VALUASI EKONOMI HUTAN SEBAGAI PENYEDIA AIR UNTUK PERSAWAHAN DI KAWASAN SUB DAS SITOBU DAS ASAHAN
BARUMUN
SKRIPSI
Oleh:
Ester Tampubolon 071201023 Manajemen Hutan
DEPERTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Valuasi Ekonomi Hutan Sebagai Penyedia Air untuk Persawahan di Kawasan Sub DAS Sitobu, DAS Asahan Barumun
Nama : Ester Tampubolon
NIM : 071201023
Program Studi : Manajemen Hutan
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
(Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si.) (Kansih Sri Hartini, S.Hut., MP.)
Ketua Anggota
Mengetahui
Ketua Depertemen Kehutanan
ABSTRAK
Ester Tampubolon, Valuasi Ekonomi Hutan Sebagai Penyedia Air untuk Persawahan di Kawasan Sub DAS Sitobu, DAS Asahan Barumun. Di bawah bimbingang Bapak Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si dan Ibu Kansih Sri Hartini, S.Hut, MP.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai ekonomi hutan sebagai penyedia air untuk kebutuhan persawahan di Desa Gurgur Aek Raja, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi. Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah 21 responden dari 185 populasi, sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh nilai ekonomi air yang disumbangkan hutan lindung kepada masyarakat di Desa Gurgur Aek Raja sebagai penyedia air untuk kebutuhan persawahan adalah sebesar Rp 832.055.000,- per tahun
ABSTRACT
Valuation of forest economy as rice field water supply in Sub DAS Sitobu, Asahan Barumun watershed. Supervised by Mr. Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si and Mrs. Kansih Sri Hartini, S.Hut, MP.
This research aimed to determine the value of forest economy as rice field water supply in the Gurgur Aek Raja Village, Tampahan Sub Brand, Toba Samosir Regency by using production function method. There are 21 respondents of 185, while the sampling technique using a purposive sampling. The research finding is economic value of water contributed by protection forest toward Gurgur Aek Raja Village community as rice field water supply is about Rp 832.055.000,-/year.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balige pada tanggal 5 September 1989. Anak tunggal dari pasangan Bapak R. Tampubolon (Alm) dan Ibu D. Siahaan. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Balige pada tahun 2007.
Penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara pada tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2009, bulan Juni penulis mengikuti Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Desa Aras Napal dan Pulau Sembilan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Penulis telah melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Perusahaan HTI Sumatera Silva Lestari (SSL) di Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara dari tanggal 17 Januari sampai tanggal 17 Februari 2011.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Adapun judul skripsi ini adalah ”Valuasi Ekonomi Hutan Sebagai Penyedia Air untuk Persawahan di Kawasan Sub DAS Sitobu, DAS Asahan Barumun”, yang merupakan salah satu syarat untuk dapat meraih gelar sarjana di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Kansih Sri Hartini, S.Hut., MP. selaku anggota komisi pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, November 2011
DAFTAR ISI
Teknik dan Tahapan Pengambilan Data ... 21
Objek kegiatan ... 21
Teknik pengambilan sampel ... 22
Jenis data yang dikumpulkan... 23
Analisis Data ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Sub DAS Sitobu ... 26
Kondisi Masyarakat Pengelola DAS ... 27
Pemanfaatan DAS Sebagai Kebutuhan Persawahan ... 29
Modal (lahan) ... 34
Benih ... 35
Pupuk ... 36
Pestisida ... 36
Tenaga kerja ... 37
Alat pertanian ... 37
Biaya pemeliharaan air ... 38
Nilai Ekonomi Hutan untuk Kebutuhan Persawahan ... 39
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 44
Saran ... 44
DAFTAR PUSTAKA ... 45
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Peta Daerah Aliran Sungai Toba-Asahan ... 16
2. Pembukaan Lahan di Kawasan Hutan Lindung... 29
3. Kondisi Saluran Irigasi persawahan yang Bersumber dari Hutan ... 31
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Jenis Tanah dan Kepekaan Lahan Terhadap Erosi ... 18
2. Perbandingan Luas Lahan Responden ... 33
3. Analisis Biaya Faktor Produksi Tanaman Padi Sekali Produksi ... 39
4. Nilai Produktivitas Kedua Persawahan ... 41
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
ABSTRAK
Ester Tampubolon, Valuasi Ekonomi Hutan Sebagai Penyedia Air untuk Persawahan di Kawasan Sub DAS Sitobu, DAS Asahan Barumun. Di bawah bimbingang Bapak Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si dan Ibu Kansih Sri Hartini, S.Hut, MP.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai ekonomi hutan sebagai penyedia air untuk kebutuhan persawahan di Desa Gurgur Aek Raja, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi. Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah 21 responden dari 185 populasi, sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh nilai ekonomi air yang disumbangkan hutan lindung kepada masyarakat di Desa Gurgur Aek Raja sebagai penyedia air untuk kebutuhan persawahan adalah sebesar Rp 832.055.000,- per tahun
ABSTRACT
Valuation of forest economy as rice field water supply in Sub DAS Sitobu, Asahan Barumun watershed. Supervised by Mr. Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si and Mrs. Kansih Sri Hartini, S.Hut, MP.
This research aimed to determine the value of forest economy as rice field water supply in the Gurgur Aek Raja Village, Tampahan Sub Brand, Toba Samosir Regency by using production function method. There are 21 respondents of 185, while the sampling technique using a purposive sampling. The research finding is economic value of water contributed by protection forest toward Gurgur Aek Raja Village community as rice field water supply is about Rp 832.055.000,-/year.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau disebut masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan dan alam lingkungannya. Semua itu mempunyai keterikatan dalam hubungan ketergantungan satu sama lainnya. Uraian ini dapat disimpulkan bahwa hutan dituntut mempunyai keseimbangan sistem ekologi lingkungan hidup, menyelamatkan semua mahluk hidup didalamnya, gudang penyimpanan plasma nutfah, mempertahankan degradasi lahan dan erosi, sumber kayu industri dan gergajian lokal, sumber hasil ikutan bagi penduduk setempat serta wisata alam dan kegiatan penelitian (Arief, 2001).
cukup besar adalah sebagai sumber air untuk mensuplai kebutuhan air irigasi persawahan(Gunawan dkk, 2005).
Menurut Purwanto dkk (2006) air merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang saat ini masih merupakan barang publik, belum merupakan barang ekonomi. Namun dengan adanya Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air: Pasal 45 ayat 2 dan 3, pengusahaan sumberdaya air dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, perseorangan, badan usaha, atau kerjasama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Ayat 1: pengusahaan sumberdaya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan Undang-undang tersebut dimungkinkan adanya perubahan air sebagai barang publik menjadi barang ekonomi. Oleh karena perlu dilakukan penilaian hutan sebagai penyedia air untuk persawahan untuk mengetahui seberapa besar nilai dan manfaat jasa lingkungan yang diperoleh.
yang dilakukan dapat berdasarkan manfaat yang dihasilkan oleh daerah kawasan tersebut dalam mengahasilkan suatu produk jasa atau barang.
