• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh LPM-D3N

H. Hasil Penelitian Dan Analisis

Sub bab ini memberikan pembahasan terhadap hasil penelitian yang nantinya dapat dianalisis. Adapun proses hasil penelitian ini, dibahas dan diuraikan berdasarkan hasil wawancara (interview) yang diperoleh dari lapangan dengan mengadakan kontak komunikasi dengan beberapa informan yang dianggap mengetahui permasalahan yang diteliti dengan sebenarnya tentang Peradilan Adat Suku Dani Dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Di Kabupaten

61

Nabire, sesuai dengan pedoman wawancara dititik beratkan pada topik pembahasan yang meliputi dimensi sebagai berikut :

a. Proses Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Secara Hukum Adat

Suku Dani Oleh LPM-D3N di Kabupaten Nabire

Berdasarkan data yang telah diambil oleh penulis ada dua kasus kecelakaan lalu lintas yang diselesaian secara adat dengan permintaan ganti rugi kasus pertama, terjadi pada hari Minggu tanggal 16 Juli 2017, dimana sepeda motor Yamaha Vixion DS 2380 KR yang dikendarai Sdr. Jekson Anouw yang diduga berboncengan dengan Sdr. Agus Howay terpengaruh Alkohol saat berkendaraan tidak dapat mengendalikan laju kendaraannya, hingga terjatuh Sdr. Agus Howay meninggal dunia saat mendapat perawatan di RSUD Kabupaten Nabire. Dari peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut ini, maka sesuai dengan putusan adat sanksi adat yang diberikan kepada pihak pelaku oleh pihak korban, yaitu pihak pelaku memberikan denda uang sebesar Rp.200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah).

Kasus kecelakaan lalu lintas kedua, pada hari Senin tanggal 1 Oktober 2016 antara Sdr. Umar Faruk berprofesi tukang ojek pada saat itu sedang membonceng penumpang Wald Dogopia dan mengalami kecelakaan sehingga penumpang Wald Dogopia pada akhirnya meninggal dunia di RSUD Nabire setelah mendapatkan perawatan. Dengan meninggal dunia Sdr. Wald Dogopia, maka tuntuntan adat atau sanksi adat yang diberikan kepada pihak pelaku pengendara sepeda motor yaitu Sdr. Umar Faruk pembayaran denda adat sebesar Rp. 20.000.000,-(Dua Puluh Juta Rupiah).

62

Lebih lanjut Bapak Ayub Wenda dalam menanggapi masalah kasus lalu lintas yang melibatkan masyarakat adat, mengatakan :

“Berbicara mengenai penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas,

permasalahannya dipisahkan dengan kasus-kasus adat lainnya, Mengenai kasus kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang tidak disengaja berarti kami menyerahkan sepenuhnya kepada pihak berwajib yaitu Polres Nabire, yang mana proses kecelakaannya diproses oleh bagian Laka Lantas sesuai dengan tingkat pelanggaran yaitu mencari tahu siapa yang bersalah, apakah korban atau pelaku. Pihak Polres Nabire juga melihat korban adalah masyarakat adat suku Dani, maka mereka berhubungan (berkomunikasi) dengan kepala suku dan tokoh-tokoh adat, agar ada kerja sama yang baik dalam menangani permasalahan kecelakaan lalu lintas ini bisa sesuai dengan hukum adat yang berlaku dan juga sesuai dengan hukum nasional”.43

Mengacu pada hasil pembicaraan informan tersebut diatas, dapat dianalisis bahwa dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas ini, pihak adat tidak sekaligus mengambil alih pokok permasalahan dalam peradilan adat, tetapi ada kerja sama dan koordinasi dengan pihak berwajib sesuai dengan hukum negara yang berlaku. Apabila penyelesaiannya disepekati bersama diatur secara kekeluargaan dengan sanksi ketentuan adat yang berlaku.

Selanjutnya, informan Bapak Ayub Wenda, menanggapi tentang proses penyelesaian terhadap pelaku kasus kecelakaan lalu lintas, mengatakan memiliki jalurnya sendiri :

43

63

Gambar 4.

Jalur Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Secara Hukum Adat Suku Dani Oleh LPM-D3N di Kabupaten Nabire

Sesuai dengan diagaram diatas maka dapat dilhat bahwa jalur penyelesaian kasus kecelakaan lalau lintas secara hukum adat oleh suku Dani ini dimulai dari pihak korban melaporkan kepada pihak LPM-D3N terlebih dahulu untuk menyampaikan persoalan yang telah dialami, selanjutnya pihak LPM-D3N bersama pihak korban mendatangi polres Nabire untuk diselesaian permasalahan adat ganti rugi dari tersangka kepada pihak korban.

“Peran utama Peradilan adat LPM-D3N dalam menyelesaikan perkara lalu lintas yang melibatkan masyarakat suku Dani yaitu sebagai mediator dalam menyelesaikan kasus tersebut. Dan bahwa sebelum sanksi ditetapkan, terlebih dahulu diadakan musyawarah di Honai Adat bersama keluarga dari pihak korban kecelakaan, yang dihadiri semua pihak-pihak seperti yang tercantum sesuai dengan stuktur LPM-D3N, selain dapat mengadakan musyawarah di Honai adat dapat juga di tiap rumah Kepala suku rayon dan sub rayon yang sudah ditentukan sebagai Kepala Suku setempat, dalam penyelesaian ini kepala

Pihak Korban

LPM-D3N Polres Nabire

64

suku menentukan berapa besar pembayaran dalam tuntutan mereka terhadap pelaku dengan memperhatikan latar belakang ekonomi pelaku, apakah pelaku dari ekonomi rendah atau menengah ke atas. Apabila pelaku dari ekonomi rendah, maka tuntutan bayaran yang diminta tidak begitu tinggi, tetapi seandainya pelaku dari ekonomi menengah atau pengusaha besar, maka tuntutan pembayarannya di atas jutaan rupiah. Ketentuan ganti rugi tersebut berlaku bagi sesama suku Dani atau satu rumpun organisasi dengan suku Dani dan juga kepada suku lain seperti suku Biak, suku Jawa, suku Toraja serta suku lain yang berdomisili di Kabupaten Nabire. Dalam penentuan sanksi kepada pelaku, apabila korban meninggal dunia maka pembayarannya dapat ditargetkan 60 juta rupiah, dan 100 juta rupiah sampai 200 juta rupiah dengan memperhatikan latar belakang ekonomi pelaku. Sedangkan apabila korban luka berat, atau luka ringan maka tuntutan pembayarannya adalah menanggung ongkos perawatan selama korban di rumah sakit, dan untuk luka ringan cukup diberikan ongkos pengobatan.’’44

Kemudian mereka datangi Polres Nabire untuk menfasilitasi pertemuan mereka dengan sang pelaku dan keluarganya. Pada pertemuan mereka dengan si pelaku dan keluarganya inilah tuntutan mereka disampaikan. Apabila ada kesepakatan antara kedua belah pihak maka bukti pembayaran terhadap tuntutan mereka oleh Polres Nabire dibuat dalam bentuk surat pernyataan dengan bukti pembayaran di atas kuitansi bermeterai. Setelah pembayaran tuntutan mereka selesai dilaksanakan, maka kedua belah pihak

44

65

dipersilahkan menanda tangani surat pernyataan bahwa diantara kedua belah pihak tidak ada permusuhan.

Apabila kasus kecelakaan lalu lintas tersebut melibatkan sesama suku Dani yang mana korban adalah orang Dani begitu juga tersangka maka perwakilan kepala suku rayon atau kepala suku sub rayon yang ada pada sturktur LPM-D3N yang diminta oleh korban atau tersangka untuk dapat mewakili dan menghadiri pertemuan di polres Nabire.

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan Kepala Suku Umum D3N tersebut diatas, terutama sistem pengambilan keputusan dalam menangani kasus perkara secara adat dapat dianalisis bahwa pengambilan keputusan tersebut dalam pemberian ganti rugi terhadap tersangka belum ada ketentuan yang menetap maksimal pemberian ganti rugi atas kecelakaan lalu lintas dikarenakan hanya diukur berdasarkan ekonomi si pelaku.

