• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Sub DAS Sitobu

Pada dasarnya keberadaan Sub DAS Sitobu merupakan bagian dari pengelolaan DAS Asahan Barumun, dimana sub DAS ini berada di kawasan daerah tangkapan air Danau Toba. Daerah kawasan ini berperan dalam menampung air hujan dan menyumbangkannya kebeberapa anak sungai dan bergabung menjadi bagian sungai besar, kemudian mengalirkannya ke Danau Toba sebagai penampung. Kawasan Danau Toba sebagai penampung dari berbagai sub DAS kemudian mengalirkannya ke sungai Asahan.

Berdasarkan pernyataan Tampubolon (2008) yang menyatakan bahwa sungai yang mengalir ke dalam Danau Toba pada umumnya merupakan sungai intermitten, yaitu sungai yang hanya berair pada musim penghujan atau pada saat turun hujan. Sehingga debit air pada sungai Sitobu mengalami perubahan setiap musimnya, dimana pada puncak musim hujan debit sungai meningkat cepat sebaliknya pada musim kemarau debit sungai rendah. Selain perbedaan debit sungai permasalahan yang dihadapi oleh Sub DAS Sitobu ini adalah kandisi topografi yang berat yaitu panjang sungai yang tidak terlalu panjang dan kelerengan diatas 15o mengakibatkan respon sungai terhadap curah hujan relatif cepat sedangkan retensi daerah tangkapan terhadap hujan yang turun relatif rendah.

Pada saat ini kondisi kawasan ini mengalami banyak perubahan karena adanya perubahan lahan yaitu pembukaan kawasan hutan menjadi areal perladangan. Kegiatan pembukaan lahan terlebih di daerah hulu sungai mengalami peningkatan

kerusakan. Biasanya masyarakat yang di kawasan ini membuka untuk areal hutan untuk areal pertanian dan tanaman kopi monokultur, pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat dilakukan dengan cara pembakaran. Sehingga banyak hutan mengalami kebakaran mengakibatkan kondisi yang kritis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sunaryo dkk (2004) yang menyatakan bahwa kerusakan daerah tangkapan hujan terutama disebabkan oleh ketimpangan dalam pemanfaatan lahan. Ketimpangan tersebut disebabkan oleh perubahan atau konversi lahan yang tidak terkendali sehingga kawasan hutan yang semula dilindungi oleh vegetasi berubah menjadi kawasan terbuka.

Kondisi Masyarakat Pengelola DAS

Masyarakat Desa Gurgur Aek Raja pada dasarnya mengola kawasan Sub DAS Sitobu berdasarkan pemahaman akan pemanfaatan lahan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat desa yang mengelola lahan untuk perladangan pada dasarnya dengan membuka kawasan hutan. Sehingga masyarakat umumnya menyebutkan sebagai tanah desa, dimana mereka hanya dapat mengelolanya. Karena masyarakat tidak mempunyai surat kepemilikan lahan maka masyarakat hanya dapat mengelola lahan dan tidak dapat melakukan penjualan atas tanah yang sudah dikelola. Kepemilikan lahan yang dimiliki oleh masyarakat adalah lahan persawahan dan tanah yang sudah diwariskan secara turun temurun, karena adanya faktor budaya yaitu norma adat, dimana hanya putra daerah yang mempunyai kekuasaan atas tanah yang terdapat di daerah tersebut dan tanah milik desa tersebut tidak dapat diperjualbelikan kecuali lahan yang telah menjadi warisannya misalnya lahan persawahan milik keluarga atau milik sendiri.

Tehnik pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat pada kawasan ini biasanya dengan membuka hutan dengan cara membakar lahan yang ingin dikelola sehingga dapat mengakibatkan kerusakan terhadap daerah penyangga disekitar lahan yang dikelola. Adanya teknik pembakaran ini dilakukan karena dianggap lebih praktis, mudah dan murahnya biaya yang dikeluarkan untuk membuka suatu kawasan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan terhadap lingkunga sekitarnya. Hal ini terjadi karena pengetahuan yang masih terbatas mengenai alternatif-alternatif untuk penyiapan lahan tanpa dibakar dan rendahnya pemahaman masyarakat akan pengelolaan daerah aliran sungai, sehingga masyarakat juga mengelola lahan yang berada di daerah penyangga aliran sungai. Akibat adanya pembukaan lahan secara besar-besaran maka berkurangnya debit air pada aliran sungai dan matinya sumber air yang berada di kawasan resapan air di sekitar hutan lindung tersebut.

Gambar 2. Pembukaan Lahan di Kawasan Hutan Lindung

Adanya tingkat pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap hutan sebagai pengatur fungsi hidrologi yang relatif rendah terhadap pada pengelolaan DAS sehingga mengakibatkan ketimpangan pengelolaan. Untuk menarik minat masyarakat, pemerintah membuat program penanaman budidaya tanaman kehutanan di sekitar lingkungan desa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sunaryo, dkk (2004)

yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam mengembangkan dan mengelola sumber daya air secara adil, berkelanjutan dan mantap. Peran serta masyarakat umumnya berwujud peran serta dalam mengambil keputusan

Selain itu untuk mengelola kawasan hutan yang mengalami kerusakan akibat adanya kebakaran hutan dan pengelolaan Dasar Aliran Sungai (DAS), pemerintah telah memulai mengembangkan kawasan persemaian permanen Huta Ginjang. Pembangunan persemaian ini dilakukan untuk membangun kembali kawasan hutan yang telah rusak khususnya daerah Taman Wisata Alam Sijaba Hutaginjang dan daerah hulu sungai Sub DAS Sitobu, DAS Asahan Barumun.

Pemanfaatan DAS Sebagai Kebutuhan Persawahan

Pengelolaan kawasan Sub DAS Sitobu mempunyai peran yang sangat penting bagi kebutuhan persawahan. Karena kekurangan air sumber daya air akan mengakibatkan berhenti proses pengolahan sawah. Pengelolaan irigasi di desa ini dilakukan secara irigasi teknis dan sedehana. Sumber air dialirkan ke sawah melalui selokan atau saluran irigasi yang bersifat semi parmanen dan parmanen. Sumber air irigasi ini dihasilkan oleh mata air atau gabungan beberapa anak sungai di bagian hulu sungai. Saluran ini umumnya sedapat mungkin dibuat mengikuti garis kontur karena daerah sub DAS ini berada kondisi topografi yang terjal hingga daerah datar bergelombang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurfatriani dan Handoyo (2007) yang menyatakan bahwa peran ekologis hutan terlebih di kawasan hulu suatu DAS, banyaknya sumber air di kawasan tersebut dapat menunjukkan kondisi hutan yang masih baik, dimana sumber air tersebut sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat

sekitar hutan baik untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian maupun kepentingan industri. Dimana masyarakat memanfaatkan air secara langsung dari sumber air dengan pipa aliran air atau saluran air.

Desa Gurgur Aek Raja yang terletak di daerah Sub Das Sitobu ini mempunyai kelerengan 2o-30o sehingga daerah persawahan dibuat berupa teras tangga (sengkedan) sehingga penyaluran air dapat merata dari atas ke bawah sesuai bentuk persawahan yang ada. Air yang mengalir ke lahan persawahan berasal dari perairan irigasi teknis yang telah ada secara turun temurun. Saluran irigasi teknis dibangun mulai daerah hulu sungai hingga ke bagian hilir sungai yaitu persawahan. Pada daerah hulu sungai untuk menggabungkan beberapa saluran anak sungai dibangun tempat penampungan sederhana kemudian disalurkan ke irigasi teknis kemudian dibagi menjadi beberapa aliran untuk disalurkan ke beberapa desa di sekitar sub DAS tersebut. Pembuatan saluran irigasi teknis mulai dari hulu sungai karena saluran irigasi alami yang telah ada tidak mampu menampung aliran air yang cukup besar pada saat musim penghujan sehingga saluran air akan mengalami kerusakan yang mengakibatkan terhentinya penyediaan air untuk kebutuhan masyarakat.

Saluran irigasi di Desa Gurgur Aek Raja telah banyak mengalami perbaikan pada areal persawahan. Pembuatan selokan atau saluran irigasi dilakukan atas swadaya masyarakat atau dengan bantuan dana pemerintah melalui subsidi desa. Untuk menjaga kontinuitas aliran irigasi sawah tersebut maka setiap pemilik sawah atau penggarap lahan melakukan pemeliharaan dan perbaikan saluran irigasinya pada saat pengolahan lahan. Hal ini dilakukan karena saluran irigasi persawahan yang

dimiliki pemilik lahan berupa saluran irigasi sederhana. Sedangkan untuk pemeliharaan dan pembersihan saluran air dari hulu sungai dibebankan kepada beberapa orang yang telah ditunjuk oleh masyarakat, pemelihara dan pembersih bagian hulu sungai ini agar tetap terjaga disebut dengan parhara.

Gambar 3. Kondisi Saluran Irigasi Persawahan yang Berasal dari Hutan

Perbedaan Pengelolaan Persawahan Irigasi dan Persawahan Tadah Hujan Pengelolaan persawahan atau pembudidayaan padi pada dasarnya tujuan mendapatkan hasil yang setinggi-tinginya dengan kualitas sebaik mungkin, untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan maka, tanaman yang akan ditanam harus sehat dan subur. Teknik bercocok tanam yang baik sangat diperlukan untuk mendapatkan hasilyang sesuai dengan harapan. Hal ini harus dimulai dari awal, yaitu sejak dilakukan persemaian sampai tanaman itu bisa dipanen. Dalam proses pertumbuhan tanaman hingga berbuah ini harus dipelihara yang baik, terutama harus

diusahakan agar tanaman terhindar dari serangan hama dan penyakit yang sering kali menurunkan produksi.

Pengelolaan air sangat berperan penting dalam suatu pengelolaan budidaya padi dimana pengelolaan yang baik akan meningkatkan produktifitas produksi suatu lahan. Tetapi bila mengalami kekurangan air akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan tanaman padi tersebut. Pengelolaan air mempunyai perbedaan pada berbagai jenis padi. Sehingga pembudidayaan padi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu persawahan irigasi, persawahan tadah hujan dan persawahan rawa. Pada penelitian ini pengamatan yang dilakukan pada dua jenis persawahan yaitu persawahan tadah hujan dan persawahan irigasi.

Desa Gurgur Aek Raja mempunyai pengelolaan budidaya padi yang lebih besar adalah dengan sistem irigasi, dengan memanfaatkan daerah Sub DAS Sitobu sebagai penghasil sumber daya air sepanjang tahun. Sedangkan sistem persawahan tadah hujan hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkan sistem tumpang sari pada lahan yang dikelola, atau dengan sistem bergilir dengan tanaman palawija yang dimanfaatkan masyarakat untuk pengolahan secara intensif. Alasan lain sebagian kecil masyarakat tetap mengelolan sawah tadah hujan karena tidak adanya lahan irigasi yang dimilikinya dimana untuk memenuhi kebutuhan pangan maka cenderung membudidayakan padi gogo. Sehingga produktivitas dari kedua persawahan mempunyai nilai yang berbeda.

Kondisi lahan persawahan irigasi di Desa Gurgur Aek Raja dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas air yang dihasilkan oleh hulu sungai Sitobu. Dimana pada saat ini kondisi lahan persawahan banyak mengalami perubahan, karena berkurangnya

debit air yang dihasilkan pada sumber mata air mengakibatkan banyaknya lahan kosong pada areal persawahan. Berdasarkan data BPS Desa Gurgur Aek Raja luas areal persawahan yang mengalami perubahan adalah sebesar 15 hektar. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah desa melakukan berbagai perbaikan terhadap saluran irigasi dan adanya program pemerintah daerah untuk mulai melakukan pembudidayaan tanaman kehutanan di sekitar lingkungan desa.

Gambar 4. Kondisi Persawahan Irigasi dan Persawahan Tadah Hujan

Pengelolaan persawahan yang dikelola masyarakat didasarkan pada kepemilikan lahan yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat yang sudah memiliki sawah irigasi biasanya tidak mengolala persawahan sistem tadah hujan. Sehingga persentasi luas lahan persawahan memiliki perbedaan yang sangat jauh, nilai perbandingan luas lahan persawahan responden tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Luas Lahan Responden

No Jenis persawahan Luas lahan (rante) Proporsi

1 Sawah irigasi 163 (6,52 Ha) 89,56%

2 Sawah tadah hujan 19 (0,76 Ha) 10,44%

Jumlah 182 (7,28 Ha) 100%

Luas persawahan responden sawah irigasi mimiliki proporsi yang lebih besar yaitu 89,56% sedangkan sawah tadah hujan sebesar 10,44%. Perbedaan luas lahan ini

karena masyarakat di daerah penelitian yang telah mempunyai lahan sawah irigasi baik milik pribadi atau sewa akan mengelola budidaya padi secara teknik irigasi. Selain kepemilikan lahan yang dimiliki oleh responden, faktor ketersedian air irigasi hutan yang masih ada menjadi faktor utama pemilihan pengelolaan persawahan irigasi. Dimana masyarakat dapat mengelola lahan dengan mudah dan memperoleh hasil produksi yang lebih banyak dibandingkan sawah tadah hujan yang hanya dapat dikelola sekali produksi saja. Pemilihan pengelolaan padi gogo di sawah tadah hujan oleh sebagian masyarakat adalah karena tidak adanya lahan irigasi yang mereka miliki. Selain itu adanya faktor budaya dalam menentukan kepemilikan lahan yang ada di desa tersebut, dimana masyarakat pendatang tidak dapat memiliki hak kepemilikan akan lahan yang telah dikelolanya. Oleh karena itu masyarakat pendatang yang tidak mendapat lahan irigasi sewaan dari penduduk setempat biasanya mengelola sawah secara tadah hujan pada lahan yang dikelola mereka, dengan sistem tumpang sari dengan tanaman lainnya.

Ketersedian Input Usahatani Pengelolaan Padi Modal (lahan)

Ketersedian lahan merupakan faktor utama dalam mengelola usaha pertanian atau modal utama yang digunakan petani dalam berusaha. Dalam kegiatan pengelolaan pertanian luasan lahan yang dimiliki menjadi faktor yang mendukung dalam memperoleh produksi yang lebih besar. Di desa penelitian lahan persawahan yang digunakan menjadi modal pengelolaan adalah lahan yang sudah diturunkan secara turun temurun, sehingga responden yang memilik lahan akan memperoleh keuntungan yang lebih besar dibanding responden yang mengelola lahan secara sewa

dari pemilik lahan. Dalam pengelolaan persawahan pihak penyewa lahan biasa membayar sewa lahan berdasarkan atas kesepakatan yang telah ada di desa tersebut.

Benih

Benih yang digunakan oleh masyarakat dalam proses pembibitan berasal dari benih yang disimpan oleh petani, hasil panen sebelumnya ataupun berasal dari warga lain yang mempunyai gabah yang berpotensi untuk dijadikan benih. Benih yang digunakan oleh petani irigasi biasa jenis adalah berbagai jenis IR seperti padi IR 64, IR Serang, IR 4, dan jenis padi Pandan Wangi. Sedangkan untuk benih persawahan tadah hujan mempunyai benih tersendiri yaitu jenis padi gogo.

Rata-rata benih yang digunakan responden pada persawahan irigasi dalam proses pembibitan adalah sebanyak 174 kg per hektar dengan harga benih sesuai dengan harga gabah padi yang berlaku. Sedangkan benih yang digunakan oleh responden pada sawah tadah hujan adalah sebanyak 85 kg per hektarnya. Perbedaan jumlah ini karena perbedaan proses pembibitan pada kedua persawahan, dimana pada sawah irigasi dilakukan proses persemaian terlebih dahulu sehingga dibutuhkan benih yang lebih banyak. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kegagalan pada proses persemaian karena adanya serangan hama dan penyakit. Sedangkan pada sawah tadah hujan tidak dilakukan persemaian terlebih dahulu, dimana benih langsung ditanam pada proses penanaman.

Pupuk

Sarana produksi yang sangat berpengaruh dalam kualitas dan kuantitas produksi yang dihasilkan adalah pupuk yang berfungsi untuk mengganti unsur hara

yang hilang atau habis diserap oleh tanaman. Unsur hara inilah yang nanti akan membantu meransang proses pertumbuhan dan pembentukan buah. Responden biasanya mengggunakan pupuk anorganik campuran Urea, KCL, TSP, ZA, NPK. Intensitas pemupukan yang dilakukan oleh petani responden dalam sekali produksi adalah sebanyak dua kali, perbandingan campuran setiap responden dalam proses pemupukan berbeda-beda sesuai dengan pemahaman respoden itu sendiri. Banyak pemakaian pupuk yang dilakukan adalah sebesar 360 – 370 kg per hektar.

Pemeberian pupuk pada kedua persawahan mempunyai perbedaan waktu dimana pada sawah irigasi pemberian pertama pada saat padi telah berumur 2-3 minggu sedangkan pada sawah tadah hujan pemeberian pupuk bersamaan pada saat proses penanaman berlangsung dan pemberian kedua kalinya diberi pada usia tanaman 3-4 minggu. Untuk pemberian pupuk kedua pada sawah irigasi dilakukan pada saat padi telah siap penyiangan yaitu pada saat padi telah berumur 6-7 minggu.

Pestisida

Pestisida merupakan salah faktor yang berpengaruh pada pengelolaan budidaya padi dimana sangat berpengaruh pada hasil produksi yang akan diperoleh. Oleh sebab itu digunakan pestisida untuk mengendalikan gulma, hama dan penyakit yang terdapat pada tanaman padi. Petani mengendalikan gulma pada tanaman padi dengan pemberian herbisida pada pemupukan dan melakukan penyiangan untuk membersihkan gulma di lahan persawahan. Untuk pengendalian hama yang berupa hama keong mas pada saat penanaman di sawah irigasi dilakukan dengan pemberian insectisida, sedangkan untuk pengendalian hama tikus dan hama burung dilakukan pembersihan disekitar lahan persawahan. Untuk sawah tadah hujan biasanya penyakit

menyerang pada bagian batang dan daun sehingga dilakukan penyemprotan pestisida untuk pengendalian penyakit daun yang terdapat di tanaman padi tersebut.

Tenaga kerja

Ketersedian tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi berlangsungnya suatu proses produsi usahatani padi. Ketersediaan tenaga kerja di Desa Gurgur Aek Raja sangat tersedia, dimana masyarakat responden menggunakan tenaga kerja anggota keluarga dan tenaga kerja diluar anggota keluarga. Hal ini disebabkan untuk penghematan waktu dalam proses pengerjaan yang dilakukan dalam pengelolaan padi. Jumlah rata-rata tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengelolaan satu kali produksi padi di desa penelitian ini adalah sebanyak 144 tenaga kerja per hektar untuk sawah irigasi, sedangkan untuk sawah tadah hujan adalah 180 tenaga kerja per hektar.

Alat pertanian (teknologi)

Alat pertanian yang dibutuhkan petani dalam mengelola usaha tani padi cukup tersedia di daerah penelitian. Alat pertanian yang digunakan petani untuk membantu pengelolaan lahan pertanian di sawah irigasi berupa mesin traktor dan mesin pembersih (kipas) yang digunakan pada saat pasca panen. Mesin traktor ini dipergunakan petani pada saat persiapan lahan yang dilakukan dengan sistem kontraktor, dimana biaya yang dibebankan adalah sebesar Rp 1.750.000,- per hektar. Untuk mesin pembersih (kipas) digunakan untuk membersihkan gabah hasil panen, pemberisihan gabah ini dilakukan untuk memisahkan gabah kosong dengan gabah berisi pada saat proses pengeringan gabah. Biaya yang dibebankan pada proses ini

adalah Rp 115.000,- per ton. Untuk alat pertanian lainnya seperti cangkul, sabit, parang, dll telah dimiliki oleh petani itu sendiri.

Untuk sawah tadah hujan tidak dipergunakan teknologi dalam proses pengelolaan usaha tani padi. Mereka lebih cenderung menggunakan alat pertanian yang telah dimiliki sendiri. Karena lahan yang digunakan responden untuk sawah tadah hujan adalah lahan yang dudah dikelola sebelumnya, atau berada di tanaman lain yang sudah ditanam. Sehingga mereka hanya menggunakan tenaga kerja yang lebih banyak untuk persiapan lahan dalam proses penanaman benih yang dilakukan. Selain itu karena hasil produksi dari sawah tadah hujan yang lebih kecil dibanding sawah irigasi maka mereka lebih menggunakan cara sederhana dalam proses kegiatan pemanenan dan pasca panen.

Biaya pemeliharaan saluran irigasi

Kegiatan pemeliharaan air pada desa penelitian sangat berperan enting dalam proses berlangsungnya kegiatan pembudidayaan tanaman padi. Karena pada tanaman padi di sawah irigasi membutuhkan air dalam setiap proses kegiatan. Banyak air yang diperlukan tergantung dari luas persawahan yang dimiliki oleh responden. Untuk menjaga ketersedian air setiap hari maka dilakukan pengawasan terhadap saluran air irigasi dari hulu sungai. Pemeliharaan ini diberikan kepada beberapa orang yang disebut dengan parhara. Parhara ini dipilih oleh masyarakat melalui rapat musyawarah warga desa, sehingga dalam menjalankan tugas parhara memperoleh upah dari iuran masyarakat yang mengelola persawahan irigasi. Iuran ini ditetapkan berdasarkan luas lahan yang dimiliki oleh masyarakat pengelola persawahan irigasi.

Di Desa Gurgur Aek raja ini memberikan iuran pemeliharan air kepada parhara sebesar Rp 315.000,- per hektar sekali produksi padi.

Nilai Ekonomi Hutan Untuk Kebutuhan Persawahan

Dalam perhitungan biaya faktor produksi ini tidak dihitung besarnya biaya yang digunakan untuk membangun saluran air tersebut atau biaya pengadaan saluran irigasi tetapi hanya dihitung biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memelihara saluran air tersebut. Sehingga besarnya biaya faktor produksi dapat mempengaruhi keuntungan masyarakat dalam memperoleh keuntungan dalam pengelolaan budidaya padi. Besarnya biaya produksi dalam pengolahan padi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisis Biaya Faktor Produksi Tanaman Padi Sekali Produksi

No Faktor produksi Sawah irigasi

(Rp/Ha)

Sawah tadah hujan (Rp/Ha) 1 Modal (sewa lahan) 5.250.000 5.250.000

2 Tenaga kerja 5.760.000 7.200.000

3 Benih 663.600 331.600

4 Pupuk 1.392.300 1.273.700

5 Pestisida 404.100 315.800

6 Teknologi 2.432.200 -

7 Biaya pemeliharaan air 315.000 -

8 Transportasi 118.100 -

Total 16.335.300 14.371.100

Biaya produksi yang lebih besar dalam mengelola usahatani padi dalam luasan satu hektar adalah pengelolaan sawah dengan sistem irigasi dengan biaya yang dikeluarkan petani dalam sekali produksi pengelolaan adalah Rp 16.335.300,- sedangkan persawahan tadah hujan adalah sebesar Rp 14.371.100,-. Besarnya perbedaan nilai biaya produksi yang terdapat pada kedua persawahan adalah sebesar Rp 1.964.200,-. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan nilai yang dikeluarkan

responden dalam mengelola usahatani padi dikedua persawahan yang dikelola, dimana dalam pengelolaan sawah tadah hujan tidak semua input usahatani dimanfaatkan dalam pengelolaan. Misalnya penggunaan teknologi yang digunakan pada persawahan irigasi untuk membantu pengolahan lahan dan kegiatan pasca panen dalam mempersingkat waktu pengelolaan. Dimana pada persawahan tadah hujan masih dikelola secara sederhana sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengelolaan sawah tadah hujan dominan lebih tinggi.

Pada pengelolaan sawah irigasi membutuhkan pengelolaan air sehingga dibutuhkan pemeliharaan saluran irigasi agar tetap terjaga ketersediaan air dalam kegiatan pengelolaan. Oleh karena itu pemeliharaan saluran irigasi menjadi salah satu faktor produksi bagi persawahan irigasi sedangkan pada sawah tadah hujan tidak termasuk dalam biaya produksi. Nilai lain yang mempengaruhi adalah transportasi dimana pada pengelolaan sawah irigasi sebagian kecil responden yang memiliki jarak sawah yang lebih jauh dengan tempat tinggalnya membutuhkan transportasi untuk mengangkut hasil panennya.

Untuk memperoleh nilai ekonomi air irigasi dari persawahan digunakan pendekatan nilai produktifitas, dimana air hutan dinilai dengan membandingkan antara besar nilai hasil produksi yang dihasilkan persawahan yang menggunakan DAS sebagai sumber kebutuhan irigasi dan hasil produksi persawahan yang dihasilkan tanpa menggunakan irigasi. Dari perbandingan ini akan diperoleh nilai keberadaan hutan yang memberikan kontribusi ke masyarakat sehingga tetap dapat

Dokumen terkait