• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peradilan Adat Suku Dani dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas di Kabupaten Nabire

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peradilan Adat Suku Dani dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas di Kabupaten Nabire"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sejalan dengan permasalahan yang diteliti, maka dalam tinjauan pustaka penulis

mengetengahkan konsep-konsep yang menjadi kerangka acuan dalam pembahasan

secara ilmiah dan sistematis terhadap permasalahan penelitian, konsep-konsep yang

dipaparkan dalam bagian ini adalah konsep-konsep yang berkembang dari konsep

dasar tentang hukum adat. Konsep-konsep yang dimaksud mencangkup : Pengertian

Hukum Adat, Peradilan Adat dan Penyelesaian Sengketa Menutut Hukum Adat,

Masyarakat Adat Di Papua dan Sistem Pemerintahan Adat di Papua, Peradilan Adat

Suku Dani di Nabire, Pembentukan Organisasi, Susunan Pengurus dan Struktur

Organisasi LPM-D3N (Lembaga Pengembangan Masyarakat Dani, Damal, Daugwa,

dan Nayak) Kabupaten Nabire, Tata Cara Penyelesaian Konflik Dan Perkara Yang di

Tangani Oleh LPM-D3N, serta Hasil Penelitian dan Analisis. Karena permasalahan

yang diteliti berkaitan juga dengan keberadaan pranata hukum adat di Papua yang

memiliki karakteristik khusus dari segi administrasi, paparan bab ini akan diawali

dengan uraian tentang Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus.

A. Papua Sebagai Daerah Otonomi Khusus

Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian dimekarkan menjadi

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus oleh Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus sendiri adalah kewenangan khusus

(2)

20

mengatur dan mengurus kepetingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.23

Kelahiran UU Otsus Papua pada tahun 2001 adalah sebuah titik balik di mana

keluhan-keluhan penduduk asli Papua mulai dibuka dan diperhatikan. Otonomi

Khusus diharapkan untuk dapat memberikan tindakan yang pasti untuk melindungi

hak-hak penduduk asli Papua dan melibatkan mereka secara aktif baik sebagai

penerima manfaat dan pelaku pada perubahan sosial di Papua.

Hal-hal yang mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini adalah :

“Pertama, pengaturan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah Provinsi Papua

serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan

kekhususan. Kedua, pengaturan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua

serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar, Ketiga, mewujudkan

penyelenggaran pemerintahan yang baik yang berciri :

a) Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta pelaksanaan

pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum

perempuan;

b) Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi

kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi

Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip

23

(3)

21

pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan

bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan

c) Penyelenggaran pemerintah dan pelaksanaan pembangunan yang transparan

dan bertanggungjawab kepada masyarakat.”

Sebagaimana dikemukakan dalam UU Otsus Papua pada dasarnya adalah

pemberian kewenangan khusus yang lebih luas bagi Provinsi Papua pada dasarnya

adalah pemberian kewenangan khusus yang lebih luas bagi rakyat Papua untuk

mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Kewenangan ini berarti pula kesempatan untuk memberdayakan potensi

sosial-budaya dan perekonomian masyarakat adat di Papua, termaksud memberikan peran

yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum

perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah,

menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan

keragaman kehidupan masyarakat Papua,24 dan adanya pengakuan terhadap keluhuran jati diri orang Papua dan nilai-nilai yang mereka anut. Ada pernyataan tentang

jaminan konstitusi Republik Indonesia bagi keberagaman. Ada pengakuan tentang

kekhasan orang-orang asli dan kebudayaan Papua. Ada pengakuan bahwa pemerintah

selama ini kurang sekali berpihak kepada rakyat Papua termasuk tidak memberikan

penghormatan dan perlindungan yang layak terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

24

(4)

22

orang-orang asli Papua. Ada pula pengakuan terhadap keunggulan cara-cara damai

yang ditempuh oleh orang Papua dalam memperjuangkan hak-haknya.25

Salah satu pasal dalam UU Otsus Papua yang membicarakan tentang hak-hak

orang Papua yaitu dalam Pasal 43, terdapat jaminan terhadap hak-hak masyarakat

adat, hak-hak tersebut antara lain :

(1) Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku;

(2) Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan;

(3) Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

(4) Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya;

(5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.

Dalam penjelasan Pasal 43 ayat (5) UU Otsus Papua dijelaskan bahwa

pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai instansi yang paling mengetahui

hal-ihwal sengketa yang terjadi di wilayahnya berkewajiban melakukan mediasi aktif

25

(5)

23

dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul di antara masyarakat hukum adat

atau warganya dengan pihak luar. Sengketa antara para warga masyarakat hukum adat

sendiri diselesaikan melalui peradilan adat sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang. Jika dilihat dari rumusan pasal ini maka penyelesaian sengketa dapat

diselesaikan lewat mediasi ataupun melalui peradilan adat.

Salah satu hal fenomenal yang diatur dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU Otsus

Papua adalah adanya pengakuan terhadap Kekuasaan Pengadilan, Pasal 50

menyatakan :

(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh badan peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.

Selanjutnya dalam pasal 51 ayat (1), (2), dan (3) mengatakan :

(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan;

(2) Peradilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan;

(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Peradilan adat ini kemudian diatur secara lebih spesifik lagi dalam Perdasus

Papua Nomor 20 tahun 2008, kemudian memberikan definisi secara jelas mengenai

(6)

24

penyelesaian perkara yang hidup dalam masyarakat hukum adat tertentu di Papua

sedangkan pengadilan adat adalah lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat

dalam masyarakat hukum adat tertentu di Papua dan pengadilan adat ini

berkedudukan di lingkungan masyarakat adat Papua serta dengan kewenangan yang

telah diatur dalam peraturan ini.26

Adapun tujuan dari peradilan adat ini berdasarkan Perdasus Papua adalah

“Pertama, sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap perlindungan,

penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat Papua; kedua,

memperkokoh kedudukan peradilan adat; ketiga, menjamin kepastian hukum,

kemanfaatan, keadilan; keempat, menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos;

dan kelima, membantu Pemerintah dalam penegakan hukum”.

B.

Pengertian Hukum Adat

Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu mulai dari

pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Apabila kebiasan

pribadi itu ditiru orang lain, maka ia akan juga menjadi, kebiasan orang itu. Lambat

laun di antara orang yang satu dan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut

pula melakukan kebiasaan itu. Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat

melakukan perilaku kebiasan tersebut, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi,“adat” dari masyarakat itu. Sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota

masyarakat dengan dilengkapi oleh sanksi, sehingga menjadi, hukum adat. Maka

26

(7)

25

dalam hal ini hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam

masyarakat yang bersangkutan.27

1) Pengertian Hukum Adat Menurut Beberapa Ahli

Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, memberikan pengertian tentang

hukum adat yaitu “aturan-aturan kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan

orang-orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan

“hukum”) dan dilain pihak tidak dikodifikasikan (maka dikatakan “adat”).

Selanjutnya maka dikatakan hukum dikarenakan yang dimaksud adalah adat yang

mempunyai sanksi, yaitu adat yang mengandung perintah dan larangan dan apabila

dilanggar maka pelanggar akan mendapat ancaman dari masyarakat adat. Kemudian

dikatakan adat dikarenakan tidak dikodifikasikan, artinya tidak dihimpun dalam suatu

kitab perundang-undangan yang teratur menurut sistem hukum barat.

Sedangkan menurut Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn, memberikan pengertian

tentang hukum adat yang kemudian terkenal dengan ajaran keputusan (

beslissingen-leer), dimana hukum adat dikatakan sebagai “keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang

mempunyai wibawa (macht, authority) serta pengaruh dan yang dalam

pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan penuh hati.

Berdasarkan kedua pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan

fungsionaris hukum ialah seperti kepala adat, para hakim, rapat desa, wali-tanah,

27

(8)

26

pejabat agama dan para pejabat desa, yang memberikan keputusan di dalam dan di

luar sengketa yang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum masyarakat, yang

diterima dan dipatuhi karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Jadi,

hukum adat itu ada, karena adanya masyarakat adat.

Secara hukum dibagian lain Prof. Mr. Dr. Hazairin, mengemukakan bahwa

“adat itu adalah renapan (endapan) kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah

-kaidah adat itu berupa -kaidah--kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat

pengakuan umum dalam masyarakat itu”.

