19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sejalan dengan permasalahan yang diteliti, maka dalam tinjauan pustaka penulis
mengetengahkan konsep-konsep yang menjadi kerangka acuan dalam pembahasan
secara ilmiah dan sistematis terhadap permasalahan penelitian, konsep-konsep yang
dipaparkan dalam bagian ini adalah konsep-konsep yang berkembang dari konsep
dasar tentang hukum adat. Konsep-konsep yang dimaksud mencangkup : Pengertian
Hukum Adat, Peradilan Adat dan Penyelesaian Sengketa Menutut Hukum Adat,
Masyarakat Adat Di Papua dan Sistem Pemerintahan Adat di Papua, Peradilan Adat
Suku Dani di Nabire, Pembentukan Organisasi, Susunan Pengurus dan Struktur
Organisasi LPM-D3N (Lembaga Pengembangan Masyarakat Dani, Damal, Daugwa,
dan Nayak) Kabupaten Nabire, Tata Cara Penyelesaian Konflik Dan Perkara Yang di
Tangani Oleh LPM-D3N, serta Hasil Penelitian dan Analisis. Karena permasalahan
yang diteliti berkaitan juga dengan keberadaan pranata hukum adat di Papua yang
memiliki karakteristik khusus dari segi administrasi, paparan bab ini akan diawali
dengan uraian tentang Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus.
A. Papua Sebagai Daerah Otonomi Khusus
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian dimekarkan menjadi
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus oleh Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus sendiri adalah kewenangan khusus
20
mengatur dan mengurus kepetingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.23
Kelahiran UU Otsus Papua pada tahun 2001 adalah sebuah titik balik di mana
keluhan-keluhan penduduk asli Papua mulai dibuka dan diperhatikan. Otonomi
Khusus diharapkan untuk dapat memberikan tindakan yang pasti untuk melindungi
hak-hak penduduk asli Papua dan melibatkan mereka secara aktif baik sebagai
penerima manfaat dan pelaku pada perubahan sosial di Papua.
Hal-hal yang mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini adalah :
“Pertama, pengaturan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah Provinsi Papua
serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan
kekhususan. Kedua, pengaturan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua
serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar, Ketiga, mewujudkan
penyelenggaran pemerintahan yang baik yang berciri :
a) Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta pelaksanaan
pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum
perempuan;
b) Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi
Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip
23
21
pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan
bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
c) Penyelenggaran pemerintah dan pelaksanaan pembangunan yang transparan
dan bertanggungjawab kepada masyarakat.”
Sebagaimana dikemukakan dalam UU Otsus Papua pada dasarnya adalah
pemberian kewenangan khusus yang lebih luas bagi Provinsi Papua pada dasarnya
adalah pemberian kewenangan khusus yang lebih luas bagi rakyat Papua untuk
mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kewenangan ini berarti pula kesempatan untuk memberdayakan potensi
sosial-budaya dan perekonomian masyarakat adat di Papua, termaksud memberikan peran
yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum
perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah,
menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan
keragaman kehidupan masyarakat Papua,24 dan adanya pengakuan terhadap keluhuran jati diri orang Papua dan nilai-nilai yang mereka anut. Ada pernyataan tentang
jaminan konstitusi Republik Indonesia bagi keberagaman. Ada pengakuan tentang
kekhasan orang-orang asli dan kebudayaan Papua. Ada pengakuan bahwa pemerintah
selama ini kurang sekali berpihak kepada rakyat Papua termasuk tidak memberikan
penghormatan dan perlindungan yang layak terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
24
22
orang-orang asli Papua. Ada pula pengakuan terhadap keunggulan cara-cara damai
yang ditempuh oleh orang Papua dalam memperjuangkan hak-haknya.25
Salah satu pasal dalam UU Otsus Papua yang membicarakan tentang hak-hak
orang Papua yaitu dalam Pasal 43, terdapat jaminan terhadap hak-hak masyarakat
adat, hak-hak tersebut antara lain :
(1) Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku;
(2) Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
(3) Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(4) Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya;
(5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.
Dalam penjelasan Pasal 43 ayat (5) UU Otsus Papua dijelaskan bahwa
pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai instansi yang paling mengetahui
hal-ihwal sengketa yang terjadi di wilayahnya berkewajiban melakukan mediasi aktif
25
23
dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul di antara masyarakat hukum adat
atau warganya dengan pihak luar. Sengketa antara para warga masyarakat hukum adat
sendiri diselesaikan melalui peradilan adat sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang. Jika dilihat dari rumusan pasal ini maka penyelesaian sengketa dapat
diselesaikan lewat mediasi ataupun melalui peradilan adat.
Salah satu hal fenomenal yang diatur dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU Otsus
Papua adalah adanya pengakuan terhadap Kekuasaan Pengadilan, Pasal 50
menyatakan :
(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh badan peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Selanjutnya dalam pasal 51 ayat (1), (2), dan (3) mengatakan :
(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
(2) Peradilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Peradilan adat ini kemudian diatur secara lebih spesifik lagi dalam Perdasus
Papua Nomor 20 tahun 2008, kemudian memberikan definisi secara jelas mengenai
24
penyelesaian perkara yang hidup dalam masyarakat hukum adat tertentu di Papua
sedangkan pengadilan adat adalah lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat
dalam masyarakat hukum adat tertentu di Papua dan pengadilan adat ini
berkedudukan di lingkungan masyarakat adat Papua serta dengan kewenangan yang
telah diatur dalam peraturan ini.26
Adapun tujuan dari peradilan adat ini berdasarkan Perdasus Papua adalah
“Pertama, sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap perlindungan,
penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat Papua; kedua,
memperkokoh kedudukan peradilan adat; ketiga, menjamin kepastian hukum,
kemanfaatan, keadilan; keempat, menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos;
dan kelima, membantu Pemerintah dalam penegakan hukum”.
B.
Pengertian Hukum Adat
Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu mulai dari
pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Apabila kebiasan
pribadi itu ditiru orang lain, maka ia akan juga menjadi, kebiasan orang itu. Lambat
laun di antara orang yang satu dan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut
pula melakukan kebiasaan itu. Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat
melakukan perilaku kebiasan tersebut, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi,“adat” dari masyarakat itu. Sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota
masyarakat dengan dilengkapi oleh sanksi, sehingga menjadi, hukum adat. Maka
26
25
dalam hal ini hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam
masyarakat yang bersangkutan.27
1) Pengertian Hukum Adat Menurut Beberapa Ahli
Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, memberikan pengertian tentang
hukum adat yaitu “aturan-aturan kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan
orang-orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan
“hukum”) dan dilain pihak tidak dikodifikasikan (maka dikatakan “adat”).
Selanjutnya maka dikatakan hukum dikarenakan yang dimaksud adalah adat yang
mempunyai sanksi, yaitu adat yang mengandung perintah dan larangan dan apabila
dilanggar maka pelanggar akan mendapat ancaman dari masyarakat adat. Kemudian
dikatakan adat dikarenakan tidak dikodifikasikan, artinya tidak dihimpun dalam suatu
kitab perundang-undangan yang teratur menurut sistem hukum barat.
Sedangkan menurut Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn, memberikan pengertian
tentang hukum adat yang kemudian terkenal dengan ajaran keputusan (
beslissingen-leer), dimana hukum adat dikatakan sebagai “keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang
mempunyai wibawa (macht, authority) serta pengaruh dan yang dalam
pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan penuh hati.
Berdasarkan kedua pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan
fungsionaris hukum ialah seperti kepala adat, para hakim, rapat desa, wali-tanah,
27
26
pejabat agama dan para pejabat desa, yang memberikan keputusan di dalam dan di
luar sengketa yang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum masyarakat, yang
diterima dan dipatuhi karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Jadi,
hukum adat itu ada, karena adanya masyarakat adat.
Secara hukum dibagian lain Prof. Mr. Dr. Hazairin, mengemukakan bahwa
“adat itu adalah renapan (endapan) kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah
-kaidah adat itu berupa -kaidah--kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat
pengakuan umum dalam masyarakat itu”.
