• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkembangan psikososial anak usia sekolah pasca erupsi Sinabung yang diperoleh melalui proses pengumpulan data yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2015 di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo. Dalam hasil akan dipaparkan juga tentang karakteristik orang tua yang memiliki anak usia sekolah.

5.1.1 Karakteristik orang tua yang memiliki anak usia sekolah

Pada penelitian ini jumlah responden orang tua yang memiliki anak usia sekolah berjumlah 94 orang. Adapun karakteristik responden yang akan dipaparkan mencakup usia dan pendidikan orang tua.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa rentang usia terbanyak adalah 19-40 tahun (67,0%) dan yang paling sedikit berada pada rentang usia 40-65 tahun (33,0%). Berdasarkan tingkat pendidikan responden yang paling banyak adalah tingkat pendidikan SMA (67%) dan yang paling sedikit yaitu tingkat pendidikan SD (8%).

Hasil penelitian tentang karakteristik demografi responden lebih jelas dapat dilihat pada table 5.1 dibawah ini.

Tabel 5.1.1

Distribusi Frekuensi Orang Tua Yang Memiliki Anak Usia Sekolah di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo (n=94)

Data Demografi Frekuensi

(F)

Persentase (%) Usia Orang Tua

19–40 tahun 41–65 tahun 65 > tahun

Pendidikan Orang Tua SD SMP SMA Perguruan Tinggi 63 31 0 8 10 63 13 67,0 33,0 0 8,5 10,6 67,0 13,8

5.1.2 Perkembangan psikososial anak usia sekolah pasca erupsi Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan psikososial anak usia sekolah yang baik 6 anak (6,4%), perkembangan psikososisal cukup 88 anak (93%), dan perkembangan psikososial kurang tidak ada.

Hasil penelitian tentang perkembangan psikososial anak usia sekolah lebih jelas dapat dilihat pada table 5.1 dibawah ini.

Tabel 5.1.2

Distribusi Frekuensi dan Persentase Perkembagan Psikososial Anak Usia Sekolah Pasca Erupsi Sinabung di Desa Batukarang

Kecamatan Payung Kabupaten Karo Perkembangan

psikososial anak usia sekolah pasca erupsi Sinabung Frekuensi (F) Persentase (%) Baik Cukup Kurang 6 88 0 6,4 93,6 0 Total 94 100

5.1.3 Perkembangan psikososial anak usia sekolah pasca erupsi Sinabung dinilai dengan mengajukan 36 pernyataan. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa anak yang sering mudah menangis dan sedih berlebihan sebanyak 24 orang (25,5%) ,anak yang sering mempunyai masalah tidur sebanyak 10 orang (20,2%), anak yang sering punya masalah makan sebanyak 32 orang (34,0%), anak yang sering merasa tidak nyaman, atau mengalami perasaan yang tidak menyenangkan dalam waktu yang lama sebanyak 20 orang (21,3), anak yang sering gelisah dan mempunyai kesulitan dalam menyelesaikan tugas sebanyak 25 orang (26,6%), anak yang sering pikiran tidak fokus (lupa apa yang dikatakan) sebanyak 24 orang (25,5%). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil yang dapat dilihat pada tabel 5.1.3 berikut ini:

Tabel 5.1.3

Distribusi Frekuensi dan Persentase Jawaban Responden tentang Perkembangan Psikososial Anak Usia Sekolah Pasca Erupsi

Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo (N = 94) No Pernyataan SR N(%) KD N(%) TP N(%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Mudah menangis dan sedih berlebihan

Tanggap terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya

Menarik diri/ tidak berinteraksi dengan orang sekitar

Mempunyai masalah tidur

Dapat dipisahkan dari pengasuh/ sendirian dirumah

Takut pada orang, secara nyata atau dalam banyangan

Takut tanpa alasan

Bisa mempercayai orang lain/ tidak curiga pada orang lain Punya masalah makan

Sakit atau mempunyai masalah fisik

Membenturkan kepalanya atau mengayunkan tubuhnya kedepan dan kebelakang

Seperti mengalami penurunan ke tahap perkembangan awal

Terlalu aktif (tidak bisa duduk diam)

Menghormati otoritas orang tuanya

Berperilaku agresif secara fisik Merasa tidak nyaman, atau mengalami perasaan yang tidak menyenangkan dalam waktu