Sedangkan Prof. Soediman Kartohadiprodjo S.H., mengatakan bahwa

hukum adat adalah suatu jenis hukum tidak tertulis dan tertentu serta mempunyai

dasar pemikiran yang khas, yang prinsipil berbeda dari hukum tertulis lainnya.

Dengan adanya pendapat dari beberapa parah ahli tersebut di atas dapat dilihat

bahwa hukum adat yaitu anturan-aturan serta keputusan-keputusan yang di buat serta

hukum tidak tertulis atau tidak dikodefikasikan.28

2) Sistem Hukum Adat

Suatu sistem adalah keseluruhan yang tersusun dari berbagai bagian dimana

antara bagian yang satu dan bagian yang lain saling bertautan satu sama lain. Hukum

adalah suatu sistem yang merupakan suatu kesatuan dari berbagai kaidah yang saling

bertautan dan merupakan suatu kebulatan dari alam fikiran yang hidup dalam

masyarakat.

28

(9)

27

Sistem hukum adat adalah sistem hukum yang berasal dari alam fikiran bangsa

Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yaitu alam fikiran yang percaya dan taqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak membeda-bedakan manusia, yang

mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepetingan pribadi atau golongan, dan

yang menyadari adanya hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan

sosial.29

3) Sumber Hukum Adat

Sumber hukum adat di Indonesia berdasarkan pandangan para pakar hukum

adat (1993) adalah kebiasaan dan adat istiadat yang berkaitan dengan tradisi rakyat

(Cornelis Van Vollenhoven), uger-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang

langsung timbul sebagai pernyataan kultural orang Indonesia asli (Djojodiguno), rasa

keadilan yang hidup dalam hati nurani rakyat (Soepomo) atau budaya tradisonal

rakyat Indonesia (Barend Ter Haar).

4) Sejarah Hukum Adat

Sejarah hukum adat adalah sejarah panjang tentang perjalanan bangsa

Indonesia yang jauh menjangkau masa-masa kejayaan bangsa nusantara yang

memiliki masa pasang dan masa surut sebuah gugus bangsa dan sebagainnya adalah

karena datangnya bangsa Eropa (terutama Belanda, Portugis dan Inggris) yang pada

awalnya bermotif dagang serta petualangan, karena semangat zaman pada masa

kedatangan mereka adalah mencari benua baru di belahan timur dunia ini, akan tetapi

bermuara pada penjajahan (pembentukan koloni).

29

(10)

28

Sejarah hukum adat ditandai oleh dua lintasan sejarah, yakni sejarah penemuan

hukum adat sebagai ilmu dan sistem hukum yang berlaku serta sejarah politik atau

kebijakan hukum adat yang berlaku di Indonesia dari masa ke masa, antara lain :

a. Sejarah Penemuan Hukum Adat

Sejarah penemuan hukum adat sebagai ilmu dan sistem hukum dibagai dalam

tahap-tahap, antara lain :

(a) Zaman Sebelum VOC Datang ke Nusantara

Zaman atau masa ini ditandai oleh kedudukan hukum adat sebagai hukum

positif, yang berlaku sebagai hukum yang nyata dan ditata oleh rakyat di

berbagai kerajaan yang hidup dan berkembang di kepulauan yang berserakan

antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Naskah hukum adat yang lahir

pada waktu itu antar lain dibuat pada Raja Dharmawangsa, tahun 1000 Masehi,

berupa Kitab Ciwakasoma, pada masa kerajaan Majapahit berupa kitab Hukum

Gadjahmada (1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada zaman Patih kanaka

(1413-1430). Di Bali ditemukan Kitab Hukum Kutara nanawa.

Zaman setelah orang barat atau asing itu ada, meliputi beberapa zaman antara

lain :

 Zaman VOC (tahun 1602-1800)

Zaman ini ditandai oleh perhatian orang asing (barat) terhadap hukum adat,

baik karena tugas jabatannya maupun karena kehendak pribadi untuk

memahami keberadaan hukum adat. Melihat tulisan mereka pada masa itu

(11)

29

Robert Padtbrugger tentang adat istiadat Minahasa (1679), Francois Valentijn

berjudul Oudennieuw Oost Inien (1666-1727). Beberapa tulisan bersifat

usaha kodifikasi hukum adat, yang ditulis oleh praktisi, yakni : a) Kitab

Hukum Mogharraer (1750) yang memuat hukum pidana Islam yang terjadi di

Landraad Semarang. b) Kitab Bosschenar Jan Dirk Van Clootswijck, tentang

hukum adat di kerajaan Bone dan Goa (1755). c) Kitab hukum PC Hasselaer

yang berisi tentang hukum adat di Cirebon “Papakem Cirebon” beberapa

tulisan hukum adat lain yang ditulis oleh penulis-penulis barat yang

menggambarkan perhatian terhadap hukum adat.

 Zaman Perintis (tahun 1783-1865)

Zaman ini ditandai oleh metode penulisan hukum adat yang didahului atau

disertai dengan penyelidikan terhadap hukum adat, sehingga bobot tulisannya

lebih bernilai ilmiah, Perintis metode penulisan dengan penyelidikan pada

masa ini antara lain :

a. William Marsden (1836), seorang pegawai pamong praja Inggris yang

melakukan penelitian hukum adat dengan hasil penelitiannya yang

ternal The History of Sumatera.

b. Thomas Stanford Raffles (1816) yang berhasil menulis buku The

History of Java.

c. John Crawford (1868) yang menulis The History of Indian

(12)

30

d. Daendels, yang memiliki perhatian terhadap hukum acara adat dan

pidana Islam, terutama di pesisir utara Jawa serta berbagai penulis lain

yang memberikan perhatian terhadap hukum adat Indonesia.

 Zaman Penemuan Hukum Adat (1865-1926)

Masa ini ditandai oleh perhatian terhadap hukum adat secara lebih mendalam

melalui perhatian, peninjauan dan penelitian yang dilakukan oleh berbagai

pihak, baik kalangan pamong praja, parlemen ataupun ahli dan praktisi

hukum dengan pendalaman pada bidang-bidang hukum adat yang beraneka.

Kalangan pamong praja berminat terutama pada masalah organisasi

masyarakat desa dan tata negara adat, kalangan parlemen mempunyai

perhatian terhadap soal agrarian, kalangan ahli hukum memiliki perhatian

terhadap hukum kekayaan, hukum perjanjian dan hukum pidana adat,

sementara kalangan misionaris berperhatian pada masalah hukum keluargaan

dan hukum waris. Dalam sejarah perjalanan hukum adat, terdapat beberapa

hal yang perlu ditelusuri, yakni sejarah politik hukum adat.

b. Sejarah Politik Hukum Adat

Sejarah politik hukum adat di Indonesia, menurut Ilhami Bisri, S.H., M.Pd yang

di kutip oleh Soepomo dibagi atas 5 tahap dan Bushar Muhammad ditambah 2 periode

lagi, yakni :

1. Masa VOC atau Masa Kompeni

Masa ini ditandai oleh kebijakan kompeni terhadap hukum adat dengan cara

(13)

31

(Belanda) untuk daerah pusat pemerintahan kompeni, sedangkan pada daerah

yang belum dikuasai, dipersilahkan bagi pendudukan untuk menggunakan

hukum adat mereka, atau bagi yang mau tunduk pada hukum Belanda,

diperbolehkan. Namun jika mereka akan melakukan hubungan hukum dengan

kompeni, mereka harus menggunakan hukum Belanda. Dengan kata lain, politik

hukum kompeni bersifat oportunistis.

2. Masa Pemerintahan Daendels (1808-1811)

Pada masa ini Daendels mengambil sikap jalan tengah atau kompromistis.

Artinya, hukum adat masih diperbolehkan dianut oleh penduduk bumi putera,

dengan syarat sebagai berikut :

(a) Hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum;

(b) Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan dasar keadilan dan

kepatutan (dalam ukuran barat);

(c) Hukum adat dapat menjamin tercapainya keamanan umum. Dengan

persyaratan tersebut tampak bahwa pemerintahan Deandels menganggap

rendah kedudukan hukum adat dibanding hukum Belanda.

3. Masa Pemerintahan Raffles (1811-16)

Raffles menggunakan kebijakan atau politik bermurah hati dan bersabar

terhadap golongan pribumi, untuk menarik simpati dan ini merupakan sikap

politik Inggris yang humanistis.

