasaran di Indonesia

Selain produksi dalam negeri, pemenuhan kebutuhan bawang merah di Indonesia juga berasal dari impor bawang merah. Data statistik menunjukan kontribusi impor sebesar 10% terhadap total kebutuhan bawang merah nasional (BPS 2014d). Meskipun dengan proporsi yang kecil, impor mempunyai pengaruh dalam pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen dan produsen.

Harga bawang merah impor cenderung lebih rendah dibandingkan dengan harga bawang merah domestik Indonesia. Rata-rata harga bawang merah impor selama periode 2008-2014 sebesar Rp 4 220 per kg sedangkan bawang merah domestik Indonesia di sentra produsen (Kabupaten Brebes) sebesar Rp 9 643 per kg. Harga bawang merah impor juga lebih stabil dibandingkan bawang merah lokal di mana nilai koefisien keragamannya lebih rendah dibandingkan bawang merah domestik di sentra produsen yaitu 41.97% dan 50.50%. Berikut adalah perbandingan harga bawang merah domestik Indonesia di sentra produsen dan impor yang dapat dilihat pada Gambar 8.

- 2 000 4 000 6 000 8 000 10 000 12 000 14 000 16 000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 M a rg in ( R p /k g ) Pengecer-grosir Grosir-produsen

Sumber: BPS (2014d) dan PIKJ (2014)

Gambar 8 Perkembangan harga bawang merah di sentra produsen dan harga impor di Indonesia

Transmisi Harga Bawang Merah

Analisis transmisi harga dilakukan pada sentra produsen, grosir dan sentra konsumen bawang merah terbesar di Indonesia. Analisis ini menggunakan data harga di Kabupaten Brebes, Pasar Induk Kramat Jati (Jakarta) dan Kota Jakarta. Data yang digunakan merupakan data bulanan dari Januari 2008 sampai Desember 2014 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ). Harga bawang di sentra produsen mengambil Kabupaten Brebes dikarenakan merupakan daerah produsen bawang merah terbesar di Indonesia yaitu sebesar 25% dari produksi nasional. Harga di tingkat grosir mengambil Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) dikarenakan sebagai pusat grosir terbesar di Indonesia. Selain itu, adanya aliran perdagangan bawang merah dari Kabupaten Brebes ke Kota Jakarta melalui PIKJ sebesar 70%. Sedangkan harga bawang merah di sentra konsumen mengambil Propinsi Jakarta sebagai pusat konsumen terbesar di Indonesia. Berikut adalah gambaran analisis deskriptif harga bawang merah di sentra produsen, grosir dan konsumen selama periode 2008 - 2014 pada Tabel 3.

Tabel 3 Deskripsi statistik dari harga produsen, grosir, dan konsumen bawang merah dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014 di Indonesia

Variabel Obs Harga real Logaritma natural

Rata-rata Std dev CVa Rata-rata Std dev CVa Produsen 84 11 417 5 754 50.50 9.24 0.43 4.65 Grosir 84 15 131 7 429 49.09 9.53 0.40 4.28 Konsumen 84 22 054 8 455 38.33 9.94 0.33 3.38 Keterangan: akoefisien varian (persen)

Selama periode Januari 2008 sampai Desember 2014 harga bawang merah di tingkat produsen paling bervariasi. Tingginya variasi harga bawang merah di tingkat produsen dilihat dari nilai koefiisen varian-nya (CV) yang paling besar.

- 5 000 10 000 15 000 20 000 25 000 30 000 35 000 40 000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 H a rg a ( R p /k g ) Produsen Impor

Hal ini juga menunjukan bahwa harga bawang merah di tingkat produsen lebih cepat berubah sedangkan harga di tingkat pengecer lebih stabil.

Harga bawang di sentra produsen yang lebih cepat berubah dibandingkan grosir dan pengecer terkait dengan fasilitas penyimpanan bawang merah di tingkat petani yang masih sedikit sehingga dengan karaktristik yang cepat rusak (perishable) menyebabkan harganya cenderung berfluktuasi paling tinggi. Hasil penelitian di lapangan menunjukan teknik pengeringan yang dilakukan petani adalah penjemuran di bawah sinar matahari yang membutuhkan waktu antara 7-9 hari. Pengeringan dengan teknik ini tentunya sangat tergantung dengan kondisi cuaca saat penjemuran. Saat suaca cerah penjemuran dapat berlangsung dengan baik, tetapi sebaliknya saat cuaca mendung atau bahkan hujan, penjemuran sama sekali tidak dapat dilakukan sehingga umbi bawang merah menjadi cepat busuk.