Sedangkan Prof. Soediman Kartohadiprodjo S.H., mengatakan bahwa
hukum adat adalah suatu jenis hukum tidak tertulis dan tertentu serta mempunyai
dasar pemikiran yang khas, yang prinsipil berbeda dari hukum tertulis lainnya.
Dengan adanya pendapat dari beberapa parah ahli tersebut di atas dapat dilihat
bahwa hukum adat yaitu anturan-aturan serta keputusan-keputusan yang di buat serta
hukum tidak tertulis atau tidak dikodefikasikan.28
2) Sistem Hukum Adat
Suatu sistem adalah keseluruhan yang tersusun dari berbagai bagian dimana
antara bagian yang satu dan bagian yang lain saling bertautan satu sama lain. Hukum
adalah suatu sistem yang merupakan suatu kesatuan dari berbagai kaidah yang saling
bertautan dan merupakan suatu kebulatan dari alam fikiran yang hidup dalam
masyarakat.
28
27
Sistem hukum adat adalah sistem hukum yang berasal dari alam fikiran bangsa
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yaitu alam fikiran yang percaya dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak membeda-bedakan manusia, yang
mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepetingan pribadi atau golongan, dan
yang menyadari adanya hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan
sosial.29
3) Sumber Hukum Adat
Sumber hukum adat di Indonesia berdasarkan pandangan para pakar hukum
adat (1993) adalah kebiasaan dan adat istiadat yang berkaitan dengan tradisi rakyat
(Cornelis Van Vollenhoven), uger-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang
langsung timbul sebagai pernyataan kultural orang Indonesia asli (Djojodiguno), rasa
keadilan yang hidup dalam hati nurani rakyat (Soepomo) atau budaya tradisonal
rakyat Indonesia (Barend Ter Haar).
4) Sejarah Hukum Adat
Sejarah hukum adat adalah sejarah panjang tentang perjalanan bangsa
Indonesia yang jauh menjangkau masa-masa kejayaan bangsa nusantara yang
memiliki masa pasang dan masa surut sebuah gugus bangsa dan sebagainnya adalah
karena datangnya bangsa Eropa (terutama Belanda, Portugis dan Inggris) yang pada
awalnya bermotif dagang serta petualangan, karena semangat zaman pada masa
kedatangan mereka adalah mencari benua baru di belahan timur dunia ini, akan tetapi
bermuara pada penjajahan (pembentukan koloni).
29
28
Sejarah hukum adat ditandai oleh dua lintasan sejarah, yakni sejarah penemuan
hukum adat sebagai ilmu dan sistem hukum yang berlaku serta sejarah politik atau
kebijakan hukum adat yang berlaku di Indonesia dari masa ke masa, antara lain :
a. Sejarah Penemuan Hukum Adat
Sejarah penemuan hukum adat sebagai ilmu dan sistem hukum dibagai dalam
tahap-tahap, antara lain :
(a) Zaman Sebelum VOC Datang ke Nusantara
Zaman atau masa ini ditandai oleh kedudukan hukum adat sebagai hukum
positif, yang berlaku sebagai hukum yang nyata dan ditata oleh rakyat di
berbagai kerajaan yang hidup dan berkembang di kepulauan yang berserakan
antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Naskah hukum adat yang lahir
pada waktu itu antar lain dibuat pada Raja Dharmawangsa, tahun 1000 Masehi,
berupa Kitab Ciwakasoma, pada masa kerajaan Majapahit berupa kitab Hukum
Gadjahmada (1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada zaman Patih kanaka
(1413-1430). Di Bali ditemukan Kitab Hukum Kutara nanawa.
Zaman setelah orang barat atau asing itu ada, meliputi beberapa zaman antara
lain :
Zaman VOC (tahun 1602-1800)
Zaman ini ditandai oleh perhatian orang asing (barat) terhadap hukum adat,
baik karena tugas jabatannya maupun karena kehendak pribadi untuk
memahami keberadaan hukum adat. Melihat tulisan mereka pada masa itu
29
Robert Padtbrugger tentang adat istiadat Minahasa (1679), Francois Valentijn
berjudul Oudennieuw Oost Inien (1666-1727). Beberapa tulisan bersifat
usaha kodifikasi hukum adat, yang ditulis oleh praktisi, yakni : a) Kitab
Hukum Mogharraer (1750) yang memuat hukum pidana Islam yang terjadi di
Landraad Semarang. b) Kitab Bosschenar Jan Dirk Van Clootswijck, tentang
hukum adat di kerajaan Bone dan Goa (1755). c) Kitab hukum PC Hasselaer
yang berisi tentang hukum adat di Cirebon “Papakem Cirebon” beberapa
tulisan hukum adat lain yang ditulis oleh penulis-penulis barat yang
menggambarkan perhatian terhadap hukum adat.
Zaman Perintis (tahun 1783-1865)
Zaman ini ditandai oleh metode penulisan hukum adat yang didahului atau
disertai dengan penyelidikan terhadap hukum adat, sehingga bobot tulisannya
lebih bernilai ilmiah, Perintis metode penulisan dengan penyelidikan pada
masa ini antara lain :
a. William Marsden (1836), seorang pegawai pamong praja Inggris yang
melakukan penelitian hukum adat dengan hasil penelitiannya yang
ternal The History of Sumatera.
b. Thomas Stanford Raffles (1816) yang berhasil menulis buku The
History of Java.
c. John Crawford (1868) yang menulis The History of Indian
30
d. Daendels, yang memiliki perhatian terhadap hukum acara adat dan
pidana Islam, terutama di pesisir utara Jawa serta berbagai penulis lain
yang memberikan perhatian terhadap hukum adat Indonesia.
Zaman Penemuan Hukum Adat (1865-1926)
Masa ini ditandai oleh perhatian terhadap hukum adat secara lebih mendalam
melalui perhatian, peninjauan dan penelitian yang dilakukan oleh berbagai
pihak, baik kalangan pamong praja, parlemen ataupun ahli dan praktisi
hukum dengan pendalaman pada bidang-bidang hukum adat yang beraneka.
Kalangan pamong praja berminat terutama pada masalah organisasi
masyarakat desa dan tata negara adat, kalangan parlemen mempunyai
perhatian terhadap soal agrarian, kalangan ahli hukum memiliki perhatian
terhadap hukum kekayaan, hukum perjanjian dan hukum pidana adat,
sementara kalangan misionaris berperhatian pada masalah hukum keluargaan
dan hukum waris. Dalam sejarah perjalanan hukum adat, terdapat beberapa
hal yang perlu ditelusuri, yakni sejarah politik hukum adat.
b. Sejarah Politik Hukum Adat
Sejarah politik hukum adat di Indonesia, menurut Ilhami Bisri, S.H., M.Pd yang
di kutip oleh Soepomo dibagi atas 5 tahap dan Bushar Muhammad ditambah 2 periode
lagi, yakni :
1. Masa VOC atau Masa Kompeni
Masa ini ditandai oleh kebijakan kompeni terhadap hukum adat dengan cara
31
(Belanda) untuk daerah pusat pemerintahan kompeni, sedangkan pada daerah
yang belum dikuasai, dipersilahkan bagi pendudukan untuk menggunakan
hukum adat mereka, atau bagi yang mau tunduk pada hukum Belanda,
diperbolehkan. Namun jika mereka akan melakukan hubungan hukum dengan
kompeni, mereka harus menggunakan hukum Belanda. Dengan kata lain, politik
hukum kompeni bersifat oportunistis.
2. Masa Pemerintahan Daendels (1808-1811)
Pada masa ini Daendels mengambil sikap jalan tengah atau kompromistis.
Artinya, hukum adat masih diperbolehkan dianut oleh penduduk bumi putera,
dengan syarat sebagai berikut :
(a) Hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
(b) Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan dasar keadilan dan
kepatutan (dalam ukuran barat);
(c) Hukum adat dapat menjamin tercapainya keamanan umum. Dengan
persyaratan tersebut tampak bahwa pemerintahan Deandels menganggap
rendah kedudukan hukum adat dibanding hukum Belanda.
3. Masa Pemerintahan Raffles (1811-16)
Raffles menggunakan kebijakan atau politik bermurah hati dan bersabar
terhadap golongan pribumi, untuk menarik simpati dan ini merupakan sikap
politik Inggris yang humanistis.