4. Masa tahun 1816-1848

Pada masa ini kedudukan hukum adat mulai terancam karena penguasa Hindia

(14)

32

hukum untuk seluruh wilayah jajahannya. Dengan catatan bahwa terjadi

pengecualian berlakunya hukum adat oleh bumi putera. Secara prinsip hukum

adat mulai terdesak oleh berlakunya hukum Hindia Belanda, akan tetapi dalam

praksis pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara hukum adat

dengan hukum barat.

5. Masa tahun 1848-1928

Tahun 1848 menetukan bagi sejarah hukum Indonesia, karena melalui suatu

komisi hukum yang diketuai oleh CJ Scholten van Oud Harlem telah berhasil

tersusun suatu kodifikasi hukum yang mengancam keberadaan hukum adat

sebagai hukum positif, berupa :

(a) Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (dikenal

dengan singkatan AB), setingkat dengan UUD Hindia Belanda pada

waktu itu;

(b) Burgerlijk Wetboek voor Nederlands Indie (BW atau KUH Perdata

Hindia Belanda);

(c) Reglement op de Rechtelijke Organizatie en het Beleid der Justitie in

Nederlands Indie (Peraturan Umum tentang Peradilan Hindia Belanda);

serta

(d) Reglement op de Uitoefening van de Politie Burgerlijke Rechtspleging

en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vree Ostertlingen

(15)

33

6. Masa tahun 1928-1945

Masa ini adalah masa penting bagi hukum adat, karena peradilan adat (Adat

Kamer) dibuka pada tanggal 1 Januari 1938 pada Raad van Justitie di Batavia,

yang memiliki tingkat kewenangan mengadili perkara-perkara hukum perdata

adat pada tingkat banding untuk daerah: Jawa, Palembang, Jambi, Bangka,

Belitung, Bali, dan Kalimantan. Pada masa ini pula dihasilkan beberapa

peraturan yang secara implisit memberi tempat dalam hukum adat baik dalam

bidang pemerintahan maupun dalam bidang peradilan umum dan agama.

7. Masa 1945- sekarang.

Pada masa ini hukum adat diakui secara konstitusional melalui Undang-Undang

Dasar dengan persyaratan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,

sebuah persyaratan yang syarat dengan nuansa politis. Artinya hukum adat

ditempatkan pada posisi sejajar dengan hukum lain, akan tetapi dalam tataran

praksis sering dipinggirkan apabila kepentingan-kepentingan lain yang

mendesak harus didahulukan.30

5) Unsur dan Sifat Hukum Adat

Dalam rangka untuk dapat lebih memberikan gambaran yang jelas mengenai

hukum adat, kiranya perlu disajikan suatu uraian yang menyangkut unsur-unsur dan

sifat dari hukum adat. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan bahwa :

30

(16)

34

a. Sifat Hukum Adat

Bersifat tidak tertulis, artinya tidak akan dijumpai bahan-bahan hukum

yang bersifat tertulis. Apabila dijumpai hal-hal yang ditulis sifatnya,

misalnya sebagaimana dikonstatir oleh Van Dijk, maka adalah lebih baik

dinyatakan sebagai hukum adat tercatat. Sehubungan dengan sifat hukum

adat yang tidak tertulis ini, maka hukum adat mempunyai sifat yang

mudah untuk menyesuaikan diri, sehingga hukum adat itu akan mengalami

perubahan. Perubahan itu akan terjadi karena pengaruh dari situasi-situasi

tertentu dalam proses kehidupan masyarakat. Karena terjadi perubahan

dalam cara berfikir masyarakat yang disebabkan karena antara lain

situasi-situasi tertentu dalam proses kehidupan masyarakat itu.

b. Unsur Hukum Adat

Terwujudnya hukum adat, dipengaruhi oleh unsur agama, memberi corak

terhadap pola-pola perlakuan dari masyarakat yang bersangkutan.31

C.

Peradilan Adat dan Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum

Adat

Dominasi Negara ini menjadikan semua institut hukum mengutamakan

bentuk, seperti pengadilan yang harus berbentuk pengadilan negeri. Hanya pengadilan

negerilah yang diakui oleh negara. Sementara itu, sosiologi hukum itu lebih melihat

pada fungsi, dimana apabila hukum moderen hanya mengakui kehadiran pengadilan

negeri, maka sosiologi hukum melihat bahwa pengadilan itu dapat hadir di

31

(17)

35

mana, tidak terikat pada bentuknya. Yang diutamakan adalah apakah suatu institut

menjalankan fungsi pengadilan. Apabila suatu institut itu menjalanankan suatu

pengadilan, jadilah ia sebagai badan pengadilan.32 Demikian sampai sejauh mana ruang lingkup peradilan adat, dapat dibahas sebagai berikut :

Luas Lingkup Peradilan Adat

Istilah Peradilan (Rechtspraak) pada dasarnya berarti pembicaran tentang

hukum dan keadilan yang dilakukan dengan sistem persidangan (permusyawaratan)

untuk menyelesaikan perkara diluar pengadilan atau dimuka pengadilan. Apabila

pembicaraan itu berdasarkan hukum adat maka disebut peradilan hukum adat atau

peradilan adat saja.

Hukum adat peradilan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur

tentang cara bagaimana berbuat untuk menyelesaikan suatu perkara dan atau untuk

menetapkan keputusan hukum sesuatu perkara menurut hukum adat. Proses

pelaksanaan tentang penyelesaian dan penetapan keputusan perkara dimaksud

disebut Peradilan Adat.

Peradilan adat dapat dilaksanakan oleh anggota masayarakat secara

perorangan, oleh keluarga atau oleh tetangga, kepala kerabat atau kepala adat

(hakim adat), kepala desa (hakim desa) atau oleh pengurus perkumpulan organisasi

sebagaimana telah dikemukakan di muka dalam penyelesaian delik adat secara

damai untuk mengembalikan keseimbagan masyarakat yang terganggu.33 Dalam

32

Atjipto Rahrdjo, Penegakan Hukum progresif, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, h.4.

33

(18)

36

suatu penyelesaian, hukum adat tidak mengadakan perpisahan antara pelanggaran

hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam lapangan

hukum pidana dan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan

perdata. Oleh karenanya, sistem hukum adat hanya mengenal satu prosedur dalam

hal penuntutan; satu macam prosedur baik untuk penuntutan secara perdata maupun

untuk penuntutan secara kriminal. Dapat berupa sebuah tindakan saja tetapi

kadang-kadang mengingat sifatnya pelanggaran perlu diambil beberapa tindakan. Namun

petugas hukum tidak selalu mengambil inisiatif sendiri untuk menindak si pelanggar

hukum. Terhadap beberapa pelanggaran hukum, petugas hukum hanya akan

bertindak, apabila diminta oleh orang yang terkena. Petugas hukum wajib bertindak,

apabila kepentingan umum (kepentingan masyarakat) langsung terkena oleh sesuatu

pelanggaran hukum.34

D.

Masyarakat Adat Di Papua dan Sistem Pemerintahan Adat di

Papua

1). Masyarakat Adat Di Papua

Membicarakan tentang peradilan adat tidak dapat dilepaskan dari

pembicaraan tentang masyarakat hukum adat itu sendiri, karena keberadaan

peradilan adat sesungguhunya inheren dengan keberadaan masyarakat hukum

adat.

34

(19)

37

Di dalam UU Otsus Papua terdapat dua penyebutan istilah yang memiliki

makna hampir sama yaitu masyarakat adat dan masyarakat hukum adat. Pasal 1

huruf p UU Otsus Papua menyatakan :

Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang

hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat

tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara dara

anggotanya.

Sementara itu Pasal 1 huruf r UU Otsus Papua Menyatakan :

Masyarakat hukum adat adalah masyarakat asli Papua sejak

kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta

tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang

tinggi di antara para anggotanya.

Memperhatikan dua peristilahan dan pengertian yang diberikan dalam

Pasal-pasal tersebut diketahui bahwa yang membedakan antara masyarakat adat dan

masyarakat hukum adat adalah pada pengertian msyarakat hukum adat ada

penambahan frasa atau kata “sejak kelahirannya’’, “tertentu’’, dan “hukum”. Dari

pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat adat memiliki

persyaratan yang lebih fleksibel dibandingkan masyarakat hukum adat, karena

masyarakat hukum adat mensyaratkan untuk dapat disebut masyarakat hukum

adat Papua haruslah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya (bukan

pendatang) hidup dalam wilayah tertentu (teritorial) dan tunduk serta terikat

kepada hukum adat tertentu, jadi bukan hanya terikat kepada adat.

