• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identitas T. vaporariorum

Berdasarkan pengamatan, imago kutukebul T. vaporariorum baik jantan maupun betina mempunyai dua pasang sayap yang berselaput tipis. Sepasang sayap depan mempunyai sifat yang seragam seluruhnya, demikian pula halnya dengan sepasang sayap belakang. Warna sayapnya keruh, keputihan, dan tertutup dengan serbuk yang putih. Pada waktu serangga sedang istirahat sayap-sayapnya diletakkan seperti atap di atas tubuh, dengan tepi bagian dalam yang agak tumpang tindih di bagian ujungnya.

(a) (b)

Gambar 4 Pupa T. vaporariorum (a) pada daun tomat dan (b) preparat pupa: (1) pinggiran trakea, (2) rambut dorsal, (3) ruas abdomen VII, (4)

vasiform orifice, (5) seta kaudal, (6) lingula, (7) submarginal, (8) basal

tungkai tengah dan belakang

Tahapan perkembangan T. vaporariorum merupakan peralihan antara paurometabola dan holometabola, karena nimfa instar akhir hanya diam dan seperti pupa. Pupa T. vaporariorum berwarna kuning pucat, agak tebal, dan panjangnya sekitar 0,73 mm (gambar 4a). Setelah dibuat preparat, pupa kutukebul

yang diidentifikasi untuk penelitian mempunyai ciri khas pupa spesies 1 2 3 4 5 6 7 8 0,15 mm 0,2 mm

T. vaporariorum, yakni berbentuk ovoid, pinggiran trakeanya tidak seperti sisir,

tidak mempunyai rambut dorsal, lingula membulat, terdapat barisan papila pada submarginal, serta basal tungkai tengah dan belakang mempunyai seta yang kecil dan halus (gambar 4b). Hal tersebut berdasarkan deskripsi pada Martin (1987).

Panjang Rostrum dan Sayap T. vaporariorum

Imago betina T. vaporariorum yang diambil dari empat lokasi berbeda, yakni Cikajang, Pacet, Cikole, dan Batu, memiliki ciri-ciri yang sama. Pada waktu makan, rostrum ditusukkan secara tegak lurus pada permukaan daun (biasanya diikuti gerakan sayap, abdomen, dan tungkainya). Rostrum T. vaporariorum bentuknya tidak benar-benar lurus, namun agak membengkok pada bagian tengah. Ujung rostrum berwarna coklat tua pada bagian ujung.

(a) (b)

Gambar 5 Morfologi imago T. vaporariorum, (a) saat sedang istirahat dan (b) saat sedang makan

Panjang rata-rata rostrum imago betina T. vaporariorum yang berasal dari Cikajang adalah 293,18 µm, dari Pacet sebesar 275,76 µm, dari Cikole sebesar 256,36 µm, dan dari Batu adalah 251,81 µm. Berdasarkan data yang didapat dari pengukuran panjang rostrum dan sayap imago betina T. vaporariorum, terlihat

hasil yang berbeda nyata (Tabel 1). Panjang rostrum imago betina

T. vaporariorum yang berasal dari Cikajang berbeda nyata dengan panjang

rostrum imago betina dari Pacet, Cikole, dan Batu. Panjang rostrum sampel yang berasal dari Pacet berbeda nyata dengan panjang rostrum dari Cikajang, Cikole, dan Batu. Panjang rostrum sampel imago betina kutukebul T. vaporariorum yang berasal dari Cikole berbeda nyata dengan panjang rostrum imago betina dari

Cikajang dan Pacet, namun tidak berbeda nyata dengan sampel dari Batu. Panjang rostrum imago betina yang berasal dari Batu berbeda nyata dengan panjang rostrum imago betina dari Cikajang dan Pacet, namun tidak berbeda nyata dengan sampel dari Cikole. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh suhu di kedua tempat tersebut yang tidak jauh berbeda, sehingga memberikan pengaruh yang sama terhadap perkembangan kutukebul. Menurut Digby (1954) semakin tinggi suhu lingkungan yang diterima, maka ukuran serangga akan semakin kecil.

Tabel 1 Panjang rostrum dan sayap T. vaporariorum

Ketinggian (m dpl) Suhu (˚C) Kelembaban (%) Panjang ± SBa (µm) Rostrum Sayapb

Cikajang 1287 19,8 87,3 293,18 ± 25,62a 1286,33 ± 41,89a Pacet 1125 20,9 83 275,76 ± 13,15b 1212,00 ± 21,40b Cikole 1022 22,2 80 256,36 ± 15,55c 1162,67 ± 19,46c Batu 675 22,4 78,2 251,81 ± 13,54c 1119,33 ± 27,03d

a

SB = simpangan baku

bangka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (uji t pada α = 0,01)

Panjang rata-rata sayap imago yang berasal dari Cikajang, Pacet, Cikole, dan Batu berturut-turut adalah 1286,33 µm, 1212 µm, 1162,67 µm, dan 1119,33 µm. Panjang sayap imago betina T. vaporariorum yang berasal dari Cikajang berbeda nyata dengan panjang sayap imago betina dari Pacet, Cikole, dan Batu. Panjang sayap imago yang berasal dari Pacet berbeda nyata dengan panjang sayap dari Cikajang, Cikole, dan Batu. Panjang sayap imago betina T. vaporariorum yang berasal dari Cikole berbeda nyata dengan panjang sayap imago betina dari Cikajang, Pacet, dan Batu. Panjang sayap imago betina T. vaporariorum yang berasal dari Batu berbeda nyata dengan panjang sayap imago betina dari Cikajang, Pacet, dan Cikole.

Rostrum dan sayap imago betina yang berasal dari Cikajang memiliki ukuran paling panjang dibandingkan lokasi lainnya. Sebaliknya, panjang rostrum dan sayap imago betina yang berasal dari Batu memiliki ukuran paling pendek dibandingkan lokasi lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ketinggian tempat di Cikajang paling tinggi (1287 m dpl) daripada lokasi lainnya, sedangkan Batu mempunyai ketinggian tempat yang paling rendah (675 m dpl) dibandingkan

lokasi pengamatan lainnya. Tinggi rendahnya suatu tempat di permukaan bumi berpengaruh terhadap suhu udaranya. Semakin tinggi letak suatu tempat, maka suhunya pun akan semakin rendah. Ukuran rostrum dan sayap kutukebul mengalami pertambahan seiring dengan pertambahan ketinggian tempat dan penurunan suhu habitat kutukebul. Atau dengan kata lain, semakin tinggi suhu habitat perkembangan T. vaporariorum maka ukuran rostrum dan sayapnya akan semakin pendek. Hal tersebut dibuktikan pula oleh Blackman (1994) pada spesies

Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) serta Murai & Toda (2002) pada spesies Thrips tabaci (Thysanoptera: Thripidae) yang mengalami penurunan ukuran tubuh

imago bila perkembangan pradewasanya berada pada suhu yang lebih tinggi. Suhu mempengaruhi ukuran kutu daun dan beberapa serangga lainnya, yaitu serangga-serangga yang berukuran kecil ketika berkembang pada suhu yang lebih tinggi (Dixon 1985). Hal tersebut dikarenakan fenomena adaptasi dan interaksi suhu dengan proses metabolisme serangga (Blackman 1994).

Suhu di negara tropis seperti Indonesia sangat dipengaruhi oleh kelembaban udara (Wisnubroto et al. 1986). Kelembaban di Cikajang paling tinggi (87,33%) dibandingkan lokasi lainnya. Kelembaban yang tinggi disebabkan letak daerah Cikajang yang berada di lereng gunung dan sebagian besar kawasannya merupakan tadah hujan (rain fed area), sehingga banyak mendapat curah hujan. Letak daerah dan kelembaban yang tinggi tersebut mempengaruhi suhu lingkungan, sehingga suhu di Cikajang juga paling rendah dibandingkan lokasi lainnya, yaitu sebesar 19,8 ˚C.

Periode Retensi TICV dalam Tubuh T. vaporariorum

Tanaman tomat kultivar Marta mengekspresikan gejala infeksi oleh virus TICV lebih jelas dibandingkan tomat kultivar lain (Fitriasari 2010). Tomat kultivar ini banyak ditanam oleh petani tomat baik di wilayah Bogor, Cianjur, Sukabumi, maupun Garut.

Setelah pengamatan selama kurang lebih tiga minggu, terdapat variasi gejala antara tanaman tomat yang diinokulasi imago T. vaporariorum tidak viruliferus dengan yang viruliferus. Daun tanaman tomat yang diinokulasi dengan imago tidak viruliferus terlihat tetap berwarna hijau daun dan segar (gambar 6a). Ukuran dan perkembangan tanaman tomat tampak normal seperti pada umumnya.

Sebaliknya, tanaman tomat yang diberi perlakuan inokulasi kutukebul yang viruliferus menunjukkan ekspresi khas TICV (gambar 6b). Ekspresi atau gejala tersebut berkembang dari bagian bawah ke atas tanaman berupa daun yang klorosis, kemudian berwarna agak coklat keunguan, lebih tebal, lebih kaku, agak menggulung, dan nekrosis. Gejala pada tanaman uji mirip dengan gejala TICV yang ditemukan di lapangan, hanya saja tidak separah gejala di lapangan. Hal ini dikarenakan umur tanaman di lapangan lebih tua daripada tanaman uji, sehingga perkembangan gejalanya pun lebih lama dan gejala yang terlihat lebih parah.

(a) (b)

Gambar 6 Daun tanaman tomat uji yang tidak memperlihatkan gejala klorosis setelah diinokulasi melalui T. vaporariorum yang tidak viruliferus (a) dan yang memperlihatkan gejala klorosis setelah diinokulasi TICV melalui T. vaporariorum yang viruliferus (b).

Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa periode retensi TICV pada

T. vaporariorum adalah 3 hari. Hal tersebut terjadi karena hubungan antara virus

dan serangga vektornya adalah semipersisten. Pada hubungan semacam ini, virus tidak memperbanyak diri dalam tubuh vektornya, sehingga konsentrasi virus akan terus menurun sampai akhirnya tidak cukup untuk menimbulkan penyakit pada tanaman yang diinokulasinya (misalnya pada hari ke-4).

Tabel 2 Masa infektif T. vaporariorum dalam penularan berseri TICV pada bibit tomat setelah 24 jam periode akuisisia

Pemindahan vektor pada tanaman ke-

Imago T. vaporariorum yang ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 + + + + + + + + + + 2 + + + + + + + + + + 3 + + + + + + + + + - 4 - - - - 5 - - - - 6 - - m - m - - - - - 7 m m m m m m m m m m

a Keterangan: + = tanaman terinfeksi, - = tanaman tidak terinfeksi, m = serangga mati

Amplifikasi DNA dilakukan untuk memastikan bahwa gejala klorosis yang muncul pada tanaman uji disebabkan oleh TICV. Amplifikasi DNA dengan metode PCR menggunakan pasangan primer spesifik TICV-CF dan TICV-CR sebagai kontrol positif dengan ukuran 417 bp (lajur K+). Pasangan primer TICV hanya mengamplifikasi virus spesifik TICV saja, sehingga bila tanaman yang diuji tidak mengandung partikel TICV maka hasilnya akan negatif. Dari hasil visualisasi, terbukti bahwa daun tanaman tomat yang diambil dari pemindahan vektor pada tanaman uji ke-3 (memperlihatkan gejala klorosis) positif terinfeksi oleh TICV, hal ini tampak pada lajur 1 pada Gambar 7. Daun tanaman tomat yang diambil dari pemindahan vektor pada tanaman uji ke-4 (tidak memperlihatkan gejala klorosis) ternyata hasilnya negatif atau dengan kata lain tidak mengandung partikel TICV (lajur 2). Penelitian periode retensi ini menunjukkan bahwa semua imago T. vaporariorum yang tidak viruliferus tidak mampu menginfeksi tanaman uji. Seekor imago T. vaporariorum yang viruliferus dapat menularkan TICV sampai pemindahan pada tanaman ke-3 atau sebelum serangga vektor tersebut mati pada pemindahan ke-7 (Tabel 2).

M K+ 1 2 K-

Gambar 7 Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik TICV-CF dan TICV-CR. Lajur M: Marker 100 bp DNA ladder, lajur K+ : kontrol positif TICV, lajur 1: daun tanaman uji yang terinfeksi atau bergejala klorosis pada pemindahan vektor ke tanaman uji ke-3, lajur 2: daun tanaman uji yang tidak terinfeksi atau tidak bergejala klorosis pada pemindahan vektor ke tanaman uji ke-4, dan lajur K- : kontrol negatif (tanaman tomat sehat).

Menurut Fitriasari (2010), seekor T. vaporariorum sudah mampu menyebabkan infeksi per tanaman sebesar 13,33% dalam masa inkubasi 11 hari, sedangkan sepuluh ekor T. vaporariorum dapat menyebabkan infeksi per tanaman

sebesar 100% dalam masa inkubasi 9 hari. Seekor imago kutukebul

T. vaporariorum yang viruliferus dalam seri inokulasi ke bibit tanaman tomat

sehat mampu menularkan virus TICV sampai inokulasi hari ke-3. Meski ada tanaman uji yang tidak terinfeksi, namun sebagian besar tanaman uji positif terinfeksi TICV. Jadi, rata-rata periode retensi TICV dalam serangga vektor

T. vaporariorum adalah selama tiga hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa

periode retensinya relatif lama, karena satu ekor imago mampu menularkan virus TICV lebih dari satu kali inokulasi.

Dokumen terkait