• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data Curah Hujan Observasi dan TRMM

Data curah hujan TRMM merupakan data satelit yang dapat menyediakan data estimasi curah hujan wilayah yang tidak terlingkupi oleh Stasiun Klimatologi dan Meteorologi baik itu spasial maupun temporal. Pada penelitian ini, data estimasi curah hujan satelit TRMM dianggap baik untuk menduga data curah hujan observasi stasiun. Data yang digunakan adalah data curah hujan pada Stasiun Meteorologi Tabing (Gambar 6). Pada tipe hujan monsunal, curah hujan TRMM lebih tinggi dari pada curah hujan stasiun (Levina et al.2012). Hal ini disebabkan karena data curah hujan TRMM merupakan data observasi dengan pemantauan satelit dari atas awan secara periodik. Data curah hujan TRMM merupakan hasil pembacaan dari suhu kecerahan awan, semakin tinggi suhu kecerahan awan maka curah hujan yang diperoleh juga semakin tinggi.

Sumatera Barat memiliki curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai Maret dan musim kering pada bulan April sampai September. Curah hujan maksimum stasiun terjadi pada bulan Oktober 2005 yaitu sebesar 879 mm dan minimum pada Oktober 2006 yaitu 30 mm sedangkan data curah hujan estimasi satelit TRMM pada Oktober 2005 adalah 552 mm dan Oktober 2006, 103 mm. Curah hujan maksimum pada TRMM adalah 670 mm pada Agustus 1998 dan minimum 54 mm Agustus 2004, sedangakan pada tanggal yang sama curah hujan stasiun pada Agustus 1998 sebesar 798 mm dan Agustus 2004 sebesar 370 mm. Hal ini disebabkan oleh variabilitas iklim, tipe awan, letak geografis dan ketinggian suatu tempat.

13

Menurut Tjasyono et al. (2008), salah satu fenomena iklim yang memiliki pengaruh kuat terhadap keragaman curah hujan di Sumatera Barat adalah fenomena monsun.

Gambar 6 Time series perbandingan data curah hujan observasi stasiun Tabing dan data curah hujan TRMM

Data estimasi curah hujan satelit TRMM tidak dapat digunakan untuk menduga kejadian ekstrim maksimum. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6, pola yang terbentuk saat curah hujan maksimum pada Stasiun Tabing tidak sepola dengan data TRMM. Hal ini disebabkan karena data TRMM merupakan data estimasi yang menggunakan pembacaan suhu kecerahan awan tanpa pengukuran langsung dalam menentukan estimasi curah hujan. Data curah hujan observasi stasiun memiliki korelasi positif dengan data curah hujan observasi satelit TRMM.

Gambar 7 Hubungan sebaran data anomali curah hujan bulanan stasiun Tabing dan TRMM

Pada Gambar 7 dapat dilihat hubungan antara sebaran data anomali curah hujan bulanan stasiun Tabing dan TRMM. Koefisien determinasi (R2) untuk data curah hujan TRMM dan curah hujan observasi sebesar 0.586. Angka ini menginterpretasikan bahwa 58.6% keragaman dari curah hujan observasi dapat diterangkan oleh keragaman dari curah hujan TRMM, sedangkan korelasi yang didapat adalah 76.55%.

Analisis lanjut keragaman hujan pada pengamatan ini menggunakan data curah hujan observasi TRMM yang sudah dikoreksi dengan data observasi stasiun. Hasil regresi secara linear dari masing-masing data menunjukan bahwa data data curah hujan estimasi TRMM yang diperoleh cukup baik untuk menduga data curah hujan observasi stasiun. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh dari

14

perbandingan parameter curah hujan stasiun dengan curah hujan TRMM seperti curah hujan maksimum, deret hari hujan, dan deret hari kering, berkisar dari 0.19 sampai dengan 0.42. Dalam kategori ukuran data yang cukup banyak, nilai koefisien determinasi di atas dapat dikategorikan sebagai interval baik dan keeratannya cukup kuat.

Gambar 8 Time series perbandingan data curah hujan ekstrim maksimum dengan data curah hujan aktual TRMM

Curah hujan ekstrim maksimum bulanan yang diperoleh dari data harian curah hujan TRMM menunjukan fluktuasi yang sama dengan curah hujan bulanan (Gambar 8). Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada saat curah hujan total bulanan juga tinggi. Intesitas curah hujan ekstrim maksimum dipengaruhi oleh intensitas hujan dan diameter butir hujan yang besar, selain itu curah hujan maksimum juga dapat dipengaruhi oleh faktor musim dan fenomena iklim lain seperti ENSO, IOD dan monsun.

Curah Hujan dan Jumlah Pengunjung Objek Wisata Pantai Aia Manih

Curah hujan merupakan salah satu variabel iklim yang memiliki pola yang bervariasi. Keragaman dari curah hujan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi semua sektor kehidupan. Pengaruh tersebut bisa bersifat dominan dan bisa juga kecil pada daerah kajian dan dalam skala temporal yang berbeda. Analisis hubungan antara fluktuasi jumlah pengunjung objek wisata pantai dengan keragaman hujan dilakukan untuk mengetahui keeratan hubungan tidak langsung antar keduanya

Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa pada pengamatan tahun 1998-2010 di Pantai Aia Manih Kota Padang pola curah hujan dan jumlah pengunjung tahunan tidak memiliki keterkaitan yang kuat karena korelasi yang diperoleh kecil dan tidak berpengaruh nyata (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena jumlah pengunjung suatu objek wisata alam pantai tidak hanya dipengaruhi oleh curah hujan saja, akan tetapi ada faktor sosial dan lingkungan lain yang ikut berpengaruh nyata. Salah satu faktor lain yang berpengaruh nyata terhadap jumlah pengunjung objek wisata adalah musim liburan dan tingkat penghasilan dari pengunjung.

15

Gambar 9 Pola curah hujan Kota Padang tahun 1998-2010

Gambar 9 menunjukan grafik curah hujan Kota Padang dengan pola yang digambarkan bahwa Kota Padang memiliki tipe curah hujan ekuatorial dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober, November, Maret, dan April, sedangkan curah hujan terendah pada bulan Mei. Jika dianalisis lebih detil, analisis hubungan jumlah pengunjung dan curah hujan dapat menggunakan data musiman yang dibagi ke dalam empat musim (DJF, MAM, JJA, SON).

Gambar 10 Hubungan jumlah pengunjung dengan curah hujan musiman untuk periode: a) DJF, b) MAM, c) JJA, d) SON

Hasil analisis musiman antara curah hujan dengan jumlah pengunjung disajikan pada Gambar 10. Pada Gambar 10 korelasi curah hujan dan jumlah pengunjung musiman memiliki nilai korelasi yang bervariasi, yaitu negatif untuk DJF dan positif untuk MAM, JJA, dan SON. Pada musim monsun barat DJF, pola yang terbentuk dari perbandingan curah hujan dan jumlah pengunjung memiliki korelasi negative. Hal ini disebabkan karena pada musim monsun Barat angin berhembus dari Barat menuju Timur yang menyebabkan pergerakan awan dan penurunan curah hujan di bagian Barat Indonesia, sehingga pada saat curah hujan

DJF MAM JAA SON a) d) b) c)

16

turun jumlah pengunjung akan meningkat. Musim MAM, JJA, dan SON memiliki korelasi positif, hal ini disebabkan oleh faktor lokal dan ekonomi. Secara umum hubungan jumlah pengunjung dan curah hujan musiman tidak terlalu signifikan, dan hanya kuat pada musim liburan yaitu JJA (Tabel 2).

Tabel 2 Perbandingan hasil korelasi curah hujan musiman dengan jumlah pengunjung musiman

DJF MAM JJA SON

Korelasi -0.269 0.250 0.540 0.288

P-value 0.374 0.411 0.057 0.454

Tabel 2 menunjukan nilai korelasi dari hubungan antara curah hujan dan jumlah pengunjung musiman. Nilai korelasi tertinggi terjadi pada saat musim JJA yaitu sebesar 0.54 dengan taraf nyata 5%. Nilai ini menunjukan pada musim JJA jumlah pengunjung dipengaruhi oleh curah hujan pada objek wisata Pantai aia manih Kota Padang. Musim JJA dalam ekonomi wisata dikategorikan sebagai musim liburan, sedangkan dalam tipe hujan ekuatorial musim ini adalah musim kering. Korelasi yang diperoleh dari perbandingan curah hujan dan jumlah pengunjung secara keseluruhan relatif kecil. Hal ini dikarenakan faktor yang menyebabkan meningkat atau menurunnya jumlah pengunjung suatu objek wisata tidak hanya faktor hujan, melainkan banyak faktor lain juga yang menyebabkan jumlah pengunjung mengalami fluktuasi, salah satunya adalah musim liburan, pendapatan penduduk dan tinggi gelombang laut.

