• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transmisi Harga Dan Perilaku Pasar Bawang Merah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Transmisi Harga Dan Perilaku Pasar Bawang Merah"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSMISI HARGA DAN PERILAKU PASAR

BAWANG MERAH

JANUAR ARIFIN RUSLAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang Merah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Januar Arifin Ruslan

(4)

RINGKASAN

JANUAR ARIFIN RUSLAN. Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang Merah. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan SUHARNO.

Aspek off-farm menjadi masalah utama dalam pengembangan sayuran. Bawang merah merupakan komoditi penting di Indonesia dengan tingkat fluktuasi harga yang besar. Selama tahun 2008-2014, rata-rata margin pemasaran bawang merah di sentra produsen-grosir sebesar Rp 3 100 per kg/tahun sedangkan grosir - pengecer sebesar Rp 5 700 per kg/tahun. Ini menunjukan adanya disparitas harga yang besar antara lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia. Disparitas harga ini juga terkait dengan perilaku lembaga pemasaran yaitu adanya interaksi antar lembaga pemasaran. Pemodelan proses interaksi antar lembaga pemasaran diperlukan untuk memahami proses dalam penentuan harga.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah, (2) menganalisis faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir, (3) mengidentifikasi perilaku lembaga pemasaran dalam pembentukan harga bawang merah. Penelitian ini menggunakan model Houck dan ECM-EG untuk menganalisis transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah dan model ECM menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir. Analisis teori permainan digunakan untuk mengindentifikasi perilaku pasar dalam pembentukan harga bawang merah. Data yang digunakan merupakan kombinasi dari data deret waktu dan data primer. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) sedangkan data primer diperoleh dari wawancara langsung ke lembaga pemasaran bawang merah.

Hasil penelitian menunjukan bahwa transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah bersifat asimetris baik pada hubugan produsen-grosir maupun grosir-pengecer. Asimetri transmisi harga antara produsen-grosir dipengaruhi oleh faktor jangka pendek yaitu adjusment cost sedangkan grosir-pengecer dipengaruhi oleh adanya market power di tingkat pedagang pengecer. Pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga grosir, harga produsen, bahan bakar minyak (BBM) dan harga impor bawang merah sedangkan dalam jangka panjang dipengaruhi oleh harga grosir, harga produsen, BBM, dan harga konsumen bawang merah pada waktu sebelumnya. Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa pembentukan harga sangat dipengaruhi struktur pasar setiap lembaga pemasaran bawang merah. Kondisi pasar yang bersifat oligopsoni di tingkat petani menyebabkan strategi terkait harga bukan nash equlibrium bagi petani sebaliknya pengecer dengan kekuatan pasarnya dapat menentukan harga.

(5)

SUMMARY

JANUAR ARIFIN RUSLAN. Price Transmission and Market Behaviour of Shallot. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and SUHARNO.

Off-farm aspect is the main problem in development of vegetables agriculture. Shallots are important commodity in Indonesia with large price fluctuations. In 2008-2014, the marketing margin of shallot between farm-wholesaler was Rp 3 100 while the marketing margin between wholesale - retailer was Rp 5 700. This shows there is a great price disparity between marketing agents. Price disparity also associated with the marketing agents’ behaviour, which indicates the existance of marketing relationship between agents. The modeling of the interaction between marketing agents is required to understand the process in determining the price.

The purposes of this study were to: (1) analyze the price transmission between marketing agents (2) analyze the factors affecting prices of shallots at the final consumer (3) identify the behaviour of marketing agencies in the formation of shallot prices. This research used the Houck and ECM-EG model to analyze price transmission between marketing agents and the ECM model to analyze the factors affecting prices of shallots at the final consumer. Game theory used to identify the behaviour of marketing agencies. The data used in this study was combination of time series data and primary data. Secondary data were obtained from the Central Bureau of Statistics and central market of Kramat Jati, while primary data obtained from direct interview to marketing agents.

The results showed that price transmission at farmer to wholesale was asymmetric in short-term while wholesalers to retailers was asymmetric in the long term. The asymmetric price transmission in short term was exist due to adjusment cost and in long term was due to the existence of the market power abuse. Formation of shallot prices at the level of the final consumer in the short term was influenced by wholesale prices, producer prices, fuel and import prices, whereas in long term was influenced by wholesale prices, farm price, fuel and consumer prices at the previous period of time (t-1). The analysis of market behavior showed that the price formation was influenced by the market structure of each marketing agents. The oligopsony market structure at farm level caused the pricing strategy wasn’t nash equlibrium for farmer otherwise the retailer with market power can determine the price.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

TRANSMISI HARGA DAN PERILAKU PASAR

BAWANG MERAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang Merah Nama : Januar Arifin Ruslan

NIM : H453130061

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi Dr Ir Suharno, MAdev Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah mengenai pemasaran bawang merah di Indonesia, dengan judul Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang Merah.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi pembimbing dan bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi., selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr Ir Suharno, MAdev., selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber inspirasi bagi penulis dalam penyusunan tesis.

2. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi., selaku penguji Luar Komisi dan Dr Meti Ekayani, S Hut MSc, selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis.

3. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS., selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan.

4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan.

5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB.

6. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada keluarga yaitu orang tua penulis Ibunda Mastura Barhiman, Kakanda Nuning Ruslan dan Ade Ruslan dan adikku Ria Ruslan atas doa dan dorongan serta semangat yang diberikan selama studi. Dengan iringan doa kepada almarhum ayahanda tercinta Ruslan H. Kasmin, terima kasih atas semua nasihat dan do’anya semasa hidup. 7. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2013 yang

telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti kuliah. 8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu terlaksananya penelitian dan penyusuan tesis ini.

Segala kekurangan yang terdapat pada tesis ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Semoga tesis ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya untuk kepentingan yang lebih baik.

Bogor, Maret 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 4

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Penelitian Terdahulu 5

Model Analisa Transmisi Harga dan Perilaku Pasar 7

Teori Harga 9

Integrasi Pasar dan Transmisi Harga 10

Struktur, Kekuatan Pasar dan Pembentukan Harga Komoditas 11

Perilaku Pasar 12

Game Theory dalam Analisis Perilaku Pasar 13

Kerangka Pemikiran 15

Hipotesis 17

3 METODE PENELITIAN 18

Jenis dan Sumber Data 18

Lokasi dan Waktu Penelitian 18

Penentuan Sampel 18

Metode Analisis Data 19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Produksi dan Perdagangan Bawang Merah 26

Gambaran Pergerakan Harga Bawang Merah 28

Transmisi Harga Bawang Merah 29

Faktor Pembentuk Harga Bawang Merah di Tingkat Konsumen 41 Analisa Game Theory dalam Pembentukan Harga Bawang Merah 47

5 SIMPULAN DAN SARAN 59

Simpulan 59

Saran 59

DAFTAR PUSTAKA 60

LAMPIRAN 64

(14)

DAFTAR TABEL

1 Matriks strategi penetapan harga oleh pengecer. 25 2 Perkembangan produksi bawang merah per provinsi di Indonesia tahun.

2010-2014 (Ton). 26

3 Deskripsi statistik harga produsen, grosir, dan pengecer bawang merah dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014. 29

4 Hasil uji stationerita data. 31

5 Hasil estimasi kointegrasi harga produsen, grosir, dan pengecer bawang

merah. 31

6 Hasil estimasi Granger causality harga produsen-grosir dan

grosir-pengecer bawang merah. 32

7 Hasil estimasi model asimetris Houck dari bulan Januari 2008 sampai

Desember 2014. 33

8 Hasil estimasi model asimetris ECM-EG dari bulan Januari 2008

sampai Desember 2014. 35

9 Elastisitas transmisi harga dengan model Houck dan ECM-EG. 37 10 Hasil estimasi Wald test pada kesimetrisan harga antar lembaga

pemasaran bawang merah di Indonesia. 39

11 Hasil uji stationeritas data 43

12 Hasil Johanssen cointegration test 43

13 Hasil kointegrasi menggunakan ADF pada residual 44 14 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga

bawang merah di tingkat konsumen dalam jangka pendek. 45 15 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga

bawang merah di tingkat konsumen dalam jangka panjang. 47 16 Analisis profitabilitas usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes,

tahun 2015 51

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan harga bulanan bawang merah di sentra produsen, grosir,

dan konsumen Indonesia tahun 2008-2014 2

2 Kerangka pemikiran penelitian 17

3 Extensive form game antar petani dengan pedagang desa dan pedagang

Pasar Klampok 22

4 Signaling game antara petani dengan pedagang desa 23 5 Persentase rata-rata produksi bawang merah per propinsi pada tahun

2008-2014 di Indonesia 26

6 Perkembangan volume produksi dan impor bawang merah pada tahun

2008-2014 di Indonesia 27

7 Margin pemasaran antar lembaga pemasaran bawang merah di

Indonesia 28

8 Perkembangan harga bawang merah di sentra produsen, dan harga

impor di Indonesia 29

9 Gaming antara petani bawang merah dengan pedagang di sentra

produsen (hidden action) 49

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kontribusi inflasi kelompok bahan makanan di Indonesia, tahun 2013 65 2 Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan menurut kelompok barang

(Rp) tahun 2012-2013 di Indonesia 65

3 Rata-rata perkembangan luas lahan dan produksi sub sektor hortikultura

tahun 2009-2013 di Indonesia 66

4 Hasil uji stationeritas 66

5 Hasil uji kointegrasi 67

6 Uji kausalitas jangka panjang antara grosir-produsen 68 7 Uji kausalitas jangka panjang antar produsen-grosir 68 8 Uji kausalitas jangka panjang antara pengecer-grosir 68 9 Uji kausalitas jangka panjang antara grosir-pengecer 69

10 Uji kointegrasi antara produsen-grosir 69

11 Uji kointegrasi antara grosir-pengecer 69

12 Hasil estimasi model asimetris ECM-EG pada hubungan

grosir-produsen 69

13 Hasil estimasi model asimetris Houck pada hubungan grosir-produsen. 70 14 Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan

grosir-produsen 70

15 Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan

grosir-produsen pada periode t 70

16 Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan

grosir-produsen pada periode t-1 70

17 Hasil estimasi dengan model ECM-EG pada hubungan pengecer-grosir 71 18 Hasil estimasi dengan model Houck pada hubungan pengecer-grosir 71 19 Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan

grosir-produsen 72

20 Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan

grosir-produsen pada periode t 72

21 Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan

grosir-produsen pada periode t-1 72

22 Hasil estimasi error correction model (ECM) faktor-faktor yang mempengaruhi harga di tingkat konsumen dalam jangka pendek 73 23 Hasil estimasi error correction model (ECM) faktor-faktor yang

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang berkembang pesat di Indonesia dikarenakan kesesuaian karakteristik lahan, agroklimat dan wilayah yang cocok untuk pengembangannya. Dari segi ekonomi, komoditas hortikultura mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga dapat dijadikan usaha agribisnis hortikultura guna menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat (Dirjen Hortikultura 2011).

Sayuran merupakan bagian dari sub sektor hortikultura dengan tingkat permintaan yang tinggi. Data statistik menunjukan bahwa share pengeluaran sayuran terhadap total bahan makanan meningkat dari 7.40% pada tahun 2012 menjadi 8.74% pada tahun 2013 (BPS 2014a). Peningkatan konsumsi ini lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran bahan makanan lainnya.

Salah satu sayuran unggulan Indonesia yaitu bawang merah. Bawang merah merupakan sayuran dengan luas lahan terbesar dan masuk dalam prioritas pengembangan sayuran dataran rendah di Indonesia (BPS 2014b). Komoditas ini memiliki peluang pasar yang besar sebagai bumbu untuk konsumsi rumahtangga, bahan baku industri pengolahan dan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Untuk itu, pengembangan bawang merah sangat potensial ke depannya meliputi aspek usahatani (on-farm) dan di luar usahatani (off-farm). Irawan (2007) menjelaskan bahwa pengembangan hortikultura pada umumnya lebih banyak dijumpai pada aspek off-farm yaitu penanganan pasca panen dan pemasaran dikarenakan karakteristiknya yang cepat rusak (perishable).

Bawang merah merupakan sayuran yang sering mengalami permasalahan pada aspek off-farm yaitu fluktuasi harga yang tinggi. Permasalahan ini dikarenakan produksi bawang merah yang bersifat musiman dan sebagai salah satu sayuran yang mudah rusak. Pada tahun 2013, bawang merah menempati urutan pertama dalam kontribusinya terhadap inflasi dari kelompok bahan makanan yaitu sebesar 0.38% (TPI 2013). Oleh karena itu, aspek harga menjadi permasalahan penting pengembangan bawang merah di Indonesia.

Fluktuasi harga yang tinggi pada bawang merah menyebabkan semakin besar marjin pemasaran dan semakin rendah harga yang diterima petani. Irawan (2007) mengemukakan bahwa kecenderungan demikian terjadi karena harga yang berfluktuasi membuka peluang bagi pedagang untuk mempermainkan harga di tingkat petani dengan alasan adanya perubahan harga di tingkat konsumen. Dengan demikian permasalahan tersebut mempengaruhi proses transmisi harga dari produsen ke konsumen. Oleh karena itu, penting untuk melihat transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia

(18)

mempengaruhi struktur dan kinerja serta kinerja dapat mempengaruhi perilaku dan struktur.

Adanya permasalahan harga yaitu fluktuasi harga pada komoditi bawang merah maka untuk itu akan diangkat sebagai sebuah penelitian. Insyauddin (2011) menyatakan harga merupakan salah satu pendorong bagi petani untuk melakukan pekerjaannya. Sebaliknya untuk konsumen, harga merupakan nilai dari barang yang memberikan manfaat atas pemenuhan kebutuhan dan keinginanya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efisiensi pemasaran kaitannya dengan perilaku pasar bawang merah. Dalam penelitian ini akan dilihat proses transmisi harga antar lembaga pemasaran dan proses pembentukan harga melalui analisis perilaku lembaga pemasaran bawang merah.

Perumusan Masalah

Sentra produksi bawang merah di Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat (BPS 2014b). Ini menunjukan produksi bawang merah cenderung terkonsentrasi pada beberapa daerah sedangkan konsumen yang tersebar di Indonesia. Sentra produksi dan konsumsi yang tersebar maka diperlukan pasar yang berpadu sehingga pemasaran bawang merah menjadi sebuah sistem yang efisien dan efektif agar mampu mengintegrasikan antara produsen dan konsumen. Salah satu indikator dalam melihat tingkat efisiensi dari rantai pemasaran adalah harga. Berikut adalah gambaran perkembangan harga bawang merah di sentra produsen, grosir dan konsumen Indonesia yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: BPS (2014a) dan PIKJ (2014)

Gambar 1 Perkembangan harga bulanan bawang merah di sentra produsen, grosir dan konsumen Indonesia tahun 2008-2014.

Gambar 1 memperlihatkan harga bawang merah di sentra produsen, grosir dan konsumen menunjukkan fluktuasi harga yang seirama. Namun, analisis koefisien keragaman (CV) menunjukan bahwa harga bawang merah di sentar produsen lebih cepat berubah dibandingkan harga bawang merah di tingkat grosir

10 000 20 000 30 000 40 000 50 000 60 000

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

h

a

rg

a

(

R

p

/k

g

)

(19)

dan pengecer. Simatupang (1999) dalam Irawan (2007) mengemukakan bahwa fluktuasi harga yang tinggi di tingkat produsen memberi peluang kepada pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat petani sehingga transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat asimetris dalam pengertian jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Sehingga dari Gambar 1 tersebut mengindikasikan adanya transmisi harga yang tidak sempurna (imperfect price transmission).

Indikasi dari transmisi harga yang tidak simetris juga terlihat disparitas margin pemasaran antar lembaga pemasaran bawang merah. Selama tahun 2008-2014, rata-rata margin pemasaran petani - grosir sebesar Rp 3 100 per kg/tahun sedangkan grosir - pengecer sebesar Rp 5 700 per kg/tahun. Perbedaan margin pemasaran yang besar antar lembaga pemasaran bawang merah menunjukan petani dan konsumen tidak diuntungkan dalam perdagangan bawang merah. Yustiningsih (2012) mengemukakan bahwa semakin tinggi marjin distribusi mengindikasikan bahwa para pelaku dijalur distribusi memiliki market power yang cukup untuk menetapkan harga di atas biaya marginalnya dan menunjukkan bahwa pelaku berada pada pasar yang terkonsentrasi. Sejalan dengan itu, Conforti (2004) menjelaskan bahwa besarnya disparitas harga dalam rantai pemasaran dapat disebabkan oleh dua hal yaitu jalur pemasaran yang panjang dan adanya market power yang dimiliki oleh pedagang perantara. Keduanya akan menyebabkan margin yang terbentuk dalam pemasaran dari hulu ke hilir (vertikal) menjadi sangat besar dan tidak efisien.

Khusus mengenai market power, Vavra dan Goodwin (2005) menemukan adanya perilaku pedagang perantara yang berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan menaikan/menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Kondisi inilah yang menyebabkan pengendalian harga pada jalur distribusi dan transmisi harga yang tidak sempurna antara level produsen dengan konsumen.

Lebih lanjut, sehubungan dengan proses pemasaran bawang merah dari petani sampai ke tingkat konsumen, maka interaksi antar lembaga pemasaran menjadi penting dalam terbentuknya harga. Interaksi antar lembaga pemasaran ini dapat dilihat perilaku pasar setiap lembaga pemasaran dalam menetapkan harga. Nurasa dan Darwis (2007) menunjukkan bahwa kelembagaan pemasaran bawang merah mencakup petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir (PIKJ) dan pedagang pengecer. Hasil penelitiannya menemukan bahwa di tingkat desa sistem pasar yang terbentuk seringkali mengarah pada pasar yang bersifat monopsoni atau oligopsoni. Sebaliknya, pedagang besar atau di atasnya memiliki kemampuan dalam menetapkan harga. Sejalan dengan itu, Irawan (2007) menjelaskan bahwa petani sebagai penerima harga maka untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan harus mampu memanfaatkan variasi harga yang terjadi di pasar baik menurut tempat, bentuk produk, waktu maupun kualitas produk.

(20)

memanfaatkan variasi harga yang ada. Sebaliknya, rasionalitas pedagang yang mampu menetapkan harga dan perilaku lainnya. Dalam hal ini setiap lembaga (petani dan pedagang) yang terlibat dalam pemasaran bawang merah berusaha untuk memaksimumkan utilitasnya.

Melihat adanya perbedaan kondisi struktur pasar tersebut akan dipetakan perilaku pasar dari petani dan lembaga pemasaran lainnya. Dalam hal ini akan dimodelkan proses interaksi antar lembaga pemasaran sehingga diperoleh perilaku penentuan harga oleh berbagai pihak (lembaga pemasaran). Kaitannya dengan transmisi harga, Peltzman (2000) menyatakan bahwa perlunya pemahaman mengenai keterkaitan pasar secara vertikal untuk memahami fenomena harga yang tidak simetris. Dari uraian tersebut permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Apakah pembentukan harga bawang merah sudah efisien?

2. Apa saja faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah?

3. Bagaimana perilaku lembaga pemasaran dalam pembentukan harga bawang merah?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Menganalisis transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga

bawang merah di tingkat konsumen akhir.

3. Mengidentifikasi perilaku lembaga pemasaran dalam pembentukan harga bawang merah.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan teori integrasi pasar dan transmisi harga digunakan untuk melihat transmisi di tingkat produsen, grosir dan pengecer bawang merah di Indonesia. Data harga yang digunakan merupakan data bulanan dari Januari 2008 sampai Desember 2014.

(21)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian Terdahulu

Brooker et al (1987) mengenai transmisi perubahan harga antara petani/ produsen dengan grosir dan antara grosir dengan pengecer pada sembilan jenis sayuran segar di Amerika menunjukkan adanya informasi pasar yang tidak lancar. Respon pengecer terhadap kenaikan harga di tingkat grosir, ternyata lebih cepat dibandingkan respon mereka terhadap penurunan harga. Namun demikian, secara umum penelitian menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat hulu mempengaruhi keputusan pembentukan harga di tingkat grosir dan pengecer. Hal yang serupa dalam penelitian Zhang, Fletcher, dan Carley (1995) tentang kacang tanah yang menunjukan transmisi harga antara petani-pengecer bersifat asimetris dalam jangka pendek namun simetris dalam jangka panjang.

Khusus pada bawang merah, Asmara dan Ardhiani (2007) menunjukan bahwa struktur pasar bawang merah cenderung mengarah pada persaingan oligopsoni. Ini diperlihatkan pada struktur pasar di tingkat pedagang besar dengan jumlah yang relatif sedikit sehingga mampu menguasai input maupun output pasar bawang merah. Tingkat pengetahuan pasar juga terbatas pada informasi yang didapat disekitar pelaku pasar, sehingga pengetahuan pelaku pasar tentang informasi harga hanya berkisar pada kondisi di sekitarnya saja. Analisis integrasi pasar vertikal menunjukkan bahwa pasar terintegrasi secara lemah baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Informasi pasar umumnya tidak ditransmisikan secara sempurna oleh para pelaku pasar, khususnya pedagang besar yang bertindak sebagai pihak pembuat harga (price maker).

Selanjutnya, Dhewi (2008) menjelaskan bahwa struktur pasar bawang merah yang terjadi adalah struktur pasar oligopsoni. Pembentukan harga di tingkat petani dan pengecer terintegrasi cukup lemah, yang berarti keeratan hubungan antara keduanya cukup lemah. Dalam hal ini pedagang pengumpul bertindak sebagai price setter dan petani sebagai price taker yang menyebabkan bargaining position petani lemah. Analisis elastisitas transmisi harga mengindikasikan bahwa informasi harga di tingkat pengecer belum ditransmisikan secara penuh kepada petani. Kontribusi harga pengecer kurang lebih tiga kali lipat dari kontribusi harga petani. Selain itu didapatkan pula bahwa semakin pendek saluran pemasaran maka semakin besar pula kontribusi harga yang diterima petani.

Natawidjaja (2001) menunjukkan lebih lanjut bahwa pada saat terjadi kenaikan harga di pasar konsumen, para pelaku tataniaga di sebagian besar provinsi penghasil beras utama nasional ternyata mampu meningkatkan marjin keuntungan yang diterimanya. Hal ini dilakukan dengan cara yaitu menangguhkan kenaikan harga yang diterima konsumen pada harga yang seharusnya dibayarkan kepada petani. Begitu pula sebaliknya, yaitu pada saat harga di tingkat konsumen sedang turun, maka pelaku tataniaga juga mampu menjaga tingkat marjin keuntungan yang sudah diterimanya. Hal ini dilakukan dengan cara mempercepat penurunan harga beli pada petani sehingga risiko pasar dibebankan seluruhnya pada petani.

(22)

sayuran relatif rendah (49% hingga 55%) dibanding buah dan komoditas pangan lain (65% - 81%). Hal ini menunjukkan bahwa pasar sayuran di tingkat petani cenderung bersifat monopsoni/oligopsoni.

Kekuatan monopsoni pada pedagang umumnya terbentuk melalui dua cara yaitu : (1) peminjaman modal usahatani kepada petani dengan kesepakatan petani menjual hasil panennya kepada pedagang pemberi pinjaman, (2) kerjasama antara pedagang dalam menentukan harga beli dari petani. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya harga yang diterima petani sayuran adalah ketidakmampuan petani menahan penjualannya untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dan hal ini dapat didorong oleh tiga faktor yaitu desakan kebutuhan modal usahatani, keterbatasan teknologi efisien yang dapat diterapkan petani untuk mempertahankan kesegaran sayuran, dan keterbatasan sumber pendapatan diluar usahatani sayuran.

Penelitian perilaku pasar seperti Indrawati (2013) menjelaskan bahwa penetapan harga beli dan harga jual pedagang kebutuhan pokok di pasar tradisional pada umumnya di pengaruhi oleh pasokan komoditas kebutuhan pokok oleh distributor/pengepul dan kondisi pasokan barang dalam keadaan banyak dan sedikit dibandingkan pasokan normal. Pada umumnya, 50% pedagang tradisional menetapkan harga jual kepada konsumen adalah berdasarkan harga pasar tertinggi sebesar 50%, sedangkan harga pesaing atau penjual lain sebesar 40%, sisanya sebesar 10% ditentukan oleh biaya produksi yang dikeluarkan pedagang. Selanjutnya, Bassey et al (2013) dalam penelitian mereka di Nigeria menjelaskan umumnya antar pedagang saling berkomunikasi dalam mendapatkan harga dan informasi pemasaran lainnya. Dengan demikian, dalam menetapkan harga setiap pedagang saling memperhatikan harga pedagang lainnya.

Pradiptyo, Tumengkol dan Sasmitasiwi (2010) menunjukan bahwa pedagang cenderung asymmetric dalam menggunakan informasi untuk meningkatkan dan menurunkan harga. Faktor kelangkaan dan kenaikan harga BBM menjadi pendorong utama keputusan peningkatan harga. Jika dilihat, laki-laki pedagang cenderung lebih berhati-hati dalam menghadapi resiko dibandingkan perempuan pedagang. Lebih lanjut, Li, Carman dan Sexton (2006) menjelaskan bahwa biaya bukan faktor utama dalam menentukan harga. Strategi penjualan yang dilakukan oleh pengecer yaitu penurunan margin ritel daripada penurunan biaya, di mana pengecer menurunkan harga atau margin selama periode permintaan tinggi suatu produk agar dapat bersaing satu sama lain untuk konsumen.

(23)

Oktavianingsih (2013) dalam penelitiannya menggunakan tiga skenario, yaitu stackelberg-manufacturer game, ketika manufaktur mengambil keputusan terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh ritel; cooperation, saat manufaktur dan ritel saling bekerja sama; dan Nash game, manufaktur dan ritel sama sekali tidak melakukan interaksi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa model yang paling memberikan peningkatan profit terhadap sistem aktual adalah model Stackelberg-manufacture game.

Model Analisa Transmisi Harga dan Perilaku Pasar

Hermawan, et al (2008) menggunakan model Houck mengenai transmisi harga beras dan gabah di Jawa Tengah. Dalam model ini dibagi dua bagian yaitu menggunakan senjang waktu dan tidak menggunakan senjang waktu. Spesifikasi model regresi ini memungkinkan pengujian ketidak simetrisan transmisi harga jangka pendek sedangkan pada model kedua, diregresikan beberapa senjang waktu (multiple lags) perubahan harga gabah yang memungkinkan pengujian respon jangka panjang atau menguji perilaku yang dinamis. Model Houck menggambarkan model kausalitas. Dalam penerapannya, metode ini dipergunakan untuk membuktikan apakah benar pergerakan harga dari sektor hulu merupakan penentu utama pergerakan di transaksi hilir. Demikian pula sebaliknya pergerakan harga di sektor hulu lebih ditentukan oleh transaksi yang terjadi antar pelaku usaha di tingkat hilir. Model houck merepresentasikan persamaan asimetrik statik yang spesifikasinya sebagai berikut:

t ft

rt P

P  

 

1 0

Di mana Prt dan Pft merupakan harga di tingkat ritel dan di tingkat hulu.

Lebih lanjut, dalam model ini secara implisit dijelaskan bahwa pergerakan harga di tingkat hulu ada sebagai pendorong pergerakan harga di tingkat ritel, atau dalam bahasa lain harga tingkat hulu merupakan Granger cause dari harga di tingkat hilir.

Sementara pendekatan kedua adalah pendekatan asimetrik ECM yang menyatakan bahwa ada elemen kointegrasi dalam persamaan ECM. Berbeda dari pendekatan Houck sebelumnya yang tidak melakukan uji kointegrasi antara tingkat hulu dan hilir. Metode ini dipakai untuk menghindari terjadinya spurious regression terutama saat diestimasi menggunakan metode linier biasa (OLS). Hal ini terjadi karena data-data yang dipakai bersifat non-stasioner. Bentuk ECM dapat diformulasikan sebagai berikut:

                k j t t t j t j t P P 1 1 1 2 1

1

Di mana P1t dan P2t merupakan dua harga yang secara vertikal berkaitan

(level pengecer dan level petani). Δ merupakan indikator difference (pengurang Pt-Pt-1), βj dan γ adalah koefisien estimasi da v+t-1 dan v-t-1 merupakan deviasi

positif dan negatif dar keseimbangan jangka panjang.

(24)

input dan variabel yang hanya terdiri dari penurunan harga input. Selanjutnya koefisien untuk kedua variabel tersebut diestimasi dan dibandingkan. Hipotesis transmisi harga simetris ditolak apabila kedua koefisien tersebut berbeda signifikan secara statistik.

Boyd dan Brorsen (1988) merupakan orang pertama menggunakan lag untuk memisahkan transmisi dalam hal waktu penyesuaian dengan besaran penyesuaian. Dari hasil estimasi, nilai koefisien variabel menunjukan lamanya waktu penyesuaian pada periode tertentu dan nilai penjumlahan koefisien menunjukkan besaran penyesuaian. Lanjutan dari peneltian tersebut, Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mengklasifikasikan metode tersebut sebagai teknik pre-kointegrasi, dimana regresi terhadap lag dipisahkan berdasarkan tandanya. Pada teknik ini sehingga perubahan atas kenaikan harga (diinisiasikan dengan tanda positif) diperbolehkan untuk memberikan efek yang berbeda dengan perubahan atas penurunan harga (diinisiasikan dengan tanda negatif).

Von Cramon-Taubadel dan Fahlbusch (1994) dalam Vavra & Goodwin, (2005) merupakan orang pertama yang mengenalkan konsep kointegrasi dalam model transmisi harga tidak simetris dengan menggunakan konsep error correction model (ECM). Prinsip utama model ini adalah dengan melihat signifikansi penyimpangan (error) dari model keseimbangan jangka panjangnya. Pada konsep kointegrasi, dua series harga dikatakan terkointegrasi apabila pergerakan di salah satu series harga diikuti dengan pergerakan harga di series lainnya secara sempurna. Apabila terdapat pergerakan harga yang menyimpang, maka akan dimasukan sebagai bentuk error correction (error correction term).

Selanjutnya, model dalam analisa perilaku pasar (market conduct) pada umumnya lebih menggunakan metode deskriptif. Asmarantaka (2009) menjelaskan bahwa penggunaan analisa secara deskriptif agar diperoleh informasi secara mendalam mengenai gambaran umum obyektif mengenai industri itu sendiri. Analisa ini sengaja dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku sifatnya kualitatif yang sulit dikuatitatifkan. USAID (2008) juga menganalisis secara deskriptif mengacu pada pola perilaku pedagang dan pelaku pasar lainnya dalam menyesuaikan diri dengan pasar di mana mereka menjual atau membeli. Ini termasuk juga perilaku pengaturan harga, membeli dan praktek penjualan. Hal yang sama dengan penelitian Ogisi, Egware dan Akalusi (2012) serta Dzanja dan Kamwana (2014) dalam penelitiannnya menggunakan analisis deskriptif untuk menjelaskan perilaku pasar.

Dalam penelitian lainnya, Pradiptyo, Tumengkol dan Sasmitasiwi (2010) mengembangkan experimental economics untuk meneliti respon pedagang informal terhadap pembentukan inflasi. Dalam metode ini mengukur preferensi terhadap informasi yang digunakan untuk meningkatkan dan menurunkan harga dan mengukur rasionalitas pedagang dalam menhadapi resiko.

(25)

cara, seperti jumlah pemain, keuntungan dan kerugian dan jumlah strategi yang digunakan dalam permainan.

Yantu (2011) dalam penelitiannya menggunakan game theory yaitu prinsipal agen antara petani kakao dengan pedagang pengumpul. Dalam analisis ini akan dilihat keputusan-keputusan strategis tersebut berakibat dalam payoff bagi partisipan yaitu petani kakao dan pedagang pengumpul berupa pahala (keuntungan) dan sanksi. Hal yang sama dilakukan oleh Juanda dan Suciati (2011) menggunakan game theory dalam merancang pola kerjasama kelembagaan pengelola irigasi. Dalam model tersebut, dilakukan permainan (gaming) antar pemangku kepentingan (stakeholders) dan pengguna (user) sehingga memperoleh penerimaan/hasil (payoff) yang maksimal diantara interaksi mereka. Permainan ini bertujuan untuk mengetahui model kerja sama ekonomi dan interaksi dalam pengelolaan sumber daya air irigasi dalam mendukung usahatani padi. Dengan melihat penggunaan game theory dapat diterapkan dalam berbagai kasus maka analisa ini dapat diterapkan dalam interaksi antar lembaga pemasaran bawang merah.

Teori Harga

Harga yang terbentuk untuk suatu komoditas merupakan hasil interaksi antara penjual dan pembeli. Harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kuantitas barang yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli (demand) semakin banyak barang yang ingin dibeli akan meningkatkan harga, sementara dari sisi penjual (supply) semakin banyak barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun penawaran dalam interaksi pembentukan harga. Namun untuk komoditas pangan/pertanian, pembentukan harga tersebut disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran (supply shock) karena sisi permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangan trennya (Prastowo, Yanuarti dan Depari 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran komoditas pangan/pertanian cenderung sulit untuk dikontrol. Studi empiris yang dilakukan oleh Tomek (2000) menyimpulkan dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga komoditas pangan/pertanian, yakni faktor produksi/panen (harvest disturbance) dan perilaku penyimpanan (storage/inventory behavior). Walaupun keberhasilan panen sangat dipengaruhi oleh kondisi musim/cuaca yang sifatnya uncontrolable, pengaruh pola tanam terhadap perkembangan harga komoditas pertanian di Amerika Serikat terlihat sangat dominan. Terdapat pola cyclical yang sistematis antara pola tanam dan varians harga komoditas. Varians harga membesar pada saat musim tanam dan mengecil pada saat musim panen. Sementara keberadaan teknologi penyimpanan atas produk pertanian, khususnya untuk produk yang mudah busuk/basi (durable products), akan mengurangi tekanan fluktutasi harga dari komoditas tersebut.

(26)

harga komoditas menjadi sangat sensitif terhadap stock, baik dari sisi penawaran maupun permintaan, termasuk indirect stock yang berpengaruh secara tidak langsung seperti gangguan distribusi.

Selain dipengaruhi oleh faktor penawaran dan permintaan domestik, harga komoditas juga dapat dipengaruhi oleh harga komoditas di pasar internasional. Pada rezim perdagangan bebas, harga komoditas domestik akan bergerak mengikuti harga internasional, sehingga akan lebih volatile jika pemerintah tidak melakukan intervensi. Banyak negara reluctant untuk bergerak ke arah perdagangan bebas secara penuh untuk komoditas pangan/pertanian karena komoditas tersebut merupakan komoditas penting yang dapat menimbulkan instabilitas politik (Dawe 2001).

Integrasi Pasar dan Transmisi Harga

Transmisi harga dan tingkat integrasi pasar dapat dijadikan indikasi efisiensi yang terbentuk antar dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal maupun spasial (Meyer dan Von Cramon-Taubadel 2004). Kondisi pasar persaingan sempurna dijadikan sebagai titik acuan dalam menilai proses transmisi harga dan tingkat integrasi antar dua pasar. Premis yang digunakan adalah transmisi harga akan berjalan sempurna apabila di dalam pasar tidak terjadi friksi dan distorsi (Conforti 2004). Tidak adanya transmisi harga antar pasar yang saling melakukan transaksi dianggap akan menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya dan menurunkan kesejahteraan ekonomi di bawah titik keseimbangan pareto. Dengan kata lain, transmisi harga yang sempurna akan berujung pada pasar yang berjalan secara efisien.

Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga (Law of One Price) dimana harga antara dua pasar yang berbeda lokasi adalah sama, selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua pasar tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi disisi permintaan dan penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga jual di pasar yang lain, sampai pada akhirnya mencapai suatu titik keseimbangan harga yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar tersebut (Yustiningsih 2012).

Untuk kasus vertikal, integrasi pasar didefinisikan sebagai keterkaitan hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran. Bustaman (2003) menjelaskan bahwa integrasi pasar vertikal penting untuk dipelajari guna mengetahui tingkat keeratan hubungan antara pasar produsen dan pasar ritel/pedagang. Pada beberapa penelitian, integrasi pasar dalam jangka panjang cenderung terjadi dalam bentuk integrasi yang lemah dan perkembangan transmisi harga sering menunjukkan perilaku tidak simetri. Asimetri harga secara teoritis dapat terjadi dalam hubungannya dengan karakteristik kompetisi yang tidak sempurna, misalnya akibat adanya lag informasi, promosi, dan konsentrasi pasar (Bustaman 2003).

(27)

harga pada suatu level pemasaran akan ditransformasikan kepada level pemasaran lainnya secara selaras.

Struktur, Kekuatan Pasar dan Pembentukan Harga Komoditas

Struktur pasar yang terbentuk pada komoditi pertanian umunnya mengarah pada struktur pasar tidak sempurna, terutama jika dibandingkan dengan struktur pasar di level petani dan level konsumen. Hal ini menyebabkan manufaktur dan pedagang perantara akan bertindak sebagai pembentuk harga (price maker) sementara petani dan konsumen akan bertindak sebagai penerima harga (price taker) (Conforti 2004). Akibatnya, pedagang perantara menyalahgunakan market power yang dimilikinya untuk kepentingan kesejahteraan dan keuntungannya sendiri dan proses penyesuaian harga antar level pemasaran menjadi tidak sempurna.

Penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh manufaktur dan pedagang perantara umumnya menyebabkan transmisi harga tidak simetris yang positif. Artinya, tekanan terhadap margin (margin squeezing) yang diakibatkan kenaikan harga input atau penurunan jumlah permintaan akan dengan segara dan sempurna ditransmisikan kepada level diatas atau dibawahnya, dibandingkan saat terjadinya penambahan margin (margin-stretching) akibat perubahan harga (Meyer dan von-Cramon Taubadel 2004).

Bailey dan Brorsen (1989) menjelaskan bahwa transmisi harga tidak simetris akan berjalan secara positif atau negatif tergantung dari reaksi dari pesaing. Apabila suatu perusahaan percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya yang akan merespon perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi penurunan harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu pula sebaliknya, apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya akan lebih bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan penurunan harga maka transmisi harga tidak simetris yang terjadi adalah positif.

Struktur pasar ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu (i) jumlah perusahaan/agen/penjual yang beroperasi di pasar tersebut; (ii) ada tidaknya hambatan bagi perusahaan/agen/penjual untuk masuk dan keluar dari pasar; (iii) karakteristik dari komoditas yang diperdagangkan. Struktur pasar tersebut berpengaruh terhadap kekuatan dari para agen/penjual di dalamnya untuk mempengaruhi harga pasar (Nicholson 2004).

Lebih lanjut, pada struktur pasar yang bersifat monopoli, sebuah perusahaan atau agen tunggal yang menguasai pasar memiliki keleluasaan dalam penetapan harga untuk memperoleh marjin keuntungan yang optimal karena agen tersebut berperan sebagai price setter. Sebaliknya, pada pasar komoditas yang bersifat persaingan sempurna (perfect competition) atau setidaknya highly competition, agen tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga yang terjadi di pasar karena lebih berperan sebagai price taker sehingga marjin keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Sementara kemampuan agen/penjual untuk mempengaruhi harga pada jenis pasar duopoli, oligopoli, dan persaingan monopolistik berada di antara pasar monopoli dan persaingan sempurna.

(28)

dan melimpahnya komoditas pertanian yang akan dijual membuat petani tidak mempunyai bargaining position untuk mempengaruhi harga dan pasrah sebagai price taker. Sebaliknya untuk level pedagang pengumpul/tengkulak yang jumlahnya relatif sedikit cenderung membentuk pasar oligopoli sehingga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga. Seringkali para pedagang pengumpul/tengkulak tersebut membentuk sebuah kartel yang dapat membuat kesepakatan dan membentuk harga pasar.

Perilaku Pasar

Perilaku pasar merupakan pola tingkah laku dari lembaga pemasaran yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang diukur melalui peubah harga, biaya, dan marjin pemasaran, serta jumlah komoditas yang diperdagangkan (Dahl dan Hammond 1977).

Asmarantaka (2009) menjelaskan perilaku pasar merupakan perilaku pembeli dan penjual, strategi atau reaksi yang dilakukan pembeli dan penjual secara individu maupun kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi dengan penjual dan pembeli lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran suatu pasar. Perilaku pasar merupakan pola perilaku penjual/pedagang dan pelaku pasar lainnya yang mengadopsi untuk mempengaruhi atau menyesuaikan di pasar tempat jual dan beli tersebut. Hal ini termasuk perilaku penentuan harga dan praktek jual-beli.

Lebih lanjut, perilaku industri dapat menjelaskan mengenai persaingan harga dan jumlah yang ditetapkan perusahaan, kolusi yang terjadi antara perusahaan, diskriminasi harga, differensiasi produk, pengeluaran iklan dan promosi serta pengeluaran riset dan pengembangan. Dalam perilaku perusahaan terdapat kekuatan pemusatan pasar yang terdiri dari pasar monopoli, oligopoli, dan pasar persaingan sempurna. Pada pasar monopoli dimana terdapat kekuatan pasar pada perusahaan tertentu, perilaku perusahaan bertujuan untuk menggapai kondisi perekonomian secara umum bukan untuk menghadapi pesaing. Perilaku perusahaan monopoli dalam menetapkan harga dan jumlah produk bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Monopoli juga menetapkan harga secara administratif bukan melalui mekanisme pasar.

Hasibuan (1993) dalam Asmarantaka (2009) menjelaskan bahwa perilaku pasar adalah pola tanggapan dan penyesuaian yang dilakukan suatu perusahaan di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Biasanya perilaku dilakukan dengan melihat kondisi pasar yang akan dimasuki atau kondisi pasar ketika mereka berusaha. Suatu industri melakukan penyesuaian untuk melakukan peranannya di dalam pasar sehingga tercapai tujuannya.

(29)

pesaingnya. Perilaku industri akan dianalisis dengan melihat strategi harga produk, strategi produk, strategi distribusi, strategi promosi, dan strategi bisnis.

Perilaku pasar juga dapat diketahui melalui pengamatan terhadap penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh tiap lembaga pemasaran, sistem penentuan harga dan pembayaran, serta kerjasama antar berbagai lembaga pemasaran. Dengan melihat perilaku pasar, maka keragaan pasar yang merupakan suatu keadaan sebagai dampak dari struktur pasar dan perilaku pasar dalam menilai baik tidaknya suatu sistim pemasaran (Dahl dan Hammond 1977). Asmarantaka (2009) mengemukakan tiga cara dalam mengenal perilaku pasar yaitu:

1. Penentuan harga dan setting level of output yaitu menetapkan harga dimana harga tersebut tidak berpengaruh pada perusahaan lain dan dilakukan secara bersama-sama penjual atau berdasarkan price leadership (pemimpin harga).

2. Product promotion policy yaitu dilakukan melalui pameran dan iklan atas nama perusahaan.

3. Predatory and exclusivenary tactics yaitu dengan cara menetapkan harga di bawah biaya marjinal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan pesaing keluar dari pasar.

Lebih lanjut, strategi penetapan harga tergantung dari beberapa faktor produksi terutama bahan baku. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana strategi penetapan harga yang dilakukan oleh lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta apakah ada perilaku kesepakatan harga antar sesama pesaing yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat. Strategi penentuan harga penting dalam perilaku karena harga merupakan unsur yang menghasilkan pendapatan (revenue) bagi produsen. Harga juga merupakan unsur yang paling fleksibel dimana unsur ini dapat berubah dengan cepat.

Game Theory dalam Analisis Perilaku Pasar

Teori permainan (game theory) adalah suatu pendekatan matematis untuk merumuskan situasi persaingan dan konflik antara berbagai kepentingan. Teori ini dikembangkan untuk menganalisis proses pengambilan keputusan dari situasi-situasi persaingan yang berbeda-beda dan melibatkan dua atau lebih kepentingan. Juanda (2009) menjelaskan bahwa game theory merupakan salah satu cara untuk mempertimbangkan dampak strategi pesaing terhadap strategi dan keuntungan suatu perusahaan.

(30)

ataupun kedua belah pihak dalam sebuah hubungan antar dua pihak yang memiliki interdependency terhadap keseimbangan secara umum.

Penerapan game theory dalam analisis ekonomi dapat digunakan untuk menyederhanakan suatu situasi strategis dan atau menyelesaikan permainan yang telah ada, di mana hasilnya adalah suatu prediksi tentang apa yang akan terjadi (Nicholson 2008). Sementara menurut Pindyck (2013), tujuan utama game theory adalah untuk menentukan strategi yang optimal bagi masing-masing pemain.

Mengenai penerapan game theory dalam perilaku pasar sangat sesuai dengan kondisi tersebut. Dilihat dari konsep perilaku pasar, di mana menjelaskan tentang perilaku partisipan (pembeli dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara individu atau kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran dalam struktur pasar tertentu (Asmarantaka 2009). Adanya reaksi dari setiap partisipan (lembaga pemasaran) maka dengan penggunaan analisis ini akan dilihat strategi yang ditempuh oleh setiap pedagang untuk mencapai tujuan masing-masing. Dengan demikian, game theory merupakan alat untuk memperlajari perilaku strategis yaitu perilaku yang memperhitungkan adanya saling ketergantungan antar pemain. Untuk mempermudah pemahaman, biasanya permainan diasumsikan ada dua kompetitor. Dengan demikian, teori permainan adalah suatu studi bagaimana strategi optimal diformulasikan dalam situasi yang bertentangan.

Pindyck dan Rubinfeld (2013) menjelaskan bahwa suatu permainan merupakan situasi apa saja di mana para partisipan membuat keputusan-keputusan strategis yaitu keputusan-keputusan yang memprakirakan setiap tindakan dan respon partisipan lainnya. Dengan melihat bahwa setiap pelaku dalam pasar yaitu pedagang pengecer saling memperhatikan tindakan (strategi) yang diambil oleh setiap pedagang lainnya. Strategi-strategi tersebut berakibat dalam payoff bagi partisipan berupa keuntungan dan kerugian yang diterima. Outcome setiap pedagang terkait dengan bagaimana harga atau output yang ditetapkan jika pesaing (pedagang) lainnya mengambil suatu strategi.

Dalam pelaksanaannya pedagang pengecer melihat strategi (harga) pedagang pengecer, dan kemudian bergerak mengambil keputusan dalam menetapkan harga. Payoff yang diharapkan oleh kedua pedagang tersebut yaitu peningkatan pendapatan dengan melaksanakan strategi tersebut. Skenario tersebut diasumsikan bahwa pedagang grosir memiliki informasi tentang tindakannya sehingga menetapkan suatu strategi (harga). Selanjutnya, pedagang pengecer dalam mengambil keputusan tentang harga menunggu sinyal yang diberikan oleh pedagang grosir, apakah harga mengalami kenaikan atau tidak. Ini menunjukan bahwa partisipan (player) dalam hal ini pedagang grosir dan pedagang pengecer bergerak secara berurutan. Oleh karena itu, game antara pedagang grosir dan pedagang pengecer dalam penelitian ini disebut sequential game.

(31)

Kerangka Pemikiran Penelitian

Bawang merah merupakan komoditi hortikultura strategis di Indonesia. Namun dalam pengembangannya, permasalahan yang dihadapi pada hortikultura dan bawang merah khususnya yaitu fluktuasi harga. Fluktuasi harga yang sangat tajam dikarenakan produksi bersifat musiman yang mengakibatkan bawang merah sebagai komoditas yang bersifat perishable yakni mudah rusak atau busuk dan tidak tahan lama serta rentan terhadap perubahan cuaca. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga di sentra produsen bawang merah.

Fluktuasi harga yang tinggi pada bawang merah menyebabkan besarnya marjin pemasaran dan semakin rendah harga yang diterima petani. Kecenderungan demikian dapat terjadi karena harga komoditas yang berfluktuasi membuka peluang bagi pedagang untuk mempermainkan harga. Ini mengindikasikan adanya transmisi harga yang tidak efisien antara lembaga pemasaran. Dalam hal ini terjadinya transmisi harga asimetris (asymmetric price transmission).

Asymmetric price transmission terjadi jika harga bawang merah di tingkat hilir merespon secara berbeda antara ketika terjadi kenaikan atau penurunan harga di tingkat hulu. Jika harga bawang merah merespon kenaikan harga lebih cepat atau dengan magnitude yang lebih besar dibandingkan ketika terjadi penurunan maka hal ini akan merugikan konsumen. Oleh karena itu, tujuan pertama dalam penelitian ini yaitu menganalisis trasmisi harga antar lembaga pemasaran yang terlibat dalam distribusi bawang merah dari sentra produsen ke sentra konsumen di Indonesia. Analisis ini menggunakan model Houck dan error correction model-engle granger (ECM-EG). Melalui analisis ini, akan dilihat apakah terjadi efisiensi dalam pemasaran bawang yaitu adanya transmisi harga yang simetris. Efisiensi pasar tersebut juga menjadi indikator dari perilaku setiap lembaga pemasaran bawang merah.

(32)

Adapun variabel yang mempengaruhi harga bawang merah di tingkat konsumen akhir yaitu harga bawang merah di sentra produsen, grosir, harga impor, bahan bakar minyak (BBM) dan pasokan bawang merah yang masuk. Dari keseluruhan faktor, diduga harga impor dan pasokan berpengaruh negatif. Tekanan dari impor akan menurunkan harga yang terbentuk dikarenakan pedagang pengecer berusaha untuk menyesuaikan harganya. Hal yang sama juga adanya tambahan pasokan bawang merah yang masuk. Harga bawang merah di sentra produsen, grosir, dan bahan bakar minyak (BBM) diduga berpengaruh positif dikarenakan merupakan komponen biaya dalam pembentukan harga di tingkat hilir bawang merah.

Lebih lanjut, dalam proses pembentukan harga juga terkait dengan perilaku pasar. Menurut Irawan (2007) perilaku petani dan pedagang memiliki peranan penting karena mereka mengatur harga yang terbentuk. Perilaku pasar ini juga terkait dengan struktur pasar yang dihadapi oleh setiap lembaga pemasaran. Nicholson (2004) menjelaskan bahwa struktur pasar suatu komoditas akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam menetapkan harga jual dan margin keuntungan.

Struktur pasar yang terbentuk ditingkat petani cenderung mengarah pada persaingan sempurna sedangkan di tingkat pedagang desa bersifat monopsoni atau oligopsoni. Hasil penelitian Dhewi (2008) menjelaskan bahwa struktur pasar bawang merah yang terjadi adalah struktur pasar oligopsoni di mana pedagang pengumpul bertindak sebagai price setter dan petani sebagai price taker. Ini menyebabkan keterbatasan petani dalam menetapkan harga yaitu mengikuti harga pasar yang terbentuk. Sehingga petani sebagai penerima harga maka untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan petani harus mampu memanfaatkan variasi harga yang terjadi di pasar baik menurut tempat, bentuk produk, waktu maupun kualitas produk.

(33)
[image:33.595.138.493.83.455.2]

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian HipotesisPenelitian

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Diduga adanya inefisiensi pemasaran bawang merah di Indonesia.

2. Pembentukan harga bawang merah di tingkat hilir diduga dipengaruhi oleh harga bawang di tingkat produsen, di tingkat grosir, pasokan bawang merah, bahan bakar minyak (BBM) dan harga impor bawang merah dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Analisis Game Theory Harga

Produsen

Harga Konsumen

Fluktuasi dan disparitas harga bawang merah antara produsen dengan konsumen

Perilaku pasar

Analisis Houck dan ECM-EG

Saran Kebijakan Pembentukan

harga

Analisis ECM Transmisi harga

(34)

3

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan kombinasi data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa data deret waktu (time series) bulanan dari Januari 2008 sampai Desember 2014 yang terdiri dari:

1. Harga rata-rata bawang merah di sentra produsen (Kab. Brebes) (Rp/Kg). 2. Harga bawang merah di tingkat pedagang grosir (PIKJ) (Rp/Kg).

3. Harga bawang merah di tingkat konsumen (Jakarta) (Rp/Kg). 4. Harga bawang merah impor (Rp/Kg).

5. Pasokan bawang merah ke PIKJ (Ton).

6. Harga BBM sebagai proksi dari biaya transportasi (Rp/Liter).

Data tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) sedangkan untuk data primer bersumber dari hasil wawancara kepada lembaga pemasaran bawang merah. Data yang diambil meliputi:

1. Strategi harga meliputi maksimasi keuntungan bersama (kartel, pemimpin harga dan koordinasi terselubung) dan diskriminasi harga.

2. Strategi produk meliputi differensiasi produk, aktifitas (saluran pasar) vertikal.

3. Strategi distribusi.

Untuk petani, data yang diambil meliputi biaya dalam usahatani (sarana produksi, tenaga kerja dan biaya lainnya) dan kegiatan pemasaran yang dilakukannya.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini akan mengambil Kota Jakarta sebagai sentra konsumen dan Kabupaten Brebes sebagai sentra produsen bawang merah di Indonesia. Untuk Kota Jakarta, penelitian juga dilakukan di Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) yang merupakan pusat grosir hortikultura di Indonesia serta diambil pasar pengecer. Penelitian di Kabupaten Brebes mengambil sampel di Kecamatan Wanasari yang merupakan salah satu dari tiga kecamatan dengan luas panen terbesar di Kabupaten Brebes. Penelitian ini akan dilakukan dari Mei sampai Juli 2015.

Penentuan Sampel

(35)

dari petani hingga ke konsumen. Teknik ini dipilih agar tidak adanya saluran tataniaga yang terputus dalam kegiatan pengambilan sampel.

Metode Analisis Data

Dalam analisa penelitian ini sebelum masuk ke dalam uji utama dilakukan uji pra-estimasi yaitu memeriksa stasioneritas data deret waktu menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Adapun formulasi model uji ADF adalah:

         p i t i i t t

t a x a x

x

1 1 1

0

di mana xtxtxt1, t adalah periode waktu, dan aj merupakan koefisien

model, sedangkan εt adalah galat model. Hipotesis statistik yang diuji adalah Ho:

= 0 (data deret waktu xt bersifat tidak stasioner); H1: ≠ 0 (data deret waktu

bersifat stasioner). Data yang tidak stasioner selanjutnya distasionerkan melalui proses pendiferensian, yang dapat dilakukan beberapa kali (d kali) hingga diperoleh pola data yang stasioner.

