• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap jumlah kadar air, dan uji organoleptik. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 6. Pengaruh suhu pengeringan terhadap parameter Perlakuan Kadar Air

(%) Uji Organoleptik Kenampakan Aroma T1 64,62 2,53 3,26 T2 49,58 3,73 5,36 T3 40,96 7,06 6,23 T4 34,59 7,13 6,33 T5 29,17 6,63 7,00

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 yaitu sebesar 64,62 % dan terendah pada T5 yaitu sebesar 29,14 %. Nilai uji organoleptik kenampakan secara keseluruhan tertinggi diperoleh pada perlakuan T4 yaitu sebesar 7,13 (utuh, bersih, agak kusam) dan terendah pada T1 yaitu sebesar 2,63 (sebagian hancur, kotor). Nilai uji organoleptik aroma secara keseluruhan tertinggi diperoleh pada perlakuan T5 yaitu sebesar 7,0 (hampir netral, sedikit bau tambahan) dan terendah pada T1 yatu sebesar 3,26 (tidak enak, agak busuk, apek).

Kadar Air

Dari analisis sidik ragam (Lampiran 2) dapat dilihat bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar air. Hasil pengujian menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test)

menunjukkan pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air untuk tiap perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01 - T1 64,62 a A 2 5,6651 8,0581 T2 49,58 b B 3 5,9204 8,3979 T3 40,96 c BC 4 6,0697 8,6101 T4 34,59 cd CD 5 6,1667 8,7575 T5 29,17 d D

Keterangan : notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan T1 berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan, perlakuan T2 berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T3, namun perlakuan T2 berbeda sangat nyataterhadap perlakuan T1, T4 dan T5, perlakuan T3 berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T4, namun perlakuan T3 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1, T2 dan T5, perlakuan T4 berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T5, namun perlakuan T4 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1, T2, dan T3, perlakuan T5 berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T4 tetapi perlakuan T5 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1, T2, dan T3.

Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dan kadar air dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Hubungan suhu pengeringan terhadap kadar air

Gambar 1 diatas menunjukkan hubungan suhu pengeringan terhadap kadar air ikan pora - pora terus mengalami penurunan seiring meningkatnya suhu pengeringan. Kadar air menurun dengan semakin tingginya suhu, hal ini sesuai menurut Juhan (2009) bahwa semakin panas udara yang dihembuskan mengelilingi bahan, maka banyak pula uap air yang dapat ditarik oleh udara panas pengering tinggi.

Kadar air terendah diperoleh pada suhu pengeringan 70oC. Hal ini disebabkan panas udara pengeringan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Taib dkk (1988) yang mengatakan kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaannya akan semakin besar dengan meningkatnya panas udara pengeringan yang digunakan.

ŷ= -1,749x + 148,4 r = 0,950 0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Ka d a r A ir (% ) Suhu (0C)

Kadar air terbaik tertinggi diperoleh pada suhu pengeringan 70 o

C yaitu

dengan kadar air sebesar 29, 17 %, hal ini disebabkan tingginya suhu udara. Hal ini sesuai dengan literatur Adnan (1982) yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu dan kecepatan aliran udara pengering semakin cepat pula proses pengeringan berlangsung. Makin tinggi suhu udara pengering makin besar energi panas yang dibawa udara sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan, sehingga perlakuan pada suhu 70 oC sesuaimenurut Badan Standarisasi Nasional (1992) menyatakan bahwa kadar air yang terbaik untuk ikan kering adalah maksimal 40%. ketika kadar air ikan mencapai lebih dari 40% kondisi ikan kering sudah tidak baik lagi.

Uji Organoleptik

Uji organoleptik merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk. Uji organoleptik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji hedonik (kesukaan) terhadap ikan pora-pora kering dengan 5 taraf suhu, yaitu suhu 50oC, 55oC, 60oC, 65oC dan 70oC dimana untuk setiap taraf suhu dilakukan tiga kali ulangan. Uji organoleptik dilakukan terhadap 10 orang panelis dengan parameter yang digunakan yaitu warna, aroma dan penerimaan keseluruhan.

Kenampakan

Pada analisis sidik ragam (Lampiran3) dapat dilihat bahwa perlakuan berbagai jenis suhu memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kenampakan. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa DMRT (Duncan Multiple Range Test) menunjukkan pengaruh perbedaan suhu terhadap kenampakan untuk tiap perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 8. Uji LSR efek utama perngaruh suhu pengeringan terhadap kenampakan

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01 - - - T1 2,53 a A 2 5,6651 8,0581 T2 3,73 b B 3 5,9204 8,3979 T3 7,06 d C 4 6,0697 8,6101 T4 7,13 d C 5 6,1667 8,7575 T5 6,30 c C

Keterangan : notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan T1 berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan, perlakuan T2 berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan, perlakuan T3 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1 dan T2, namun perlakuan T3 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan T4 dan T5, perlakuan T4 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1 dan T2, namun perlakuan T4 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan T3 dan T5, perlakuan T5 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1 dan T2, namun perlakuan T5 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan T3 dan T4.

Hubungan antara perlakuan (taraf suhu pengeringan) dan penerimaan kenampakan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Hubungan suhu pengeringan terhadap kenampakan

Gambar 2 diatas menunjukkan hubungan suhu pengeringan terhadap penerimaan kenampakan ikan pora - pora terus mengalami kenaikan seiring meningkatnya suhu pengeringan. Berdasarkan kategori nilai korelasi menurut Young dan Trihendradi (2004), hal ini menunjukkan derajat hubungan yang sangat kuat antara suhu pengeringan dengan kenampakan.

Pada hasil pengujian organoleptik kenampakan, nilai tertinggi didapat pada perlakuan suhu T4 yaitu sebesar 7,13 (utuh, bersih dan agak kusam) dan nilai terendah didapat pada perlakuan suhu T1 yaitu sebesar 2,53 (sebagian hancur dan kotor). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suhu T4 (65oC) memiliki kenampakan yang paling disukai (utuh, bersih, agak kusam). Hal ini sesuai dengan literatur Adnan (1982) yang menyatakan makin tinggi suhu dan kecepatan

ŷ = 0,453x - 20,47 r = 0,985 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 10 20 30 40 50 60 70 80 P e n e ri ma a n K e n a mp a k a n ( S k a la 1 -9) Suhu Pengeringan (0C)

aliran udara pengering makin cepat pula proses pengeringan berlangsung. Makin tinggi suhu udara pengering makin besar energi panas yang dibawa udara sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Hal ini dipengaruhi oleh suhu, jika suhu yang digunakan tinggi, maka kenampakan ikan pora – pora kering akan menjadi coklat, tetapi jika suhu terlalu tinggi dapat mengakibatkan kerusakan tekstur bahan pangan itu sendiri.

Pengaruh panas selama pengeringan dapat menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan (Maillard) antara senyawa amino dengan gula pereduksi. Gula pereduksi pada ikan merupakan hasil pemecahan glikogen sesaat setelah ikan mati. Reaksi antara asam amino dan gula pereduksi akan membentuk melanoidin, suatu polimer berwarna coklat yang dapat menurunkan nilai kenampakan produk. Pencoklatan juga terjadi karena reaksi antara protein, peptida dan asam amino dengan hasil dekomposisi lemak (Lee, 1983).

Aroma

Pada analisis sidik ragam (Lampiran 4) dapat dilihat bahwa perlakuan berbagai jenis suhu memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kenampakan. Hasil pengujian dengan menggunakan analisa DMRT (Duncan Multiple Range Test) menunjukkan pengaruh perbedaan suhu terhadap kenampakan untuk tiap perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 9. Uji LSR efek utama perngaruh suhu pengeringan terhadap aroma

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01 - - - T1 3,26 a A 2 5,6651 8,0581 T2 5,36 b B 3 5,9204 8,3979 T3 6,23 c C 4 6,0697 8,6101 T4 6,33 c CD 5 6,1667 8,7575 T5 7 d D

Keterangan : notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%

Tabel 9 6menunjukkan bahwa perlakuan T1 berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan, pada perlakuan T2 berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan, pada perlakuan T3 berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T4, namun perlakuan T3 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1, T2 dan T5, pada perlakuan T4 berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T3 dan T5 namun perlakuan T4 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1 dan T2, perlakuan T5 berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T4, namun perlakuan T5 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1, T2 dan T3.

Hubungan antara perlakuan (taraf suhu pengeringan) dan penerimaan aroma dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3. Hubungan suhu pengeringan terhadap aroma

Gambar 3 diatas menunjukkan hubungan suhu pengeringan terhadap penerimaan aroma ikan pora - pora terus mengalami kenaikan seiring meningkatnya suhu pengeringan. Menurut Bligh et al.,(1988), pengeringan dapat mendorong terjadinya oksidasi dan ketengikan pada lemak sehingga dapat menurunkan nilai organoleptik bau. Nilai tertinggi didapat pada perlakuan suhu T5 yaitu sebesar 7,00 (hampir netral dan sedikit bau tambahan) dan nilai terendah didapat pada perlakuan suhu T1 yaitu sebesar 3,26 (tengik dan agak apek). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suhu T5 (70oC) memiliki aroma yang paling disukai.. Jika dibandingkan dengan standar nilai organoleptik yang ditetapkan dalam SNI 01-2708-1992, produk yang dihasilkan oleh penelitian ini masih bisa memenuhi kriteria tersebut. Hal ini diperkuat oleh literatur Desrosier (1988) yang menyatakan bahwa ketengikan merupakan masalah yang penting dalam bahan

ŷ= 0,169x - 4,504 r = 0,848 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 10 20 30 40 50 60 70 80 P e n e r im aan ar om a (s k al a 1 -9) Suhu Pengeringan (0C)

pangan kering. Pada suhu pengeringan yang tinggi, oksidasi lemak dalam bahan pangan lebih besar daripada suhu yang rendah, sehingga oksidasai lemak pada suhu tinggi lebih efektif daripada suhu yang rendah sehingga menyebabkanaroma ikan pora – pora kering dengan penggunaan suhu tinggi akan semakin tidak mengeluarkan bau busuk.

Dokumen terkait