24 (25,5) 76 (80,9) 7 (7,4) 19 (20,2) 41 (43,6) 7 (7,4) 9 (9,6) 35 (37,2) 32 (34,0) 26 (27,7) 6 (6,4) 12 (12,8) 40 (42,6) 59 (62,8) 12 (12,8) 20 (21,3) 37 (39,4) 13 (13,8) 21 (22,3) 25 (26,6) 23 (24,5) 29 (30,9) 20 (21,3) 33 (35,1) 25 (26,6) 39 (41,5) 3 (3,2) 14 (14,9) 24 (25,5) 31 (33,0) 27 (28,7) 23 (24,5) 33 (35,1) 5 (5,3) 66 (70,2) 50 (53,2) 30 (31,9) 58 (61,7) 65 (69,1) 26 (27,7) 37 (39,4) 29 (30,9) 85 (90,4) 68 (72,3) 30 (31,9) 4 (4,3) 55 (58,5) 51 (54,3)

17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 yang lama

Bekerja sama dengan baik dengan orang lain

Gelisah dan mempunyai kesulitan menyelesaikan tugas Mampu berkonsentrasi

Mampu mempelajari pengetahuan dan keahlian baru Berkonsentrasi baik di sekolah Berteman dengan mudah dan mampu menjaga hubungan pertemanan

Akur dengan saudaranya

Mengalami masa yang sulit untuk menerima kematian orang terdekat

Tidak stabil perasaannya

Mempunyai ketakutan yang berlebihan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi dimasa yang akan datang

Tidak bereaksi secara emosional terhadap situasi yang dialami Kelihatan curiga, kejam,atau mengganggu secara menonjol Merasa bersalah berlebihan Dapat memberitahu bahwa mereka marah tanpa berlaku agresif

Pikiran tidak fokus (lupa apa yang dikatan)

Mampu membicarakan kejadian sulit yang dialami

Dengan sangat jelas menyakiti diri mereka sendiri

Mempunyai serangan panik Mengambil resiko yang tidak perlu (seperti merokok,minum minuman keras)

Teringat akan kejadian sulit dengan sangat jelas dan tiba-tiba tanpa bisa dikontrol

70 (74,5) 25 (26,6) 56 (59,6) 65 (69,1) 66 (70,2) 87 (92,6) 61 (64,9) 5 (5,3) 10 (10,6) 13 (13,8) 6 (6,4) 11 (11,7) 13 (13,8) 38 (40,4) 24 (25,5) 66 (70,2) 3 (3,2) 3 (3,2) 2 (2,1) 29 (30,9) 18 (19,1) 49 (52,1) 31 (33,0) 26 (27,7) 25 (26,6) 6 (6,4) 29 (30,9) 12 (12,8) 29 (30,9) 24 (25,5) 14 (14,9) 25 (26,6) 36 (38,3) 39 (41,5) 46 (48,9) 19 (20,2) 9 (9,6) 21 (22,3) 1 (1,1) 30 (31,9) 6 (6,4) 20 (21,3) 7 (7,4) 3 (3,2) 3 (3,2) 1 (1,1) 4 (4,3) 77 (81,9) 55 (58,5) 57 (60,6) 74 (78,7) 58 (61,7) 45 (47,9) 17 (18,1) 24 (25,5) 9 (9,6) 82 (87,2) 70 (74,5) 91 (96,8) 35 (37,2)

5.2 PEMBAHASAN

5.2.1 Perkembangan Psikososial Anak Usia Sekolah Pasca Erupsi Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

Hasil penelitian terhadap perkembangan psikososial anak usia sekolah di Desa Batukarang, secara keseluruhan menunjukkan hasil bahwa sebanyak 6 anak (6,4%) memiliki perkembangan psikososial baik, sebanyak 88 anak (93,6%) memiliki perkembangan psikososial cukup, dan perkembangan psikososial kurang tidak ada. Artinya perkembangan psikososial anak di Desa Batukarang sebagian besar cukup dan ada beberapa anak yang memiliki perkembangan psikososial baik.

Perkembangan psikososial meliputi perubahan dan stabilitas dalam kepribadian dan hubungan seseorang (Perry & Potter, 2009). Adanya beberapa hambatan atau gangguan dalam hal inilah yang disebut sebagai perkembangan psikososial cukup. Hal ini disebabkan oleh dampak bencana alam yaitu erupsi Sinabung pada aspek psikososial anak di Desa Batukarang.

Dampak bencana ynag ditimbulkan dapat terjadi pada aspek psikologi dan aspek sosial (Mundakir, 2009). Dampak bencana pada aspek fisik seperti susah tidur, perubahan nafsu makan, mudah terkejut, cepat lelahbadan terasa tegang. Pada aspek psikis seperti mudah marah, dendam, rasa bersalah, malu, tidak percaya diri, gelisah, konsentrasi menurun, menarik diri, mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, terus menerus

memikirkan sesuatu, daya ingat berkurang,menurunnya kemampuan untuk mengambil keputusan. Pada aspek sosial seperti hubungan dengan keluarga kurang harmonis,hubungan emosional juga terganngu (Mundakir, 2009).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang sering mudah menangis dan sedih berlebihan sebanyak 24 orang (25,5%) ,anak yang sering mempunyai masalah tidur sebanyak 10 orang (20,2%), anak yang sering punya masalah makan sebanyak 32 orang (34,0%), anak yang sering merasa tidak nyaman, atau mengalami perasaan yang tidak menyenangkan dalam waktu yang lama sebanyak 20 orang (21,3), anak yang sering gelisah dan mempunyai kesulitan dalam menyelesaikan tugas sebanyak 25 orang (26,6%), anak yang sering pikiran tidak fokus (lupa apa yang dikatakan) sebanyak 24 orang (25,5%), anak yang sering agresif secara fisik sebanyak 12 orang (12,8%), anak yang sering teringat akan kejadian sulit dengan sangat jelas dan tiba-tiba tanpa bisa di kontrol sebanyak 29 orang (30,9%).

Penelitian ini sejalan dengan Durkin dkk (1993) menyebutkan bahwa akibat peristiwa traumatis bencana alam yang terjadi menyebabkan 10% anak mengalami peningkatan agresif dan 4% akan mengalami enuresis. Kar (2009) menyebutkan bahwa 17% anak mengalami depresi akibat dari bencana, PTSD sebanyak 5-43%. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang dialami oleh anak yaitu mudah menangis, marah, gelisah, tidak bisa tidur dan konsentrasi di sekolah.

Penelitian yang dilakukan oleh Arfianti (2011) terhadap anak-anak sekolah dasar pasca trauma healing akibat gempa bumi juga menyebutkan bahwa 97,5% anak mudah menangis, 68,75% tidak bisa konsentrasi belajar, 92,5% sakit perut, 90% kelelahan, 87,5% sakit kepala, 95% merasa khawatir tentang keselamatan orang-orang yang disayangi, 91,25% merasa sedih, 86,25% merasa takut kalau-kalau gempa terjadi lagi, dan 58,75% berulang-ulang membicarakan hal yang sama.

Hasil penelitian Wuri & Halim (2008) tentang profil kepribadian anak yang mengalami gempa dan tsunami Aceh juga menunjukkan bahwa sebanyak 4% anak mengalami kecemasan akan perpisahan, 6% merasa tidak berdaya, 3% body damage, 8% merasa tidak mampu, 13% merasa tidak nyaman, 5% merasa kesepian, 4% takut akan kematian, dan 3% anak sakit.

Masalah perkembangan anak pada populasi normal di masyarakat adalah 10% dan akan meningkat ketika disertai dengan faktor risiko lain, salah satunya adalah bencana (Kar et al, 2007). Bencana seperti gempa bumi, tsunami, dan banjir merupakan faktor yang menyebabkan tingginya tingkat stress dan masalah psikososial lainnya pada individu (Nasir et al, 2012).

Anak yang mengalami bencana akan mengalami trauma psikologis seperti sulit tidur, tidak enak badan, mudah terkejut, cemas, sedih, merasa bersalah, bingung, sulit konsentrasi, sering teringat kembali pada peristiwa dan mimpi buruk, mudah menangis, menarik diri dari pergaulan, takut

berpisah dari orang tua, dan mudah marah. Semua gejala ini menggambarkan stres akibat bencana pada anak (Sulistyaningsih, 2011).

Anak-anak korban bencana alam cenderung menjadi bergantung pada orang lain dan disisi lain menjadi lebih tidak percaya. Hal ini disebabkan karena rasa cemas dan tidak aman mereka akibat bencana dan kondisi paska bencana. Rasa cemas dan tidak aman ini menyebabkan beberapa anak menjadi lebih meniliai dan waspada, lebih mudah merasa ditolak dan diabaikan, serta menarik diri. Beberapa anak lainnya menjadi mudah tersinggung, terlibat konflik atau berkelahi. Hal ini akan membawa anak-anak pada kondisi tingkat stress psikososial yang tinggi dan memiliki resiko terhadap gangguan pengembangan psikologis (Sidabutaret al, 2003 dalam Wuri dan Halim, 2008).

Usia anak sekolah dasar memiliki sumber daya dan kemampuan yang terbatas untuk mengontrol dan mempersiapkan diri ketika merasa takut saat bencana (Sulistyaningsih, 2011). Dalam penelitan dapat dilihat sebanyak 9,6% anak ketakutan tanpa alasan, 7,4% anak takut pada orang, secara nyata atau dalam bayangan. Hal ini sejalan dengan penelitian Wuri & Halim (2008) yang menyatakan bahwa 14% anak mengalami ketakutan pasca Tsunami di Aceh.

Akibat bencana yang terjadi, kemampuan anak-anak dalam memecahkan masalah secara logis menurun. Kondisi ini menyebabkan kecemasan yang muncul dalam diri mereka kurang tereduksi. Kecemasan

akan perpisahan, lepas kendali,body damage,dan kebingungan akan realitas yang biasa dialami pada tahap kanak-kanak, dirasakan mengganggu bagi anak-anak korban bencana (Davies, 1999).

Pada tahap perkembangan anak usia sekolah (6-12 tahun), memasuki tahapan industry versus inferioritas (industry vs inferiority), anak akan mengalami peningkatan kemampuan dalam berbagai hal termasuk interaksi dan prestasi belajar dalam menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan diri sendiri. Pencapaian ini akan membuat anak bangga terhadap dirinya sendiri. Hambatan atau kegagalan dalam mencapai kemampuan ini akan menyebabkan anak merasa rendah diri, sehingga pada masa dewasa akan mengalami hambatan dalam bersosialisasi (CMHN, 2006).

Penurunan performa tersebut terjadi karena 3 hal. Pertama, ingatan dan pikiran yang terkait dengan pengalaman traumatis yang menyebabkan anak terdistraksi dari tugas akedemisnya. Kedua, perkembangan pola kognitif untuk melupakan hal-hal yang terasosiasi dengan pengalaman traumatis memiliki keterkaitan dengan terhambatnya kemampuan anak untuk berpikir secara spontan. Ketiga, gangguan yang muncul dalam afek mempengaruhi proses mental anak. Hal ini berpotensi memunculkan rasa tidak percaya diri bagi anak mengingat dalam tahap usia sekolah kompetensi merupakan isu penting (Papalia, Olds & Ruth, 2001).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,8% anak menghormati otoritas orang tuanya, 80,9% tanggap tehadap sekelilingnya, 74,5% anak dapat bekerja sama dengan orang lain, 64,9% anak akur dengan saudaranya, 70,2% anak dapat berkonsentrasi bai di sekolah.

Penelitian ini sejalan dengan Ningsih (2013) yang menyebutkan bahwa hubungan dengan orang tua juga merupakan dasar bagi perkembangan psikososial anak, karena pada masa anak usia sekolah akan terjadi peningkatan kemampuan dalam berbagai hal, termasuk interaksi dan prestasi belajar untuk menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan diri sendiri. Pencapaian kemampuan ini akan membuat dirinya bangga. Hambatan atau kegagalan untuk hal tersebut menyebabkan anak merasa rendah diri, sehingga pada masa dewasa akan mengalami hambatan dalam bersosialisasi.

Hubungan yang baik antar orang tua dan anak dipengaruhi oleh usia orang tua, keterlibatan orang tua, pendidikan orang tua, pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak, hubungan suami istri, dan stress orang tua (Duvall, Evelyn, 2003).

Hal ini dapat dilihat dari data demografi pada penelitian ini yang mencakup usia orang tua dan pendidikan. Mayoritas usia orang tua yang memiliki anak usia sekolah adalah antara usia 19-40 tahun sebanyak 63 orang (67,0%) dan usia 40-65 tahun sebanyak 31 orang (33,0%).

Usia dewasa menurut Eric Erikson (dalam Potter & Perry, 2009) dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu masa dewasa awal (19-40 tahun), dewasa menengah (41-65 tahun), dan dewasa akhir 65 tahun hingga meninggal. Orang tua pada masa dewasa awal dituntut untuk memulai kehidupannya dalam memerankan peran ganda seperti suami/istri, orang tua dan peran dalam dunia kerja dan mengembangkan sikap-sikap baru, termasuk berperan dalam perkembangan anak (Hurlock, 2002). Apabila terlalu muda ataupun terlalu tua mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial (Jahja, Yudrik, 2011).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Irmilia, Herlina, & Hasneli (2015), dimana mayoritas orang tua yang memiliki anak usia sekolah berada pada rentang usia 18-40 tahun yaitu berjumlah 72 orang (97,3%) dimana umur sangat mempengaruhi peran orang tua.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 94 orang tua yang memiliki anak usia sekolah, mayoritas orang tua memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu sebanyak 63 orang (67,0%). Sejalan dengan hasil penelitian Herentina dan Yusiana (2012), menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan dimana tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki peran yang cukup dalam kegiatan anak untuk menstimulasi perkembangan kognitif anak.

Sesuai dengan penelitian Nurohmah, Resminawati, & Hastuti (2012), menunjukkan tingkat pendidikan SMA merupakan tingkat pendidikan dimana individu memiliki pengetahuan yang cukup. Tingkat pendidikan seseorang berhubungan dengan kemampuan menerima informasi dan berhubungan dengan sikap mereka dalam memperoleh pengetahuan. Tingkat pendidikan juga memiliki pengaruh terhadap pemahaman seseorang dalam masalah yang sedang dihadapi.

Pendidikan orang tua penting dalam tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikan dan sebagainya (Soetjiningsih, 1994).

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait