• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstraksi DNA

Analisis DNA dimulai dengan melakukan ekstraksi DNA yang berasal dari jaringan daun. Alasan pemilihan jaringan daun, karena jaringan ini lebih mudah diekstrak dibandingkan dengan jaringan yang lain, seperti akar, kayu dan jaringan lainnya. Ekstrasi DNA dilakukan berdasarkan prosedur yang dikeluarkan oleh

Qiagen dengan menggunakan metode Dneasy Plant Mini Kit. Ekstraksi DNA ini

meliputi 3 tahapan penting, yaitu presipitasi (presipitation), pencucian (washing)

dan ellution. Contoh hasil ekstraksi DNA ditunjukkan pada agaros gel yang dapat divisualisasi di bawah sinar ultraviolet (Gambar 8).

Gambar 8. Hasil Ekstraksi DNA S. leprosula

DNA hasil ekstraksi merupakan DNA total, yang terdiri dari DNA inti, DNA mitokondria dan DNA kloroplas. Untuk menganalisis cpDNA maka dilakukan proses amplifikasi PCR dengan menggunakan primer universal kloroplas yang hanya dapat mengamplifikasi secara spesifik fragmen- fragmen di cpDNA saja. CpDNA dipelajari karena lebih kecil, lebih mudah diisolasi dan strukturnya lebih sederhana dibandingkan dengan DNA mitokondria (mtDNA) (Banks dan Birky,1985).

terlebih dahulu. Hal ini dilakukan karena DNA S. leprosula mempunyai kandungan fenol yang tinggi. Kandungan fenol yang tinggi ini dapat menyebabkan terhambatnya kerja primer, sehingga hasil amplifikasi kurang maksimal bahkan tidak berhasil (tidak ada pita). Pengenceran dilakukan berdasarkan pengamatan visual dari terang tidaknya pita DNA hasil ekstraksi. Berdasarkan hasil optimasi, pita yang terang dilakukan pengenceran sebanyak 40

kali, artinya 1 µl DNA ekstraksi diencerkan dengan menambahan H2O steril

sebanyak 39 µl. Sedangkan untuk DNA yang kurang terang dilakukan

pengenceran sebanyak 20 kali (1 µl DNA ekstrasi ditambah 19 µl H2O steril) dan

10 kali (1 µl DNA ekstraksi ditambah 9 µl H2O steril) (Gambar 7). DNA hasil

pengenceran ini yang akan dijadikan sebagai template dalam proses amplifikasi

PCR.

Gambar 9. Elektrophoresisis cpDNA dengan berbagai pengenceran DNA dari S. leprosula

Amplifikasi dengan PCR

Keberhasilan amplifikasi dengan PCR lebih didasarkan pada kesesuaian primer yang digunakan, efisiensi dan optimasi pelaksanaan PCR. Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran, atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang

diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam

mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah, dapat menyebabkan belum terbukanya DNA utas ganda sehingga tidak dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru. Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak terjadi, atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya. Akibatnya dapat teramplifikasi banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan ini ditentukan berdasarkan primer yang digunakan dan dipengaruhi oleh panjang dan komposisi primer. Faktor- faktor yang mempengaruhi jalannya amplifikasi PCR diantaranya adalah karakter individual contoh DNA, komposisi premiks PCR, kotoran, suhu dan waktu masing- masing fase, pemilihan primer spesifik dan jumlah siklus amplifikasi.

Penggunaan primer universal petB, psaA, trnLF dan rbcL dapat

mengamplifikasi cpDNA S. leprosula dengan baik (Indrioko, 2005). Panjang

fragmen hasil amplifikasi PCR berkisar 1700 bp dengan menggunakan primer

petB, 2100 bp dengan primer psaA, 1100 bp dengan primer trnLF dan 1300

dengan menggunakan primer rbcL yang ditunjukkan melalui elektroforesis gel

Gambar 10. Elektroforegram hasil PCR cpDNA dengan berbagai primer :