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan sifat masyarakat hukum adat di

(20)

38

merupakan gabungan antara genealogis (hubungan darah) dan teritorial (wilayah),

hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007

tentang Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang pembentukan Kota Tual Di

Provinsi Maluku terhadap UUD NRI 1945, Pendapat Mahkamah Konstitusi

tersebut antara lain sebagai berikut : “kesatuan masyarakat hukum adat dibedakan

atas kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat: (a) genealogis, yang

ditentukan berdasarkan kriteria hubungan keturunan darah; (b) fungsional, yang

didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan bersama

yang mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan tidak

tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah; dan (c) teritorial, yang

bertumpu pada wilayah tertentu di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat

yang bersangkutan hidup secara turun temurun dan melahirkan hak ulayat yang

meliputi hak atas pemanfaatan tanah, air, hutan dan sebagainya”.

Dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang No 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat diakui

keberadaanya, jika menurut kenyataanya memenuhi unsur-unsur antara lain :

a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtge-menschap);

b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih

ditaati;

e. Masih mengadakan pengumutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya

(21)

39

Sebagaimana telah dijelaskan di atas maka masyarakat hukum adat dapat

dikonsepkan sebagai sekelompok orang yang hidup berama karena ikatan yang

bersifat fungsional, tinggal dalam satu kawasan tertentu yang jelas batas-batasnya

menurut konsep batas masyarakat hukum adat itu, mempunyai kelembagaan

dalam bentuk perangkat penguasa adat (pemerintah adat) tersendiri dilengkapi

dengan lembaga penyelesaian sengketanya (peradilan adat), memiliki perangkat

norma-norma hukum adat, dan memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda

adat materiil maupun inmaterial.35

2). Sistem Pemerintahan Adat di Papua

Dewasa ini pada masyarakat adat di Papua terdata dua sistem pemerintahan,

yaitu sistem pemerintahan formal berupa pemerintahan desa yang dibentuk dari

atas oleh Negara (top down) dan sisten non formal yang tumbuh secara asli dari

bawah (bottom up) yang disebut kesatuan masyarakat hukum adat. Pemerintahan

desa yang oleh Undang-undang Otsus Papua disebut “kampung” merupakan

pemerintahan paling rendah dalam sistem pemerintahan NKRI yang berada di

bawah pemerintahan kecamatan atau distrik. Pemerintahan adat merupakan

pemerintahan asli suku bangsa setempat yang sudah ada sejak jaman dahulu

secara turun temurun, sehingga sistem pemerintahan adat sangat lekat dengan

struktur sosial dan sistem kepemimpinan tradisonal masing-masing suku.36

35

Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum, Op.Cit., h. 66-68.

36

(22)

40

Sistem kepemimpinan (politik) tradisonal di Papua penting untuk diketahui,

karena hal ini akan sekaligus menggambarkan sistem pemerintahan adat

masyarakat yang bersangkutan, yang sekaligus melekat di dalamnya dengan

fungsi peradilan adat yang dijalankan. Sisitem politik tradisonal adalah suatu

bentuk sisitem pemerintahan adat yang mengatur kehidupan sosial, budaya,

ekonomi, politik dan hukum dalam kehidupan masyarakat adat orang asli Papua

yang berdiam di daerah kebudayaannya.

Berbicara tentang kepemimpianan pada masyarakat hukum adat di Papua

menunjukan adanya perbedaan antara satu dengan yang lain. Menurut Mientje

De Roembiak, sebelum kontak kebudayaan dengan dunia luar, sesungguhnya

bentuk yang ada (asli) terdiri atas : a) Pemimpin perang; b) Pemimpin adat yang

mengatur kesejahteraan masyarkat; c) Pemimpin ritual; dan d) wakil dalam setiap

clan. Selanjutnya menurut Mientje De Roembiak kepemimpinan pada

masyarakat tradisonal Papua memiliki lima pola, yaitu :

1. Tokoh Chiefman tokoh chiefman, dikenal hanya di dalam kalangan

suku-suku disekitar jayapura teluk Jos Sudarso, Danau Sentani, Pemimpin ini

disebut ondoafi atau ondofolo (di sekitar daerah sentani), dan charsori

(di sekitar teluk jotefa, Injros-Tobati). Jabatan ini bersifat tertutup bagi suku

lain; lebih bersifat kepemimpinan yang diwariskan, atau jabatan yang

dipegang dari turun temurun. Ondoafi atau charsori di damping oleh tokoh

lain yang disebut Koselo, kemudian tokoh/pemimpin-pemimpin clan dan

(23)

41

2. Bingman Trade, dikenal pada kelompok etnik pegunungan Jayawijaya,

khususnya daerah Paniai pada suku Ekari (me) yang disebut tonawi. Para

tonawi adalah pemimpin federasi klen-klen kecil yang telah memperoleh

kekuatan politis dari pengeloloaan sumber alam (perdagangan tradisonal)

serta mendapat dukungan dari warganya.

3. Sistem Raja, merupakan salah satu bentuk dari pengaruh kesultanan Tidore

dan ternate di abat XV dan XVI sebagai kaibta hubungan dan kontak yang

terjadi pada waktu itu. Daerah-daerah pengaruh itu berada di Fak-Fak,

sebagian Teluk Bintuni, sebagian pulau-pulau Raja Ampat.

4. Sistem Bigman War, satu sistem yang berpola pada pimpinan orang besar

yang merupakan tokoh/pimpinan perang model ini di jumpai pada

kelompok entik Dani dan suku di sekitar pegunungan Jayawijaya. Toko ini

disebut nagawan perang dan upacara pesta babi merupakan etos budaya

penduduknya yang berada di lembah Baliem, Dani, Yali dan suku lainnya.

Nagawan merupakan pimpinan federasi.

5. Sistem Campuran, sistem ini ditemukan dikalangan suku-suku diteluk

Sairera/ Cendrawasih, antara lain suku Biak Numfor. Kedudukan individu

dalam setiap klen juga dalam keluarga pada tiap-tiap klen sangat otonom.

Masyarakat taat dan tunduk pada seorang mambri (pahlawan perang) dan

tokoh mampapok sebagai pengurus kehidupan sehari-hari.37

37

(24)

42

E.

Peradilan Adat Suku Dani Di Nabire

Papua juga terkenal akan adat istiadat dan budaya. Orang Papua dengan ciri

fisik yang menonjol adalah kulit hitam dan berambut keriting. Ciri lain yang dapat

dilihat berdasarkan ciri budayanya, tampak pada kesenian, sistem religi, organisasi

sosial, sistem teknologi tradisional dan bahasa. Ada stigma umum di kalangan non

Papua bahwa, orang Papua semuanya sama. Seperti halnya Papua yang tidak tahu

Jawa secara utuh, mengatakan orang Jawa semua sama. Orang Papua juga terbagi

dalam dua kelompok besar yaitu kelompok masyarakat gunung dan kelompok

masyarakat pantai. Masyarakat adat suku Dani merupakan komunitas masyarakat

yang mendiami daerah lembah baliem pegunungan tengah dan mereka bukan

penduduk asli Nabire dan mereka di Kabupaten Nabire akibat adanya urbanisasi.

Kabupaten Nabire merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi

Papua dengan luas 12.075,00 , dan garis pantai 473 , serta luas lautan

914.056,96 Ha, serta berada pada kawasan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik,

dan diatas 3 (tiga) lempengan bumi, yang secara geografis berada diantara : Bujur

Barat 33”- 15” BT, dan Lintang Utara 28”- 56” LS. Adapun batas

wilayah Kabupaten Nabire adalah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten

Kepulauan Yapen, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Dogiyai, Sebelah

Timur berbatasan dengan Kabupaten Waropen dan Kabupaten Paniai, dan Sebelah

Barat berbatasan dengan Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Kaimana (Papua

(25)

43

Kabupaten Nabire memiliki topografi yang bervariasi yaitu wilayah datar

diperkirakan 47% dari luas yang tersebar di sepanjang wilayah pantai dan wilayah

perbukitan kira-kira 53% tersebar di daerah pedalaman (pegunungan).