Fluktuasi harga yang tinggi tersebut juga seringkali merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Sebaliknya, kondisi penyimpanan yang lebih baik di tingkat pedagang sehingga dapat mengatur penjualannya. Menurut Simatupang (1999), fluktuasi harga yang tinggi juga memberi peluang kepada pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat petani sehingga transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat asimetris dalam pengertian jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan fluktuasi harga antara produsen, grosir dan pengecer bawang merah.

Pengujian Stasioneritas Data

Langkah pertama untuk menganalisis transmisi harga adalah dengan menguji stasioneritas series harga bawang merah di tingkat produsen, grosir dan pengecer. Pengujian ini dilakukan untuk melihat konsistensi pergerakan data time series serta mencegah terjadinya spurious regression. Konsintensi data diperlukan karena adanya dugaan bahwa data bersifat non stasioner. Sedangkan spurios regression yaitu kondisi dimana sebuah regresi terhadap satu variabel terhadap variabel lainnya menghasilkan R2 yang tinggi namun sebenarnya tidak ada hubungan yang berarti secara ekonomi. Hal ini sering terjadi pada saat kedua atau lebih data time series menunjukkan karakteritik tren yang kuat dalam kurun waktu.

Untuk mengetahui pada kondisi mana data dapat menjadi stasioner, maka data diuji dalam beberapa kondisi. Jika series data bersifat stasioner tanpa melakukan differencing, maka dikatakan sebagai kondisi I(0)/level. Apabila series data bersifat stasioner pada turunan pertama I(1), maka dikatakan sebagai kondisi (first differences) atau integrasi dari order 1. Secara umum, apabila data time series harus diturunkan sebanyak “d” kali agar stasioner, maka data tersebut dapat dinotasikan dalam bentuk I(d) atau terintegrasi dari orde “d”.

Pengujian stasioneritas menggunakan augmented dicky fuller test (ADF) dengan taraf nyata 5%. Uji ini dilakukan pada tingkat level dan first difference. Apabila data tidak stasioner pada level, maka pengujian akan dilanjutkan pada kondisi first difference. Selanjutnya, apabila nilai t-ADF lebih kecil dari nilai

kritis Mackinon maka data yang digunakan tersebut stasioner. Hasil uji stationeritas pada tingkat level dan first difference dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji stationeritas data

Harga Nilai ADF

Level First difference

Produsen -0.746 7.830*

Grosir 2.517 10.066*

Pengecer 1.851 10.155*

Keterangan: *Stationer pada taraf 5 %

Hasil pengujian pada Tabel 4 menunjukan bahwa variabel harga produsen, harga grosir dan harga pengecer bawang merah tidak stationer pada level. Setelah dilakukan pengujian pada first difference pada semua variabel menunjukan variabel telah stationer. Adanya variabel yang tidak stasioner pada level mengindikasikan adanya hubungan jangka panjang antar variabel (kointegrasi). Untuk itu, dalam pembentukan model transmisi harga ini harus diuji keberadaan kointegrasi antar variabel yang akan diuji pada tahapan selanjutnya.

Pengujian Kointegrasi Harga

Kointegrasi adalah keseimbangan yang terjadi antara kedua harga dalam jangka panjang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah johansen cointegration test. Pengujian persamaan yang ditentukan berdasarkan kriteri SC, dimana asumsi yang dipilih adalah intercept (no trend) dan panjang lag optimum juga berdasarkan kriteria SC dimana lag yang digunakan adalah lag 1. Hasil pengujian kointegrasi harga antar lembaga pemasaran bawang merah yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil estimasi kointegrasi antara harga produsen, grosir dan pengecer bawang merah

Rank Produsen – grosir Grosir – pengecer

0 37.434* 26.396*

1 7.128* 7.616*

Keterangan: *Signifikan pada taraf 5 %.

Berdasarkan Tabel 5 terlihat baik pada hubungan produsen – grosir dan grosir – konsumen memiliki nilai Tstatitik yang nyata pada level 5%. Ini

menunjukan pada kedua model tersebut terjadi kointegrasi artinya terdapat hubunga jangka panjang di antara variabel. Adanya kointegrasi pada hubungan tersebut juga menunjukan bahwa perubahan harga di tingkat hulu ditransmisikan ke tingkat di atasnya (hilir).