(a) petB, (b) psaA, (c) trnLF, (d) rbcL, M = marker bond

Uji Polimorfisme

Uji polimorfisme bertujuan untuk mencari kombinasi perlakuan dari primer dan enzim restriksi yang menghasilkan pola pemotongan yang beragam (variasi). Dalam uji ini cpDNA hasil amplifikasi PCR dipotong dengan menggunakan enzim restriksi yang dikenal sebagai teknik PCR-RFLP. Teknik ini sangat sederhana, cepat dan ekonomis, memiliki kisaran 50-3000 bp yang dapat dibedakan dan lebih sesuai bagi individu yang ditangani dalam jumlah banyak

(Hillis et al, 1996). 2.642 bp 1.700 bp 1.500 bp 1.000 bp 500 bp

M Haur Bentes Tering Asialog Pasir Mayang Bukit Tigapuluh Nanjak Makmur Sari Bumi Kusuma ITCI Darmaga Bukit Bangkirai Sumalindo Carita 1 Carita 2

2.642 bp 2.100 bp 1.500 bp 1.000 bp

500 bp

M Haur Bentes Tering Asialog Pasir Mayang Bukit Tigapuluh Nanjak Makmur Sari Bumi Kusuma ITCI Darmaga Bukit Bangkirai Sumalindo Carita 1 Carita 2

500 bp 1.300 bp 1.500 bp 2.642 bp

M Haur Bentes Tering Asialog Pasir Mayang Bukit Tigapuluh Nanjak Makmur Sari Bumi Kusuma ITCI Darmaga Bukit Bangkirai Sumalindo Carita 1 Carita 2

(a) (b)

(d)

500 bp

M Haur Bentes Tering Asialog Pasir Mayang Bukit Tigapuluh Nanjak Makmur Sari Bumi Kusuma ITCI Darmaga Bukit Bangkirai Sumalindo Carita 1 Carita 2

(c)

1.100 bp 2642 bp

Pada prinsip penggunaan primernya, PCR-RFLP mirip dengan RAPD (random amplied polymorphic DNA). Namun perbedaannya untuk melihat polimorfisme dalam genom organisme, pada PCR-RLFP digunakan juga enzim pemotong tertentu. Enzim ini bersifat spesifik, sehingga enzim ini akan memotong situs tertentu yang dikenali sesuai dengan urutan basanya. Situs enzim pemotong dari genom suatu kelompok organisme yang kemudian berubah karena

mutasi titik atau berpindah karena penyusunan kembali gentiknya (genetic

rearrangement) dapat menyebabkan situs tersebut tidak dikenali lagi oleh enzim, atau enzim restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya fragmen- fragmen DNA yang berbeda ukurannya dari satu organisme ke organisme lainnya. Polimorfisme ini selanjutnya digunakan untuk membuat dendrogram untuk melihat kekerabatan kelompok.

RFLP dapat diamati bila sebagian besar dari DNA dipotong (dicerna) menjadi fragmen- fragmen atau potongan-potongan kecil. Potongan-potongan tersebut dapat dipisahkan secara elektroforesis. Variasi cpDNA ini ditunjukkan

oleh ada tidaknya situs pengenal (recognition sites) untuk enzim spesifik

(Finkeldey, 2005).

cpDNA dihasilkan dari amplifikasi PCR dengan menggunakan 4 macam primer. Hasil amplifikasi tersebut kemudian dipotong dengan menggunakan 10 macam enzim restriksi. Enzim restriksi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Alu I, HinF I, Rsa I, Taq I, Cfo I, Msp I, Dra I, BamH I, Hind III dan Pst I.

Hasil pemotongan kemudian diinterpretasikan pada gel agaros melalui teknik elektroforesis (Gambar 9).

Gambar 11. Elektroforegram hasil uji polimorfisme : (a) psaA-pst I (monomorfik), (b) petB-Hinf I (monomorfik), (d) rbcL-Alu I (polimorfik), M= marker bond

Gambar 11a menujukkan bahwa dari hasil analisis dengan menggunakan

primer psaA dan dipotong dengan enzim restriksi Pst I tidak terjadi pemotongan.

Hal ini disebabkan tidak ada urutan basa TGCA↓G yang dikenali oleh enzym

Pst I sehingga tidak terjadi pemotongan. Keadaan dimana tidak adanya

pemotongan dan tidak ada variasi dinamakan monomorfik. Pada Gambar 11b

yang menggunakan primer petB dan dipotong oleh Hinf I, telah terjadi

pemotongan, karena terdapat urutan basa G↓ANTC, namun dari hasil pemotongan

tersebut tidak menunjukkan adanya variasi cpDNA, dimana pola potongan yang dihasilkan adalah sama pada setiap populasi yang diuji. Keadaan seperti ini juga

290 bp 210 bp 150 bp 2.642 bp 1.000 bp 650 bp 500 bp 2.642 bp 2.100 bp 1.500 bp 1.000 bp 500 bp

M Haur Bentes Tering Asialog Pasir Mayang Bukit Tigapuluh Nanjak Makmur Sari Bumi Kusuma ITCI Darmaga Bukit Bangkirai Sumalindo Carita 1 Carita 2

(a)

M Haur Bentes Tering Asialog Pasir Mayang Bukit Tigapuluh Nanjak Makmur Sari Bumi Kusuma ITCI Darmaga Bukit Bangkirai Sumalindo Carita 1 Carita 2

(b) 2.642 bp 1.500 bp 1.000 bp 350 bp 120 bp 180 bp 220 bp 250 bp 450 bp 500 bp

M Haur Bentes Tering Asialog Pasir Mayang Bukit Tigapuluh Nanjak Makmur Sari Bumi Kusuma ITCI Darmaga Bukit Bangkira

i

Sumalindo Carita 1 Carita 2

dinamakan monomorfik. Gambar 11b yang menggunakan primer rbcL dan enzim

restriksi Alu I menghasilkan pola pita yang polimorfik, selain ada pemotongan

juga ada variasi dari pola potongan tersebut. Hasil uji polimorfisme secara keseluruhan dari kombinasi perlakuan yang diuji disajikan pada Tabel 5

Tabel 5. Hasil uji polimorphisme

Primer Enzim

Restriksi petB psaA trnL rbcL

Alu I - - - + HinF I - - - - Rsa I - - - - Taq I - - - - Cfo I - - - - Msp I - - - - Dra I - - - - BamH I - - - - Hind III - - - - Pst I - - - - Keterangan : - monomorfik + polimorfik

Hasil uji polimorfik melalui pemotongan dengan menggunakan sepuluh enzim restriksi menunjukkan bahwa hampir di semua perlakuan mempunyai pola pita yang sama (monomorfik). Pola pita yang sama tersebut menunjukkan tidak terdapatnya variasi DNA dengan menggunakan perlakuan tersebut. Tidak terdapatnya pemotongan, berarti tidak ditemukannya urutan basa yang dapat dikenali oleh enzim restriksi tertentu. Hal ini menujukkan tidak adanya variasi cpDNA. Pola pita yang bervariasi (polimorfik) ditemukan dengan mengunakan

kombinasi perlakuan primer rbcL yang dipotong dengan menggunakan enzim

restriksi Alu1 yang mengenali situs AG↓CT dan menghasilkan dua tipe

pemotongan (polimorf), yaitu menjadi 3 potongan dan 4 potongan (Gambar 12). Variasi pemotongan oleh enzim restriksi ini menghasilkan haplotipe.

2.642 bp 1.500 bp 1.000 bp 500 bp 450 bp 350 bp 250 bp 220 bp 180 bp 130 bp Haploti pe 2 Haploti pe 1

M Haur Bentes Tering Asialog Pasir Manyang Bukit Tigapuluh Nanjak Makmur Sari Bumi Kusuma ITCI Darmaga Bukit Bangkirai Sumalindo Carita 1 Carita 2

M Haur Bentes Tering Asialog Pasir Manyang Bukit Tigapuluh Nanjak Makmur Sari Bumi Kusuma ITCI Darmaga Bukit Bangkirai Sumalindo Carita 1 Carita 2

Gambar 12. Elektroforegram hasil pemotongan cpDNA dengan menggunakan

kombinasi perlakuan rbcL-Alu 1

Haplotipe yang ditemukan pada kombinasi rbcL- Alu 1 dalam suatu

populasi maupun antar populasi dapat disebabkan akibat terjadinya pergantian,

penambahan atau hilangnya basa tertentu pada urutan basa cpDNA S. leprosula

sehingga tidak memotong pada situs yang sama. Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran situs pemotongan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat

2.642 bp 1.500 bp 1.000 bp 500 bp 450 bp 350 bp 250 bp 220 bp 180 bp 120 bp

perbedaan urutan pasangan basa pada ind ividu yang mempunyai tipe pemotongan basa yang berbeda. Fenomena ini mengindikasikan terdapatnya keragaman genetik di dalam populasi dan antar populasi.

Setelah dilakukan uji polimorfik, maka dilakukan uji lanjutan pada perlakuan yang mempunyai pola pita yang bervariasi, yaitu pada kombinasi

perlakuan rbcL dan Alu I, karena kombinasi perlakuan ini mampu membedakan

individu S. leprosula. Uji lanjutan berupa pengecekan ulang untuk memastikan

bahwa contoh yang diteliti adalah S. leprosula. Pengecekan ini menggunakan

herbarium dan dilakukan di Herbarium Bogoriense. Apabila hasil pengecekan

menyatakan bahwa contoh tersebut adalah S. leprosula, kemudian dilakukan

analisis. Analisis dimulai dengan memberikan nilai pada situs pemotongan yang berupa pita-pita DNA berdasarkan ada tidaknya situs pemotongan. Hasil analisis kemudian ditransformasikan dengan menggunakan angka biner, hasil transformasi tertera pada Lampiran 3. Nilai tersebut kemudian diolah dengan bantuan program

komputer untuk mencari variasi cpDNA S. leprosula di Indonesia.

Keragaman intra populasi

Tabel 6. menunjukkan hasil dari pemotongan cpDNA dengan

menggunakan rbcL-Alu I yang teridentifikasi berdasarkan PCR-RFLP pada 65

contoh di 13 populasi yang menghasilkan 2 haplotipe Tabel 6. Keseluruhan

elektroforegram hasil analisis PCR dengan menggunakan primer rbcL dan

pemotongan dengan Alu I tertera pada Lampiran 2.

Tabel 6. Haplotipe yang teridentifikasi pada 65 individu S. leprosula berdasarkan

PCR-RFLP terdapat dua haplotipe.

rbcL-Alu 1 Tipe haplotipe 1 2 3 4 1 1 1 0 1 2 1 1 1 1

Perbedaan situs restriksi dapat diasumsikan sebagai kejadian mutasi titik (point mutation) yang menyebabkan berubahnya urutan DNA sehingga tidak

Dimana fragmen dengan panjang 350 bp pada haplotipe 1, terpotong menjadi 2 fragmen pada haplotipe 2, yaitu menjadi 220 bp dan 130 bp. Adapun komposisi

penyebaran haplotipe (relatipe frequencies) tersaji pada Tabel 7

Tabel 7. Frekuensi haplotipe dari 13 populasi

Haplotipe Hb Tr As Pm Bt Nm Sb It Dr Bb Sm C1 C2

1 1.0 1.0 0.4 1.0 0.8 1.0 1.0 0.4 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 2 0.0 0.0 0.6 0.0 0.2 0.0 0.0 0.6 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Ket : Hb (Haur Bentes), Tr (Tering), As (asialog), Pm (Pasir Mayang), Bt (Bukit Tigapuluh), Nm

(Nanjak Makmur), Sb (Sari Bumi Kusuma), It (PT. ITCI), Dr (Darmaga), Bb (Bukit bangkirai), Sm (Sumalindo), C1 (Carita 1) dan C2 (Carita 2)

Ditinjau dari kondisi penyebaran haplotipe S. leprosula dari tiap populasi

(Tabel 7 ) diketahui bahwa Haplotipe 1 merupakan haplotipe yang dominan dan tersebar di seluruh populasi, sedangkan Haplotipe 2 hanya ditemukan di tiga populasi, yaitu di PT. Asialog dan TN. Bukit Tigapuluh di pulau Sumatera, serta PT. ITCI Karya Utama di pulau Kalimatan, sedangkan di pulau Jawa tidak ditemukan Haplotipe 2. Hal ini menujukkan adanya keragaman dalam populasi (intra populasi) di ketiga populasi tersebut yang ditunjukkan oleh adanya variasi situs pemotongan pada deretan nukleotida yang teramplifikasi.

Terdapatnya Haplotipe 2 di Kalimantan dan Sumatera diduga terjadi karena pada jaman sebelum glasial pulau Kalimantan dan Sumatera merupakan satu daratan. Setelah terjadinya glasial (pencairan es) daratan ini terpisah menjadi pulau Kalimantan dan Sumatra, kejadian ini menurut Polunin (1990) terjadi pada jaman Pleistosen sekitar 1 juta tahun yang lalu.

Hasil pene litian menunjukkan tidak ditemukannya haplotipe spesifik yang

dapat dijadikan sebagai penanda (fingerprint) yang dapat diasosiasikan sebagai

asal-usul geografis tertentu di Indonesia. Haplotipe 2 tidak dapat dijadikan sebagai penanda karena terdapat di 3 populasi di pulau Sumatera dan Kalimantan.

Khusus untuk pulau Kalimatan, rbcL-Alu I dapat dijadikan sebagai penanda,

karena hanya ditemukan di satu populasi, yaitu di PT. ITCIKU.

Keragaman haplotipe pada intra spesies yang terdeteksi cukup rendah. Hal ini menunjukkan bahwa cpDNA sangat konservatif. Sifat konservatif cpDNA ini terjadi karena pada angiospermae hanya diturunkan oleh induk betina saja, sehingga menyebabkan aliran gen berupa migrasi benih yang terjadi sangat rendah dan mutasi yang terjadi juga sangat rendah. Sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Indrioko (2005) tidak menemukan perbedaan variasi cpDNA pada S.

Gambar 13. Penyebaran cpDNA S. leprosula di Indonesia berdasarkan penanda

PCR-RFLP dengan menggunakan rbcL-Alu1

Keragaman inter populasi

Berdasarkan data keragaman situs restriksi kemudian dilakukan analisis variasi molekuler (Analysis of Molekular Variance, AMOVA) untuk melihat keragaman akibat sumber-sumber keragaman dalam populasi dengan bantuan

program komputer Arlequin dari Schneider et al. (2000)

Tabel 8. Hasil perhitungan AMOVA berdasarkan 65 individu yang berasal dari 13 populasi Sumber ragam db Jumlah kuadrat Komponen ragam Persentase ragam Indeks fiksasi P Antar pulau 2 0.406 -0.00283 -2.85 FCT=0.02851 0.14663ns Antar populasi dalam pulau 10 2.640 0.04049 40.82 FSC=0.39686 0.00391* Dalam populasi 52 3.200 0.06154 62.03 FST=0.37967 0.00098* Total 64 6.246 0.09920

Keterangan: Derajat bebas (db), korelasi random pairs allel didapat dari nilai relatif grup dengan seluruh populasi (FCT), korelasi random pairs allel didapat dari nilai relatif populasi dengan seluruh grup (FSC), korelasi random pairs allel didapat dari nilai relatif

810 11 7 6 3 12 1 9 2 4 5 Haplotipe 1 Haplotipe 2

Keragaman antar pulau memberikan hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan keragaman antar populasi dalam pulau dan keragaman dalam pulau memberikan hasil yang berbeda nyata.

Hasil analisis ragam molekuler (Tabel 8) menunjukkan bahwa ragam dalam populasi menyumbangkan persentase ragam tertinggi (62.03%) terhadap total ragam dan berbeda nyata, kemudian diikuti dengan persentase ragam pada level antar populasi dala m pulau (40.82%) dan antar pulau (-2.85%). Nilai negatif yang teramati pada level antar pulau mengindikasikan contoh populasi pada tiap- tiap pulau tidak berbeda.

Tabel 9. Matrik signifikasi nilai (P value) pada level 0.05

Hb As Tr Pm Bt Nm Sb It Dr Bb Sm C1 C2 Hb - - - + - - - - As - - - + - - - - Tr - - - - - - Pm - - - + - - - - Bt + + - + + + - + + + + + Nm - - - - + - - - - Sb - - - - + - - - - - It - - - - - - - - Dr - - - - + - - - - - - - Bb - - - - + - - - - - - - Sm - - - - + - - - - - C1 - - - - + - - - - C2 - - - - + - - -

Ket : Hb (Haur Bentes), Tr (Tering), As (asialog), Pm (Pasir Mayang), Bt (Bukit Tigapuluh), Nm (Nanjak Makmur), Sb (Sari Bumi Kusuma), It (PT. ITCI), Dr (Darmaga), Bb (Bukit bangkirai), Sm (Sumalindo), C1 (Carita 1) dan C2 (Carita 2), berbeda nyata antar populasi (+) dan tidak berbeda nyata antar populasi (-)

Pengelompokan genetik didasarkan pada jarak genetik. Jarak genetik digunakan untuk mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi. Semakin kecil jarak genetik, semakin dekat kekerabatan genetiknya. Sebaliknya, semakin besar jarak genetik, maka semakin jauh kekerabatan genetiknya. Nilai jarak genetik berkisar antara 0 sampai 1. Nilai 0 dihasilkan dari perbandingan dua populasi yang mempunyai variasi genetik yang sama (identik). Nilai maksimum 1 dicapai jika dua populasi tersebut tidak membagi apa pun tipe genetik.

Pengukuran jarak genetik pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan sofware GSED ver 1.1i (Gillet, 2002). Jarak genetik S. leprosula berdasarkan analisis GSED disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jarak genetik S. leprosula berdasarkan analisis GSED Hb Tr As Pm Bt Nm Sb It Dr Bb Sm C1 C2 Hb 0.00 Tr 0.00 0.00 As 0.60 0.60 0.00 Pm 0.00 0.00 0.60 0.00 Bt 0.20 0.20 0.40 0.20 0.00 Nm 0.00 0.00 0.60 0.00 0.20 0.00 Sb 0.00 0.00 0.60 0.00 0.20 0.00 0.00 It 0.60 0.60 0.00 0.60 0.40 0.60 0.60 0.00 Dr 0.00 0.00 0.60 0.00 0.20 0.00 0.00 0.60 0.00 Bb 0.00 0.00 0.60 0.00 0.20 0.00 0.00 0.60 0.00 0.00 Sm 0.00 0.00 0.60 0.00 0.20 0.00 0.00 0.60 0.00 0.00 0.00 C1 0.00 0.00 0.60 0.00 0.20 0.00 0.00 0.60 0.00 0.00 0.00 0.00 C2 0.00 0.00 0.60 0.00 0.20 0.00 0.00 0.60 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Ket : Hb (Haur Bentes), Tr (Tering), As (asialog), Pm (Pasir Mayang), Bt (Bukit Tigapuluh), Nm (Nanjak Makmur), Sb (Sari Bumi Kusuma), It (PT. ITCI), Dr (Darmaga), Bb (Bukit bangkirai), Sm (Sumalindo), C1 (Carita 1) dan C2 (Carita 2)

Jarak genetik adalah untuk mengetahui perbedaaan genetik antara dua populasi. Nilai jarak genetik mempunyai interval dari 0 sampai 1. Nilai 0 (nol) mengindikasikan bahwa kedua populasi tersebut mempunyai genetik yang identik. Sebaliknya, nilai 1 (satu) mengindikasikan bahwa kedua populasi tersebut mempunyai genetik yang berbeda satu sam lainnya.

Berdasarkan jarak genetik dapat diketahui bahwa terdapat 10 populasi yang identik, yaitu Haur Bentes, Tering, Pasir Mayang, Nanjak Makmur, Sari Bumi Kusuma, Darmaga, Bukit Bangkirai, Sumalindo, Carita 1 dan Carita 2.

Gambar 14. Dendogram populasi S. leprosula di Indonesia dengan penanda RFLP

Analisis klaster UPGMA (Unweighted Pair-Group Method with

Averaging) menunjukkan bahwa populasi S. leprosula di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok genetik. Kelompok satu terdiri dari dua sub kelompok, sub kelompok pertama terdiri dari 10 populasi Haur bentes, Tering, Pasir Mayang, Nanjak Makmur, Sari Bumi kusuma, Darmaga, bukit Bangkirai, Sumalindo, Carita 1 dan Carita 2 yang mempunyai kesamaan genetik sesuai dengan analisis

PCR-RFLP dengan menggunakan rbcL-Alu 1. Sub kelompok dua dari kelompok

satu hanya terdapat satu populasi, yaitu TN. Bukit Tigapuluh. Sedangkan kelompok dua diduduki oleh dua populasi, yaitu PT. Asiolog dan PT. ITCI Karya Utama. TN. Bukit Tigapuluh mempunyai kekerabatan genetik yang lebih dekat dengan kelompok yang tidak mempunyai Haplotipe 2, fenomena ini terjadi karena sebaran haplotipe 1 di Bukit Tigapuluh yang lebih besar dibandingkan dengan Haplotipe 2- nya, yaitu sebesar 80%. Sehingga populasi TN. Bukit Tigapuluh masuk ke dalam kelompok 1. Individu- individu yang mengelompok dalam satu

Kelompok I

Kelompok II

Sub kelompok 1

kelompok mempunyai kerabat yang dekat satu sama lain dibandingkan dengan individu- individu yang berada pada kelompok yang berbeda.

Konservasi Genetik Shorea leprosula

Pentingnya penelitian populasi genetik adalah untuk mengukur variasi genetik pada level dalam spesies dan populasi. Data tersebut sangat penting, tidak hanya untuk pengetahuan mekanisme evolusi tapi juga untuk pengembangan

program breeding tanaman dan binatang dalam rangka konservasi plasma nuftah

spesies langka. (Banks & Birky, 1985)

Mengapa konservasi genetik? Karena munurut Hadie (2001) :

1. Gen merupakan teori fundamental dari seleksi alam

2. Kesepakatan para pakar bahwa heterozigositas atau variasi genetik

berhubungan langsung dengan fitness

3. Gene pool merupakan informasi menyeluruh dari proses biologi

4. Variasi genetik diukur pada individu dan diasumsikan pada populasi

Suatu kenyataan bahwa pembalakan hutan yang semakin tinggi menyebabkan meningkatnya kerusakan hutan, ditambah dengan bencana alam

seperti kebakaran hutan, merupakan penyebab utama rusaknya populasi S.

leprosula. Hal ini merupakan penyebab utama menurunnya keragaman genetik S. lerposula. Keragaman genetik diasumsikan sebagai fitness, makin tinggi keragamannya, makin tinggi peluang untuk survive.

Kecilnya populasi tersebut akan mengarah pada terjadinya founder effect,

dimana terjadinya silang dalam yang berakibat pada rusaknya keragaman genetik.

Oleh karena itu, konservasi genetik baik secara ex situ maupun in situ perlu

dilakukan untuk mempertahankan keragaman genetik dan sejarah evolusinya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengatakan bahwa pengelolaan hutan dilakukan dengan mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang me liputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari. Implikasi

hasil penelitian variasi genetik S. leprosula terhadap program konservasi genetik

adalah melakukan konservasi terhadap genetik yang bervariasi rendah terlebih dahulu, yaitu pada jenis yang mempunyai Haplotipe 2. Jadi konservasi genetik

Strategi konservasi untuk S. leprosula dalam rangka penyelamatan plasma nuftah dapat berupa :

1. Melakukan konservasi in-situ (penyelamatan plasma nutfah di dalam

habitat aslinya) secara ketat dengan menjamin terjaganya habitat dan ekosistem hutan alam. Status kawasan sebagai Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Sumatera sangat mendukung keberhasilan upaya ini, namun efektivitas pengawasan perlu ditingkatkan.

2. Melakukan konservasi ex-situ (penyelamatan plasma nutfah di luar habitat

aslinya). Tindakan ini sangat mendesak dilaksanakan mengingat tekanan

terhadap habitat alami yang cukup serius. Konservasi ex-situ terhadap S.

leprosula dapat dilakukan dengan mengambil plasma nutfah dari habitat aslinya kemudian dikembangkan di tempat lain, misalnya pengambilan biji dan anakan alam yang kemudian ditanam di tempat lain dalam bentuk uji penanaman dari berbagai variasi genetik yang dimiliki pohon. Hal ini perlu

dilakukan pada S. leprosula yang mempunyai haplotipe 2 di PT. ITCI

Dokumen terkait