Mengenai luas wilayah Kabupaten Nabire secara administratif terbagi menjadi

15 Distrik, 72 Kampung, dan 9 Kelurahan, yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1. Luas Wilayah Kabupaten Nabire

No Distrik Luas (Km2) Kampung Kelurahan

1 Uwapa 1.808,96 6 -

2 Yaur 609,63 4 -

3 Teluk Umar 611,00 4 -

4 Wanggar 246,00 5 -

5 Nabire Barat 1.179,00 5 -

6 Nabire 345,00 3 9

7 Teluk Kimi 279,15 5 -

8 Napan 446.00 8 -

9 Makimi 1.321,00 6 -

10 Wapoga 1.040,00 5 -

11 Siriwo 1.203,00 6 -

12 Yaro 830,00 6 -

13 Dipa 838,63 5 -

(26)

44

Lanjutan Tabel 1.

No Distrik Luas (Km2) Kampung Kelurahan

15 Moora - - -

Jumlah Total 12.075,00 72 9

Sumber Data : http://nabirekab.go.id/portal/geografis/.38

Pembagian Distrik ke dalam wilayah administratif di provinsi Papua dan

Papua Barat, dibawah kabupaten atau kota. Dengan diterapkannya UU Otsus

Papua, Pasal 1 huruf (k), Distrik merupakan perangkat Daerah Kabupaten atau

Kota di Papua yang mempunyai wilayah kerja tertentu yang dipimpin oleh seorang

Kepala Distrik, Distrik dibagi lagi menjadi sejumlah kampung, atau dengan nama

lain sesuai dengan adat istiadat setempat. Selain itu dalam UU Otsus Papua Pasal 1

huruf (i), tersebut memberikan definisi tentang kampung menjelaskan bahwa

kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah

Kabupaten/Kota.39

Kelurahan dan Kampung adalah pembagian wilayah administratif di

Provinsi Papua dibawah distrik. Istilah "Kampung" menggantikan "Desa".

Sedangkan Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah

38

http://nabirekab.go.id/portal/geografis/ dikunjungi pada tanggal 9 September 2017 hari sabtu pukul 14.52 wib.

39

(27)

45

penduduk dan mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah

camat dan letaknya di lingkungan perkotaan.40

Masyarakat suku Dani yang berada di Kabupaten Nabire, kebanyakan berasal

dari daerah pedalaman Nabire yaitu berasal dari daerah Illu, Mulia, Ilaga, dan

Wamena yang punya kebiasaan adat secara turun-temurun. Bahkan masyarakat adat

suku Dani mempunyai latar belakang budaya yang berbeda dengan suku-suku Papua

lainnya yang berada di Provinsi Papua. Kebiasaan adat suku Dani sangat mengikat

dan mempunyai norma-norma adat yang harus dipatuhi dan dijalankan dalam

kehidupan sehari-harinya. Mereka selalu berhati-hati untuk beradaptasi dengan

kemajuan jaman, dimana dalam hubungan kekerabatan dengan suku lain, mereka

selalu mempertahankan jati dirinya sebagai orang Dani yang memiliki adat-istiadat

yang harus diakui orang lain, termasuk sistem pengambilan keputusan yang dilakukan

oleh kepala suku. Dan pengambilan keputusan itu dianggap sah dan mutlak harus

dilaksanakan dan tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan adat-istiadat yang

dianutnya, termasuk keputusan dalam peradilan adat.

Di daerah Kabupaten Nabire bagian pegunungan yang mengkoordinir,

memfasilitasi, mengatur dan memelihara tatanan adat adalah Lembaga Pengembangan

Masyarakat Dani, Damal, Daugwa, dan Nayak (LPM-D3N), biasanya dilakukan di

Honai adat yang berlokasi di Kampung Kalisemen Distrik Nabire Barat. Untuk lebih

jelasnya tentang lokasi honai adat tersebut, dapat dilihat pada gambar foto di bawah

ini :

40

(28)

46

Gambar 2.

KANTOR HONAI ADAT LPM-D3N KABUPATEN NABIRE

Foto Dokumentasi (Tanggal, 23 Januari 2018).

Penjelasan gambar foto honai adat diatas, adalah merupakan Kantor Adat

LPM-D3N yang berlokasi di Kampung Kalisemen Distrik Nabire Barat Kabupaten

Nabire, dan biasanya atau di sinilah masyarakat adat suku Dani, Damal, Daugwa, dan

Nayak (D3N) mengadakan peradilan adat, di mana masyarakat berkumpul di halaman

honai adat untuk mengikuti dan menyaksikan peradilan adat yang dilaksanakan oleh

kepala adat selaku hakim adat. Selain itu pula, areal honai adat biasanya juga

digunakan untuk pertemuan-pertemuan adat yang membicarakan tentang

pengembangan organisasi LPM-D3N yang dilaksanakan oleh para kepala-kepala suku

D3N secara struktural bersama Dewan Adat Suku (DAS) yang dihadiri masyarakat

D3N yang berdomilisir di kota Nabire dan sekitarnya.

Pengertian “HONAI” adalah penyebutan atau panggilan nama untuk rumah

adat masyarakat yang berada dan hidup di daerah pegunungan (Pedalaman). Honai

merupakan salah satu rumah tradisional suku asli Papua yang berada di wilayah

(29)

47

ditumpuk menggunakan jerami atau ilalang kering diatasnya. Berbeda dengan rumah

tradisional lainnya. Honai tidak memiliki jendela karena bertujuan agar menahan

hawa dingin di daerah pengunungan Papua.

Keberadaan suku Dani di Kabupaten Nabire sejak integrasi Irian Barat masuk

ke dalam pangkuan ibu pertiwi sejak tahun 1963, dan mereka mendiami beberapa

tempat dalam wilayah Kabupaten Nabire, antara lain daerah Kimi dengan kampung

Lani, daerah kalisusu dengan nama kampung kalisusu dan beberapa wilayah lainnya

yang berada di Kabupaten Nabire. Penyebaran suku Dani ini ke kota Nabire dengan

adanya urbanisasi untuk mencari lapangan pekerjaan. Pada hal sejak adanya

pemerintah koloni Belanda di Papua New Guinea (Irian Barat) mereka suku-suku

yang berada di daerah-daerah pedalaman, seperti suku Mee, suku Moni, suku Damal,

termasuk suku Dani tidak diperbolehkan turun dan berada di daerah perkotaan. Hal ini

disebabkan pemerintah Belanda pada waktu itu mempelajari karakter dan prilaku

suku-suku tersebut terutama tingkat pemikirannya yang masih rendah dan masih

primitif, apabila dibiarkan berada di daerah perkotaan akan menimbulkan gejolak

sosial terhadap suku lain yang berada di daerah pinggiran pantai. Namun dengan

masuknya Irian Barat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan perhatian

pemerintah Indonesia terhadap dinamika masyarakat dalam upaya pemberdayaan

masyarakat serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang harus dinikmati

oleh masyarakat, maka jelas mengundang proses urbanisasi masyarakat suku Dani

(30)

48

Pembentukan LPM-D3N di Kabupaten Nabire, merupakan suatu wadah

organisasi yang menghimpun suatu komunitas adat dalam mengembangkan

kehidupan budaya yang di wariskan secara turun-temurun dan melestarikannya agar

tidak hilang dengan kemajuan zaman yang cepat dan mendasar.

Kelembagaan adat D3N di Kabupaten Nabire sudah ada dan secara organisasi

kemasyarakatan adat mempunyai struktur yang berbadan hukum yang sudah diketahui

oleh pemerintah daerah karena sudah mendaftarkan diri pada institusi resmi

pemerintah yaitu Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat

Kabupaten Nabire.

Kebanyakan orang merasa ragu dengan lembaga-lembaga adat yang ada di

tanah Papua belum berbadan hukum. Tapi persepsi kebanyakan orang ini dapat

dikatakan keliru, karena lembaga adat ini merupakan suatu organisasi yang harus

memenuhi prinsip-prinsip organisasi sebagaimana organisasi kemasyarakatan lainnya.

Jadi jelas bahwa lembaga adat D3N mempunyai susunan kepengurusan secara

struktural dan berbadan hukum resmi yang diakui oleh pemerintah Kabupaten Nabire.

Muncul lembaga-lembaga adat di tanah Papua pada umumnya, dan Kabupaten Nabire

pada khususnya yang antara lain berdirinya Lembaga Pengembagan Masyarakat Adat

(31)

49

F.