Untuk selanjutnya dilakukan uji kointegrasi, untuk melihat apakah terdapat hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang digunakan dalam model. Uji kointegrasi dilakukan apabila data tidak stationer pada level, dengan rumus sebagai berikut:

           1 1 1 k j t j t j t

t c P B P

P

Hipotesis statistik yang diuji adalah H0: rank = r; H1: rank > r. Untuk itu

digunakan statistik uji berikut:

     p r i i

trace r T

1 ) 1 ln( ) (

Selanjutnya dilakukan panjang selang yang optimal di dalam model untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel yang lain di dalam sistem. Untuk itu dapat dilakukan dengan melakukan pendugaan parameter model pada setiap lag p yang mungkin. Nilai p yang optimal ditentukan berdasarkan nilai Schwarz Criterion (SC), dengan rumus sebagai berikut:

 

T n T k SSR T k

SIC ( ) ln ( )  ln

      Di mana:

T = Jumlah observasi k = Panjang lag

SSR = Sum squares residual

n = Jumlah parameter yang diestimasi

Sebelum pengujian transmisi harga akan dilakukan pengujian kausalitas. Dengan analisis ini, untuk membuktikan apakah pergerakan harga bawang merah dari sektor hulu merupakan penentu utama pergerakan harga di hilir atau sebaliknya akan dianalisis menggunakan uji kausalitas sebagai berikut:

(1)

(2)

(3)

(36)

                          1 1 2 0 2 2 2 2 1 1 2 0 1 1 1 1 n i n i t i t i t pg i t pk t n i n i t i t i t pp i t pg t e Z PG PK PK e Z PP PG PG

Analisis tujuan pertama dalam penelitian ini yaitu transmisi antara harga produsen, grosir, dan pengecer bawang merah di Indonesia menggunakan model Houck dan ECM-EG. Model Houck (1977) dapat dilihat sebagai berikut:

                         1 0 2 0 2 1 0 1 0 2 0 2 1 0 M i M i t i t i i t i M i M i t i t i i t i e PG a PG a a PK e PP a PP a a PG

Pengujian apakah terdapat transmisi yang tidak simetris dilihat dalam pendek dan jangka panjang menggunakan wald test. Pengujian asimetris transmisi harga dalam jangka pendek akan dilihat keindentikan koefisien pada t dan t-1. Lebih jelasnya sebagai berikut:

i

i a

a H0 : 1  2

Sedangkan dalam jangka panjang dilihat dari penjumlahan parameter a1dan a2 atau dapat ditulis sebagai berikut:

   1 0 2 0 2 1 0: M i M i i i a a H

Model ECM-EG yang dikembangkan oleh Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996) dapat dilihat sebagai berikut:

t n i n i t i t i t t n i n o i i t i t

t a PG PP Z PG PP Z

PG         

                    1 0 1 2 1 1 1 0 t n i n i t i t i t t n i n o i i t i t

t a PK PG Z PK PG Z

PK         

                    1 0 1 2 1 1 1 0

Pengujian transmisi harga yang tidak simetri dalam jangka pendek menggunakan hipotesis sebagai berikut:

i i

H0 :1  2

Asimetris dalam jangka panjang pada model ECM-EG dilihat dari keindentikan koefisien ECT+ dan ECT- atau dapat ditulis menggunakan hipotesis sebagai berikut:

Adanya transmisi harga yang asimetri jika efek kenaikan harga dan penurunan harga tidak sama (π1≠ π2) untuk setiap persamaan. Model tersebut menggambarkan

model kausalitas. Dalam penerapannya, metode granger causality dipergunakan untuk membuktikan apakah benar pergerakan harga dari sektor hulu merupakan penentu utama pergerakan harga di hilir, ataukah pergerakan harga disektor hulu lebih ditentukan oleh transaksi yang terjadi antar pelaku usaha di tingkat hilir. Tanda plus (+) dan minus (-) pada kedua model menunjukan kenaikan serta penurunan harga.

Pengujian tujuan kedua yaitu faktor-faktor pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen Indonesia menggunakan model ECM. Error Correction Mechanism (ECM) merupakan analisis yang digunakan untuk

(5a) (5b) (6a) (6b) (8) (9a) (9b) (11) 2 1 0: H

(7)

(37)

variabel-variabel yang memilki ketergantungan yang sering disebut dengan kointegrasi. Metode ECM digunakan menyeimbangkan hubungan ekonomi jangka pendek variabel-variabel yang telah memiliki keseimbangan/hubungan ekonomi jangka panjang. Adapun model ECM sebagai berikut:

t t

t t t

t

t a a PG a PP a PI a S a O ECT e

PK012345 (1)

Di mana:

PKt = Harga bawang merah di tingkat konsumen pada periode ke t (Rp/Kg).

PPt = Harga bawang merah di sentra produsen pada periode ke t (Rp/Kg).

PGt = Harga bawang merah di tingkat grosir pada periode ke t (Rp/Kg).

PIt = Harga bawang merah impor pada periode ke t (Rp/Kg).

St = Pasokan bawang merah ke PIKJ pada periode ke t (Ton).

Ot = Harga BBM pada periode ke t (Rp/ltr).

ECT = Error correction term. t = Waktu (bulan).

t

= error.

Selanjutnya pengujian tujuan ketiga mengenai perilaku pasar dianalisis menggunakan game theory. Secara umum teori permainan dapat didefinisikan sebagai sebuah pendekatan terhadap kemungkinan strategi yang akan dipakai, yang disusun secara matematis agar bisa diterima secara logis dan rasional. Serta digunakan untuk mencari strategi terbaik dalam suatu aktivitas, dimana setiap pemain didalamnya sama-sama mencapai utilitas tertinggi. Pendekatan ini dimanfaatkan untuk mempelajari strategi terkait harga jual petani dan kelembagaan yang dipilih oleh petani dalam menjual hasilnya. Pendekatan ini juga akan melihat bagaimana pembentukan harga di tingkat pengecer.

Unsur dalam teori permainan ini yaitu pemain, strategi, payoff dan informasi (Norwood dan Lusk 2008). Pemain (player) dalam penelitian ini yaitu petani, pedagang desa, dan pengecer sedangkan strategi setiap pemain merupakan tindakan yang dilakukan terhadap suatu kejadian atau rencana tindakan yang akan ditampilkan dalam permainan. Strategi yang akan dilihat meliputi strategi dominan dan alternatif setiap lembaga pemasaran dalam menetapkan harga jual.

Sampai sejauh ini, hubungan antara petani bawang merah dan pedagang desa dalam permasalahan bawang merah pada pemodelan game theory bersifat noncooperative game, dimana dalam penetapan harga bawang merah berdasarkan mekanisme pasar, namun pedagang desa berada pada posisi yang lebih kuat karena struktur pasar bawang merah yang bersifat oligopsoni.

Dalam upaya membantu memecahkan permasalahan tersebut, Pemerintah turut berperan serta dengan membangun pasar induk di Kabupaten Brebes yaitu Pasar Klampok untuk menfasilitasi petani dalam hal ini memperpendek saluran pemasaran dan mendapatkan harga yang lebih baik. Sebaliknya, bagi pedagang akan mendapatkan jaminan pasokan dari petani. Masing-masing pihak memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingannya untuk kelangsungan usahanya. Petani bawang merah mengharapkan akan mempe

Gambar

gambaran perkembangan harga bawang merah di sentra produsen, grosir dan
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 3.
Gambar 4 Signaling game antara petani dengan pedagang desa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut menunjukkan bahwa benih varietas Ciherang memenuhi persyaratan sertifikasi sedangkan varietas HIPA 8 yang digunakan pada penelitian ini tidak memenuhi

Dalam Perancangan Corporate Identity Sepatu Sekolah Homy Ped Produksi PT Dwi Naga Sakti Abadi, penulis berasumsi bahwa Homy Ped merupakan produk yang memiliki keunggulan yaitu

Lampiran 5 SMA (5) PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk.

Disadari atau tidak bahwa pelaksanaan kurikulum bahasa arab yang ada dipesantren akan berbeda bila dibandingkan dengan implementasi kurikulum bahasa arab yang ada di

Adapun saran dalam rangka memperbaiki kinerja pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Kabupaten Sintang yaitu perlu

1. Pengaruh Atribut Produk terhadap Keputusan Pembelian adalah positif dan signifikan. Karena nilai rata-rata untuk nilai Atribut Produk yang didapat dari

Perubahan suhu air laut yang disebabkan oleh air buangan dari stasiun pembangkit berpotensi untuk mempengaruhi struktur komunitas ikan karang karena menurunnya kekayaan

Parameter utama dalam penelitian ini adalah histopatologi insang dan hepatopankreas udang windu ( Penaeus monodon Fab.) diinfeksi Vibrio harveyi yang menunjukkan