Uji Kausalitas

Pengujian kausalitas dilakukan untuk melihat variabel yang berpengaruh terhadap perubahan variabel lainnya. Uji ini dengan melihat nilai probabilitas pada taraf signifikan 5%. Jika nilai probabilitas lebih besar maka H0 ditolak dan

sebaliknya. Pengujian kausalitas dalam penelitian menggunakan long run causality test. Hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini adalah tidak terdapat

pengaruh dari harga pada pasar di tingkat hulu ke dan sebaliknya hipotesis alternatif (H1) adalah terdapat pengaruh dari harga pasar di tingkat hulu ke harga

pasar di tingkat hilir. Dengan kata lain, pergerakan harga di tingkat hulu sebagai pendorong pergerakan harga di tingkat hilir atau harga tingkat hulu merupakan granger cause dari harga di tingkat hilir.

Kaitannya dengan transmisi harga, pengujian ini dilakukan untuk melihat arah transmisi harga yaitu apakah dalam pemasaran bawang merah di Indonesia harga lebih ditentukan dari sisi hulu (upstream) ataukah lebih ditentukan dari perubahan dari sisi hilir (downstream). Dalam penelitian pengujian kausalitas dilakukan antar lembaga pemasaran bawang merah. Lebih jelas hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil estimasi Granger causality pada hubungan produsen-grosir dan grosir-pengecer bawang merah

Hubungan Jumlah lag T-statistik

Grosir —> produsen 1 -1.456

Produsen —> grosir 1 -2.238*

Grosir —> pengecer 1 -5.804*

Pengecer —> grosir 1 -1.301

Keterangan: *Signifikan pada taraf 5 %, —> mempengaruhi

Tabel 6 memperlihatkan bahwa harga produsen mempengaruhi harga grosir (PIKJ) sebaliknya harga grosir tidak mempengaruhi harga produsen bawang merah (Kab. Brebes). Pada hubungan grosir-konsumen, menunjukan bahwa harga grosir mempengaruhi harga di tingkat pengecer sedangkan harga pengecer tidak mempengaruhi harga di tingkat grosir. Dengan demikian, menunjukan pembentukan harga antar lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia lebih ditentukan dari sisi penawaran (supply side) atau bersifat satu arah yaitu dari hulu ke hilir.

Pembentukan harga bawang merah yang lebih ditentukan dari sisi penawaran, Prastowo, Yanuarti dan Depari (2008) menjelaskan bahwa sisi permintaan komoditas pertanian, khususnya komoditas pangan pokok seperti bawang merah cenderung stabil. Meskipun tekanan dari sisi permintaan dapat terjadi, namun derajatnya relatif rendah. Tekanan dari sisi permintaan hanya bersumber dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Kedua faktor tersebut sifatnya lebih mudah ditekan, dibandingkan faktor cuaca dan musim yang mempengaruhi sisi penawaran.

Hasil Estimasi Model Houck dan ECM-EG

Setelah melihat arah hubungan melalui uji kausalitas maka selanjutnya adalah mengestimasi persamaan asimetris harga yaitu apakah transmisi harga terjadi secara sempurna antara produsen - grosir dan grosir - konsumen. Dalam penelitian ini, terdapat dua model asimetris yang digunakan. Dalam estimasi pertama, menggunakan model asimetris yang dikembangkan oleh Houck. Houck mengembangkan model pengujian asimetris harga berdasar segmentasi variabel

harga menjadi harga naik dan harga turun. Namun, dengan menggunakan pendekatan Houck tidak mensyaratkan pengujian kointegrasi antara tingkat hulu dan hilir.

Dalam model ini, kondisi asimetri jangka pendek akan dilihat dari koefisien segmentasi harga naik dan turun pada waktu t dan t-1 nya sedangkan dalam jangka panjang dilihat dari penjumlahan koefisien pada waktu t dan t-1. Apabila kedua koefisien identik maka transmisi harga terjadi secara simetri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil estimasi model asimetris Houck dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014

Variabel Produsen —> Grosir Variabel Grosir —> Pengecer

Konstanta 137.064 (0.628) Konstanta -0.012 (0.624) PPt 1.172 (0.000) GPt 0.492 (0.000) PPt 1.366 (0.000) GPt 0.657 (0.000) PPt1 0.025 (0.817) GPt1 0.150 (0.104) PPt1 -0.249 (0.004) GPt1 0.097 (0.246) Komulatif turun 1.197 Komulatif turun 0.642 Komulatif naik 1.117 Komulatif naik 0.754 R2 0.877 R2 0.700 R2-adj 0.871 R2-adj 0.684 F-Statisitik 138.494 (0.000) F-Statisitik 44.962 (0.000) DW Stat. 2.345 DW Stat. 2.295

Sumber: BPS (2014a) dan PIKJ (2014), diolah Keterangan: ( ) probablity-value

Tabel 7 memperlihatkan bahwa dalam jangka pendek pada hubungan produsen-grosir terdapat perbedaan koefisien antara PP- dan PP+ pada periode ke t. Perbedaan shock positif dan negatif ini dilihat dari koefisien PP positif dan PP negatif. Ini menunjukan pada saat terjadi kenaikan bawang merah di tingkat petani ditransmisikan secara berbeda dengan perubahan penurunan harga. Variabel harga produsen pada periode sebelumnya (t-1) menunjukan nilai signifkansi yang berbeda di mana hanya pada saat kenaikan harga produsen pada waktu sebelumnya yang direspon oleh harga grosir. Artinya bahwa penurunan harga bawang merah di tingkat produsen pada waktu sebelumnya tidak akan berpengaruh pada harga bawang merah di level grosir. Penurunan harga di tingkat produsen (t-1) yang tidak direspon grosir yang tidak direspon mengindikasikan adanya perilaku asimetris di tingkat grosir. Dalam hal ini Ketika terjadi kenaikan harga pada tingkat hulu secara serta merta direfleksikan dengan

terjadinya kenaikan harga pada tingkat hilir, namun tidak diikuti dengan pola yang sama ketika terjadi penurunan harga.

Hal yang sama juga terlihat pada hubungan grosir - pengecer, di mana variabel harga grosir (GP) pada saat naik dan turun secara deskriptif menunjukan perbedaan respon di tingkat konsumen. Berbeda dengan tingkat respon pada grosir pada model sebelumnya, respon pengecer (harga konsumen) pada saat harga naik lebih besar dibandingkan pada saat harga di tingkat grosir mengalami penurunan.

Kedua variabel menunjukan tingkat signifikansi yang sangat nyata artinya pada saat terjadi kenaikan dan penurunan harga grosir akan direspon pengecer dalam menetapkan harga. Selanjutnya pada pengaruh harga grosir pada periode sebelumnya menunjukan tingkat signifikansi yang berbeda, di mana hanya signifikan pada saat harga grosir mengalami penurunan pada periode sebelumnya. Artinya kenaikan harga bawang merah di tingkat grosir pada periode sebelumnya tidak akan berpengaruh pada harga bawang merah di tingkat pengecer (konsumen).

Secara komulatif respon kenaikan harga lebih besar dibandingkan pada saat terjadi penurunan harga di tingkat grosir. Sebaliknya pada hubungan produsen-grosir, respon kenaikan harga lebih kecil dibandingkan pada saat terjadi penurunan harga di tingkat produsen. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Brooker et al (1997) dan Girapunthong, Reunwick, dan Vansickle (2003) di mana grosir lebih merespon cepat pada saat harga turun dibandingkan pada saat harga naik. Hal ini dilakukan oleh pedagang grosir agar menjaga langganan dan market share-nya.

Selanjutnya, pada model dinamis kedua menggunakan metode ECM-EG yang dikembangkan Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996), dimana transmisi harga tidak simetris dipisahkan antara transmisi jangka pendek dengan transmisi jangka panjang. Beda dari pendekatan Houck sebelumnya yang tidak melakukan uji kointegrasi antara tingkat hulu dan hilir metode ini dipakai untuk menghindari terjadinya spurious regression terutama saat diestimasi menggunakan metode linier biasa (OLS). Hal ini terjadi karena data-data yang dipakai bersifat non- stasioner.

Pada model ini pengujian kondisi asimetris tidak hanya dilakukan terhadap shock positif dan shock negatif variabel bebasnya tetapi juga pada terhadap koefisien ECT+ dan ECT- (Yustiningsih 2012). Error Correction Term (ECT) digunakan untuk mengukur deviasi dari keseimbangan jangka panjang antara dua harga tersebut. Dimasukkannya ECT ini memungkinkan harga yang telah diestimasi merespon perubahan harga dan juga dapat memperbaiki deviasi dari keseimbangan jangka panjang tersebut.