Terjadinya krisis air dibeberapa daerah di Indonesia dalam tahun terakhir ini memenunjukkan bahwa kondidi hutan di DAS sudah semakin kritis. Untuk memberikan kesadaran kepada semua pihak agar lebih menghargai keberadaan hutan perlu dilakukan suatu penilaian manfaat hidrologis yang dapat disumbangkan hutan. Misalnya kawasan Sub DAS Sitobu, DAS Asahan Barumun yang berada pada daerah tangkapan air Danau Toba, dimana keberadaan hutan sebagai fungsi hidrologi telah mengalami perubahan akibat pembukaan lahan. Padahal ketergantungan masyarakat yang tinggal dikawasan ini terhadap keberadaan hutan sangat tinggi. Karena kemampuan hutan yang mampu memberikan kontribusi dalam penyediaan air bagi masyarakat sekitar hutan baik untuk kebutuhan air minum dan kebutuhan persawahan. Oleh karena penilaian hutan sebagai fungsi hidrologis dalam memenuhi kebutuhan air irigasi persawahan dapat dinilai dengan pendekatan fungsi produksi dari lahan produktif di daerah kawasan sub DAS tersebut.
air hujan atau sumber lainnya. Oleh karena itu dilakukan dilakukan penilaian dengan membandingkan selisih produksi dari kedua persawahan tersebut maka dapat diketahui nilai yang diberikan hutan kepada masyarakat yang menggunakan irigasi dari hutan tersebut.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah menentukan nilai ekonomi hutan sebagai penyedia air untuk kebutuhan persawahan di Desa Gurgur Aek Raja, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan referensi mengenai hasil hutan yaitu air untuk kebutuhan persawahan khususnya Desa Gurgur Aek Raja, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Hutan dan Manfaatnya
Hutan menurut Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam dan lingkungannya satu dengan yanng lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Hutan banyak mengubah keseimbangan panas pada permukaan tanah khususnya selama periode radiasi positif bersih dan dapat mengurangi fluktuasi suhu tanah. Sehingga dapat mempengaruhi kualitas air baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemungutan kayu dan degradasi lahan merupakan gangguan ekosistem dengan dampak-dampak yang secara potensial drastis terhadap kualitas produksi air, erosi dan percepatan sedimentasi. Gangguan terhadap ekosistem ini dapat mempengaruhi debit air pada sungai (Richard, 1990).
pada suatu keadaan berlebihan air pada musin penghujan dan kekurangan air di musim kemarau (Suryatmojo, 2004)
Tinjauan nilai ekonomi manfaat kawasan lindung mensyaratkan bahwa pengelolaan kawasan lindung harus berorientasi ekonomi wilayah yang menjadi bawahannya (daerah aliran sungai dan ekosistem wilayah) agar bisa melihat besarnya nilai dan peran manfaat kawasan lindung sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil, khususnya dalam pemanfaatan kawasan lindung, mengarah kepada efisiensi. Kegagalan pengelolaan dan kebijakan, mengakibatkan hutan lindung yang tersisa di seluruh Indonesia hanya sekitar 15% saja, dan rusaknya hutan lindung akan berkonsekuensi sosial, ekonomi dan ekologi. Hubungan saling ketergantungan manusia dan hutan dalam suatu sistem interaksi kehidupan telah berlangsung lama. Masyarakat di dalam dan sekitar hutan banyak menggantungkan hidupnya pada keberadaan hutan dan memiliki hubungan yang erat dengan hutan (Yudilasdiantoro, 2009).
Daerah Aliran Sungai (DAS)
dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000).
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara organisme dari lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi pertukaran material dan energi. Dalam ekosistem DAS dapat dilihat bahwa hujan sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan air sebagai output. Hujan sebagai input dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa diubah atau diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan untuk bisa menekan kerusakan yang terjadi. Karena DAS secara alamiah juga merupakan satuan hidrologis, maka dampak pengelolaan yang dilakukan di dalam DAS akan terindikasikan dari keluarannya yang berupa tata air (Priyono dan Cahyono, 2003).
perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Efendi, 2007).
Sumber Daya Air
Sumber daya air merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa. Air merupakan benda yang sangat vital dan mudah dibutuhkan bagi kehidupan dan penghidupan umat manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan sepanjang masa. Oleh karena itu sumber daya air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dan diamanatkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Ketersediaan air dipermukaan bumi sangatlah berlimpah. Sekitar dua pertiga dari permuaan bumi tertupi oleh air. Secara selintas tidak ada masalah dengan air bila ditinjau dari keberadaan dipermukaan bumi maupun fungsinya sebagai faktor utama kehidupan. Namun bila dicermati akan nampak bahwa jumlah air yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sangat terbatas dibandingkan jumlah air yang ada (Rohmat, 2001).
mata air, air dalam sumur dangkal maupun air dalam sumur bor atau aliran menjadi aliran dasar (Kodoatie dan Sjarief, 2010).
Air yang disalurkan di daerah tangkapan yang berhutan utuh pada umumnya
adalah sesuai untuk penggunaan yang menguntungkan, namun aktivitas-aktivitas
manusia dalam ekosistem hutan dapat berpengaruh besar terhadap kualitas produksi
air. Adanya penutupan hutan diasoasikan dengan berkurangnya produksi air tahunan,
ini ditunjukkan secara berulang-ulang dengan membandingkan debit-debit daerah tangkapan yang berhutan dan yang tidak berhutan yang berdekatan dengan memperhatikan pengaruh-pengaruh penggundulan hutan reboisasi dan penghijauan. Penutupan hutan juga dimodifikasikan resim-resim aliran sungai tahunan, pola musiman dibandingkan dengan kawasan-kawasan yang dihutankan, ditebang sebagian dan digundulkan tergantung tipe hutan dan iklim. Dalam kondisi lantai hutan terganggu atau ketika hutan dialihgunakan menjadi lahan pertanian, sebagian
besar air hujan yang datang akan meninggalkan areal tangkapan dengan cepat selama
dan setelah kejadian hujan. Air yang tertinggal untuk menggantikan air di lapisan
tanah yang lebih dalam hanya sedikit. Dengan demikian, sedikit pula air yang
tertinggal untuk mempertahankan kelangsungan aliran sungai selama musim kemarau
(Richard, 1990).
Kebutuhan Pemakaian Air
sederhana diartikan disini sebagai upaya memelihara, memperpanjang, meningkatkan dan meneruskan kemampuan produktif dari sumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Guna mewujudkan pertanian berkelanjutan, sumberdaya pertanian seperti air dan tanah yang tersedia perlu dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna. Kebutuhan akan sumberdaya air dan tanah cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup, sehingga kompetisi dalam pemanfaatannya juga semakin tajam baik antara sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian maupun antar pengguna dalam sektor pertanian itu sendiri (Sutawan, 2001).
Pemakaian air secara garis besar dapat diklasifikasikan kedalam empat golongan berdasarkan tujuan penggunaanya, yaitu air untuk keperluan irigasi, air untuk keperluan pembangkit energi, air untuk keperluan industri dan air untuk keperluan umum. Kebutuhan air bagi sektor pertanian, sumber pangan manusia sangat luar biasa besarnya. Air dalam kehidupan tanaman berfungsi sebagai penjamin kelangsungan proses fisiologis dan biologi pertumbuhannya. Air untuk keperluan pertanian (irigasi) pada umumnya bersumber dari sungai, danau, waduk dan air tanah. Air sungai mempunyai sifat-sifat umum sebagai berikut:
1. Debitnya cukup besar dibandingkan dari sumber-sumber alami air lainnya namun besar debitnya itu sendiri tidak konstan melainkan tergantung musim dan lokasinya.
3. Pengambilan airnya relatif mudah, tergantung pada topografi daerah sumber pertanian yang dialiri (Dumairy, 1992).
Permasalahan Sumber Daya Air
Hutan yang merupakan faktor yang utama dalam menjaga kualitas dan ketersediaan air sehingga ada tuntutan dan keinginan agar hutan sebagai daerah tangkapan utama dan berfungsi sebagai pengatur tata air perlu dikelola dengan baik. Sebagai pengguna air baik pemerintah, swasta maupun masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam melakukan kewajibannya untuk menjaga kelestarian hutan berupa kontribusinya sebagai kompensasi agar kebutuhan akan sumber air dapat terpenuhi (Sylviani, 2009).
Hutan selalu dikaitkan dengan fungsi positif terhadap tata air dalam ekosistem. Fungsi hutan dalam ekosistem DAS perlu dipandang dari tiga aspek berbeda, yaitu pohon, tanah dan lansekap (landscape). Vegetasi hutan berfungsi mengintersepsi air hujan, namun laju transpirasi yang tinggi mengakibatkan penggunaan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis vegetasi non-irigasi lainnya. Tanah hutan memiliki lapisan seresah yang tebal, kandungan bahan organik tanah, dan jumlah makroporositas yang cukup tinggi sehingga laju infiltrasi air lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian (Farida dan Noordwijk, 2004).
lingkungan sungai sering amat rendah. Pemanfaatan lahan di sempadan sungai untuk keperluan permukiman, pertanian dan usaha lain yang mengganggu kelancaran pengaliran air merupakan contoh khas dari pengabaian aspek lingkungan sosial sungai. Dengan demikian praktik-praktik membuang sampah ke perairan terbuka merupakan kelemahan dalam pengelolaan sumber daya air (Sunaryo dkk, 2004).
Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property) dianggap tidak terbatas adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Padahal air sebagai sumberdaya alam, adalah terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif tetap. Ketersediaan air tidak merata penyebarannya dan tidak pernah bertambah (Sutawan, 2001).
Dalam tiga dasawarsa terakhir alih guna lahan hutan menjadi perkebunan dan lahan pertanian lainnya, merupakan kegiatan yang disoroti karena pengaruhnya terhadap fungsi hidrologi daerah aliran sungai di daerah hulu. Hutan umumnya dikaitkan dengan fungsi positif tata air dalam suatu ekosistem aliran air dan semua alih guna lahan dianggap akan berdampak negatif terhadap kuantitas dan kualitas air bagi masyarakat di daerah hilir. Akhir-akhir ini telah dikembangkan sekumpulan kriteria fungsi daerah aliran sungai yang difokuskan pada dampak alih guna lahan terhadap fungsi daerah aliran pada kondisi lokal spesifik (iklim dan kondisi alamnya) (Farida dan Noordwijk, 2004).
Valuasi Ekonomi Air
Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna sesuatu objek atau sumber daya hutan bagi individu tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Persepsi panca indra untuk proses pemikiran. Oleh karena itu nilai sumber daya hutan yang dinyatakan oleh suatu masyarakat di tempat tertentu akan beragam tergantung kepada persepsi setiap anggota masyarakat tersebut, dengan demikian nilai antar masyarakat akan berbeda (Bahruni, 1999).
James, R.F dalam Bahruni (1999) membuat klasifikasi nilai manfaat yang membagi habis seluruh macam manfaat nilai (nilai total manfaat) yang menurut interpretasi didasarkan atas sumber atau proses manfaat tersebut diperoleh yaitu: 1. Nilai guna (uses value) yaitu seluruh nilai manfaat yang diperoleh dari
penggunaan sumberdaya hutan seperti kayu bulat untuk keperluan industri pengolahan kayu, kayu bakar, produksi tanaman pangan seperti perladangan, produksi air, untuk berbagai keperluan.
2. Nilai fungsi (functions value) yaitu seluruh nilai manfaat yang diperoleh dari fungsi ekologis sumber daya hutan seperti pengendalian banjir pencengahan intrusi air laut, habitat satwa.
3. Nilai atribut (attributes value) yaitu seluruh nilai yang diperoleh bukan dari penggunaan materi (hasil produksi barang dan jasa) tetapi aspek kebutuhan psikologis manusia yaitu menyangkut budaya masyarakat.
memberi gambaran secara kuantitatif manfaat hidrologis hutan sebagai pengatur tata air untuk berbagai pemanfaatan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman banyak pihak tentang besarnya nilai manfaat hutan khususnya dalam mengatur ketersediaan dan kualitas air (Nurfatriani dan Handoyo, 2007).
Kondisi Umum Sub DAS Sitobu DAS Asahan Barumun Letak astronomis
Daerah aliran sungai (DAS) Asahan Barumun terletak di Sumatera Utara, DAS ini mencakup Danau Toba sebagai hulunya dan sungai Asahan sebagai sungai utamanya. Secara astronomis DAS ini berada pada 2o15’00” LU - 3o3’00” LU dan 98o25’10” BT - 99o51’30” BT. Kawasan ini mempunyai luas area sebesar 3741 Km2, dengan panjang sungai utamanya adalah 147 Km dan daerah hulunya Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba seluas lebih kurang 369.854 Ha, yang terdiri dari 190.314 Ha keliling luar danau, 69.280 Ha daratan Pulau Samosir atau di tengah danau dan 110.260 Ha berupa perairan Danau Toba (luas permukaannya). Menurut wilayah administrasi pemerintahan Ekosistem Kawasan Danau Toba meliputi tujuh Kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo dan Kabupaten Dairi (BAPEDA, 2005).
Topografi
Permukaan Danau Toba terletak pada ketinggian 903 meter dpl, sedangkan DTA Danau Toba ini berada pada ketinggian sampai dengan 1.981 meter dpl. Kondisi topografi pada EKDT ini didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan kelerengan lapangan dari datar (kemiringan lahan 0 – 8 %), landai (kemiringan lahan 8 – 15 %), agak curam (kemiringan lahan 15 - 25 %), curam (kemiringan lahan 25 - 45 %), sangat curam sampai dengan terjal (kemiringan lahan > 45%). Daerah yang datar meliputi lebih kurang 27,2 % dari total DTA, daerah yang landai 30,6 %, daerah yang agak curam 24,0 %, daerah curam 16,5 % dan daerah yang sangat curam sampai terjal lebih kurang 1,7 % dari total daerah tangkapan air (DTA) (Depertemen Pekerjaan Umum, 2006).
Jenis batuan dan tanah
Formasi batuan yang membentuk kawasan Danau Toba didominasi oleh Volkanik Kuarter dan selanjutnya dalam jumlah yang lebih terbatas dijumpai pula batuan sedimen tersier dan batuan metamorfosis dengan umur yang lebih tua, seperti serpih, batu sabak, batu gamping dan sebagainya. Sedangkan struktur geologi pada EKDT ini secara umum dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok struktur geologi Pulau Samosir dan kelompok struktur geologi Danau Toba (BAPEDA, 2005).
sedangkan di Pulau Samosir jenis tanahnya sebagain besar merupakan jenis tanah Brown Forest (agak peka erosi).
Tabel 1. Jenis Tanah dan Kepekaan Lahan Terhadap Erosi No. Jenis tanah % 2 Podsolik coklat kelabu,
Podsol,
4 Podsolik coklat, Regosol 18,7 Bergelombang, curam
Peka – sangat Peka
5 Alluvial regosol, Orga-nosol
3.2 Datar Tidak peka
6 Podsilik coklat keku-ningan
2.7 Datar dan bergelombang
Peka
7 Podsolik coklat kelabu, Podsolik coklat
21.6 Datar dan bergelombang
Peka
Sumber: Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah I,
Iklim
musim hujan terjadi pada bulan November - Desember dengan curah hujan antara 190 – 320 mm/bulan. Sedangkan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Juni-Juli dengan curah hujan berkisar antara 54 – 151 mm/bulan (BAPEDA, 2005).
Suhu udara bulanan kawasan ini berkisar antara 18oC – 19,7oC di Balige. Suhu udara selama musim kemarau cenderung agak lebih tinggi dibandingkan dengan selama musim hujan. Sedangkan angka kelembaban tahunannya berkisar antara 79 - 95%. Pada bulan-bulan musim kemarau kelembaban udara cenderung agak rendah dibandingkan pada bulan-bulan musim hujan. Evaporasi bulanan di kawasan ini berkisar antara 74 - 88 mm/bulan. Angka evaporasi selama musim musim kemarau cenderung lebih tinggi dibandingkan selama musim hujan
Pada dasarnya terdapat 19 sungai yang mengalir ke Danau Toba salah satunya yaitu adalah sungai Sitobu. Sub DAS Sitobu secara administratif berada di kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Tapanuli Utara, Sub DAS ini mempunyai luas kawasan 7301.19 Ha, dengan kawasan hutan sebesar 918.82 Ha, permukiman sebesar 173.54 Ha, sawah irigasi sebesar 1116.74 Ha dan tanah ladang 5092.74 Ha (Depertemen Pekerjaan Umum, 2006).
Kondisi Umum Desa Gurgur Aek Raja
Desa lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir, secara astronomis kawasan ini terletak pada 2o19’ LU – 2o20’ dan 99o1’ BT Adapun batas-batas kecamatan ini adalah:
Sebelah utara : Danau Toba
Sebelah timur : Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir
Berdasarkan BPS Toba Samosir (2010) luas Kecamatan Tampahan adalah 24.45 Km2 dengan 1.21% dari total luas Kabupaten Toba Samosir. Kawasan ini terletak di ketinggian 905-1000 meter di atas permukaan laut yang mempunyai topografi datar hingga berbergelombang sedang dan mempunyai rata-rata kemiringan lahan 2o-30odengan struktur tanah yang labil. Sesuai dengan letaknya di khatulistiwa kawasan ini tergolong kedalam iklim tropis basah, dengan suhu rata rata 17oC-29oC dan kelembapan rata-rata adalah 85.04%. Berdasarkan pendataan Geofisika dan Meteorologi mempunyai jumlah bulan basah 9 bulan dengan curah hujan rata-rata 158 mm/tahun dimana curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November dengan curah hujan 403 mm. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni dan Juli dengan curah hujan 21mm dengan masing-masing hari hujan selama 3-5 hari.
METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kasawan Sub DAS Sitobu, DAS Asahan Barumun yaitu Desa Gurgur Aek Raja, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir. Penelitian ini dilaksanakan bulan Juni sampai dengan selesai.
Alat dan Bahan Alat
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, kalkulator dan alat tulis.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuisioner, data primer yang diperoleh di lapangan, data sekunder serta perlengkapan lainya yang diperlukan di lapangan.
Teknik dan Tahapan Pengambilan Data Objek kegiatan
Kegiatan penelitian ini melibatkan pihak yang terkait yaitu masyarakat pengguna air persawahan dari hutan dengan objek penelitian yaitu
b. Kawasan hutan lindung yang menjadi sumber mata air persawahan adalah daerah hulu kawasan Sub DAS Sitobu, DAS Asahan Barumun dengan luas kawasan ini adalah 7301.19 Ha.
c. Kawasan persawahan yang bertopografi landai, menggunakan irigasi pengairan yang berasal dari hutan lindung khususnya di Desa Gurgur Aek Raja, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir yang mempunyai luas areal produktif sebesar 70 Ha.
Teknik pengambilan sampel
Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah dengan menggunakan purposive sampling yaitu dengan teknik pengambilan sampel secara sengaja dengan tujuan tertentu. Menurut Nawawi (2005) dalam purposive sampling pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri tertentu yang dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Jenis data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi: 1. Data primer
Data primer merupakan data yang akan diperoleh saat melakukan penelitian di lapangan. Data primer yang diperlukan adalah karakteristik responden masyarakat (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status lahan, luas lahan, jarak sumber air) pengguna air hutan untuk persawahan. Pengumpulan data-data ini dilakukan dengan cara:
a. Kuisioner untuk diisi respoden atau kepala rumah tangga. Kuisioner ini berisikan tentang data diri, penilaian responden terhadap pemanfaatan air serta besarnya jumlah produksi yang diperoleh.
b. Wawancara terbuka kepada informan kunci yaitu kepala desa, tokoh masyarakat dan Dinas Kehutanan/Pertanian
c. Observasi dengan pengamatan dan mencatat hasil yang didapat di lapangan baik kondisi kawasan DAS Asahan Barumun, Sub DAS Sitobu serta kondisi kedua jenis persawahan yang dibandingkan.
2. Data sekunder
Data sekunder yang dibutuhkan adalah data umum yang ada pada instansi pemerintahan desa, Dinas Kehutanan, instansi-instansi yang terkait. Data sekunder pada penelitian ini adalah jumlah penduduk dan kondisi sosial ekonomi penduduk.
Analisis Data
ini didasarkan atas pendekatan biaya faktor produksi dari perbandingan biaya produksi lahan irigasi persawahan yang bersumber dari hutan dengan besarnya biaya produksi dari sawah yang dikelola secara tadah hujan.
1. Menghitung besarnya biaya produksi usaha tani responden
Dalam suatu proses produksi pertanian untuk menghasilkan suatu unit produksi diperlukan masukan seperti modal, tenaga kerja, masukan lainnya dan air irigasi. Maka faktor produksi dapat dituliskan dengan rumus:
V= f (K,L,R,W)
Dengan adanya asumsi pasar maka masukan dan keluaran bersaing sempurna, maka harga dianggap tetap sehingga dapat dirumuskan mengacu teorem Auler dalam Sumaryanto (2006)
V = (Qk x Pk) + (Ql x Pl) + (Qr x Pr) + (Qw x Pw) Dimana
V = biaya produksi usaha tani responden, Q = kuantitas masing-masing Input P = harga masing-masing iput k = modal (lahan)
l = tenaga kerja
r = masukan lain (pestisida, pupuk, benih) w = kebutuhan irigasi
2. Menghitung nilai bersih produksi persawahan
Zi = Pc Yi - Pv - Wi Dimana
Zi = pendapatan bersih produksi persawahan (U) (Rp) Pc = harga output padi (Rp)
Yi = jumlah produksi persawahan (kg) Pv = biaya produksi (Rp)
Pw = nilai irigasi persawahan
3. Menghitung nilai ekonomi irigasi persawahan
Untuk mendapatkan nilai ekonomi air untuk kebutuhan persawahan digunakan dengan pendekatan pasar (produktivitas), jika konstanta kebutuhan air hutan diangap wh adalah :
Nwh = ΔW1 – ΔW2
Maka penentuan nilai total ekonomi dari irigasi persawahan yang berasal dari hutan adalah:
NAP = Nwh x Lsi Dimana :
ΔW1 = pendapatan persawahan irigasi
ΔW2 = pendapatan persawahan tadah hujan
NAP = nilai total air pertanian (Rp/tahun)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengelolaan Sub DAS Sitobu
Pada dasarnya keberadaan Sub DAS Sitobu merupakan bagian dari pengelolaan DAS Asahan Barumun, dimana sub DAS ini berada di kawasan daerah tangkapan air Danau Toba. Daerah kawasan ini berperan dalam menampung air hujan dan menyumbangkannya kebeberapa anak sungai dan bergabung menjadi bagian sungai besar, kemudian mengalirkannya ke Danau Toba sebagai penampung. Kawasan Danau Toba sebagai penampung dari berbagai sub DAS kemudian mengalirkannya ke sungai Asahan.
Berdasarkan pernyataan Tampubolon (2008) yang menyatakan bahwa sungai yang mengalir ke dalam Danau Toba pada umumnya merupakan sungai intermitten, yaitu sungai yang hanya berair pada musim penghujan atau pada saat turun hujan. Sehingga debit air pada sungai Sitobu mengalami perubahan setiap musimnya, dimana pada puncak musim hujan debit sungai meningkat cepat sebaliknya pada musim kemarau debit sungai rendah. Selain perbedaan debit sungai permasalahan yang dihadapi oleh Sub DAS Sitobu ini adalah kandisi topografi yang berat yaitu panjang sungai yang tidak terlalu panjang dan kelerengan diatas 15o mengakibatkan respon sungai terhadap curah hujan relatif cepat sedangkan retensi daerah tangkapan terhadap hujan yang turun relatif rendah.
kerusakan. Biasanya masyarakat yang di kawasan ini membuka untuk areal hutan untuk areal pertanian dan tanaman kopi monokultur, pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat dilakukan dengan cara pembakaran. Sehingga banyak hutan mengalami kebakaran mengakibatkan kondisi yang kritis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sunaryo dkk (2004) yang menyatakan bahwa kerusakan daerah tangkapan hujan terutama disebabkan oleh ketimpangan dalam pemanfaatan lahan. Ketimpangan tersebut disebabkan oleh perubahan atau konversi lahan yang tidak terkendali sehingga kawasan hutan yang semula dilindungi oleh vegetasi berubah menjadi kawasan terbuka.
Kondisi Masyarakat Pengelola DAS
Tehnik pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat pada kawasan ini biasanya dengan membuka hutan dengan cara membakar lahan yang ingin dikelola sehingga dapat mengakibatkan kerusakan terhadap daerah penyangga disekitar lahan yang dikelola. Adanya teknik pembakaran ini dilakukan karena dianggap lebih praktis, mudah dan murahnya biaya yang dikeluarkan untuk membuka suatu kawasan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan terhadap lingkunga sekitarnya. Hal ini terjadi karena pengetahuan yang masih terbatas mengenai alternatif-alternatif untuk penyiapan lahan tanpa dibakar dan rendahnya pemahaman masyarakat akan pengelolaan daerah aliran sungai, sehingga masyarakat juga mengelola lahan yang berada di daerah penyangga aliran sungai. Akibat adanya pembukaan lahan secara besar-besaran maka berkurangnya debit air pada aliran sungai dan matinya sumber air yang berada di kawasan resapan air di sekitar hutan lindung tersebut.
Gambar 2. Pembukaan Lahan di Kawasan Hutan Lindung
yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam mengembangkan dan mengelola sumber daya air secara adil, berkelanjutan dan mantap. Peran serta masyarakat umumnya berwujud peran serta dalam mengambil keputusan
Selain itu untuk mengelola kawasan hutan yang mengalami kerusakan akibat adanya kebakaran hutan dan pengelolaan Dasar Aliran Sungai (DAS), pemerintah telah memulai mengembangkan kawasan persemaian permanen Huta Ginjang. Pembangunan persemaian ini dilakukan untuk membangun kembali kawasan hutan yang telah rusak khususnya daerah Taman Wisata Alam Sijaba Hutaginjang dan daerah hulu sungai Sub DAS Sitobu, DAS Asahan Barumun.
Pemanfaatan DAS Sebagai Kebutuhan Persawahan
sekitar hutan baik untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian maupun kepentingan industri. Dimana masyarakat memanfaatkan air secara langsung dari sumber air dengan pipa aliran air atau saluran air.
Desa Gurgur Aek Raja yang terletak di daerah Sub Das Sitobu ini mempunyai kelerengan 2o-30o sehingga daerah persawahan dibuat berupa teras tangga (sengkedan) sehingga penyaluran air dapat merata dari atas ke bawah sesuai bentuk persawahan yang ada. Air yang mengalir ke lahan persawahan berasal dari perairan irigasi teknis yang telah ada secara turun temurun. Saluran irigasi teknis dibangun mulai daerah hulu sungai hingga ke bagian hilir sungai yaitu persawahan. Pada daerah hulu sungai untuk menggabungkan beberapa saluran anak sungai dibangun tempat penampungan sederhana kemudian disalurkan ke irigasi teknis kemudian dibagi menjadi beberapa aliran untuk disalurkan ke beberapa desa di sekitar sub DAS tersebut. Pembuatan saluran irigasi teknis mulai dari hulu sungai karena saluran irigasi alami yang telah ada tidak mampu menampung aliran air yang cukup besar pada saat musim penghujan sehingga saluran air akan mengalami kerusakan yang mengakibatkan terhentinya penyediaan air untuk kebutuhan masyarakat.
dimiliki pemilik lahan berupa saluran irigasi sederhana. Sedangkan untuk pemeliharaan dan pembersihan saluran air dari hulu sungai dibebankan kepada beberapa orang yang telah ditunjuk oleh masyarakat, pemelihara dan pembersih bagian hulu sungai ini agar tetap terjaga disebut dengan parhara.
Gambar 3. Kondisi Saluran Irigasi Persawahan yang Berasal dari Hutan
diusahakan agar tanaman terhindar dari serangan hama dan penyakit yang sering kali menurunkan produksi.
Pengelolaan air sangat berperan penting dalam suatu pengelolaan budidaya padi dimana pengelolaan yang baik akan meningkatkan produktifitas produksi suatu lahan. Tetapi bila mengalami kekurangan air akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan tanaman padi tersebut. Pengelolaan air mempunyai perbedaan pada berbagai jenis padi. Sehingga pembudidayaan padi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu persawahan irigasi, persawahan tadah hujan dan persawahan rawa. Pada penelitian ini pengamatan yang dilakukan pada dua jenis persawahan yaitu persawahan tadah hujan dan persawahan irigasi.
Desa Gurgur Aek Raja mempunyai pengelolaan budidaya padi yang lebih besar adalah dengan sistem irigasi, dengan memanfaatkan daerah Sub DAS Sitobu sebagai penghasil sumber daya air sepanjang tahun. Sedangkan sistem persawahan tadah hujan hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkan sistem tumpang sari pada lahan yang dikelola, atau dengan sistem bergilir dengan tanaman palawija yang dimanfaatkan masyarakat untuk pengolahan secara intensif. Alasan lain sebagian kecil masyarakat tetap mengelolan sawah tadah hujan karena tidak adanya lahan irigasi yang dimilikinya dimana untuk memenuhi kebutuhan pangan maka cenderung membudidayakan padi gogo. Sehingga produktivitas dari kedua persawahan mempunyai nilai yang berbeda.
debit air yang dihasilkan pada sumber mata air mengakibatkan banyaknya lahan kosong pada areal persawahan. Berdasarkan data BPS Desa Gurgur Aek Raja luas areal persawahan yang mengalami perubahan adalah sebesar 15 hektar. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah desa melakukan berbagai perbaikan terhadap saluran irigasi dan adanya program pemerintah daerah untuk mulai melakukan pembudidayaan tanaman kehutanan di sekitar lingkungan desa.
Gambar 4. Kondisi Persawahan Irigasi dan Persawahan Tadah Hujan
Pengelolaan persawahan yang dikelola masyarakat didasarkan pada kepemilikan lahan yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat yang sudah memiliki sawah irigasi biasanya tidak mengolala persawahan sistem tadah hujan. Sehingga persentasi luas lahan persawahan memiliki perbedaan yang sangat jauh, nilai perbandingan luas lahan persawahan responden tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Luas Lahan Responden
No Jenis persawahan Luas lahan (rante) Proporsi
1 Sawah irigasi 163 (6,52 Ha) 89,56%
2 Sawah tadah hujan 19 (0,76 Ha) 10,44%
Jumlah 182 (7,28 Ha) 100%
karena masyarakat di daerah penelitian yang telah mempunyai lahan sawah irigasi baik milik pribadi atau sewa akan mengelola budidaya padi secara teknik irigasi. Selain kepemilikan lahan yang dimiliki oleh responden, faktor ketersedian air irigasi hutan yang masih ada menjadi faktor utama pemilihan pengelolaan persawahan irigasi. Dimana masyarakat dapat mengelola lahan dengan mudah dan memperoleh hasil produksi yang lebih banyak dibandingkan sawah tadah hujan yang hanya dapat dikelola sekali produksi saja. Pemilihan pengelolaan padi gogo di sawah tadah hujan oleh sebagian masyarakat adalah karena tidak adanya lahan irigasi yang mereka miliki. Selain itu adanya faktor budaya dalam menentukan kepemilikan lahan yang ada di desa tersebut, dimana masyarakat pendatang tidak dapat memiliki hak kepemilikan akan lahan yang telah dikelolanya. Oleh karena itu masyarakat pendatang yang tidak mendapat lahan irigasi sewaan dari penduduk setempat biasanya mengelola sawah secara tadah hujan pada lahan yang dikelola mereka, dengan sistem tumpang sari dengan tanaman lainnya.
Ketersedian Input Usahatani Pengelolaan Padi Modal (lahan)
dari pemilik lahan. Dalam pengelolaan persawahan pihak penyewa lahan biasa membayar sewa lahan berdasarkan atas kesepakatan yang telah ada di desa tersebut.
Benih
Benih yang digunakan oleh masyarakat dalam proses pembibitan berasal dari benih yang disimpan oleh petani, hasil panen sebelumnya ataupun berasal dari warga lain yang mempunyai gabah yang berpotensi untuk dijadikan benih. Benih yang digunakan oleh petani irigasi biasa jenis adalah berbagai jenis IR seperti padi IR 64, IR Serang, IR 4, dan jenis padi Pandan Wangi. Sedangkan untuk benih persawahan tadah hujan mempunyai benih tersendiri yaitu jenis padi gogo.
Rata-rata benih yang digunakan responden pada persawahan irigasi dalam proses pembibitan adalah sebanyak 174 kg per hektar dengan harga benih sesuai dengan harga gabah padi yang berlaku. Sedangkan benih yang digunakan oleh responden pada sawah tadah hujan adalah sebanyak 85 kg per hektarnya. Perbedaan jumlah ini karena perbedaan proses pembibitan pada kedua persawahan, dimana pada sawah irigasi dilakukan proses persemaian terlebih dahulu sehingga dibutuhkan benih yang lebih banyak. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kegagalan pada proses persemaian karena adanya serangan hama dan penyakit. Sedangkan pada sawah tadah hujan tidak dilakukan persemaian terlebih dahulu, dimana benih langsung ditanam pada proses penanaman.
Pupuk
yang hilang atau habis diserap oleh tanaman. Unsur hara inilah yang nanti akan membantu meransang proses pertumbuhan dan pembentukan buah. Responden biasanya mengggunakan pupuk anorganik campuran Urea, KCL, TSP, ZA, NPK. Intensitas pemupukan yang dilakukan oleh petani responden dalam sekali produksi adalah sebanyak dua kali, perbandingan campuran setiap responden dalam proses pemupukan berbeda-beda sesuai dengan pemahaman respoden itu sendiri. Banyak pemakaian pupuk yang dilakukan adalah sebesar 360 – 370 kg per hektar.
Pemeberian pupuk pada kedua persawahan mempunyai perbedaan waktu dimana pada sawah irigasi pemberian pertama pada saat padi telah berumur 2-3 minggu sedangkan pada sawah tadah hujan pemeberian pupuk bersamaan pada saat proses penanaman berlangsung dan pemberian kedua kalinya diberi pada usia tanaman 3-4 minggu. Untuk pemberian pupuk kedua pada sawah irigasi dilakukan pada saat padi telah siap penyiangan yaitu pada saat padi telah berumur 6-7 minggu.
Pestisida
menyerang pada bagian batang dan daun sehingga dilakukan penyemprotan pestisida untuk pengendalian penyakit daun yang terdapat di tanaman padi tersebut.
Tenaga kerja
Ketersedian tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi berlangsungnya suatu proses produsi usahatani padi. Ketersediaan tenaga kerja di Desa Gurgur Aek Raja sangat tersedia, dimana masyarakat responden menggunakan tenaga kerja anggota keluarga dan tenaga kerja diluar anggota keluarga. Hal ini disebabkan untuk penghematan waktu dalam proses pengerjaan yang dilakukan dalam pengelolaan padi. Jumlah rata-rata tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengelolaan satu kali produksi padi di desa penelitian ini adalah sebanyak 144 tenaga kerja per hektar untuk sawah irigasi, sedangkan untuk sawah tadah hujan adalah 180 tenaga kerja per hektar.
Alat pertanian (teknologi)
adalah Rp 115.000,- per ton. Untuk alat pertanian lainnya seperti cangkul, sabit, parang, dll telah dimiliki oleh petani itu sendiri.
Untuk sawah tadah hujan tidak dipergunakan teknologi dalam proses pengelolaan usaha tani padi. Mereka lebih cenderung menggunakan alat pertanian yang telah dimiliki sendiri. Karena lahan yang digunakan responden untuk sawah tadah hujan adalah lahan yang dudah dikelola sebelumnya, atau berada di tanaman lain yang sudah ditanam. Sehingga mereka hanya menggunakan tenaga kerja yang lebih banyak untuk persiapan lahan dalam proses penanaman benih yang dilakukan. Selain itu karena hasil produksi dari sawah tadah hujan yang lebih kecil dibanding sawah irigasi maka mereka lebih menggunakan cara sederhana dalam proses kegiatan pemanenan dan pasca panen.
Biaya pemeliharaan saluran irigasi
Di Desa Gurgur Aek raja ini memberikan iuran pemeliharan air kepada parhara sebesar Rp 315.000,- per hektar sekali produksi padi.
Nilai Ekonomi Hutan Untuk Kebutuhan Persawahan
Dalam perhitungan biaya faktor produksi ini tidak dihitung besarnya biaya yang digunakan untuk membangun saluran air tersebut atau biaya pengadaan saluran irigasi tetapi hanya dihitung biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memelihara saluran air tersebut. Sehingga besarnya biaya faktor produksi dapat mempengaruhi keuntungan masyarakat dalam memperoleh keuntungan dalam pengelolaan budidaya padi. Besarnya biaya produksi dalam pengolahan padi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis Biaya Faktor Produksi Tanaman Padi Sekali Produksi
No Faktor produksi Sawah irigasi
(Rp/Ha)
Total 16.335.300 14.371.100
responden dalam mengelola usahatani padi dikedua persawahan yang dikelola, dimana dalam pengelolaan sawah tadah hujan tidak semua input usahatani dimanfaatkan dalam pengelolaan. Misalnya penggunaan teknologi yang digunakan pada persawahan irigasi untuk membantu pengolahan lahan dan kegiatan pasca panen dalam mempersingkat waktu pengelolaan. Dimana pada persawahan tadah hujan masih dikelola secara sederhana sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengelolaan sawah tadah hujan dominan lebih tinggi.
Pada pengelolaan sawah irigasi membutuhkan pengelolaan air sehingga dibutuhkan pemeliharaan saluran irigasi agar tetap terjaga ketersediaan air dalam kegiatan pengelolaan. Oleh karena itu pemeliharaan saluran irigasi menjadi salah satu faktor produksi bagi persawahan irigasi sedangkan pada sawah tadah hujan tidak termasuk dalam biaya produksi. Nilai lain yang mempengaruhi adalah transportasi dimana pada pengelolaan sawah irigasi sebagian kecil responden yang memiliki jarak sawah yang lebih jauh dengan tempat tinggalnya membutuhkan transportasi untuk mengangkut hasil panennya.
Tabel 4. Nilai Produktivitas Kedua Persawahan Jenis sawah Biaya
produksi (Rp/Ha)
Hasil produksi Keuntungan (Rp/ha)
11,54 45.006.000 12.335.400 Sawah tadah hujan (1x
produksi)
14.371.100 3,8 14.820.000 448.900
Penerimaan bersih yang diterima petani dalam luasan satu hektar pada pengelolaan padi di sawah irigasi lebih besar dibandingkan sawah tadah hujan yaitu sebesar Rp 12.335.400,- pada sawah irigasi sedangkan penerimaan bersih sawah tadah hujan adalah sebesar Rp 448.900,-. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan hasil produksi kedua persawahan tersebut yaitu padi sawah irigasi dapat memproduksi 5,77 ton setiap kali produksi dimana dapat dikelola dua kali produksi dalam satu tahun sehingga diperoleh 11,54 ton per tahunnya. Sedangkan padi sawah tadah hujan hanya mempunyai produksi 3,8 ton setiap kali produksi dan hanya dikelola sekali produksi dalam satu tahun.
Dengan demikian selisih frekuensi panen dapat dianggap sebagai hasil dari keberadaan irigasi dari hutan untuk kebutuhan persawahan di desa penelitian.
Untuk mengetahui nilai ekonomi air hutan sebagai sumber irigasi pertanian dilakukan dengan cara menghitung selisih produktivitas pertanian antara sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Hasil perhitungan dari perbedaan pendapatan bersih dari kedua persawahan tersebut dapat dianggap sebagai nilai ekonomi hutan sebagai penyedia kebutuhan irigasi persawahan yang diberikan kepada petani dalam pengelolaan sawah. Berikut merupakan tabel hasil perhitungan nilai ekonomi air persawahan irigasi di Desa Gurgur Aek Raja yang diterima oleh masyarakat sebagai nilai jasa yang diberikan hutan sebagai penyedia air untuk kebutuhan persawahan irigasi.
Tabel 5. Nilai ekonomi air irigasi persawahan yang bersumber dari hutan
No Jenis sawah Keuntungan (Rp/ha)
1 Sawah irigasi (2x produksi) 12.335.400 2 Sawah tadah hujan (1x produksi) 448.900
Selisih (Nwh) 11.886.500
Nilai total ekonomi air persawahan (NAP) = Nwh x 70 Ha = Rp 832.055.000,- per tahun
sumberdaya hutan bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk mendapatkan keseluruhan manfaat yang ada dilakukan identifikasi setiap jenis manfaat. Keberadaan setiap jenis manfaat ini merupakan indikator nilai, yang menjadi sasaran penilaian ekonomi sumberdaya hutan.
Alasan lain perhitungan nilai ekonomi air dilakukan dengan perbandingan nilai produktivitas sawah irigasi dengan sawah tadah hujan adalah penggunaan air yang dipakai untuk persawahan irigasi tidak semua berasal dari hutan. Karena pada saat tertentu daerah penelitian mengalami musim penghujan sehingga air untuk pengolahan dapat diperoleh dari air hujan. Oleh karena itu untuk melihat berapa besar nilai air dari sumber lain selain air hutan adalah dengan menghitung nilai produktifitas sawah tadah hujan. Di mana sawah tadah hujan hanya dapat berproduksi pada saat musim hujan sehingga dianggap nilai air pada sawah tadah hujan sama dengan nilai air yang bukan berasal dari air hutan. Selisih kedua nilai tersebut dapat dianggap sebagai nilai yang disumbang hutan kepada masayarakat sebagai penyedia kebutuhan persawahan di daerah penelitian.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Besarnya nilai ekonomi air yang disumbangkan hutan lindung kepada masyarakat sebagai penyedia air untuk kebutuhan persawahan di Desa Gurgur Aek Raja, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir adalah sebesar Rp 832.055.000,- per tahun.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 2010. Pengelolaan DTA Danau dan Dampak Hidrologisnya. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Alam, S., Supratman dan Alif, M. 2009. Ekonomi Sumberdaya Hutan. Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penebit Kanasius.Yogyakarta.
Bahruni. 1999. Penilaian Sumber Daya Hutan dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
BAPEDA Sumatera Utara, 2005. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau Toba (LTEMP). Medan.
Badan Pusat Statistik. 2010. Kecamatan Tampahan Dalam Angka. Badan Pusat Statistika Kabupaten Toba Samosir.
Chandler dan Suyanto. 2003. Pengakuan dan Pemberian Imbalan Bagi Penyediaan Jasa Daerah Aliran Sungai (DAS). World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia. Bogor.
Dumairy. 1992. Ekonomika Sumber Daya Air. BPFE. Yogyakarta.
Depertemen Kehutanan. 2002. Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Sumatera Utara. Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Depertemen Kehutanan.
Depertemen Pekerjaan Umum. 2006. Laporan Penyusunan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Asahan. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum. Sumatera Utara.
Efendi, E. 2007. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. http://www.Bappenas.go.id/
Farida dan Noordwijk, M. 2004. Analisis Debit Sungai Akibat Alih Guna Lahan dan Aplikasi Model Genriver Pada DAS Way Besai, Sumberjaya. World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia, Agrivita Vol. 26 no.1
Gunawan, H., Supriadi, R. dan Maryatul, Q. 2005. Nilai Manfaat Ekonomi Hidrologis Daerah Aliran Sungai Bagi Sektor Rumah Tangga, Pertanian, Perikanan Darat di Provinsi Gorontalo. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. II No. 2 : 135-147
Hadipuro, W. 2008. Valuasi Air. Amrta Institute TIFA Faundation. Semarang.
Hansen, V.E., Orsen, W.I. dan Stringham, G.E. 1992. Dasar-dasar dan Praktik Irigasi. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Ichwandi, I. 1996. Nilai Ekonomi Sumber Daya Hutan dan Lingkungan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Khan, S., Stubbs, C., and Mclaughlin, D. 2001. A Regional Hydrologic Economic Framework for Investigating Sustainable Irrigated Landscape Futeres.
Kodoatie, R.J. dan Sjarief, R. 2010. Tata Ruang Air. Penerbit Andi. Yogyakarta. Kurniawan, D. 2008. Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Bagi Masyarakat di
Perumnas Pucanggading. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Nawawi, A. H. 2005. Metode Penelitan Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Purwanto, S., Andi C., Ugro H. M. dan Kirsfianti, G. 2006. Kajian Nilai Ekonomi Hasil Air dari Hutan Lindung Baturaden. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Bogor
Richard, L. 1990. Hidrologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Rohmat, D. 2001. Upaya Konservasi untuk Kesinambungan Ketersediaan Sumber
Daya Air: Studi Kasus DAS Citarum. Jurusan Pendidikan Geografi UPI. Bandung.