Memperhatikan sanksi secara adat yang diminta ini dapat dianalisis bahwa peradilan adat dalam suku Dani pada dasarnya melihat faktor manusia ini sangat penting, karena manusia bukan binatang, tapi manusia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna dan mempunyai jiwa atau nyawa yang sangat berharga. Sebab apabila jiwa atau nyawa dihilangkan tidak ada lagi jiwa atau nyawa yang dapat dibeli di toko atau dimana saja untuk menggantikan roh yang sudah hilang itu. Dalam konteks ini, Suku Dani melihat permasalahan ini sebagai suatu pelanggaran adat, karena korban yang meninggal dilahirkan dengan suatu budaya dan mempunyai adat-istiadat yang diakui dalam masyarakat adat. Lebih jelasnya, dapat dikatakan bahwa manusia sejak lahir sampai wafat sudah tertanam

nilai-66

nilai adat dalam kehidupannya, bahkan sejak dalam kandungan sudah dibuat upacara-upacara adat, agar kelahiran bayi itu bisa baik dan selamat. Maka faktor kemanusiaan sangat di junjung oleh masyarakat suku Dani.

Wawancara dengan informan Bapak Yopi Murib, selaku kepala suku rayon tentang penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang ditanganinya, terutama dalam pembayaran ganti rugi mengatakan :

“Bahwa untuk korban luka ringan kepada pelaku diminta menanggung uang untuk berobat sekitar 1 (satu) juta sampai 2 (dua) juta rupiah. Aturan ini dibuat sejak ia di tunjuk sebagai kepala suku rayon. Sedangkan untuk luka berat pembayarannya sekitar 5 (lima) juta rupiah. Kemudian kalau korban meninggal dunia, keputusan pembayarannya dilihat dari sisi ekonomi antara lain :

a. Pelaku atau tersangka yang memiliki ekonomi lemah dituntut oleh pihak korban yaitu sebesar 10 juta rupiah.

b. Pelaku atau tersangka memiliki ekonomi tinggi, seperti pengusaha atau pejabat maka tuntutan yang diminta pihak korban senilai 50 juta rupiah.

Tuntutan yang biasa diminta suku Dani itu dapat dikatakan memang cukup berat, terutama pada perkara-perkara yang tuntutannya bisa mencapai milyaran rupiah. Hal ini terutama dalam perkara-perkara, seperti pembunuhan yang di sengaja, kemudian perkara yang menyangkut perzinahan dan pemerkosaan. Sedangkan sanksi adat atau tuntutan adat untuk kasus kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Nabire dapat dipisahkan dari kasus-kasus adat lainnya, dimana tuntutan atau sanksi yang diminta dilihat dari sisi ekonomi terhadap

67

tersangka atau pelaku sebagaimana yang saya sudah katakan terlebih dahulu. Mengenai kasus kecelakaan lalu lintas biasanya difasilisasi oleh pihak berwajib yaitu Satuan Polisi Lalu Lintas dan penyelesaiannya di Polres Nabire yang dihadiri kepala suku serta pihak korban. Sedangkan besarnya tuntutan adat berupa pembayaran uang kepada pihak korban, namun sebelumnya sudah diadakan pertemuan di halaman Honai Adat atau di tiap rumah kepala suku rayon atau sub rayon untuk menyampaikan besarnya tuntutan kepada pihak pelaku (terdakwa)”.45

Berdasarkan penjelasan dari informan diatas, maka dapat disimpulkan atau dianalisis bahwa penyelesaian suatu perkara secara adat di tanah Papua pada umumnya, dan khususnya suku Dani tidak terlepas dari apa yang disebut dengan istilah ganti rugi, karena menghilangkan nyawa orang atau membuat orang lain menderita akibat kecelakaan di jalan raya. Permasalahan ganti rugi untuk setiap suku di tanah Papua tidaklah sama. Karena suku adat yang terdapat di tanah Papua merupakan penduduk asli yang mendiami daerah-daerah pesisir pantai dan daerah-daerah pegunungan (daerah pedalaman) yang jumlah sukunya sangat banyak dan dengan latar belakang adat-istiadat yang berbeda-beda, juga bahasa daerah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, apabila kita kaji tentang latar belakang budaya dan adat-istiadat suku Dani dalam peradilan adat mereka terhadap tuntutan pembayaran kepada pihak korban dalam kasus kecelakaan lalu lintas diatas jutaan rupiah, karena mereka menempatkan faktor

45

68

manusia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna dan tidak boleh dibuat cacat atau bahkan sampai membunuhnya di jalan raya.

Berikut ini, wawancara dengan informan Bapak Pdt. Naftalis Tabuni, Sm.Th., mengenai peradilan adat suku Dani dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Nabire, mengatakan:

“Bahwa permintaan ganti rugi yang sangat besar terhadap pelaku yang

membuat orang lain meninggal dunia atau cacat jasmaninya, jangan semata-mata untuk mencari keuntungan sesemata-mata, sebab akibat kecelakaan itu biasanya ada unsur kesengajaan atau tidak disengaja. Oleh karena itu, sebagai orang yang beragama kita harus melihat dari iman kepercayaan kita mengenai hal kasih. Jangan kita membuat tuntutan adat itu melebihi batas kemampuan orang. Masyarakat adat yang meminta ganti rugi sangat besar, menurut pemikiran pribadi saya yaitu mereka masih kurang pemahaman tentang agama, dimana seharusnya kita saling mengasihi, saling memaafkan satu sama lain termasuk permintaan ganti rugi terhadap korban dalam tuntutan adat. Faktanya masyarakat selalu menyimpan dendam yang dapat mengakibatkan terjadinya pembunuhan. Mengenai permintaan ganti rugi yang selalu tinggi dan tidak menentu, apabila terjadi kecelakaan lalu lintas maka saya selalu minta kepada LPM-D3N, agar membuat suatu keputusan mengenai persoalan ganti rugi dalam penyusunan dan penetapan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi LPM-D3N secara jelas dan transparan, serta di sosialisasikan kepada masyarakat adat suku Dani agar diketahui dan kemudian ditaati dan dipatuhi, sehingga tidak seenaknya meminta ganti rugi yang pembayarannya

69

cukup besar. Tindakan saya terhadap permasalahan ini, bukan karena saya sebagai tokoh agama dan saya tidak memihak. Hanya memberikan pemahaman kepada masyarakat adat suku Dani, baik itu dalam ibadah-ibadah gereja maupun dalam pertemuan-pertemuan LPM-D3N. Kemudian apabila terjadi persoalan antar suku di Kabupaten Nabire, saya bersama dengan kepala suku, tokoh adat dan aparat kepolisian selalu berusaha mencari jalan terbaik untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai atau yang bermasalah”.46

Mengacuh pada hasil wawancara dengan informan ini, maka dapat dianalisis bahwa pandangan Bapak Pdt. Naftalis Tabuni, selaku tokoh gereja sekaligus tokoh agama mempunyai itikad baik untuk bagaimana kita melihat suatu permasalahan kasus kecelakaan lalu lintas atau kasus-kasus lainnya yang berhubungan dengan hukum pidana secara logis dan bijaksana.

Mengenai penentuan besarnya ganti rugi terhadap korban yang diputuskan LPM-D3N harus merupakan ketentuan yang baku dan tak bisa ditawar-tawar oleh masyarakat adat, karena aturannya sudah disepakati oleh kepala suku umum, kepala suku rayon-rayon, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan. Keputusan ini harus disosialisasikan kepada seluruh masyarakat adat agar memahami dan melaksanakannya dalam kehidupan sosialnya sehari-hari.

Dalam pandangan sosialisasi tentang masalah sosial, secara luas dapat diartikan bahwa sosialisasi sebagai suatu proses, dimana warga masyarakat dididik untuk mengenal, memahami, mentaati dan menghargai norma-norma

46

70

dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Secara khusus sosialisasi mencakup suatu proses di mana warga masyarakat mempelajari kebudayaannya, belajar mengendalikan diri dan mempelajari peranan-peranan dalam masyarakat.

Menurut pandangan informan Bapak Andi Heluka, selaku tokoh pemuda yang diwawancarai, mengatakan :

“Dalam pelaksanaan peradilan adat di tanah Papua terutama dalam penyelesaian kasus-kasus perkara, dapat dikatakan bahwa masing-masing suku memilih untuk penyelesaian secara adat terlebih dahulu, setelah itu baru prosesnya dapat ditindak lanjuti ke peradilan negara. Kemudian masyarakat adat suku Dani dalam penanganan kasus-kasus pada intinya meminta ganti rugi dengan pembayaran sejumlah uang, itu dilihat dari bentuk dan macam kasus tersebut. Misalnya dalam kasus pembunuhan dan perzinahan atau pemerkosaan, tuntutan yang diminta bisa jutaan sampai mencapai milyaran. Untuk masalah pembunuhan pembayarannya sangat besar, karena ada istilah adatnya yaitu nyawa ganti nyawa. Permasalahan kasus mengenai pembunuhan ini harus diselesaikan secara cepat, kalau tidak akan menimbulkan perang suku yang berkepanjangan. Selanjutnya, mengenai kasus yang berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas yaitu sebelum para kepala suku mendatangi pihak kepolisian, maka terlebih dahulu para kepala suku, baik itu kepala suku umum maupun kepala suku rayon mengadakan pertemuan di Honai Adat LPM-D3N untuk membahas kasus tersebut dengan warga masyarakat, terutama pihak korban berapa besar ganti rugi pembayaran yang diminta kepada pelaku

71

(terdakwa). Setelah dimusyawarakan untuk mencapai suatu pemufakatan dengan beban pembayaran yang harus dilaksanakan pelaku, maka para kepala suku mendatangi pihak kepolisian untuk penyelesaian kasus tersebut. Adapun besar beban pembayaran dalam bentuk uang yang diminta kepada pelaku, pertama-tama dilihat dari segi ekonomi pelaku. Kalau segi ekonomi pelaku merupakan ekonomi lemah, maka besar tuntutan ganti rugi pembayarannya disesuaikan dengan kemampuan pihak pelaku. Tetapi apabila pelaku merupakan kelas ekonomi menengah keatas seperti pengusaha atau pejabat, maka tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap korban bisa mencapai ratusan juta rupiah. Hal inilah yang selalu diterapkan oleh masyarakat adat Papua, terutama suku Dani dalam menyelesaikan persoalan kasus kecelakaan lalu

lintas di Kabupaten Nabire.”47

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh pemuda tersebut diatas, dapat dianalisis bahwa apa yang disampaikan terutama peranan peradilan adat suku Dani dalam penyelesaian kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Nabire tidak terlepas dari eksistensi masyarakat adat untuk mengakui hak-haknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam sejarah kehidupan masyarakat adat dengan budayanya yang berjalan ribuan tahun dan sampai sekarang masih tetap dipertahankan, termasuk permasalahan pembayaran ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas, yang menurut pandangan banyak orang hal ini tidak sesuai dengan hukum negara yang berlaku dan harus dihilangkan.

47

72

Masyarakat adat suku Dani dengan segala eksistensinya merupakan momentum kebangkitan untuk menata norma-norma adat dan nilai-nilai adat yang dihormati dan ditaati dengan baik secara turun-temurun melalui suatu peradilan adat dengan membentuk organisasi LPM-D3N di Kabupaten Nabire.

b. Kewenangan Penyidik (polisi) Terhadap Penyelesaian Kasus Kecelakaan

Lalu Lintas Secara Hukum Adat di Kabupaten Nabire

Selanjutnya hasil wawancara dengan informan Bapak Iptu. John Nuboba, selaku Kepala Urusan Pembinaan Operasional Lantas Polres Nabire, mengenai kasus Laka Lantas yang selama ini diselesaikan secara hukum positif dengan memperhatikan hukum adat yang berlaku, mengatakan :

“Dengan banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi dan

melibatkan orang Papua, maka pihak lalu lintas melakukan pendekatan kultur budaya, dimana tiap masing-masing suku memiliki hukum adat yang berlaku. Pendekatan ini dilakukan sebab masih banyak masyarakat Papua yang belum memahami hukum positif dan lebih memilih penyelesaian kecelakaan lalu lintas secara hukum adat. Maka seringkali melibatkan tokoh-tokoh adat, dan tokoh agama untuk memberikan pengarahan terhadap masyarakat adat. Menyinggung tentang penanganan kasus kecelakaan lalu lintas terhadap masyarakat adat. Untuk penanganan kasus kecelakaan lalu lintas tersebut, saya menegaskan bahwa jika suatu perkara lalu lintas sudah diselesaikan dengan perdamaian, pihak kepolisian masih bisa memproses secara hukum apabila perkara tersebut sudah pada tahap penyidikan, maka perkara tersebut tidak bisa dihentikan apabila unsur Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP. Oleh karena itu dalam kasus

73

tindak pidana kecelakaan lalu lintas, perdamaian atau penyelesaian secara kekeluargaan oleh pihak tersangka dari korban tidaklah dapat menghapus tindak pidananya. Polisi (penyidik) tetap berwenang memproses (menyidik) menurut hukum yang berlaku mulai dari penyidik oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan dan oleh pengadilan untuk mendapatkan keputusan, akan tetapi dalam praktek penyidik Polres Nabire kadang membiarkan penyelesaian secara hukum adat lebih dulu baru hukum positif apabila mengakibatkan korban meninggal dunia dengan mengunakan proses ADR yaitu Alterative Dispute Resolution. Pada polarisasi dan mekanisme ini sungguh-sungguh dikehendaki bersama oleh para pihak (tersangka dan korban), serta untuk mencapai kepentingan yang lebih luas, yaitu terpeliharanya harmonisasi sosial.

Berdasarkan data yang penulis peroleh di Polres Nabire, bahwa pada tahun 2017 kasus kecelakaan lalu lintas yang menggunakan proses ADR sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) kasus, data terlampir.

Ada beberapa faktor mengapa sampai pihak kepolisian Nabire kadang membiarkan penyelesaian secara hukum adat / kekeluargaan di Kabupaten Nabire yang lebih di utamakan lebih dulu baru hukum positif apabila mengakibatkan korban meninggal dunia, antara lain :

1. Faktor Keadilan

Pada dasarnya menurut hukum positif di Papua kususnya hukum adat di Kabupaten Nabire bahwa perdamaian adat ini memang harus dilaksanakan lebih dulu dari pada hukum positif, hal ini bertujuan untuk menjaga ketenangan dan ketentraman di masyarakat, karena kadangkala tersangka

74

dan keluarganya merasa khawatir, pihak korban akan tetap menaruh dendam kepada mereka, meskipun pelaku sudah dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan, karena bisa saja hukuman yang telah di jatuhkan pada pelaku walaupun berat bagi tersangka, namun jika dirasa tidak adil oleh pihak korban maka dikhawatirkan korban atau keluarganya masih menaruh dendam terhadap pelaku. Apabila jika korban meninggal dunia atau cacat seumur hidup. Karena di Papua istilah dalam penyelesaian adat apabila mengakibatkan seseorang meninggal dunia bahasa adatnya yaitu nyawa ganti nyawa, maka sangatlah penting bawah hukum adat lebih diutamakan lebih dulu baru proses hukumnya;

2. Faktor bahasa

Masyarakat Papua khususnya suku Dani lebih memahami bahasa hukum adat di banding dengan bahasa hukum formal ini dikarenakan bahasa hukum adat lebih mudah untuk dimengerti serta sesuai dengan budaya masyarakat Suku Dani;

3. Faktor waktu, biaya dan tempat

Suku Dani beranggapan bahwa proses penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas mulai dari penyidikan sampai pada tahap putusan pengadilan birokrasinya berbelit-belit dan relatif memakan waktu yang lama hal ini berpengaruh terhadap biaya juga yang harus di keluarkan relatif besar dan juga peradilan negeri yang sangat jauh jadi apabila proses penyelesaian yang sangat lama akan menyita tenaga dan biaya transportasi.

75

4. Faktor Penumpukan Kasus

Menggunakan ADR dapat menghindarkan terjadinya penumpukan perkara

kecelakaan lalu lintas yang kerap terjadi di Kabupaten Nabire.”48

Dari hasil wawancara yang diliput berdasarkan penjelasan dari informan yang berasal dari pihak kepolisian diatas, dapat dianalisis bahwa pada prinsipnya, pelaksanaan eksekusi putusan peradilan adat suku Dani langsung dilakukan sesaat setelah putusan dijatuhkan, dan dilaksanakan oleh hakim adat.

Dokumen terkait