4. Masa tahun 1816-1848
Pada masa ini kedudukan hukum adat mulai terancam karena penguasa Hindia
32
hukum untuk seluruh wilayah jajahannya. Dengan catatan bahwa terjadi
pengecualian berlakunya hukum adat oleh bumi putera. Secara prinsip hukum
adat mulai terdesak oleh berlakunya hukum Hindia Belanda, akan tetapi dalam
praksis pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara hukum adat
dengan hukum barat.
5. Masa tahun 1848-1928
Tahun 1848 menetukan bagi sejarah hukum Indonesia, karena melalui suatu
komisi hukum yang diketuai oleh CJ Scholten van Oud Harlem telah berhasil
tersusun suatu kodifikasi hukum yang mengancam keberadaan hukum adat
sebagai hukum positif, berupa :
(a) Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (dikenal
dengan singkatan AB), setingkat dengan UUD Hindia Belanda pada
waktu itu;
(b) Burgerlijk Wetboek voor Nederlands Indie (BW atau KUH Perdata
Hindia Belanda);
(c) Reglement op de Rechtelijke Organizatie en het Beleid der Justitie in
Nederlands Indie (Peraturan Umum tentang Peradilan Hindia Belanda);
serta
(d) Reglement op de Uitoefening van de Politie Burgerlijke Rechtspleging
en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vree Ostertlingen
33
6. Masa tahun 1928-1945
Masa ini adalah masa penting bagi hukum adat, karena peradilan adat (Adat
Kamer) dibuka pada tanggal 1 Januari 1938 pada Raad van Justitie di Batavia,
yang memiliki tingkat kewenangan mengadili perkara-perkara hukum perdata
adat pada tingkat banding untuk daerah: Jawa, Palembang, Jambi, Bangka,
Belitung, Bali, dan Kalimantan. Pada masa ini pula dihasilkan beberapa
peraturan yang secara implisit memberi tempat dalam hukum adat baik dalam
bidang pemerintahan maupun dalam bidang peradilan umum dan agama.
7. Masa 1945- sekarang.
Pada masa ini hukum adat diakui secara konstitusional melalui Undang-Undang
Dasar dengan persyaratan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
sebuah persyaratan yang syarat dengan nuansa politis. Artinya hukum adat
ditempatkan pada posisi sejajar dengan hukum lain, akan tetapi dalam tataran
praksis sering dipinggirkan apabila kepentingan-kepentingan lain yang
mendesak harus didahulukan.30
5) Unsur dan Sifat Hukum Adat
Dalam rangka untuk dapat lebih memberikan gambaran yang jelas mengenai
hukum adat, kiranya perlu disajikan suatu uraian yang menyangkut unsur-unsur dan
sifat dari hukum adat. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan bahwa :
30
34
a. Sifat Hukum Adat
Bersifat tidak tertulis, artinya tidak akan dijumpai bahan-bahan hukum
yang bersifat tertulis. Apabila dijumpai hal-hal yang ditulis sifatnya,
misalnya sebagaimana dikonstatir oleh Van Dijk, maka adalah lebih baik
dinyatakan sebagai hukum adat tercatat. Sehubungan dengan sifat hukum
adat yang tidak tertulis ini, maka hukum adat mempunyai sifat yang
mudah untuk menyesuaikan diri, sehingga hukum adat itu akan mengalami
perubahan. Perubahan itu akan terjadi karena pengaruh dari situasi-situasi
tertentu dalam proses kehidupan masyarakat. Karena terjadi perubahan
dalam cara berfikir masyarakat yang disebabkan karena antara lain
situasi-situasi tertentu dalam proses kehidupan masyarakat itu.
b. Unsur Hukum Adat
Terwujudnya hukum adat, dipengaruhi oleh unsur agama, memberi corak
terhadap pola-pola perlakuan dari masyarakat yang bersangkutan.31
C.
Peradilan Adat dan Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum
Adat
Dominasi Negara ini menjadikan semua institut hukum mengutamakan
bentuk, seperti pengadilan yang harus berbentuk pengadilan negeri. Hanya pengadilan
negerilah yang diakui oleh negara. Sementara itu, sosiologi hukum itu lebih melihat
pada fungsi, dimana apabila hukum moderen hanya mengakui kehadiran pengadilan
negeri, maka sosiologi hukum melihat bahwa pengadilan itu dapat hadir di
31
35
mana, tidak terikat pada bentuknya. Yang diutamakan adalah apakah suatu institut
menjalankan fungsi pengadilan. Apabila suatu institut itu menjalanankan suatu
pengadilan, jadilah ia sebagai badan pengadilan.32 Demikian sampai sejauh mana ruang lingkup peradilan adat, dapat dibahas sebagai berikut :
Luas Lingkup Peradilan Adat
Istilah Peradilan (Rechtspraak) pada dasarnya berarti pembicaran tentang
hukum dan keadilan yang dilakukan dengan sistem persidangan (permusyawaratan)
untuk menyelesaikan perkara diluar pengadilan atau dimuka pengadilan. Apabila
pembicaraan itu berdasarkan hukum adat maka disebut peradilan hukum adat atau
peradilan adat saja.
Hukum adat peradilan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur
tentang cara bagaimana berbuat untuk menyelesaikan suatu perkara dan atau untuk
menetapkan keputusan hukum sesuatu perkara menurut hukum adat. Proses
pelaksanaan tentang penyelesaian dan penetapan keputusan perkara dimaksud
disebut Peradilan Adat.
Peradilan adat dapat dilaksanakan oleh anggota masayarakat secara
perorangan, oleh keluarga atau oleh tetangga, kepala kerabat atau kepala adat
(hakim adat), kepala desa (hakim desa) atau oleh pengurus perkumpulan organisasi
sebagaimana telah dikemukakan di muka dalam penyelesaian delik adat secara
damai untuk mengembalikan keseimbagan masyarakat yang terganggu.33 Dalam
32
Atjipto Rahrdjo, Penegakan Hukum progresif, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, h.4.
33
36
suatu penyelesaian, hukum adat tidak mengadakan perpisahan antara pelanggaran
hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam lapangan
hukum pidana dan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan
perdata. Oleh karenanya, sistem hukum adat hanya mengenal satu prosedur dalam
hal penuntutan; satu macam prosedur baik untuk penuntutan secara perdata maupun
untuk penuntutan secara kriminal. Dapat berupa sebuah tindakan saja tetapi
kadang-kadang mengingat sifatnya pelanggaran perlu diambil beberapa tindakan. Namun
petugas hukum tidak selalu mengambil inisiatif sendiri untuk menindak si pelanggar
hukum. Terhadap beberapa pelanggaran hukum, petugas hukum hanya akan
bertindak, apabila diminta oleh orang yang terkena. Petugas hukum wajib bertindak,
apabila kepentingan umum (kepentingan masyarakat) langsung terkena oleh sesuatu
pelanggaran hukum.34
D.
Masyarakat Adat Di Papua dan Sistem Pemerintahan Adat di
Papua
1). Masyarakat Adat Di Papua
Membicarakan tentang peradilan adat tidak dapat dilepaskan dari
pembicaraan tentang masyarakat hukum adat itu sendiri, karena keberadaan
peradilan adat sesungguhunya inheren dengan keberadaan masyarakat hukum
adat.
34
37
Di dalam UU Otsus Papua terdapat dua penyebutan istilah yang memiliki
makna hampir sama yaitu masyarakat adat dan masyarakat hukum adat. Pasal 1
huruf p UU Otsus Papua menyatakan :
Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang
hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat
tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara dara
anggotanya.
Sementara itu Pasal 1 huruf r UU Otsus Papua Menyatakan :
Masyarakat hukum adat adalah masyarakat asli Papua sejak
kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta
tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang
tinggi di antara para anggotanya.
Memperhatikan dua peristilahan dan pengertian yang diberikan dalam
Pasal-pasal tersebut diketahui bahwa yang membedakan antara masyarakat adat dan
masyarakat hukum adat adalah pada pengertian msyarakat hukum adat ada
penambahan frasa atau kata “sejak kelahirannya’’, “tertentu’’, dan “hukum”. Dari
pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat adat memiliki
persyaratan yang lebih fleksibel dibandingkan masyarakat hukum adat, karena
masyarakat hukum adat mensyaratkan untuk dapat disebut masyarakat hukum
adat Papua haruslah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya (bukan
pendatang) hidup dalam wilayah tertentu (teritorial) dan tunduk serta terikat
kepada hukum adat tertentu, jadi bukan hanya terikat kepada adat.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan sifat masyarakat hukum adat di
38
merupakan gabungan antara genealogis (hubungan darah) dan teritorial (wilayah),
hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007
tentang Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang pembentukan Kota Tual Di
Provinsi Maluku terhadap UUD NRI 1945, Pendapat Mahkamah Konstitusi
tersebut antara lain sebagai berikut : “kesatuan masyarakat hukum adat dibedakan
atas kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat: (a) genealogis, yang
ditentukan berdasarkan kriteria hubungan keturunan darah; (b) fungsional, yang
didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan bersama
yang mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan tidak
tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah; dan (c) teritorial, yang
bertumpu pada wilayah tertentu di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat
yang bersangkutan hidup secara turun temurun dan melahirkan hak ulayat yang
meliputi hak atas pemanfaatan tanah, air, hutan dan sebagainya”.
Dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat diakui
keberadaanya, jika menurut kenyataanya memenuhi unsur-unsur antara lain :
a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtge-menschap);
b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih
ditaati;
e. Masih mengadakan pengumutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya
39
Sebagaimana telah dijelaskan di atas maka masyarakat hukum adat dapat
dikonsepkan sebagai sekelompok orang yang hidup berama karena ikatan yang
bersifat fungsional, tinggal dalam satu kawasan tertentu yang jelas batas-batasnya
menurut konsep batas masyarakat hukum adat itu, mempunyai kelembagaan
dalam bentuk perangkat penguasa adat (pemerintah adat) tersendiri dilengkapi
dengan lembaga penyelesaian sengketanya (peradilan adat), memiliki perangkat
norma-norma hukum adat, dan memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda
adat materiil maupun inmaterial.35
2). Sistem Pemerintahan Adat di Papua
Dewasa ini pada masyarakat adat di Papua terdata dua sistem pemerintahan,
yaitu sistem pemerintahan formal berupa pemerintahan desa yang dibentuk dari
atas oleh Negara (top down) dan sisten non formal yang tumbuh secara asli dari
bawah (bottom up) yang disebut kesatuan masyarakat hukum adat. Pemerintahan
desa yang oleh Undang-undang Otsus Papua disebut “kampung” merupakan
pemerintahan paling rendah dalam sistem pemerintahan NKRI yang berada di
bawah pemerintahan kecamatan atau distrik. Pemerintahan adat merupakan
pemerintahan asli suku bangsa setempat yang sudah ada sejak jaman dahulu
secara turun temurun, sehingga sistem pemerintahan adat sangat lekat dengan
struktur sosial dan sistem kepemimpinan tradisonal masing-masing suku.36
35
Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum, Op.Cit., h. 66-68.
36
40
Sistem kepemimpinan (politik) tradisonal di Papua penting untuk diketahui,
karena hal ini akan sekaligus menggambarkan sistem pemerintahan adat
masyarakat yang bersangkutan, yang sekaligus melekat di dalamnya dengan
fungsi peradilan adat yang dijalankan. Sisitem politik tradisonal adalah suatu
bentuk sisitem pemerintahan adat yang mengatur kehidupan sosial, budaya,
ekonomi, politik dan hukum dalam kehidupan masyarakat adat orang asli Papua
yang berdiam di daerah kebudayaannya.
Berbicara tentang kepemimpianan pada masyarakat hukum adat di Papua
menunjukan adanya perbedaan antara satu dengan yang lain. Menurut Mientje
De Roembiak, sebelum kontak kebudayaan dengan dunia luar, sesungguhnya
bentuk yang ada (asli) terdiri atas : a) Pemimpin perang; b) Pemimpin adat yang
mengatur kesejahteraan masyarkat; c) Pemimpin ritual; dan d) wakil dalam setiap
clan. Selanjutnya menurut Mientje De Roembiak kepemimpinan pada
masyarakat tradisonal Papua memiliki lima pola, yaitu :
1. Tokoh Chiefman tokoh chiefman, dikenal hanya di dalam kalangan
suku-suku disekitar jayapura teluk Jos Sudarso, Danau Sentani, Pemimpin ini
disebut ondoafi atau ondofolo (di sekitar daerah sentani), dan charsori
(di sekitar teluk jotefa, Injros-Tobati). Jabatan ini bersifat tertutup bagi suku
lain; lebih bersifat kepemimpinan yang diwariskan, atau jabatan yang
dipegang dari turun temurun. Ondoafi atau charsori di damping oleh tokoh
lain yang disebut Koselo, kemudian tokoh/pemimpin-pemimpin clan dan
41
2. Bingman Trade, dikenal pada kelompok etnik pegunungan Jayawijaya,
khususnya daerah Paniai pada suku Ekari (me) yang disebut tonawi. Para
tonawi adalah pemimpin federasi klen-klen kecil yang telah memperoleh
kekuatan politis dari pengeloloaan sumber alam (perdagangan tradisonal)
serta mendapat dukungan dari warganya.
3. Sistem Raja, merupakan salah satu bentuk dari pengaruh kesultanan Tidore
dan ternate di abat XV dan XVI sebagai kaibta hubungan dan kontak yang
terjadi pada waktu itu. Daerah-daerah pengaruh itu berada di Fak-Fak,
sebagian Teluk Bintuni, sebagian pulau-pulau Raja Ampat.
4. Sistem Bigman War, satu sistem yang berpola pada pimpinan orang besar
yang merupakan tokoh/pimpinan perang model ini di jumpai pada
kelompok entik Dani dan suku di sekitar pegunungan Jayawijaya. Toko ini
disebut nagawan perang dan upacara pesta babi merupakan etos budaya
penduduknya yang berada di lembah Baliem, Dani, Yali dan suku lainnya.
Nagawan merupakan pimpinan federasi.
5. Sistem Campuran, sistem ini ditemukan dikalangan suku-suku diteluk
Sairera/ Cendrawasih, antara lain suku Biak Numfor. Kedudukan individu
dalam setiap klen juga dalam keluarga pada tiap-tiap klen sangat otonom.
Masyarakat taat dan tunduk pada seorang mambri (pahlawan perang) dan
tokoh mampapok sebagai pengurus kehidupan sehari-hari.37
37
42
E.
Peradilan Adat Suku Dani Di Nabire
Papua juga terkenal akan adat istiadat dan budaya. Orang Papua dengan ciri
fisik yang menonjol adalah kulit hitam dan berambut keriting. Ciri lain yang dapat
dilihat berdasarkan ciri budayanya, tampak pada kesenian, sistem religi, organisasi
sosial, sistem teknologi tradisional dan bahasa. Ada stigma umum di kalangan non
Papua bahwa, orang Papua semuanya sama. Seperti halnya Papua yang tidak tahu
Jawa secara utuh, mengatakan orang Jawa semua sama. Orang Papua juga terbagi
dalam dua kelompok besar yaitu kelompok masyarakat gunung dan kelompok
masyarakat pantai. Masyarakat adat suku Dani merupakan komunitas masyarakat
yang mendiami daerah lembah baliem pegunungan tengah dan mereka bukan
penduduk asli Nabire dan mereka di Kabupaten Nabire akibat adanya urbanisasi.
Kabupaten Nabire merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi
Papua dengan luas 12.075,00 , dan garis pantai 473 , serta luas lautan
914.056,96 Ha, serta berada pada kawasan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik,
dan diatas 3 (tiga) lempengan bumi, yang secara geografis berada diantara : Bujur
Barat 33”- 15” BT, dan Lintang Utara 28”- 56” LS. Adapun batas
wilayah Kabupaten Nabire adalah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Kepulauan Yapen, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Dogiyai, Sebelah
Timur berbatasan dengan Kabupaten Waropen dan Kabupaten Paniai, dan Sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Kaimana (Papua
43
Kabupaten Nabire memiliki topografi yang bervariasi yaitu wilayah datar
diperkirakan 47% dari luas yang tersebar di sepanjang wilayah pantai dan wilayah
perbukitan kira-kira 53% tersebar di daerah pedalaman (pegunungan).
Mengenai luas wilayah Kabupaten Nabire secara administratif terbagi menjadi
15 Distrik, 72 Kampung, dan 9 Kelurahan, yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1. Luas Wilayah Kabupaten Nabire
No Distrik Luas (Km2) Kampung Kelurahan
1 Uwapa 1.808,96 6 -
2 Yaur 609,63 4 -
3 Teluk Umar 611,00 4 -
4 Wanggar 246,00 5 -
5 Nabire Barat 1.179,00 5 -
6 Nabire 345,00 3 9
7 Teluk Kimi 279,15 5 -
8 Napan 446.00 8 -
9 Makimi 1.321,00 6 -
10 Wapoga 1.040,00 5 -
11 Siriwo 1.203,00 6 -
12 Yaro 830,00 6 -
13 Dipa 838,63 5 -
44
Lanjutan Tabel 1.
No Distrik Luas (Km2) Kampung Kelurahan
15 Moora - - -
Jumlah Total 12.075,00 72 9
Sumber Data : http://nabirekab.go.id/portal/geografis/.38
Pembagian Distrik ke dalam wilayah administratif di provinsi Papua dan
Papua Barat, dibawah kabupaten atau kota. Dengan diterapkannya UU Otsus
Papua, Pasal 1 huruf (k), Distrik merupakan perangkat Daerah Kabupaten atau
Kota di Papua yang mempunyai wilayah kerja tertentu yang dipimpin oleh seorang
Kepala Distrik, Distrik dibagi lagi menjadi sejumlah kampung, atau dengan nama
lain sesuai dengan adat istiadat setempat. Selain itu dalam UU Otsus Papua Pasal 1
huruf (i), tersebut memberikan definisi tentang kampung menjelaskan bahwa
kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah
Kabupaten/Kota.39
Kelurahan dan Kampung adalah pembagian wilayah administratif di
Provinsi Papua dibawah distrik. Istilah "Kampung" menggantikan "Desa".
Sedangkan Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
38
http://nabirekab.go.id/portal/geografis/ dikunjungi pada tanggal 9 September 2017 hari sabtu pukul 14.52 wib.
39
45
penduduk dan mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah
camat dan letaknya di lingkungan perkotaan.40
Masyarakat suku Dani yang berada di Kabupaten Nabire, kebanyakan berasal
dari daerah pedalaman Nabire yaitu berasal dari daerah Illu, Mulia, Ilaga, dan
Wamena yang punya kebiasaan adat secara turun-temurun. Bahkan masyarakat adat
suku Dani mempunyai latar belakang budaya yang berbeda dengan suku-suku Papua
lainnya yang berada di Provinsi Papua. Kebiasaan adat suku Dani sangat mengikat
dan mempunyai norma-norma adat yang harus dipatuhi dan dijalankan dalam
kehidupan sehari-harinya. Mereka selalu berhati-hati untuk beradaptasi dengan
kemajuan jaman, dimana dalam hubungan kekerabatan dengan suku lain, mereka
selalu mempertahankan jati dirinya sebagai orang Dani yang memiliki adat-istiadat
yang harus diakui orang lain, termasuk sistem pengambilan keputusan yang dilakukan
oleh kepala suku. Dan pengambilan keputusan itu dianggap sah dan mutlak harus
dilaksanakan dan tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan adat-istiadat yang
dianutnya, termasuk keputusan dalam peradilan adat.
Di daerah Kabupaten Nabire bagian pegunungan yang mengkoordinir,
memfasilitasi, mengatur dan memelihara tatanan adat adalah Lembaga Pengembangan
Masyarakat Dani, Damal, Daugwa, dan Nayak (LPM-D3N), biasanya dilakukan di
Honai adat yang berlokasi di Kampung Kalisemen Distrik Nabire Barat. Untuk lebih
jelasnya tentang lokasi honai adat tersebut, dapat dilihat pada gambar foto di bawah
ini :
40
46
Gambar 2.
KANTOR HONAI ADAT LPM-D3N KABUPATEN NABIRE
Foto Dokumentasi (Tanggal, 23 Januari 2018).
Penjelasan gambar foto honai adat diatas, adalah merupakan Kantor Adat
LPM-D3N yang berlokasi di Kampung Kalisemen Distrik Nabire Barat Kabupaten
Nabire, dan biasanya atau di sinilah masyarakat adat suku Dani, Damal, Daugwa, dan
Nayak (D3N) mengadakan peradilan adat, di mana masyarakat berkumpul di halaman
honai adat untuk mengikuti dan menyaksikan peradilan adat yang dilaksanakan oleh
kepala adat selaku hakim adat. Selain itu pula, areal honai adat biasanya juga
digunakan untuk pertemuan-pertemuan adat yang membicarakan tentang
pengembangan organisasi LPM-D3N yang dilaksanakan oleh para kepala-kepala suku
D3N secara struktural bersama Dewan Adat Suku (DAS) yang dihadiri masyarakat
D3N yang berdomilisir di kota Nabire dan sekitarnya.
Pengertian “HONAI” adalah penyebutan atau panggilan nama untuk rumah
adat masyarakat yang berada dan hidup di daerah pegunungan (Pedalaman). Honai
merupakan salah satu rumah tradisional suku asli Papua yang berada di wilayah
47
ditumpuk menggunakan jerami atau ilalang kering diatasnya. Berbeda dengan rumah
tradisional lainnya. Honai tidak memiliki jendela karena bertujuan agar menahan
hawa dingin di daerah pengunungan Papua.
Keberadaan suku Dani di Kabupaten Nabire sejak integrasi Irian Barat masuk
ke dalam pangkuan ibu pertiwi sejak tahun 1963, dan mereka mendiami beberapa
tempat dalam wilayah Kabupaten Nabire, antara lain daerah Kimi dengan kampung
Lani, daerah kalisusu dengan nama kampung kalisusu dan beberapa wilayah lainnya
yang berada di Kabupaten Nabire. Penyebaran suku Dani ini ke kota Nabire dengan
adanya urbanisasi untuk mencari lapangan pekerjaan. Pada hal sejak adanya
pemerintah koloni Belanda di Papua New Guinea (Irian Barat) mereka suku-suku
yang berada di daerah-daerah pedalaman, seperti suku Mee, suku Moni, suku Damal,
termasuk suku Dani tidak diperbolehkan turun dan berada di daerah perkotaan. Hal ini
disebabkan pemerintah Belanda pada waktu itu mempelajari karakter dan prilaku
suku-suku tersebut terutama tingkat pemikirannya yang masih rendah dan masih
primitif, apabila dibiarkan berada di daerah perkotaan akan menimbulkan gejolak
sosial terhadap suku lain yang berada di daerah pinggiran pantai. Namun dengan
masuknya Irian Barat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan perhatian
pemerintah Indonesia terhadap dinamika masyarakat dalam upaya pemberdayaan
masyarakat serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang harus dinikmati
oleh masyarakat, maka jelas mengundang proses urbanisasi masyarakat suku Dani
48
Pembentukan LPM-D3N di Kabupaten Nabire, merupakan suatu wadah
organisasi yang menghimpun suatu komunitas adat dalam mengembangkan
kehidupan budaya yang di wariskan secara turun-temurun dan melestarikannya agar
tidak hilang dengan kemajuan zaman yang cepat dan mendasar.
Kelembagaan adat D3N di Kabupaten Nabire sudah ada dan secara organisasi
kemasyarakatan adat mempunyai struktur yang berbadan hukum yang sudah diketahui
oleh pemerintah daerah karena sudah mendaftarkan diri pada institusi resmi
pemerintah yaitu Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat
Kabupaten Nabire.
Kebanyakan orang merasa ragu dengan lembaga-lembaga adat yang ada di
tanah Papua belum berbadan hukum. Tapi persepsi kebanyakan orang ini dapat
dikatakan keliru, karena lembaga adat ini merupakan suatu organisasi yang harus
memenuhi prinsip-prinsip organisasi sebagaimana organisasi kemasyarakatan lainnya.
Jadi jelas bahwa lembaga adat D3N mempunyai susunan kepengurusan secara
struktural dan berbadan hukum resmi yang diakui oleh pemerintah Kabupaten Nabire.
Muncul lembaga-lembaga adat di tanah Papua pada umumnya, dan Kabupaten Nabire
pada khususnya yang antara lain berdirinya Lembaga Pengembagan Masyarakat Adat
49
F.
Pembentukan Organisasi, Susunan Pengurus Dan Struktur
Organisasi LPM-D3N Kabupaten Nabire
1. Pembentukan Organisasi
Pembentukan organisasi LPM-D3N, dengan berdasarkan pada cita-cita yang
luhur untuk turut mengabdi kepada masyarakat, tentu mempunyai maksud dan
tujuan dalam keberadaan organisasi dan pengurus kemasyarakatan.
1) Dasar hukum
Pembentukan LPM-D3N Kabupaten Nabire, berdasarkan surat keterangan
keberadaan organisasi dari Pemerintah Kabupaten Nabire, melalui Badan
Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Nomor:
220/447/ORKERMAS/X/2011, menyatakan bahwa berdasarkan surat LPM-D3N
Nomor: 001/LPM-D3N/X/2011 tanggal 25 Oktober 2011, setelah diadakan
penelitian terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, maka
Susunan Pengurus, Program Kerja dan lain sebagainya pada prinsipnya telah
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pelaksanaannya. Oleh karena itu,
dinyatakan telah terdaftar pada Pemerintah Kabupaten Nabire cq. Badan
Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat.
Lembaga Pengembangan Masyarakat Dani, Damal, Daugwa dan Nayak,
didirikan pada tanggal 12 Desember 2002 dan pada tanggal 6 Januari 2003 disahkan
oleh Bupati Kabupaten Nabire Drs. A.P. Youw dan disaksi para Muspida Kabupaten
50
Maksud dan tujuan pembentukan organisasi LPM-D3N Kabupaten Nabire,
yaitu :
a. Maksud dan tujuan
Pembentuk organisasi kemasyarakatan D3N, dalam mengembangkan organisasi
ini mempunyai maksud dan tujuan, antara lain :
(a) Mengutamakan partisipasi aktif seluruh masyarakat dalam mengembangkan
serta dalam proses pengembangan untuk mengabdikan diri secara bersama
masyarakat D3N (Dani, Damal, Daugwa, dan Nayak) Provinsi Papua untuk
mencapai tujuan pelaksanaan pembangunan bangsa.
(b) Akan menjadi mitra kerja semua komponen baik itu pemerintah dan
masyarakat.
(c) Melestarikan budaya-budaya berbagai macam kegiatan-kegiatan bakti
sosial bentuk pemberdayaan untuk kepentingan masyarakat dan Negara.
(d) Turut melanjutkan atau mengembangkan amanat rakyat dalam
pemberdayaan di semua bidang peningkatan kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat yang adil dan makmur.
b. Kegiatan Program-Program
Untuk tercapainya maksud dan tujuan tersebut, Lembaga Pengembangan
Masyarakat D3N (Dani, Damal, Daugwa dan Nayak) melaksanakan
program-program, antara lain :
(a) Melakukan penelitian di berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi,
51
(b) Melaksanakan pengembangan sumber daya manusia (SDM) melalui
pendidikan, pelatihan, seminar, diskusi, loka karya, kajian ilmiah untuk
peningkatan kualitas manusia yang pintar dan cerdas.
(c) Menegakkan hak-hak masyarakat suku D3N (Dani, Damal, Daugwa dan
Nayak) terutama HAM, Masyarakat Hukum Adat, Demokrasi, Pendidikan,
Kehutanan, Lingkungan Hidup serta warisan budaya ekonomi sosial
bersifat komperenship menyangkut kemakmuran masyarakat.
(d) Bekerja sama dalam berbagai perkembangan untuk menghadapi era
globalisasi.
(e) Mengamankan dan menginventarisir nilai-nilai budaya suku D3N (Dani,
Damal, Daugwa dan Nayak) se Kabupaten/Kota Provinsi Papua.
(f) Melakukan pembinaan kepada masyarakat D3N dalam kelompok-kelompok
usaha demi kelangsungan hidup masing-masing di Kabupaten/Kota
Provinsi Papua.
(g) Penyediaan sarana dan prasarana Lembaga Masyarakat Adat D3N di
Kabupaten/Kota.
(h) Pemberian rekomendasi kepada masyarakat D3N dalam rangka urusan
kepentingan masyarakat atau perwakilan adat bagi masyarakat D3N se
52
2. Susunan Pengurus LPM-D3N Kabupaten Nabire
Adapun susunan pengurus inti Lembaga Pengembangan Masyarakat D3N
Kabupaten Nabire, terdiri dari :
a. Ketua : Ayub Wenda
b. Sekretaris : Anius Kogoya (Aniko).
c. Bendahara : Linus Wenda, S. PAK
d. Alamat : Jl. Garuda, RT.28/RW.08 Kampung Kalisemen
Distrik Nabire Barat Kabupaten Nabire.
Selain pengurus inti diatas, Lembaga Pengembangan Masyarakat Dani,
Damal, Daugwa, dan Nayak (LPM-D3N) Kabupaten Nabire, mempunyai susunan
pengurus harian yang secara struktural terdiri dari :
a. Dewan Penasehat :
1. Drs. Daniel B.K. Wakerkwa.
2. Pdt. N. Naftali Tabuni, Sm. Th.
3. Pdt. Erok Kogoya.
4. DR. (Hc) Mesak Kogoya.
5. Obeth Yigibalom.
6. Tipanus Yikwa.
b. Pengurus Harian :
1. Ketua Umum : Ayub Wenda.
Wakil Ketua I : Yerry L. Tabuni.
Wakil Ketua II : Pither Huby.
Sekretais Umum : Anius Kogoya (Aniko).
53
2. Bendahara Umum : Linus Wenda, S.PAK.
Bendahara I : Erinus Kogoya, S.Kom.
Bendahara II : Iyur Tabuni, S.IP.
3. Bidang-Bidang :
a) Bidang Hubungan Pemerintahan
1. Lazarus Wenda, S.Sos.
2. Yahya Gombo, S.Sos.
3. Ironimus Alom.
b) Bidang Hubungan Kemasyarakatan
1. Bam Levinus Kogoya.
2. Bab Weya.
3. Jhon Kogoya.
c) Bidang Keamanan/Bintal Spiritual
1. Ev. Petrus Pigome.
2. Pdt. Enius Kogoya, S.Th.
3. Max Wenda.
d) Bidang Organisasi
1. Bondel Wakerkwa.
2. Ipier Frans Wanimbo, SH.
3. Korneles Kogoya.
e) Bidang Pendidikan dan Latihan
1. Simson Wenda, S.Sos.
54
3. Dilien Yomon.
f) Bidang Perencanaan dan Pembangunan
1. Derius Morib.
2. Andi Heluka.
3. Supen Morib, S.Sos.
g) Bidang Hukum dan Advokasi
1. Kenius Tabuni, S.Th., M.Hum.
2. Herman Matua.
3. Koiles Kogoya.
h) Bidang Pemuda dan Olah Raga
1. G. Thoni Tabuni.
2. Beur Wakur, S.POK.
3. Kiwene Wenda, S.PAK.
i) Bidang Pemberdayaan Perempuan
1. Sekina Tabuni, S.IP.
2. Dolly Kogoya.
3. Feronika Kogoya.
3. Struktur Organisasi LPM-D3N Kabupaten Nabire
Adapun Struktur Organisasi Lembaga Pengembangan Masyarakat Dani,
Damal, Daugwa, dan Nayak (LPM-D3N) Kabupaten Nabire, dapat dilihat pada
56
G.
Tata Cara Penyelesaian Konflik Dan Perkara Yang Ditangani
Oleh LPM-D3N
1. Tata Cara Penyelesaian Konflik
Suku Dani dalam beradaptasi dengan lingkungan masyarakat perkotaan
masih berpegang pada norma-norma adat-istiadat secara turun temurun,
kebiasaan budaya yang dianutnya sampai saat ini sulit untuk dihilangkan.
Apabila terjadi pelangaran terhadap tata pergaulan atau norma-norma adat yang
berlaku pada masyarakat maka tindakan tersebut dianggap sebagai menyalai
aturan adat dan melanggar aturan adat tersebut harus di proses melalu jalur
hukum adat, keputusan atau penyelesaian diambil atas dasar musyawarah dan
mufakat secara bulat oleh majelis Hakim. Dalam kehidupan masyarakat yang
bercirikan masyarakat adat peranan ketua adat mempunyai posisi sentral dalam
pembinaan dan kepemimpinan masyarakat, sekaligus menjadi hakim dalam
penyelesaian sengketa di masyarakat.
“Menurut hasil wawancara dengan Bapak Ayub Wenda selaku kepala
suku Dani dalam penyelesaian konflik tersebut diselesaiakan dengan
perdamaian dilakukan berdasarkan aturan tertentu, dengan cara pembayaran
denda pada saat upacara bakar batu sebagai tanda ganti rugi hal ini merupakan
sanksi adat. bakar batu merupakan sebuah ritual memasak bersama-sama,
budaya tradisional Papua bagian pegunugan yang dilakukan sebagai bentuk
upacara syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan tamu
agung, dan juga sebagai upacara kematian. Selain itu, upacara ini juga
57
lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan saling memaafkan antara warga.
Bagi Suku Dani masalah akan selesai tidak cukup hanya dengan duduk bersama
dan makan bersama. Dalam upacara bakar batu terdapat suatu momen dimana
pihak suku yang bersalah membayar denda adat pada suku yang merasa
dirugikan. Musyawarah tersebut dihadiri oleh perwakilan kepala suku dari
kedua belah pihak, baik korban maupun pelaku”.41
Dapat dilihat bahwa Peran kepala suku sangatlah penting untuk
masyarakat sukunya untuk memahami betul norma-norma adat yang sudah ada
sehinga kepala suku harus benar-benar adalah orang yang memahami betul
norma-norma adat masyarakatnya, mempunyai kemampuan dan pengaruh
secara adat, yakni kemampuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin secara suka rela.
Dengan adanya figur yang demikian, masyarakat adat rasa memiliki seorang
pimpinan adat yang dapat melindunginya, apabila ada masalah-masalah sosial
yang dihadapi oleh masyarakat adat itu sendiri.
2. Perkara Yang Di Tangani LPM-D3N
Lanjut informan Bapak Ayub Wenda, selaku Kepala Suku atau yang
biasa di sebut nama Ap nggoh dan Niniwe oleh suku Dani, Damal, Dawa, dan
Nayak (D3N) di Kabupaten Nabire ketika diwawancarai Menanggapi
permasalahan perkara adat apa saja yang di tangani peradilan adat suku Dani
dalam lembaga pengembangan masyarakat D3N, maka berikut ini hasil
wawancaranya mengatakan :
41
58 “Bahwa lembaga masyarakat D3N merupakan satu rumpun dalam suku
besar Dani. Oleh sebab itu, keputusan-keputusan lembaga adat D3N ambil dan
tetapkan dalam pertemuan Honai Adat tersebut selalu itu selalu menangani
semua persoalan yang menyangkut masalah adat. Semua persoalan yang
menyangkut pelanggaran adat ini berhubungan dengan masyarakat adat D3N,
seperti persoalan pembunuhan, perkosaan (perzinahan),pencurian atau
masalah-masalah lain yang berhubungan dengan sengketa tanah (masalah-masalah tanah adat),
oleh masyarakat adat D3N, dimana penanganan kasusnya tidak memihak dan
melihat perbuatan kasus tersebut secara hukum adat dengan pemberian sanksi
hukum adat yang sepantas dan sesuai dengan tingkat perbuatan yang dilakukan
oleh si pelaku, Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan adat
dapat dijatuhi sanksi.
Berikut beberapa penjelasan mengenai pemberian sanksi adat Suku
Dani terhadap pelaku untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu :
1. Bila istri berselingkuh dengan pria lain (meskipun lelakinya masih
kerabat keluarga), maka didenda lima ekor babi lalu dapat berdamai, tapi
jika pihak laki-laki bersikeras maka sesudah denda adat maka istri akan
dicerai.
2. Pembunuhan denda ini biasa disebut dengan Bayar Kepala didenda
dengan cara penyerahan babi yang terbilang tidak sedikit, bisa mencapai
59
3. Pencurian terhadap barang berharga seperti kulit kerang yang biasa
dipakai sebagai mas kawin dari pihak laki-laki. Maka akan dibuat adat
pemotongan dua ekor babi dan barang yang dicuri dikembalikan.
4. Sedangkan pemberian sanksi terhadap tindak pidana kecelakaan lalu
lintas khususnya di Kabupaten Nabire yang mengakibatkan korban
meninggal dunia maka dapat dituntut berupa uang dengan melihat faktor
ekonomi pelaku.
Suku Dani menggunakan hewan babi sebagai denda adat dikarenakan
pada jaman dulu belum adanya mata uang selain itu babi terbilang cukup
mahal, merupakan mata pencarian dan juga digunakan untuk pembayaran mas
kawin dalam sebuah pernikahan.”42 Penyelesaian secara adat ini merupakan tradisi turun temurun dalam kehidupan sehari-hari yang di jalankan suku Dani
sampai saat ini dan sulit untuk dihilangkan.
Keberadaan suku Dani di Kabupaten Nabire yang dimana penerapan
hukum normatif yang diutamakan apabila adanya permasalahan maka di
selesaikan melalui jalur hukum yaitu pengadilan negeri setempat, sedangkan di
sisi lain Suku Dani yang masih menerapkan hukum adatnya tersebut lebih
memilih menyelesaikan perkara secara hukum adat walaupun perkara tersebut
memiliki aturan tersendiri seperti perkara kecelakaan Lalu lintas yang sudah
diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Penyelesaian kecelakaan lalu lintas yang telah mengakibatkan
42
60
kerugian harta benda dan jiwa manusia atau mengakibatkan orang mati atau
luka, sudah diatur dengan jelas dan tegas dalam UU Lalu Lintas tersebut Hal ini
diharapkan sebagai aturan yang mengatur penyelesaian perkara pidana secara
formil dan materil.
Namun adanya peradilan adat pada masyarakat hukum adat di Papua,
khususnya masyarakat suku Dani, dalam penyelesaian kasus tersebut
disebabkan adanya dinamika masyarakat yang hidup dalam suatu komunitas
yang mempunyai norma-norma adat istiadat yang dipegang secara
turun-temurun.
Selain itu masih ada masyarakat suku Dani yang belum memahami
proses hukum normatif dikarenakan prosesnya yang begitu lama dan
membingungkan ketimbang penyelesaian secara hukum adat atau melalui
peradilan adat yang lebih cepat dan dapat di pahami oleh masyarakat suku Dani
dan memberikan keadilan ketimbang hukum Negara yang terkadang jarang
didapatkan oleh pihak korban.
H.
Hasil Penelitian Dan Analisis
Sub bab ini memberikan pembahasan terhadap hasil penelitian yang nantinya
dapat dianalisis. Adapun proses hasil penelitian ini, dibahas dan diuraikan
berdasarkan hasil wawancara (interview) yang diperoleh dari lapangan dengan
mengadakan kontak komunikasi dengan beberapa informan yang dianggap
mengetahui permasalahan yang diteliti dengan sebenarnya tentang Peradilan Adat
61
Nabire, sesuai dengan pedoman wawancara dititik beratkan pada topik pembahasan
yang meliputi dimensi sebagai berikut :
a. Proses Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Secara Hukum Adat
Suku Dani Oleh LPM-D3N di Kabupaten Nabire
Berdasarkan data yang telah diambil oleh penulis ada dua kasus kecelakaan
lalu lintas yang diselesaian secara adat dengan permintaan ganti rugi kasus
pertama, terjadi pada hari Minggu tanggal 16 Juli 2017, dimana sepeda motor
Yamaha Vixion DS 2380 KR yang dikendarai Sdr. Jekson Anouw yang diduga
berboncengan dengan Sdr. Agus Howay terpengaruh Alkohol saat berkendaraan
tidak dapat mengendalikan laju kendaraannya, hingga terjatuh Sdr. Agus Howay
meninggal dunia saat mendapat perawatan di RSUD Kabupaten Nabire. Dari
peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut ini, maka sesuai dengan putusan adat
sanksi adat yang diberikan kepada pihak pelaku oleh pihak korban, yaitu pihak
pelaku memberikan denda uang sebesar Rp.200.000.000,- (Dua Ratus Juta
Rupiah).
Kasus kecelakaan lalu lintas kedua, pada hari Senin tanggal 1 Oktober 2016
antara Sdr. Umar Faruk berprofesi tukang ojek pada saat itu sedang membonceng
penumpang Wald Dogopia dan mengalami kecelakaan sehingga penumpang Wald
Dogopia pada akhirnya meninggal dunia di RSUD Nabire setelah mendapatkan
perawatan. Dengan meninggal dunia Sdr. Wald Dogopia, maka tuntuntan adat
atau sanksi adat yang diberikan kepada pihak pelaku pengendara sepeda motor
yaitu Sdr. Umar Faruk pembayaran denda adat sebesar Rp. 20.000.000,-(Dua
62
Lebih lanjut Bapak Ayub Wenda dalam menanggapi masalah kasus lalu
lintas yang melibatkan masyarakat adat, mengatakan :
“Berbicara mengenai penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas,
permasalahannya dipisahkan dengan kasus-kasus adat lainnya, Mengenai kasus
kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang tidak disengaja berarti kami menyerahkan
sepenuhnya kepada pihak berwajib yaitu Polres Nabire, yang mana proses
kecelakaannya diproses oleh bagian Laka Lantas sesuai dengan tingkat
pelanggaran yaitu mencari tahu siapa yang bersalah, apakah korban atau pelaku.
Pihak Polres Nabire juga melihat korban adalah masyarakat adat suku Dani, maka
mereka berhubungan (berkomunikasi) dengan kepala suku dan tokoh-tokoh adat,
agar ada kerja sama yang baik dalam menangani permasalahan kecelakaan lalu
lintas ini bisa sesuai dengan hukum adat yang berlaku dan juga sesuai dengan
hukum nasional”.43
Mengacu pada hasil pembicaraan informan tersebut diatas, dapat dianalisis
bahwa dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas ini, pihak adat tidak
sekaligus mengambil alih pokok permasalahan dalam peradilan adat, tetapi ada
kerja sama dan koordinasi dengan pihak berwajib sesuai dengan hukum negara
yang berlaku. Apabila penyelesaiannya disepekati bersama diatur secara
kekeluargaan dengan sanksi ketentuan adat yang berlaku.
Selanjutnya, informan Bapak Ayub Wenda, menanggapi tentang proses
penyelesaian terhadap pelaku kasus kecelakaan lalu lintas, mengatakan memiliki
jalurnya sendiri :
43
63
Gambar 4.
Jalur Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Secara Hukum Adat Suku
Dani Oleh LPM-D3N di Kabupaten Nabire
Sesuai dengan diagaram diatas maka dapat dilhat bahwa jalur penyelesaian
kasus kecelakaan lalau lintas secara hukum adat oleh suku Dani ini dimulai dari
pihak korban melaporkan kepada pihak LPM-D3N terlebih dahulu untuk
menyampaikan persoalan yang telah dialami, selanjutnya pihak LPM-D3N
bersama pihak korban mendatangi polres Nabire untuk diselesaian permasalahan
adat ganti rugi dari tersangka kepada pihak korban.
“Peran utama Peradilan adat LPM-D3N dalam menyelesaikan perkara lalu
lintas yang melibatkan masyarakat suku Dani yaitu sebagai mediator dalam
menyelesaikan kasus tersebut. Dan bahwa sebelum sanksi ditetapkan, terlebih
dahulu diadakan musyawarah di Honai Adat bersama keluarga dari pihak
korban kecelakaan, yang dihadiri semua pihak-pihak seperti yang tercantum
sesuai dengan stuktur LPM-D3N, selain dapat mengadakan musyawarah di
Honai adat dapat juga di tiap rumah Kepala suku rayon dan sub rayon yang
sudah ditentukan sebagai Kepala Suku setempat, dalam penyelesaian ini kepala
Pihak Korban
LPM-D3N Polres Nabire
64
suku menentukan berapa besar pembayaran dalam tuntutan mereka terhadap
pelaku dengan memperhatikan latar belakang ekonomi pelaku, apakah pelaku
dari ekonomi rendah atau menengah ke atas. Apabila pelaku dari ekonomi
rendah, maka tuntutan bayaran yang diminta tidak begitu tinggi, tetapi
seandainya pelaku dari ekonomi menengah atau pengusaha besar, maka tuntutan
pembayarannya di atas jutaan rupiah. Ketentuan ganti rugi tersebut berlaku bagi
sesama suku Dani atau satu rumpun organisasi dengan suku Dani dan juga
kepada suku lain seperti suku Biak, suku Jawa, suku Toraja serta suku lain yang
berdomisili di Kabupaten Nabire. Dalam penentuan sanksi kepada pelaku,
apabila korban meninggal dunia maka pembayarannya dapat ditargetkan 60 juta
rupiah, dan 100 juta rupiah sampai 200 juta rupiah dengan memperhatikan latar
belakang ekonomi pelaku. Sedangkan apabila korban luka berat, atau luka
ringan maka tuntutan pembayarannya adalah menanggung ongkos perawatan
selama korban di rumah sakit, dan untuk luka ringan cukup diberikan ongkos
pengobatan.’’44 Kemudian mereka datangi Polres Nabire untuk menfasilitasi pertemuan mereka dengan sang pelaku dan keluarganya. Pada pertemuan
mereka dengan si pelaku dan keluarganya inilah tuntutan mereka disampaikan.
Apabila ada kesepakatan antara kedua belah pihak maka bukti pembayaran
terhadap tuntutan mereka oleh Polres Nabire dibuat dalam bentuk surat
pernyataan dengan bukti pembayaran di atas kuitansi bermeterai. Setelah
pembayaran tuntutan mereka selesai dilaksanakan, maka kedua belah pihak
44
65
dipersilahkan menanda tangani surat pernyataan bahwa diantara kedua belah
pihak tidak ada permusuhan.
Apabila kasus kecelakaan lalu lintas tersebut melibatkan sesama suku
Dani yang mana korban adalah orang Dani begitu juga tersangka maka
perwakilan kepala suku rayon atau kepala suku sub rayon yang ada pada sturktur
LPM-D3N yang diminta oleh korban atau tersangka untuk dapat mewakili dan
menghadiri pertemuan di polres Nabire.
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan Kepala Suku Umum D3N
tersebut diatas, terutama sistem pengambilan keputusan dalam menangani kasus
perkara secara adat dapat dianalisis bahwa pengambilan keputusan tersebut
dalam pemberian ganti rugi terhadap tersangka belum ada ketentuan yang
menetap maksimal pemberian ganti rugi atas kecelakaan lalu lintas dikarenakan
hanya diukur berdasarkan ekonomi si pelaku.
Memperhatikan sanksi secara adat yang diminta ini dapat dianalisis
bahwa peradilan adat dalam suku Dani pada dasarnya melihat faktor manusia ini
sangat penting, karena manusia bukan binatang, tapi manusia adalah ciptaan
Tuhan yang sempurna dan mempunyai jiwa atau nyawa yang sangat berharga.
Sebab apabila jiwa atau nyawa dihilangkan tidak ada lagi jiwa atau nyawa yang
dapat dibeli di toko atau dimana saja untuk menggantikan roh yang sudah hilang
itu. Dalam konteks ini, Suku Dani melihat permasalahan ini sebagai suatu
pelanggaran adat, karena korban yang meninggal dilahirkan dengan suatu budaya
dan mempunyai adat-istiadat yang diakui dalam masyarakat adat. Lebih jelasnya,