Salah satu faktor eksternal selain iklim yang mempengaruhi fluktuasi jumlah pengunjung adalah tinggi gelombang laut. Kenaikan tinggi gelombang akan mempengaruhi jumlah pengunjung objek wisata pantai, karena pada saat ombak besar dan angin kencang, wisatawan cenderung untuk memilih tinggal di rumah dibanding melakukan kegiatan wisata. Fenomena ini biasanya terjadi pada bulan Desember sampai dengan Februari (Hutabarat 1985). Bulan Januari dan Februari tinggi gelombang laut relatif tinggi dibandingkan bulan-bulan sebelumnya, sehingga menjadi salah satu ancaman untuk berekreasi dan berenang.

Tinggi gelombang laut merupakan siklus alam yang ditandai dengan adanya pola yang hampir sama setiap tahunnya. Terjadinya pemanasan SPL menyebabkan tekanan di laut akan mengalami penurunan sehingga terjadi pergerakan massa air berupa arus yang mengakibatkan kenaikan tinggi gelombang dan ombak akan semakin besar yang disertai dengan angin kencang. Gambar 11 menunjukan tinggi gelombang pantai pada bulan Januari. Tinggi gelombang pada bulan Januari berkisar antara 0.5-2 m, untuk sebuah pantai rekreasi seperti Pantai Aia Manih tinggi gelombang ini dapat dikatakan cukup tinggi, sedangkan untuk di tengah lautnya, tinggi gelombang dapat mencapai 3-5 m.

Bulan Desember sampai dengan Februari merupakan bulan aktivitas terbentuknya siklon tropis yang dominan terjadi pada daerah Samudera Hindia bagian Timur dan bagian Barat benua Australia (Tyasyono et al. 2008). Aktivitas ini mempengaruhi peningkatan curah hujan, angin kencang dan gelombang tinggi. Secara tidak langsung fenomena alam yang berpengaruh terhadap kondisi meteorologis dapat menyebabkan penurunan jumlah pengunjung objek wisata

17

pantai. Pada kondisi meteorologis seperti ini biasanya membuat wisatawan lebih memilih melakukan wisata pada atraksi yang bersifat dalam ruangan dan wisata pada pusat perbelanjaan, atau lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah tanpa melakukan aktivitas wisata.

Gambar 11 Peta Tinggi gelombang laut bulan Januari tahun 2013 (sumber: www.bmkg.go.id/)

Semua pantai di Kota Padang memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap abrasi. Hal ini disebabkan karena tingginya gelombang dan arus menuju pantai karena berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Menurut Fajri et al.

(2012) abrasi pantai di Kota Padang disebabkan oleh kecepatan arus sejajar pantai (longshore current), yang menyebabkan sedimen di pantai terkikis oleh ombak yang biasanya terjadi pada bulan Januari sampai Maret dengan kecepatan abrasi 0.24-0.36 m/tahun. Pada musim DJF matahari berada di belahan bumi Selatan sehingga belahan bumi Selatan menerima lebih banyak penyinaran matahari dari pada belahan bumi Utara. Hal ini menyebabkan pusat tekanan tinggi berada di atas benua Asia sedangkan pusat tekanan rendah berada di atas benua Australia. Pada periode ini di perairan Barat Sumatera Angin Muson bertiup dari Barat laut menuju Tenggara dan diikuti dengan pergerakan arus dari Selatan menuju ekuator (Gambar 11). Fenomena ini menyebabkan terjadi pergerakan arus yang cukup kuat dan mengakibatkan tinggi gelombang menuju pantai di Kota Padang juga semakin besar dan secara tidak langsung berpotensi mengakibatkan penurunan jumlah pengunjung wisata pantai.

Curah Hujan dan Jumlah Pengunjung Musim Libur

Variabilitas iklim menyebabkan perubahan komposisi curah hujan dalam skala temporal dan spasial yang besar. Komposisi curah hujan ini memiliki nilai yang berbeda setiap musim, bulan basah atau bulan kering tergantung dari tipe hujan daerah tersebut. Setelah dilakukan perbandingan antara jumlah pengunjung pariwisata dan curah hujan pada setiap musim, diketahui bahwa musim libur pada JJA memiliki korelasi yang lebih besar dibandingkan dengan musim lainnya. Dalam pariwisata musim liburan maksimum terjadi pada bulan Juni dan Juli,

18

sedangkan pada bulan Agustus jumlah pengunjung mengalami penurunan dari bulan sebelumnya. Musim MJJ merupakan musim liburan dalam pariwisata, sedangkan curah hujan pada musim tersebut dikategorikan sebagai musim kering.

Gambar 12 Timeseries curah hujan dan jumlah pengunjung musim MJJ

Gambar 12 menunjukan hasil perbandingan curah hujan dan jumlah pengunjung pada musim liburan MJJ. Gambar ini menginterpretasikan bahwa fluktuasi curah hujan dan jumlah pengunjung memilki hubungan yang tidak signifikan. Korelasi yang didapat dari perbandingan curah hujan dan jumlah pengunjung pada MJJ adalah 0.251 dengan P-value 0.408. Nilai ini dikategorikan sebagai nilai yang menjelaskan jumlah pengunjung tidak signifikan dipengaruhi oleh curah hujan musiman pada taraf nyata 5%.

Gambar 13 Hubungan jumlah pengunjung dengan curah hujan pada musim MJJ Pada Gambar 13 dapat dilihat sebaran data hubungan jumlah pengunjung pada musim MJJ tersebar secara acak, sehingga korelasi yang didapatkan relatif tidak signifikan. Pada musim libur MJJ, bulan yang memiliki jumlah pengunjung rata-rata bulanan terbesar adalah bulan Juli dengan rata-rata jumlah pengunjung bulanan kurang lebih 850 orang yang terdiri dari wisatawan lokal dan mancanegara, sehingga diperlukan analisis hubungan antara curah hujan dengan jumlah pengunjung pada bulan yang memiliki jumlah pengunjung terbesar (Gambar 14).

19

Gambar 14 Hubungan jumlah pengunjung dengan curah hujan bulan Juli

Bulan Juli merupakan bulan yang memiliki jumlah pengujung terbesar dan merupakan bulan yang memilki curah hujan rendah untuk daerah Kota Padang. Gambar 14 menunjukan hubungan antara jumlah pengunjung dan curah hujan dengan korelasi sebesar 0.54 dan P-value 0.04. Nilai ini menjelaskan bahwa jumlah pengunjung dipengaruhi oleh curah hujan dengan taraf nyata 5% dan dapat dikatakan sebagai hubungan yang berkorelasi nyata. Jika dilihat hubungan antara curah hujan dan jumlah pengunjung, korelasi yang diperoleh dari bulan Juli bernilai positif. Hal ini disebabkan karena durasi hujan Kota Padang biasanya terjadi pada sore sampai pagi hari.

Hari Hujan dan Jumlah Pengunjung Objek Wisata Pantai Aia Manih

Jumlah hari hujan dan tidak hujan diperkirakan dapat menentukan fluktuasi jumlah pengunjung. Jika dalam satu atau beberapa hari berturut-turut terjadi hujan maka permintaan untuk berwisata ke pantai akan menurun. Hal ini disebabkan peminat untuk wisata pantai lebih cenderung melakukan wisata pada saat hari tidak hujan. Jumlah DHB dalam satu bulan memiliki nilai yang hampir sama dengan DHK, karena pola curah hujan Kota Padang Sumatera Barat bertipe ekuatorial, dengan curah hujan hampir tinggi sepanjang tahun. Secara rata-rata, Sumatera Barat selalu memiliki hari hujan dan tidak pernah mengalami bulan kering.

Musim yang digunakan untuk analisis DHB ini adalah musim kemarau di Kota Padang yaitu JJA. Pada musim ini juga jumlah pengunjung pantai dikategorikan sebagai jumlah pengunjung terbesar. Gambar 15 menunjukan hubungan antara jumlah DHB dengan jumlah pengujung Pantai Aia Manih Kota Padang pada empat kategori ambang batas penentuan hari hujan. Korelasi terbesar ditemukan pada kategori hari hujan >10 mm/hari yaitu sebesar 0.7. Jika dilihat secara keseluruhan korelasi dari keempat kategori memiliki nilai yang tidak berbeda jauh yaitu berkisar antara 0.69 sampai dengan 0.71. Hasil ini mengindikasikan bahwa jumlah pengunjung pariwisata memiliki korelasi yang baik pada musim liburan JJA. Kategori hujan yang baik digunakan untuk analisis hari hujan jumlah pengunjung pariwisata adalah hari hujan dengan curah hujan >10 mm/hari.

20

Gambar 15 Hubungan jumlah DHB pada periode musim JJA terhadap jumlah pengunjung pada berbagai kategori ambang batas penentuan hari hujan: a) curah hujan >0.5 mm/hari, b) curah hujan >2.5 mm/hari, c) curah hujan >10 mm/hari, d) curah hujan >20 mm/hari

Gambar 16 Hubungan DHB maksimum dengan jumlah pengunjung pada musim JJA

Gambar 16 menunjukan hubungan jumlah pengunjung musiman dengan deret hari hujan maksimum musiman. Selama pengamatan, tahun 2010 merupakan tahun dengan DHB maksimum musiman berturut-turut mencapai 9 hari. Korelasi antara jumlah pengunjung dengan jumlah pengunjung dengan DHB maksimum cukup besar yaitu 0.82 dan P-value 0.04 dengan taraf nyata 5%. Nilai ini menunjukan jumlah DHB maksimum memiliki pengaruh nyata dan signifikan terhadap peningkatan jumlah pengunjung pada musim libur JJA. Korelasi yang didapat pada pengamatan musim JJA ini memiliki nilai positif. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena curah hujan diurnal di Kota Padang biasanya terjadi

b)

c)

d) a)

21

pada sore sampai pagi hari, sehingga jumlah DHB tidak berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah pengunjung.

IOD dan Keragaman Hujan terhadap Jumlah Pengunjung Objek Wisata Pantai Aia Manih

Curah hujan di wilayah pantai Sumatera bagian Barat dipengaruhi oleh fenomena IOD (Hermawan 2007). IOD dapat meningkatkan keragaman hujan yang akan berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan. IOD memiliki hubungan yang kuat dengan curah hujan TRMM di Sumatera bagian Barat (As-syakur 2011). Jika dibandingkan dengan penelitian ini, ternyata curah hujan dan DMI pada daerah Kota Padang tidak memiliki hubungan yang signifikan. Pada

Time series curah hujan dan DMI (Gambar 17), fluktuasi curah hujan dan DMI tidak memiliki pola keterkaitan yang kuat.

Gambar 17 Time series data anomali curah hujan dan DMI

Pada Pengamatan ini, curah hujan dan DMI memiliki korelasi yang kecil yaitu sebesar negatif 0.14 (Gambar 18). Sesuai dengan penelitian Hermawan (2007) hasil korelasi antara curah hujan dan DMI pada selang pengamatan 1980-1999 didapatkan nilai korelasi positif yang kecil, yaitu sebesar 0.3. Hal ini disebabkan karena Sumatera Barat lebih kuat dipengaruhi oleh fenomena Monsun (Hermawan 2007).

22

Pada saat IOD positif daerah Sumatera Barat, salah satunya Kota Padang memiliki curah hujan di bawah normal yaitu pada musim JJA dan SON, dan secara umum untuk Sumatera Barat fenomena IOD positif memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan IOD negatif (Hermawan 2007). Salah satu dampak nyata dari IOD adalah peningkatan curah hujan pada saat terjadi IOD negatif. Peningkatan curah hujan merupakan salah satu akibat dari variabilitas iklim. Salah satu dari variabilitas iklim tersebut yaitu IOD negatif, berdasarkan penelitian Tjasyono et al. (2008) tahun yang mengalami IOD negatif adalah 1975, 1978, 1984, 1989, 1992 dan 1996.

Gambar 19 Hubungan anomali DMI dengan anomali jumlah pengunjung bulanan IOD memiliki pengaruh yang relatif rendah terhadap jumlah pengunjung objek wisata Pantai Aia Manih Kota Padang yaitu dengan korelasi negatif 0.1 (Gambar 19). IOD negatif terjadi pada saat DMI ≤0.35, dampak yang ditimbulkan curah hujan akan mengalami peningkatan dari rata-rata, dan menyebabkan penurunan jumlah pengunjung objek wisata. Pada saat IOD positif terjadi penurunan curah hujan sehingga secara tidak langsung akan menyebabkan jumlah pengunjung objek wisata pantai meningkat.

