• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat-sifat papan lamina batang kelapa sawit (BKS) yang diuji meliputi sifat fisis dan sifat mekanis. Sifat fisis terdiri dari atas kerapatan, kadar air, daya serap air, pengembangan tebal dan rasio delaminnasi. Sifat mekanis terdiri atas modulus patah (MOR) dan Modulus elastisitas (MOE).

Sifat Fisis Papan Lamina Kerapatan

Hasil penelitian menunjukkan nilai kerapatan papan lamina dari BKS dengan perekat PF berkisar antara 0,46-0,52 g/cm³. Hasil rata-rata kerapatan papan lamina disajikan pada Gambar 5 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 5. Grafik rata-rata kerapatan papan lamina dengan pemadatan

Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa nilai kerapatan papan lamina paling 0,52 0,46 0,47 0,48 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Ker ap at an ( g /cm ³ ) Berat Labur (g/m²) 240 260 280 300

nilai kerapatan paling rendah adalah 0,46 g/cm³ pada berat labur 260 g/m². Nilai kerapatan papan lamina yang dihasilkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kerapatan awal BKS yang berkisar antara 0,34-0,40 g/cm³. Hal ini berarti kerapatan BKS pada penelitian ini sudah mengalami peningkatan.

Peningkatan kerapatan papan lamina pada penelitian ini dipengaruhi beberapa faktor diantaranya bentuk penyusunan lamina. Penyusunan papan

lamina pada penelitian ini disusun dengan cara bagian luar (face and back) berasal dari BKS bagian luar yang keras sedangkan bagian inti (core) berasal dari bagian dalam yang lunak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Risnasari et al., (2012) bahwa papan yang berkerapatan rendah ketika digabungkan dengan papan berkerapatan sedang akan menghasilkan papan lamina dengan kerapatan yang lebih tinggi.

Selain faktor penyusunan, faktor lain yang membuat peningkatan kerapatan pada penelitian ini yaitu faktor pemadatan. Pemadatan bagian dalam lamina dari tebal 2 cm menjadi 1 cm akan menyebabkan dimensi (volume)

mengalami penyusutan, sedangkan berat lamina tidak mengalami perubahaan. Hal ini akan menyebabkan kerapatan papan lamina semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Amin & Dwianto (2006) bahwa kayu yang berkerapatan rendah akan meningkat kerapatanya jika dipadatkan.

Beberapa penelitian juga menunjukan bahwa perlakuan pemadatan dapat meningkatkan nilai kerapatan kayu yang berkerapatan rendah Sulistyono et al., (2003) kerapatan kayu agatis dari 0,43-0,46 g/cm³ pada kayu solid menjadi 0,70-0,85 gr/cm³. Hasil yang sama juga diperoleh pada pemadatan kayu kelapa dari

kerapatan 0,40-0,57 g/cm³ menjadi 0,42-0,69 g/cm³ dengan rataan 0,53 g/cm³ atau terjadi kenaikan kerapatan berkisar 4,43-27,21% (Wardhani, 2003).

Nilai kerapatan papan lamina pada penelitian ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan kerapatan balok laminasi dari kayu Eucalyptus grandis yaitu 0,62-0,65 g/cm³ (Pasaribu, 2011) dan kayu kemiri kerapatanya berkisar antara 0,62-0,65 g/cm³ Risnasari et al., (2011). Rendahnya nilai kerapatan yang dihasilkan ini dikarenakan bahan baku penyusun lamina dari BKS memiliki kerapatan rendah. Pada penelitian ini menggunakan bagian tepi BKS dengan kerapatan 0,36-0,4 g/cm³ dan bagian tengah BKS dengan kerapatan 0,26-0,28 g/cm³. Sedangkan kayu Eucalyptus grandis memiliki kerapatan 0,35-0,65 g/cm³ (Pasaribu, 2011), kayu kelapa berkerapatan 0,4-0,5 g/cm³ (Wardhani, 2003) dan kayu kemiri berkerapatan 0,31-0,44 g/cm³ (Risnasari et al., 2011). Kerapatan bahan baku yang tinggi akan menghasilkan kerapatan papan lamina yang tinggi juga.

Selain itu, faktor yang menentukan nilai kerapatan papan lamina adalah berat labur. Pada penelitian ini berat labur yang digunakan berkisar 240-300 g/m². Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat kerapatan yang dihasilkan dari variasi berat labur tidak jauh berbeda sehingga disimpulkan bahwa variasi berat labur tidak mempengaruhi nilai kerapatan papan lamina dari BKS. Nilai kerapatan papan lamina pada penelitian ini diduga lebih dipengaruhi oleh faktor pemadatan dan penyusunan papan lamina. Secara umum dengan meningkatnya berat labur maka kerapatan juga akan mengalami peningkatan.

karena kerapatan yang diperoleh pada penelitian ini tidak jauh berbeda. Hal ini berarti bahwa berat labur tidak memberikan pengaruh terhadap nilai kerapatan (Lampiran 5).

Kadar Air

Hasil penelitian kadar air papan lamina menunjukan bahwa nilai kadar air papan lamina dari BKS dengan perekat PF berkisar antara 8,03-9,21%. Hasil rata-rata nilai KA disajikan pada Gambar 6 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.

Gambar 6. Grafik rata-rata kadar air papan lamina dengan pemadatan Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa kadar air paling tinggi pada berat labur 300 g/m² dengan kadar air 9,21% dan paling rendah pada berat labur 260 g/m² dengan kadar air 8,03%. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan dari berat labur 240 g/m² ke berat labur 260 g/m² dan kemudian mengalami peningkatan pada berat labur 280 g/m² dan 300 g/m². Berdasarkan JAS 243:2003, nilai kadar air papan lamina dengan menggunakan berat labur dan pemadatan memenuhi standar yang mensyaratkan nilai kadar air papan lamina

8,55 8,03 8,35 9,21 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kad ar Ai r ( % ) Berat Labur (g/m²) 240 260 280 300 JAS 243:2003 KA = Maks15%

Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini tergolong rendah yaitu 8,55-9,21% bila dibandingkan dengan kadar air papan lamina kombinasi mahoni dan sawit yaitu 11,30-11,90% (Ginting, 2012) dan lamina dari kayu mangium yaitu 12,2-12,8% (Herawati et al., 2008). Hal ini karena proses pengempaan dalam penelitian ini menggunakan kempa panas.

Penggunaan suhu kempa panas yang digunakan adalah 150 °C selama 15 menit untuk pematangan perekat. Akibat dari perlakuan panas ini, kadar air papan lamina turun menjadi kadar air 8,55-9,21%. Sedangkan penelitian sebelumnya (Ginting, 2012) dan Herawati et al., (2008) menggunakan kempa dingin.

Selain faktor pemadatan dan proses pematangan perekat, nilai kadar air juga dipengaruhi berat labur. Cahyadi et al., (2012) menyatakan bahwa semakin banyak kadar perekat maka papan yang dihasilkan akan semakin kedap air. Sehingga papan yang dihasilkan tidak banyak menyerap uap air dari udara setelah pengempaan dan pengkondisian (conditioning)papan lamina mencapai kondisi kadar air kesetimbangan. Tetapi pernyataan Cahyadi et al., (2012) tersebut berbanding terbalik dengan hasil pada penelitian ini. Gambar 6 menunjukan dari berat labur 280 ke berat labur 300 g/m² mengalami peningkatan dan berat labur 300 g/m² nilai kadar airnya paling tinggi. Hal senada juga disampaikan oleh Oka (2005) bahwa nilai kadar air balok laminasi bambu petung perekat UF dengan sistem kempa dingin yaitu mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya jumlah perekat yang digunakan. Namun kadar air penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian Oka (2005) dengan kadar air berkisar antara 10,78-10,96% dan penelitian Cahyadi et al., (2012) dengan kadar air berkisar

Dari keempat variasi berat labur tersebut, berat labur yang optimal yaitu berat labur 260 g/m² karena memiliki nilai kadar air paling rendah. Hasil analisis ragam juga menunjukan bahwa variasi berat labur tidak mempengaruhi nilai kadar air papan lamina (Lampiran 6). Hal ini berarti variasi berat labur tidak

memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kadar air.

Daya Serap Air

Hasil pengujian daya serap air papan lamina menunjukan bahwa nilai daya serap air papan lamina dari batang kelapa sawit (BKS) dengan perekat PF berkisar antara 79,38-88,05%. Hasil rata-rata nilai daya serap air papan lamina BKS disajikan pada Gambar 7 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.

Gambar 7. Grafik rata-rata daya serap air papan lamina dengan pemadatan

Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai daya serap air papan lamina paling tinggi terdapat pada berat labur 300 g/m² yaitu 88,05% dan yang paling rendah pada berat labur 260 g/m² yaitu 79,38%. Nilai daya serap air mengalami penurunan dari berat labur 240 g/m² ke berat labur 260 g/m² dan mengalami

84,23 79,38 85,61 88,05 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 Day a S er ap Ai r ( % ) Berat Labur g/m² 240 260 280 300

Berdasarkan JAS 243:2003 tidak mensyaratkan nilai daya serap air, akan tetapi uji daya serap air perlu dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku mempunyai sifat menyerap air atau tidak sehingga untuk menentukan aplikasi penggunaan papan lamina ini, apakah layak digunakan pada eksterior.

Daya serap air papan lamina yang diperoleh cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena bahan baku yang digunakan pada pembuatan papan lamina terbuat dari batang kelapa sawit. Menurut Bakar (2003) salah satu masalah serius dalam pemanfaatan batang kelapa sawit adalah kadar air yang tinggi yang terdapat pada batang kelapa sawit mencapai 156-365%. Hal ini juga didukung oleh

pernyataan Balfas (1998) yang menyatakan bahwa salah satu masalah serius dari pemanfaatan BKS adalah sifat higroskopis yang berlebihan sehingga faktor tersebut menyebabkan papan lamina yang dihasilkan menyerap air sangat banyak. Kerapatan bahan baku BKS yang rendah menunjukan bahwa jaringan parenkim lebih banyak dibandingkan dengan jaringan vascular bundles.

Selain faktor bahan baku dan perekat, daya serap air pada penelitian ini juga dipengaruhi berat labur. Cahyadi et al., (2012) menyatakan bahwa semakin banyak kadar perekat yang digunakan maka papan yang dihasilkan semakin kedap air. Hasil nilai daya serap air pada penelitian ini berbanding terbalik dengan pernyataan Cahyadi et al., (2012) tersebut. Gambar 6 menunjukan semakin tinggi berat laburnya maka semakin tinggi nilai daya serap airnya dan daya serap air tertinggi dihasilkan pada berat labur 300 g/m². Hal ini diduga terjadi karena pada saat pelaburan terjadi pengentalan dan pengerasan sehingga kurangnya ikatan antara perekat dan lamina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Blass et

kerusakan. Pizzi (1983) juga menambahkan berat labur yang terlalu tinggi akan mengurangi kekuatan rekat, karena akan memberikan penebalan pada garis rekat yang matang.

Berdasarkan analisis ragam daya serap air papan lamina menunjukan bahwa pengaruh berat labur tidak berpengaruh nyata pada nilai daya serap air papan lamina yang dihasilkan (Lampiran 7). Hal ini berarti bahwa nilai daya serap air tidak dipengaruhi oleh berat labur yang digunakan.

Pengembangan Tebal

Pengembangan tebal adalah besaran yang menyatakan pertambahan tebal contoh uji dalam persen terhadap tebal awalnya setelah contoh uji direndam dalam air dingin selama 24 jam. Rata-rata nilai pengembangan tebal papan lamina dari batang kelapa sawit dengan perekat PF adalah pada Gambar 8 dan data selengkapnya. Lampiran 2.

Gambar 8. Grafik rata-rata pengembangan tebal papan lamina dengan pemadatan Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa nilai pengembangan tebal papan lamina antara 8.36-13,20%. Berdasarkan JAS 243: 2003 nilai pengembangan tebal yang diisyaratkan maksimal 14% maka semua papan memenuhi standar. Dari

13,20 8,60 8,36 9,45 0 2 4 6 8 10 12 14 P enge m ba nga n T eba l ( % ) Berat Labur g/m² 240 260 280 300 JAS 243:2003 KA = Maks14%

hasil pengembangan tebal diatas nilai terendah terdapat pada berat labur 280 g/m² dan nilai tertinggi terdapat pada berat labur 240 g/m². Nilai pengembangan tebal yang dihasilkan pada berat labur 240 g/m² cukup besar. Hal ini diduga karena garis rekat yang terlalu tipis masih bisa dilewati air. Dari hasil tersebut berarti stabilitas dimensinya baik, sehingga memungkinkan untuk penggunaan eksterior.

Dari hasil penelitian yang dilakukan nilai pengembangan tebal tersebut termasuk rendah walaupun bahan pembuatan papan lamina terbuat dari batang kelapa sawit yang memiliki daya serap air yang cukup tinggi. Salah satu faktor pengembangan tebal papan lamina ini rendah yaitu faktor perekat, dimana perekat yang digunakan dalam pembuatan papan lamina ini adalah perekat PF. Perekat ini tahan terhadap perlakuan air, tahan terhadap kelembapan dan temperatur tinggi, tahan terhadap bakteri, jamur, rayap dan mikroorganisme serta tahan terhadap bahan kimia, seperti minyak, basa, dan pengawet kayu (Ruhendi et al., 2007).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan nilai pengembangan tebal papan lamina dari batang kelapa sawit dengan menggunakan perekat PF. Nilai terbaik yang dihasilkan adalah pada variasi berat labur 260 g/m². Hal ini berarti bahwa berat labur tersebut yang digunakan tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak, sehingga pada saat pengempaan perekat tersebut lebih matang dan

menyebar ke seluruh permukaan papan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cahyadi et al., (2012) yang menyatakan bahwa semakin banyak berat labur maka semakin rendah pula pengembangan tebalnya karena papan tersebut akan semakin kedap air karena lapisan perekat menyebar ke seluruh permukaan papan.

pada saat pengempaan perekat tidak menyebar ke semua permukaan. Sedangkan berat labur 300 g/m² nilai pengembangan tebal yang didapat juga terlalu tinggi ini disebabkan karena terlalu banyak perekat yang digunakan sehingga pada saat perekatan dan pengempaan banyak perekat yang mengental dan mengeras. Hal ini sesuai dengan pernyataan Blass et al., (1995) mengatakan bahwa garis rekat yang lebih dari 0,1 mm akan mengalami keretakan.

Hasil analisis ragam pengembangan tebal (Lampiran 8) papan lamina menjelaskan bahwa berat labur memberikan pengaruh nyata terhadap

pengembangan papan lamina tersebut. Hal ini berarti bahwa perlakuan berat labur memberikan respon terhadap pengembangan tebal. Berdasarkan hasil uji Duncan memperlihatkan bahwa berat labur 260, 280 dan 300 g/m² tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan berat labur 240 g/m² (Lampiran 9). Hal ini berarti berat labur terbaik pada penelitian ini adalah berat labur 260 g/m² karena pengembangan tebalnya paling rendah.

Uji Deliminasi

Delaminasi merupakan kerusakan pada bidang rekat papan laminasi. Penyebab terjadinya delaminasi diakibatkan perendaman air dan kurangnya pengempaan terhadap papan lamina. Adapun nilai rata-rata rasio deliminasi adalah 0% . Hasil dari rata-rata ratio deliminasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai rasio papan lamina

Berat labur (g/m²) Nilai rata-rata ratio deliminasi (%)

240 0

300 0

Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata dari delaminasi ratio adalah 0%. Menurut standar JAS 243: 2003 mensyaratkan nilai rasio delimanasi tidak lebih dari 10%. Hal ini menunjukan bahwa nilai ratio deliminasi pada penelitian ini memenuhi standar.

Salah satu faktor yang mempengaruhi yang nilai deliminasi memenuhi standar yaitu jenis perekat. Perekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perekat PF yang memiliki keunggulan tahan terhadap air dan temperatur tinggi sesuai dengan pernyataan Ruhendi et al., (2007). Achmadi (1990) menambahkan bahwa kelebihan perekat PF adalah viskositas resin yang cukup rendah yang memungkinkan penetrasi ke dalam pori-pori kayu sehingga kekuatan kohesif dari resin melebihi kekuatan resin dari kayu dan membentuk ikatan perekatan yang baik pada papan yang dihasilkan.

Selain faktor perekat, faktor pelaburan perekat juga berpengaruh terhadap nilai ratio delaminasi yang dihasilkan. Pada penelitian ini pelaburan perekat menggunakan pelaburan perekat dua sisi (double spread) sehingga menghasilkan ikatan yang baik antara perekat dan papan lamina dari BKS. Selbo (1975) dalam Prayitno (1996) menjelaskan bahwa untuk mendapatkan ikatan yang baik antar perekat dengan papan maka sebaiknya digunakan pelaburan perekat pada kedua sisi permukaan (double spread).

Dari hasil penelitian ini berarti perekat PF telah mampu bertahan dalam kondisi ekstrim sesuai dengan Vick (1999) yang menyatakan bahwa uji

delaminasi merupakan indikator ketahanan perekat terhadap adanya tekanan pengembangan dan penyusunan akibat kelembapan dan panas yang tinggi.

Faktor lain yang mempengaruhi rasio delaminasi pada penelitian ini adalah berat labur. Perlakuan berat labur 240 g/m², 260 g/m², 280 g/m² dan 300 g/m² menghasilkan nilai delaminasi yang sama yaitu 0%. Hal ini diduga karena berat labur perekat yang digunakan menutupi bagian yang dilaburi dan menembus struktur kayu sehingga pada saat pengempaan kekuatan rekatnya matang dan tidak mengalami kerusakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Vick (1999) yang

mengatakan bahwa perekat harus memiliki sifat keterbasahan yang tinggi dan viscositas yang akan menghasilkan aliran kapiler untuk menembus struktur kayu.

Perlakuan berat labur dalam penelitian ini sangat baik dengan uji

delaminasi 0%. Hal ini berarti perekat yang digunakan dengan berbagai macam berat labur tidak menyebabkan perenggangan diantara lapisan papan lamina. Hasil ini menunjukan bahwa perekat PF dapat digunakan untuk keadaan yang ekstrim atau digunakan untuk eskterior.

Sifat Mekanis Papan Laminasi Modulus of Elasticity (MOE)

Hasil pengujian modulus of elasticity(MOE) papan lamina menunjukan bahwa nilai MOE papan laminasi dari batang kelapa sawit dengan perekat PF berkisar antara 32.661-49.041 kg/cm². Hasil rata-rata MOE papan lamina dapat dilihat pada Gambar 9 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 9. Grafik rata-rata MOE papan laminasi dengan pemadatan

Pada Gambar 9 terlihat bahwa nilai MOE tertinggi diperoleh pada

perlakuan berat labur 240 g/m² yaitu 49.041 kg/cm² dan nilai MOE terendah pada perlakuan berat labur 280 g/m² yaitu 32.661 kg/cm². Selain itu, terlihat juga bahwa seluruh nilai MOE papan lamina tidak memenuhi standar JAS 243:2003 yang mensyaratkan 75.000 kg/cm2.

Nilai MOE yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan papan lamina dari kayu mangium dengan nilai MOE 84.100-136.700 kg/cm² (Herawati, 2008) dan karakteristik glulam dari dua jenis kayu pinus dan jabon nilai MOE berkisar antara 75.677-79.412 kg/m² (Sari, 2011). Salah satu faktor yang diduga

49.041 33.380 32.661 34.155 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 M OE ( Kg /cm ² ) Berat Labur g/m² 240 260 280 300 JAS 243:2003 MOE >75.000kg/cm²)

baku, dimana kerapatan awal BKS umur 25 tahun adalah 0,34-0,4 g/cm³ bagian tepi dan 0,26-0,28 g/m³ bagian tengah.Sedangkan kayu mangium memiliki kerapatan 0,43-0,66 g/cm³, jabon memiliki kerapatan 0,53-0,61 g/cm³ dan kayu pinus berkerapatan 0,41-0,5 g/cm³ (PIKA, 1979). Walker (1993) menyatakan faktor yang mempengaruhi kekuatan kayu adalah kerapatan. Kayu yang berkerapatan tinggi mempunyai kekuatan yang lebih besar.

Herawati (2008) menyatakan bahwa nilai MOE tidak dipengaruhi oleh ukuran lebar lamina tetapi lebih pada kondisi lamina terutama adanya cacat mata kayu atau serat miring. Selain dipengaruhi oleh sifat-sifat kayunya, kualitas perekatan pada penelitian juga dipengaruhi oleh proses pengempaan.

Proses pemadatan yang meningkatkan kerapatan BKS belum mampu meningkatkan nilai MOE pada penelitian ini. Hal ini terjadi karena BKS yang dipadatkan mempunyai kerapatan rendah berkisar antara 0,26-0,28 g/cm³ yang diambil dari bagian lunak BKS. Killman dan Koh (1998) menyatakan bahwa kayu yang banyak mengandung sel parenkim dan rongga akan mempunyai kekuatan patah yang rendah (rapuh). Di sisi lain, perbedaan struktur sel parenkim

menyebabkan kerusakan pada sel parenkim akibat pemadatan.

Selain faktor pemadatan, bahan baku nilai MOE pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh berat labur. Berdasarkan Gambar 9 menunjukan bahwa semakin tinggi berat laburnya maka nilai MOE-nya semakin rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian Oka (2005) analisis perekat terlabur pada pembuatan balok laminasi bambu petung, Didalam penelitian tersebut semakin tinggi berat laburnya maka semakin tinggi nilai MOE-nya. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Cahyadi et al., (2012) pembuatan bambu laminasi dengan perekat water

based polymer isocyanate yang diencerkan dengan metanol nilai MOE-nya meningkat seiring dengan bertambahnya kadar perekat yang digunakan.

Berat labur 240 g/m² merupakan berat labur terendah pada penelitian ini tetapi nilai MOE-nya paling tinggi, hal ini diduga perekat mampu melaburi permukaan lamina dan perekat mampu menembus struktur kayu dan tidak mengalami kerusakan pada saat pengempaan panas sehingga menigkatkan kekuatan MOE-nya. Berbeda dengan berat labur 260 g/m², 280 g/m² dan 300 g/m², pada berat labur tersebut nilai MOE yang dihasilkan hampir sama yaitu berkisar antara 33.380-34.155 kg/cm². Rendahnya nilai MOE pada berat labur tersebut diduga pada saat pelaburan perekat tidak mampu melaburi semua permukaan karena terjadi pengentalan. Sari (2008) mengatakan bahwa pada saat perekat tidak dapat membasahi permukaan kayu yang direkat maka akan terjadi perekatan yang lemah sehingga persentase kerusakan juga akan semakin besar. Hal ini juga didukung Pizzi (1983) mengatakan bahwa semakin banyak kadar perekat yang digunakan akan mengurangi kekuatan rekat pada lamina.

Berdasarkan hasil analisis ragam kekuatan lentur, diketahui bahwa semua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap keteguhan lentur (Lampiran 10). Hal ini berarti bahwa berat labur tidak memberikan pengaruh pada nilai MOE.

Modulus of Rupture (MOR)

perekat PF berkisar antara 176,81-312,87 kg/cm². Hasil rata-rata MOR papan lamina dapat dilihat pada Gambar 10 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 10. Grafik rata-rata MOR papan laminasi dengan pemadatan

Pada Gambar 10 terlihat bahwa nilai MOR tertinggi diperoleh pada berat labur 240 g/m² yaitu 312.87 kg/cm², sedangkan nilai MOR terendah adalah pada berat labur 280 g/m² yaitu 176.81 kg/cm². Papan lamina yang memenuhi standar JAS 243:2003 yang mensyaratkan nilai MOR papan lamina minimal 300 kg/cm² adalah papan lamina dengan berat labur 240 g/m² dengan nilai MOR 312,87 kg/cm². Papan lamina yang tidak memenuhi syarat nilai MOR adalah perlakuan berat labur 260, 280 dan 300 g/m².

Hasil nilai MOR pada penelitian ini cukup rendah bila dibandingkan dengan penelitian Ginting (2012) yang menggunakan kombinasi BKS dan mahoni menjadi papan laminasi dengan perekat isosianat dengan nilai MOR rata-rata 385 kg/cm², papan laminasi dari eukaliptus dengan nilai MOR sebesar420

312,87 180,77 176,81 181,30 0 50 100 150 200 250 300 350 M OR ( Kg /cm ² ) Berat Labur g/m² JAS 243:2003 MOR> 300kg/cm² 240 260 280 300

kg/cm2(SinagadanHadjib,1989) dan karakteristik balok laminasi dari kayu

mangium (Acasia mangium) nilai MOR sebesar 516-687 kg/cm² (Herawati et al., 2008).

Rendahnya nilai MOR pada penelitian ini bila dibandingkan dengan penelitian lain karena penelitian lain bahan baku pembuatan lamina kerapatannya lebih tinggi dibandingkan BKS. Kerapatan BKS bagian tepi pada penelitian ini berkisar antara 0,34-0,4 g/cm³ sedangkan bagian tengah 0,26-0,28 g/cm².

Sedangkan kayu mahoni mempunyai kerapatan 0,53-0,72 g/cm³ (Ginting, 2012), kayu eucalyptus 0,35-0,65 g/cm³ (Pasaribu, 2011) dan Acasia mangium

kerapatanya 0,43-0,66 g/cm³ (Herawati et al., 2008). Hal ini sesuai dengan Tsoumis (1991) dalam Herawati et al., (2008) yang menyatakan kayu yang memiliki kerapatan lebih tinggi akan memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu yang kerapatanya lebih rendah. Menurut PKKI NI-5 1961 dalam Setiawan (2011) terdapat hubungan antara jenis, berat kayu dan kekuatan sehingga semakin berat kayu maka kekuatan kayu tersebut mengalami peningkatan.

Perbedaan nilai MOR yang dihasilkan terutama karena karakteristik bahan bakunya. Penyusunan lamina dari BKS yang digunakan berkerapatan rendah. Bagian luar lamina berkerapatan 0,34-0,4 g/cm³ sedangkan bagian dalam yang dipadatkan berkerapatan 0,26-0,28 g/cm³. Selain itu, struktur penyusunan BKS terdiri dari Vascular bundle dan parenkim. Kerapatan vascular bundle menurun dari bagian tepi kearah pusat batang, sebaliknya kerapatan parenkim meningkat dari bagian tepi kearah pusat batang. Dominasi parenkim pada BKS akan

Dokumen terkait