Sylviani. 2009. Kompensasi Hulu Hilir dan Insentif Pengelolaan Hutan Lindung Sebagai Pengatur Tata Air. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.
Suryatmojo, H. 2004. Peran Hutan Pinus Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan Melalui Penyimpanan Karbon dan Penyediaan Sumber Daya Air. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan UGM. Yoygakaarta
Sunaryo, M., Walujo, T. dan Harnanto, A. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Air, Konsep dan Penerapannya. Bayumedia. Malang.
Sutawan, N. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pertanian Berkelanjutan Masalah dan Saran Kebijaksanaan. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Bali.
Tampubolon, R. 2008. Studi Jasa Lingkungan di Kawasan Danau Toba. Centre of Forest and Nature Conservation Research and Development (CFNCRD) and International Tropical Timber Organization (ITTO).
Lampiran 1. Kuisioner Responden
KUISIONER PENELITIAN DEPERTEMEN KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Kode :
Hari/tanggal wawancara :
Identitas Responden Nama responden :
Umur :
Jenis kelamin :
Suku :
Agama :
Pendidikan :
Lama berdomisili : Pekerjaan
Pekerjaan utama : Pekerjaan sampingan : Penghasilan :
Penilaian Responden Terhadap Keberadaan Hutan Lindung
1. Bagaimana kondisi hutan pada saat ini yang ada di sekitar lingkungan saudara?
a. Baik
b. Rusak (alasan saudara)
……….
2. Bagaimana pendapat saudara menengenai keberadaan hutan sebagai penyedia air persawahan?
a. Penting (alasan saudara)
………. b. Tidak penting
3. Bagaimana pengelolaan persawahan saudara bila air dari hutan lindung tidak tersedia?
a. Terhenti
b. Berlanjut, (alasan saudara)
……….
4. Bagaimana keterlibatan saudara dalam pemeliharaan hutan di lingkungan saudara?
a. Aktif (alasan saudara)
……….. b. Tidak aktif
a. Setuju (Berapa nilai yang saudara berikan? Alasan saudara)
……….. b. Tidak setuju
6. Bagaimana keterlibatan pemerintah (Desa, RT/RW, Kecamatan dan kelompok tani) dalam pengawasan hutan sebagai sumber irigasi persawahan di daerah ini?
a. Aktif
b. Tidak aktif (alasan saudara)
……….
7. Bagaimana sistem pemeliharaan hutan yang dilakukan masyarakat desa untuk menjaga keseimbangan hutan?
8. Pemanfaatan hutan apa saja yang anda rasakan selain pemakaian air sebagai sumber irigasi persawahan?
Status Keberadaan Lahan Persawahan
1. Berapa luas lahan persawahan yang anda miliki? 2. Bagaimana status kepemilikan lahan yang anda kelola? 3. Darimana sumber irigasi persawahan saudara?
4. Berapa jarak persawahan anda dari sumber mata air? 5. Bagaimanakah sistem irigasi persawahan saudara?
6. Bagaimana sistem pemeliharaan irigasi persawahan yang dilakukan? sejak kapan sistem irigasi tersebut diadakan?
Pengelolaan Lahan Persawahan
1. Berapa kali proses produksi saudara dalam setahun?
2. Bagaimanakah sistem pengelolaan lahan persawahan saudara? a. Sistem pengairan irigasi
b. Sistem tadah hujan 2.1 Persiapan lahan
a. Berapa lama persiapan lahan persawahan? b. Berapa tenaga kerja yang diperlukan?
c. Apakah saudara menggunakan sistem teknologi dalam persiapan lahan?
d. Berapa biaya persiapan lahan persawahan? 2.2 Pembibitan
a. Berapa lama waktu yang diperlukan dalam proses pembibitan? b. Jenis bibit apa saja yang dipergunakan?
c. Berapa biaya yang diperlukan dalam pembibitan? 2.3 Penanaman
a. Siapa saja yang mengerjakan penanaman? Berapa jumlahnya? b. Berapa lama waktu yang diperlukan dalam penanaman? c. Berapa biaya yang diperlukan dalam penanaman? 2.4 Pemeliharaan
a. Siapa saja yang mengerjakan pemeliharaan? Berapa jumlah yang diperlukan?
c. Berapa lama pemeliharaan yang dilakukan?
d. Berapa biaya yang dikeluarkan dalam pemeliharaan? 2.5 Pemanenan
a. Bagaimana sistem pemanenan yang dilakukan?
b. Siapa saja yang mengerjakan pemanenan? Berapa jumlah yang diperlukan?
c. Berapa lama waktu yang diperlukan? d. Berapa produksi panen yang diperoleh?
e. Berapa biaya yang diperlukan dalam kegiatan pemanenan 2.6Pasca panen
a. Bagaimana penanganan pasca panen yang saudara lakukan? b. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk kegiatan ini? c. Berapa biaya yang diperlukan?
d. Apakah anda menjual hasil produksi saudara? (berapa harga gabah) 3. Bagaimana penanganan lahan yang anda lakukan pada musim bera panen?
a. Berhenti
b. Pengalihan ketanaman palawija (jenis apa, berapa lama, hasil produksi)? Tabel 1. Kronologi Proses Produksi
No Kegiatan Tenaga kerja Teknologi
Lampiran 3. Karakteristik Responden
Tabel 2. Karakteristik Responden di Daerah Penelitian No Nama Responden Umur
(Tahun)
Pendidikan Pekerjaan Pendapatan (Rp/Bulan)
Status lahan Luas lahan
1.400.000 keluarga, sewa
No Nama Responden Umur (Tahun)
Pendidikan Pekerjaan Pendapatan (Rp/Bulan)
Status lahan Luas lahan (rante)
Jarak sawah dari sumber air
(Km)
Jenis sawah
19 Anggiat Hutasoit 43 SMA Buruh,
bertani
1.500.000 Milik desa 6 - Tadah hujan
20 Hiras Simanjuntak 49 SMA PNS,
bertani
1.800.000 Milik desa 7 - Tadah hujan 21 Borton Tampubolon 47 SMA Buruh,
bertani
Lampiran 4. Data Hasil Analisis Penelitian Tabel 2. Biaya Produksi Persawahan Irigasi
No Nama Luas
lahan (rante)
Modal/ sewa lahan (Rp)
Tenaga kerja Benih Pupuk Pestisida
No Nama Luas lahan (rante)
Modal/ sewa lahan (Rp)
Tenaga kerja Benih
Rata-rata 9,056 1.901.666,67 52,17 2.086.666,67 63,055 240517 131 504.333,3 146.389 880.983 114.100 42.778
Keterangan
1. Sewa lahan 5 kaleng (55 kg)/ rante ( 1 Ha = 25 rante)
2. Upah kerja harian Rp 40.000,-/ orang setiap kegiatan pengolahan 3. Biaya pemeliharaan air 0,3 kaleng (3,3 kg)/ rante
4. Harga gabah kering Rp 42.000,-/ kaleng (11 kg)
Tabel 4. Analisis Usahatani Persawahan Tadah Hujan
Tenaga kerja Benih Pupuk
Tabel 5. Hasil Produksi Persawahan Irigasi Masing-masing Responden
No Nama Luas lahan
(rante)
Hasil produksi (kaleng)
1 Himsar Simanjuntak 10 230
Keterangan: 1 kaleng = 11 kg, harga gabah 1 ton = Rp 3.900.000,- Tabel 6. Hasil Produksi Persawahan Tadah Hujan
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Kegiatan Pengelolaan di Sawah Irigasi
Gambar 3. Kondisi Daerah Hulu Sungai di Sub DAS Sitobu