Shock positif merupakan kondisi di mana variabel independent mengalami perubahan kenaikan sedangkan shock negatif menunjukan penurunan harga pada variabel independent. ECT dalam model ini akan dibagi menjadi ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT ini pada dasarnya menggambarkan kondisi harga di salah satu level tidak sesuai dengan kondisi keseimbangannya (Yustiningsih 2012). Pergerakan harga dikatakan berada pada garis keseimbangan apabila kenaikan harga di tingkat petani diikuti dengan kenaikan harga di tingkat grosir dan penurunan harga di tingkat petani diikuti dengan penurunan harga di tingkat grosir juga.

ECT+ menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di atas garis keseimbangan jangka panjang yaitu pada saat penurunan harga bawang merah di tingkat petani tidak diikuti dengan penurunan harga bawang di level grosir atau pada saat penurunan harga bawang merah di tingkat grosir tidak diikuti dengan penurunan harga bawang di level konsumen. Sebaliknya, ECT- menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang yaitu pada saat kenaikan harga bawang merah di tingkat petani tidak diikuti dengan penurunan harga bawang di level grosir atau pada saat penurunan harga bawang merah di tingkat grosir tidak diikuti dengan penurunan harga bawang di level konsumen. Apabila kedua koefisien tersebut identik maka transmisi harga terjadi secara simetris. Berikut adalah hasil estimasi model ECM-EG yang dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil estimasi model asimetris ECM-EG dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014

Variabel Produsen —> Grosir Variabel Grosir —> Pengecer

Konstanta 110.596 (0.661) Konstanta -0.004 (0.854) GPt1 0.437 (0.000) CPt1 0.018 (0.910) GPt1 -0.170 (0.393) CPt1 0.278 (0.163) PPt 1.155 (0.000) GPt 0.591 (0.000) PPt 0.383 (0.000) GPt 0.563 (0.000) PPt1 -0.510 (0.004) GPt1 0.131 (0.283) PPt1 0.115 (0.650) GPt1 -0.261 (0.142) ECT- -0.533 (0.007) ECT- -0.875 (0.000) ECT+ -0.759 (0.001) ECT+ -0.203 (0.181) R2 0.927 R2 0.781 R2-adj 0.919 R2-adj 0.758 F-Statisitik 116.436 (0.000) F-Statisitik 32.724 (0.000) DW-Stat. 1.879 DW-Stat. 2.075

Sumber: BPS (2014a) dan PIKJ (2014), diolah Keterangan: ( ) probality-value.

Dari Tabel 8, transmisi harga dalam jangka pendek antara produsen-grosir secara deskriptif terjadi perbedaan respon harga grosir terhadap kenaikan dan penurunan harga di tingkat produsen. Pada harga produsen pada periode ke-t, dilihat dari koefisiennya menunjukan bahwa perubahan kenaikan ditransmisikan secara berbeda dengan perubahan penurunan harga. Perubahan penurunan dan kenaikan memiliki nilai yang signifikan. Perubahan harga naik dan turun di

tingkat produsen menunjukan nilai yang signifikan artinya baik pada saat terjadi kenaikan dan penurunan harga bawang merah pada periode t ditingkat produsen akan direspon oleh pedagang grosir.

Untuk harga produsen pada periode sebelumnya (t-1) menunjukan hal yang sama yaitu terjadi perbedaan respon oleh harga grosir. Kedua variabel menunjukan tingkat signifikansi yang berbeda yaitu hanya signifikan pada penurunan harga produsen pada periode sebelumnya. Ini menunjukan, hanya penurunan harga di tingkat produsen (t-1) yang direspon oleh pedagang grosir. Lebih lanjut, jika dilihat dari tanda koefisiennya menunjukan nilai negatif artinya pada saat penurunan harga di tingkat produsen pada periode sebelumnya akan direspon oleh pedagang dengan menaikkan harga.

Pada transmisi jangka panjang antara produsen - grosir dapat dilihat dari nilai ECT-nya. Dari tabel tersebut terdapat kesamaan tanda koefisien antara ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT+ bernilai negatif dengan nilai 0.757 sedangkan ECT-

Dokumen terkait