SPL dan Jumlah Pengunjung Pariwisata

Sebagai salah satu indikator faktor pengendali keragaman iklim, anomali SPL dapat dijadikan indikator anomali curah hujan di suatu wilayah. Anomali dari SPL dapat menyebabkan curah hujan mengalami fluktuasi, yaitu berupa peningkatan atau penurunan curah hujan. Hal ini didukung oleh interaksi antara laut dan atmosfer dengan media utamanya adalah proses tekanan udara, arah angin, pembentukan awan, dan pergerakanya. Korelasi yang diperoleh dari perbandingan SPL dan jumlah pengunjung objek wisata pantai memiliki kisaran nilai 0.5 sampai dengan -0.5 (Gambar 20). Nilai ini dikategorikan sebagai korelasi yang cukup baik, sehingga dapat dikatakan secara tidak langsung SPL dan jumlah pengunjung objek wisata memiliki keterkaitan tidak langsung yang cukup tinggi.

23

Gambar 20 Sebaran spasial korelasi anomali SPL dengan jumlah pengunjung

Gambar 21 Peta sirkulasi arus laut dunia (sumber: www.noc.com/)

Pada Gambar 20, korelasi yang cukup tinggi dari selang pengamatan terjadi pada daerah 90-100 BT dan 0-20 LU, daerah ini mencakup wilayah Indonesia bagian Barat pada Samudera Hindia, dan Asia bagian Selatan. Faktor yang menyebabkan pada daerah ini memiliki nilai korelasi besar adalah sirkulasi arus laut dunia yang menyebabkan adanya pergerakan dan perpindahan panas dari SPL berupa arus laut. Pada Gambar 21 dapat dilihat arus laut yang melalui daerah yang memiliki korelasi tinggi adalah North Equatorial Current, arus ini merupakan arus yang bergerak dari Timur Samudera Hindia menuju Utara dan Barat Samudera Hindia, yang terjadi pada koordinat 10-200 LU (Philander 2001). Jika dihubungkan dengan Gambar 20, perbedaan SPL pada Samudera Hindia bagian Utara dengan Barat Sumatera mengakibatkan terjadinya pergerakan massa air berupa arus. Jika SPL di Samudera Hindia bagian Utara mengalami peningkatan, maka akan terjadi pergerakan arus menuju daerah tersebut. Aktifitas tersebut dapat mengakibatkan tinggi gelombang pantai pesisir Barat Sumatera mengalami penurunan, sehingga untuk objek wisata pantai situasi ini membuat permintaan wisata pantai akan meningkat.

24

Gambar 22 Hubungan anomali SPL dengan anomali jumlah pengunjung objek wisata terbesar pada koordinat 10 LU 92 BT

Korelasi maksimum terjadi pada daerah Indonesia bagian Barat dan Asia bagian Selatan. Salah satu titik pengamatan yang dipilih secara acak pada koordinat yang memiliki korelasi cukup tinggi adalah pada 10 LU dan 92 BT dengan nilai korelasi sebesar 0.42 (Gambar 22). Pada wilayah Samudera Pasifik daerah Nino 4 (5 LU-5 LS 160-150 BT) korelasi yang diperoleh adalah negatif, sedangkan pada daerah Nino 3 (5 LU-5 LS 150-90 BB) korelasi berkisar 0-0.2. Pada waktu SPL tinggi di daerah Samudera Pasifik, maka akan terjadi perbedaan suhu dan tekanan yang menyebabkan pergerakan arus serta terjadi interaksi antara lautan dengan atmosfer berupa pergerakan awan yang menghasilkan fenomena El-Nino. Dampaknya wilayah Indonesia akan mengalami musim kering yang lebih lama dari pada periode biasanya. Pada saat terjadi El-Nino dengan curah hujan yang rendah, maka jumlah pengunjung akan mengalami peningkatan karena pada saat udara panas dan tidak terjadi hujan biasanya wisatawan lebih cenderung untuk berwisata ke Pantai.

Nilai korelasi yang kecil pada daerah Nino 3 dan Nino 4 menunjukan pengaruh SPL terhadap jumlah pegunjung pada daerah yang berbatasan dengan Samudera Pasifik cukup rendah. Salah satu penyebabnya yaitu topografi daerah

Dokumen terkait