Pembentukan Organisasi, Susunan Pengurus Dan Struktur

Organisasi LPM-D3N Kabupaten Nabire

1. Pembentukan Organisasi

Pembentukan organisasi LPM-D3N, dengan berdasarkan pada cita-cita yang

luhur untuk turut mengabdi kepada masyarakat, tentu mempunyai maksud dan

tujuan dalam keberadaan organisasi dan pengurus kemasyarakatan.

1) Dasar hukum

Pembentukan LPM-D3N Kabupaten Nabire, berdasarkan surat keterangan

keberadaan organisasi dari Pemerintah Kabupaten Nabire, melalui Badan

Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Nomor:

220/447/ORKERMAS/X/2011, menyatakan bahwa berdasarkan surat LPM-D3N

Nomor: 001/LPM-D3N/X/2011 tanggal 25 Oktober 2011, setelah diadakan

penelitian terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, maka

Susunan Pengurus, Program Kerja dan lain sebagainya pada prinsipnya telah

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pelaksanaannya. Oleh karena itu,

dinyatakan telah terdaftar pada Pemerintah Kabupaten Nabire cq. Badan

Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat.

Lembaga Pengembangan Masyarakat Dani, Damal, Daugwa dan Nayak,

didirikan pada tanggal 12 Desember 2002 dan pada tanggal 6 Januari 2003 disahkan

oleh Bupati Kabupaten Nabire Drs. A.P. Youw dan disaksi para Muspida Kabupaten

(32)

50

Maksud dan tujuan pembentukan organisasi LPM-D3N Kabupaten Nabire,

yaitu :

a. Maksud dan tujuan

Pembentuk organisasi kemasyarakatan D3N, dalam mengembangkan organisasi

ini mempunyai maksud dan tujuan, antara lain :

(a) Mengutamakan partisipasi aktif seluruh masyarakat dalam mengembangkan

serta dalam proses pengembangan untuk mengabdikan diri secara bersama

masyarakat D3N (Dani, Damal, Daugwa, dan Nayak) Provinsi Papua untuk

mencapai tujuan pelaksanaan pembangunan bangsa.

(b) Akan menjadi mitra kerja semua komponen baik itu pemerintah dan

masyarakat.

(c) Melestarikan budaya-budaya berbagai macam kegiatan-kegiatan bakti

sosial bentuk pemberdayaan untuk kepentingan masyarakat dan Negara.

(d) Turut melanjutkan atau mengembangkan amanat rakyat dalam

pemberdayaan di semua bidang peningkatan kemandirian dan kesejahteraan

masyarakat yang adil dan makmur.

b. Kegiatan Program-Program

Untuk tercapainya maksud dan tujuan tersebut, Lembaga Pengembangan

Masyarakat D3N (Dani, Damal, Daugwa dan Nayak) melaksanakan

program-program, antara lain :

(a) Melakukan penelitian di berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi,

(33)

51

(b) Melaksanakan pengembangan sumber daya manusia (SDM) melalui

pendidikan, pelatihan, seminar, diskusi, loka karya, kajian ilmiah untuk

peningkatan kualitas manusia yang pintar dan cerdas.

(c) Menegakkan hak-hak masyarakat suku D3N (Dani, Damal, Daugwa dan

Nayak) terutama HAM, Masyarakat Hukum Adat, Demokrasi, Pendidikan,

Kehutanan, Lingkungan Hidup serta warisan budaya ekonomi sosial

bersifat komperenship menyangkut kemakmuran masyarakat.

(d) Bekerja sama dalam berbagai perkembangan untuk menghadapi era

globalisasi.

(e) Mengamankan dan menginventarisir nilai-nilai budaya suku D3N (Dani,

Damal, Daugwa dan Nayak) se Kabupaten/Kota Provinsi Papua.

(f) Melakukan pembinaan kepada masyarakat D3N dalam kelompok-kelompok

usaha demi kelangsungan hidup masing-masing di Kabupaten/Kota

Provinsi Papua.

(g) Penyediaan sarana dan prasarana Lembaga Masyarakat Adat D3N di

Kabupaten/Kota.

(h) Pemberian rekomendasi kepada masyarakat D3N dalam rangka urusan

kepentingan masyarakat atau perwakilan adat bagi masyarakat D3N se

(34)

52

2. Susunan Pengurus LPM-D3N Kabupaten Nabire

Adapun susunan pengurus inti Lembaga Pengembangan Masyarakat D3N

Kabupaten Nabire, terdiri dari :

a. Ketua : Ayub Wenda

b. Sekretaris : Anius Kogoya (Aniko).

c. Bendahara : Linus Wenda, S. PAK

d. Alamat : Jl. Garuda, RT.28/RW.08 Kampung Kalisemen

Distrik Nabire Barat Kabupaten Nabire.

Selain pengurus inti diatas, Lembaga Pengembangan Masyarakat Dani,

Damal, Daugwa, dan Nayak (LPM-D3N) Kabupaten Nabire, mempunyai susunan

pengurus harian yang secara struktural terdiri dari :

a. Dewan Penasehat :

1. Drs. Daniel B.K. Wakerkwa.

2. Pdt. N. Naftali Tabuni, Sm. Th.

3. Pdt. Erok Kogoya.

4. DR. (Hc) Mesak Kogoya.

5. Obeth Yigibalom.

6. Tipanus Yikwa.

b. Pengurus Harian :

1. Ketua Umum : Ayub Wenda.

Wakil Ketua I : Yerry L. Tabuni.

Wakil Ketua II : Pither Huby.

Sekretais Umum : Anius Kogoya (Aniko).

(35)

53

2. Bendahara Umum : Linus Wenda, S.PAK.

Bendahara I : Erinus Kogoya, S.Kom.

Bendahara II : Iyur Tabuni, S.IP.

3. Bidang-Bidang :

a) Bidang Hubungan Pemerintahan

1. Lazarus Wenda, S.Sos.

2. Yahya Gombo, S.Sos.

3. Ironimus Alom.

b) Bidang Hubungan Kemasyarakatan

1. Bam Levinus Kogoya.

2. Bab Weya.

3. Jhon Kogoya.

c) Bidang Keamanan/Bintal Spiritual

1. Ev. Petrus Pigome.

2. Pdt. Enius Kogoya, S.Th.

3. Max Wenda.

d) Bidang Organisasi

1. Bondel Wakerkwa.

2. Ipier Frans Wanimbo, SH.

3. Korneles Kogoya.

e) Bidang Pendidikan dan Latihan

1. Simson Wenda, S.Sos.

(36)

54

3. Dilien Yomon.

f) Bidang Perencanaan dan Pembangunan

1. Derius Morib.

2. Andi Heluka.

3. Supen Morib, S.Sos.

g) Bidang Hukum dan Advokasi

1. Kenius Tabuni, S.Th., M.Hum.

2. Herman Matua.

3. Koiles Kogoya.

h) Bidang Pemuda dan Olah Raga

1. G. Thoni Tabuni.

2. Beur Wakur, S.POK.

3. Kiwene Wenda, S.PAK.

i) Bidang Pemberdayaan Perempuan

1. Sekina Tabuni, S.IP.

2. Dolly Kogoya.

3. Feronika Kogoya.

3. Struktur Organisasi LPM-D3N Kabupaten Nabire

Adapun Struktur Organisasi Lembaga Pengembangan Masyarakat Dani,

Damal, Daugwa, dan Nayak (LPM-D3N) Kabupaten Nabire, dapat dilihat pada

(37)
(38)

56

G.

Tata Cara Penyelesaian Konflik Dan Perkara Yang Ditangani

Oleh LPM-D3N

1. Tata Cara Penyelesaian Konflik

Suku Dani dalam beradaptasi dengan lingkungan masyarakat perkotaan

masih berpegang pada norma-norma adat-istiadat secara turun temurun,

kebiasaan budaya yang dianutnya sampai saat ini sulit untuk dihilangkan.

Apabila terjadi pelangaran terhadap tata pergaulan atau norma-norma adat yang

berlaku pada masyarakat maka tindakan tersebut dianggap sebagai menyalai

aturan adat dan melanggar aturan adat tersebut harus di proses melalu jalur

hukum adat, keputusan atau penyelesaian diambil atas dasar musyawarah dan

mufakat secara bulat oleh majelis Hakim. Dalam kehidupan masyarakat yang

bercirikan masyarakat adat peranan ketua adat mempunyai posisi sentral dalam

pembinaan dan kepemimpinan masyarakat, sekaligus menjadi hakim dalam

penyelesaian sengketa di masyarakat.

“Menurut hasil wawancara dengan Bapak Ayub Wenda selaku kepala

suku Dani dalam penyelesaian konflik tersebut diselesaiakan dengan

perdamaian dilakukan berdasarkan aturan tertentu, dengan cara pembayaran

denda pada saat upacara bakar batu sebagai tanda ganti rugi hal ini merupakan

sanksi adat. bakar batu merupakan sebuah ritual memasak bersama-sama,

budaya tradisional Papua bagian pegunugan yang dilakukan sebagai bentuk

upacara syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan tamu

agung, dan juga sebagai upacara kematian. Selain itu, upacara ini juga

(39)

57

lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan saling memaafkan antara warga.

Bagi Suku Dani masalah akan selesai tidak cukup hanya dengan duduk bersama

dan makan bersama. Dalam upacara bakar batu terdapat suatu momen dimana

pihak suku yang bersalah membayar denda adat pada suku yang merasa

dirugikan. Musyawarah tersebut dihadiri oleh perwakilan kepala suku dari

kedua belah pihak, baik korban maupun pelaku”.41

Dapat dilihat bahwa Peran kepala suku sangatlah penting untuk

masyarakat sukunya untuk memahami betul norma-norma adat yang sudah ada

sehinga kepala suku harus benar-benar adalah orang yang memahami betul

norma-norma adat masyarakatnya, mempunyai kemampuan dan pengaruh

secara adat, yakni kemampuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan atau

tidak melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin secara suka rela.

Dengan adanya figur yang demikian, masyarakat adat rasa memiliki seorang

pimpinan adat yang dapat melindunginya, apabila ada masalah-masalah sosial

yang dihadapi oleh masyarakat adat itu sendiri.

2. Perkara Yang Di Tangani LPM-D3N

Lanjut informan Bapak Ayub Wenda, selaku Kepala Suku atau yang

biasa di sebut nama Ap nggoh dan Niniwe oleh suku Dani, Damal, Dawa, dan

Nayak (D3N) di Kabupaten Nabire ketika diwawancarai Menanggapi

permasalahan perkara adat apa saja yang di tangani peradilan adat suku Dani

dalam lembaga pengembangan masyarakat D3N, maka berikut ini hasil

wawancaranya mengatakan :

41

(40)

58 “Bahwa lembaga masyarakat D3N merupakan satu rumpun dalam suku

besar Dani. Oleh sebab itu, keputusan-keputusan lembaga adat D3N ambil dan

tetapkan dalam pertemuan Honai Adat tersebut selalu itu selalu menangani

semua persoalan yang menyangkut masalah adat. Semua persoalan yang

menyangkut pelanggaran adat ini berhubungan dengan masyarakat adat D3N,

seperti persoalan pembunuhan, perkosaan (perzinahan),pencurian atau

masalah-masalah lain yang berhubungan dengan sengketa tanah (masalah-masalah tanah adat),

oleh masyarakat adat D3N, dimana penanganan kasusnya tidak memihak dan

melihat perbuatan kasus tersebut secara hukum adat dengan pemberian sanksi

hukum adat yang sepantas dan sesuai dengan tingkat perbuatan yang dilakukan

oleh si pelaku, Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan adat

dapat dijatuhi sanksi.

Berikut beberapa penjelasan mengenai pemberian sanksi adat Suku

Dani terhadap pelaku untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu :

1. Bila istri berselingkuh dengan pria lain (meskipun lelakinya masih

kerabat keluarga), maka didenda lima ekor babi lalu dapat berdamai, tapi

jika pihak laki-laki bersikeras maka sesudah denda adat maka istri akan

dicerai.

2. Pembunuhan denda ini biasa disebut dengan Bayar Kepala didenda

dengan cara penyerahan babi yang terbilang tidak sedikit, bisa mencapai

(41)

59

3. Pencurian terhadap barang berharga seperti kulit kerang yang biasa

dipakai sebagai mas kawin dari pihak laki-laki. Maka akan dibuat adat

pemotongan dua ekor babi dan barang yang dicuri dikembalikan.

4. Sedangkan pemberian sanksi terhadap tindak pidana kecelakaan lalu

lintas khususnya di Kabupaten Nabire yang mengakibatkan korban

meninggal dunia maka dapat dituntut berupa uang dengan melihat faktor

ekonomi pelaku.

Suku Dani menggunakan hewan babi sebagai denda adat dikarenakan

pada jaman dulu belum adanya mata uang selain itu babi terbilang cukup

mahal, merupakan mata pencarian dan juga digunakan untuk pembayaran mas

kawin dalam sebuah pernikahan.”42 Penyelesaian secara adat ini merupakan tradisi turun temurun dalam kehidupan sehari-hari yang di jalankan suku Dani

sampai saat ini dan sulit untuk dihilangkan.

Keberadaan suku Dani di Kabupaten Nabire yang dimana penerapan

hukum normatif yang diutamakan apabila adanya permasalahan maka di

selesaikan melalui jalur hukum yaitu pengadilan negeri setempat, sedangkan di

sisi lain Suku Dani yang masih menerapkan hukum adatnya tersebut lebih

memilih menyelesaikan perkara secara hukum adat walaupun perkara tersebut

memiliki aturan tersendiri seperti perkara kecelakaan Lalu lintas yang sudah

diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. Penyelesaian kecelakaan lalu lintas yang telah mengakibatkan

42

(42)

60

kerugian harta benda dan jiwa manusia atau mengakibatkan orang mati atau

luka, sudah diatur dengan jelas dan tegas dalam UU Lalu Lintas tersebut Hal ini

diharapkan sebagai aturan yang mengatur penyelesaian perkara pidana secara

formil dan materil.

Namun adanya peradilan adat pada masyarakat hukum adat di Papua,

khususnya masyarakat suku Dani, dalam penyelesaian kasus tersebut

disebabkan adanya dinamika masyarakat yang hidup dalam suatu komunitas

yang mempunyai norma-norma adat istiadat yang dipegang secara

turun-temurun.

Selain itu masih ada masyarakat suku Dani yang belum memahami

proses hukum normatif dikarenakan prosesnya yang begitu lama dan

membingungkan ketimbang penyelesaian secara hukum adat atau melalui

peradilan adat yang lebih cepat dan dapat di pahami oleh masyarakat suku Dani

dan memberikan keadilan ketimbang hukum Negara yang terkadang jarang

didapatkan oleh pihak korban.

H.

Hasil Penelitian Dan Analisis

Sub bab ini memberikan pembahasan terhadap hasil penelitian yang nantinya

dapat dianalisis. Adapun proses hasil penelitian ini, dibahas dan diuraikan

berdasarkan hasil wawancara (interview) yang diperoleh dari lapangan dengan

mengadakan kontak komunikasi dengan beberapa informan yang dianggap

mengetahui permasalahan yang diteliti dengan sebenarnya tentang Peradilan Adat

(43)

61

Nabire, sesuai dengan pedoman wawancara dititik beratkan pada topik pembahasan

yang meliputi dimensi sebagai berikut :

a. Proses Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Secara Hukum Adat

Suku Dani Oleh LPM-D3N di Kabupaten Nabire

Berdasarkan data yang telah diambil oleh penulis ada dua kasus kecelakaan

lalu lintas yang diselesaian secara adat dengan permintaan ganti rugi kasus

pertama, terjadi pada hari Minggu tanggal 16 Juli 2017, dimana sepeda motor

Yamaha Vixion DS 2380 KR yang dikendarai Sdr. Jekson Anouw yang diduga

berboncengan dengan Sdr. Agus Howay terpengaruh Alkohol saat berkendaraan

tidak dapat mengendalikan laju kendaraannya, hingga terjatuh Sdr. Agus Howay

meninggal dunia saat mendapat perawatan di RSUD Kabupaten Nabire. Dari

peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut ini, maka sesuai dengan putusan adat

sanksi adat yang diberikan kepada pihak pelaku oleh pihak korban, yaitu pihak

pelaku memberikan denda uang sebesar Rp.200.000.000,- (Dua Ratus Juta

Rupiah).

Kasus kecelakaan lalu lintas kedua, pada hari Senin tanggal 1 Oktober 2016

antara Sdr. Umar Faruk berprofesi tukang ojek pada saat itu sedang membonceng

penumpang Wald Dogopia dan mengalami kecelakaan sehingga penumpang Wald

Dogopia pada akhirnya meninggal dunia di RSUD Nabire setelah mendapatkan

perawatan. Dengan meninggal dunia Sdr. Wald Dogopia, maka tuntuntan adat

atau sanksi adat yang diberikan kepada pihak pelaku pengendara sepeda motor

yaitu Sdr. Umar Faruk pembayaran denda adat sebesar Rp. 20.000.000,-(Dua

(44)

62

Lebih lanjut Bapak Ayub Wenda dalam menanggapi masalah kasus lalu

lintas yang melibatkan masyarakat adat, mengatakan :

“Berbicara mengenai penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas,

permasalahannya dipisahkan dengan kasus-kasus adat lainnya, Mengenai kasus

kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang tidak disengaja berarti kami menyerahkan

sepenuhnya kepada pihak berwajib yaitu Polres Nabire, yang mana proses

kecelakaannya diproses oleh bagian Laka Lantas sesuai dengan tingkat

pelanggaran yaitu mencari tahu siapa yang bersalah, apakah korban atau pelaku.

Pihak Polres Nabire juga melihat korban adalah masyarakat adat suku Dani, maka

mereka berhubungan (berkomunikasi) dengan kepala suku dan tokoh-tokoh adat,

agar ada kerja sama yang baik dalam menangani permasalahan kecelakaan lalu

lintas ini bisa sesuai dengan hukum adat yang berlaku dan juga sesuai dengan

hukum nasional”.43

Mengacu pada hasil pembicaraan informan tersebut diatas, dapat dianalisis

bahwa dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas ini, pihak adat tidak

sekaligus mengambil alih pokok permasalahan dalam peradilan adat, tetapi ada

kerja sama dan koordinasi dengan pihak berwajib sesuai dengan hukum negara

yang berlaku. Apabila penyelesaiannya disepekati bersama diatur secara

kekeluargaan dengan sanksi ketentuan adat yang berlaku.

Selanjutnya, informan Bapak Ayub Wenda, menanggapi tentang proses

penyelesaian terhadap pelaku kasus kecelakaan lalu lintas, mengatakan memiliki

jalurnya sendiri :

43

(45)

63

Gambar 4.

Jalur Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Secara Hukum Adat Suku

Dani Oleh LPM-D3N di Kabupaten Nabire

Sesuai dengan diagaram diatas maka dapat dilhat bahwa jalur penyelesaian

kasus kecelakaan lalau lintas secara hukum adat oleh suku Dani ini dimulai dari

pihak korban melaporkan kepada pihak LPM-D3N terlebih dahulu untuk

menyampaikan persoalan yang telah dialami, selanjutnya pihak LPM-D3N

bersama pihak korban mendatangi polres Nabire untuk diselesaian permasalahan

adat ganti rugi dari tersangka kepada pihak korban.

“Peran utama Peradilan adat LPM-D3N dalam menyelesaikan perkara lalu

lintas yang melibatkan masyarakat suku Dani yaitu sebagai mediator dalam

menyelesaikan kasus tersebut. Dan bahwa sebelum sanksi ditetapkan, terlebih

dahulu diadakan musyawarah di Honai Adat bersama keluarga dari pihak

korban kecelakaan, yang dihadiri semua pihak-pihak seperti yang tercantum

sesuai dengan stuktur LPM-D3N, selain dapat mengadakan musyawarah di

Honai adat dapat juga di tiap rumah Kepala suku rayon dan sub rayon yang

sudah ditentukan sebagai Kepala Suku setempat, dalam penyelesaian ini kepala

Pihak Korban

LPM-D3N Polres Nabire

(46)

64

suku menentukan berapa besar pembayaran dalam tuntutan mereka terhadap

pelaku dengan memperhatikan latar belakang ekonomi pelaku, apakah pelaku

dari ekonomi rendah atau menengah ke atas. Apabila pelaku dari ekonomi

rendah, maka tuntutan bayaran yang diminta tidak begitu tinggi, tetapi

seandainya pelaku dari ekonomi menengah atau pengusaha besar, maka tuntutan

pembayarannya di atas jutaan rupiah. Ketentuan ganti rugi tersebut berlaku bagi

sesama suku Dani atau satu rumpun organisasi dengan suku Dani dan juga

kepada suku lain seperti suku Biak, suku Jawa, suku Toraja serta suku lain yang

berdomisili di Kabupaten Nabire. Dalam penentuan sanksi kepada pelaku,

apabila korban meninggal dunia maka pembayarannya dapat ditargetkan 60 juta

rupiah, dan 100 juta rupiah sampai 200 juta rupiah dengan memperhatikan latar

belakang ekonomi pelaku. Sedangkan apabila korban luka berat, atau luka

ringan maka tuntutan pembayarannya adalah menanggung ongkos perawatan

selama korban di rumah sakit, dan untuk luka ringan cukup diberikan ongkos

pengobatan.’’44 Kemudian mereka datangi Polres Nabire untuk menfasilitasi pertemuan mereka dengan sang pelaku dan keluarganya. Pada pertemuan

mereka dengan si pelaku dan keluarganya inilah tuntutan mereka disampaikan.

Apabila ada kesepakatan antara kedua belah pihak maka bukti pembayaran

terhadap tuntutan mereka oleh Polres Nabire dibuat dalam bentuk surat

pernyataan dengan bukti pembayaran di atas kuitansi bermeterai. Setelah

pembayaran tuntutan mereka selesai dilaksanakan, maka kedua belah pihak

44

(47)

65

dipersilahkan menanda tangani surat pernyataan bahwa diantara kedua belah

pihak tidak ada permusuhan.

Apabila kasus kecelakaan lalu lintas tersebut melibatkan sesama suku

Dani yang mana korban adalah orang Dani begitu juga tersangka maka

perwakilan kepala suku rayon atau kepala suku sub rayon yang ada pada sturktur

LPM-D3N yang diminta oleh korban atau tersangka untuk dapat mewakili dan

menghadiri pertemuan di polres Nabire.

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan Kepala Suku Umum D3N

tersebut diatas, terutama sistem pengambilan keputusan dalam menangani kasus

perkara secara adat dapat dianalisis bahwa pengambilan keputusan tersebut

dalam pemberian ganti rugi terhadap tersangka belum ada ketentuan yang

menetap maksimal pemberian ganti rugi atas kecelakaan lalu lintas dikarenakan

hanya diukur berdasarkan ekonomi si pelaku.

Memperhatikan sanksi secara adat yang diminta ini dapat dianalisis

bahwa peradilan adat dalam suku Dani pada dasarnya melihat faktor manusia ini

sangat penting, karena manusia bukan binatang, tapi manusia adalah ciptaan

Tuhan yang sempurna dan mempunyai jiwa atau nyawa yang sangat berharga.

Sebab apabila jiwa atau nyawa dihilangkan tidak ada lagi jiwa atau nyawa yang

dapat dibeli di toko atau dimana saja untuk menggantikan roh yang sudah hilang

itu. Dalam konteks ini, Suku Dani melihat permasalahan ini sebagai suatu

pelanggaran adat, karena korban yang meninggal dilahirkan dengan suatu budaya

dan mempunyai adat-istiadat yang diakui dalam masyarakat adat. Lebih jelasnya,

Gambar

Tabel 1. Luas Wilayah Kabupaten Nabire
Gambar 2.
gambar struktur di bawah ini :
Gambar 3. STRUKTUR ORGANISASI LPM-D3N
+2

Referensi

Dokumen terkait

Totalindo merupakan salah satu dari sedikit kontraktor swasta nasional yang telah memperoleh Sertifikat Badan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi dengan kualifikasi Besar 2

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

 Peserta didik mengerjakan beberapa soal dari - dalam buku paket mengenai penentuan koefisien, variabel, konstanta, suku sejenis, dan derajat dari bentuk aljabar, penentuan

Agni Prasetya Tartib, 2013, Pengaruh Lingkungan Kerja dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Guru pada SMP Pasundan 6 Bandung dan SMK Pasundan 3 Bandung , Jurnal Unikom

Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Mangrove di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Provinsi Lampung. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Pertumbuhan

Setelah siswa diberikan beberapakali treatment menggunakan media dan metode yang baru, siswa dapat mempraktikkan dialog yang berisi ungkapan asking and giving opinion

Masalah utama yang akan dijawab dalam Penelitian Tindakan Kelas ini adalah : Apakah penerapan Metode pembelajaran Make a Match (Menjodohkan) dan MediaKartundapat

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan